Tugas Ilmu Alamiah Dasar doc
Nama : Mimhaturrohmah
NIM
: 16422032
Surah Al-Fajr
Ayat 3
“Yang Genap dan Yang Ganjil”
Adapun kata al-fajr telah diketahui maknanya, yaitu waktu Shubuh.
Demikian yang dikemukakan oleh ‘Ali, Ibnu Abbas, dari Masruq, dan Muhammad
bin Ka’ab. Yaang dimaksud dalam ayat ini adalah waktu fajar pada hari raya
kurban, khususnya, yang merupakan penutup malam yang sepuluh. Dan yang
dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakn oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid,
dan lain-lain dari kalangan kaum Salam dan Khalaf. (Katsir, tanpa tahun)
Surah ini memiliki tiga kaitan dengan surah sebelumnya :
1. Sumpah di awal surah ini sebagai dalil kebenaran isi kandungan akhir
surah sebelumnya, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sungguh
kepada
Kamilah
mereka
kembali,
kemudian
sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka.”
(al-Ghaasyiyah: 25-26)
2. Surah sebelumnya berisi pembagian manusia menjadi dua kelompok:
orang-orang celaka dan orang-orang bahagia, orang-orang yang bermuka
tuduk dan orang-orang yang bermuka penuh kenikmatan. Surah ini
menyebutkan beberapa kelompok dari orang-orang yang zalim: kaum ‘Ad,
kaum Tsamud, dan Fir’aun yang merupakan kelompok pertama. Beberapa
kelompok dari kaum Mukminin yang diberi petunjuk dan bersyukur atas
nikmat Allah. Mereka masuk dalam golongan kelompok kedua. Jani dan
ancaman sama-sama ada dalam kedua surah tersebut.
3. Sesungguhnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Tidakkah engkau (Muhammad) memerhatikan
Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad?” (al-Fajr: 6)
bagaimana
senada dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala di surah sebelumnya,
“Maka
tidakkah
mereka
diciptakan?” (al-Ghaasyiyah: 17)
memerhatikan
unta,
bagaimana
Waktu fajar merupaka detik waktu hidup yang mulai menggerakkan
nafasnya dalam suasana tenang, gembira, senyum mesra dan ketika seluruh
alam yang sedang lena itu perlahan-lahan bangkit dari tidurnya, dimana bunyi
nafasnya seolah bisikan-bisikan munajat dan detik-detik pembukaan matanya
seolah-olah detik-detik berdo’a dan memanjat permohonan. (Az-Zuhaili, 2014)
Walaupun Al-Qur’an menyebut “malam-malam yang sepuluh” itu
secara umum namun terdapat riwayat-riwayat yang menentukannya. Menurut
satu riwayat yang dimaksudkan dengan malam-malam yang sepuluh itu ialah
sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah, dan mengikut riwayat yang lain pula ialah
sepuluh malam dari bulan Muharram dan dalam satu riwayat lagi ialah sepuluh
malam dari bulan Ramadhan.
Walau bagaimanapun mengekalkan “malam-malam yang sepuluh”
dalam pengertiannya yang umum itu lebih mendalam keberkesanannya dan
lebih lunak artinya yaitu sepuluh malam yang berada dalam ilmu Allah dan
dipandang mulia di sisi-Nya. Ia menggambarkan bayangan malam-malam yang
berpribadi istimewa seolah-olah malam-malam itu merupakn makhluk-makhluk
hidup yang bernyawa yang saling bermesra dengan kita dalam pengungkapan
Al-Qur’an yang lemah-lembut itu.
Dan firman Allah Ta’ala, (
) “Dan yang genap dan yang ganjil.”
Mengenai hal ini telah dikemukakan sebuah hadits yang menjelaskan bahwa
yang ganjil itu adalah hari ‘Arafah yang jatuh pada hari kesembilan, sedangkan
yang genap adalah hari Nahar yang jatuh pada hari kesepuluh. Dan dalam kitab
ash-Shahihain disebutkan sebuah hadits dari riwayat Abu Hurairah
Rasulullah
, dari
:
“Sesunggunya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang
satu. Barangsiapa yang menghitungnya, maka dia akan masuk Surga. Dan Dia
itu ganjil dan menyukai yang ganjil.”
Ayat ini menggambarkan sholat dan ibadah dalam suasana mesra yaitu
suasana waktu fajar dan malam-malam yang sepuluh. Tersebut dalam hadits:
“Dai ibadah sholat, ada yang genap dan ada yang ganjil (yakni bilangan
rakaatnya).”
Inilah pengertian yang paling sesuai di dalam suasana ini. Disini roh
ibadah yang khusyu’ bertemu dengan roh alam yang tenang tentram, dan disini
juga roh orang-orang yang beribadah, berdialog dengan roh-roh malam yang
terpilih di sisi Allah dan dengan roh waktu fajar yang gemilang. (Katsir, tanpa
tahun)
Al-Hasan al-Bashri dan Zaid bin Aslam mengatakan: “Makhluk ini secara
keseluruhan adalah genap dan ganjil, dimana Allah telah bersumpah dengan
ciptaan-Nya.”
Dan mengenai firman-Nya, (
) “Dan yang genap dan yang
ganjil,” al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan: “Allah itu ganjil
dan esa sedangkan kalian itu genap.”
Sesuatu yang genap dan yang ganjil dari setiap sesuatu, diantaranya
adalah hari-hari (malam-malam) ini yang genap dan yang ganjil. (Katsir, tanpa
tahun)
Ada yang mengaakan bahwa kata asy-Syaf’u disini adalah hari Idul Adha
karena hari tersebut adalah hari kesepuluh dari bulan Dzulhijjah. Sementara itu,
yang dimaksud al-Witru adalah hari ‘Arafah karena hari tersebut jatuh pada
tanggal sembilan Dzulhijjah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud
asy-Syaf’u disini adalah dua hari Tasyrik; hari pertama dan kedua yang
diperbolehkan untuk keluar dari Mina (dalam ritual ibadah haji). Sementara itu,
al-Witru disini adalah hari Tasyrik yang ketiga.
Semua itu merupakan sumpah yang agung dengan fajar Shubuh yang
cahayanya bersinar setiap hari, bahwa sungguh orang-orang kafir akan disiksa.
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hitungan genap, hitungan ganjil, dan
waktu malam bahwa adzab orang-orang kafir pasti akan terjadi, tidak ada
tempat untuk menghindar darinya.
Inilah gambaran kebesaran kekuasaan Alloh dengan
Firman-Nya yang
agung sebagai hujjah atau pegangan seluruh hamba-Nya sebagai kholifah di
bumi ini, semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang terhindar dari siksa
neraka dan termasuk golongan hamba-Nya yang selamat dunia dan akhirat.
Maka dari itu hendaknya kita mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk
menyongsong kehidupan akhirat yang abadi. Merekalah orang-orang beriman
dan memenuhi kehidupannya dengan catatan amal shalih. Semoga kita
termasuk di dalamnya.
Amin Yaa Robbal ‘Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, W. 2005. Tafsir Al-Munir. Jilid 15. Jakarta : Gema Insani
Katsir, I. Tanpa tahun. Tafsir Ibnu Katsir Juz 30. Diunduh dari
shirotolmustaqim.files.wordpress.com pada tanggal 25 September 2016.
NIM
: 16422032
Surah Al-Fajr
Ayat 3
“Yang Genap dan Yang Ganjil”
Adapun kata al-fajr telah diketahui maknanya, yaitu waktu Shubuh.
Demikian yang dikemukakan oleh ‘Ali, Ibnu Abbas, dari Masruq, dan Muhammad
bin Ka’ab. Yaang dimaksud dalam ayat ini adalah waktu fajar pada hari raya
kurban, khususnya, yang merupakan penutup malam yang sepuluh. Dan yang
dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakn oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid,
dan lain-lain dari kalangan kaum Salam dan Khalaf. (Katsir, tanpa tahun)
Surah ini memiliki tiga kaitan dengan surah sebelumnya :
1. Sumpah di awal surah ini sebagai dalil kebenaran isi kandungan akhir
surah sebelumnya, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sungguh
kepada
Kamilah
mereka
kembali,
kemudian
sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka.”
(al-Ghaasyiyah: 25-26)
2. Surah sebelumnya berisi pembagian manusia menjadi dua kelompok:
orang-orang celaka dan orang-orang bahagia, orang-orang yang bermuka
tuduk dan orang-orang yang bermuka penuh kenikmatan. Surah ini
menyebutkan beberapa kelompok dari orang-orang yang zalim: kaum ‘Ad,
kaum Tsamud, dan Fir’aun yang merupakan kelompok pertama. Beberapa
kelompok dari kaum Mukminin yang diberi petunjuk dan bersyukur atas
nikmat Allah. Mereka masuk dalam golongan kelompok kedua. Jani dan
ancaman sama-sama ada dalam kedua surah tersebut.
3. Sesungguhnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Tidakkah engkau (Muhammad) memerhatikan
Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad?” (al-Fajr: 6)
bagaimana
senada dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala di surah sebelumnya,
“Maka
tidakkah
mereka
diciptakan?” (al-Ghaasyiyah: 17)
memerhatikan
unta,
bagaimana
Waktu fajar merupaka detik waktu hidup yang mulai menggerakkan
nafasnya dalam suasana tenang, gembira, senyum mesra dan ketika seluruh
alam yang sedang lena itu perlahan-lahan bangkit dari tidurnya, dimana bunyi
nafasnya seolah bisikan-bisikan munajat dan detik-detik pembukaan matanya
seolah-olah detik-detik berdo’a dan memanjat permohonan. (Az-Zuhaili, 2014)
Walaupun Al-Qur’an menyebut “malam-malam yang sepuluh” itu
secara umum namun terdapat riwayat-riwayat yang menentukannya. Menurut
satu riwayat yang dimaksudkan dengan malam-malam yang sepuluh itu ialah
sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah, dan mengikut riwayat yang lain pula ialah
sepuluh malam dari bulan Muharram dan dalam satu riwayat lagi ialah sepuluh
malam dari bulan Ramadhan.
Walau bagaimanapun mengekalkan “malam-malam yang sepuluh”
dalam pengertiannya yang umum itu lebih mendalam keberkesanannya dan
lebih lunak artinya yaitu sepuluh malam yang berada dalam ilmu Allah dan
dipandang mulia di sisi-Nya. Ia menggambarkan bayangan malam-malam yang
berpribadi istimewa seolah-olah malam-malam itu merupakn makhluk-makhluk
hidup yang bernyawa yang saling bermesra dengan kita dalam pengungkapan
Al-Qur’an yang lemah-lembut itu.
Dan firman Allah Ta’ala, (
) “Dan yang genap dan yang ganjil.”
Mengenai hal ini telah dikemukakan sebuah hadits yang menjelaskan bahwa
yang ganjil itu adalah hari ‘Arafah yang jatuh pada hari kesembilan, sedangkan
yang genap adalah hari Nahar yang jatuh pada hari kesepuluh. Dan dalam kitab
ash-Shahihain disebutkan sebuah hadits dari riwayat Abu Hurairah
Rasulullah
, dari
:
“Sesunggunya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang
satu. Barangsiapa yang menghitungnya, maka dia akan masuk Surga. Dan Dia
itu ganjil dan menyukai yang ganjil.”
Ayat ini menggambarkan sholat dan ibadah dalam suasana mesra yaitu
suasana waktu fajar dan malam-malam yang sepuluh. Tersebut dalam hadits:
“Dai ibadah sholat, ada yang genap dan ada yang ganjil (yakni bilangan
rakaatnya).”
Inilah pengertian yang paling sesuai di dalam suasana ini. Disini roh
ibadah yang khusyu’ bertemu dengan roh alam yang tenang tentram, dan disini
juga roh orang-orang yang beribadah, berdialog dengan roh-roh malam yang
terpilih di sisi Allah dan dengan roh waktu fajar yang gemilang. (Katsir, tanpa
tahun)
Al-Hasan al-Bashri dan Zaid bin Aslam mengatakan: “Makhluk ini secara
keseluruhan adalah genap dan ganjil, dimana Allah telah bersumpah dengan
ciptaan-Nya.”
Dan mengenai firman-Nya, (
) “Dan yang genap dan yang
ganjil,” al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan: “Allah itu ganjil
dan esa sedangkan kalian itu genap.”
Sesuatu yang genap dan yang ganjil dari setiap sesuatu, diantaranya
adalah hari-hari (malam-malam) ini yang genap dan yang ganjil. (Katsir, tanpa
tahun)
Ada yang mengaakan bahwa kata asy-Syaf’u disini adalah hari Idul Adha
karena hari tersebut adalah hari kesepuluh dari bulan Dzulhijjah. Sementara itu,
yang dimaksud al-Witru adalah hari ‘Arafah karena hari tersebut jatuh pada
tanggal sembilan Dzulhijjah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud
asy-Syaf’u disini adalah dua hari Tasyrik; hari pertama dan kedua yang
diperbolehkan untuk keluar dari Mina (dalam ritual ibadah haji). Sementara itu,
al-Witru disini adalah hari Tasyrik yang ketiga.
Semua itu merupakan sumpah yang agung dengan fajar Shubuh yang
cahayanya bersinar setiap hari, bahwa sungguh orang-orang kafir akan disiksa.
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hitungan genap, hitungan ganjil, dan
waktu malam bahwa adzab orang-orang kafir pasti akan terjadi, tidak ada
tempat untuk menghindar darinya.
Inilah gambaran kebesaran kekuasaan Alloh dengan
Firman-Nya yang
agung sebagai hujjah atau pegangan seluruh hamba-Nya sebagai kholifah di
bumi ini, semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang terhindar dari siksa
neraka dan termasuk golongan hamba-Nya yang selamat dunia dan akhirat.
Maka dari itu hendaknya kita mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk
menyongsong kehidupan akhirat yang abadi. Merekalah orang-orang beriman
dan memenuhi kehidupannya dengan catatan amal shalih. Semoga kita
termasuk di dalamnya.
Amin Yaa Robbal ‘Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, W. 2005. Tafsir Al-Munir. Jilid 15. Jakarta : Gema Insani
Katsir, I. Tanpa tahun. Tafsir Ibnu Katsir Juz 30. Diunduh dari
shirotolmustaqim.files.wordpress.com pada tanggal 25 September 2016.