Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidika

Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sebagai Upaya
Pencapaian Millennium Development Goals (MDGs)

Oleh : Atika Saraswati

Abstraksi
MDGs merupakan deklarasi pembangunan PBB yang mengemukakan 8 Tujuan
Pembangunan Millennium yang harus dicapai tahun 2015 oleh 189 negara termasuk
Indonesia. Salah satu tujuan MDGs adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua
yang diwujudkan melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Hasil evaluasi menunjukkan Wajar Dikdas dari segi pemerataan belum merata
dan memenuhi target yang ditetapkan, pembangunan hanya ditujukan untuk mencapai
angka kuantitatif dan menyebabkan kesenjangan kualitas dan arah kebijakan menjadi
tidak jelas. Pendidikan dasar dimaknai masyarakat dalam 2 pandangan: penting dan
tidak penting. Penting karena peran sekolah sebagai human capital, sharing knowledge
dan sosialisasi diri. Tidak penting karena sekolah tidak mampu membuat anak mandiri.
Faktor penyebab anak tidak sekolah, ditinjau dari individu anak: ekonomi keluarga,
lingkungan, psikologis, keadaan fisik, prestasi akademik. Dari segi sekolah: biaya
pendidikan, kualitas tenaga pendidik.
Langkah strategis yang disarankan guna mencapai MDGs tahun 2015, formulasi
kebijakan, menggunakan gabungan model Teori Pilihan Publik, Teori Sistem dan Teori

Deliberatif, sosialisasi kebijakan, meningkatkan efisiensi kelembagaan, rehabilitasi
sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan guru.
Strategi dalam menjangkau kelompok tertentu: sekolah alam anak jalanan, sekolah
murah anak cacat, beasiswa dan pemberdayaan orang tua anak yang tidak mampu
dengan kerjasama antar dinas terkait.

Kata Kunci:
Evaluasi, Wajib Belajar, Pendidikan Dasar, Millenium Development Goals,

Latar Belakang
MDGs (Millenium Development Goals) atau yang lebih dikenal sebagai Tujuan
Pembangunan Millenium merupakan salah satu Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang telah disetujui oleh 189 negara anggota termasuk oleh negara Indonesia
yang mengemukakan mengenai 8 tujuan pembangunan yang harus dicapai pada tahun
2015. Salah satu tujuan MDGs yang merupakan tujuan keduanya adalah mencapai
pendidikan dasar untuk semua (achieve universal primary education) dengan
memastikan bahwa pada tahun 2015 semua anak dimanapun, laki-laki dan perempuan
dapat mencapai pendidikan dasarnya (Jeroen Smits and Hyunjoon Park, 2009: 227-235)
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk

lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah
(MTs), atau bentuk lain yang sederajat.1
Dengan telah diratifikasinya MDGs oleh pemerintah Indonesia maka pemerintah
telah mengemban amanat untuk menuntaskan pendidikan dasar bagi seluruh
masyarakat Indonesia pada tahun 2015. Pencapaian education for all di tahun 2015 dan
aplikasi dari peraturan perundangan yang berlaku tentu saja tidaklah mudah dan
memerlukan berbagai upaya dan aksi nyata dari berbagai pihak termasuk masyarakat
dan pemerintah daerah (pemda), maupun pemerintah pusat, hal ini mengingat
tingginya kompleksitas problematika di bidang pendidikan. Secara umum, terdapat
empat problem pendidikan di Indonesia: efektivitas, pemerataan pendidikan, relevansi,
problem manajemen pendidikan 2
Terkait dengan Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs mengenai
pemerataan pendidikan dasar bagi semua di tahun 2015, problematika yang perlu dikaji
lebih mendalam adalah problem kedua mengenai pencapaian dan pemerataan
pendidikan. Upaya pencapaian dan pemerataan pendidikan dasar bagi semua dilakukan
oleh pemerintah melalui Program Wajib Belajar. Program nasional Wajib Belajar secara
implisit merupakan program yang dicanangkan pemerintah guna mengatasi
problematika pemerataan pendidikan. Pengaturan mengenai Wajib belajar diatur dalam
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 34
1


2

PP No.47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar
Mutrofin, 2009 : 6-8

ayat 2 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya Wajib
Belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Nicola Jones
with Bekele Tefera and Tassew Woldehanna, 2008: 380-384)

Evaluasi Program Wajar Dikdas dengan teknik CIPP (Context Input Proses
Product)3
No.

Fenomena Penelitian

Hasil Penelitian

1.


Pemerataan

a. Context (Konteks)

Pendidikan
tingkat

Dasar

SD/MI

dan

SMP/MTS

 Pelaksanaan Wajar Dikdas 9 Tahun telah memiliki
payung hukum yang jelas

a. Context (Konteks)
1) Peluang

2) Ancaman

2) Ancaman

 Adanya eksklusi pendidikan yang dirasakan oleh anakanak tertentu (seperti: anak jalanan, anak dari kalangan

b. Input (Masukan)
1) Tenaga

orang tidak mampu, dan anak dengan tingkat prestasi
akademis rendah).

 Penolakan untuk sekolah dari target sasaran Wajar

Pendidik
2) Sekolah

dan

Ruang Kelas

3) Alokasi

Dikdas yaitu anak-anak usia 7-15 tahun yang sebagian
besar muncul dari kalangan masyarakat dengan tingkat

dan

Sumber Dana
4) Kesadaran akan

ekonomi dibawah rata-rata

 Persebaran sekolah yang tidak merata. Kecenderungan
masyarakat untuk mendaftar di sekolah yang dekat

Sekolah

dengan tempat tingalnya membuat persebaran letak

c. Process (Proses)


sekolah yang tidak merata antar kecamatan menjadi

Kegiatan-kegiatan
Program

dalam

pelaksanaannya

3

1) Peluang

sebuah ancaman yang perlu diperhatikan.

 Masih lemahnya silang koordinasi dan komunikasi dari
pemerintah ke masyarakat dengan tidak berfungsinya

d. Product (Product)


Dewan Pendidikan, dan fungsi Komite Sekolah yang

1) Pemerataan

hanya sebagai formalitas saja karena keaktifan anggota

Pendidikan

komite sendiri yang kurang, selain itu tidak didapati

Tingkat SD/MI

upaya yang dilakukan sekolah apabila terjadi kasus putus

Stephen W.Rudenbush, American Educational Research Journal, Vol. 45, No. 1 (Mar., 2008), pp. 206-230

2) Pemerataan
Pendidikan
Tingkat

MTS

SMP/

sekolah.
b.

Input (Masukan)

1) Ketersediaan dan Daya Tampung Sekolah

 Jumlah Sekolah dan Ruang Kelas secara keseluruhan
mencukupi untuk menampung anak-anak usia sekolah 715 tahun baik tingkat SD/MI maupun SMP/MTS.

 Permasalahan daya tampung muncul disekolah-sekolah
favorit terutama ditingkat SMP karena di tingkat SMP
masyarakat mulai memperrhatikan masalah kualitas.

 Permasalahan juga muncul pada gedung-gedung sekolah
yang rusak seperti eternit jebol dan jika hujan bocor,

minimnya fasilitas: seperti perpustakaan yang koleksi
bukunya tidak lengkap dan alat-alat olahraga.
2) Karakteristik Tenaga Pendidik
Jumlah guru sudah mencukupi untuk mengajar di SD dan
SMP tetapi permasalahan muncul karena rendahnya
kesejahteraan guru, membuat guru hanya menjalankan
kewajibannya menyampaikan materi-materi pokok dan
kapasitas dalam mengajar dikeluhkan oleh orangtua murid.
Upaya peningkatan dilakukan melalui pelatihan dan
sertifikasi tetapi karena masih harus membayr sendiri dan
faktor usia beberapa guru tidak melaksanakannya.
3) Alokasi dan Sumber Dana

 Dana yang digunakan dalam pelaksnaan Wajar Dikdas 9
tahun bersumber dari APBN dan APBD dan jumlahnya
semakin meningkat sejak tahun 2006-2008

 Dana tersebut digunakan untuk kegiatan operasional
sekolah, pembiayaan buku dan pemenuhan kebutuhankebutuhan sekolah.


 Dana yang diberikan pemerintah dirasakan beberapa
kalangan sekolah sangat minim atau kurang mencukupi
untuk kebutuhan penyelenggaraan Sekolah Gratis dan

beberapa Sekolah terpaksa meminta pungutan sukarela
dari orang tua.
4) Kesadaran Akan Sekolah (Gregory J. Marchant, 2011: 80)
Kesadaran masyarakat akan pendidikan dalam hal ini
sekolah sudah cukup tinggi, bahkan seluruh jawaban dari
masyarakat yang tidak sekolah pun menganggap bahwa
sekolah penting dengan berbagai alasan dan argumen dan
alasan yang paling banyak dikemukakan adalah sekolah
membuat anak menjadi pintar dan bisa melakukan banyak
hal,

bisa

membagi

pengetahuan

kepada

saudara-

saudaranya, mendapatkan ilmu, mendapatkan teman,
mencari uang dengan pekerjaan yang lebih baik.
c. Process (Proses)

 Dalam penyelenggaraan BOS buku yang seharusnya sekolah
tidak lagi menarik uang buku dari siswa-siswanya,
dilapangan ditemui bahwa masih ada siswa yang ditarik
uang buku dan untuk pembayaran LKS, antara Rp.6.000Rp.200.000.

 Penggratisan sekolah ternyata tidak cukup untuk membuat
anak-anak tersebut kembali ke sekolah, tidak cukup untuk
membuat anak-anak mau mengakses pendidikan dasarnya
hal ini dikarenakan penggratisan sekolah hanya mencukupi
biaya operasional sekolah saja sementara masyarakat masih
harus menanggung biaya sendiri pula untuk memenuhi
kebutuhan sekolahnya (living cost seperti : uang saku, uang
transport ke sekolah, uang seragam dan peralatan sekolah)
dan bagi masyarakat yang tidak mampu penggratisan
sekolah saja tidak cukup karena mereka pun tidak mampu
memenuhi living cost mereka untuk sekolah sehingga
penggratisan sekolah tidak membuat anak-anak tersebut
sekolah. Konsep mengenai sekolah gratispun menjadi salah
dipahami antara apa yang dimaksud pemerintah dan

masyarakat.

 Ditemukan kendala-kendala antara lain : kendala yang
dihadapi sekolah dalam menyediakan fasilitas menyeluruh,
hal

ini

dikarenakan

ketiadaan

sumberdaya

untuk

meningkatkan daya tampung dan memperbaiki kondisi fisik
sekolah, karena jumlah dana yang digunakan harus
digunakan untuk menyelenggarakan sekolah gratis dan
karena adanya sekolah gratis dana dari orangtua semakin
bekurang, sedangkan dari pemerintah hanya cukup untuk
memenuhi biaya operasional sekolah. Kendala lain yang
ditemukan

yaitu

dihadapi

guru

dalam

memberikan

pelayanan yang memadai: pergantian kurikkulum yang
terus terjadi memerlukan proses adaptasi oleh guru, dan
saat guru mulai adaptasi, kurikulum sudah berganti lagi,
rendahnya perhatian orangtua pada anak baik dari segi
pelajaran maupun gizi anak sehingga hal ini membuat anak
mengalami keterlambatan dalam proses belajar. Kendala
lain yang dihadapi adalah dalam menjangkau kelompok
tertentu : seperti anak jalanan, karena kerasnya dunia
jalanan membuat mereka menganggap sekolah bukanlah
kebutuhan pokok bagi mereka, anak cacat fisik : karena
kondisi fisiknya menyulitkan untu sekolah di sekolah umum
dan akses di SLB masih terbatas, anak dari keluarga miskin:
karena kemiskinan keluarga menyebabkan mereka harus
bekerja dan menjadi tulangpunggung keluarga, anak dengan
prestasi akademik rendah, kemudian membuat anak putus
sekolah karena nilai-nilainya yang jelek.
d.

Product (Product)

1) Pemerataan di tingkat SD/MI belum mencapai target yang
ditetapkan yaitu 100%, masih banyak anak usia 7-12
tahun tidak sekolah hal ini ditujukan dengan temuan
lapangan dan data yang diperoleh mengenai APM tingkat

SD/MI yang masih dibawah 100% yaitu 92,46%.
Meskipun sudah ada BOS dan sekolah gratis tetapi hal
tersebut belum menyentuh sasaran yang ingin dicapai
yaitu anak-anak usia 7-15 tahun yang rentan tidak
sekolah/ putus sekolah. Meskipun begitu Partisipasi di
tingkat SD/MI lebih tinggi daripada di tingkat SMP/MTS.
2) Pemerataan di tingkat SMP/MTS belum mencapai target
yang ditetapkan yaitu 95%, masih banyak anak usia 13-15
tahun tidak sekolah dan data dilapangan yang diperoleh
masyarakat dan kalangan stakeholderpun menilai bahwa
Wajar 9 tahun belum merata. Hal ini juga didukung dari
data yang diperoleh mengenai APM tingkat SMP/MTS
yang masih mencapai angka 67,26%. Meskipun sudah ada
BOS dan sekolah gratis tetapi hal tersebut belum
menyentuh sasaran yang ingin dicapai yaitu anak-anak
usia 7-15 tahun yang rentan tidak sekolah/ putus sekolah.
3) Didapati pula bahwa pencapaian Wajar Dikdas hanya
ditujukan untuk mencapai angka indikator pemerataan
secara kuantitatif dan membuat kesenjangan dalam hal
pemerataan kualitas dengan munculnya SBI maupun RSBI
dibeberapa sekolah.

Langkah Strategis yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk mencapai MDGs
tahun 2015
Achieve universal primary education yang menjadi tujuan kedua MDGs
mentargetkan bahwa di tahun 2015 semua anak dimanapun berada mampu mengakses
pendidikan dasarnya. Tujuan ditetapkannya semua anak mampu mengakses pendidikan
dasarnya diasumsikan bahwa dengan semua anak mampu mencapai pendidikan
dasarnya maka semua anak tersebut telah memiliki bekal dasar untuk mencapai
kehidupan mandiri bagi dirinya. Pendidikan dasar yang secara nasional ditetapkan
sampai jenjang 9 tahun, seharusnya memperhatikan hal ini karena pendidikan dasar
yang ada selama ini ternyata belum mampu membekali anak untuk mampu hidup
mandiri dengan bekal yang diperolehnya dari sekolah (Pam Watson, 2009: 420-438).

Dari peneletian ditemukan bahwa terjadinya ketidak jelasan arah pembangunan
pendidikan antara pemerataan pendidikan yang bermutu dengan pemerataan dan
peningkatan kualitas pendidikan menimbulkan ketidakjelasan arah dari pembangunan
dan pencapain tujuan dari Wajar Dikdas itu sendiri yaitu untuk mewujudkan
pemerataan pendidikan yang bermutu ( Antonia Kupfer, 2008: 290). Kebijakan pertama
menunjukkan pengertian untuk mewujudkan pendidikan bermutu, setelah itu
dilakukan pemerataan yang sesuai dengan tujuan Wajar Dikdas itu sendiri dan yang
kedua adalah adanya plot-plot indikator yang memisahkan antara kebijakan
pemerataan dan peningkatan mutu menimbulkan ketidakjelalasan dalam kebijakan. Hal
ini mengakibatkan adanya ketidakjelasan pula dalam arah pembangunan pendidikan,
sehingga untuk mencapai MDGs pemerataan pendidikan dasar dengan memastikan
semua anak usia 7-15 tahun, kebijakan yang ada perlu dikaji kembali karena ternyata
pada masyarakat mutu pendidikan juga menjadi salah-satu penyebab kendala mencapai
pemerataan itu sendiri seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan stakeholder untuk mencapai tujuan MDGs tahun
2015 yaitu :
1. Pada Tingkat Formulasi Kebijakan
Kebijakan yang ada selama ini ternyata ditemukan adanya ketidakjelasan dalam
pemaknaan antara konsep dalam hal ini tujuan dengan pemahaman dilapangan atau
dalam implementasinya (Marcus B. Weaver-Hightower, 2008: 157) Hal ini terlihat
dengan adanya indikator pengukur yang berbeda, kebijakan lain yang kontradiktif satu
sama lain (kebijakan Wajar Dikdas dan Standarisasi Sekolah), selain itu ternyata dalam
praktisnya juga didapati terjadinya bias makna dikalangan stakeholder dan target
sasaran, hal ini terlihat pada penetapan Sekolah Gratis, yang pada stakeholder dimaknai
bahwa sekolah gratis hanya gratis untuk biaya operasional sekolah dan untuk biaya lain
masyarakat harus mengusahakan sendiri, tetapi menurut masyarakat sekolah gratis
diartikan sebagai sekolah yang benar-benar gratis sehingga terjadi kesalahan tafsir
dimasyarakat.
Dari permasalahan yang ditemukan dan diungkapkan dalam penelitian ini dapat
disarankan dalam hal formulasi kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan
gabungan model Teori Pilihan Publik, Teori Sistem dan Teori Deliberatif. Teori Pilihan
publik dipilih karena dengan melihat bahwa kebijakan pendidikan dalam hal ini untuk
mencapai pemerataan pendidikan berkualitas bagi masyarakat perlu diketahui apa

yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan
pendidikan seperti apa yang diinginkan masyarakat (Douglas S. Reeds, 2009: 750),
dalam Teori Pilihan Publik yang berakar dari teori ekonomi pilihan publik (economic of
public choice) yang mengandaikan bahwa manusia adalah adalah homo economicus yang
memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan, prinsipnya adalah buyer meet
seller; supply meet demand (Marvin A. Titus, 2009: 450-475).
Teori ini mengemukakan, pada intinya setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiars).
Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan
publik yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk
mengontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan.
Teori Sistem ini digunakan untuk melengkapi kekurangan dari Teori Pilihan Publik
yang memungkinkan adanya keterbatasan dalam realitas interaksi publik itu sendiri
(Zhu Xufeng, 2009: 145-350)
Sehingga perlu digabungkan bersama Teori Sistem yang memiliki keunggulan
dalam komprehensifitasnya mengungkapkan tuntutan dan dukungan dari lingkungan
kebijakan itu yang nantinya akan dijalankan.
Teori ini dipilih juga karena melihat bahwa kecenderungan kebijakan pendidikan
yang ada di masih berupa kebijakan pendidikan sebagai bagian kebijakan publik dan
belum merupakan kebijakan publik itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori sistem yang
mengemukakan bahwa dalam proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem
politik. (Michael Howlett, 2009: 80-89)

Teori Sistem Oleh David Easton
ENVIRONMENT

Environment
DEMANDS

A
POLITICAL

SUPPORT

SYSTEM

DECISIONS

POLICIES

OUTPUT

INPUT

ENVIRONMENT

Teori Deliberatif dipilih dengan mempertimbangkan keterbatasan pemerintah
dalam memantau kebijakan pemerataan pendidikan yang berkualitas yang diinginkan
masyarakat, teori deliberatif atau musyawarah disarankan untuk digunakan pula

karena peran pemerintah disini lebih sebagai legalisator dari kehendak publik .
Sementara peran analis kebijakan adalah sebagai prosesor proses dialog publik agar
menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik.
Teori Deliberatif Maarten Hajer dan Hendrik Wagenaar

Isu
Kebijakan

Dialog
Publik

Keputusan

Kebijakan

Musyawara
h

Publik

Analisis
Kebijakan

Pemerintah
(Administrasi

2. Pada Tingkat Implementasi Kebijakan
Langkah yang dapat disarankan dalam implementasi kebijakan terkait untuk
mengatasi kendala yang ditemukan dilapangan dalam mewujudakan tujuan pemerataan
MDGs seperti yang telah diungkapkan diatas, antara lain :
a. Sosialisasi Kebijakan (Brad Olsen and Dena Sexton, 2009: 15-30)
Adanya pemahaman yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah, seperti
dalam contoh pemahaman tentang sekolah gratis menunjukkan lemahnya
komunikasi yang dilakukan terkait dengan kebijakan yang akan dijalankan. Dengan
melihat peluang yang dimiliki , pemerintah seharusnya memaksimalkan komunikasi
kepada masyarakat dalam hal sosialiasasi kebijakan yang dijalankan, mekanisme
komunikasi yang ada pun tidak hanya top-down tetapi juga harus dibuat bottum-up
sehingga dalam tataran praktispun kebijakan dapat dijalankan pada koridor yang
sesuai dengan tujuannya.
Mekanisme komunikasi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan media yang
ada dengan kunci bahwa sosialiasasi kebijakan dilaksanakan secara meluruh dan

mengemukakan apa yang dituju dari kebijakan itu sendiri, misalnya dalam contoh
sosialisasi Sekolah gratis, seharusnya tidak hanya kata gratis yang digembargemborkan, tapi gratis biaya operasional saja juga diungkapkan, sehingga hal ini
tidak terlalu melambungkan masyarakat dan menimbulkan kesalahan pemaknaan
dari masyarakat sebagai target sasaran itu sendiri.
Selain itu mekanisme komunikasi juga bisa dijalankan dengan membuat Dewan
Pendidikan dan mengaktifkan kembali fungsi Komite Sekolah sebagai badan yang
mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan
dan efisiensi pengelolan pendidikan di . Dewan pendidikan ini pada dasarnya
merupakan wadah aspirasi dari para konstituen pendidikan , khususnya dalam
menjaga agar kebijakan pendidikan di daerah yang pada awalnya ditujukan untuk
kepentingan pembangunan pendidikan rakyat daerah benar-benar berjalan sesuai
dengan tujuan awal. Posisi dewan pendidikan dan Komisi Sekolah dapat dilihat
dalam gambar berikut :
Mekanisme Komunikasi Kebijakan Pendidikan

Kebijakan

Dewan

Pendidikan

Pendidikan

Konstituen Luas
(masyarakat
daerah)

)
Penyelenggaraan
pendidikan
(manajemen
sekolah)

Komite Sekolah

Konstituen
sempit (orang
tua murid)

b. Meningkatkan Efisiensi Kelembagaan
Mencontoh kebijakan pendidikan Jembrana, yang pada awalnya merupakan
kabupaten termiskin di Provinsi Bali yang selama 5 tahun kemudian sukses
mewujudkan pemerataan pendidikan bermutu bagi rakyatnya, dimana salah satu
kebijakannya yaitu dengan melakukan efisiensi kelembagaan, dengan melakukan
penggabungan antardinas. Saran yang ingin diberikan terkait dengan hal efisiensi
mengenai penggabungan sekolah, hal ini sesuai dengan UU No.23 Tahun 2003
tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa ”Pengelolaan dana pendidikan

berdasarkan pada pada prinsip keadilan, efisiensi, tranparansi dan akuntabilitas
publik.”

Penggabungan sejumlah sekolah yang dirasa tidak efektif, juga untuk mengatasi

persoalan pemerataan pendidikan yang ada, penyebaran sekolah yang terlalu
banyak dikecamatan-kecamatan tertentu dan sekolah yang berjalan tidak efektif
perlu dikaji dan apabila memungkinkan dilakukan penggabungan sekolah,
tujuannya juga untuk mendapatkan dana yang cukup untuk menyelenggarakan
pendidikan gratis

Selain itu efisiensi ini juga merupakan salah satu solusi untuk memperluas

pendidikan itu sendiri, dari penggabungan sekolah tersebut dilakukan penataan
sekolah dengan memperhatikan jangkauan sekolah, misalnya untuk SD karena
masyarakat mempertimbangkan jarak sekolah dengan wilayah tempat tinggalnya,
maka penataan juga harus mempertimbangkan hal ini. Kemudian melihat masih
minimnya sekolah khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus, seperti
penyandang

cacat

fisik

maupun

mental,

penataan

sekolah

juga

harus

mempertimbangkan hal ini (Stephen W. Raudenbush, 2009: 170-174)
Model penataan dengan mengutamakan efisiensi ini pernah dilakukan oleh
Negara bagian Victoria, Australia, pada waktu melakukan reformasi pendidikan.
Karena keterbatasan anggaran, maka menteri pendidikan Victoria melakukan
penggabungan sekolah-sekolah negri bahkan tanpa seijin kabinet.
Efisiensi dengan latar belakang pembenaran dari penggabungan sekolah, secara
keilmuan didukung oleh pemikiran dari Herbert Simon, yang mengemukakan bahwa
alasan dari setiap penyelenggaraan desentralisasi mengacu pada dua alasan yang
sekaligus tujuan, yaitu : efficiency dan adequacy.
c. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung guna
pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun, setelah dilakukan adanya penataan sekolah maka
langkah yang dapat disarankan adalah melakukan rehabilitasi sekolah-sekolah yang
rusak serta menambah fasilitas-fasilitas pendukung Kegiatan Belajar Mengajar
seperti perpustakaan. Mekanisme cara perbaikan dan mekanisme sekolah dapat
dilakukan dengan menggunakan model alokasi bantuan blok (Block Grant) untuk
sekolah yang hal ini telah diterapkan di Kabupaten Jembrana dan terbukti efektif.
Model tersebut akan digambarkan pada gambar sebagai berikut.

Model Alokasi Bantuan Blok (Block Grant) untuk Sekolah
Pemkab
2

TIM
BAWASDA

1

3

TIM TEKNIS

4

Komite

6

SEKOLAH

Sekolah

5

Kepala Desa
BPD

d. Meningkatkan Kesejahteraan dan Kemampuan Guru
Peningkatan kualitas pendidikan perlu pula memperhatikan aspek tenaga
pendidik yang menjadi faktor kunci dari keberhasilan anak dalam hal akademik dan
pengembangan kemampuannya. Untuk itu hal yang dapat disarankan dalam
peningkatan kualitas dan kemampuan guru adalah juga dengan meningkatkan
kesejahteraan guru. Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan klasik
dari manajemen sumber daya manusia, yaitu : stick and carrot. Guru merupakan
kekuatan utama dalam menggerakkan sekolah, karena merupakan agen pengalih
ilmu kepada peserta didik. Memberikan stick kepada guru akan lebih efektif jika
diimbangi dengan memberikan imbalan yang lebih sebagai carrot-nya. Selain itu
perlu pula dilakukan pemberian pelatihan, kursus dan subsidi biaya pendidikan bagi
guru untuk meningkatkan kemampuan dan menambah wawasan yang dimiliki.
e. Strategi dalam Menjangkau Kelompok Tertentu
Pemerataan pendidikan tidak akan mencapai tujuannya jika masih ada anakanak yang tidak terjangkau pendidikan, kelompok-kelompok anak-anak tersebut
biasanya berasal dari anak-anak yang memiliki kendala baik akses fisik maupun
keuangan. Dari pengamatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang perlu
diperhatikan adalah : anak-anak jalanan, anak-anak dengan cacat fisik maupun
mental, dan anak-anak dari kelompok keluarga miskin (pemulung) dan anak-anak
yang putus sekolah karena rendahnya prestasi akademiknya.

Bagi anak-anak jalanan yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dengan
anak-anak pada umumnya karena kerasnya kehidupan jalanan, ternyata untuk
menjangkau mereka diperlukan adanya pembinaan secara khusus untuk
memberikan pengertian kepada mereka mengenai pentingnya sekolah, pembinaan
dapat dilakukan dengan Dinas lain terkait seperti Dinas Sosial, Pemuda dan
Olahraga, selain itu perlu pula dilakukan pemberdayaan dengan memberikan
pelatihan-pelatihan ketrampilan kepada mereka, mengingat latar belakangnya yang
terbiasa dengan lingkungan terbuka di jalanan, salah satu model sekolah yang dapat
dijangkau untuk mereka adalah sekolah alam (Ian Stronach and Heather Piper,2008:
15-25).
Kepada anak-anak dengan cacat fisik maupun mental, akses kepada sekolah yang
sesuai untuk mereka diperluas dan biaya yang adapun diupayakan agar tidak terlalu
memberatkan masyarakat, karena bagaimanapun mereka tetap merupakan anakanak yang menjadi target Wajar Dikdas 9 tahun yang perlu dirangkul dan
dikembalikan ke bangku sekolah dan tidak untuk disingkirkan.
Selanjutnya, bagi anak-anak dengan kondisi keluarganya yang miskin, biasanya
mereka menjadi salah satu tulang punggung keluarga dan harus bekerja daripada
sekolah. Pada anak-anak tersebut upaya untuk menjangkau harus secara
komprehensif, karena faktor kemiskinan keluarganya, maka benar-benar diberikan
sekolah gratis bagi mereka termasuk untuk biaya ’living cost’. Hal ini dapat

dilakukan dengan pemberian beasiswa kepada anak-anak tersebut. Selain itu
diperlukan pula penyuluhan mengenai pemahaman pentingnya pendidikan bagi
anak-anak. Selain itu diperlukan pula kerjasama dengan berbagai dinas terkait
untuk memberdayakan orangtua dari anak-anak tersebut agar mereka memiliki
pekerjaan dan penghasilan, sehingga anak-anak tidak lagi digunakan sebagai alat
untuk mencari uang (Stephen Machin 2008: 5-19). Laporan pencapaian indikator
MDGs tahun 2008 PBB mengemukakan bahwa MDGs hanya dapat dicapai dengan
komitmen teguh dalam pelaksanaannya untuk mencapai tujuan pembangunan
milennium,

The Millennium Development Goals can be achieved if immediate steps

are taken to implement existing commitments. Reaching our goals for development
around the world is not only vital to building better, healthier and decent lives for
millions of people, it is also essential to building enduring global peace and security.
(UNDP, 2008).

Referensi
Antonia Kupfer. 2008. Diminished States? National Power in European Education Policy ,
British Journal of Educational Studies, Vol. 56, No. 3, pp. 286-303
Brad Olsen and Dena Sexton, 2009, Threat Rigidity, School Reform, and How Teachers
View Their Work Inside CurrentEducation Policy Contexts, American Educational
Research Journal, Vol. 46, No. 1, pp. 9-44
Daniel L. Sufflebeam, dan Anthony J. Shinkfield.1986. Systematic Evaluation: A Self
Instructional guide to Theory and Practice. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing
Douglas S. Reeds, 2009, Is There an Expectations Gap? Educational Federalism and the
Demographic Distribution ofProficiency Cut Scores, American Educational Research
Journal, Vol. 46, No. 3, pp. 718-742
G.F Madaus, M.S.Scriven, & D.L. Stufflebeam (eds). 1985. Evaluation Model: Veiwpoints
on educational and human service evaluation. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing
Joint Committee.1981. Standards for Evaluation of Educational Programs, Projects, and
Materials. New York: McGraw-Hill
Gregory J. Marchant, 2011, BackTalk: Myth-Based Education Policy, The Phi Delta
Kappan, Vol. 92, No. 7 , p. 80
Ian Stronach and Heather Piper, 2008, Can Liberal Education Make a Comeback? The
Case of "Relational Touch" at Summerhill School, American Educational Research
Journal, Vol. 45, No. 1, pp. 6-37
Jeroen Smits and Hyunjoon Park, 2009, Five Decades of Educational Assortative Mating
in 10 East Asian Societies, Social Forces, Vol. 88, No. 1, pp. 227-255
Marcus B. Weaver-Hightower, 2008, An Ecology Metaphor for Educational Policy
Analysis: A Call to Complexity Educational Researcher. Vol. 37, No. 3, pp. 153-167
Marvin A. Titus, 2009, The Production of Bachelor's Degrees and Financial Aspects of
State Higher Education Policy:A Dynamic Analysis, The Journal of Higher Education, Vol.
80, No. 4, pp. 439-468
Michael Howlett, 2009, Governance Modes, Policy Regimes and Operational Plans: A
Multi-Level Nested Model of Policy Instrument Choice and Policy Design, Policy Sciences,
Vol. 42, No. 1, pp. 73-89

Nicola Jones with Bekele Tefera and Tassew Woldehanna, 2008, Childhood Poverty and
Evidence-Based Policy Engagement in Ethiopia, Development in Practice, Vol. 18, No. 3,
pp. 371-384
Pam Watson, 2009, Regional Themes and Global Means in Supra-National Higher
Education Policy, Higher Education, Vol. 58, No. 3, pp. 419-438
Stephen Machin, 2008, The New Economics of Education: Methods, Evidence and Policy,
Journal of Population Economics, Vol. 21, No. 1, pp. 1-19
Stephen W.Rudenbush, 2008, Advancing Educational Policy by Advancing Research on
Instruction American Educational Research Journal, Vol. 45, No. 1, pp. 206-230
-----------------------------, 2009, The Brown Legacy and the O'Connor Challenge:
Transforming Schools in the Images ofChildren's Potential, Educational Researcher, Vol.
38, No. 3 (Apr., 2009), pp. 169-180
United Nations. 2003. Indikators for Monitoring the Millennium Development Goals. New
York : UNDP.
Zhu Xufeng, 2009, The Influence of Think Tanks in the Chinese Policy Process: Different
Ways and Mechanisms. Asian Survey, Vol. 49, No. 2, pp. 333-357