Ratifakasi Perjanjian Internasional di N
RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL
NEGARA VIETNAM
Oleh : Irawan Suharto
Pendahuluan
Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum
internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di
dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara
dengan organisasi internasional,maupun antara organisasi internasional dengan organisasi
ternasional lainnya.
Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian
internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat
antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986
tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi
Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan
adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan Perjanjian
Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.
Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian
internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau
traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional.1 Merujuk pada Konvensi Wina 1969,
pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie2
1 ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The International Law Commission, Vol.
III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231
2 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3 edition, 1979), hlm. 602. Lihat
pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.
rd
“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or
more related instruments and what ever its particular designation”.
adalah :
Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk
tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua
atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.
Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional
dengan rumusan yang lebih luas3, yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu
untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek
hokum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan ratifikasi perjanjian internasional menurut konvensi wina ?
2. Bagaimana proses dan pelaksanaan ratifikasi perjanjian internasional di negara vietnam?
Kerangka Teoritik
Hubungan antara hukum internasional dan hukum dalam negeri dapat dijelaskan oleh dari
membandingkan teori monisme dan dualisme. Teori monisme berpendapat bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari sistem hukum yang sama, yang dapat
diberlakukan dalam hukum nasional atau internasional, dan internasional akan berlaku di mana
ada konflik. Sebaliknya, teori dualisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum
dalam negeri beroperasi di berbagai bidang dan mengatur sistem hukum yang berbeda
(Fitzmaurice 1957). Berdasarkan teori dualisme, hukum nasional mengatur kegiatan internal
3 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84.
negara dan konstituennya dan hukum internasional mengatur hubungan antara negara-negara.
Hukum internasional harus diratifikasi ke dalam hukum nasional sebelum membuat 4
Sehubungan dengan status perjanjian internasional dalam hukum nasional, doktrin inkorporasi
dan transformasi mencerminkan penerapan masing-masing antara teori monoisme dan dualisme.
Doktrin inkorporasi, yang mencerminkan teori monoisme, berpendapat bahwa aturan hukum
internasional menjadi bagian dari hukum nasional tanpa tegas diadopsi oleh badan legislatif atau
pengadilan negari (Shaw 1997) -yang Hasil di penggabungan ke dalam sistem hukum nasional.
Hukum internasional dikatakan self-excuting. Sehubungan dengan perjanjian, perjanjian
diratifikasi oleh negara akan dimasukkan ke dalam hukum nasional segera di berlakunya.
Sebaliknya, doktrin transformasi, yang mencerminkan teori dualis, berpendapat bahwa
aturan hukum internasional tidak menjadi bagian dari hukum nasional sampai mereka telah tegas
dan sengaja diberlakukan dalam hukum nasional dengan menggunakan konstitusional yang
sesuai, misalnya, oleh bagian hukum melalui badan legislatif negara (Shaw 1997). Tanpa
transformasi, hak dan kewajiban dalam perjanjian internasional tidak dapat diberlakukan di ranah
nasional; mereka beroperasi hanya dalam mekanisme sengketa internasional5
Sebagian besar dunia, dengan pengecualian dari sejumlah wilayah saat ini dan mantan dari
Kerajaan Inggris dan koleksi negara lain, mengambil pendekatan penggabungan perjanjian
keputusan. Ini sebagian besar merupakan hasil dari doktrin fundamental pacta sund servanda.
Prinsipnya diberi kekuatan perjanjian dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun
4 Balkin, R., 1997. ‘Chapter 5: International law and domestic law’, in S. Blay, R. Piotrowicz
and B.M. Tsamenyi, Public International Law: an Australian perspective, Oxford University
Press, Melbourne:119–45.
5 Ibid
1969, Pasal 26 yang mengatur bahwa "setiap perjanjian internasional yang ada akan mengikat
semua Pihak Negara dan dilaksanakan secara sukarela oleh mereka '(Vu Duc Long, akan datang).
Pembahasan
Ketentuan Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina
Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,
mengatur tentang perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum
internasional. Konvensi Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang
menandatangani konvensi tersebut. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif.6
Konvensi Wina mengatur ketentuan tentang ratifikasi pada Pasal 14 ayat 1 yang menyatakan
sebagai berikut :
1. The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by ratification when :
a. the treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification;
b. it is otherwise established that the negotiating states were agreed that ratification
should be required;
c. the representative of the state has signed the treaty subject to ratification; or
d. the intention of the state to sign the treaty subject to ratification appears from the full
powers of its representative or was expressed during the negotiation.7
1. (Persetujuan suatu negara terikat pada suatu perjanjian dinyatakan dengan cara ratifikasi,
apabila:
a. perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu
dinyatakan dengan cara ratifikasi;
b. ditentukan sebaliknya bahwa negara-negara yang melakukan perundingan
menyepakati bahwa dibutuhkan adanya ratifikasi;
c. wakil dari negara yang telah mendatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi;
atau
d. maksud dari negara yang menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi
yang tampak dari kuasa penuh dari wakilnya itu atau dinyatakan selama dalam
perundingan).
6 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal. 83.
7 Vienna Convention On The Law of Treaties, done at Vienna, on 23 May 1969, Come into
force on 27 January 1980.
Meskipun Konvensi Wina 1969 secara substansial mencantumkan ratifikasi, namun secara
detail bagaimana ratifikasi tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara, Konvensi Wina tidak
mengatur.
Kenyataannya prosedur ratifikasi ditentukan oleh hukum nasional sesuai dengan konstitusi
masing-masing negara.8 Dengan adanya perumusan tentang ratifikasi sebagai “the international
act so named by a state establishes on the international plane its consent to be bound by a
treaty”, Kovensi Wina menghindari perumusan prosedur ratifikasi. Karena praktik dari berbagai
negara menunjukan proses atau cara ratifikasi yang berbeda-beda, seperti telah dikemukakan
oleh Gerhard von Glahn “Virtually every state has developed detailed domestic regulations
spelling out the process of treaty ratification”. Di Amerika Serikat misalnya, seperti juga di
Indonesia, ratifikasi oleh badan legislatif dan eksekutif. Di Inggris, ratifikasi dilakukan oleh
takhta atas nasihat menteri yang bersangkutan. Di negara-negara tertentu lainya ratifikasi
dilakukan oleh kabinet atas saran menteri yang bersangkutan.9
Proses Ratifikasi Perjanjian
Dalam sudut pandang negara Vietnam ratifikasi perjanjian internasional sendiri diatur dalam
Undang-undang tahun 1998 yang menggantikan Undang-undang 1989 yang sudah, dimana
peraturan ini lebih luas dan mengatasi beberapa kekurangan dari pendahulunya. Khususnya, ia
menetapkan tahu lebih jelas aturan yang akan diterapkan oleh Vietnam dalam negosiasi
perjanjian, tanda tangan dan ratifikasi dan efek perjanjian hukum nasional . Tujuan dari peraturan
ini adalah untuk menentukan aturan yang berkaitan dengan praktek perjanjian di Vietnam dan
8 Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999, hal. 131.
9 Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, hal. 7.
memberikan rinci untuk pelaksanaan kekuasaan konstitusional. Peraturan ini terdiri dari enam
bab, yang kemudian dibagi lagi menjadi 35 pasal.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan peraturan jika berkenaan dengan (pasal
4) :
1.
2.
3.
4.
Keamanan nasional, perbatasan, territorial dan kedaulatan negara (pasal 4 (2)(b))
hak dan kewajiban warga negara (Pasal 4 (2) (b ))
organisasi regional dan internasional penting yang universal (Pasal 4 (2) (isi c))
kesepakatan yang lain yang disetujui 0leh para penandatangan (Pasal 4 (2) (d)).
Negara dengan sistem perjanjian incorporation biasanya membutuhkan persetujuan parlemen
dari perjanjian yang berisi ketentuan bertentangan dengan, atau belum dinyatakan dalam, hukum
yang ada. Meskipun Majelis Nasional tidak kompeten untuk memutuskan apakah atau tidak
untuk memulai negosiasi dan menandatangani perjanjian internasional,10 proses evaluasi dan
pertimbangan oleh pemerintah dan Majelis Nasional merupakan langkah pertama di Vietnam
menuju suatu proses persetujuan parlemen.
Undang-undang memberikan Majelis Nasional untuk menerima informasi yang luas untuk
membantu pertimbangannya perjanjian. Pasal 5 (4) menyatakan bahwa laporan mengusulkan
negosiasi dan penandatanganan perjanjian internasional harus disertakan :
•
•
•
•
•
•
tujuan perjanjian, terutama dampaknya pada hak dan kewajiban Vietnam
evaluasi politik, ekonomi dan dampak keuangan sosial
evaluasi ketaatan Pasal 3 peraturan dan ketentuan-ketentuan lain dari hukum
pendapat dari Kementerian Luar Negeri dan departemen terkait lainnya
judul perjanjian, nama yang ditandatangani, dan jangka waktu yang untuk penerapan
masalah yang memerlukan komentar.
10 See Article 6 of the Ordinance and Article 84(13) of the Constitution.
Kemudian dalam Pasal 6 berisi rincian lembaga yang kompeten untuk memutuskan apakah
Vietnam akan bernegosiasi dan menandatangani perjanjian setelah proposal untuk negosiasi dan
tanda tangan telah dipertimbangkan sesuai dengan Pasal 5. Yaitu :
• presiden, yang akan melakukannya atas nama negara
• Pemerintah atas nama pemerintah
• Komite Tetap Majelis Nasional, dalam konsultasi dengan pemerintah, yang memutuskan
negosiasi dan penandatanganan perjanjian internasional oleh Mahkamah Agung Rakyat
dan Rakyat Agung procuracy
• kepala departemen, dengan izin dari Perdana Menteri, atas nama kementerian masingmasing.
Proses ratifikasi dan persetujuan perjanjian diatur dalam Pasal 9-11,10 Pasal 9 menyatakan
bahwa lembaga mengusulkan perjanjian internasional harus melaporkan kepada pemerintah
dalam waktu 15 hari dari penandatanganan, menyediakan ringkasan dari isi perjanjian dan
proposal untuk ratifikasi atau approval.11
Pasal 9 (2) menyatakan bahwa dokumen-dokumen mengusulkan ratifikasi harus menyertakan
•
•
•
•
evaluasi dampak perjanjian pada Vietnam
proposal yang diperlukan pada ratifikasi atau persetujuan
pendapat dari kementerian yang bersangkutan
isi setiap reservasi.
Pasal 10 menyatakan bahwa perjanjian yang membutuhkan ratifikasi adalah mereka
• diatur dalam Pasal 4 (2) (a) dan 4 (2) (b)
• yang berisi ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan, atau belum diatur dalam,
hukum Vietnam
11 A similar provision was contained in Article 7 of the 1989 Ordinance.
Dalam proses ratifikasi sendiri pemerintah harus mengusulkan kesimpulan dan perjanjian
berkoordinasi dengan departemen luar negeri untuk menyerahkan menyerahkan kepada presiden
proposal untuk ratifikasi. Presiden memiliki 30 hari untuk memberikan pendapat atas pengajuan.
Setelah keputusan untuk meratifikasi telah dibuat, Departemen Luar Negeri memiliki 15 hari
untuk menempatkan prosedur diplomatik yang diperlukan untuk menyelesaikan perjanjian,
termasuk memberitahukan instansi terkait efek perjanjian itu.
Proses persetujuan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 11. 12 pasal tersebut
menyatakan bahwa perjanjian internasional yang ditandatangani atas nama pemerintah atau
kementerian dan yang berisi ketentuan tentang persetujuan atau ketentuan yang bertentangan
dengan atau belum diatur oleh dokumen hukum dari Pemerintah memerlukan persetujuan dari
pemerintah. pasal 11 (3) dan 11 (4) detail proses persetujuan, yang mirip dengan proses ratifikasi
yang diuraikan di atas.
Bahasa yang digunakan dalam ratifikasi ialah Bahasa asing yang harus diterjemahkan dalam
Bahasa Vietnam sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 13. Pasal 17 berkaitan dengan efek
perjanjian internasional dan menyatakan bahwa perjanjian internasional akan mulai berlaku di
Vietnam sesuai dengan ketentuan perjanjian atau di bawah pengaturan lain yang dibuat antara
pihak penandatanganan. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa perjanjian mungkin berlaku
sementara dalam keadaan di mana kesimpulan penuh perjanjian adalah tergantung pada
terjadinya peristiwa kemudian di bawah kendali negara.
Pelaksanaan perjanjian internasional
12 This was previously set out in similar terms in Article 8 of the 1989 Ordinance.
Pasal 23 mengatur bahwa Vietnam harus teliti dalam mengamati perjanjian internasional yang
telah diratifikasi . Pasal 24 menjamin pelaksanaan perjanjian internasional harus sesuai syarat
berikut :
• Instansi yang mengusulkan kesimpulan dari perjanjian internasional tunduk kepada rencana
pemerintah tentang pelaksanaan perjanjian tersebut, jelas menyatakan jadwal pelaksanaan,
langkah-langkah organisasi, manajerial dan keuangan dan saran lain untuk menjamin
pelaksanaan perjanjian.
• Kementerian dan / atau kementerian yang terkait wajib, dalam fungsi mereka, tugas dan
kekuasaan, melaksanakan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Vietnam.
• dalam kasus di mana sebuah perjanjian internasional dilanggar, lembaga yang mengusulkan
ratifikasi dari perjanjian atau lembaga negara yang bersangkutan akan berkoordinasi dengan
Departemen Luar Negeri dalam mengusulkan langkah-langkah pemerintah yang diperlukan
untuk melindungi hak-hak dan kepentingan Vietnam yang sah.
• setiap tahun, dan ketika diminta, lembaga yang mengusulkan ratifikasi dari perjanjian
internasional dan lembaga negara terkait harus menyampaikan kepada pemerintah dan
laporan presiden tentang pelaksanaan perjanjian internasional menyimpulkan. Laporan
tersebut juga harus disampaikan ke Kementerian Luar Negeri untuk monitoring.
• dalam kasus di mana pelaksanaan perjanjian internasional mensyaratkan bahwa dokumen
hukum dari Vietnam dapat diubah, ditambah, dibatalkan atau diganti, lembaga yang
mengusulkan ratifikasi dari perjanjian dan lembaga negara terkait segera akan mengatur
perubahan-perubahan tersebut, baik secara langsung atau melalui lain lembaga negara
terkait, sesuai dengan UU.
KESIMPULAN
Meskipun undang memberikan aturan rinci tentang prosedur mengenai kesimpulan,
proses dan pelaksanaan perjanjian di Vietnam, namun tidak secara jelas menentukan apakah
perjanjian yang telah diratifikasi adalah self-executing atau membutuhkan berlakunya undangundang untuk memasukkan kewajiban perjanjian dalam hukum nasional Vietnam. Pertanyaan
apakah proses pembuatan perjanjian-mencerminkan penggabungan atau transformasi pendekatan
adalah salah satu yang penting. Karena Vietnam jarang menetapkan undang-undang untuk
'mengubah' ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, jika peraturan dan
praktek di Vietnam mencerminkan pendekatan transformasi, maka kekuasaan hukum yang
dibentuk dalam perjanjian internasional tidak akan menggantikan hukum nasional di Vietnam,
mereka tidak akan dapat dilaksanakan dan Vietnam tidak akan memenuhi kewajiban
internasionalnya.
Pasal dalam UU yang memberikan aturan mengenai pengambilan perjanjian diperiksa,
untuk menganalisis efek perjanjian internasional dalam rezim hukum sosialis Vietnam, dan untuk
menyelidiki pelaksanaan negara sehubungan dengan penerapan perjanjian dan implementasi
untuk menentukan apakah penggabungan atau transformasi approach pengambilan perjanjian
berlaku di Vietnam.
DAFTAR PUSTAKA
Balkin, R., 1997. ‘Chapter 5: International law and domestic law’, in S. Blay, R. Piotrowicz and
B.M. Tsamenyi, Public International Law: an Australian perspective, Oxford
University Press, Melbourne:119–45.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, 2005
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999.
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition,
1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003
NEGARA VIETNAM
Oleh : Irawan Suharto
Pendahuluan
Perjanjian internasional merupakan satu bagian yang sangatlah penting dalam hukum
internasional. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antar negara-negara di
dunia, yang berkembang pada era globalisasi ini sehingga mencakup hubungan antar negara
dengan organisasi internasional,maupun antara organisasi internasional dengan organisasi
ternasional lainnya.
Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian
internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat
antar negara (Vienna Convention on The Law of Treaties) dan Konvensi Wina Tahun 1986
tentang Perjanjian Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi
Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations). Dalam tulisan ini yang akan digunakan
adalah Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan Perjanjian
Internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.
Terminologi treaty yang digunakan dalam Konvensi Wina 1969 menunjuk pada perjanjian
internasional secara umum dan bukan hanya menunjuk pada definisi sempit dari treaty atau
traktat sebagai jenis dari suatu perjanjian internasional.1 Merujuk pada Konvensi Wina 1969,
pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie2
1 ILC Draft Articles with Commentaries, Sidang ke-18, 1966, Yearbook of The International Law Commission, Vol.
III, hlm. 189; Public International Law, Edisi ke-3, Alina Kaczorowska, Old Bailey Press, 2005, hlm. 231
2 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3 edition, 1979), hlm. 602. Lihat
pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.
rd
“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or
more related instruments and what ever its particular designation”.
adalah :
Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk
tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua
atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.
Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional
dengan rumusan yang lebih luas3, yaitu:
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu
untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek
hokum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan ratifikasi perjanjian internasional menurut konvensi wina ?
2. Bagaimana proses dan pelaksanaan ratifikasi perjanjian internasional di negara vietnam?
Kerangka Teoritik
Hubungan antara hukum internasional dan hukum dalam negeri dapat dijelaskan oleh dari
membandingkan teori monisme dan dualisme. Teori monisme berpendapat bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari sistem hukum yang sama, yang dapat
diberlakukan dalam hukum nasional atau internasional, dan internasional akan berlaku di mana
ada konflik. Sebaliknya, teori dualisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum
dalam negeri beroperasi di berbagai bidang dan mengatur sistem hukum yang berbeda
(Fitzmaurice 1957). Berdasarkan teori dualisme, hukum nasional mengatur kegiatan internal
3 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84.
negara dan konstituennya dan hukum internasional mengatur hubungan antara negara-negara.
Hukum internasional harus diratifikasi ke dalam hukum nasional sebelum membuat 4
Sehubungan dengan status perjanjian internasional dalam hukum nasional, doktrin inkorporasi
dan transformasi mencerminkan penerapan masing-masing antara teori monoisme dan dualisme.
Doktrin inkorporasi, yang mencerminkan teori monoisme, berpendapat bahwa aturan hukum
internasional menjadi bagian dari hukum nasional tanpa tegas diadopsi oleh badan legislatif atau
pengadilan negari (Shaw 1997) -yang Hasil di penggabungan ke dalam sistem hukum nasional.
Hukum internasional dikatakan self-excuting. Sehubungan dengan perjanjian, perjanjian
diratifikasi oleh negara akan dimasukkan ke dalam hukum nasional segera di berlakunya.
Sebaliknya, doktrin transformasi, yang mencerminkan teori dualis, berpendapat bahwa
aturan hukum internasional tidak menjadi bagian dari hukum nasional sampai mereka telah tegas
dan sengaja diberlakukan dalam hukum nasional dengan menggunakan konstitusional yang
sesuai, misalnya, oleh bagian hukum melalui badan legislatif negara (Shaw 1997). Tanpa
transformasi, hak dan kewajiban dalam perjanjian internasional tidak dapat diberlakukan di ranah
nasional; mereka beroperasi hanya dalam mekanisme sengketa internasional5
Sebagian besar dunia, dengan pengecualian dari sejumlah wilayah saat ini dan mantan dari
Kerajaan Inggris dan koleksi negara lain, mengambil pendekatan penggabungan perjanjian
keputusan. Ini sebagian besar merupakan hasil dari doktrin fundamental pacta sund servanda.
Prinsipnya diberi kekuatan perjanjian dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun
4 Balkin, R., 1997. ‘Chapter 5: International law and domestic law’, in S. Blay, R. Piotrowicz
and B.M. Tsamenyi, Public International Law: an Australian perspective, Oxford University
Press, Melbourne:119–45.
5 Ibid
1969, Pasal 26 yang mengatur bahwa "setiap perjanjian internasional yang ada akan mengikat
semua Pihak Negara dan dilaksanakan secara sukarela oleh mereka '(Vu Duc Long, akan datang).
Pembahasan
Ketentuan Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina
Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,
mengatur tentang perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum
internasional. Konvensi Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang
menandatangani konvensi tersebut. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif.6
Konvensi Wina mengatur ketentuan tentang ratifikasi pada Pasal 14 ayat 1 yang menyatakan
sebagai berikut :
1. The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by ratification when :
a. the treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification;
b. it is otherwise established that the negotiating states were agreed that ratification
should be required;
c. the representative of the state has signed the treaty subject to ratification; or
d. the intention of the state to sign the treaty subject to ratification appears from the full
powers of its representative or was expressed during the negotiation.7
1. (Persetujuan suatu negara terikat pada suatu perjanjian dinyatakan dengan cara ratifikasi,
apabila:
a. perjanjian itu sendiri menentukan bahwa persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu
dinyatakan dengan cara ratifikasi;
b. ditentukan sebaliknya bahwa negara-negara yang melakukan perundingan
menyepakati bahwa dibutuhkan adanya ratifikasi;
c. wakil dari negara yang telah mendatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi;
atau
d. maksud dari negara yang menandatangani perjanjian tunduk pada tindakan ratifikasi
yang tampak dari kuasa penuh dari wakilnya itu atau dinyatakan selama dalam
perundingan).
6 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal. 83.
7 Vienna Convention On The Law of Treaties, done at Vienna, on 23 May 1969, Come into
force on 27 January 1980.
Meskipun Konvensi Wina 1969 secara substansial mencantumkan ratifikasi, namun secara
detail bagaimana ratifikasi tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara, Konvensi Wina tidak
mengatur.
Kenyataannya prosedur ratifikasi ditentukan oleh hukum nasional sesuai dengan konstitusi
masing-masing negara.8 Dengan adanya perumusan tentang ratifikasi sebagai “the international
act so named by a state establishes on the international plane its consent to be bound by a
treaty”, Kovensi Wina menghindari perumusan prosedur ratifikasi. Karena praktik dari berbagai
negara menunjukan proses atau cara ratifikasi yang berbeda-beda, seperti telah dikemukakan
oleh Gerhard von Glahn “Virtually every state has developed detailed domestic regulations
spelling out the process of treaty ratification”. Di Amerika Serikat misalnya, seperti juga di
Indonesia, ratifikasi oleh badan legislatif dan eksekutif. Di Inggris, ratifikasi dilakukan oleh
takhta atas nasihat menteri yang bersangkutan. Di negara-negara tertentu lainya ratifikasi
dilakukan oleh kabinet atas saran menteri yang bersangkutan.9
Proses Ratifikasi Perjanjian
Dalam sudut pandang negara Vietnam ratifikasi perjanjian internasional sendiri diatur dalam
Undang-undang tahun 1998 yang menggantikan Undang-undang 1989 yang sudah, dimana
peraturan ini lebih luas dan mengatasi beberapa kekurangan dari pendahulunya. Khususnya, ia
menetapkan tahu lebih jelas aturan yang akan diterapkan oleh Vietnam dalam negosiasi
perjanjian, tanda tangan dan ratifikasi dan efek perjanjian hukum nasional . Tujuan dari peraturan
ini adalah untuk menentukan aturan yang berkaitan dengan praktek perjanjian di Vietnam dan
8 Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999, hal. 131.
9 Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, hal. 7.
memberikan rinci untuk pelaksanaan kekuasaan konstitusional. Peraturan ini terdiri dari enam
bab, yang kemudian dibagi lagi menjadi 35 pasal.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan peraturan jika berkenaan dengan (pasal
4) :
1.
2.
3.
4.
Keamanan nasional, perbatasan, territorial dan kedaulatan negara (pasal 4 (2)(b))
hak dan kewajiban warga negara (Pasal 4 (2) (b ))
organisasi regional dan internasional penting yang universal (Pasal 4 (2) (isi c))
kesepakatan yang lain yang disetujui 0leh para penandatangan (Pasal 4 (2) (d)).
Negara dengan sistem perjanjian incorporation biasanya membutuhkan persetujuan parlemen
dari perjanjian yang berisi ketentuan bertentangan dengan, atau belum dinyatakan dalam, hukum
yang ada. Meskipun Majelis Nasional tidak kompeten untuk memutuskan apakah atau tidak
untuk memulai negosiasi dan menandatangani perjanjian internasional,10 proses evaluasi dan
pertimbangan oleh pemerintah dan Majelis Nasional merupakan langkah pertama di Vietnam
menuju suatu proses persetujuan parlemen.
Undang-undang memberikan Majelis Nasional untuk menerima informasi yang luas untuk
membantu pertimbangannya perjanjian. Pasal 5 (4) menyatakan bahwa laporan mengusulkan
negosiasi dan penandatanganan perjanjian internasional harus disertakan :
•
•
•
•
•
•
tujuan perjanjian, terutama dampaknya pada hak dan kewajiban Vietnam
evaluasi politik, ekonomi dan dampak keuangan sosial
evaluasi ketaatan Pasal 3 peraturan dan ketentuan-ketentuan lain dari hukum
pendapat dari Kementerian Luar Negeri dan departemen terkait lainnya
judul perjanjian, nama yang ditandatangani, dan jangka waktu yang untuk penerapan
masalah yang memerlukan komentar.
10 See Article 6 of the Ordinance and Article 84(13) of the Constitution.
Kemudian dalam Pasal 6 berisi rincian lembaga yang kompeten untuk memutuskan apakah
Vietnam akan bernegosiasi dan menandatangani perjanjian setelah proposal untuk negosiasi dan
tanda tangan telah dipertimbangkan sesuai dengan Pasal 5. Yaitu :
• presiden, yang akan melakukannya atas nama negara
• Pemerintah atas nama pemerintah
• Komite Tetap Majelis Nasional, dalam konsultasi dengan pemerintah, yang memutuskan
negosiasi dan penandatanganan perjanjian internasional oleh Mahkamah Agung Rakyat
dan Rakyat Agung procuracy
• kepala departemen, dengan izin dari Perdana Menteri, atas nama kementerian masingmasing.
Proses ratifikasi dan persetujuan perjanjian diatur dalam Pasal 9-11,10 Pasal 9 menyatakan
bahwa lembaga mengusulkan perjanjian internasional harus melaporkan kepada pemerintah
dalam waktu 15 hari dari penandatanganan, menyediakan ringkasan dari isi perjanjian dan
proposal untuk ratifikasi atau approval.11
Pasal 9 (2) menyatakan bahwa dokumen-dokumen mengusulkan ratifikasi harus menyertakan
•
•
•
•
evaluasi dampak perjanjian pada Vietnam
proposal yang diperlukan pada ratifikasi atau persetujuan
pendapat dari kementerian yang bersangkutan
isi setiap reservasi.
Pasal 10 menyatakan bahwa perjanjian yang membutuhkan ratifikasi adalah mereka
• diatur dalam Pasal 4 (2) (a) dan 4 (2) (b)
• yang berisi ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan, atau belum diatur dalam,
hukum Vietnam
11 A similar provision was contained in Article 7 of the 1989 Ordinance.
Dalam proses ratifikasi sendiri pemerintah harus mengusulkan kesimpulan dan perjanjian
berkoordinasi dengan departemen luar negeri untuk menyerahkan menyerahkan kepada presiden
proposal untuk ratifikasi. Presiden memiliki 30 hari untuk memberikan pendapat atas pengajuan.
Setelah keputusan untuk meratifikasi telah dibuat, Departemen Luar Negeri memiliki 15 hari
untuk menempatkan prosedur diplomatik yang diperlukan untuk menyelesaikan perjanjian,
termasuk memberitahukan instansi terkait efek perjanjian itu.
Proses persetujuan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 11. 12 pasal tersebut
menyatakan bahwa perjanjian internasional yang ditandatangani atas nama pemerintah atau
kementerian dan yang berisi ketentuan tentang persetujuan atau ketentuan yang bertentangan
dengan atau belum diatur oleh dokumen hukum dari Pemerintah memerlukan persetujuan dari
pemerintah. pasal 11 (3) dan 11 (4) detail proses persetujuan, yang mirip dengan proses ratifikasi
yang diuraikan di atas.
Bahasa yang digunakan dalam ratifikasi ialah Bahasa asing yang harus diterjemahkan dalam
Bahasa Vietnam sebagaimana yang sudah diatur dalam pasal 13. Pasal 17 berkaitan dengan efek
perjanjian internasional dan menyatakan bahwa perjanjian internasional akan mulai berlaku di
Vietnam sesuai dengan ketentuan perjanjian atau di bawah pengaturan lain yang dibuat antara
pihak penandatanganan. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa perjanjian mungkin berlaku
sementara dalam keadaan di mana kesimpulan penuh perjanjian adalah tergantung pada
terjadinya peristiwa kemudian di bawah kendali negara.
Pelaksanaan perjanjian internasional
12 This was previously set out in similar terms in Article 8 of the 1989 Ordinance.
Pasal 23 mengatur bahwa Vietnam harus teliti dalam mengamati perjanjian internasional yang
telah diratifikasi . Pasal 24 menjamin pelaksanaan perjanjian internasional harus sesuai syarat
berikut :
• Instansi yang mengusulkan kesimpulan dari perjanjian internasional tunduk kepada rencana
pemerintah tentang pelaksanaan perjanjian tersebut, jelas menyatakan jadwal pelaksanaan,
langkah-langkah organisasi, manajerial dan keuangan dan saran lain untuk menjamin
pelaksanaan perjanjian.
• Kementerian dan / atau kementerian yang terkait wajib, dalam fungsi mereka, tugas dan
kekuasaan, melaksanakan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Vietnam.
• dalam kasus di mana sebuah perjanjian internasional dilanggar, lembaga yang mengusulkan
ratifikasi dari perjanjian atau lembaga negara yang bersangkutan akan berkoordinasi dengan
Departemen Luar Negeri dalam mengusulkan langkah-langkah pemerintah yang diperlukan
untuk melindungi hak-hak dan kepentingan Vietnam yang sah.
• setiap tahun, dan ketika diminta, lembaga yang mengusulkan ratifikasi dari perjanjian
internasional dan lembaga negara terkait harus menyampaikan kepada pemerintah dan
laporan presiden tentang pelaksanaan perjanjian internasional menyimpulkan. Laporan
tersebut juga harus disampaikan ke Kementerian Luar Negeri untuk monitoring.
• dalam kasus di mana pelaksanaan perjanjian internasional mensyaratkan bahwa dokumen
hukum dari Vietnam dapat diubah, ditambah, dibatalkan atau diganti, lembaga yang
mengusulkan ratifikasi dari perjanjian dan lembaga negara terkait segera akan mengatur
perubahan-perubahan tersebut, baik secara langsung atau melalui lain lembaga negara
terkait, sesuai dengan UU.
KESIMPULAN
Meskipun undang memberikan aturan rinci tentang prosedur mengenai kesimpulan,
proses dan pelaksanaan perjanjian di Vietnam, namun tidak secara jelas menentukan apakah
perjanjian yang telah diratifikasi adalah self-executing atau membutuhkan berlakunya undangundang untuk memasukkan kewajiban perjanjian dalam hukum nasional Vietnam. Pertanyaan
apakah proses pembuatan perjanjian-mencerminkan penggabungan atau transformasi pendekatan
adalah salah satu yang penting. Karena Vietnam jarang menetapkan undang-undang untuk
'mengubah' ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, jika peraturan dan
praktek di Vietnam mencerminkan pendekatan transformasi, maka kekuasaan hukum yang
dibentuk dalam perjanjian internasional tidak akan menggantikan hukum nasional di Vietnam,
mereka tidak akan dapat dilaksanakan dan Vietnam tidak akan memenuhi kewajiban
internasionalnya.
Pasal dalam UU yang memberikan aturan mengenai pengambilan perjanjian diperiksa,
untuk menganalisis efek perjanjian internasional dalam rezim hukum sosialis Vietnam, dan untuk
menyelidiki pelaksanaan negara sehubungan dengan penerapan perjanjian dan implementasi
untuk menentukan apakah penggabungan atau transformasi approach pengambilan perjanjian
berlaku di Vietnam.
DAFTAR PUSTAKA
Balkin, R., 1997. ‘Chapter 5: International law and domestic law’, in S. Blay, R. Piotrowicz and
B.M. Tsamenyi, Public International Law: an Australian perspective, Oxford
University Press, Melbourne:119–45.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, 2005
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1999.
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition,
1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003