1 Karawitan Inovatif Ngastiti I Wayan Tilem Arya Sastrawan NIM. 200802029 Pembimbing I, Pembimbing II, I Wayan Suharta, SSkar., M.Si Ni Putu Tisna Andayani, S.S., M.Hum NIP. 196307301990021001 NIP. 197805292005012001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR Alama

  

Karawitan Inovatif Ngastiti

  

I Wayan Tilem Arya Sastrawan

NIM. 200802029

Pembimbing I, Pembimbing II,

  

I Wayan Suharta, SSkar., M.Si Ni Putu Tisna Andayani, S.S., M.Hum

NIP. 196307301990021001 NIP. 197805292005012001

  

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

Alamat: Jalan Nusa Indah Denpasar, Telp: (0361) 227316, Fax: (0361) 236100

e-mail: tilemsastrawan@isi-dps.ac.id

Abstrak

  Dalam mewujudkan sebuah karya seni karawitan diharapkan memiliki nilai spirit dan bobot yang tinggi. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan sebuah keuletan dan kesabaran dalam proses penataan sampai terwujudnya ide tersebut yang diharapkan bisa diterima oleh masyarakat luas. Agar mampu tampil sebagai sebuah garapan karawitan yang berkualitas serta mengacu pada akar-akar budaya setempat serta nilai-nilai estetika dan etika dalam berkarya, maka sebagai dasar pijakannya adalah proses perenungan sebagai seorang seniman yang lahir di desa, akrab dengan alam sekitar serta berbaur dengan masyarakat yang tampil sederhana apa adanya, serta penuh dengan pengabdian dalam tingkah laku, yang bermula dari proses pemurnian hati. Agar mampu tampil sebagai sebuah garapan karawitan yang berkualitas serta mengacu pada akar-akar budaya setempat serta nilai-nilai estetika dan etika dalam berkarya, maka sebagai dasar pijakannya adalah proses perenungan sebagai seorang seniman yang lahir di desa, akrab dengan alam sekitar serta berbaur dengan masyarakat yang tampil sederhana apa adanya, serta penuh dengan pengabdian dalam tingkah laku, yang bermula dari proses pemurnian hati. Inovasi baru yang dimaksud dalam karya karawitan Ngastiti ini adalah bagaimana penerapan teknik atau motif permainan instrumen yang digunakan khususnya penggunaaan Bonang Panembung dan Bonang Panerus yang dimainkan tidak seperti layaknya memainkan bebonangan gaya Jawa, tetapi memasukan teknik-teknik permainan reong gaya Bali, seperti teknik ubit-ubitan dan norot. Begitu pula dalam permainan Kendang Sabet dan Ciblon tidak dimainkan dengan gaya Jawa, melainkan penata memasukan motif atau paten pukulan Tabla India yang dikombinasikan dengan pukulan kendang Bali.

  Kata Kunci: Karawitan Inovatif, Ngastiti, Bonang panembung, Bonang penerus

Abstract

  In realizing a karawitan artwork is expected to have a high spirit and weight. To be able to realize it required a tenacity and patience in the process of structuring until the realization of the idea that is expected to be accepted by the wider community. In order to be able to emerge as a good quality of karawitan as well as referring to local cultural roots and aesthetic and ethical values in the work, so as the basis of his footing is the process of contemplation as an artist born in the village, familiar with the natural surroundings and mingle with the community Who appear simple as it is, and full of devotion in behavior, which starts from the process of purification of the heart. In order to be able to emerge as a good quality of karawitan as well as referring to local cultural roots and aesthetic and ethical values in the work, so as the basis of his footing is the process of contemplation as an artist born in the village, familiar with the natural surroundings and mingle with the community Who appear simple as it is, and full of devotion in behavior, which starts from the process of purification of the heart. The new innovation that is meant in Ngastiti musical masterpiece is how the application of technique or motive of game of instrument which is used especially the use of Bonang Panembung and Bonang Panerus which is played not like to play bebonangan Javanese style, but entering technique of Bali-style reong game, such as technique of ubit- Pinch and norot. Similarly in the game Sabang Sabet and Ciblon is not played with the Javanese style, but the stylist includes motifs or patents blow Tabla India combined with Bali drums blow. Keywords: Innovative Karawitan, Ngastiti, Bonang Panembung, Bonang penerus

PENDAHULUAN

  Latar Belakang Sebuah karya seni memerlukan ide dasar yang kuat dan jelas, sehingga proses pelaksanaan untuk mewujudkan ke dalam sebuah bentuk karya seni akan terasa lebih mudah. Penemuan sebuah ide bisa saja berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan bisa saja berlangsung dalam sekejap. Melihat perubahan sosial yang terjadi, dimana kehidupan spiritual masyarakat khususnya di Bali mengalami degradasi, dimana terasa berbanding berbalik dengan kenyataannya. .

  Yadnya dilakukan tiada hentinya dalam skala besar ataupun skala kecil bahkan di masyarakat seolah- olah seperti berlomba-lomba. Memang hal ini adalah bukti srada umat pada Tuhan, namun disisi lain banyak yang menjadi korban praktek hedonisme yang semestinya harus dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan masa depan generasi penerusnya. Sawah atau ladang semakin habis oleh pola hidup yang konsumtif atau tujuan keuntungan sesaat, bahkan yang lebih parah perselisihan pendapat sesama manusia menjadi pemicu sentral ketidak harmonisan kehidupan. Ini menandakan adanya degradasi spritual dan sosial di masyarakat. Padahal yang kita harapkan adalah kehidupan spritual dan sosial yang transparan, didasari oleh ketulusan rasa bakti sesuai dengan kemampuan yang bisa kita lakukan. Terinspirasi dari fenomena inilah penata mencoba menuangkannya dalam bentuk karya karawitan yang berjudul ”Ngastiti”.

  Pada dasarnya tuntutan seorang seniman adalah selalu berkarya dan berkarya. Karya mereka pada awalnya adalah syarat dengan nilai-nilai dari ketulusan hati. ”Penciptaan akan muncul tatkala hati seorang diisi dengan kemurnian, manakala perut sedang kosong akan muncullah ide-ide”, hal ini diungkapkan oleh dalang I Made Sija dari Bona Kelod. Maka hal yang harus dipupuk bagi seorang seniman adalah berbuat sesuai kemampuan agar tidak nyapa kadi aku yang artinya kita tidak boleh sombong dalam berkarya, biarkanlah orang lain yang menilainya.

  Dalam mewujudkan sebuah karya seni karawitan diharapkan memiliki nilai spirit dan bobot yang tinggi. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan sebuah keuletan dan kesabaran dalam proses penataan sampai terwujudnya ide tersebut yang diharapkan bisa diterima oleh masyarakat luas. Agar mampu tampil sebagai sebuah garapan karawitan yang berkualitas serta mengacu pada akar-akar budaya setempat serta nilai-nilai estetika dan etika dalam berkarya, maka sebagai dasar pijakannya adalah proses perenungan sebagai seorang seniman yang lahir di desa, akrab dengan alam sekitar serta berbaur dengan masyarakat yang tampil sederhana apa adanya, serta penuh dengan pengabdian dalam tingkah laku, yang bermula dari proses pemurnian hati.

  Setelah penata bertemu dengan seorang Komposer I Gusti Putu Sudarta, S.Sp, M.Sn dari Bona Kelod, Blahbatuh, memberikan masukan pada garapan yang berjudul Ngastiti, serta menegaskan konsep- konsepnya. Dari hasil wawancara penata menangkap dalam proses penciptaan karya seni harus didasari kebulatan tekad serta kesungguhan hati sesuai kemampuan seperti dalam kehidupan berjalan secara pasti pula kehidupannya, sehingga karya ini mempunyai dasar yang kuat dari seorang seniman sebagai dasar pijakan dalam proses penggarapan berikutnya.

  Dalam mewujudkan karawitan yang berjudul Ngastiti, penata menggunakan media ungkap beberapa instrumen gamelan Bebonangan Penembung dan Penerus Saih Pitu. Gamelan ini mencerminkan bahwa tangga nada sapta nada, yakni ada tujuh suara yang merupakan inti sari dari percampuran sepuluh suara, yaitu : ding, dong, deng, ndeung, dung, dang, ndaing.

  Gamelan bonang Penembung dan Penerus Saih Pitu yang berlaras pelog tujuh nada ini memiliki, mood yang sangat variatif berdasarkan penggunaan fungsi-fungsi nada atau patet dalam sebuah lagu. Pemilihan patet dalam kaitan ini juga sangat tergantung dari kebutuhan komposisi untuk mendukung tema sentralnya. Namun secara umum mood yang dihasilkan dari pengolahan patet-patet yang ada dalam gamelan kedua bebonangan cenderung bersifat sederhana, polos dan harmonis. Secara prinsip Bebonangan Penembung dan Penerus sebagai penggabungan dua laras, baik pelog maupun selendro juga memiliki karakteristik dan suasana yang berbeda sebagaimana diungkapkan dalam Lontar Prakempa.

  Untuk merealisasikan hal tersebut maka akan digarap sebuah bentuk karawitan inovasi baru yang pola garapannya mengikuti musik kekinian, artinya sesuai dengan zaman sekarang, serta menggunakan ide garap yang bersumber dari keindahan dari sebuah konsep tentang kenyataan kemampuan dan usaha sendiri, bahwa dasar dari sebuah garapan adalah sebagai wujud persembahan dari rasa bhakti atas kesadaran hati, yang ditata sedemikian rupa sehingga nampak sangat indah dan serasi.

  Berdasarkan uraian tersebut, maka Ngastiti sebagai karya karawitan inovasi digarap berusaha menampilakan karya biasa menjadi karya luar biasa. Maksud dari pernyataan luar biasa di sini adalah bukan hebat dan sangat sempurna, melainkan sebuah wujud garapan yang masih ada elemen-elemen atau instrumen tradisi yang dipertahankan namun disertai dengan pembaharuan, baik dari segi teknik permainan maupun pengolahan fungsi masing-masing instrumen. Inovasi-inovasi yang dilakukan ini bertujuan untuk memberikan kebebasan dalam menuangkan ide serta menyusun konsep karya. Sebagai contoh beberapa instrumen tidak diperlakukan seperti fungsinya yang lazim, akan tetapi diberikan sentuhan-sentuhan pembaruan (inovasi) bahkan instrumen bonang tidak berfungsi sebagai bonang saja, melainkan difungsikan juga sebagai reong seperti reong Bali. Perlu juga diketahui kebebasan dalam garapan ini bukanlah kebebasan absolute, tetapi kebebasan tersebut tetap ada batasnya yang tidak terlepas dari logika, etika dan estetika dalam berkesenian.

  Secara konseptual komposisi musik yang berjudul Ngastiti merupakan sebuah bentuk komposisi musik yang terlahir dari keindahan fose/gaya orang dalam mewujudkan sebuah nilai-nilai etika yakni sebuah kesadaran akan kemampuan sendiri, namun indah serasi yang ditransformasikan ke dalam bentuk komposisi musik dengan menggunakan gamelan Bonang Gong Jawa Saih Pitu sebagai media ungkapnya. Durasi dari komposisi ini kurang lebih 12 menit. Komposisi ini, didukung oleh 20 orang penabuh termasuk penata. Para pendukung karya ini adalah penabuh Sanggar Paripurna, Bona Kelod, Blahbatuh Gianyar.

  Konsep adalah generalisasi dari penyatuan fenomena yang ditangkap dan dipakai untuk mewujudkan sebuah karya. Dalam konteks konsep garapan, maka hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah bagaimana unsur-unsur garap tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur garapan yang dipakai sebagai pedoman dalam proses menggarap karya seni meliputi ; ide garapan, proses garapan, bahan garapan atau instrumen garapan, serta tidak terlepas dari penata sendiri sebagai pelaku yang akan menggarap karya tersebut.

  Ide Garapan Eksistensi seni karawitan di Bali selalu mengalami perkembangan dan kemajuan dari masa ke masa. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh akademis dan adanya akulturasi dari perkembangan budaya global. Salah satu perkembangan tersebut adalah banyak lahir karya seni yang inovatif sejalan dengan perubahan zaman dan pengetahuan manusia itu sendiri. Walaupun tradisi tidak ditinggalkan, namun seniman sekarang lebih semangat untuk berkarya dengan gaya yang lebih kreatif dan inovatif, sehingga karya seni sekarang lebih banyak bersifat kreasi modern yang lebih inovatif. Hal ini didukung oleh semakin lengkapnya sarana dan prasarana serta media yang lebih maju

  Seni karawitan membutuhkan media yang menjadi pusat interpretasi wujud garapannya yakni gamelan. Untuk itu diperlukan sebuah konsep dalam membuat suatu garapan untuk mewujudkan ide-ide tersebut. Mengambil tema spiritual dalam implementasi kehidupan, maka judul dari garapan ini adalah Ngastiti. Penata memilih tema ini karena kehidupan spritual merupakan roh bagi masyarakat, dimana kesehariannya tidak bisa terlepas dari nuansa keagamaan, adat-istiadat, budaya, serta seni dan tradisi yang secara turun-temurun menjadi fondasi kehidupan, baik sebagai mahkluk pribadi maupun mahkluk sosial.

  Menurut Kamus Kawi Bali (1988), kata Ngastiti berasal dari kata astiti yang berarti memuja atau mendoakan atau mempersembahkan, dan diberikan awalan “nga” yang berarti menyatakan sebuah perlakuan atau tindakan. Ngastiti berarti melakukan persembahan atau pemujaan dari sebuah usaha sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dalam bentuk tingkah laku yang didasarkan atas kesadaran hati, untuk suatu kebahagiaan dan kesempurnaan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Garapan karya seni ngastiti ini mengambil suatu konsep, bagaimana implementasi nilai-nilai spiritual agama menjadi tingkah laku atau perbuatan riil dalam kehidupan untuk mempertahankan kesucian hubungan manusia dengan Tuhan, antar manusia, dan manusia dengan alam.

  Karya karawitan yang berjudul Ngastiti adalah sebuah karya inovasi yang mengacu kepada karya seni yang mampu mengikuti perkembangan dunia karawitan pada masa kini, artinya dalam penggarapannya sudah lepas dari kaedah-kaedah tradisi yang berlaku, atau bentuk tampilannya tidak lagi berpakem pada “Tri Angga”, melainkan menggunakan sistem paletan (dibagi menjadi beberapa bagian tersendiri yang terstruktur menjadi sebuah komposisi karawitan yang utuh dan bukan berupa kawitan, pengawak, serta pengecet). Komposisi dikombinasikan dengan improvisasi sesuai kemampuan dan gaya, serta teknik permainan menurut kemampuan penata. Sehubungan dengan keberadaan penata yang berasal dari Desa Belega, Blahbatuh, Gianyar yang tumbuh dan berkembang di desa, namun tetap mengikuti perkembangan di era globalisasi.

  Inovasi baru yang dimaksud dalam karya karawitan Ngastiti ini adalah bagaimana penerapan teknik atau motif permainan instrumen yang digunakan khususnya penggunaaan Bonang Panembung dan Bonang Panerus yang dimainkan tidak seperti layaknya memainkan bebonangan gaya Jawa, tetapi memasukan teknik-teknik permainan reong gaya Bali, seperti teknik ubit-ubitan dan norot. Begitu pula dalam permainan Kendang Sabet dan Ciblon tidak dimainkan dengan gaya Jawa, melainkan penata memasukan motif atau paten pukulan Tabla India yang dikombinasikan dengan pukulan kendang Bali. Penata selalu memperhatikan kalimat-kalimat dari jalinan patet serta peralihan dari satu patet ke patet yang lainnya (patet pelog, tembung, sundaren, dan patet selendro), sehingga tetap terjalin menjadi untaian nada-nada yang indah dan harmonis sebagai sebuah kesatuan komposisi karawitan.

  Sebagai seorang seniman yang berpendidikan tentu harus pula menyesuaikan dengan hakekat seni, yaitu tetap memperhatikan nilai-nilai etika, logika, dan estetika sebagai unsur yang dikembangkan di dunia akademis. Jelas ada rambu-rambu yang dipakai acuan untuk mewujudkan sebuah karya seni yang juga dapat dipertanggung-jawabkan secara logika, edukatif yang dikembangkan di kampus dan juga mampu menembus masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.

  Pemilihan gamelan Bonang Penembung dan Bonang Penerus Saih Pitu sebagai instrumen pokok dalam komposisi ini adalah gamelan yang paling cocok digunakan menurut penata. Penata menuangkan sebuah ide ke dalam garapan ini, yang lebih cendrung bermain patet dalam membangkitkan berbagai rasa dan nuansa sebagai penggabungan unsur-unsur Panca Gni dan Panca Tirta. Hal ini dijelaskan di dalam Prakempa (Bandem,1986 : 74) bahwa: ”Panca Gni mwah kasuksmanya Panca Tirta, maring jeroning Kopala apupul, iniliran dening Pancasya lwirnya; Ksa, Ksi, Ksu, Kse, Kso, wetu ring karna tengen matemahan swaraning tatabuhan, karungu angrerehin lelep manis tan sah amangun ulanguning cita, mawetu manah oneng. Mwah ikang Panca Brahma, aneng Jero Garbha apupul, iniliran dening Panca Reswa lwirnya, Hra, Hri, Hru, Hre, Hro, wetu ring karna kiwa matemahan swara tatabuhan, angalup tanpa angawa karna manohara, amangun gumiraning manah, wetu samangkana apupul swara tatabuhan ika dadi sanunggal, lila ambek sang arungu makabehan, riwekasan umanjing akena ri lenging irung kalih, terus tekeng hati, apupul swara ika sumusup ring lenging hati awor lawan manah, wekasan dadi manah menget setata” Artinya: Panca Geni dan Panca Tirta di dalam kepala tempatnya berkumpul, dicampuri oleh Pancasya yaitu, Ksa, Ksi, Ksu, Kse, Kso, keluar melalui telinga kanan menjadi suara tatabuhan kedengaran merdu dan manis serta menarik perasaan tidak putus-putusnya membangun suka cita dan menimbulkan perasaan senang. Dan itu Panca Brahma kesenangan di dalam Garbha (hati) berkumpul dicampuri oleh Panca Reswa yaitu: Hra, Hri, Hru, Hre, Hro, keluar melalui telinga kiri menjadi suara tatabuhan, berbau harum tidak membawa dan menarik pendengaran, membangun perasaan gembira, demikian keluarnya suara tatabuhan itu menjadi satu, senang perasaan orang banyak mendengarnya dan akhirnya masuk ke dalam lobang hidung terus menembus ke dalam hati bercampur dengan pikiran dan selalu merasa ingat.

  Gamelan Bonang ini merupakan gamelan yang polos penuh dengan nuansa yang tersembunyi dalam wujudnya yang sederhana. Tidak tergantung pada besar barungannya, namun mempunyai patutan sepuluh suara, serta penuh dengan kedalaman makna dan getaran atau reng suaranya. Selain itu, gamelan bonang juga memiliki keutamaan untuk semua jenis upacara keagamaan. Hal ini dijelaskan dalam Prekempa (Bandem, 1986 : 86) bahwa: ”Lyan malih yan hana wang akarya suka duka, yogya gagambelan ika inangge ring stananing swakarya, yadyapi babonangan atawa gong pada juga kotamanya. Wenang juga tinabuh rikalaning apujawali maring sanggar kabuyutan mwang paryangan mwang sarwa tatiwan lwirnya, Pitra Tarpana, Sawa Wedana katekatekeng Dewa Yadnya, pada wenang gelaraken gagambelan ika. Mangkana kojaranya”. Artinya: Lain lagi apabila ada orang mempunyai kerja suka-duka (upacara agama), bunyian-bunyian itu boleh dipakai di tempat mengadakan upacara. Walaupun Bebonangan atau Gong sama juga utamanya. Boleh juga dibunyikan pada waktu ada pujawali (piodalan di pura) atau sanggar kawitan dan di parhyangan, dan untuk kerja segala kematian mengenai Pitra Tarpana, Sawa Wedana dan sampai pada Dewa Yadnya. Semua boleh dipakai bunyi dari babonangan itu. Demikian kenyataannya.

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut ;

  1. Bagaimana mewujudkan garapan karya seni inovatif yang terinspirasi dari kehidupan spiritual yang diberi judul Ngastiti ?

  2. Bagaimana mengangkat peranan gamelan tradisi agar lebih berkembang menjadi karya inovatif ?

  3. Apakah gamelan tradisi mampu memberikan tawaran baru menjadi karya karawitan inovatif yang tidak lazim di Bali ? Tujuan Garapan Tujuan merupakan landasan utama yang perlu diperhatikan dalam berbuat sesuatu yang memberikan motivasi terwujudnya suatu karya seni. Adapun tujuan dari garapan ini adalah sebagai berikut.

  1. Tujuan Umum Tujuan umum dari garapan musik yang berjudul ngastiti ini adalah sebagai karya tugas akhir (TA) untuk menyelesaikan studi di Institut Seni Indonesia Denpasar yang merupakan kewajiban akademis sebagai seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar S1.

  2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang diinginkan penata dalam menggarap karya musik yang berjudul ngastiti ini antara lain ;

  2.1 Untuk membangun serta mengukur potensi kreatif yang penata miliki sebagai seorang penata.

  2.2 Untuk mengangkat kembali peranan gamelan tradisi agar lebih berkembang secara kualitas dan kuantitas dengan memberikan tawaran baru (pola garap) tetapi tetap berpijakan dan mempertimbangkan nilai-nilai tradisi pada umumnya.

  2.3 Agar gamelan tradisi dapat difungsikan dan memiliki daya saing sesuai perkembangan zaman untuk menjadi karya karawitan inovatif sekarang ini. Manfaat Garapan

  Sebagai hasil olah kreativitas musikal yang menawarkan gagasan baru garapan yang berjudul Ngastiti, dapat memberikan manfaat dan sumbangsih, baik secara teoritis maupun praktis.

  1. Manfaat Secara Teoritis

  1.1 Garapan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu seni utamanya dari hasil kerja kreatif dalam bentuk teknik, komposisi, ornamentasi, dan unsur- unsur pengembangannya;

  1.2 Menambah khasanah seni pertunjukan di lingkungan Institut Seni Indonesia Denpasar, khususnya ragam reportoar Inovasi Baru dengan media yang berbeda dalam Seni Karawitan, yang kiranya bermanfaat sebagai acuan, serta sebagai bahan perbandingan dalam meningkatkan kreativitas di kalangan seniman akademis.

  2. Manfaat Secara Praktis

  2.1 Melatih mengembangkan bakat dalam aktivitas penciptaan musik serta memberikan tawaran tentang pengalaman baru sebagai jembatan untuk menciptakan garapan komposisi musik baru yang lebih inovatif.

  2.2 Memperkaya perbendaharaan Karya Karawitan dalam khasanah Karawaitan Bali yang memadukan gamelan nusantara salah satunya gamelan Jawa, serta mendapatkan wawasan baru dalam memahami suatu metode atau cara dalam berkomposisi yang penata ingin wujudkan sesuai dengan pemikiran penata sendiri.

  2.3 Bagi generasi muda Bali agar lebih terangsang dan lebih berani memanfaatkan ide dan peluang untuk menciptakan sebuah garapan baru yang berkualitas serta meningkatkan kreativitas dalam berkarya seni, khususnya dalam penciptaan sebuah komposisi musik serta menambah wawasan dan pengalaman dalam berkarya seni. Ruang Lingkup

  Seni karawitan dalam pencetusan ide-ide dan inspirasinya membutuhkan media yang menjadi pusat interpretasi wujud garapannya dimana media tersebut adalah gamelan. Dalam garapan tugas akhir ini, penata hanya akan memfokuskan penggunaan beberapa instrumen yang menjadikan karya dalam garapan ini yaitu : Gamelan Bebonangan Panembung; Bebonangan Penerus; sepasang kendang jawa terdiri dari sebuah Kendang Sabet dan sebuah Kendang Ciblon; sebuah Selentem Pelog; sepasang kendang krumpungan; sepasang gong lanang-wadon; enam buah suling besar, dan dikombinasikan dengan vokal. Untuk menghindari salah persepsi terhadap wujud garapan ini, maka penata akan mencoba memberikan batasan pemahaman tentang ruang lingkup karya ini sebagai berikut.

  1. Ngastiti merupakan sebuah garapan komposisi musik inovasi yang menekankan kebebasan di dalam berkarya, terutama dari segi bentuk dan struktur lagu dengan sistem paletan.

  2. Konsep musikal garapan ini mengacu pada konsep musik karawitan inovasi baru.

  3. Media ungkap yang akan digunakan dalam garapan ini adalah sepasang gamelan Bebonangan Penembung dan Penerus Saih Pitu.

  4. Garapan ini memiliki durasi kurang lebih 12 menit.

METODE PENELITIAN

  Sumber Pustaka Terwujudnya suatu karya karawitan tidak lepas dari sumber dan informasi. Untuk menghasilkan karya seni yang berkualitas dan orisinalitas serta dapat dipertanggung jawabkan, maka penting untuk mengkaji sumber-sumber yang relevan untuk menghindari terjadinya duplikasi hasil karya, sekaligus untuk memberikan apresiasi terhadap hasil karya sebelumnya. Selain itu melalui pengkajian sumber-sumber yang relevan, maka dapat dijadikan sebagai acuan yang berkontribusi untuk memberikan kualitas karya yang lebih berbobot. Dengan demikian selain menyuguhkan keindahan secara indrawi juga dapat mempresentasikan pemaknaan sebagai informasi dari nilai-nilai filsafat, etika, dan estetika, yang bermakna dalam kehidupan. Berkaitan dengan hal tersebut maka karya karawitan ini juga mengacu pada sumber-sumber, baik berupa sumber pustaka maupun sumber discografi.

  Dalam Kamus Kawi Bali yang diterbitkan Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I 1988, Kamus Kawi Bali, P, 64, 168 ada disebutkan tentang “Ngastiti”. Ngastiti berarti pemujaan atau persembahan, yang di dalamnya meliputi kesadaran dan tingkah laku. Jadi Ngastiti artinya adalah tingkah laku, yang didasarkan atas kesadaran hati yang tulus melalui usaha-usaha persembahan dan pemujaan menyerahkan diri sepenuhnya pada Hyang Kuasa (Tuhan). Berdasarkan pengertian di atas penata jadikan pegangan untuk menggunakan judul Ngastiti dalam garapan ini, karena lebih mengena pada garapan dan ide dimana mengambil suatu tema spiritual yang berpijak pada kesadaran hati dalam berkarya untuk suatu persembahan atau pemujaan sesuai kemampuan sendiri.

  Estetika Sebuah Pengantar. A.A.M. Djelantik, 1999. Referensi ini mengulas segala sesuatu yang berhubungan dengan seni dan keindahan, demikian pula beberapa teori estetika yang diungkapkan oleh berbagai tokoh diungkap dalam buku ini. Melalui buku ini didapat pengetahuan mengenai bagaimana sebuah karya seni yang dianggap berkualitas dan berbobot. Sumber ini juga memberikan masukan tentang pemahaman bentuk dan struktur dalam karya seni.

  Ilmu Bentuk Musik. Edmund Prier SJ, Karl, 1996. Di dalam buku ini dijelaskan beberapa istilah musik, teknik dan motif yang digunakan dalam musik, misalnya kanon dan polifon. Dengan refrensi ini memberikan pemahaman, serta digunakan sebagai tinjauan tentang bentuk motif-motif pukulan yang kemudian diadopsi ke dalam komposisi yang berjudul Ngastiti

  Teori Pengkajian Fiksi oleh Burhan Nurgiyantoro, 1995. Referensi ini memuat beberapa teori-teori yang berhubungan dengan karya sastra, salah satunya adalah teori semiotika yang dikemukakan oleh Saussure. Dengan hadirnya referensi ini, dapat digunakan dalam menganalisis simbol yang terdapat dalam komposisi Ngastiti.

  Mencipta Lewat Tari (Creating Through Dance) terjemahan oleh Y. Sumandiyo Hadi, 1990. Teks asli oleh Alma M. Hawkins. Dalam buku ini terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan kreativitas atau membahas tentang unsur-unsur proses penciptaan dalam seni Tari. Ada tiga tahap pokok sebagai landasan berkarya yang diungkap dalam buku ini yakni explorasi, improvisasi, dan forming. Dipergunakan sebagai acuan kaitannya dengan proses kreativitas dalam komposisi yang berjudul Ngastiti mulai dari pemikiran ide dan konsep garapan, pemilihan instrumen, pendukung garapan, proses penuangan, sampai pada penampilan garapan secara utuh.

  Ubit-Ubitan Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali karya I Made Bandem, 1987. Dalam buku ini menyebutkan ada beberapa jenis teknik ubit-ubitan yang ada dalam permainan gamelan Bali. Dengan membaca sumber ini, memberikan masukan bagi penata mengenai penggunaan beberapa jenis teknik ubit- ubitan yang ditransformasikan lewat karya.

  Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali, 1986, transliterasi oleh I Made Bandem. Buku ini berisikan 4 aspek utama yakni: Filsafat, Etika, Estetika dan Gegebug (teknik) dan inti bunyi dari Catur Muni-Muni. Berdasarkan sumber ini, memberi inspirasi ke dalam, terutama teknik gegebug serta pepatutan memainkan gamelan di dalam karya Ngastiti ini.

  Pengetahuan Karawitan Bali. I WM Aryasa. 1984. Buku ini berisikan beberapa jenis gamelan Bali dan instrumentasi serta nama-nama gendingnya. Dengan membaca buku ini memberikan informasi tentang fungsi dari gamelan, disamping juga berberapa informasi mengenai bentuk-bentuk lagu (musical form) dalam karawitan Bali.

  Sumber Discografi Kaset-kaset atau CD/VCD/DVD yang dijadikan acuan dalam proses berkarya adalah :

  Gregel, sebuah bentuk komposisi musik kreasi karya I Dewa Ketut Alit tahun 1998. Karya ini merupakan sebuah komposisi musik yang menggunakan gamelan Semarandana sebagai media ungkapnya. Dengan karya ini, penata dapat mengetahui teknik-teknik permainan tempo yang berbeda sekaligus dijadikan referensi dalam berkarya. Shanti Mantra, sebuah garapan karawitan instrumental inovasi yang bertemakan kedamaian diciptakan oleh I Nyoman Windha tahun 1998. Karya ini memberikan sebuah tawaran alternatif terhadap perkembangan kreasi karawitan. Selain memadukan unsur vokal dengan instrumental garapan ini juga memberikan nuansa baru kendatipun dasar pijak tradisinya masih kental.

  Kidung Empu Tantular (Garapan Tugas Akhir Pasca Sarjana ISI Surakarta tahun 2008), Gayatri (PKB 2011), Sarodan (PKB 2012), Pakeliran Puyung Bolong (Hibah Dosen Pedalangan ISI Denpasar dan juga dipentaskan pada PKB 2014) adalah karya dari I Gusti Putu Sudarta,S.Sp,M.Sn merupakan karya seni yang memadukan unsur vokal dengan instrumen gamelan Jawa. Karya-karya ini syarat dengan nilai spiritual serta penuh kesan konflik bathin dan berakhir dengan kedamaian. Disamping itu, membawa nuansa gamelan Jawa ke dalam komposisi gamelan Bali banyak memberi inspirasi dalam penggarapan karya karawitan Ngastiti sebagai dasar pijakannya.

HASIL ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

  Komposisi sajian reportoar inovasi dengan judul Ngastiti merupakan tabuh inovatif yang disajikan secara utuh dalam bentuk komposisi instrumental. Garapan ini merupakan suatu garapan inovasi yang digarap dengan penuangan ide-ide kemudian dipadukan dengan pengolahan melodi, tempo, ritme, dan dinamika. Untuk dapat menguraikan bentuk dari komposisi garapan tabuh inovatif ini secara lengkap, ada beberapa aspek penting yang perlu ditengahkan seperti: instrumentasi, sistem notasi, dan stuktur komposisi. Instrumentasi

  Instrumentasi yang digunakan sebagai media ungkap dalam mengekspresikan ide-ide ke dalam karya karawitan dengan judul Ngastiti ini mempergunakan instrumen yang berbeda-beda. Adapun instrumen- instrumen tersebut adalah sebagai berikut.

  Seperangkat Bebonangan:

  1. Sepasang Bebonangan Panembung

  2. Sepasang Bebonangan Panerus

  3. Sebuah Kendang Sabetan

  4. Sebuah Kendang Ciblon

  5. Sepasang Kendang Krumpungan

  6. Sebuah Selentem

  7. Sepasang Gong Lanang Wadon

  8. Enam buah Suling Besar Sistem Notasi

  Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa sistem notasi dari barungan gamelan Bonang tersebut menggunakan sistem dengan penyebutan patet yang berbeda-beda yang berdasar pada melodi yang dipergunakan. Dasar penotasian disesuaikan dengan nada yang terdapat pada Gambelan Bonang, dengan memakai sistem penulisan ding dong yang disebut ulu (3), tedong (4), taleng(5), suku ilut(6), suku (7), carik (1), dan pepet (2). Pada umumnya penulisan notasi bersumber pada pukulan Bonang yang diambil pokok-pokok melodinya, namun ada beberapa pukulan variasi yang perlu ditulis untuk memunculkan ciri khas lagunya. Patokan-patokan yang dipakai dasar penulisan notasi karawitan adalah pukulan selentemnya.

  Garapan inovasi ini dalam penotasiannya tetap dengan simbol-simbol notasi gambelan, yang kebetulan merupakan pengembangan dari melodi dasar, meskipun sesekali melakukan improvisasi namun tidak lepas dengan nada-nada yang ada pada gamelan. Berikut adalah simbol-simbol yang dipergunakan dalam sistem notasi karya Ngastiti.

  No Symbol Cara baca

  3

  1 Ding

  2

  4 Dong

  5

  3 Deng

  4

  6 Deung

  5

  7 Dung

  1

  6 Dang

  7

  2 Daing

Tabel 4.2.

  

Symbol-simbol notasi Bali

  Keterangan: Seperti dijelaskan di atas bahwa dalam garapan ini menggunakan sistem notasi dan notasi yang ditulis adalah merupakan melodi dasar.

  Struktur Garapan Garapan komposisi musik “Ngastiti” yang berdurasi 12 menit, dengan struktur garapan terdiri atas 3 paletan. Paletan I berdurasi 3 menit, paletan II berdurasi 5 menit, paletan III berdurasi 4 menit. Ketiga paletan ini sudah tentu memiliki kesan dan suasana yang berbeda-beda serta dipengaruhi oleh ide yang ada dengan mengolah unsur-unsur seperti tempo, ritme, melodi, dan dinamika yang ada pada gamelan Bonang.

  Analisis Estetik Kerumitan yang ditonjolkan pada karya karawitan Ngastiti adalah permainan berbagai patet, motif permainan reong, melodi, ritme, dinamika dan tempo. Teknik dan patet ditambah alunan melodi suling, merupakan sebuah perkembangan kreatifitas pemikiran penata dan peresapan secara estetis dapat menyatu dari bagian-bagian instrumen. Pola penggarapan yang disajikan dalam teknik garapan inovasi yang berjudul ngastiti, lebih menekankan pada sinkronisasi dari barungan yang dipergunakan dalam sajian, ditambah dengan instrumen pelengkap seperti suling, kendang, selentem, dan gong.

  Secara estetis, tentu adanya tantangan yang tidak mudah untuk mengungkapkan ide lewat garapan yang disajikan dalam tetabuhan atau sebuah garapan inovasi, baik dari segi bentuk garapan ataupun mengarahkan pendukung. Dari hasil yang disajikan akan memunculkan estetika dasar karawitan Bali, yaitu hasil suara gambelan yang ngumbang ngisep, tidak terlepas dari ide, estetika, dan fungsi dari barungan gamelan yang dipergunakan dengan realitas yang muncul lebih mengarah pada rasa estetika, etika, dan logika.

  Pada bagian-bagian tertentu dimasukkan motif ubit-ubitan riong, permainan tempo dan melodi suling yang penata rasa, belum banyak digarap dan dalam garapan ini diberikan ruang untuk menambah estetis yang berbeda, meskipun semua motif tersebut tidak mendominasi pada bagian garapnya. Instrumen suling dapat memberikan warna garapan dengan mangakumudasi patet-patet yang ditampilkan, meskipun tidak secara signifikan dari estetika instrumen suling dapat memperjelas melodi yang dimainkan dalam permainan patet yang dipakai.

  Dari keseluruhan garapan Ngastiti, penata dapat memberikan warna baru sebagai karya inovasi yang dapat memberikan nuansa baru pada bentuk tabuh kreasi karawitan Bali yang telah ada, terlepas dari kekurangan yang ada, karena kemampuan penyerapan pendukung yang berbeda-beda sehingga berpengaruh dalam mengaplikasikan daya serap mereka dengan ide-ide yang telah dituangkan dalam proses karya ini.

  Analisis Penyajian Garapan yang berjudul Ngastiti ini disajikan dalam bentuk tabuh inovasi. Dalam penyajiannya, penata berusaha agar wujud yang meliputi bentuk, struktur, dan bobot yang menyangkut isi dari garapan ini dapat disampaikan dengan baik dalam penyajiannya. Selain dituntut keutuhan karya, yang tidak kalah penting adalah unsur ekspresi, penjiwaan, penghayatan lagu, dekorasi, dan setting instrumentasi, serta rias dan busana.

  Setting Instrumen Komposisi karya ini dipentaskan dihadapan Dewan Penguji Tugas Akhir bertempat di Gedung

  Natya Mandala, Institut Seni Indonesia Denpasar. Sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, karya karawitan ini disajikan pada hari Senin, tanggal 7 Agustus 2017, Pukul 19.55 Wita. Gedung Natya Mandala yang panggungnya berbentuk proscenium, penonton hanya dapat menyaksikan pertunjukan dari satu arah yakni dari arah depan (timur). Dengan kondisi panggung seperti itu, maka masing-masing instrumen yang digunakan dalam karya ini diatur sedemikian rupa berdasarkan konsep dan kebutuhan karya ini.

  

1

  

2

  4.2

  4.1

  5.4

  5.3

  

3

  5.2

  5.5

  5.1

  5.6

  7.1

  7.2

  6.2

  1 = Gong 2 = Selentem 3 = Bebonangan Penerus 4.1 = Bebonangan Penembung 1 4.2 = Bebonangan Penembung 2 5.1 s/d 5.6 = Suling 6.1 = Kendang Sabet 6.2 = Kendang Ciblon 7.1 = Kendang Krumpung Lanang 7.2 = Kendang Krumpung Wadon

  1. Slempang

  2. Umpal

  3. Kamen

PENUTUP

  Kesimpulan Karya Karawitan yang berjudul Ngastiti adalah sebuah karya tabuh inovatif yang menggunakan gamelan Bonang dengan menggambarkan sebuah ketulusan masyarakat dalam menjalani kehidupan beryadnya. Susunan tetabuhan dengan sistem paletan yang penata garap, menggambarkan kehidupan masyarakat dari berbagai gaya hidup, sifat, kebiasaan dan bagaimana manusia mampu berpatisipasi dalam hubungannya terhadap Tuhan dan lingkungan sosialnya.

  Dengan menggunakan gamelan Bonang yang cendrung berpindah-pindah patet, dalam ide ada kesamaan dari setiap aspek kehidupan tidak selalu senang, marah, tapi juga merasa sedih dan sebagainya. Hal-hal inilah yang diangkat kedalam estetis musikal, yang dipadu dengan sentuhan ornamen lain seperti kendang, dan suling sehingga terwujud garapan yang penata rasa sudah sejalan dengan ide yang diangkat.

  Karya karawitan ini terdiri dari 3 paletan yaitu, paletan I, paletan II, paletan III yang masing-masing paletan memiliki kesan dan suasana yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh pengolahan tempo, dinamika, ritme, dan melodi. Garapan ini merupakan sebuah kreativitas, begaimana gamelan Bonang yang merupakan gambelan polos dengan tabuh-tabuh yang manis dan ngelangenin, namun dalam garapan ini justru digunakan untuk tabuh inovasi yang merupakan di luar gaya tabuh bonang dan dapat memberikan ornamen pada kesempurnaan estetis musikal dari sebuah ide yang diangkat sehingga garapan ini dapat disajikan sesuai dengan ide dan konsep yang direncanakan.

  Saran-saran Selama proses dilakukan sampai dengan karya ini terwujud, banyak sekali pengalaman-pengalaman yang harus diperhatikan. Oleh karena itu penata ingin menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan penggarapan karya seni kepada para pembaca pada umumnya, para seniman, lembaga seni, khususnya calon- calon sarjana seni yang mempersiapkan Tugas Akhir di Institut Seni Indonesia Denpasar. Mewujudkan suatu karya seni bukanlah hal yang mudah, maka dari itu sarana-sarana penunjang seperti kesiapan mental para pendukung dan penata, maupun peralatan, tempat, dan lain sebagainya sangat diperlukan dalam penggarapan karya seni.

  Bagi para seniman pencipta, penentuan ide serta konsep yang matang sebelum melakukan proses penggarapan merupakan kunci untuk meraih keberhasilan untuk berkarya. Diharapkan kepada para seniman pencipta untuk lebih kreatif, bahwa sesungguhnya tidak hanya dari satu jenis barungan saja yang dapat dipakai dalam mewujudkan sebuah ide karya seni menjadi karya yang lebih inovatif. Secara estetis, jenis- jenis barungan yang ada di Bali memiliki kesamaan- kesamaan dan sekaligus perbedaan karakteristik secara estetis musikal. Dari situlah perlu dicoba dan dicoba, untuk menggarap sebuah ide dari barungan yang tidak lazim untuk digunakan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu menjadi satu alternatif dalam menyusun sebuah karya Seni.

  DAFTAR RUJUKAN Aryasa, I W. M. 1984. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Bandem, I Made. 1986. Prekempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar : Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Bandem, I Made. 1987. Ubit-Ubitan Sebuah Teknik Permainan Gamelan Bali. Denpasar : Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dieter Mack. 2001. Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realita. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

  Universitas Pendidikan Indonesia. (UPI). Djelantik, A.A.M. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Edmund Prier SJ, Karl. 1996. Ilmu Bentuk Musik. Zulfa E. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hawkins, Alma M. Crating Trough Dance atau Mencipta Lewat Tari, terjemahan Y. Sumandyo Hadi. 1990.

  Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sugiartha, I Gede Arya. 2011. Karawitan Kebyar di Bali Suatu Tinjauan Tentang Ketrampilan dan Penampilan. BHERI. Jurnal Musik Nusantara.

  Foto-foto latihan

  Foto-foto Ngayah

  Foto-foto bimbingan karya

  Foto-foto gladi bersih

  Foto-foto gelada bersih Foto-foto pementasan karya