BAB II TINJAUAN TEORI A. Pendidikan Karakter 1. Pendidikan - RIFQI MAULANA, BAB II

BAB II TINJAUAN TEORI A. Pendidikan Karakter 1. Pendidikan Menurut Sagala (2012:1) pendidikan adalah segala situasi

  hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. John Dewey (1897a) mengatakan bahwa pendidikan adalah proses dan kesadaran partisipasi individu terhadap lingkungannya, sebagaimana dikemukakan bahwa :

  Education proceeds by the participation of the individual in the social consciousness of the race. This process begins unconsciously almost at birth, and is continually shaping the individual's powers, saturating his consciousness, forming his habits, training his ideas, and arousing his feelings and emotions.

  Dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan dari sebuah proses keikutsertaan individu terhadap lingkungannya. Proses ini dari sejak lahir dan dilakukan secara terus menerus tanpa disadari sehingga membentuk kesadaran dan kebiasaan, yang diaplikasikan melalui gagasan, perasaan dan emosi.

  Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

  7 kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Darmadi, 2007:1).

  Menurut Godfrey Thomson (Darmadi, 2007:2) mengatakan pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu sehingga menghasilkan perubahan yang tetap yang diaplikasikan pada kebiasaan tingkah lakunya, pikiran dan perasaannya. Pendidikan dapat dimaknai juga sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. (Sagala, 2012:3).

  Melihat berbagai teori di atas maka dapat peneliti simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar pendampingan antara orang yang dianggap dewasa dengan anak yang dianggap belum dewasa, melalui interaksi pembelajaran, usaha belajar mandiri, dan transfer ilmu. pendampingan ini bertujuan untuk membimbing anak menuju kedewasaan sehingga anak akan mengembangkan potensi dirinya untuk bekal hidup di masyarakat.

2. Pengertian Pendidikan Karakter

  Secara etimologi, istilah karakter dari bahasa latin character, yang berati watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Dalam kamus Psikologi, arti karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang (Fitri, 2012:21).

  Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi (Dharma dkk, 2012:5) mendefiniskan adalah sebuah usaha untuk mendidik anak- anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan konstribusi yang positif bagi lingkungannya.

  Sejalan dengan hal tersebut Fakry Gaffar (Dharma dkk, 2012:5) menyebutkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Kemudian Dharma (2012:5) memaknai pendidikan karakter sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatandan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah.

  Menurut Fitri (2012:21), pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan (habit) sehingga sifat anak terukir sejak dini, agar dapat mengambil keputusan dengan baik dan bijak serta mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

  Dari berbagai teori di atas dapat peneliti simpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sadar pembentukan/pengukiran sifat-sifat baik kepada anak didik dengan berbagai cara, misalnya dengan cara keteladanan dan percontohan, dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup anak didik, untuk mempersiapkan menjalani kehidupan di masyarakat. Kemudian ada harapan dari pendidikan karakter, agar anak didik mempraktikan sifat-sifat baiknya tersebut di pergaulan bermasyarakat.

3. Model Pendidikan Karakter berbasis Agama dan Budaya Bangsa

  Pendidikan karakter yang berbasis nilai agama dan budaya bangsa dapat dilakukan melalui transfer ilmu, artinya dapat dilakukan melalui pengajaran yang mengaitkan dengan kesadaran ajaran Agama. Selain transfer ilmu dapat pula dilakukan melalui transfer budaya, yaitu kebudayaan yang mengandung unsur-unsur akhlak atau etika sosial dan IPTEK.

  Sejalan dengan hal tersebut Salahudin (2013:194) menjelaskan tentang pengertian pendidikan karakter berbasis Agama dan Budaya Bangsa. Pendidikan berbasis Agama adalah pendidikan dengan mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai kemampuan memanfaatkan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang berlandaskan kendali iman dan takwa (imtak), berkarakter (berakhlak mulia), berdisiplin tinggi, beretos kerja tinggi, sehat jasmani dan rohani, serta mempunyai jiwa kesetiakawanan sosial. pendidikan berbasis sosial budaya adalah pendidikan yang mewujudkan pemahaman, penghayatan, dan pengalaman nilai-nilai serta ajaran agama dan nilai luhur budaya bangsa, serta menciptakan iklim kondusif bagi kehidupan sesama umat beragama dan sesama warga bangsa Indonesia.

4. Tujuan Pendidikan Karakter

  Menurut studi pendahuluan peneliti di lapangan bahwa menumbuhkan karakter memang tidak mudah, karena karakter merupakan nilai yang abstrak pada diri seseorang, penilaian itu hanya dapat diukur oleh penilaian diri sendiri maupun orang lain dengan alat ukur sikap/perilaku yang timbul dari individu tersebut. Karakter dapat pula dinamakan dengan pembiasaan sikap/perilaku yang baik, semakin sering membiasakan perilaku baik maka dapat pula dikatakan sebagai orang yang berkarakter. Pendidikan di Indonesia mencanangkan pendidikan karakter, untuk pengembalian karakter- karakter luhur bangsa Indonesia, yang pada hakikatnya memiliki sebuah nilai luhur yang tercantum dalam empat pilar kebangsaan.

  Sejalan dengan itu menurut Fitri (2012:17) menjelaskan bahwa pengembalian karakter bangsa adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila sekolah dan dunia pendidikan ingin berhasil dalam menanamkan karakter bangsa, perlu membangun budaya sekolah (School Culture). Hal tersebut perlu ditanamkan sejak dini, diantaranya melalui pembelajaran karakter, mulai dari pendidikan dasar.

  Menurut Fitri (2012:22) pendidikan karakter bertujuan membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang positif, berakhlak karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Selanjutnya menurut Kemendiknas (Fitri, 2012:24), tujuan pendidikan karakter antara lain :

  a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/efektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.

  b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.

  c. Menamamkan jiwa kepimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

  d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.

  e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh dengan kekuatan (dignity).

  Sejalan dengan hal tersebut Dharma dkk (2012:9) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses setelah sekolah (setelah lulus dari sekolah). Pendidikan karakter dalam seting sekolah bermakna pendidikan bukanlah sekedar suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksi bagaimana suatu nilai menjadi penting untuk diwujudkan dalam perilaku keseharian manusia.

  Sejalan dengan itu Dharma dkk (2012:9) menambahkan tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah, adalah sebagai berikut : a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.

  b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah.

  c. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Lain halnya dengan pendapat Fitri (2012:17) yang mengungkapkan bahwa secara Sosiologis, pendidikan karakter saat ini tidak bertujuan menciptakan sesuatu hal yang baru mengenai nilai dan etika, tetapi bertujuan mengembalikan karakter dan budaya bangsa yang mulai tercabut dari akarnya.

  Dari berbagai pendapat para ahli di atas tentang tujuan pendidikan karakter, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah megembangkan potensi diri yang ada pada anak didik sebagai manusia yang mempunyai nilai-nilai luhur, akhlak, dan nilai budaya, dengan cara menanamkan dan membentuk serta mengembangkan nilai-nilai positif pada anak didik sehingga menjadi pribadi yang berkualitas.

5. Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter

  Menurut Brooks dan Gooble (Elmubarok, 2008:112) menyatakan bahwa dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu prinsip, proses dan prakteknya dalam pembelajaran. Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara optimal dan harus diterapkan di seluruh sekolah (School-wide approach).

  Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan, meliputi:

  a. Sekolah dipandang sebagai lingkungan yeng mempunyai bahasa dan budayanya sendiri. Di lingkungan sekolah pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf, dan peserta didik, tetapi juga pada keluarga dan lingkungan masyarakat yang tidak jauh dari sekolah.

  b. Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan, diajarkan sebagai subjek yang berdiri sendiri (separate-stand alone subject) namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah secara keseluruhan, seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan.

  c. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro- sosial.

6. Peran Sekolah dalam Pembentukan Karakter

  Sekolah merupakan wahana kumpul intelektual yang merupakan wadah untuk saling berbagi/transfer ilmu dari guru ke siswa atau siswa ke siswa bahkan siswa ke guru. Bukan hanya ilmu secara ilmiah tetapi juga transfer ilmu secara batin/rohani/jiwa yang menghasilkan sebuah nilai/karakter, hal ini bisa di dapatkan melalui sekolah.

  Sebagai lembaga pendidikan, sekolah menanamkan karakter yang positif kepada anak-anak. Sekolah memiliki tujuan tertentu dalam membentuk manusia yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia sesuai aturan yang berlaku. Penanaman pendidikan karakter melalui pengintegrasian kedalam mata pelajaran, tema pembelajaran, dan kegiatan ektrakulikuler. Terkait dengan proses pembentukan karakter, Fitri (2012:109) menjelaskan sebagai berikut:

  “proses pembentukan nilai dan etika dapat dilakukan melalui beberapa tahap yaitu (1) internalisasi nilai dan etika; (2) keteladanan; (3) pembiasaan; (4) penciptaan suasana berkarakter nilai dan etika di sekolah. Maksud dari penciptaan suasana bersistem nilai dan etika di sekolah merupakan suatu upaya sistematis untuk mengkondisikan sekolah dengan seperangkat nilai dan perilaku yang menjadi visi dan misi bersama

  ”. Kemudian Dharma, dkk (2012:8) menegaskan bahwa tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setalah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah), kedua pendidikan karakter adalah mengkoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah, tujuan ketiga dalam pendidikan karakter seting sekolah adalah membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama, dalam hal ini yang bisa melakukan secara bersamaan adalah pendidikan karakter yang dibangun oleh sekolah.

  Aspin (Springer, 2007:29) mengungkapkan bahwa:

  Schools, institutions and educators will best do this by showing how value concerns. and the political, sosial and moral relations in which those concerns are embodied and exercised,

  are expression of large-scale conceptions of life and value. The character of the individual judgements and activities in which we engage in discussions on matters of value and in our personal relationships is, as Best (1992) argues, determined at the level of the culture of a community-that network of language patterns, social practices and moral conventions that give human beings their most fundamental conceptions of the meaning and value of life.

  Dari pendapat Springer dapat di pahami bahwa peran sekolah, pendidik dan institusi sangat penting dalam pembentukan nilai

  • –nilai moral dan sosial. Karakter seseorang juga sangat ditentukan oleh kebudayaan komunitas dimana dia berada yang menghubungkan pola bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi, kesepakantan nilai-nilai moral yang menjadi dasar bagi kehidupannya, sehingga dalam hal ini dibutuhkan hubungan dan jaringan kerjasama yang baik antar setiap elemen masyarakat untuk dapat mendukung terbentuknya karakter masyarakat yang baik.

7. Desain Pembelajaran Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar

  Sebagai lembaga pendidikan, sekolah menanamkan karakter yang positif kepada anak-anak. Sekolah memiliki tujuan tertentu dalam membentuk manusia yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia sesuai aturan yang berlaku. Penanaman pendidikan karakter melalui pengintegrasian kedalam mata pelajaran, tema pembelajaran, dan kegiatan ektrakulikuler.

  Menurut Dharma dkk (2012:110) menyatakan bahwa pembelajaran dalam pendidikan karakter sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan anak secara utuh yang didasarkan/dirujuk pada suatu nilai.

  Pembelajaran dalam pendidikan karakter diawali dari sebuah dasar/rujukan dari sebuah proses diskusi atau kesepakatan bersama antara sekolah dengan stakeholder. Nilai yang dirujuk ini nantinya akan menjadi nilai sekolah yang mendasari penyusunan suatu visi Sekolah. Visi sekolah ini kemudian dijabarkan kedalam penyusunan kurikulum sekolah atau yang biasa dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam hal ini Silabus dan RPP serta perangkat instrumen pembelajaran lainnya menyesuaikan dengan

  grand design nilai sekolah tersebut.

  Dharma dkk (2013:111) juga menjelaskan kembali bahwa pengalaman belajar anak dalam seting pendidikan karakter dilakukan dalam tiga tempat yaitu kelas, sekolah, dan rumah. Guru dituntut jeli dalam membuat desain belajar siswa, artinya guru dalam membuat Silabus dan RPP harus melihat dari ketiga pengalaman belajar siswa tadi. Jadi yang dipikirkan oleh guru bukan lingkup kelas lagi, tetapi lingkup sekolah dan rumah, bahkan masyarakat.

  Desain pembelajaran yang dikembangkan oleh guru kemudian menjadi layanan KBM bagi peserta didik. Lebih lanjut Dharma dkk (2013:111) menjelaskan layanan KBM dalam pendidikan karakter harus memenuhi tiga kunci berikut : a. Dasar pendidikan adalah kasih sayang artinya bahwa KBM yang difasilitasi guru merupakan wujud dari kasih sayang guru terhadap anak, bukan dipersepsi hanya sebagai kewajiban tugas kerja guru PNS/honorer di suatu sekolah.

  b. Syarat teknis adalah saling percaya maksudnya bahwa interaksi pembelajaran dalam pendidikan karakter ada saling percaya antara guru dengan siswanya, antara siswa dengan siswa, dan antara lingkungan dengan siswa. Sehingga guru berperan besar dalam memberikan keteladan untuk siswanya.

  c. Syarat mutlak adalah kewibawaan, artinya bahwa pendidikan karakter tidak terwujud anak tidak mempunyai persepsi figur yang akan dicontoh apabila guru tidak mempunyai kewibawaan.

  Implementasi pendidikan karakter menurut Salahudin (2013:250) dilakukan melalui tiga hal yaitu :

  a. Kegiatan Akademik/Intrakurikuler Kegiatan akademik yang didasarkan pada SK dan KD berbasis pendidikan karakter/akhlak.

  Rumusan KTSP + X dan kurikulum kekhasan. Rumusan KTSP merupakan SK dan KD yang akan disajikan dalam pembelajaran dan X merupakan nilai karakter yang akan ditanaman melalui pembelajaran. Tugas pendidik/guru adalah mengarahkan nilai agama dan budaya bangsa dengan cara menghubungkannya pada pembelajaran.

  b. Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidik harus bersahabat dengan peserta didik, peserta didik hendaknya tidak hanya dibebani dengan mata pelajaran, melainkan dipadukan dengan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menggali dan melatih potensi siswa melalui kegiatan olahraga dan olah hati. Olah hati artinya kegiatan eksrtakurikuler dengan membubuhi nilai karakter.

  c. Sarana Pendukung Adapun implementasi pendidikan karakter melalui sarana pendukung adalah dengan :

  1) Kurikulum (pendidikan secara khusus 15-20 menit pada pagi hari, terintegrasi dalam belajar mengajar sehari- hari),

  2) Tema pembelajaran, 3) Program semester, 4) SKM, 5) SKH, 6) Penilai rapor.

8. Karakter/nilai yang diharapkan oleh bangsa Indonesia

  Dewasa ini bangsa Indonesia hampir kehilangan sebagian besar karakter bangsa yang tercermin dalam empat pilar kebangsaan.

  Hal ini dapat diamatai, ditelaah dan disimpulkan dari informasi di media baik cetak maupun elektronik mengenai perubahan perilaku dan sikap sebagian besar masyarakat dalam menghadapi, menilai dan menyelesaikan suatu permasalahan. Tindakan tidak terpuji yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang mendduduki posisi strategis seperti tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme di berbagai lembaga kenegaraan juga hamper setiap hari terungkap, padahalsejatinya orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan terlibat dalam pengelolaan sistem pemerintahan dapat memberikan keteladanan sikap yang baik agar dapat di contoh masyarakat.

  Belum lagi kita melihat banyak tindakan yang tidak mencerminkan karakter bangsa, misalnya dalam hal pelajaran masih banyak siswa yang mencontek, tidak menghormati guru, masih banyak tindakan bullying di sekolah, tawuran antar pelajar.

  Sejalan dengan itu Fitri (2012:10) juga berpendapat tentang hal yang sama menyatakan bahwa krisis tersebut bersumber dari krisis moral, akhlak (karakter), yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Budaya ini lah yang kemudian menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa. Salahudin (2013:32) menjelaskan tentang dekadensi moral pemuda Indonesia yang ditunjukkan dengan data sebagai berikut: a. Sekitar 1,5% di antara penduduk Indonesia merupakan pemakai narkoba, 78% korban yang tewas akibat narkoba berusia anatara 19-21 tahun.

  b. Menurut sumber BKKBN 2010 Jurnal Nasional, 24/02/2011 dalam Salahudin (2013:32) pertumbuhan budaya seks, yakni kehamilan di luar nikah rata-rata 17% per tahun dan pelaku aborsi hamil di luar nikah 2,4 juta jiwa per tahun.

  c. 93% anak-anak pernah mengalami tindak kekerasann di rumah.

  Data di atas menunjukkan bahwa menurunnya moral ganerasi muda saat ini sudah mencapai tahap yang sangat memprihatikan.

  Lickona (Fitri, 2012:11) menyatakan bahwa ada sepuluh tanda kehancuran suatu bangsa yang berdampak pada karakter peserta didik, antara lain

  a. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,

  b. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk,

  c. Pengaruh peergroupyang kuat dalam tindak kekerasaan

  d. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, dan lain-lain, e. Pedoman moral baik dan buruk semakin kabur,

  f. Etos kerja menurun,

  g. Rasa hormat kepada orang tua dan guru semakin rendah,

  h. Rasa tanggung jawab individu dan warga negara semakin rendah, i. Ketidakjujuran yang semakin membudaya, j. Ada rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.

  Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku/karakter yang dapat mencerminkan karakter yang diharapkan bangsa Indonesia. Berikut ada berbagai tabel yang menggambarkan nilai/karakter yang diharapkan bangsa Indonesia.

Tabel 2.1. Nilai yang dikembangkan oleh Ary Ginanjar dalam 7 budi utama:

  No Tujuh budi (nilai) yang diusung

  1. Jujur

  2. Tanggung Jawab

  3. Visioner

  4. Disiplin

  5. Kerja sama

  6. Adil

  7. Peduli Sumber : Ary Ginanjar (Dharma dkk, 2012:13) Selanjutnya nilai-nilai karakter yang diharapkan bangsa Indonesia, menurut Kementrian Pendidikan Nasional (Salahudin, 2013:54) adalah sebagai berikut:

  a. Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

  b. Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

  c. Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

  d. Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

  e. Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

  f. Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

  g. Mandiri, yaitu sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. h. Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. i. Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. j. Semangat kebangsaan, yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. k. Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. l. Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain. m. Bersahabat/komunikasi, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. n. Cinta damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lainmerasa senang dan aman ataskehadiran dirinya.

o. Gemar membaca, yaitu kebiasaanmenyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. p. Peduli lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. q. Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

  Dari beberapa teori di atas maka peneliti dapat menyimpulkan, sangat jelas dewasa ini bangsa Indonesia sangat krisis karakter dan beradaanya di ambang batas punah, sangat memperhatinkan bagi bangsa yang mempunyai gagasan idealisme kebangsaan yang terangkum dalam empat pilar kebangsaan. Untuk mengembalikan karakter bangsa merupakan tugas semua komponen yang ada pada suatu negara. Yang menjadi titik fokus perhatian dalam hal ini adalah lembaga pendidikan, diharapkan melaui lembaga pendidikan adanya pembangunan kembali karakter bangsa.

  Tenaga pendidik tidak hanya mentransfer ilmu dengan mengajar, karena mengajar hanya sebagai asupan ilmu ilmiah (jasmani), melainkan harus pula mendidik anak dalam membangun karakter diri (personal character), karena mendidik merupakan memberikan asupan karakter (batin/rohani/jiwa).

  Semoga dengan penelitian sederhana ini dapat memberi inspirasi dalam memperhatikan pembangunan karakter yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada dewasa ini, sehingga menjadi bangsa yang cerdas akhlak dan modern dalam pemikiran.

9. Penanaman Kultur/Karakter pada Pendidikan Muhammadiyah

  Seperti layaknya penggemboran pendidikan karakter yang dilakukan pemerintah belakangan ini, Muhammadiyah juga melaksanakan demikian yang dinamakan sebagai Penanaman kultur.

  Pengertian kultur adalah kebudayaan. Penanaman adalah Perihal perbuatan cara. Kebudayaan itu adalah perilaku yang dilaksanakan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dan diakui sebaga suatu budaya. sehingga penanaman kultur adalah cara/perilaku menanamkan suatu hal yang dilaksanakan berulang-ulang kepada diri sendiri atau orang lain agar bisa menjadi suatu kebiasaan.

  Menurut hasil putusan Tanfidz Muktamar Muhammadiyah ke- 46 tentang bab Konsep Pendidikan Muhammadiyah (2010:137) merumuskan aspek penanaman kultur diantaranya sebagai berikut : a. Disiplin (ibadah, waktu, belajar, bekerja),yaitu sikap dan perilaku yang muncul sebagai akibat dari pelatihan atau kebiasaan menaati aturan, hukum atau perintah (Samani, 2012:121).

  b. Kesantunan, yaitubiasa berperilaku sopan santun, berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormatnya kepada orang lain (Samani, 2012:119).

  c. Keteladanan, yaitusesuatu (perbuatan, barang, dsb) yang patut ditiru (Poerwadarminta, 2007 :1231).

  d. Kejujuran, yaitu menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas dan lurus hati, tidak suka berbohong, mencuri dan fitnah, tidak pernah bermaksud menjerumuskan orang lain (Samani, 2012:124).

  e. Kesederhanaan, yaitu berperilaku dalam hal sedang-sedang atau sederhana dalam konteks keadaan atau sifat (Poerwadarminta, 2007 :1047).

  f. Kebersihan, yaitu kebiasaan baik dalam kesehatan pribadi

  

(personal hygiene) dan selalu menjaga agar segala sesuatunya

rapi dan bersih (Samani, 2012:53).

  g. Suka beramal saleh, yaitu perihal atau perilaku seseorang yang taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan agamanya, dan suci hidupnya menurut agama yang dianut (Poerwadarminta, 2007 :1015). h. Layanan, yaitu perihal atau cara melayani, menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain (Poerwadarminta, 2007 :674). i. Hemat, yaitu kebiasaan baik untuk tidak melakukan pemborosan, berhati-hati (dalam memakai uang)

  (Poerwadarminta, 2007 :413). j. Percaya diri, yaitupercaya kepada diri sendiri, pada kemampuan dan kecakapan diri sendiri, suatu sikap mental yang percaya sepenuhnya dan bergantung pada kemampuan sendiri (Samani, 2012:130). k. Sabar dan bersyukur, yaitu mewujudkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman dan taqwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan (Samani, 2012:123). l. Bijak dan bertanggungjawab, yaitu Mengenal dan menjauhi kata-kata, tindakan, dan sikap yang dapat menimbulkan akibat- akibat yang tidak diinginkan, atau dapat menyakiti hati orang lain (Samani, 2012:121).

  Tanggung jawab adalah mengerjakan tugas-tugas dengan semestinya. Menghindarkan diri dari sikap menyalahkan orang lain. Memahami dan menerima resiko atau akibat dari suatu tindakan terhadap diri sendiri dan orang lain. (Zuriah, 2008:98). m. Dinamis, yaitu menggunakan kekuatan sosial, kekuatan moral dan kekuatan intlektual untuk menghasilkan aktivitas dan perubahan dan keluar dari situasi rutin tertentu (Samani, 2012:121). n. Berpikiran maju, yaitu sikap dan perilaku sesorang untuk dapat berfkir jernih, tidak buruk sangka, dan mendahulukan sisi positif dari suatu masalah (Zuriah, 2008:199).

10. Penanaman Kultur/Karakter ditinjau dari Teori Behavioristik dan Teori Gestalt

  Penanaman dapat dikatakan sebagai perihal cara menumbuhkan sesuatu dengan menenamkan dogmatisasi dari dalam diri dengan cara melakukan sebuah pembiasaan yang dilakukan secara berulang ulang sehingga membudaya menjadi suatu pembiasaan.

  Mewujudkan sebuah karakter bagaikan mengukir tulisan diatas batu memperlukan waktu yang lama akan tetapi hasil tulisan itu akan bertahan lama begitu pula dengan membangun karakter anak.

  Karakter merupakan nilai yang abstrak pada diri seseorang,penilaian itu hanya dapat diukur oleh penilaian diri sendiri maupun orang lain dengan alat ukur sikap/perilaku yang timbul dari individu tersebut. Karakter dapat pula dinamakan dengan pembiasaan sikap/perilaku yang baik, semakin sering membiasakan perilaku baik maka dapat pula dikatakan sebagai orang yang berkarakter.

  Melihat dari sifat dari penanaman kultur/pembiasaan karakter ada kesamaannya dengan teori belajar behavioristik dan teori gestalt.

  Teori behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku. Hal ini diperkuat dengan pendapat Rahyubi (2012:17) bahwa aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak dari hasil belajar. Belajar mengandung arti perubahan perilaku sebagai pengaruh lingkungan, perubahan tingah laku ini sebagai hasil dari pengalaman yang menjadi sebuah pembiasaan.

  Hasil yang diharapkan dari teori behavioristik ini adalah terbentuknya perilaku yang diinginkan. Salah satu tokoh behavioristik adalah John B. Watson seorang ilmuan penggagas utama aliran behavioristik. Menurut Rahyubi (2012:16) bahwa Watson menekankan pentingnya pendidikan dalam perubahan tingkah laku, menurutnya manusia bisa dikondisikan dengan cara-cara tertentu agar mempunyai sifat-sifat tertentu pula.

  Tokoh aliran behavioristik lainnya adalah Albert Bandura, prinsip dasar belajar menurut Bandura meliputi proses belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (Syah, 2003:43) menyatakan hasil temuan Bandura bahwa sebagaian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku

  (modeling) .

  Hal ini diperkuat dengan pendapat Bandura (Gredler, 2011:425) menyatakan bahwa secara umum behavioris memandang belajar imitatif sebagai asosiasi antara tipe stimulus tertentu dan sebuah respon. Sebagai contoh siswa dapat merespon atau mempelajari dari percontohan guru sebagai sesorang yang diteladani dan keadaan pembiasaan sikap tertentu yang dilakukan dilingkungan sehingga mempengaruhi respon siswa tersebut untuk meniru/mengimitasi.

  Teori gestalt memaknai bahwa individu memahami aspek dari lingkungan sebagai aturan yang sudah terorganisir dan menjadi stimuli, aturan yang sudah terorganisir ini dikatakan sebagai proses yang mempengaruhi persepsi.

  Sejalan dengan itu menurut Gredler (2011:63) menyatakan bahwa psikolog gestalt fokus dalam persepsi belajar. Organisme merespons keseluruhan ketimbang stimuli spesifik, organisasi stimuli mempengaruhi persepsi, dan individu membangun persepsi ketimbang hanyamenerima informasi secara pasif.

  Dari beberapa teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa penanaman karakter pada anak/siswa dapat berdasarkan dari teori belajar behavioristik dan teori gestalt. Teori behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada perubahan tingkah laku melalui proses belajar, pelatihan, dan pengulangan sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Dari kebiasan-kebiasaan tersebut timbulah sebuah pengalaman dari individu tersebut, behavioristik memandang individu sebagai manusia yang reaktif atau memberikan respon terhadap lingkungannya. Teori gestalt teori belajar yang menekankan perubahan tingkah laku anak dengan cara anak merespon dari stimuli yang sudah terorganisir dan alamiah.

  Dengan melihat kaidah dan karakteristik teori behavioristik dan teori Gestalt, dalam menanamkan nilai karakter ada dua pilihan teori dasar penanaman nilai yaitu melalui teori behavioristik dan teori gestalt.

B. Pendidikan Muhammadiyah 1. Pendidikan dalam Perspektif Islam

  Ramayulis (2008:121) menjelaskan tentang dasar pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sebab sistem pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

  Pendidikan Isalam seperti halnya dengan pendidikan pada umumnya yaitu membentuk individu menuju kematangan dalam berpikir, dewasa dalam bertindak tetapi membutuhkan proses yang panjang. Sehubungan dengan hal tersebut pendidikan Islam mengikuti dari tujuan pendidikan pada umumnya.

  Sejalan dengan hal tersebut, Prodjokusumo (1990:165) menjelaskan bahwa pendidikan umat Islam awal abad ke-20, masih dalam keadaan tidak memperhatikan ilmu pengetahuan. Menurutnya di negara yang mayoritas berpenduduk muslim masih tertinggal dalam ilmu pengetahuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menghargai manusia yang berilmu dan menjadikan manusia berilmu sebagai khalifah.

  Peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah konsep pendidikan yang mengaju pada kaidah ajaran Islam yang berpusat pada Al qur’an dan Hadist sebagai referensi dalam pengemasanan pendidikan. Salah satu lembaga organisasi masyarakat yang di namakan dengan organisasi Muhammadiyah mempunyai pemikiran atau metode tersendiri dalam mengemas pendidikan. Pendidikan Muhammadiyah memadukan antara konsep pendidikan Islam dengan konsep pendidikan pada umumnya.

2. Sejarah pendidikan Muhammadiyah

  Menurut tuturan dari Pradjokusumo (1990:164) di tahun 1912 KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang diberi nama Sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu berbeda dengan sekolah negeri (umum) yang ada pada waktu itu tidak mengajarkan agama Islam, dan berbeda dengan pesantren yang tidak mengajarkan pengetahuan umum.

  Sekolah Muhammadiyah menampilkan pendidikan dengan cara mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan ilmu agama, ilmu pengatahuan dan ilmu agama terintegrasi dalam satu pembelajaran. Jika melihat sejarah sekolah Muhammadiyah berkembang sangat cepat bersamaan dengan berkembangnya cabang-cabang persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan.

  Sejalan dengan itu Kantao (1990:154) menerangkan bahwa salah satu amal usaha yang dikembangkan Muhammadiyah dalam bergerak meraih tujuannya ialah mamajukan dan memperbaharui pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut Islam. Muhammadiyah telah mengupgrading pendidikan agama dengan memodifikasi pendidikan agama kejalan modernisasi, menukar sistem pesantren/pondok dengan sistem pendidikan modern sesuai dengan tuntutan zaman.

  Berbagai teori di atas dapat peneliti simpulkan bahwa pendidikan Muhammadiyah hadir dari sebuah kegelisahan seorang Kyai yang melihat keadaan masyarakat sekitar dalam kondisi bodoh, baik dari segi pemikiran maupun akhlaknya karena pengaruh dari berbagai sektor, misalnya sektor politik, sektor ekonomi, dan keadaan masyarakat. Hal tersebut yang menjadikan seorang Kyai Ahmad Dahlan mendirikan sebuah lembaga pendidikan (sekolah) yang berbeda, pendidikan dalam prespektif Ahmad Dahlan mengaca dan mengambil dari konsep Pendidikan Barat, mengubah suasana belajar dari pesantren menjadi sekolah modern, mengubah seorang Kyai menjadi seorang guru, membebaskan pendapat santri sebagai ide/bahan pembelajaran.

3. Pendidikan Muhammadiyah

  Menurut keputusan Tanfidz Muktamar ke-46, tentang bab rumusan filsafat Pendidikan Muhammadiyah, pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah SWT sebagai Robb dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Dengan kesadaran spiritual makrifat (iman/tauhid) dan penguasaan

  IPTEKS, seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli sesama yang menderita akibat kebodohan dan kemiskinan, senantiasa menyebarluaskan kemakmuran, mencegah kemungkaran bagi pemuliaan kemanusiaan dalam kerangka kehidupan bersama yang ramah lingkungan dalam sebuah bangsa dan tata pergaulan dunia yang adil, beradab dan sejahtera sebagai ibadah kepada Allah. Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan dan antara iman dengan kemajuan secara holistik. Sehingga pendidikan Muhammadiayah melahirkan generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya, sekaligus mampu menghadapi dan menjawab tantangan zaman. Inilah yang disebut dengan pendidikan Islam yang berkemajuan.

  Menurut keputusan Tanfidz Muktamar ke46 menjelaskan bahwa IPTEKS adalah hasil pemikiran rasional secara holistik dan komprehensif atas realitas alam semesta (ayat kauniah) dan atas wahyu dan sunnah (ayat qauliyah) yang merupakan satu kesatuan integral melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang terus menerus diperbaharui bagi kemuliaan kemanusiaan dalam alam kehidupan yang lestari. Penguasaan IPTEKS adalah langkah awal dari tumbuhnya kesadaran makrifat, sehingga pemikiran rasional adalah awal dari kesadaran spiritual makrifat ketuhanan. Pengabdian ibadah kepada Allah meliputi ibadah yang terangkum dalam rukun Islam, penelitian dan pengembangan IPTEKS, penataan lingkungan hidup yang lestari berkelanjutan dalam kehidupan bersama yang beradab, berkeadilan dan sejahtera, serta pembebasan setiap orang dari penderitaan akibat kebodohan dan kemiskinan. Sejalan dengan kajian di atas Prodjokusumo (1990:166) kembali menjelaskan tentang pendidikan Muhammadiyah. Sistem pendidikan Muhammadiyah berada di dalam sistem pendidikan di Indonesia dan di dalam kebudayaan bangsa Indonesia yang berkembang. Pendidikan (sekolah) Muhammadiyah mempunyai ciri/identitas sekolah Muhammadiyah, di dalam pendidikan Muhammadiyah pendidikan Islam sangat kental dan ideal, serta wajib dilaksanakan. Akan tetapi hal tersebut masih sulit dilakukan di Indonesia, karena pendidikan itu sendiri adalah suatu produk dari manusia yang kepribadiannya sangat dipengaruhi olehalam dan kebudayaan masyarakatnya.

  Rais (1985:14) menambah tentang perihal tersebut, Muhammadiyah telah mengadakan pembaharuan pendidikan agama dengan jalan modernisasi dalam sistem pendidikan, menukar sistem pendidikan pondok dan pesantren dengan sistem pendidikan yang modern yang sesuai dengan tuntutan zaman. Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang khas agama namun bersifat umum, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

  Kemudian Pasha (2009:117) menambahkan bentuk penerapan pendidikan Muhmmadiyah, bahwa salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan dan tuntutan zaman.

  Tidak saja isi dan metode pengajaran yang tidak sesuai, bahkan sistem pendidikannya pun harus diadakan perombakan yang mendasar.

  Sebuah gagasan yang besar dan penting dengan didirikannya sekolah yang memadukan antara pelajaran agama dan pelajaran yang digolongkan dengan ilmu umum. Dengan sistem tersebut bangsa Indonesia dididik menjadi bangsa yang utuh kepribadiannya, sehingga menjadi pribadi yang berilmu dan santun dalam bersikap.

  Menurut Pasha (2012:118) untuk memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan umum, maka ditempuh usaha perpaduan antara keduanya, yaitu dengan :

  a. Mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukan ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan dan, b. Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.

  Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu umum, semuannya adalah perintah dalam naungan agama.

  Melihat berbagai teori diatas maka dapat peneliti simpulan bahwa pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan yang melihat ke arah modernisasi, dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan menyesuaikan dengan keberadaan perubahan sosial. Pendidikan Muhammadiyah memadukan antara ilmu duniawi dan akhirati, aritnya ada perpaduan yang pas antara mengajarkan ilmu umum sebagai bekal hidup di masyarakat, dan mengajarakan ilmu agama sebagai bekal di akhirat kelak. Sehingga timbul persepsi bahwa pendidikan di Muhammadiyah lebih nampak pada pembiasaan nilai karakter Islami.

4. Ciri khas pendidikan Muhammadiyah

  Menurut Kantao (1990:154) ciri khas pendidikan Muhammadiyah ialah beridentitas Islam. Dasar pendidikan Muhammadiyah adalah Islam yang bersumber dar Al-

  Qur’an dan Sunnah Rosul. Kemudian tujuan dari pendidikan Muhammadiyah adalah terwujudnya manusia muslim.

  Hakikat pendidikan Muhammadiyah adalah mencerminkan pendidikan Islam dengan melaksanakan komponen pendidikan Islam yang mantap dan terpadu. Guru dan siswa menghayati dan mengamalkan cara hidup, cara bergaul, cara belajar, dan sebagainya sesuai dengan ajaran Islam, baik di sekolah maupun luar sekolah.

  Pendidikan Muhammadiyah berbeda dengan pendidikan secara umum, sekolah Muhammadiyah melaksanakan pendidikan agama Islam secara luas dan mendalam meliputi tauhid, ibadah, akhlak, dan ilmu pembantu dalam pendidikan Islam serta Kemuhammadiyahan.

  Kantao (1990:158) menambahkan bahwa, ciri khas Pendidikan Muhammadiyah adalah keharusan pembinaan pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan melalui dua jalan yaitu jalan kurikulum dan di luar kurikulum. Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di luar kurikulum seperti : latihan, praktek di lapangan.

  Selanjutnya menurut Prodjokusumo (1990:164) mengatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah mempunyai ciri dan identitas Islam yaitu : Dasar pendidikan Islam yang bersumber dari Al-

  Qur’an dan Sunnah Rosul.

  

Tujuan pendidikan : Terwujudnya manusia Muslim.

  Al- Qur’an mengajarakan bahwa :

  a. Allah menciptakan Manusia dan memberikan tuntunan (supaya hidup sehat, sejahtera, bahagia) dan memimpinnya. (Q.S Al- A’la ayat 2 dan 3).

  b. Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang mukmin (Q.S Al-Baqarah 2).

  Peneliti menyimpulkan bahwa Maha Mendidik dan Maha Pendidik sekaligus Maha Penyantun adalah Allah SWT, karena itu jika orang Islam mengikuti petunjuk Allah, Al-

  Qur’an, maka akan sampai pada tujuan pendidikan dari Maha Pendidik.

C. Kerangka Pikir

  Simon P hilips (Mu’in 2011:160) karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Karakter dapat dilukiskan ke dalam benak sesorang (anak), membangun karakter sejatinya lebih mudah jika diterapkan dari usia dini melalui pendidikan formal maupun informal.

  Pendidikan Karakter menurut Ratna Megawangi (Dharma dkk, 2012:5) adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.

  Pendidikan karakter adalah usaha sadar pembentukan/pengukiran sifat-sifat baik kepada anak didik dengan berbagai cara, misalnya dengan cara keteladanan dan percontohan, pembiasaan sikap baik dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup anak didik, dan untuk mempersiapkan anak menjalani kehidupan di masyarakat supaya dapat memberikan kontribusi positif kepada lingkungannya.

  Lemahnya pendidikan karakter berakibat pada degradasi moral yang menjangkit pada bangsa Indonesia ini. Pemerintah lewat Kemendikbud melalui pusat kurikulum (Wijaya, 2012:78) merumuskan pendidikan karakter yang tercermin pada 18 karakter bangsa, 18 karakter bangsa tersebut diantaranya: 1.Religius, 2.Jujur, 3.Toleransi, 4.Disiplin,

  5.Kerja Keras, 6.Kreatif, 7.Mandiri, 8.Demokratis, 9.Rasa Ingin Tahu,

  10.Semangat Kebangsaan, 11.Cinta Tanah Air, 12.Menghargai Prestasi,

  13.Bersahabat/Komunikatif, 14.Cinta Damai, 15.Gemar membaca, 16.Peduli Lingkungan, 17.Peduli Sosial, 18.Tanggung Jawab.