Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Korupsi Dalam Pemahaman dan Sikap Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

LAMPIRAN:
Undang-Undang no 20 Tahun 2001
Tindak Pidana Korupsi
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999).
3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan

dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU
No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
78

bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang.
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang.

e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001).
7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
(Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).
8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal
10 UU No. 20 Tahun 2001):
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan
di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
79

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11
UU No. 20 Tahun 2001).
10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri
80

atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,

meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya

bahwa

perbuatan

tersebut

bertentangan

dengan

peraturan

perundangundangan; atau

i.

pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.

11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001).
12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU
No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31
Tahun 1999.

81


Peraturan No 6. Tentang Perbendaharaan GPIB
Memori Penjelasan

Peraturan no 6
Tentang
Perbendaharaan GPIB

Pasal 1:

Pasal 1

1. Perbendaharaan

Pengertian

GPIB

meliputi


Perbendaharaan GPIB adalah seluruh harta milik

Penatalayanan Anggaran, Perbendahraan

yang ada di GPIB

dan Pencatatan Pembukuan;
2. Semua harta milik, baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, adalah atas
nama GPIB
Pasal 2: Cukup Jelas

Pasal 2
Fungsi Perbendaharaan
Perbendaharaan GPIB berfungsi sebagai salah
satu

alat

penunjang


pelayanan

dalam

melaksanakan panggilan dan pengutusan secara
tepat sasaran (efektif) dan tepat guna (efisien).

Pasal 3

Pasal 3

: Cukup jelas

Ruang Lingkup Kegiatan Perbendaharaan
Ruang Lingkup Kegiatan Perbendaharaan GPIB
untuk lingkup Sinodal dan lingkup Jemaat

82


meliputi:
1. Menyusun,

memutakhirkan

dan Pasal 3:1

: Cukup jelas

mengimplementasikan anggaran penerimaan
dan pengeluaran serta memantau varianvarian yang terjadi antara anggaran dan
realisasi;
2. Menerima, menyimpan dan mengeluarkan Pasal 3:2

: Cukup jelas

uang, termasuk uang di bank dan pengaturan
pemanfaatan dan pegelolaannya;
3. Menyimpan, memelihara dan mengelola Pasal 3:3
perbendaharaan


termasuk

: Cukup jelas

dokumen

pendukungnya dengan cermat, bertanggung
jawab dan bijaksana;
4. Menata dengan cermat kewajiban/utang dan Pasal 3:4
piutang

GPIB,

termasuk

: Cukup jelas

kewajiban

penjamin.
5. Menyelenggarakan

manajemen

resiko, Pasal 3:5

: Cukup jelas

termasuk menyusun dan memelihara sistem
pengendalian internal untuk mengamankan
perbendaharaan GPIB;
6. Menyelenggarakan catatan pembukuan yang Pasal 3:6

: Cukup jelas

memenuhi ketentuan yang berlaku;
7. Menyusun laporan keuangan yang tepat Pasal 3:7

: Cukup jelas

83

waktu dan relevan sebagai materi Sidang
Majelis Jemaat.
Pasal 4

Pasal 4

: Cukup jelas

Tata Laksana Pengelolaan
1. Harta milik GPIB berupa harta bergerak dan

Pasal 4:1

: Cukup jelas

tak bergerak, baik yang diwariskan oleh de
Protestansche Kerk in Nederlandse Indie
maupun yang diperoleh kemudian oleh
Majelis Sinode/Majelis Jemaat, dinyatakan
dalam sertifikat kepemilikan atas nama
GPIB sesuai ketentuan perundang-undangan
yang berlaku;
2. Pengurusan sertifikat harta milik GPIB

Pasal 4:2

: Cukup jelas

3. Penyimpanan sertifikat kepemilikan harta tak Pasal 4:3

: Cukup jelas

berupa harta tk bergerak, dalam memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, dilakukan oleh Majelis Sinode
bekerja sama dengan Majelis Jemaat
setempat;

bergerak sebagaimana dimaksud dalam butir
(2), baik yang berada dalam penggunaan,
pengelolaan, penguasaan maupun yang tidak
berada dalam penguasaan Majelis

84

Sinode/Majelis Jemaat, termasuk namun
tidak terbatas yang dikelola oleh Yayasan
yang didirikan oleh GPIB harus dilakukan
oleh Majelis Sinode;
4. Pengurusan dan penyimpanan dokumen

Pasal 4:4

: Cukup jelas

Pasal 4:5

: Cukup jelas

Pasal 4:6

: Cukup jelas

Pasal 4:7

: Mendesak dimaksud adalah

tanda kepemilikan harta bergerak di lingkup
Sinodal/Jemaat dilakukan oleh Majelis
Sinode/Majelis Jemaat;
5. Pemeliharaan harta milik GPIB yang
digunakan atau dikelola oleh Majelis Sinode
atau Majelis Jemaat atau pengurus Yayasan
menjadi tangbgung jawab masing-masing;
6. Pemeliharaan harta milik GPIB berupa harta
tak bergerak yang belum dapat digunakan,
wajib menjadi tanggung jawab Majelis
Sinode;
7. Harta milik GPIB berupa harta tak bergerak
yang hendak dialihkn hak kepemilikannya

menyangkut kondisi kritis yang

harus mendapat persetujuan dan pengesahan

dialami oleh GPIB, baik secara

oleh dan di dalam Persidangan

sinodal maupun jemaat.

Sinode/Persidangan Sinode Tahunan;
8. Pengajuan rencana pengalihan harta milik

Pasal 4:8

: Cukup jelas

GPIB berupa harta tak bergerak sebagaimana

85

dimaksud dalam butir (7) harus disertai
dengan suatu perencanaan serta rinci yang
berisi alasan pengalihan dan rencana
penggunaan hasil pengalihan yang dibuat
oleh tenaga ahli di bidang tersebut dengan
didukung oleh suatu studi kelayakan;
9. Rencana pengalihan harta milik GPIB

Pasal 4:9

: Cukup jelas

Pasal 4:10

: Cukup jelas

sebagaimana dimaksud dalam butir (7) wajib
disampaikan kepada seluruh Majelis Sinode
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum
Persidangan Sinode;
10. Ketentuan dalam butir (7), (8) dan (9) juga
berlaku untuk transaksi Tukar Guling
(Ruilslag), Bangun Kelola Serah (Built
Operate Transfer) atau BOT, BTO (Built
Transfer Operator) dan transaksi bagi hasil
lainnya dengan pihak ketiga;
11. Tanpa melalui keputusan Persidangan

Pasal 4:11

: Cukup jelas

Sinode/Persidangan Sinode Tahunan, baik
Majelis Sinode, Majelis Jemaat maupun
pihak lain, tidak diperkenankan menguasai
atau mengagunkan harta milik GPIB;
12. Setiap tindakan pelepasan atas hak atau

Pasal 4:12

: Cukup jelas

86

mengagunkan harta milik GPIB, tanpa
melalui prosedur atau ketentuan-ketentuan di
atas akan dikenai sanksi hukum, baik
perdana maupun pidana;
13. Harta milik GPIB berupa gedung Gereja dan

Pasal 4:13

: Cukup jelas

Pasal 5

: Cukup jelas

Pasal 5:1

: Cukup jelas

Pasal 5:2

:Sentralisasi terbatas adalah

gedung-gedung penting lainnya perlu
diasuransikan.
Pasal 5
Tahun Program dan Anggaran serta
Sistem Pengelolaan
1. Tahun program dan anggaran GPIB adalah
tanggal 1 April tahun berjalan sampai dengan
31 Maret tahun berikutnya;
2. Dalam mengelola perbendaharaanya, GPIB
menganut sistem sentralisasi terbatas;

sentralisasi di lingkup Sinodal
yang memberi wewenang kepada
jemaat sesuai peraturan GPIB.

3. Majelis Jemaat diwajibkan menyampaikan

Pasal 5:3

: Cukup jelas

laporan penerimaan dan pengeluaranb setiap
akhir triwulan kepada Majelis Sinode,
selambat-lambatnya pada akhir bulan
berikutnya setelah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Perbendaharaan Jemaat dan

87

disahkan dalam Sidang Majelis Jemaat;
4. Majelis Jemaat diwajibkan menyusun daftar

Pasal 5:4

: Cukup jelas

Pasal 5:5

: Cukup jelas

kekayaan dan utang piutang setiap akhir
tahun buku kepada Majelis Sinode selambatlambatnya pada akhir bulan Mei setelah
diperiksa oleh BPPJ dan disahkan oleh SMJ;
5. Tanpa mengurangi isi dari ketentuan dalam
butir (2), khususnya mengenai hubungan
tanggung jawab administrasi keuangan antara
Majelis Jemaat dengan unit-unit Misioner di
jemaat diberlakukan sistem sentralisasi
penuh;
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir Pasal 5:6

: Cukup jelas

(3), (4) dan (5) diatur dalam Petunjuk Teknis.
Pasal 6

Pasal 6

Sumber Penerimaan
Sumber Penerimaan di GPIB terdiri atas:
1. Jemaat
a. Persembahan (wajib persepuluhan)

Pasal 6:1 : Cukup jelas
Pasal 6:1.a : perlu ada pembinaan tentang
persepuluhan.

b. Persembahabn Khusus (persembahan

Pasal 6:1.b : Cukup jelas

syukur)
c. Persembahan Sukarela (persembahan

Pasal 6:1.c : Cukup jelas

88

dalam ibadah-ibadah jemaat)
d. Bantuan perorangan atau pemerintah yang

Pasal 6:1.d : Cukup jelas

tidak terikat, baik berupa uang, barang
maupun penghibahan
e. Hasil investasi

Pasal 6:1.e : Cukup jelas

f. Penerimaan lain-lain yang tidak

Pasal 6:1.f : Cukup jelas

bertentangan dengan ketentuan GPIB dan
ketentuan perundang-undangan yang
berlaku
2. Sinodal
a. Persembahan Wajib; Persembahan

Pasal 6:2

: Cukup jelas

Pasal 6:2.a : Cukup jelas

Persepuluhan bulanan, Penggajian
Sinodal dan Dana Penyangga Gaji
Pendeta dan Pegawai (DPGP2)
b. Persembahan Khusus; Persembahabn

Pasal 6:2.b : Cukup jelas

dalam rangka HUT GPIB, HUT Pelkatpelkat dan hari-hari raya gerejawi
c. Persembahan Sukarela; Persembahan

Pasal 6:2.c : Cukup jelas

perorangan atau bantuan pemerintah
d. Hasil investasi

Pasal 6:2.d : Cukup jelas

e. Penerimaan lain-lain yang tidak

Pasal 6:2.e

: Penerimaan GPIB di lingkup Jemaat

bertentangan dengan ketentuan GPIB dan

maupun

ketentuan perundang-undangan yang

dimaksud dalam butir 1 dan 2 di

Sinodal

sebagaimana

89

atas adalah termasuk penerimaan

berlaku.

oleh unit-unit missioner di lingkup
jemaat atau sinodal, yang tidak
bertentangan

dengan

ketentuan

GPIB dan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 7

Pasal 7

Bendahara
1. Bendahara ialah Presbiter GPIB yang

Pasal 7: 1

: Cukup jelas

Pasal 7:2

: Cukup jelas

Pasal 7:3

: Cukup jelas

Pasal 7:4

: Cukup jelas

bertanggung jawab atas pengelolaan
perbendaharaan
2. Para Ketua Bidang di Majelis Jemaat/Majelis
Sinode tidak diperkenankan merangkap
jabatan bendahara;
3. Apabila jabatan bendahara menjadi lowong
dan berhalangan tetap, maka melalui Sidang
Majelis Jemaat segera ditunjuk seorang
Pelaksana Tugas (Plt) dari fungsionaris
Majelis Jemaat/PHMJ dengan mendahulukan
Bendahara I;
4. Bendahara bersama Ketua IV menyusun
laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 butir 6;

90

5. Pengeluaran uang oleh bendahara hanya dapat Pasal 7: 5

: Cukup jelas

dilakukan apabila telah disetujui oleh
SMJ/rapat PHMJ dan telah memperoleh fiat
otorisasi dari Ketua Bidang bersangkutan;
6. Uang yang disimpan pada Bank harus atas

Pasal 7: 6

: Cukup jelas

Pasal 7:7

: Cukup jelas

Pasal 7:8

: Cukup jelas

nama Majelis Jemaat/Majelis Sinode dari
hanya dapat dikeluarkan berdasarkan
keputusan SMJ/rapat PHMJ dan mendapat
otorisasi Ketua IV bersama Bendahara.
Apabila Ketua IV berhalangan, maka
Bendahara dapat memberikan persetujuannya
bersama Ketua Majelis Jemaat/Majelis
Sinode;
7. Ketentuan mengenai wewenang otorisasi
pengeluaran uang secara rinci sebagimana
dimaksud dalam butir 5, diatur dalam
Peraturan Pelaksanaan Majelis
Jemaat/Majelis Sinode;
8. Mengenai kebijakan pengelolaan
perbendaharaan pada umumnya, Bendahara
Majelis Jemaat menyampaikannya kepada
Rapat PHMJ untuk diinformasikan di dalam
SMJ.

91

Pasal 8

Pasal 8

Persyaratan Bendahara
Syarat untuk dapat dipilih sebagai Bendahara
dan Bendahara I adalah harus memenuhi
kualifikasi teknis berikut:
Pasal 8:1

: Cukup jelas

2. Jujur, tekun, lugas dan akurat;

Pasal 8:2

: Cukup jelas

3. Tidak berada dalam kesulitan finansial;

Pasal 8:3

: Cukup jelas

4. Tidak pernah dihukum karena terlibat perkara

Pasal 8:4

: Cukup jelas

Pasal 8:5

: Cukup jelas

1. Mempunyai pengetahuan/keahlian yang layak
dalam urusan perbendaharaan;

tindak pidana di bidang keuangan;
5. Harus berpenghasilan tetap dan mempunyai
tempat tinggal sendiri.
Pasal 9

Pasal 9

Tatalaksana Pembukuan
1. Tata Pembukuan GPIB disesuaikan dengan

Pasal 9:1

: Cukup jelas

sifat dan volume kegiatan masing-masing unit
organisasi, namun harus dengan sasaran
terjaminnya:
a. Pencatatan mutasi keuangan dan harta

Pasal 9:1.a

: Cukup jelas

Pasal 9:1.b

: Cukup jelas

milik GPIB secara baik, tertib dan teratur
b. Pemeriksaan/control pembukuan yang
baik

92

c. Penyusunan anggaran penerimaan dan

Pasal 9:1.c

: Cukup jelas

Pasal 9:1.d

: Cukup jelas

Pasal 9:2

: Cukup jelas

a. Buku Harian (kas, bank dan memorial)

Pasal 9:2.a

: Cukup jelas

b. Buku Besar dan Buku Pembantu

Pasal 9:2.b

: Cukup jelas

c. Daftar Perhitungan Penerimaan dan

Pasal 9:2.c

: Cukup jelas

Pasal 9:3

: Cukup jelas

Pasal 9:4

: Cukup jelas

Pasal 9:5

: Cukup jelas

pengeluaran yang efektif dan efisien
d. Penyusunan laporan penerimaan dan
pengeluaran tepat waktu.
2. Dalam sistem pembukuan digunakan:

Pengeluaran
3. Setiap akhir minggu/akhir bukan Bendahara
bersama fungsionaris Majelis Sinode/PHMJ
lain yang ditugaskan untuk itu, melakukan
perhitungan kas (kas Opname) dan
memeriksa kebenaran formal dari bukti
penerimaan/pengeluaran kas yang telah
dibukukan dan hasilnya dimuat dalam berita
acara pemeriksanaan
4. Setiap akhir bulan, Bendahara bersama
fungsionaris Majelis Sinode/PHMJ lain yang
ditugaskan untuk itu, melakukan pencocokan
saldo menurut buku bank dengan rekening
Koran yang diterima dari bank
5. Majelis Sinode/Majelis Jemaat wajib

93

menyusun dan memutakhirkan daftar
inventaris GPIB yang berada di bawah
penguasaannya setiap akhir tahun buku.
Pasal 10

Pasal 10

Laporan Keuangan
1. Laporan Keungan terdiri atas:

Pasal 10:1

: Cukup jelas

a. Laporan Penerimaan dan Pengeluaran

Pasal 10:1.a

: Cukup jelas

b. Laporan harta milik bergerak dan tidak

Pasal 10:1.b

: Cukup jelas

Pasal 10:1.c

: Cukup jelas

Pasal 10:2

: Cukup jelas

Pasal 10:3

: Cukup jelas

bergerak
c. Catatan atas laporan keuangan
2. Laporan penerimaan dan pengeluaran dibuat
oleh Majelis Jemaat untuk diinformasikan
secara mingguan dan bulanan melalui warta
jemaat;
3. Laporan keuangan dibuat oleh Majelis Jemaat
setiap akhir triwulan dan akhir tahun buku
untuk bahan Sidang Majelis Jemaatt. Laporan
keuangan untuk Majelis Sinode disertai
laporan dari BPPJ
4. Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
BPPG dibuat oleh Majelis Sinode setiap

Pasal 10:4

: Laporan keuangan majelis Sinode
harus disertai neraca

akbhir tahun semester dan akhir tahun buku
untuk disampaikan kepada jemaat-jemaat.

94

Bila dianggap perlu Majelis Sinode dapat
meminta akuntan public untuk mengaudit
laporan keuangan Majelis Sinode
5. Laporan pertanggungjawaban keuangan
dibuat oleh Majelis Jemaat pada akhir masa

Pasal 10:5

: Cukup jelas

Pasal 10:6

: Cukup jelas

Pasal 10:7

: Cukup jelas

tugasnya untuk bahan Sidang Majelis Jemaat
dengan disertai laporan BPPJ
6. Laporan keungan dalam rangka alih tugas
Pendeta/Ketua Majelis Jemaat terdiri atas
laporan kas dan bank, daftar inventaris Jemaat
serta memori akhir tugas
7. Laporan pertanggungjawaban yang dilakukan
oleh PHMJ lama kepada PHMJ baru harus
disertai pemeriksaan fisik sebelum
penandatanganan berita acara dilakukan
8. Bentuk laporan penerimaan dan pengeluaran

Pasal 10:8

: Cukup jelas

Pasal 10:9

: Cukup jelas

Pasal 10: 10

: Cukup jelas

serta laporan keuanganb, sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur dalam
Peraturan Pelaksanaan
9. Semua laporan Keuangan di Jemaat, ditanda
tangani oleh Ketua IV dan Bendahara PHMJ
10. Laporan keuangan tahunan Majelis Jemaat
disampaikan kepada Majelis Sinode dengan

95

tembusan kepada BP Mupel untuk menjadi
materi dalam Persidangan Sinode Tahunan
11. Laporan keuangan Majelis Sinode

Pasal 10: 11

: Cukup jelas

Pasal 10: 12

: Cukup jelas

disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada
jemaat-jemaat dan secara tahunan pada
Persidangan Sinode Tahunan setelah
diperiksa oleh BPPG
12. Setiap akhir masa tugas. PHMJ
menyampaikan laporan keuangan yang telah
diperiksa BPPJ termasuk tunggakan
kewajiban-kewajiban jemaat yang
dicantumkan dalam lampiran berita acara
seraj terima
Pasal 11

Pasal 11

Sanksi
1.Apabila dalam melakukan kegiatan

Pasal 11:1

: Cukup jelas

sebagaiman dimaksud dalam pasal 10 ayat (3)
terdpat ketidakcocokan antara saldo fisik kas
dan buku kas, maka ditempuh penyelesaian
sebagai berikut:
a. Dalam hal terjadi kelebihan fisik kas, maka Pasal 11:1.a

: Cukup jelas

kelebihan tersebut dibukukan sebagai
penerimaan Majelis Sinode/Majelis

96

Jemaat.
b. Dalam hal terjadi kekuarangan fisik kas

Pasal 11:1.b

: Cukup jelas

yang tidak disengaja, maka kekurangan ini
dibukukan sebagai piutang/tagihan Majelis
Sinode/Majelis Jemaat terhadap pemegang
kas/Bendahara/Bendhara I, sedangkan
jangka waktu penyelesaiannya ditetapkan
oleh Majelis Sinode/PHMJ
c. Dalam hal terjadi kekurangan fisik kas

Pasal 11:1.c

: Cukup jelas

yang disengaja dan telah terbukti melalui
pemeriksaan oleh BPPG/BPPJ, maka
pemegang kas diwajibkan mengganti
kekuarangan yang dimaksud
d. Dalam hal pemegang kas menolak

Pasal 11:1.d

bertangungjawab untuk mengganti

: Lihat peraturan kepegawaian
GPIB.

kekurangan sebagaimana dimaksud dalam
butir c, kepadanya dilakukan langkahlangkah pastoral dan bila tidak terjadi
penyelesaiannya maka diselesaikan
menurut ketentuan hukum yang berlaku
e. Dalam hal yang bertanggungjawab atas

Pasal 11:1.e

: Cukup jelas

kekuarangan fisik kas sebagaimana
dimaksud dalam butir c adalah Presbiter

97

GPIB yang tidak tunduk pada Peraturan
Perbendaharaan yang berlaku, maka
terhadap yang bersangkutan berlaku
ketentuan yang diatur dalam ayat-ayat
berikut.
2. Jika terjadi pelanggaran yang mengakibatkan

Pasal 11: 2

: Cukup jelas

Pasal 11: 3

: Cukup jelas

Pasal 11: 4

: Cukup jelas

Pasal 11:4.a

: Cukup jelas

kerugian harta milik/kekayaan GPIB yang
dilakukan oleh fungsionaris pelayanan GPIB
yang tidak tunduk pada Peraturan yang
berlaku, dikenakan sanksi dalam jiwa dan
semangat yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1a,b,c
3.Sanksi bagi Presbiter GPIB di jemaat yang
tidak tunduk pada peraturan Perbendaharaan
yang berlaku dilakukan oleh Majelis Sinode
atas usul Majelis Jemaat.
4.Langkah-langkah yang perlu ditempuh
sebelum pemberian sanksi, diatur sebagai
berikut:
a. BPPG/BPPJ secara khusus menyurati
Majelis Sinode/Majelis Jemaat dan
dengan tegas memberi penjelasan dan
mengenai adanya indikasi pelanggaran

98

b. Pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan

Pasal 11:4.b

: Cukup jelas

Pasal 11:4.c

: Cukup jelas

Pasal 11:4.d

: Cukup jelas

Pasal 11:4.e

: Cukup jelas

Pasal 11:5

: Cukup jelas

Pasal 11:5.a

: Cukup jelas

Pasal 11:5.b

: Cukup jelas

Pasal 11: 6

: Cukup jelas

sementara dan selama masa non-aktif
hanya berhak atas 50% gaji/honor dan
semua hak dan fasilitas lain dihentikan
c. Panitia Ad Hoc dibentuk oleh Majelis
Jemaat/Majelis Sinode untuk melakukan
pemeriksaan, terkait adanya
penyimpangan
d. Pribadi yang bersangkutan berhak untuk
melakukan pembelaan dihadapan panitia
Ad Hoc
e. Keputusan tentang pemberian sanksi atau
pembebasan diambil dalam Sidang
Majelis Jemaat/Sidang Majelis Sinode
5. Sanksi yang dikenakan terdiri atas 2 (dua)
pilihan:
a. Diberhentikan dengan hormat dengan
mengganti kerugian yang ditimbulkan
b. Diselesaikan melalui jalur hukum
6. Jika pegawai yang bersangkutan terbukti tidak
melakukan pelanggaran, maka yang
bersangkutan dipulihkan kembali pada
kedudukan semula dengan hak penuh atas

99

segala yang menjadi haknya dengan berlaku
surut
7. Panitia Ad Hoc lingkup jemaat diangkat oleh

Pasal 11:7

: Cukup jelas

Pasal 11:8

: Cukup jelas

Pasal 11: 9

: Cukup jelas

Majelis Jemaat yang terdiri atas warga jemaat
dan berintegrasi tinggi
8. Biaya panitia Ad Hoc dibebankan pada
anggaran Majelis Jemaat/Majelis Sinode
9. Sanksi yang dijatuhkan Majelis
Jemaat/Majelis Sinode bersifat final, yang
dipertegas oleh Majelis Sinode dengan Surat
Keputusan
Pasal 12

Pasal 12

Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran
1. Dalam rangka mendukung upaya pencapaian

Pasal 12:1

: Cukup jelas

sasaran PKUPPG yang secara operasional
dijabarkan dalam rencana kerja tahunan,
GPIB menyusun anggaran tahunannya yang
terdiri atas anggaran penerimaan dan
pengeluaran
2. Anggaran dimaksud berfungsi sebagai alat

Pasal 12: 2

: Cukup jelas

pengendalian keuangan baik penerimaan
maupun pengeluaran, secara efektif dan
efisien dalam upaya pencapaian hasil

100

optimal dari pelaksanaan rencana kerja GPIB
3. Tahun anggaran adalah sama dengan tahun

Pasal 12:3

: Cukup jelas

Pasal 12:4

: Cukup jelas

buku yaitu mulai 1 April samapi dengan 31
Maret tahun berikutnya
4. Anggaran disusun dalam kelompok anggaran
rutin, non-rutin dan proyek
5. Jika diperlukan dapat diadakan anggaran

Pasal 12:5

: Cukup jelas

tambahan/suplesi paling cepat setelah
triwulan 2 pada tahun anggaran berjalan

Pasal 13

Pasal 13

Anggaran Majelis Sinode/Majelis Jemaat
1. Anggaran tahunan GPIB pada lingkup

Pasal 13:1

: Cukup jelas

2. Anggaran GPIB pada lingkup jemaat disusun Pasal 13:2

: Cukup jelas

Jemaat disusun oleh Majelis Jemaat melalui
PHMJ, kemudian diminta pengesahannya
oleh dan di dalam Sidang Majelis Jemaat
setiap tahun sebelum tahun anggaran baru
dimulai. Anggaran tahunan GPIB pada
lingkup Sinodal disusun oleh Majelis Sinode
dan disahkan dalam PST

dengan memperhatikan hasil PST, hasil
Rapat mupel, hasil Sidang Majelis Jemaat,

101

dan pendapat/usul dari warga sidi Jemaat
dalam pertemuan warga sidi jemaat serta
Badn-badan Pelaksana di dalam jemaat
3. Penyusunan anggaran GPIB pada lingkup

Pasal 13:3

: Cukup jelas

Pasal 13: 4

: Cukup jelas

jemaat harus mencerminkan pemahaman
jemaat missioner melalui rencana
kerja/program kerja unit-unit missioner
4. Anggaran tahunan BPPG/BPPJ disusun oleh
BPPG/BPPJ dan dimasukkan dalam
anggaran tahunan Majelis Sinode/Majelis
Jemaat untuk disahkan pada lingkupnya
masing-masing
Pasal 14

Pasal 14

Ketentuan Penutup
1. Peraturan no 6 ini mulai berlaku sejak

Pasal 14:1

: Cukup jelas

Pasal 14: 2

: Cukup jelas

Pasal 14: 3

: Cukup jelas

tanggal ditetapkan
2. Dengan ditetapkannya peraturan ini, maka
semua ketentuan tentang Perbendaharaan
GPIB yang ditetapkan sebelumnya tidak
berlaku lagi
3. Apabil ada hal-hal yang belum diatur oleh
peraturan ini, maka Majelis Sinode dapat
menyusun dan menetapkannya dalam Sidang

102

Majelis Sinode dan melaporkannya kepada
Persidangan Sinode yang terdekat
4. Perubahan Peraturan ini hanya dapat

Pasal 14:4

: Cukup jelas

dilaksanakan di dalam dan oleh Persidangan
Sinode bila:
a. Diusulkan oleh lebih dari 2/3 jumlah

Pasal 14:4.

: Cukup jelas

Pasal 14:4.b

: Cukup jelas

Pasal 14:4.c

: Cukup jelas

jemaat atau;
b. Diusulkan oleh Majelis Sinode setelah
disetujui oleh lebih dari 2/3 jumlah
jemaat;
c. Usul-usul perubahan disampaikan
selambat-lambatnya 1(satu) tahun
sebelum Persidangan Sinode

103