Politik Dan Lingkungan Hidup (Studi Analisis Kepentingan Indonesia Terhadap Skema Redd+ Dalam Upaya Penyetan Hutan) Chapter III IV

BAB III
ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM SKEMA REDD+
SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN HUTAN
3.1 Skema REDD+ Sebagai Upaya Penyelamatan Hutan di Indonesia
Mayoritas deforestasi dan degradasi hutan dari komoditas berbasis lahan
yang beresiko merusak hutan terjadi karena adanya dorongan serangkaian
interaksi kompleks dengan beberapa faktor ekonomi, demografi, dan kelembagaan
dasar atau tidak langsung. 59 Selain itu, kondisi geografis dan sebaran penduduk di
Indonesia yang cenderung padat pada daerah dataran rendah terutama daerah
pesisir menjadi sebuah peringatan atas dampak perubahan iklim. Dampak
pemanasan global dan perubahan iklim saat ini mulai dirasakan oleh Indonesia,
seperti anomali cuaca ekstrim dengan frekuensi besar dan gejala-gejala alam yang
berimplikasi pada bencana alam dan berdampak langsung kepada masyarakat.
Tingginya tingkat deforestasi di Indonesia disebabkan oleh kegagalan
pengelolaan hutan oleh negara terutama dalam skema Hak Pengusahaan Hutan
(HPH)/Hutan Tanaman Industri (HTI) pada Hutan Produksi (HP), dan pendekatan
ekofasis pengelolaan kawasan konservasi. Kondisi ini diperparah dengan adanya
kebijakan konversi hutan ke pemanfaatan lain, lemahnya penegakan hukum,

59


Rautner, M., Leggett, M., Davis, F., 2013. Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi, Global
Canopy Programme: Oxford. Hal. 42

Universitas Sumatera Utara

birokrasi yang korup, dan persoalan kemiskinan 60. Sisi lainnya juga dipengaruhi
kebijakan konversi hutan ke pemanfaatan lain, persoalan kemiskinan, penegakan
hukum yang lemah dan birokrasi korup. Penguasaan hutan oleh negara cenderung
terlihat lemah terutama pada pengelolaan hutan produksi yang masih didominasi
oleh korporasi. Dalam hal ini bisa dinilai negara belum berhasil dalam pengusaan
dan pengelolaan hutan demi kesejahteraan rakyat.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengambil hasil hutan sebagai
kebutuhan sehari-hari disamping sebagai kebutuhan produksi. Hutan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan terkhusus masyarakat yang tinggal disekitarnya,
disisi lain hutan memiliki fungsi ekonomi, budaya dan sosial. Namun harmonisasi
tersebut mulai sirna sejak keluarnya UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan
menerapkan sistem pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. UU Pokok Kehutanan secara tegas membatasi akses masyarakat di
kawasan hutan dikuatkan dengan TGHK yang juga menghapus tenurial adat, kemudian
kebijakan pembersihan tanaman bawah pada pemeliharaan tinggal (HPH), termasuk

membunuh tanaman obat-obatan dan rotan.

Sementara undang-undang pemerintahan desa yang sentralistik membunuh
sistem pemerintahan berbasis adat dan pengetahuan lokal. Kedua undang-undang
tersebut menjadi malapetaka besar bagi masyarakat adat/lokal. Tak terhindarkan

60

Lihat: Andri Santosa dan Mangarah Silalahi. 2011. Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan
Masyarakat Dan Kesiapannya Dalam REDD+. Bogor: Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
(FKKM). Hal. 8

Universitas Sumatera Utara

masyarakat di dalam hutan yang dulunya memiliki sumberdaya ekonomi dan
otonom secara politik menjadi semakin marginal dan miskin 61
Perdebatan isu perubahan iklim dunia yang tidak lepas dari sektor
kehutanan, skema REDD hadir sebagai salah satu upaya penurunan emisi
sekaligus pengentasan kemiskinan. REDD merupakan


pengurangan emisi dari

kegiatan deforestasi dan degradasi hutan berbasis pasar yang dilakukan di negara tropis
berkembang dengan insentif ekonomi dengan tidak memisahkan kedaulatan negara.
Sedangkan REDD+ hanya mengalami penambahan pengurangan emisi yang juga
memperhitungkan penyerapan karbon dari areal konservasi, pengelolaan hutan
berkelanjutan dan kegiatan peningkatan penyerapan karbon.

REDD+ merupakan skema mitigasi perubahan iklim yang dibicarakan
dalam perundingan antar negara di UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change atau Konvensi PBB mengenai Perubahan
Iklim). Perundingan UNFCCC telah menetapkan REDD+ menjadi salah satu
instrumen untuk membantu dunia mencapai tujuan konvensi perubahan iklim
yakni stabilisasi GRK (Gas Rumah Kaca) pada taraf yang tidak mengancam
keselamatan manusia. 62 Secara sederhama REDD atau yang dimaksud dengan
REDD+ menawarkan sebuah mekanisme pelestarian hutan untuk menambah
tutupan hutan sebagai solusi menyerap sekaligus mencegah pelepasan emisi.
Secara konseptual REDD+ masih dalam perdebatan yang belum tuntas, di sisi lain

61


Ibid. Hal 10
Laurens Bakker dan Yanti Fritikawati. 2014. Permasalahan Kehutanan di Indonesia Dan
Kaitannya Dengan Perubahan Iklim Serta REDD+. Yogyakarta: Pohon Cahaya. Hal 1

62

Universitas Sumatera Utara

juga masih menjadi perbincangan nasional khususnya di Indonesia. Skema
REDD+ ini tidak hanya diperdebatkan pada sisi konsepnya namun juga pada
aspek hukum dan kebijakan yang mencegahnya menjadi sebuah instrumen baru
sebagai sebuah instrumen pembangunan yang ekstraktif-eksploitatif terhadap
sumberdaya alam khususnya sektor kehutanan.
Pasca COP 16, REDD+ berkembang sangat kaya ke dalam banyak
isu. Hal ini disebabkan karena REDD+ tidak lagi semata-mata membahas
isu pengurangan emisi tapi mencakup banyak agenda kehutanan, termasuk
antara lain tata kelola, hak asasi manusia dan demokratisasi. 63 Melihat pada
keputusan paragraf 72 COP 16 , isu sosial menjadi salah satu prasyarat suksesnya
skema REDD+, setidaknya ada dua aspek sosial dalam REDD+ seperti yang

disinggung pada bab sebelumnya yaitu safeguards dan benefit.
“Keputusan COP 16 Paragraf 72: Juga meminta negara-negara
berkembang, ketika mengembangkan dan menerapkan strategi maupun
rencana aksi nasional mereka, untuk mengatasi antara lain pemicu
deforestasi dan degradasi hutan, penguasaan tanah (land tenure), tata
kelola

kehutanan,

pertimbangan gender dan kerangka pengaman

(safeguards) sebagaimana disebut dalam paragraf 2 lampiran I keputusan
ini, memastikan partisipasi penuh dan efektif dari pemangku kepentingan
terkait, antara lain masyarakat adat dan komunitas lokal.”

63

Ibid. Hal 6

Universitas Sumatera Utara


Kerangka pengaman (safeguards) ini dibuat untuk mencegah kerugian
pada beberapa kelompok seperti komunitas masyarakat dan perempuan, selain itu
juga agar skema REDD+ mendorong penguatan komunitas dan pemenuhan hakhak mereka. REDD+ bagi Indonesia tidak semata-mata tentang emisi karbon dan
sektor hutan saja – beyond carbon, not only forests. REDD+ adalah tentang
perbaikan tata kelola hutan dan gambut yang lebih baik, demi kesejahteraan
masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan pertumbuhan yang berkelanjutan. 64
Penyelamatan hutan melalui skema REDD+ sebagai upaya efektif dalam
mengatasi perubahan iklim dengan alasan hutan mampu menyimpan dan
menyerap karbon dan tempat hidup bagi 1,2 juta masyarakat lokal diseluruh
dunia. 65 Indonesia menjadi salah satu negara yang tanggap dengan isu REDD+,
dapat dilihat dari dukungan Presiden RI ke-6 pada pertemuan G20 di Duisberg,
Amerika Serikat tahun 2009 akan mengurangi emisi sebanyak 21 persen dengan
komposisi 41 persen dana sendiri dan sisanya dari hibah luar negeri. Penguatan
kelembagaan untuk mendukung REDD+ juga diatur dalam Permenhut No. 36
Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
Rencana strategis Kementerian Kehutanan 2010 – 2014 menetapkan arah
pembangunan kehutanan yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang
64


Lihat: Forest Watch Indonesia. Membumikan Proyek Dunia Melihat dari Dekat Demonstration
Activity (DA) REDD+ (Bogor, Oktober 2014) diunduh dari http://fwi.or.id/wp
content/uploads/2014/10/Fact-Sheet-REDD-_Membumikan-Proyek-Dunia_FWI.pdf diakses pada
18 Februari 2017 pukul 12.00 WIB
65
Op.Cit. Andri Santosa dan Mangarah Silalahi. Hal. 26

Universitas Sumatera Utara

berkeadilan

melalui

delapan

aspek

prioritas


pembangunan

diantaranya

pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung
daerah aliran sungai (DAS), pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran
hutan, konservasi keanekaragaman hayati, Revitalisasi pemanfaatan hutan dan
industri kehutanan, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan serta penguatan kelembagaan
kehutanan.
3.2 Faktor-faktor Keterlibatan Indonesia Dalam Skema REDD+
A. Tata Kelola Hutan yang Lemah

Pengelolaan hutan di Indonesia mengalami banyak perubahan sejak masa
pra kolonial, masa kemerdekaan dan masa pasca reformasi. Pada masa pra
kolonial, penguasaan atas hutan masih dipegang oleh raja dan penggunaannya
masih sebatas kebutuhan sehari-hari. Memasuki masa pendudukan Belanda,
sumber daya hutan mulai dilirik sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi
untuk diperdagangkan dan membentuk organisasi pengelolaan hutan dibawah
naungan VOC dengan menjamin keberlangsungan dan kelestarian hutan.

Memasuki masa pendudukan kolonial Jepang, pengelolaan hutan semakin
berantakan karena sumber daya hutan digunakan secara mutlak untuk mendukung
kepentingan Jepang pada perang Asia Timur Raya pada posisi melawan pihak
sekutu.

Universitas Sumatera Utara

Setelah masa pendudukan Jepang dan memasuki masa kemerdekaan
penguasaan hutan masuk dalam tiga era yaitu orde lama, orde baru dan reformasi.
Pada masa orde lama pengelolaan hutan masih mengikuti sistem warisan Belanda
karena saat itu pemerintah masih berbenah persoalan kehidupan bernegara. Masa
orde baru justru meletakkan posisi hutan sebagai modal dasar pembangunan
dengan model mengeksploitasi hutan sebagai sumber keuntungan. Pengelolaan
pada sektor kehutanan mulai mendapat perhatian kembali memasuka era
reformasi, pada era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 ditandai dengan
diberlakukannya

Undang-undang

Nomor


22

Tahun

1999

tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
menggantikan Undang-Undang

Nomor

5

Tahun

1967. 66 Model Kesatuan


Pengelolaan Hutan (KPH) sebenarnya sudah mulai dikerjakan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, namun kembali diwujudkan pada masa reformasi.
Seluruh sumberdaya alam yang dikuasai negara, yaitu hutan, laut, maupun
sumber-sumber perairan lainnya, terus mengalami degradasi dengan pola
yang sama, yaitu disebabkan oleh lemahnya kapasitas pemerintah dalam
mengatur dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.67 Kelemahan untuk
menyediakan

informasi mengenai

kondisi

sumberdaya

hutan,

seringkali

66

Lihat: Gamin. 2014. Disertasi: Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk Mendukung
Implementasi REDD+. Institut Pertanian Bogor. Hal. 16
67
Hariadi Kartodihardjo dan Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia.
Jakarta: Equinox. Hal. 12

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan perdebatan. 68 Tingginya laju deforestasi dan besarnya degradasi
maupun kondisi aktual hutan alam tersisa, merupakan informasi yang sulit
diperoleh secara mudah dan detil.
Dalam konteks tata kelola hutan, akses terhadap data dan informasi
kehutaan yang akurat merupakan hal yang sangat penting. Data dan informasi
tidak hanya dibutuhkan oleh pemangku kebijakan untuk melaksanakan tahapan
pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan secara benar tetapi juga
sebagai penghubung bagi kepentingan masyarakat dan publik luas dalam
melakukan

fungsi

kontrol

dan

pengawasan. 69 Permasalahan ini sering

mengakibatkan perumusan kebijakan hutan tidak menjadi solusi dalam
menyelesaiakan persoalan-persoalan di level mendasar.
Kelemahan

implementasi

tata

kelola

hutan

yang

dijalankan

pemerintah, secara tidak langsung telah menyediakan ruang terjadinya praktikpraktik yang korup.70 Sistem hukum, politik dan ekonomi yang korup dan
tidak

transparan,

yang

menganggap

sumberdaya hutan sebagai sumber

pendapatan dan keuntungan semata, telah memberikan kontribusi besar terhadap
kerusakan hutan Indonesia. 71 Lemahnya peran pemerintah tersebut menjadi celah

68

Hariadi Kartodihardjo.2014. Alih Fungsi dan Kerusakan Hutan Negara: Persoalan Empiris dan
Struktural. Hal 28
69
Ibid. Hal 32
70
Lembar Informasi FWI. 2014. Hutan Indonesia Yang Tergerus Terus. Bogor: Forest Watch
Indonesia. Hal. 2
71
Op.Cit. FWI. Hal. 21

Universitas Sumatera Utara

bagi

pelaku

kehutanan

yang

mencoba

meraup

keuntungan

dengan

mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan.
a. Kondisi Hutan Alam yang Tersisa
Secara hukum hutan negara seolah-olah dapat dipertahankan dengan
luas dan fungsi yang sangat besar, namun secara de facto tidak
menunjukkan hal yang seharusnya. Berdasarkan perkembangan pengukuhan
kawasan sampai dengan April 2011, luas kawasan hutan dan perairan
seluruh Indonesia adalah 130,68 juta Ha dan sampai dengan tahun 2010,
realisasi tata batas mencapai 74,67% atau sekitar 222.452 Km dan
hutan negara yang

telah ditetapkan seluas 14,24 juta Ha. 72 Dari luas

kawasan hutan negara tersebut dengan kondisi semua fungsi hutan terdapat
hak-hak pihak ketiga berupa izin-izin tambang dan kebun kelapa sawit,
hutan adat atau hutan/lahan hak perorangan. Pada kenyataan, keadaaan
tutupan

hutan

yang berada di dalam kawasan hutan negara, selalu

berkurang dari tahun ke tahun.
Sampai dengan tahun 2013, luas tutupan hutan hanya tersisa 82 juta
hektar atau berkisar 46% dari luas total daratan Indonesia atau 62,6 % dari
total kawasan hutan. Kondisi kawasan hutan yang tersisa berdasarkan
sebaran pulau dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

72

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.49/Menhut-II/2011 tentang
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.1 Kondisi Tutupan Hutan Alam Indonesia Tahun 2009 dan 2013
Pulau

Luas Daratan

Tutupan Hutan

Tutupan Hutan

(Ha)

2009 (Ha)

2013 (Ha)

Sumatera

46.616

12.610

11.344

Jawa

12.743

1.002

675

7.137

1.350

1.188

Kalimantan

53.099

28.146

26.604

Sulawesi

18.297

9.119

8.928

Maluku

7.652

4.577

4.335

Papua

34.632

30.006

29.413

Total

180.177

87.074

82.487

Bali Nusa

Sumber: Diolah dari Forest Watch Indonesia, 2014
Jika dilijhat berdasarkan provinsi, lebih dari setengah kawasan hutan
alam Indonesia pada tahun 2013 tersebar pada tiga provinsi saja, yaitu
Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat. Sementara delapan provinsi

Universitas Sumatera Utara

yang masih memiliki tutupan hutan terluas Provinsi Papua dengan luasan
sekitar 25 persen dari luas hutan Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur
sekitar 15 persen, Provinsi Papua Barat sekitar 11 persen, Provinsi
Kalimantan Tengah sekitar 9 persen, Provinsi Kalimantan Barat sekitar 7
persen, 5 persen di Provinsi Sulawesi Tengah sekitar 5 persen, Provinsi
Aceh sekitar 4 persen, dan Provinsi Maluku sekitar 3,2 persen. 73
Sementara itu, kebijakan penundaan pemberian izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut sebagai
upaya menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekooomi, budaya
dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca melalui
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sudah berjalan 3
tahun dari 4 tahun yang direncanakan. Namunn faktanya, pemerintah
belum berhasil melindungi hutan alam Indonesia melalui tata kelola di
sektor kehutanan.
b. Hilangnya Hutan yang Berkelanjutan
Keusakan hutan yang berdampak pada hilangnya tutupan hutan secara
drastis dan berkelanjutan mulai terjadi di Indonesia sejak tahun 1970-an,
ketika korporasi pengusahaan hutan diberikan akses kemudahan oleh
pemeritah Indonesia melakukan ekspolrasi dan ekspoitasi hutan dalam skala
komersil. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada periode 1985-

73

Op.Cit. Lembar Informasi FWI. Hal. 4

Universitas Sumatera Utara

1997 pengurangan luas hutan di Indonesia adalah sebesar 22,46 juta
ha atau sebesar 1,87 juta Ha/tahun. 74 Akan tetapi pada periode 19972000 meningkat tajam menjadi 2,84 juta ha/tahun. Sedangkan data
berdasarkan

citra

SPOT

Vegetation didapatkan angka pengurangan

penutupan berhutan sebesar 1,08 juta ha/tahun (periode 2000-2005). Data
penghitungan deforestasi Indonesia periode 2003-2006 menggunakan citra
Landsat 7ETM+ menghasilkan angka deforestasi Indonesia sebesar 1,17
juta Ha/tahun. Data terakhir penghitungan deforestasi Indonesia periode
2006 - 2009 menghasilkan angka deforestasi Indonesia sebesar 0,83 juta
Ha/tahun. 75
Laporan FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 2007
dalam buku State of The World’s Forests melaporkan laju kerusakan
Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2005 mencapai 1,87 juta Ha dan
menempatkan Indonesia dalam urutan kedua dari sepuluh negara dengan
laju deforestasi tertinggi di dunia. Sementara itu, Forest Watch Indonesia
mencatat dalam periode 2000 hingga 2009, laju kerusakan hutan berkisar
1,5 juta Ha. Peneliti dari University of Maryland juga mengungkapkan
Indonesia kehilangan tutupan hutan sebesar 15,8 juta Ha antara tahun 2000

74

Op.Cit. FWI. Hal. 5
Kementerian Kehutanan. 2012. Penghitungan deforestasi Indonesia 2009-2011. Direktorat
Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
Kementerian Kehutanan.

75

Universitas Sumatera Utara

dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat,
dan Kanada dalam hal hilangnya hutan. 76
Kementerian Kehutanan dalam dokumen Rencana Kerja Kementerian
Kehutanan (RKTN) tahun 2014 menyebutkan hal yang berbeda, laju
deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2009 – 2011 justru menurun
drastis. Kementerian Kehutanan menyatakan laju deforestasi hanya pada
angka 450 ribu Ha dibanding pada tahun 1998 – 2000 pada angka 3,5 juta
Ha. Dalam siaran pers Kementerian Kehutanan tahun 2014, menjelaskan
pada periode 2011 – 2012 laju deforestasi di Indonesia berada pada 613
ribu Ha. 77
Gambar 3.1 Laju Deforestasi Periode 2011 – 2012 oleh Kementerian Kehutanan

Sumber: Diolah dari Kementerian Kehutanan, 2014
76

http://www.mongabay.co.id/2013/11/15/temuan-peta-hutan-google-laju-deforestasimeningkat-diindonesia. Diakses pada 24 Februari 2017 pukul 20.00 WIB.
77
Lihat: SIARAN PERS Nomor: S. 409 /PHM-1/2014 tentang DEFORESTASI INDONESIA PADA
TAHUN 2011-2012 HANYA SEBESAR 24 RIBU HEKTARE, Pusat Hubungan Masyarakat,
Kementerian Kehutanan.

Universitas Sumatera Utara

Temuan tersebut berbeda dengan laporan Forest Watch Indonesia
yang menyatakan bahwa laju deforestasi masih tinggi hingga tahun 2013
mengingat sejak 2011 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan
moratorium pemberian izin baru. Laju deforestasi periode 1990 – 2012 oleh
Kementerian Kehutanan bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 3.2 Laju Deforestasi Indonesia periode 1990 – 2012, Kementerian Kehutanan

Sumber: Diolah dari Kementerian Kehutanan, 2014
Penyebab deforestasi sendiri dibagi dalam dua kelompok yaitu
penyebab langsung (direct causes) dan penyebab tidak langsung (undirect
causes). Penyebab tidak langsung disebabkan oleh tata kelola kehutanan
yang lemah serta mendorong kerusakan sumberdaya hutan. Peralihan
peruntukan lahan hutan dan ekosistem gambut merupakan penyumbang

Universitas Sumatera Utara

kerusakan sumberdaya hutan. Perubahan peruntukan lahan hutan dan lahan
gambut menjadi HTI dan kebun, serta konsesi tambang menjadi
penyumbang terbesar deforestasi. Deforestasi juga terjadi tidak hanya pada
areal konsesi tetapi juga diluar areal konsesi hutan. Hal itu dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2 Luas Tutupan Hutan 2009, Tutupan Hutan 2013, dan Deforestasi 2013
di Dalam Konsesi
Konsesi

Tutupan
2009

Hutan Tutupan
2013

(Ha
HPH

Hutan Deforestasi
(Ha)

(Ha)

(IUPHHK-

11.658.627

11.381.645

276.982

(IUPHHK-

1.972.154

1.518.985

453.169

10.483.257

9.994.883

488.374

2.049.864

1.533.899

515.964

HA)

HTI
HT)

Tambang

Kebun

Universitas Sumatera Utara

Tutupan Hutan di
Areal Tumpang
Tindih Konsesi
HPH, HTI,
Tambang dan
Kebun
Diluar

Areal

7.793.425

7.209.264

584.161

53.117.264

50.848.604

2.268.660

87.074.590

82.487.281

4.587.309

konsesi
Total

Sumber: Diolah dari Analisis Citra Setalit ETM+7, Forest Watch Indonesia 2015
Penyebab langsung kerusakan hutan dan deforestasi diantaranya
konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan, konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada
kawasan hutan (batubara, migas, geothermal), pembakaran

hutan

dan

lahan, dan konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya.
Sementara itu, kelemahan tata kelola hutan juga memberikan celah
terjadinya praktik korupsi. Dari sisi yang tidak jauh berbeda, ketiadaan
transparansi, adanya praktik korupsi, kurangnya partisipasi publik dan
penggunaan persepsi bahwa sumberdaya hutan hanyalah digunakan sebagai
alat mendapatkan keuntungan menjadi penyumbang terbesar deforestasi di
Indonesia. Sejauh ini, lemahnya peran dan kapasitas pemerintah dalam
menjalankan fungsi pengawasan menjadi ruang bagi para pelaku perusak
hutan yang memanfaatkan situasi dengan melakukan eksploitasi baik
terhadap hutan dan hasil hutan itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Tingginya deforestasi dan degradasi hutan di Indoneisa, menjadikan
negara ini sebagai salah satu penyumbang emisi rumah kaca. Penyebabnya
berasal dari aktivitas perubahan penggunaan hutan dan lahan atau yang
dikenal dengan LULUCF (land use, land-use change and forestry).
Memang masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya deforestasi,
namun tidak bisa diingkari bahwa kelemahan tata kelola hutan yang tidak
baik mempercepat proses kehancuran hutan di Indonesia.
Peningkatan ekspansi kebun kelapa sawit dengan model konversi
hutan alam menjadi HTI. Laporan CIFOR pada tahun 2013 setidaknya
empat juta hektar kebun

kelapa sawit produktif yang ada saat

ini,

diperkirakan berasal dari hasil deforestasi. 78 Kebijakan pemerintah untuk
mendorong perluasan kebun kelapa sawit memberikan sinyal bagi korporasi
sawit dengan pertimbangan ekonomi tetapi tidak mempertimbangkan nasib
hutan. Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia pada tahun 2015 luas lahan kebun kelapa sawit baik
yang diolah oleh perorangan, perusahaan dan milik negara mencapai 11,3
juta Ha. 79 Bahkan banyak pembukaan usaha kebun kelapa sawit oleh
perusahaan yang belum mendapat izin pelepasan kawasan dari Kementerian
Kehutanan dengan bermodalkan izin lokasi dari Bupati di daerah terebut.

78 http://jurnalbumi.wordpress.com/2013/07/12/4-juta-ha-kebun-sawit-melalui-deforestasi.
Diiakses pada tanggal 3 Maret 2017
79
Lihat: Drektorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia 2014 – 2016
(Kelapa Sawit). Jakarta. Hal. 3

Universitas Sumatera Utara

Penyebab langsung kerusakan hutan dan deforestasi diantaranya
konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan, konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada
kawasan hutan (batubara, migas, geothermal), pembakaran

hutan

dan

lahan, dan konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya. Jumlah
pelepasan kawasan hutan menurut Kementerian Kehutanan pada periode
2004 – 2016 mencapai 2,346 juta Ha 80 dengan deksripsi sebanyak 2,30 juta
Ha diperuntukkan perkebunan dan hampir 95 persennya untuk pelepasan
kawasan kebun kelapa sawit.
Aktifitas pertambangan juga, ikut berperan dalam pengrusakan
sumberdaya hutan melalui skema pinjam pakai kawasan hutan. Ekspansi
pertambangan di areal hutan negara tidak hanya pada hutan produksi, tetapi
juga tumpang tindih

pada areal hutan lindung sebesar 3,8 juta Ha.

Kesempatan bagi pemerintah untuk melestarikan kawasan hutan terkhusus
hutan lindung sepertinya tidak mendapat kerja positif. Pemerintah
cenderung melihat sisi ekonomi dibanding ekologi dengan harapan
mendapat keuntungan besar bagi pemangku kepentingan sehingga membuat
proses pengeluaran izin konsesi pertambangan tergesa-gesa. Tidak jarang
ditemui keuntungan

dari

rente

dari sumberdaya alam ini kemudian

80

Lihat: Data Pelepasan Kawasan Hutan Periode 2004 s/d 2016. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. 2016

Universitas Sumatera Utara

dipergunakan oleh elit politik untuk membiayai mereka dalam kompetisi
politik. 81
Kebakaran hutan yang marak terjadi setiap tahun di Indonesia sering
sekali dianggap sebagai aktivitas/siklus alami, namun kemudian menjadi
pertimbangan adanya kemungkinan kalau kebakaran hutan juga dipicu oleh
faktor kesengajaan, misalnya untuk berburu hewan liar dan pembukaan
lahan peruntukan perkebunan atau biasa disebut pembakaran hutan.
Kebakaran hutan menjadi penyumbang terbesar laju deforestasi. Bahkan
lebih besar dibanding konversi lahan untuk pertanian dan illegal logging. 82
Di Indonesia, 99% kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas
manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Hanya 1% diantaranya yang
terjadi secara alamiah. Sejak era tahun 1980-an pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri diduga menjadi
penyebab utamanya. 83
3.3 Kepentingan Indonesia Pada Skema REDD+
A. Sebagai Kerangka Ekonomi Politik
Deforestasi dan degradasi hutan masih berlangsung hingga saat ini di
Indonesia, terjadi karena pemerintah masih megandalkan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan. Hasil hutan diambil dan sebagian lagi dikonversi
menjadi hutan tanaman dan perkebunan untuk mendorong industri pulp dan kertas
81

Indonesia Corruption Watch. 2013. Menguras Bumi Merebut Kursi, Patronase Politik-Bisnis Alih
Fungsi Lahan: Studi Kasus dan Rekomendasi Kebijakan. Jakarta. Hal. 29
82
https://jurnalbumi.com/kebakaran-hutan. Diakses pada 1 Maret 2017 pukul 12.00 WIB
83
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang: Bayumedia. Hal. 17

Universitas Sumatera Utara

atau minyak sawit beserta industri hilirnya sehingga pemerintah memperoleh
insentif dari proses tersebut. Kebijakan pemerintah yang bergantung pada sektor
pengolahan sumberdaya alam dapat dilihat nota keuangan APBN tahun 2010,
dalam dokumen tersebut tercatat pemasukan negara bukan pajak (PNBP) 73,9
persennya masuk dari sumberdaya alam
Indonesia terus mendorong upaya menaikkan pemasukan negara meskipun
dengan mengorbankan hutan. Selain itu, tingginya permintaan pasar juga
mendorong pemerintah mengekspansi perkebunan moonokultur yang juga
mengorbankan hutan melalui skema pelepasan hutan. Konsep komoditas
monokultur merupakan indikasi bahwa pemerintah Indonesia menganut
pendekatan sektoral. Artinya, prioritas produksi diberikan pada komoditas yang
laku di pasar, dan dengan demikian, harus dihasilkan sesuai dengan spesifikasi
volume, mutu, dan waktu tertentu.84
Ketergantungan Indonesia pada sumberdaya alam untuk mendongkrak
ekonomi domestik terkhusus sektor kehutanan mendorong lahirnya kebijakan
yang cenderung menggerus kawasan hutan, adapun kebijakam tersebut
diantaranya 85:
1. Keringanan pajak. Pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan instrumen
hukum pemberian keringanan pajak bagi pemodal dalam bidang
tertentu (termasuk kehutanan) dan di daerah tertentu: Peraturan
84

Kartodihardjo, H. dan Jhamtani, H. 2006. Politik lingkungan dan kekuasaan di Indonesia
(Environmental politics and power in Indonesia). Jakarta: Equinox. Hal. 18
85
Indrarto, G.B., Murharjanti, P., Khatarina, J., Pulungan, I., Ivalerina, F., Rahman, J., Prana, M.N.,
Resosudarmo, I.A.P. dan Muharrom, E. 2013. Konteks REDD+ di Indonesia: Pemicu, pelaku, dan
lembaganya. Working Paper 105. Bogor: CIFOR. Hal. 60

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah No. 1/2007, yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No.
62/2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 1/2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang‑Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah‑Daerah Tertentu. Peraturan ini
memberikan keringanan pajak sebesar 30% atas laba bersih dari jumlah
yang diinvestasikan selama enam tahun, atau sebesar 5% setiap tahun.
Menteri Perindustrian mengumumkan pada 2009 bahwa peraturan
tersebut akan direvisi agar mencakup hasil hutan, semen, makanan,
produk pertanian, pulp dan kertas, bahan kimia, galangan kapal, dan
logam.
2. Izin pertambangan pada hutan lindung. Pada tahun 2008, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 2/2008 tentang Jenis dan Tarif
atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari
Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar
Kegiatan Kehutanan, yang mencakup pemanfaatan hutan lindung untuk
pertambangan terbuka. Pemberian izin untuk pertambangan terbuka
pada hutan lindung mencerminkan dengan jelas kecenderungan yang
mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kepedulian pada
pelestarian lingkungan dan ekologi
3. Pembangunan lumbung pangan dan energi. Peraturan Pemerintah No.
18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman mengatur tentang wilayah
food estate; fasilitas fiskal dan non‑fiskal diberlakukan pada kawasan

Universitas Sumatera Utara

produksi pangan terpadu yang meliputi pertanian, perkebunan, dan
peternakan di satu kawasan yang luas dan datar (kawasan ekonomi
khusus). Sebagai langkah awal, pemerintah menetapkan Kabupaten
Merauke sebagai kawasan pengembangan lumbung pangan yang
berpotensi karena memiliki 1,6 juta Ha lahan datar. Namun, kebijakan
ini diragukan sebagai kebijakan ketahanan pangan murni mengingat
hampir setengah dari luas hak pengusahaan yang diberikan adalah
untuk HTI. Peraturan Pemerintah ini memungkinkan pemodal,
termasuk asing, untuk berinvestasi dan menguasai hingga 10.000 Ha
untuk jangka waktu 35 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan kali
pertama selama 35 tahun dan perpanjangan kedua selama 25 tahun. Hal
ini selanjutnya memungkinkan pemerintah untuk memberikan insentif
fiskal bagi

rencana pembangunan prasarana yang termasuk dalam

biaya investasi berupa keringanan pajak penghasilan, pembebasan
pajak, pengurangan pajak pembangunan, keringanan pajak/retribusi
daerah, dan pembebasan dari pajak pertambahan nilai maupun insentif
bea dan cukai, seperti penangguhan bea masuk, pembebasan tarif, dan
bea masuk yang lebih rendah. Insentif non‑fiskal

mencakup

penyederhanaan proses perizinan dan imigrasi.
4. Pengembangan bahan bakar nabati (biofuel). Program ini diluncurkan
pada tahun 2006 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 1/2006
tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai

Universitas Sumatera Utara

Bahan Bakar Lain. Untuk melaksanakan program ini, pemerintah
membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati.
Program bahan bakar nabati tersebut disambut baik oleh kalangan
pengusaha, yang menunjukkan minat mereka untuk berinvestasi pada
sektor ini—kelapa sawit, jagung, singkong, tebu, dan minyak jarak.
Namun, program ini belum berjalan secepat yang diharapkan, terutama
karena insentif pasar yang kurang mendukung. Sebagai contoh, harga
bahan bakar nabati di pasar dalam negeri tidak dapat bersaing dengan
minyak sawit dalam bentuk minyak goreng.
5. Pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Untuk mendukung program
pengembangan bahan bakar nabati dan karena harga CPO yang
tergolong tinggi di pasar dunia, pada tahun 2007 Menteri Pertanian
menerbitkan Peraturan No. 26/ Permentan/OT.140/2/2007,

yang

menyatakan bahwa untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua
dapat dicadangkan lahan seluas dua kali lipat dari 100.000 ha (Guerin
2007). Peraturan Menteri Pertanian ini diikuti oleh Keputusan Menteri
Kehutanan No. P.22/Menhut‑II/2009, yang memberikan landasan
hukum bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk memiliki
hingga 100.000 Ha atau bila di Papua, sampai 200.000 Ha lahan. Sewa
dan ganti rugi yang sangat rendah telah menimbulkan masalah keadilan
dan mengancam mata pencarian masyarakat yang hutannya terkena
keputusan tersebut. Bukti dari hal ini adalah biaya hilangnya peluang

Universitas Sumatera Utara

(kesempatan untuk

memperoleh

pendapatan)

atas tanah yang

‘digadaikan’ sebagai perkebunan kelapa sawit selama 35 tahun.
Sebagai salah satu sumber kekayaan Indonesia, hutan selalu menjadi ajang
kontestasi sejak dulu. Berbagai upaya penguasaan dan metode pendekatan yang
berganti-ganti dilakukan oleh beberapa pihak tertentu yang memiliki kepentingan
atas penguasaan hutan. Pemerintah Indonesia pada masa Presiden SBY pada
tahun 2011 di Jakarta menyapaikan sikap mengenai REDD sebagai berikut:
“REDD+ adalah salah satu

contoh mekanisme

baru

untuk

mengelola sumberdaya alam Indonesia tanpa harus mengabaikan
industri-industri yang vital bagi ekonomi. Hal ini adalah strategi
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonomi, mendorong sumberdaya manusia, memastikan keadilan
sosial, dan pada saat yang sama mencapai target pengurangan emisi
karbon kita.” 86
Diskusi REDD+ sebagai sebuah strategi pembangunan ekonomi
berkelanjutan adalah diskursus yang coba diarusutamakan para pihak pendukung
REDD+. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, UKP4,

dan Satuan Tugas REDD+, menargetkan

pendapatan penjualan emisi karbon sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat per
tahun, jika karbon dihargai 10 dolar Amerika Serikat per ton karbon ekuivalen
86

Lihat: http://blog.cifor.org/2742/pidato-utama-oleh-yang-mulia-dr-susilo-bambang yudhoyonopada-konferensi-internasional-2011-business-for-the-environment-global-summit?fnl=id. Pidato
dalam Business for the Environment (B4E) Global Summit, Jakarta, 28 April. Diakses Pada 4 Maret
2017

Universitas Sumatera Utara

dan tingkat pengurangan emisi sebesar 200 metrik ton per tahun pada fase jangka
pendek dalam kurun waktu 2010 - 2012. 87
Sementara untuk fase jangka panjang dalam kurun waktu 2012 – 2020
diperkirakan sebesar 20 miiar dolar Amerika Serikat per tahun. Angka tersebut
tentu menjadi pemikat bagi banyak pihak untuk menjadikan REDD+ sebagai
mekanisme mitigasi kunci perubahan iklim di Indonesia. Namun jika melihat
gambar 3.3 dibandingkan dengan pendanaan subsidi sektor hutan secara global,
subsidi terhadap bahan bakar hayai dan bahan bakar fosil masih jauh dari harapan,
sehingga pola-pola penyelamatan

hutan sering

menjadi pilihan kedua.

Rasionalitas karbon ekonomi ini membuka jalan bagi bentuk-bentuk pengetahuan
saintifik baru yang menerjemahkan jasa ekosistem hutan dalam satuan ekonomi. 88
Pesatnya perkembangan teknologi dalam memantau areal tutupan hutan
melalui teknik pencitraan satelit telah mengubah tata kelola hutan secara global.
Teknik pencitaarn satelit ini secara sistematis mempermudah pemeriksaan
lapangan hutan-hutan tropis menjadi lebih

mudah diakses lewat teknologi

komputer. Hutan menjadi lebih kompleks termasuk segala permasalahan
didalamnya termasuk persoalan sosial, ekonomi dan politik disederhanakan
menjadi lapisan-lapisan peta topografi, peta potensi karbon dan peta tutupan
hutan. Dalam proses penghitungan potensi pengurangan emisi melalui REDD+,
beberapa skenario pembangunan akan dimodelkan untuk melihat efektivitas dan
87

Rini Astuti. 2013. REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di
Indonesia:Sebuah Perspektif Foucauldian. Jurnal Wacana Transformasi Sosial. Jakarta: INSIST. Hal
85
88
Ibid

Universitas Sumatera Utara

nilai tambah (additionality) sebuah proyek REDD+ dari sudut pandang ekonomi
dan lingkungan. Hasil pemodelan berupa analisis untung-rugi ini yang kemudian
dipakai sebagai justifikasi kenapa REDD+ penting dilakukan untuk menjaga
keutuhan hutan tropis dan pembangunan. 89
Gambar 3.3 Perbandingan Subsidi Sektor Kehutanan Melalui Skema REDD+
dan Subsidi Global Pada Sektor Bahan Bakar

Sumber: Diolah dari United Nations Environment Programme, 2014
Agar menjadi sebuah komoditi ekonomis yang bisa diperjualbelikan, emisi
karbon yang berhasil dikurangi melalui mekanisme REDD+ harus melewati tahap
standardisasi, sertifikasi, verifikasi, dan validasi. Proses-proses terebut akan
menjadi acuan dan penentu desain serta karakteristik suatu proyek REDD+. Setiap
proses standardisasi akan mendapatkan sertifikat pengurangan emisi karbon yang
bisa digunakan sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomis. Sebagai contoh,
salah satu proses standardisasi yang paling banyak digunakan dalam proyek
89

Ibid. Hal 86

Universitas Sumatera Utara

REDD+ dan proyek pengurangan karbon jenis lainnya adalah Verified Carbon
Standard (VCS).
Pembangunan ekonomi berbasis lingkungan yang ditawarkan melalui
skema REDD+ memerlukan kolaborasi dari berbagai sektor perekonomian. Pada
prinsipnya, REDD+ dapat dilaksanakan melalui instrumen kebijakan, tata kelola
hutan dan insentif yang mampun mengubah keputusan produksi, konsumsi dan
investasi serta proses pengambilan keputusanyang merupakan transformasi
berbasis lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut bila berjalan sesuai dengan
perencanaan yang baik REDD+ dan pembangunan ekonomi berbasis lingkungan
dapat saling menguatkan peran, REDD+ memiliki kemungkinan tidak dapat
berhasil tanpa proses penghijauan secara global, namun bisa menjadi kontributor
penting dalam perjalanan menuju ekonomi berbasis lingkungan.
B. REDD+ dan Pembangunan Berkelanjutan
Pembagian manfaat dalam skema REDD+ menimbulkan sejumlah
persoalan termasuk siapa penerima manfaat yang sah, efesiensi biaya distribusi,
keterlibatan struktur lembaga yang diperlukan dalam proses keuangan dan
pengambilan keputusan serta implementasi mekanisme kerja. Kebanyakan definisi
manfaat dalam kepustakaan REDD+ hanya mengacu pada manfaat moneter yang
tersedia untuk pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon Namun,
implementasi kegiatan REDD+ di tingkat nasional dan lokal dapat memberi

Universitas Sumatera Utara

peluang untuk menghasilkan berbagai manfaat, selain manfaat moneter langsung
seperti misalnya 90:


Manfaat langsung, yang timbul dari pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini
termasuk peningkatan pekerjaan, peningkatan mata pencaharian, dan
manfaat ekosistem secara langsung, yang meliputi hasil hutan nonkayu
(HHNK), kayu bakar, pakan ternak dll.



Manfaat tidak langsung, yang terdiri dari perbaikan tata kelola seperti
penguatan hak-hak penguasaan lahan dan penegakan hukum, yang terkait
dengan fase kesiapan REDD+) dan meningkatkan partisipasi dalam
pengambilan keputusan mengenai manfaat penyediaan infrastruktur.
Manfaat ekosistem tak langsung mencakup perlindungan kualitas tanah
dan air, perlindungan keanekaragaman hayati dan stabilisasi iklim.

Dalam konteks pembagian manfaat REDD+, pembagian juga disebar
kepada pemangku kepentingan. Mekanisme pembagian manfaat dibagi kedalam
dua jenis yaitu pembagian manfaat vertikal dan pembagian manfaat horizontal.
Pembagian manfaat vertikal meliputi pembagian manfaat lintas tingkatan
(pemerintahan) dari tingkat nasional hingga tingkat lokal atau daerah. Sementara
pemabagian manfaat secara horizontal meliputi pembagian manfaat dalam level
yang sama yaitu pada masyarakat dan para pemangku kepentingan lokal lainnya.

90

Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. dan Verchot, L.V. (ed.). 2013. Menganalisis
REDD+: Sejumlah Tantangan dan Pilihan. Bogor: CIFOR. Hal. 187

Universitas Sumatera Utara

Kedua jenis pembagian manfaat tersebut dirancang berdasarkan prinsip 3E yaitu
ekuitas, efektif dan efesien dengan penjelasan sebagai berikut:
• Untuk memaksimalkan ekuitas (kesetaraan) di antara aktor-aktor yang
bertanggung jawab untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan,
• Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dan
• Untuk

meningkatkan

efisiensi

dari

program

nasional dan sub

nasional (umumnya dicapai dengan meminimalkan biaya pelaksanaan
dan transaksi).
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pembangunan ekonomi harus
sejalan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang bersahabat. Dalam hal
mekanisme REDD+ di Indonesia, CDM memang sejalan dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Melalui manfaat horisontal sebelumnya, skema
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pengelolaan hutan bersama
menempatkan masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat dari hutan.
Hal penting yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam ialah penetapan
prioritas pembangunan yang melekat pada status Indonesia sebagai negara
berkembang. Melalui kebijakan pembangunannya, pemerintah bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7% (pro‑pertumbuhan), mengurangi
jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (pro‑rakyat miskin), dan

Universitas Sumatera Utara

memperbesar penyerapan sumberdaya manusia ke dalam pasar tenaga kerja
(pro‑pekerjaan) 91.
Meskipun sikap pro‑lingkungan hidup muncul baru‑baru ini, prinsip 3E
masih menjadi fokus utama. Fokus ini terlihat pada rencana jangka panjang dan
jangka menengah pemerintah, yang menempatkan pendidikan dan kesehatan pada
urutan teratas (Peraturan Presiden No. 5/2010). Persoalan lingkungan hidup
timbul karena strategi untuk mencapai pembangunan masih sangat bergantung
pada eksploitasi sumberdaya alam. Meskipun APBN mencantumkan sektor
kehutanan hanya menyumbang sebesar 1% dari jumlah pendapatan negara,
pendapatan dari kegiatan terkait seperti pertambangan berpengaruh langsung
terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
Dari perspektif pelaksanaan prioritas pembangunan bidang SDA dan
Lingkungan Hidup,

pembangunan kehutanan

ditujukan guna

memberikan

dampak pada pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi,
serta peningkatan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup, yang secara
bersamaan akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat. 92
3.4 Aktor-aktor yang Terlibat Dalam Skema REDD+ di Indonesia
A. Aktor Dalam Skema REDD+
Aktor atau pelaku REDD+ di Indonesia terbagi dalam empat kelompok
besar yaitu pemerintah, masyarakat yang menetap di sekitar kawasan hutan,
91
92

Op.Cit. Indrarto, G.B. Hal. 108
Op.Cit. Andri Santosa dan Mangara Silalahi. Hal. 29

Universitas Sumatera Utara

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan swasta. Setiap aktor memiliki peran
serta kapasitas pengetahuannya masing-masing. Proses pelembagaan oleh aktoraktor tersebut berlangsung sangat cepat bahkan sebelum pelaksanaan COP 13 di
Bali. Melalui Kementerian Kehutanan pada tahun 2007 membentuk IFCA
bersama negara-negara pemberi donor, akademisi, swasta dan kelompok
masyarakat.
Dalam pelaksanannya IFCA lahir sebagai hasil konsultasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. IFCA bertanggungjawab
untuk seluruh persiapan pembentukan REDD tahap awal dan mensinergikan
seluruh upaya yang bertujuan untuk berperan dalam misi pengurangan emisi hasil
deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Pada hakekatnya, IFCA diharapkan
menghimpun upaya pemerintah, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat
internasional dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari sehingga pada
akhirnya memberi sumbangsih bagi stabilisasi iklim. 93
Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government
Organization (NGO) dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia sebenarnya
menunjukkan pemerintah Indonesia membutuhkan asistensi dalam menjalankan
mekanisme tersebut. Dalam perkembangannya, beberapa LSM mengalami pro
kontra terhadap konsep dan pelaksanaaan skema ini. Beberapa pihak memandang
skema REDD+ ini merupakan solusi atas persoalan sektor kehutanan di Indonesia.

93

Op.Cit. Konteks REDD+ di Indonesia. Hal. 61

Universitas Sumatera Utara

Namun dipihak yang berbeda ada juga pihak yang secara terang-terangan
mempertanyakan bahkan menolak mekanisme kerja REDD+.
Beberapa NGO yang paling berperan aktif mendukung REDD+ di
Indonesia adalah WWF, TNC, CI dan CIFOR. Salah satu diantaranya seperti
CIFOR (Center For Internasional Forestry Research), merupakan NGO berskala
internasional yang banyak melakukan kegiatan penelitian pada lingkungan,
khususnya sektor kehutanan dan saat ini sudah hadir lebih dari 50 negara
dibelahan dunia paling kontras mendukung implementasi REDD+ di Indonesia.
CIFOR juga banyak melakukan riset tentang hutan Indonesia terutama skema
REDD+. Saat ini pekerjaan CIFOR mendapat banyak dukungan dana dari
berbagai donor internasional seperti World Bank, NORAD (Norwegian Agency
for Development Cooperation), USAID (United States Agency for International
Development), SDC (Swiss Agency for Development and Cooperation), DFID
UK Government (Department for International Development), AfDB (African
Development Bank) dan masih banyak lagi.
Peran yang dilakukan CIFOR tersebut di laksanakan dalam beberapa
program dan kegiatan,

yaitu pertama, Global Comparative Study

dengan

melakukan kajian atau studi komparative secara global yang bertujuan mengkaji
dan menganalisa mengenai skema REDD+ yang dijalankan di negara-negara
dan skema-skema REDD+ yang dijalankan di tiap daerah proyek REDD+..
Kedua yaitu pelatihan, konferensi dan publikasi terkait dengan upaya CIFOR
agar skema REDD+ ini menjadi agenda global yang bisa dipahami semua

Universitas Sumatera Utara

sektor hingga semua sektor bisa mendukung upaya mitigsi REDD+ tersebut.
Ketiga, pembagunan website REDD Indonesia yaitu kegiatan kerjasama dengan
Kementrian Kehutanan
penelitian dan semua

Indonesia
informasi

dalam
bisa

hal mengupayakan semua hasil

diakses

oleh masyarakat

dan para

stakeholder, juga menjadi acuan pembelajaran bagi kalangan penstudi. 94
Sebagai lembaga internasional CIFOR tentu memiliki kepentingan tertentu
pada mekanasime REDD+ di Indonesia belum lagi CIFOR dilengkapi dengan
tenaga ahli dari luar negeri. Beberapa kepentingan CIFOR oleh Hendrik
Manullang (2011) menuliskan pertama, CIFOR berada dalam IFCA merupakan
LSM titipan asing yang ditugasi mengarahkan agar skema REDD disetujui oleh
pemerintah Indonesia. Kedua, CIFOR berupaya meyakinkan Indonesia untuk
membiarkan REDD masuk dalam skema pasar bebas. Ketiga, CIFOR memiliki
kepentingan agar LSM seperti mereka bisa menjadi pelaksana proyek REDD
sehingga pada nantinya mereka bisa menjadi broker perdagangan karbon dan
mendapat dana dari hasil menjual karbon tersebut. 95
Berbeda dengan CIFOR, beberapa LSM justru menolak keberadaan skema
REDD+. Kritik terhadap skema REDD+ berawal dari pengalaman kelompok

94

Ibnu Hajar. 2017. Peran Center For Internasional Forestry Research (Cifor) Di Indonesia Terkait
Mekanisme Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation (REDD) 2007-2014.
Jurnal FISIP UNRI. Volume 4 No.1. Hal. 7
95 Hendrik Manullang. 2011. Politik Lingkungan : Analisa Reducing Emission From Deforestation
Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia. Universitas Sumatera
Utara. BAB II.

Universitas Sumatera Utara

masyarakat adat yang mengalami perampasan hak atas penguasaan dan
pengelolaan hutan dengan alasan pembangunan ekonomi terkhusus masyarakat
yang tinggal disekitar kawasan hutan di luar Pulau Jawa. Arus konsesi
pengelolaan hutan dalam wujud izin untuk menambang menebang kayu,
membuka lahan untuk perkebunan sering sekali mengepung bahkan menggusur
lahan penghidupan ekonomi kampung-kampung masyarakat sekitar hutan.
Kekhawatiran muncul apabila skema REDD+ justru menjadi wajah baru
mekanisme penguasaan lahan melalui konsesi yang diberikan guna menjalankan
restorasi ekosistem terutama ketika konflik tenurial belum diselesaikan.
Di sisi lain, beberapa LSM/NGO seperti WALHI, AMAN, Green Peace,
dan DrE justru melihat skema REDD+ ini memurahkan hutan Indonesia untuk
diperjualbeilkan emisinya di dunia internasional oleh negara-negara maju agar
inkubator industri mereka tetap berjalan. Skema ini juga dianggap sebagai jalan
melarikan diri bagi negaranegara maju dengan cara membeli hak untuk
mengemisi lebih banyak gas rumah kaca dari negara-negara berkembang yang
masih memiliki hutan. 96 Pandangan beberapa NGO tersebut melihat REDD
memprioritasikan konservasi dan peranan pemerintah serta kaum kapitalis dari
pada mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dan
adat layaknya seperti program CDM. 97

96

Mann, T. dan M.T. Surya. 2009. REDD Wrong Path: Pathetic Ecobusiness. Jakarta: WALHI
bekerjasama dengan Nature and Poverty Alliance.. Hal. 57
97
Op.Cit. Andri Santosa dan Mangara Silalahi. Hal. 40

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, pihak yang mengkritisi skema REDD+ ini menyatakan dengan
tegas menolak untuk berpartisipasi karena ketidaksepakatan mendasar pada
prinsip-prinsip neoliberalisme yang terkadung dalam skema REDD+. 98 Berangkat
dari kritik tersebut, pemerimtah membentuk stuktur kelompok kerja yang
membuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil. Kekhawatiran bahwa skema
REDD+ hanya akan menguntungkan segelintir kalangan dapat dilihat dari
penciptaan komoditas karbon yang memberikan ruang bagi pemburu rente karbon
murah untuk mengambil keuntungan pribadi.
Melihat hal itu, pemerintah melalui Satgas REDD+ memberikan ruang
bagi para pihak untuk berpartisipasi dan terlibat dalam sebagai bagian dari
pemerintah. Beberapa representasi LSM seperti Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan
World Wide Fund for Nature (WWF) terlibat dalam keanggotaan kelompok kerja.
Terdapat setidaknya sembilan kelompok kerja di dalam Satgas REDD+ yang
diberi tugas untuk mengkonsep dan menerjemahkan ide-ide dasar pelaksanaan
REDD+ di Indonesia.
Salah satu kelompok kerja membangun Strategi Nasional REDD+,
sedangkan kelompok kerja yang lain menyiapkan perangkat perlindungan
(safeguard); mekanisme pembiayaan; mekanisme pemantauan, pelaporan, dan
verifikasi; pengarusutamaan REDD+ dalam kebijakan; pengelolaan provinsi
98

Op.Cit. Rini Astuti. Hal. 83

Universitas Sumatera Utara

percontohan;

dan

perlibatan

multipartisipan. 99

Kekhawatiran-kekhawatiran

mengenai dampak negatif REDD+ yang disuarakan LSM berhasil dikelola dan
diredakan

melalui

pranata-pranata

regulasi,

kebijakan,

dan

mekanisme

perlindungan hak di mana mereka terlibat langsung dalam pembuatannya.
Aktivis-aktivis yang terlibat dalam Satgas REDD+ diberi kewenangan
sebagai ahli yang dapat mengatur, membentuk, dan mendefinisikan mekanisme
tata kelola REDD+. Posisi sebagai ahli ini pula yang kemudian membuat para
aktivis ini mesti “menghadapi” rekan-rekan mereka sendiri di gerakan masyarakat
sipil dalam proses-proses konsultasi publik dan kelompok diskusi terarah atau
focus group discussion (FGD). Tidak bisa dimungkiri bahwa pelibatan aktivis
dalam proses-proses pembuatan kebijakan REDD+ telah membawa pendekatan
pemenuhan hak (rights based approach) dalam regulasi dan implementasi
REDD+. Berbagai isu yang menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil menjadi
di