Politik Lingkungan : Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation
(REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Disusun Oleh : Hendrik Manullang
050906008
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Nama : Hendrik Manullang
Nim : 050906008
ABSTRAKSI
Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade
belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dapak negative dari pemanasan global tersebut. Dan dampak negative ini di rasakan merata tanpa mengenal diskriminasi, baik negara maju maupun negara berkembang mengalami dampak negative pemanasan global. Oleh karena dampak negative tersebut seluruh negara di dunia sepakat untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Diantara usaha yang dilakukan adalah REDD yaitu mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan. REDD yang lahir dari konfrensi yang diikuti oleh seluruh negara di dunia ini tentunya ada aktor-aktor yang merancangnya serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka serta wawancara dan diskusi dengan ahli. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja aktor-aktor serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut dan juga ingin mengambarkan secara seobjektif mungkin terhadap mekanisme REDD.
Selain itu skripsi ini juga memaparkan analisa dampak mekanisme REDD bagi bidang sosial, politik, dan lingkungan hidup Indoneisa. Hal ini terait dengan adanya keinginan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan mekanisme REDD ini di kawasan wilayah kedaulatannya.
Kata kunci : Pemanasan Global, Politik Lingkungan REDD, Aktor, dampak Sosial Politik Ekonomi dan lingkungan Hidup
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha pengasih karena atas berkat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penelitian ini disusun melalui pengumpulan data dari berbagai sumber yaitu sumber kepustakaan dan juga sumber yang berasal dari hasil diskusi dengan orang yang dianggap ahli. Dalam skripsi ini digambarkan mengenai aktor-aktor serta kepentingan-kepentingannya terhadap mekanisme REDD dan juga mengenai dampak sosial, politik, ekonomi dan lingkungan negara Indonesia.
Dalam penyusunan skripsi ini terdapat bantuan dari berbagai pihak baik berupa bimbingan, petunjuk dan saran, keterangan-keterangan serta data yang diberikan secara tertulis maupun lisan oleh karenanya maka skripsi ini dapat diselesaikan penulis.
Terima kasih yang tak terhingga kepada mama dan bapak yang selalu mendoakan dan memberi dukungan kepada penulis. Dan juga kepada kakak-kakak dan abangku, Hobbyna, Hansen, Herwina yang juga turut memberi semangat dan doa serta dukungan finansial kepada penulis.
Penulis juga tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU medan, Prof.DR. M. Arif Nasution, MA.
(4)
2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA. Selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU.
3. Bapak Drs. A. Taufan Damanik, MA. Selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing dalam penyusunan skripsi ini hingga dapat terselesaikan.
4. Bapak Indra Kesuma Nasution, SIP. MSi selaku dosen pembaca yang telah memberikan arahan selama penelitian ini berlangsung.
5. Seluruh dosen yang telah mengajar penulis selama masa perkuliahan dan juga kepada seluruh staf Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
6. Kepada Bapak Suherry Aprianto Direktur Divisi Pendidikan LSM Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Medan atas waktunya untuk berdiskusi serta masukan-masukannya dalam penelitian ini.
7. Kepada semua sahabat-sahabatku: Fx. Oktavianus, Ronald W.S, Rolas, Pebrina, Bernad, Suhendra, Fadli, Anton. Terima kasih atas dukungan serta bantuan kalian selama menjalani masa-masa perkuliahan hingga penyelesaian penelitian ini. Dan juga bagi kawan-kawan lainnya yang yang tak sempat di sebutkan satu persatu pada kesempatan kali ini, terima kasih buat bantuan kalian selama ini.
8. Kepada seluruh kawan-kawan mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
9. Kepada seluruh keluarga besar Op. Hobbyna Manullang serta keluarga besar Marbun, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.
(5)
10.Terkhusus kepada yang tercinta Maria Nome Crystine Saragih atas semua kasih sayang, dukungan, dan motivasi yang tak terkira lagi selama awal perkuliahan sampai dengan proses penelitian ini dan juga untuk semua kenangan yang terlah diberikan selama 5 tahun ini.
Dalam Skripsi ini tentunya disadari oleh penulis terdapat kekurangan. Oleh karena itu kiranya para pembaca dapat memaklumi kekurangan yang ditemui dalam skripsi ini.
Akhir kata, salam penulis bagi seluruh pembaca yang tertarik dengan skripsi ini dan semoga apa yang terdapat dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 08 April 2010 Penulis
(6)
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI………i
KATA PENGANTAR……….ii
DAFTAR ISI………..….. v
BAB I: PENDAHULUAN………...….………... 1
1. LATARBELAKANG MASALAH……….…..………. 1
2. PERUMUSAN MASALAH………... 7
3. BATASAN MASALAH………...……….. 7
4. TUJUAN PENELITIAN………….………..………. 8
5. MANFAAT PENELITIAN……….…………... 8
6. KERANGKA DASAR PEMIKIRAN ………. 9
6.1.Wacana Politik Lingkungan………... 9
6.2. Definisi Deforestation……….……….. 15
6.3.Pembangunan Berkelanjutan…..………16
6.4.Teori Ketergantungan………..……….. 20
7. TEKNIK PENGUMPULAN DATA…...………..………. 26
(7)
BAB II... 28
1. TAHAP PERKEMBANGAN REDD………. 28
2. AKTOR-AKTOR DIBALIK REDD……… 34
2.1. PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA……….………. 34
2.2. BANK DUNIA……….……….. 36
2.3. NEGARA-NEGARA ANNEX 1………. 43
2.4. PEMERINTAH INDONESIA……….………. 64
2.4.a. INISIATOR REDD……… 65
2.4.b. PEMERINTAH DAERAH DAN KESEPAKATAN REDD 70 2.5. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)……… 71
2.5.a. LSM PENDUKUNG REDD………. 73
2.5.b. LSM PENOLAK REDD……….…… 75
BAB III………. 78
1. ANALISA REDD PADA BIDANG POLITIK………...……. 78
1.1. PERATURAAN PERUNDANG-UNDANGAN………..…….. 78
1.2. PERATURAN SUMBER PENDANAAN PROYEK REDD YANG KONTROVERSI... 81
1.3. KEKHAWATIRAN TIMBULNYA KONFLIK SOSIAL AKIBAT PROYEK REDD………...………….. 82
1.4. KETIDAK SERIUSAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG REDD ………....….85
1.5. HILANGNYA KEDAULATAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAMNYA ……….………..………...……….. 86
(8)
1.6. MELEMAHNYA POSISI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN
INTERNASIONAL………...………..……… 88
2. ANALISA REDD PADA BIDANG EKONOMI……….……..…….88
2.1. PENDEKATAN SKEMA PASAR……….….……..…..… 89
2.2. MAHALNYA BIAYA AWAL REDD………90
2.3. MURAHNYA HUTAN INDONESIA………..….…….… 91
3. ANALISA REDD PADA BIDANG LINGKUNGAN HIDUP………...……… 93
3.1. REDD, PEMENUHAN BAKU DAN ILEGAL LOGGING..………….93
3.2. PENDEKATAN KARBON OFFSET………..……...……….95
3.3. SISI POSITIF PROGRAM REDD………...………96
BAB IV………..……….………...101
1. KESIMPULAN ………...………...… 101
2. SARAN………..…………...……...…. 107
DAFTAR PUSTAKA………...………..…………...111
(9)
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
Nama : Hendrik Manullang
Nim : 050906008
ABSTRAKSI
Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade
belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dapak negative dari pemanasan global tersebut. Dan dampak negative ini di rasakan merata tanpa mengenal diskriminasi, baik negara maju maupun negara berkembang mengalami dampak negative pemanasan global. Oleh karena dampak negative tersebut seluruh negara di dunia sepakat untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Diantara usaha yang dilakukan adalah REDD yaitu mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan. REDD yang lahir dari konfrensi yang diikuti oleh seluruh negara di dunia ini tentunya ada aktor-aktor yang merancangnya serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut.
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka serta wawancara dan diskusi dengan ahli. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa saja aktor-aktor serta kepentingan dari aktor-aktor tersebut dan juga ingin mengambarkan secara seobjektif mungkin terhadap mekanisme REDD.
Selain itu skripsi ini juga memaparkan analisa dampak mekanisme REDD bagi bidang sosial, politik, dan lingkungan hidup Indoneisa. Hal ini terait dengan adanya keinginan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan mekanisme REDD ini di kawasan wilayah kedaulatannya.
Kata kunci : Pemanasan Global, Politik Lingkungan REDD, Aktor, dampak Sosial Politik Ekonomi dan lingkungan Hidup
(10)
BAB I
Politik Lingkungan :
Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation
(REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia
A. Latarbelakang
Substansi lingkungan hidup sebagai objek kajian keilmuan sangat luas cakupannya. Kerusakan dan kebakaran hutan, keanekaragaman hayati, polusi udara, akibat emisi karbon dari industri dan asap kendaraan bermotor, pencemaran sungai dan laut, kerusakan pantai, pembuangan limbah nuklir, merupakan cakupan isu lingkungan hidup yang mempengaruhi keberlangsungan hidup umat manusia sebagai individu atupun kelompok. Akhir-akhir ini isu lingkungan hidup menjadi isu yang hangat diperdebatkan dalam berbagai forum internasional karena adanya pemanasan global.
Masalah lokal tentang degradasi lingkungan hidup semakin memiliki implikasi internasional. Polusi udara yang terjadi tidak berhenti diperbatasan; hujan asam dari Perancis, misalnya, mengancam masyarakat, persediaan air tanah, ikan di danau dan hutan-hutan tidak hanya di Perancis tetapi juga dinegara-negara tetangga di Eropa. Atau kebakaran hutan di Indonesia yang asapnya terbang hingga melintas batas negara sehingga mengganggu negara-negara tetangganya seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Dan yang lebih parah lagi saat ini telah terjadi pengunaan berlebih atas zat yang bernama CFC (clorofluorcarbon) yang digunakan pada alat
(11)
pendingin, penyejuk ruangan, bahan kimia dan produk industri lainnya. Hal ini merupakan ancaman besar bagi lapisan ozon, selimut gas yang melindungi bumi dari sinar ultra violet matahari. CFC berinteraksi secara kimiawi dengan lapisan ozon sehigga menipiskan karbondioksida dan kandungan kimia lainnya terkunci dalam panas dekat dengan permukaan bumi dan oleh karena itu menghasilkan pemanasan global. Pemanasan global berarti polusi udara yang sangat dan meningkatkan permukaaan air laut, suatu ancaman bagi sebagian penduduk yang hidup di wilayah pantai.1
Sejak awal konfrensi ini telah terjadi banyak perdebatan tentang faktor-faktor penyebab timbulnya pemanasan global, karena banyak negara yang mengetahui bahwa negaranyalah yang ikut andil dalam percepatan pemanasan global mencoba Menangapi permasalahan pemanasan global ini negara-negara di dunia yang tadinya melakukan program penanganan secara sediri-sendiri menyadari bahwa tindakan mereka tidaklah cukup , negara-negara tersebut sadar bahwa permasalahan global harus ditangulangi dengan sebuah gerakan bersama. Maka disepakatilah diadakannya konfrensi yang tujuannya adalah menyamakan presepsi tentang pemanasan global dan penanganannya.
Adalah United Nations Framework Convention on Climate Change-Conference of parties (UNFCCC-CoP) sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh PBB untuk mengatasi permasalahan pemanasan global. Melalui konfrensi para pihak ini (CoP) dibahas permasalahan dari dampak serta cara mengatasi pemanasan global.
1
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan internasional, Yoyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal. 324
(12)
menghindar dari tanggung jawabnya. Karena konsekuensi dari pengakuan tersebut akan memberikan implikasi yang besar bagi negaranya. Konfrensi ini berubah menjadi ruang saling menyerang antar negara bahwa merekalah penyebab pemanasan global serta harus bertanggung jawab.
Pada UNFCCC CoP ke 3 tahun 1997 baru mulai mengalami kemajuan yang riil. Pada CoP ke3 yang diselengarakan di Kyoto jepang ini terjadi perubahan besar serta komitmen untuk mengatasi pemanasan global semakin serius. Hal ini dorong oleh semakin nyata dampak-dampak bahaya pemanasan global. Pada Cop ini menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang diberi nama Protokol Kyoto yang pada intinya adalah komitmen pembatasan dan target pengurangan emisi.
Ketika mulai diberlakukannya Protokol Kyoto ini setiap tahunnya tetap dilaksanakan konfrensi-konfrensi untuk mengevaluasi pencapaian dari protocol ini. Pada tahun 2007 diadakannya kembali CoP ke 13 di Bali Indonesia, CoP kali ini menjadi sangat istimewa karena pada CoP ini dilakukannya persiapan untuk melanjutkan protokol Kyoto yang masa berlakunya akan berakhir pada tahun 2012. Maka disaat semakin dekatnya berakhirnya protokol Kyoto dunia seakan tidak ingin terlambat mengambil keputusan untuk menyelamatkan dirinya.
Dalam CoP ini juga menghasilkan suatu kesepakatan penrting untuk mengatsi pemanasan global. Hasil dari CoP 13 ini di beri nama Bali Roadmap, yang salah satu hasilnya adalah Program Reducing Emission From Deforestation and Degradation (REDD). Yaitu sebuah program penurunan emisi gas penyebab pemanasan global melalui hutan yang asri.
(13)
Indonesia yang berlaku sebagai tuan rumah dalam konfrensi ini memainkan peran yang lebih. Menyadari posisinya saat itu dan juga pertimbangan lainnya, Indonesia menyampaikan program yang disusunnya untuk ditawarkan pada para negara peserta, REDD merupakan usulan dari Indonesia yang dalam penyampaiannya ini mengungkapkan argumen bahwa untuk mencegah pemanasan global haruslah menyelamatkan hutan dari eksloitasi, namun untuk menjaga lestarinya hutannya maka negara pemilik hutan yang asri harus mendapat konpensasi. Pada dasarnya REDD merupakan mekanisme internasional untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Jadi negara-negara maju yang menyumbang emisi lebih besar dari kemampuan negaranya menyerap emisi di haruskan menutupi kelebihan emisinya dengan cara memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang hutannya menyerap emisi karbon.
Tidak dapat disangkal pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi semua negara berkembang. Penyedian lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan merupakan tujuan pembangunan ekonomi yang bersifat mendesak. Sementara pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai antara lain melalui eksploitasi sumber daya alam merupakan pilihan yang tersedia bagi pemerintah untuk menunjukan kepedulian terhadap kesejahteraan rakyatnya. Biasanya pemerintah negara berkembang pemilik hutan memberikan kesempatan kepada investor asing atau perusahaan dalam negeri yang mengelolah kekayaan alam secara komersial. Karena prioritas yang tinggi diberikan kepada pertumbuhan ekonomi maka lingkungan hidup dikorbankan dan akibatnya
(14)
sumber daya alam seperti hutan tidak dikelolah secara keberlanjutan dan lingkungan hidup pun menjadi rusak.2
Dan ketika alam yang di eksploitasi besar-besaran ini mengalami kerusakan yang parah, alam menunjukan responnya. Respon alam ini banyak berupa bencana seperti banjir dan tanah longsor. Namun ternyata respon alam ini tidak hanya memberdampak lokal saja. Ketika terjadi perusakan hutan di negara-negara
Emisi gas rumah kaca global yang berasal dari bahan bakar fosil dan deforstasi hutan tropis harus mulai diturunkan apabila ingin mencegah kenaikan suhu global tetap pada kisaran dibawah 2 derajat celcius pada akhir tahun 2050.
Hutan memang dapat menjadi sumber (source) atau rosot (sink) gas rumah kaca terutama karbondioksida, hutan menjadi sumber karbondioksida ketika hutan dikonversi, hutan menjadi rosot karbondioksida ketika hutan itu lestari, sebab hutan dalam pertumbuhannya menyedot karbondioksida yang ada diatmosfer. Jadi sebenarnya fungsi alami hutan adalah mencegah berlebihannya gas rumah kaca yang ada di atmosfer sehingga tidak terjadi pemanasan global.
Seperti diungkapkan diatas bahwa demi pembangunan ekonomi terkadang pemerintah negara berkembang menyampingkan kelestarian lingkungannya, bahkan pemerintah mengeksloitasi sumberdaya alamnya secara besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi sesaat. Hal ini yang terjadi dengan hutan di Indonesia. Indonesia yang tidak memliki sumber uang yang mencukupi untuk membiayai pembangunannya terpaksa mengeksploitasikan hutannya.
2
(15)
berkembang bukan hanya negara-negara berkembang tersebut saja yang terkena dampak negativenya, negara-negara maju pun ikut terkena dampaknya.
Secara tidak langsung dampak negative dari alam membuat khawatir juga negara-negara maju, sebab gaya hidup mereka terganggu oleh fenomena alam tersebut. Tentu saja mereka kembali menekan negara-negara berkembang tersebut untuk memperbaiki alamnya. Negara-negara maju dengan mudahnya mempersalahkan negara-negara berkembang karena terlalu mengeksploitasi alamnya.Padahal dari eksploitasi alam oleh negara-negara berkembang tersebut semuanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi negera-negara maju tersebut.
Hal yang tidak adil kembali terjadi ketika negara-negara maju memaksakan agar negara-negara berkembang mengunakan teknologi canggih yang lebih ramah lingkungan dalam proses produksinya. Tentu hal ini menyebabkan masalah baru bagi negara-negara berkembang yang menyebabkan mereka semakin ketergantungan pada negara maju, sebab yang memiliki teknologi canggih hanya negara-negara industri maju saja, karena adanya keterbatasan sumber daya manusia negara berkembang dalam membuat teknologi canggih tersebut. Teknologi yang canggih ini pun bukan sesuatu yang murah.
Ketidakadilan inilah yang mendorong Indonesia mengajukan penawaran Program REDD pada CoP ke 13. Keyakinan bahwa dengan adanya hutan lestari pemanasan globaldapat dicegah maka hal ini mendorong banyak negara menyetujui REDD ini sehingga program ini masuk kedalam salah satu butir kesepakatan dari Bali Roadmap. Tentunya dimasukannya REDD bukan tanpa perdebatan sehingga dapat diterima semuanya.
(16)
Pembahasaan REDD inilah yang hendak diungkapkan lebih lanjut dalam penelitian ini, sebab REDD sebagai program usulan dari pemerintah Indonesia masih banyak masyarakat belum jelas mengerti tentang apa itu program Reducing Emissions from Deforestation and Degradation sehingga mendorong penulis untuk memberikan informasi yang utuh mengenai REDD tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berangkat dari latarbelakang masalah, peneliti mencoba untuk merumuskan masalah yang hendak di teliti yaitu:
1. Siapa aktor-aktor di balik usul Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) pada Conference of Parties ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change ( CoP ke 13 UNFCCC ) Di Bali tahun 2007 dan apa saja kepentingan yang hendak dicapainya?
2. Apa dampak dari program Reducing Emission From Deforestation Degradation bila diterapkan di Indonesia?
C. Batasan Masalah
Untuk memperjelas dan mempertegas serta membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis maka diperlukan adanya batasan masalah. Penenelitian ini membatasi masalah yang dibahas hanya pada hal berikut :
1. Penelitian ini akan melihat bagaimana para aktor berperan dalam Program Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD).
(17)
2. Penelitian ini juga akan melihat pandangan-pandangan para ahli tentang Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) serta analisis para ahli tentang dampak REDD bila di terapkan di Indonesia.
D. Tujuan Penelitian
Ada pun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui siapa saja aktor dibalik program Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD).
2. Untuk mengetahui dampak bagi Indonesia jika menerapkan program Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) ini, baik dampak sosial, ekonomi serta dampak politiknya.
E. Manfaat Penelitian
Layaknya penelitian ilmiah tentunya penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat baik bagi penulis maupun orang lain yang membaca laporan penelitian ini. Berikut adalah manfaat yang ingin dicapai dalam penlitian ini :
1. Secara akademis, penelitian ini untuk memperkaya penelitan ilmiah dibidang politik lingkungan terutama yang berhubungan dengan isu Pemanasan global yang disebabkan oleh kerusakan hutan.
2. Bagi penulis sendiri penelitian ini untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah khususnya dalam bidang politik lingkungan.
(18)
F. Kerangka Dasar Pemikiran 1. Wacana Politik Lingkungan
Masalah mendesak mengenai Perubahan Iklim atau pemanasan global yang terjadi saat ini adalah berhubungan dengan pengelolahan yang salah atas eksploitasi atas sumber daya alam yang menunjukkan korelasi indikator sebagai berikut:
Pertama, kelengahan atas pengelolahan sumberdaya alam diantara aktor yang langsung (seperti negara). Mereka seringkali lengah mengimplementasikan konsep dan sistem pembangunan ekonomi yang berbasis lingkungan.
Kedua, para aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan lingkungan, dan mereka gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia dengan alam. Hal ini penting untuk diakui perbedaan antara sistem manusia dan alam. Dinamika lingkungan adalah sebagai produk saling penguatan dari banyak susunan yang saling berinteraksi dan proses dari pada suatu desain. Dengan demikian, perbedaan yang fundamental antara tabiat manusia dan lingkungan bermakna bahwa pemahaman peran suatu masyarakat di dalam sistem lingkungan bermakna bahwa pemahaman bagaimana masyarakat telah terbuat di masa lampau, tetapi juga apa yang mereka rencanakan untuk masa depan.
Sekarang perlu dijelaskan tentang apa arti dari Political Ecology (politik lingkungan). Tercatat ada beberapa ilmuan yang yang memberikan defenisi yang berbeda mengenai politik lingkungan. Diantaranya adalah Gary Paterson, Bryant, Vayda, Blaike dan Brookfield, Rocheleau dan Abe ken-ichi.3
3
Herman Hidayat, Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal. 9
(19)
Menurut Paterson, bahwa politik lingkungan adalah pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam didalam masyarakat dalam skala individu lokal pada transnasional secara keseluruhan.
Blaike dan Brookfield, politik lingkungan adalah suatu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan antara masyarakat lokal, nasional, politik ekonomi global dan ekosistem.
Bryant mendefinisikan politik lingkungan sebagai usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian lingkungan.
Rocheleau mendefinisikan politik lingkungan sebagai kecenderungan untuk melihat mendalam dinamika lingkungan dan memfokuskan atas suatu sistem manusia.
Abe ken-ichi mendefinisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumber daya secara politik ekonomi, dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis.
Sedangkan Vayda menjelaskan politik lingkungan adalah suatu metode terapan oleh ahli-ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal sebagai ‘progressive contextualization’ (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan
(20)
suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara khusus terhadap suatu sumber daya alam.
Mengamati skala sosial dan lingkungan yang berbeda, politik lingkungan menjelaskan sekurangnya dua peneltian area yang berbeda. Pertama, penelitian ke dalam sumber yang kontekstual perubahan lingkungan yang menguji pengaruh lingkungan secara umum pada suatu negara, hubungan antar negara, dan kapitalisme global. Kedua, area penelitian mencari tahu suatu lokasi dari aspek-aspek khusus mengenai perubahan lingkungan, yaitu dengan studi suatu konflik atas akses sumber-sumber lingkungan.
Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan.
Politik lingkungan dalam banyak negara di dunia mempunyai peran penting tidak hanya pada tingkatan yang berbeda, tetapi juga dalam bingkai kerja struktural yang berbeda. Banyak lembaga antar pemerintahan mempunyai peranan penting dalam aktivits serupa, membuat aturan lingkungan, membuat kebijakan , penelitian, monitor, training, proyek pembiayaan dan supervisi. 4
Meskipun politik lingkungan muncul pada tahun 1980-an sebagai agenda riset di negara-negara berkembang, sejak tahun 1990-an disiplin ilmu ini telah berkembang
4
(21)
secara luas melalui wacana publik dibanyak negara. Ada banyak pendekatan untuk politik lingkungan.
Pertama, untuk menjelaskan penelitian atas politik lingkungan dunia ketiga mengenai masalah-masalah lingkungan yang khusus atau menunjukan masalah, misalnya kerusakan hutan tropis, banjir, erosi tanah dan rusaknya mutu tanah.5
Kedua, memfokuskan pada suatu konsep yang mengandung hubungan penting terhadap pertahanan politik lingkungan. Pendekatan ini untuk memahami karakteristik dari banyak aktor yang berbeda dan membatasi promosi dari minat aktor yang khusus.
Ketiga, untuk menguji saling hubungan antara masalah-masalah politik dan lingkungan dalam hubungan kondisi geografis yang khusus. Hal ini dihubungkan dengan sering munculnya masalah alam yang bervariasi dari suatu negara ke negara lain, tetapi tujuannya ialah untuk mengevaluasi masalah tersebut dalam suatu konteks negara.
Keempat, untuk mengali masalah politik lingkungan dalam hubungan karakteristik sosial-ekonomi seperti golongan, etnisitas atau gender.
Kelima, menekankan perlunya memfokuskan minat, karakteristik dan aksi dari tipe pelaku yang berbeda didalam memahami konflik-konflik politik lingkungan. Pendekatan berbasis aktor ini dihubungkan dengan pemahaman para pelaku terhadap proses lingkungan dan politik.
5
(22)
Politik Lingkungan Global
Pendefinisian masalah lingkungan hidup dalam tataran hubungan internasional memiliki definisi tersendiri. Menurut Porter dan Brown, untuk masuk dalam kategori “global environmental politics”, kualitas persoalan lingkungan yang dimaksud harus mengandung ancaman terhadap daya dukung alam sebagai sebuah ekosistem (the global commons) yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia, yang tidak hanya terbatas dalam wilayah jurisdiksi negara tertentu. dengan kata lain minimal harus ada transedensi isu dalam cakupan:
1. Dampak atau akibat (impacts) dari kerusakan lingkungan itu bersifat transboundary. Lintas jurisdiksi nasional ini baik yang berkenaan dengan aspek social (seperti human health)maupun aspek ekonomi termasuk aspek politik dan keamanan. adanya kenyataan bahwa sekup dari kerusakan lingkungan tertentu seperti deforestation, loss of biodiversity dan global warming, demikian luasnya. Dan karena biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi persoalan demikian besarnya, telah melampaui batas kapasitas individual Negara-negara tertentu yang karenanya menuntut kerjasama internasional yang luas dan solid. Dengan kata lain global problems need global solutions. Akan tetapi pada gilirannya realitas obyektif ini harus bersinggungan dengan karakter dari politik internasional yang memberikan tingkat kesulitan tersendiri dalam upaya pencapaian solusi yang diharapkan. 2. Para pelaku yang terlibat lebih beragam. Intensitas isu lingkungan global tidak
saja melibatkan peran (banyak) negara sebagai actor utama, tetapi juga berbagai institusi internasional dan non-governmental organizations,
(23)
termasuk pula perusahaan-perusahaan multinasional. Perkembangan isu lingkungan dewasa ini menunjukkan semakin pentingnya peran non-state actors yang bagi kaum hyperglobalist dianggap telah mengikis kedaulatan dan peran Negara sebagai aktor dominan dalam mengupayakan berbagai penyelesaian internasional untuk mengatasi masalah lingkungan global. Namun demikian, tesis ini masih dapat diperdebatkan. Yang pasti masing-masing actor memiliki peran dan powernya masing-masing-masing-masing yang memberi karakteristik tersendiri bagi lingkungan global misalnya :
a. Negara : Dalam politik internasional yang masih menganut sistem negara bangsa, maka peran negara sangat dominan dalam proses pembentukan rejim bagi perlindungan lingkungan global. Ini sangat memungkinkan karena negara dapat menggunakan kekuatan vetonya. Dalam setiap perundingan internasional selalu terjadi proses pengelompokkan untuk menggalang kekuatan veto (Veto Coalitions). Yang kedua kekuatan ekonomi sebuah Negara, dan bukan militer, merupakan laverage yang sangat menentukan posisi tawar menawarnya di dalam setiap perundingan multilateral.
b. Non Governmental Organizations (NGOs) : Memainkan peran yang semakin besar dalam era globalisasi ini sebagai berkah kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. NGOs berperan dalam pembentukan opini public secara luas, membangun jaringan kerja yang efektif serta memberikan tekanan yang kuat kepada pemerintah dalam proses tawar menawar sebuah perundingan.
(24)
c. International Institution : Berperan sebagai fasilitator yang aktif dalam pembentukan berbagai rejim internasional bagi pengawasan, perlindungan dan pemeliharaan alam dan segala sumber-sumbernya. Setidaknya peran mereka adalah menghasilkan kesepakatan multilateral (soft law).
2. Definisi Deforestation
Deforestation telah didefinisikan oleh FAO (Food and Agricultural
Organization) sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan lain atau pengurangan yang tajam dari tutupan hutan dibawah 10%. Disamping itu, deforestation (kerusakan hutan) menekankan kehilangan permanen tutupan hutan dalam jangka panjang. Kehilangan itu hanya dapat disebabkan melalui pengaruh manusia yang berlanjut atau gangguan alam. 6
WRI (World Resources Institute) juga mendefinisikan deforestation sebagai konversi lahan hutan untuk penggunaan lahan pertanian. Deforestation mencakup lahan hutan yang dipakai untuk infrastruktur seperti pembangunan, pertambangan, permukiman, ladang berpindah, dan sebagainya.
Definisi dasar oleh FAO mengenai deforestation telah dikembangkan dan pada umumnya diterima oleh negara-negara yang berpartisipasi dan dikenal oleh para ahli penemuan dan penilaian hutan. Istilah internasional dan definisi adalah tidak tetap, tetapi mengikuti perkembangan umum dari proses internasional.
7
6
Food and Agricultural organization(FAO), Global Forest Resources Assessment 2000: Main Report. 7
(25)
Norman Myers mendefinisikan deforestation sebagai penghancuran tutupan hutan secara sempurna melalui pembersihan lahan (land clearing) untuk sektor pertanian. Misalnya, pengembalaan sapi, pertanian dalam skala besar dan kecil. Ini berarti tidak ada pohon yang tersisa, dan lahannya diberikan untuk tujuan bukan hutan.8
Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah terbentuknya World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Definisi FAO dan WRI mengenai deforestation lebih cocok dalam menjelaskan skala deforestation dalam skala besar dan menengah yang terjadi di Indonesia.
3. Pembangunan Berkelanjutan
9
8
Herman Hidayat, op.cit, hal.91 9
Pan Mohamad Faiz, paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai
“Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009. Perubahan Iklim dan Perlindungan
Terhadap lingkungan : Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi. http://www.wordPress.com.
Dikutip dari World Commission on Environment and Development (WCED), Our Common Future, Oxford University Press, Oxford, 1987, hlm. 43. (diakses tanggal 16 Mei 2009)
Secara sekilas, definisi seperti ini terlihat begitu sederhana, akan tetap isu yang berkembang cepat serta mendalam nyatanya membuat ruang lingkupnya menjadi semakin kompleks.
(26)
Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik.10
Lebih lanjut, apabila ditarik melalui persepektif kerangka hukum internasional, Dominic McGoldrick merumuskan pembangunan berkelanjutan yang ditopang oleh tiga pilar menyerupai bangunan rumah. Pilar-pilar tesebut dibangun di atas tiga ranah hukum internasional, yaitu hukum lingkungan internasional, hukum ekonomi internasional, dan hukum hak asasi manusia internasional.11
10
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Dinah M. Payne dan Cecily A. Rainborn, Sustainable
Development: The Ethics Support the Economics, dalam Thomas A. Easton, ed., Taking Sides: Clashing Views on Controversial Environmental Issues, McGraw Hill, 2008, hlm. 28-33.
11
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Dominic McGoldrick,Sustainable Development and Human Rights: An Integrated Conception, dalam The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 45,
No. 4, Oktober, 1996, hlm. 2-7.
Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab, ketentuan dan norma hak asasi manusia di dalam UUD 1945 memiliki substansi dan pengaturan
(27)
yang selaras dengan ketentuan perlindungan HAM yang bersifat universal sebagaimana tercantum dalam berbagai Konvensi Internasional, seperti UDHR, ICCPR, ECOSOC, dan lain sebagainya.
Terkait dengan issu perubahan iklim, maka perlu juga diperhatikan hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. Asas-asas pembangunan berkelanjutan yang tercantum dalam UNCED tersebut, terdiri dari:
1. keadilan antargenerasi (intergenerational equity);
2. keadilan dalam satu generasi (intra-generational equity); 3. prinsip pencegahan dini (precautionary principle);
4. Perlindungan keanekaragaman hayati (conversation of biological diversity); dan
5. Internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environment cost and incentive mechanism).
Kemudian, salah satu hasil yang disepakati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yaitu dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21.12
12
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 104-107
(28)
Berwawasan Lingkungan
Menurut Surna T. Djajadiningrat, proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kondisi sumber daya alam; (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor kependudukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak akan bermakna banyak apabila tidak turut memperhatikan aspek-aspek yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, pembangunan haruslah mampu untuk menjaga keutuhan fungsi dan tatanan lingkungan, sehingga sumber daya alam yang ada dapat senantiasa tersedia guna mendukung kegiatan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (CBESD), maka diperlukanlah pokok-pokok kebijaksanaan yang di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:13
a. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
b. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dikendalikan melalui penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan proyek;
c. Adanya pengutamaan penanggulangan pencemaran air, udara, dan tanah; d. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas
tatanan lingkungan;
13
Pan Mohamad Faiz, Ibid, dikutip dari Surna T. Djajadiningrat, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I
(29)
e. Pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas pembangunan, serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan;
f. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan;
g. Pengembanan peran serta masyarakat, kelembagaan, dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
h. Pengembangan hukum lingkungan yang mendorong badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan; i. Pengembangan kerja sama luar negeri.
4. Teori Ketergantungan
Ketergantungan (dependency) adalah sebuah konsep yang digunakan secara populer dalam analisis negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin selama tahun 1960-an dan kemudian sering dipakai dalam beberapa tulisan tentang Asia dan Afrika. Sedikitnya ada enam ilmuan yang tercatat menulis tentang teori ketergantungan yaitu Philip J. O’brien, Fernando Henrique Cardoso, Claire Savir Bacha dan Ronald H Chilcote, Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos.14
Mereka yang menerapkan ketergantungan dalam analisis pembangunan dan keterbelakangan seringkali berfokus pada masalah penetrasi asing ke dalam ekonomi politik dunia ketiga. Frank menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan
14
(30)
pembangunan pada suatu negara. Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara.
Terdapat perbedaan sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya kegagalan penelitian sejarah dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara penjajah dan negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme. Pembangunan ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang terdiri dari beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal tahapan tersebut.
Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu :
1. Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara pusat dan satelitnya, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut. 2. Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama
pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara pusat. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu
(31)
pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “pusat-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis.
3. Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara pusat pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara pusat. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara pusat.
4. Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Perkebunan yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar yang berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit.
5. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
(32)
Dalam tulisan Dos Santos membenarkan bahwa dengan ketergantungan kita mengartikan sebuah situasi dimana ekonomi negara-negara tertentu terkondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi lain yang menjadi tempat tergantung negara-negara tadi. Hubungan saling ketergantungan antara dua atau lebih ekonomi, dan antara ekonomi-ekonomi ini dengan perdagangan dunia, mengambil bentuk ketergantungan sementara beberapa negara (yang dominan) dapat melakukannya hanya sebagai pencerminan ekspansi, yang bisa memiliki pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan langsung mereka.15
Lebih lanjut lagi Dos Santos dengan teori ketergantungan baru menunjukan bahwa hubungan negara-negara dependen dengan negara dominan tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan dalam struktur internal dan hubungan-hubungan eksternalnya. Selanjutnya, struktur ketergantungan bertambah dalam, membawa
Dan di pertegas lagi oleh ekonom Chili, Osvaldo Sunkel bahwa faktor-faktor asing tidak hanya dilihat sebagai hal-hal eksternal melainkan interistik pada sistem, dengan bermacam-macam akibat politik, keuangan, ekonomi, teknis dan budaya, yang terkadang tersembunyi dan terselubung di dalam negara terbelakang. Dengan konsep ketergantungan secara internasional menghubungkan evolusi kapitalisme paska perang dengan sifat-sifat diskriminatif proses pembangunan lokal, sebagaimana kita ketahui. Akses terhadap proses-proses dan keuntungan-keuntungan pembangunan bersifat selektif; bukan menyebarkannya, proses ini cenderung memastikan adanya akumulasi keistimewaan dan penguatan diri bagi kelompok-kelompok khusus maupun lanjutan kebereadaan suatu kelas marjinal.
15
(33)
negara-negara dependen pada keterbelakangan, memperburuk permasalahan masyarakat ketika negara-negara tersebut mengikuti struktur internal dan internasional yang dipengaruhi secara kuat oleh peran perusahaan-perusahaan multinasional maupun pasar-pasar komoditas dan modal internasional.
Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saham melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”.
Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni :
a. Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif.
b. Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.
(34)
c. Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui monopoli teknologi industri.16
Intinya Ketergantungan adalah :
1. Yang menjadi hambatan pembangunan bukan karena tidak ada modal melainkan pembagian verja internasional yang terjadi.
2. Pembagian verja Internasional itu diuraikan menjadi hubungan antar kawasan yakni pusat dan pinggiran, terjadilah surplus dari negara pinggirian ke negara pusat
3. Akibat pengalihan surplus ini negara pinggiran kehilangan sumber yang dibutuhkan karena di hisap negara pusat. Pembangunan dan keterbelakangan adalah dua aspek dari proses global yang sama. Proses global tersebut adalah kapitalisme dunia.
4. Teori Ketergantungan menganjurkan untuk memutuskan hubungan dengan kapitalisme dunia.
5. Dalam pandangan ketergantungan negara pusat dan kapitalisme mengandung inti Dominasi, Hegemoni dan Eksploitasi.
Dan ketika berbicara tentang penyelamatan lingkungan tidak terlepas dari ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara-negara berkembang. Dalam hal ini negara-negara berkembang yang biasanya dalam pembangunan ekonominya selalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tetapi kurang
16
Slamet Widodo, Ketergantungan dan Keterbelakangan,
http:www.WordPress.com//F:/ketergantungan/KETERGANTUNGAN%20DAN%20KETERBELAK ANGAN%20_%20Learning%20of%20Slamet%20Widodo.htm (diakses tanggal 18 Mei 2009)
(35)
memperdulikan dampak negative dari pembangunan tersebut bagi lingkungan hidup. Ketika hasil dari pembangunan ekonomi tersebut memberi dampak buruk bagi kehidupan bersama, beramai-ramai negara-negara maju melakukan aksi kritik terhadap pembangunan di negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang ditekan agar dalam pembangunan ekonominya mengunakan teknologi yang canggih dan bersih sehingga tidak memberikan efek negative terhadap kondisi lingkungan. Dibuatlah standarisasi pengelolahan produk sesuai dengan keinginan negara-negara maju. Sehingga menyebabkan produk yang dihasilkan oleh negara satelit sulit masuk kedalam pasar negara pusat. Dan untuk itu terpaksa negara satelit membeli teknologi baru dari negara pusat yang lebih maju, hal ini yang menyebabkan semakin kaburnya kesepakatan internasional tentang penyelamatan lingkungan atau hanya sebagai bentuk baru lagi dari evolusi system penghisapan baru negara pusat terhadap negara satelit.
G. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif, yaitu analisis masalah dengan pengumpulan data melalui Studi Pustaka (Library Research) dengan teknik Pengumpulan bahan kepustakaan buku-buku, artikel, media massa cetak dan media massa elektronik serta data-data tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian.
(36)
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat (4) bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang latarbelakang, Perumusan masalah, Batasan Masalah, Tujauan Penelitian, Kerangka Dasar pemikiran, Ruang lingkup Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Hipotesa, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : DESKRIPSI PERKEMBANGAN DAN AKTOR-AKTOR
REDD
Bab ini berisikan sekilas tentang perkembangan wacana Progaram REDD dari awal hingga dimasukannya sebagai salah satu butir kesepakatan dalam Bali Roadmap, serta bagaimana actor-aktor dibalik REDD ini berperan.
BAB III : ANALISA PENERAPAN REDUCING EMISSION FROM
DEFORESTATION AND DEGRADATION
Bab ini membahas tentang analisa dampak serta resiko penerapan REDD di Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisikan Kesimpulan dan saran, yaitu kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang telah tercantum dalam bab-bab sebelumnya serta diakhiri dengan saran dari penulis.
(37)
BAB II
DESKRIPSI PERKEMBANGAN DAN AKTOR-AKTOR
REDD
A. Tahap Perkembangan REDD
Deforestation dan emisi menjadi perdebatan politik dan ilmiah telah
berlangsung sejak awal UNFCCC namun keseriusan untuk menjadikan isu ini sebagai salah satu isu penting adalah pada kesepakatan Protokol Kyoto pada tahun 1997. Namun dalam protokol ini hanya disepakati tentang perlunya melindungi dan mengkonservasi tempat penyimpanan karbon termasuk hutan. Protokol ini juga berisikan tentang target penurunan wajib emisi dari negara-negara industri maju dan juga memuat Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM, yang memungkinkan negara-negara tersebut mendapatkan kredit karbon di negara-negara berkembang jika mereka gagal dalam penurunan emisi. Namun dalam Protokol ini belum ada kesepakatan mengenai pemberian kompensasi terhadap negar-negara berkembang yang mampu menekan deforestation di negaranya, walaupun demikian Protokol ini menjadi pijakan awal dari kesepakatan tentang perlunya penyelamatan hutan.
Usul memberikan insentif positif bagi negara-negara pemilik hutan yang mampu mengurangi dampak deforestation baru muncul ketika Koalisi Pemilik Hutan Tropis (Coalition for Rain Forest Nations/CfRFN) yang dipelopori oleh Papua Nuginea dan Costarica sepakat mengajukan proposal tentang insentif untuk avoided
(38)
deforestation yang kemudian masuk dalam agenda CoP ke 11di Montreal dengan nama Reducing Emission From Deforestation in Developing Countries dengan mengunakan pendekatan emisi nasional, hampir sama dengan Papua Nuginea dan Costarica, Brasil pun memberikan usul agar adanya kompensasi bagi negara yang mampu mencegah deforestasi.
Proposal ini banyak disambut baik oleh negara-negara para pihak, teruatama karena adanya fokus baru, yang memecahkan berbagai permasalah dari diskusi mengenai isu “penghindaran deforestation” yang ada sebelumnyayang lebih berfokus pada tingkatan proyek atau pendekatan sub-nasional. CoP merujuk isu tersebut kepada Badan Tambahan untuk Masukan Ilmiah dan Teknis (Subsidiary Body for Scientificand Technica Advice/SBSTA), yang telah banyak menerima usulan dan mengadakan dua lokakarya (FCCC/SBSTA/2006/10 dan FCCC/SBSTA/2007/3), namun sampai pada Cop ke 12 di Nairobi, Kenya, negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto gagal mendesak negara-negara maju untuk mengurangi emisinya sesuai dengan target yang ditentukan. Pada CoP ke 12 ini dapat dikatakan tidak ada sebuah kemajuan. Namun kesimpulan yang diperoleh SBSTA menjadi sesuatu yang penting bagi perkembangan pencegahan deforestation. Temuan tersebut disampaikan oleh ketua SBSTA pada CoP ke 13 di bali.
Pada UNFCCC CoP ke 13 yang berlangsung pada Desember 2007 di Bali, Indonesia selaku tuan rumah penyelenggaraan dan didorong oleh kesadaran sebagai negara pemilik hutan terbesar ke 3 di dunia dan juga nomor 2 sebagai negara penghasil emisi karbon dari proses deforestasi mengusulkan sebuah mekanisme baru mengenai pengurangan dampak pemanasan global melalui pencegahan Deforestasi.
(39)
Berbeda dengan apa yang diusulkan oleh Papua Nuginea dan Costarica pada CoP ke 11 di Monteral. Dalam usulannya Indonesia menambahkan lagi poin tentang pencegahan degradation maka program yang diusulkan oleh Indonesia disebut dengan Reducing Emission from Deforestation and Degradation. REDD ini berhasil menjadi salah satu program yang disepakati dalam CoP ke 13 yang kesepakatan tersebut tertuang dalam Bali Road Map.
Sebelum CoP ke-13 Indonesia memang telah mempersiapkan Progaram ini, departemen kehutanan melalui kordinasi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) telah menetapkan Road Map Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia (REDDI). Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi merupakan initatif internasional kedalam konteks nasional. Oleh karenannya REDDI tidak dirancang ekslusif terhadap kebijakan kehutanan, tetapi untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan dan upaya-upaya yang dilakukan dalam menuju pembangunan hutan yang berkelanjutan.
Berikut adalah tahapan program REDD yang telah disusun oleh Departemen Kehutanan melalui kordinasinya dalam Indonesia Forest Climate Alliance ( IFCA):
1. Fase Persiapan (Pre-CoP 13)
Pada fase ini kegiatan difokuskan pada persiapan basis negosiasi di CoP-13 dan penyiapan desain serta kriteria pemilihan lokasi sebagai pilot sites. Studi komprehensif yang mencakup metodologi dan strategi serta kajian strategi serta kajian aspek pasar dan insentif, dilakukan selama bulan Juli-November 2007. Studi dilakukan oleh tenaga ahli internasional dan nasional, dengan narasumber dari instansi/organisasi terkait atau perorangan sesuai keahliannya. Pembiayaan didukung
(40)
oleh World Bank, Inggris, Jerman dan Australia. Hasil dipresentasikan pada site events CoP ke-13.
2. Fase Transisi (2008-2012)
Pada tahap transisi, pelaksanaan Pilot activities, dimaksudkan sebagai sarana learning by doing process, termasuk didalamnya testing metodologi dan strategi yang dihasilkan dari studi bulan Juli-November 2007,termasuk mekanisme insentif. pilot activities dapat berupa pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan emisi dari degradasi dan konservasi
3. Fase Implementasi (mulai 20012 atau lebih awal tergantung pada perkembangan dalam negoisasi CoP)
Fase ini merupakan implementasi mekanisme REDD dengan modalities, rules, dan prosedur sesuai keputusan CoP
Reducing Emission from Deforestation and Degradation dalam Bali RoadMap
Dalam UNFCCC CoP ke 13 di Bali memang sudah disepakati tentang
program REDD namun REDD yang tertuang dalam Bali RoadMap masih sekedar butir kesepakatan yang belum dapat dilaksanakan dan perlu pengkajian lebih lanjut mengenai bagaimana mekanisme penerapan program ini. Berikut ini adalah bentuk REDD dalam Bali Roadmap :
• REDD merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk member insentif yang positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
(41)
• REDD merupakan mekanisme internasional yang bersifat sukarela (voluntary) dan tetap menghormati kedaulatan negara (sovereignty)
• Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building,transfer teknologi dibidang metodologi dan institusional, pilot/demonstration activities,
• Untuk melaksanakan pilot/demostration activities dan implementasikan REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karenanya CoP 13 menyepakati indicative guidance untuk pilot/demonstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional (pemerintah), dan sub-nasional (pelaksana daerah).
Indicative guidance untuk pilot/demonstration activities yang disepakati dalam CoP Ke-13 adalah sebagai berikut :
Demonstration activities harus mendapat persetujuan host party dalam hal ini pemerintah.
Penghitungan pengurangan/peningkatan emisi harus sesuai hasilterukur,transparan, dapat diverivikasidan konsisten sepanjang waktu.
Pelaporan pengunaan reporting guidelines (Good Practice Guidance for Land, land-use Change and Forestry) sebagai dasar penghitungan dan monitoring emisi.
Pengurangan emisi dari national demonstration activities dievaluasi berdasarkan emisi deforestasi dan dgradasi nasional.
(42)
Subnational demonstration activities dievaluasi dalam batas kegiatan tersebut, termasuk evaluasi terhadap pengalihan emisi sebagai dampak dari kegiatan yang dimaksud (leakage).
Pengurangan/peningkatan emisi dari demonstration activity didasarkan pada emisi masa lalu, dengan memperhatikan kondisi masing-masing negara.
Pemakaian pendekatan sub-nasional harus merupakan suatu langkah menuju pendekatan national reference levels/baseline dan estimasi pengurangan emisi,
Demonstration activities harus konsisten dengan provisi di bawah UNFF, CDD, dan CBD.
Pengalaman dari implementasi demonstration activities dilaporkan dan tersedia memalui web platform.
Termasuk dalam pelaporan demonstration activities adalah deskripsi kegiatan, efektifitas, dan informasi lain yang relevan.
Dianjurkan mengunakan Indipendent expert review.
Sampai saat ini REDD masih dalam pembahasan, negoisasi akan dilakukan Adhoc Working on Long Term Cooperatif Action (AWG-LCA) atau Kelompok Kerja untuk Aksi Kerjasama Jangka Panjang. Keputusan akhir mengenai REDD akan di ambil pada CoP 15 tahun 2009.
(43)
B. Aktor-aktor dibalik Reducing Emission From Deforestation and Degaradation pada UNFCCC ke 13 di Bali
Pada kenyataanya bahwa dalam REDD ini terdapat banyak aktor yang berperan dalam pengusulan serta sampai pada tahap di setujuinya REDD dan menjadi salah satu butir kesepakatan yang tercantum dalam Bali Action Plan. Namun bukan dalam maksud untuk mengurangi peran dari aktor-aktor yang lain tetapi dalam laporan penelitian ini menekankan pada aktor-aktor yang dianggap mempunyai porsi besar dalam pengusulan ide REDD ini dikarenakan besarnya kepentingan mereka terhadap REDD tersebut. Berikut adalah aktor-aktor dalam Pengusulan REDD:
1. Perserikatan Bangsa-bangsa ( United Nations)
Program REDD seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa REDD ini dilahirkan pada UNFCCC CoP ke 13 di Bali hal ini secara langsung menjelaskan bagaimana peran dari Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai organisasi yang menaungi penyelenggaraan konfrensi perubahan iklim. Namun tentu saja peran Perserikatan Bangsa-bangsa ini tak sederhana itu saja tetapi perannya juga sangat penting dalam penentuan kesepakatan yang lahir dari konfrensi perubahan iklim tersebut.
Pada juli 2008, PBB melahirkan UN-REDD (United Nations Collaborative Programe on Reducing Emission from Deforestation and Degradation in developing countries). Program tersebut dipimpin oleh UNDP, FAO, dan UNEP untuk mengarahakan kegiatan persiapan (Rediness activities) untuk REDD.
Maksud dari UN-REDD ini adalah membantu negara-negara berkembang yang memiliki hutan dan komunitas internasional untuk memperoleh pengalaman dengan beragam formula pengelohan dan struktur pembayaran. Dengan tujuan
(44)
menghasilkan arus transfer sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi global dari deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan. Namun tujuan utamanya adalah menyalurkan dana dari negra maju untuk diberikan kepada negara-negara pemilik hutan.
UN-REDD akan meliputi peningkatan kapasitas (capacity building), pengembangan strategi, menguji sistem keuangan dan pengaturan institusi untuk pengawasan dan verifikasi. Program UN-REDD mendukung ketersangkutan REDD dengan pasar karbon dan akan memadukan inisiatif internasional lain seperti FCPF, FIP dan GEF. Program UN-REDD berkomitmen melakukan pendekatan berdasarkan hak asasi manusia (rights based) dan dalam dokumentasinya menyebutkan Free,Prior and Informed Consent17.
Selanjutnya peran Perserikatan Bangsa-bangsa dalam persoalan REDD ini hanya lebih memfokuskan pada program UN-REDD saja sehingga dirasakan kurang memiliki peran yang besar dalam pengembangan konsep REDD, kalah dibandingkan aktor-aktor lainnya. Mungkin ini disebabkan PBB harus sanggat berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan karena PBB harus mampu memberikan kebijakan yang mampu mengakomodir semua kepentingan negara-negara di dunia.
17
Free,Prior and Informed Consent (FPIC) dapat diartikan menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sebelum sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah merekan dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan menyatakan setuju atau menolak, atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat memutuskan jenis kegiatan pemabangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah mereka.
(45)
2. Bank Dunia.
Keterlibatan Bank Dunia terhadap REDD diawali saat mendanai Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA). Aliansi ini merupakan suatu forum komunikasi, koordinasi, dan konsultasi bagi sekelompok ahli yang bergerak di bidang kehutanan dan perubahan iklim di Indonesia, terutama untuk menganalisa praktek skema REDD di Indonesia. IFCA beranggotakan pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, lembaga-lembaga saintifik dan mitra internasional yang dikoordinatori oleh Departemen Kehutanan. Keterlibatan Bank Dunia pada IFCA ini adalah untuk dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah Australia, Jerman dan Inggris.
IFCA inilah yang merumuskan program apa yang nantinya akan di tawarkan oleh pemerintah Indonesia pada CoP ke 13 di Bali. IFCA merumuskan kebijakan yang terkait dengan (i) penentuan tingkat emisi (ii) strategi penggunaan lahan (iii) pemantauan (iv) mekanisme keuangan (V) pembagian keuntungan dan tanggung jawab dalam pencegahan pemanasan global. Hasil dari penelitian IFCA yang disampaikan Pemerintah Indonesia pada CoP ke 13 ini salah satunya ada usulan tentang Progaram REDD. Dengan kata lain pemerintah Indonesia merupakan negara pengusul REDD.
Keterlibatan Bank Dunia sebenarnya banyak mendapat kritik dari negara-negara berkembang G77 terutama mengenai pendanaan dan pembiayaan multilateral skema REDD, negara-negara G77 menghendaki bahwa pembiayaan REDD harus dibawah kekuasaan UNFCCC. The Global Environmental Facility (GEF) diusulkan oleh G77 sebagai badan pembiayaan resmi yang diakui UNFCCC. Namun GEF belakangan juga dikritik karena ternyata Bank Dunia memainkan peran yang cukup
(46)
besar, padahal Bank Dunia hanya salah satu aparat pelaksana GEF (yang lain adalah UNDP dan UNEP), ia mempunyai pengaruh yang besar mengenai pembagian dana GEF. Dan yang menjadi kritik lagi juga mengenai Prosedur GEF dalam pemilihan sangat menguntungkan negara donor besar diatas yang lain. GEF sendiri juga di duga ingin memajukan proyek konservasi besar yang ekslusif di Asia dan Afrika.
Ditengah kontroversi tersebut selain keterkaitannya dengan pendanaan IFCA, Bank Dunia juga memperkuat lagi posisinya dalam CoP ke 13 dengan mengumumkan Progaram fasilitas kemitraan karbon hutan baru yaitu The Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)18
FCPF terdiri dari dua skema - Mekanisme Kesiapan (Readiness Mechanism), untuk membantu negara berkembang untuk siap berpartisipasi dalam program insentif REDD, dan Mekanisme Pendanaaan Karbon (Carbon Finance Mechanism), yang menjadi percontohan pembayaran karbon bagi sekitar lima peserta Mekanisme Kesiapan yang berhasil. Setiap mekanisme memiliki dana perwalian (trust fund) sendiri, dengan Bank bertindak sebagai pengawas bagi keduanya. Intinya FCPF ini mendorong agar pendanaan REDD ini mengunakan pendekatan pasar. Dibuktikan . FCPF ini merupakan sistem insentif skala besar untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan menyediakan sumber-sumber dana segar untuk pemanfaatan yang lestari atas sumberdaya hutan dan konservasi keanekaragaman hayati, bagi lebih dari 1,2milyar penduduk yang hidupnya sedikit banyak tergantung terhadap hutan.
18
Sampai saat penelitian ini berlangsung tercatat ada 37 negara yang akan menerima bantuan dari program FCPF.
(47)
dengan banyaknya concept notes tidak memperhatikan hak milik tanah dan hak adat19
19
WALHI, Tim Mann, Muhamad Teguh Surya, REDD Wrong Path : Pathetic Ecobusiness, Jakarta : Walhi, 2009.
.
Selanjutnya pada pasca CoP 13 bulan Mei 2008 Bank Dunia kembali meluncurkan lagi sebuah rogram baru yang merupakan program pendamping dari FCPF yang dinamai Forest Investment Program (FIP). Jika FCPF adalah program Bank dunia untuk mendukung kegiatan persiapan (Readliness Activities) serta mekanisme pembayaran pilot program sedangkan FIP sendiri diluncurkan oleh Bank Dunia untuk memberikan dana pinjaman untuk pelaksanaan reformasi dan perencanaan yang dibutuhkan dilapangan.
Melalui FIP inilah Bank Dunia mendorong agar para Pemerintah yang hendak mengkuti REDD menyiapkan segala bentuk perundangan-undangan serta membentuk tim yang nantinya mengurusi pelaksanaan REDD. Melalui kedua program inilah Bank Dunia mencoba mengambil perannnya dalam perdagangan Karbon dunia melalui program REDD.
Dalam kaitannya dengan kerjasama Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia sendiri, Bank Dunia saat ini lebih banyak melalui pendekatannya dengan Program FCPF. Pendekatan ini berfokus pada reformasi generasi baru yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing Indonesia serta integarasinya ke perekonomian dunia sambil memenuhi pertumbuhan kebutuhan atas kepemerintahan yang baik. Dalam konteks ini Bank Dunia membantu Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
(48)
Lebih spesifiknya Bank Dunia Di Indonesia dalam kaitannya dengan REDD melakukan tindakan-tindakan seperti :
a. Membantu Departeman Kehutanan dalam mempersiapkan Prakarsa REDD dengan Aliansi Iklim Kehutanan Indonesia (LSM dan universitas) dengan pembiayaan bersama dari DFID, AUSAID dan GTZ.
b. Mendukung prakarsa Indonesia dalam dialog global mengenai perdagangan dan perubahan iklim membangun kapasitas Departeman Perdagangan mengenai aspek hukum perdagangan dan perubahan iklim, serta melakukan studi mengenai bagaimana Indonesia bisa mendapat manfaat dari liberalisasi perdagangan dalam produk ramah lingkungan.
c. Mendukung pengembangan proyek uji coba potensial melalui prakarsa konservasi hutan termasuk Aceh Forest Enviroment Project (dengan dukungan MDF) dan Birdlife Rehabilatation Project dengan kemungkinan mendapatkan manfaat perdagangan karbon
d. Mempermudah pertimbangan Indonesia mengenai peluang Pembiayaan Iklim yang diwakili oleh Climate Investment Fund dan berbagai Carbon Patnership Funds termasuk juga FCPF melalui keterlibatan dalam proses konsultasi.20
20
Makalah Seminar Infid, Indonesia, Bank Dunia dan Perubahan Iklim,
(49)
Kepentingan Bank Dunia Dalam REDD
Tentunya bahwa keterlibatan Bank Dunia dalam REDD ini bukan tanpa motif atau kepentingan Bank Dunia terhadap kesuksesan REDD ini. Untuk lebih memahami apa yang menyebabkan Bank Dunia aktif berperan dalam REDD ini maka perlu di kemukakan apa yg menjadi kepentingannya. Berikut temuan motif kepentingan Bank Dunia Dalam REDD:
1. Kepentingan yang paling utama adalah mengembalikan posisi Bank Dunia sebagai pemain utama ekonomi global yang selama ini semenjak terjadinya krisis keuangan global, Bank Dunia semakin ditinggalkan maka oleh karena itu Bank Dunia aktif mendorong mekanisme REDD ini melalui Pasar bebas sehingga Bank Dunia berharap bisa menjadi Broker dalam perdagangan karbon. Melalui FCPF dan FIP ini Bank Dunia mendorong agar skema REDD ini di jalankan melalui proses pasar atau dengan kata lain Bank Dunia medorong nanti program REDD ini bisa menjadi suatu program liberalisasi perdagangan karbon. Liberalisasi REDD direncanakan akan menempatan REDD sebagi Makelar/Broker perdagangan kabon sehingga setiap aliran uang yang dipergunakan untuk membeli kabon REDD oleh negara-negara yang gagal menurunkan tingkat emisi nasionalnya harus melewati Bank Dunia terlebih dahulu sebelum ke negara pemilik hutan. penting untuk melihat bukti bahwa Bank Dunia memiliki kecenderungan melakukan pendekatan berdasarkan pasar. Walaupun hal ini tidak disebutkan secara jelas dalam FCPF, tetapi ini jelas merupakan tujuan kunci FCPF.
(50)
2. Ada kecurigaan bahwa Bank Dunia aktif dalam REDD ini adalah untuk menutupi dosanya terhadap kerusakan hutan atau dengan kata lain Bank Dunia memainkan Politik Cuci Tangan. Kecurigaan ini berdasarkan pada catatan sejarah mengenai kebijakan-kebijakan Bank Dunia yang membawa dampak kerusakan hutan di berbagai negara. Salah satu yang dicatat adalah bagaimana Bank Dunia pada tahun 1982-1985 di Brazil Bank Dunia memberikan dukungan kepada proyek pemindahan penduduk besar-besaran atas nama pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang lebih dikenal sebagai proyek Polonoroeste. Dukungan keuangan pada proyek ini telah menghasilkan sebuah bencana ekologi yang dahsyat, bahkan Bank Dunia juga mengakui hal itu
Akibatnya, kawasan hutan di daerah itu mengalami degradasi yang cukup parah. Pada 1982 penggundulan hutan telah mencapai 4 persen dan pada 1985 meningkat menjadi 11 persen. Sementara itu, pada 1987 hampir seluruh hutan di kawasan itu telah lenyap. Bahkan pada tahun yang sama sebuah gambar citra satelit menunjukkan terdapat 6.000 titik api pembakaran untuk membuka hutan dari seluruh kawasan hutan Amazon. Dan hal ini juga dilakukan di Indonesia, lembaga ini merupakan pihak yang pertama kali terlibat dalam proyek transmigrasi di Indonesia pada 1974. Sama seperti proyek
(51)
Polonoroeste, proyek ini juga menimbulkan kerusakan dan penggundulan hutan besar-besaran21
3. Keterlibatan Bank Dunia dalam REDD juga demi mengamankan kepentingan dari negara-negara maju yang merupakan penyumbang dana bagi mereka. Bahwa dalam setiap konfrensi perubahan iklim selalu yang menjadi terangka penyebab pemanasan global adalah negara-negara maju. Untuk itu Bank Dunia yang merupakan perpanjangan tangan dari negara-negara maju hendak
.
Pulau Sulawesi dan Sumatera adalah kawasan yang paling parah menderita kerugian ekologi akibat proyek ini. Di Sumatera, sekitar 2,3 juta hektare tanah yang semula merupakan hutan hujan alam telah menjadi lahan kritis. Adapun di Sulawesi, 30 persen wilayah hutan yang terkena proyek transmigrasi ini berubah menjadi lahan kritis.Oleh sebab itu Bank Dunia merasa perlu berperan dalam REDD ini agar mereka dapat menghindar dari tanggung jawabnya terhadap kerusakan hutan yang mereka ikut ambil bagian dalamnya.
Sebenarnya peran Bank Dunia dalam penanggulangan dan pencegahan perubahan iklim diragukan keseriusannya sebab sampai dengan saat ini Bank Dunia tetap melakukan pembiayaan terhadap proyek investasi minyak bumi bahkan kuota dana yang diberikan bagi investasi minyak bumi ini sangat besar dibandingkan dengan dana yang disiapkan Bank Dunia bagi pencegahan pemanasan global.
21
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=8961&coid=1&caid=56&gid=4 dikutip dari Graham Hancock Lord of Property: The Power, Prestige, and Corruption of the International Aid
(52)
mengamankan posisi mereka agar tidak merugikan negara-negara donornya tersebut.
2. Negara-Negara ANNEX-1
Negara-negara industri maju atau yang biasa disebut Annex-1 dalam konfrensi perubahan iklim merupakan salah satu aktor penting dan memiliki peran yang besar dalam setiap konfrensi perubahan iklim (COP), bahkan keputusan mereka sangat mempengaruhi efektif tidaknya kesepakatan yang telah dicapai pada COP tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa negara-negara Annex-1 merupakan penyumbang terbesar emisi karbon ke atmosfer yang merupakan penyebab utama perubahan iklim sehingga dukungan atau tindakan negara-negara Annex-1 inilah yang menjadi kunci penanganan perubahan iklim.
Pada setiap penyelenggaraan Cop berlangsung selalu yang menjadi sorotan utama dari negara-negara Annex-1 ini adalah permasalahan tingkat emisi. Ada tuntutan dari negara-negara non Annex 1 agar negara-negara Annex-1 memiliki komitmen jelas dalam hal penurunan tingkat emisi karbonnya. Tuntutan keseriusan negara Annex-1untuk mengurangi tingkat emisinya diawali pada tahun 1994 melalui usulan AOSIS yang mengusulkan negar-negara Annex-1 menurunkan emisi karbonnya sebesar 20% pada tahun 2005. Usulan ini kemudian dikenal dengan target Toronto dan dilanjutan kembali oleh usulan Jerman pada tahun 1996 yang juga belakangan disepakati oleh Uni Eropa bahwa penurunan Emisi Annex-1 sebesar 7,5 persen pada tahun 2005 dan 15 persen pada tahun 2010 dengan mengunakan tahun 1990 sebagai tahun awal. Dan baru pada tahun 1997 ditegaskan bahwa negara
(53)
Annex-1 paling sedikit 5% menurunkan tingkat emisi karbonnya disbanding tahun Annex-1990 pada periode tahun 2008-2012.
Isu penurunan tingkat emisi ini sangat sensitive bagi negara Annex-1 dikarenakan penurunan tingkat emisi ini sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi negara. Menurunkan emisi tidaklah mudah dan murah. Hal ini berkaitan erat dengan pengembangan teknologi yang membutuhkan banyak dana untuk menciptakan pembangkit energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Bagi negara-negara Annex 1 menurunkan emisi karbon berarti dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi mereka, ini berkaitan dengan pengunaan pembangkit listrik yang kebanyakan digunakan oleh negara maju adalah pembangkit listrik yang mengunakan bahan bakar fosil yang dapat menyebabkan peningkatan emisi karbon dan pemakaian pembangkit listrik berbahan bakar fosil bukan tanpa alasan sebab pembangkit listrik ini memang murah.
Industri di negara-negara Annex 1 sangat menikmati pengunaan energi murah ini sebab hal ini dapat memotong biaya biaya produksi. Tentunya jika harus mengunakan pembangkit energi dengan bahan bakar terbarukan membutuhkan investasi lebih pada pengembangan mesin-mesin pembangkit listriknya dan yang lebih memberatkan lagi bahwa bahan bakar fosil lebih murah dari pada bahan bakar dari biofuel.
Sikap pemerintah negara-negara Annex 1 yang sangat berhati-hati bahkan negara seperti Amerika Serikat secara terang-terangan menolak kesepakatan untuk melakukan penurunan emisi karbon. Hal ini didorong oleh adanya tekanan dari pihak-pihak industri di negara-negara tersebut yang tidak menginginkan adanya pembatasan
(54)
buangan emisi karbon sebab menurut mereka bahwa jika menganti mesin-mesin industri baru yang lebih ramah lingkungan akan membutuhkan dana yang besar sebab mesin dengan teknologi ramah lingkungan relative lebih mahal.
Namun seiring dengan waktu belakangan negara-negara Annex 1 mulai mau kooperatif dengan menetapkan target penurunan emisi karbonnya. Ini setelah makin gencarnya media melakukan pemberitaan bagaimana dampak buruk dari pemanasaan global22. Hal ini ikut mendorong masyarakat di negara-negara maju tersebut sadar akan perlunya pengurangan emisi karbon selain karena mereka juga sudah mulai merasakan pemanasan global. Masyarakat negara-negara maju tersebut yang tadinya merasa hidupnya nyaman sekarang mulai terganggu melakukan protes pada pemerintahnya mendesak agar pemerintahnya ikut dalam pencegahan pemanasan global23
Namun dengan adanya protes dari masyarakatnya bukan serta-merta pemerintahan negara-negara maju mau menurunkan secara signifikan menyetujui untuk menenetapkan target penurunan ringkat emisi karbonnya, ini terjadi karena besarnya pengaruh tekanan dari perusahan-perusahan besar yang menolak adanya penurunan emisi. Bisa di maklumi bagaimana kuatnya pengaruh lobi-lobi perusahan besar ini di pemerintahan berkorelasi dengan sistem ekonomi mereka yang kapitalistis liberalis yang mengharuskan negara menciptakan situasi yang mendukung
.
22
Salah satu publikasi media yang paling berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat mengenai pemanasan global adalah film dokumenter karya Al Gore (mantan Wakil Preseiden Amerika Serikat era Clinton) yang berjudul An Inconvenient Truth tentang perubahan iklm khususnya yang diakibatkan pemanasan global. Bahkan film ini mendapatkan penghargaan Academy Award sebagai film documenter terbaik tahun 2007.
23
Salah satu protes besar yang dilakukan warga di kota-kota besar di dunia termasuk London, Sydney, dan juga Montreal yang menuntut pemerintahnya masing ikut dalam pencegahan pemanasan global dengan cara menurunkan emisi karbonnya.(Harian Kompas, Senin, Tanggal 5 Desember 2005)
(55)
dunia usaha dan juga sebab sebagian besar Senator di negara-negara maju adalah pemimpin dari perusahan-perusahan besar tersebut24
Pada akhirnya pemerintah negara-negara maju menyetujui penetapan target pengurangan emisi karbonnya, namun untuk dapat menyenangkan para pengusaha-pengusah besar tersebut mereka merancang sebuah sistem yang dapat menghindarkan mereka dari penurunan emisi karbon secara signifikan di negaranya dengan cara memberikan alterative pembelian karbon yang diusulkan pada UNFCCC. Melalui cara ini negara maju akan memberikan konpensasi terhadap negara berkembang yang memiliki cadangan karbon dari hutannya jika negara maju tersebut tidak mampu mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang ia sepakati.mekanisme inilah yang disebut dengan mekanisme fleksibel
.
Walaupun perusahaan-perusahan besar tersebut mampu menguasai pemikiran pemerintahannya tapi hal tersebut tidak berlaku bagi semua masyarakat. Masyarakat negara-negara maju tetap terus menekan dengan melakukan protes-protes dijalan. Tentu hal ini tak bisa dibiarkan terus oleh pemeritahnya karena akan berdampak pada ketidak stabilan politik diegaranya. Maka pemerintah negara-negara maju tersebut mencari alternative cara agar dapat menyelesaikan masalah ini.
25
24
Bukti kuatnya lobi-lobi perusahan besar terhadap kebijak pemerintah negara-negara maju dalam menolak target penurunan emisi karbon dapat terlihat jelas dari terbentuknya Global Climate Coalition yang terdiri dari koalisi perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dan otomotif, yaitu Exxon Mobil Corporation, Ford Motor Company, Royal Dutch Shell, Texaco, British Petroleum, General Motors, dan Daimler Chrysler. Kelompok ini terbentuk sebagai respon terhadap laporan-laporan ilmiah yang dikeluarkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change. Koalisi ini menolak bahwa adanya anggapanbahwa pemanasan global akibat emisi karbon melainkan Karena hal yang alamiah. Koalisi ini mampu meyakinkan pemerintah Amerika Serikat untuk menolak meratifikasi Protokol Kyoto yang salah satu butir kesepakannya adalah menetapkan target penurunan emisi. Inilah yang disebut dengan Small Group Theory bahwa perilaku politik luar negeri suatu negara ditentukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki akses tertentu terhadap sumber daya tertentu.
25
Daniel Murdiyarso, op.cit, hal 47.
(1)
pencegahan pemanasan global yang disepakati dalam UNFCCC CoP ke 13 di Bali. Pada perkembangannya REDD memiliki banyak aktor yang ikut andil dalam pembentukan skema REDD tersebut. Diantara aktor-aktor tersebut adalah PBB, Bank Dunia, negara-negara Annex 1, Pemerintah Indonesia dan juga LSM-LSM lingkungan hidup. Para aktor-aktor tersebut mempunyai kepentingan-kepentingan tersediri dalam skema REDD ini.
Dalam perjalananya skema REDD ini memliki banyak tantangan dan hambatan dalam pengimplementasiannya, selain itu REDD ini juga member dampak pada berbagai bidang kehidupan, diantaranya member dampak pada bidang sosial-politik, ekonomi serta dampak lingkungan hidup. Namun berbagai dampak yang ada tidak menyurutkan minat pemerintah Indonesia untuk meneruskan program REDD ini sebab pada dasarnya pemerintah Indonesia memandang REDD tetap mampu memberikan keuntungan finansial yang tidak sedikit jika benar-benar dijalankan. Pemerintah Indonesia hanya butuh memperbaiki serta merancang ulang peraturan yang ada sehingga mampu mendukung skema REDD dijalankan dengan baik,.
2. Saran
Melihat berbagai hal yang diuraikan sebelumnya, kemiskinan di Indonesia adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan bad governance. Tanpa perbaikan kebijakan atas ruang hidup dan sumberdaya alam yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, bantuan-bantuan melalui skema apapun untuk mengurangi terjadinya kemiskinan akan mengalami kendala yang serupa di masa lalu.
Sikap yang perlu diambil dalam konteks skema bantuan (utang dan hibah) melalui Jalur Karbon REDD bagi kemiskinan Indonesia adalah:
(2)
1. Defenisi hutan harus diperjelas maknanya dalam Peraturan Menteri Kehutanan yang terkait dengan REDD, penulis merekomendasikan agar definisi hutan versi baru harus mempu megakomodasikan kepentingan dan mengemasnya sedemikian rupa agar tidak menjadi rejim baru yang semakin memarjinalkan kelompok tertentu, terutama komunitas lokal maupun masyarakat adat yang selama ini jauh dari akses sumberdaya alam. Untuk itu definisi hutan yang baru harus benar-benar mengacu pad situasi dan konteks lokal yang member imbangan yang adil antara lingkungan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
2. Perlu menyusun semacam safeguard policy yang akan melindungi dan member perhatian khusus bagi kelompok rentan (masyarakat adat) agar skema REDD nantinya member keuntungan bagi mereka. Safeguard policy harus benar-benar mampu memastikan pengakaun atas hak-hak kelompok tersebut sekaligus menjamin manfaat langsung maupun tidak langsung yang mereka peroleh jika skema REDD dijalankan. Karena itu, safeguard policy yang nanti dibuat harus mengadopsi berbagai standard berbasis hak yang tercantum dalam instrument Hak Asasi Manusia internasional, seperti United Nation Declaration of on Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).
3. Sebelum mengimplementasikan REDD hendaknya pemerintah terlebih dahulu memberikan pendidikan sekaligus informasi kepada masyarakat mengenai apa itu sebenarnya skema REDD. Sebab selama ini masyarakat adat masih banyak yang tidak mendapatkan informasi yang jelas tentang skema REDD. Hal ini dipandang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penipuan yang bisa saja dilakukan oleh para broker-broker perdagangan karbon.
(3)
4. Pemerintah harus membuat peraturan atau pedoman yang lebih jelas terhadap mekanisme besaran persentase yang akan diperoleh oleh masing-masing pelaku, baik itu persentase keuntunag yang diperoleh masyarakat adat, broker, pemerintah daerah setempat dan juga pemerintah pusat sehingga pada pelaksanaan proyek tidak lagi terjadi masalah mengenai pembagian keuntungan. Peraturan tersebut juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga nantinya akan menguntungkan semua pihak terlebih peraturan tersebut harus lebih memberikan keuntungan yang maksimal kepada masyarakat hutan adat yang secara de facto merupakan pemilik hutan tersebut.
5. Pemerintah harus tegas menolak skema bantuan Jalur Karbon dalam bentuk utang (kredit), karena akan semakin menambah jumlah utang luar negeri Indonesia yang saat ini sudah mencapai 150 milyar dollar Amerika (batas toleransi rasio terhadap pendapatan negara sebesar 40%, dan utang Indonesia sudah menjadi 4 kali lipatnya, 160% dan angka ini juga karena pemerintah menanggung penuh utang-utang swasta). Dalam kondisi bad governance, pemerintah akan melenyapkan begitu saja utang-utang hijau ini untuk kepentingan golongan tertentu (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sehingga kemiskinan semakin tidak terurus.
6. Pemerintah hasus tegas mempertimbangkan secara seksama bantuan hibah asal Jalur Karbon REDD terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Jika Hibah Jalur Karbon hanya difokuskan kepada penyelamatan kawasan-kawasan hijau di hutan tetapi melalaikan keberadaan lingkungan sosial setempat dan bertujuan menjauhkan masyarakat dari ruang hidup asalnya dan semakin memiskinka pemerintah harus berani menolaknya.
(4)
7. Pemerintah sebaiknya menyerahkan mekanisme pendanaan REDD langsung kepada masyarakat adat ataupun kepada broker perdagangan karbon sebab ada kekhwatiran dari masyarakat jika dana yang diperoleh dari donatur harus diserahkan terlebih dahulu kepemerintah akan terjadi tindak korupsi yang akan dilakukan para pejabat negara. Melihat kondisi birokrasi pemerintahan hari ini bukan tidak mungkin hal ini akan terjadi, maka sebaiknya pemerintah harus iklas menyerahkan langsung pengelolahan REDD kepada masyarakat. Jika pun dipaksakan dana REDD harus masuk melalui pemerintah, pemerintah harus mampu menciptakan sistem yang benar-benar transparan sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat maupun pihak donatur atau pembeli karbon.
8. Semua aliran dana hibah Jalur Karbon harus dikontrol dan dimonitoring oleh para negara "pembeli" dan "penjual" karbon dalam kelembagaan yang partisipatif dan multipihak (konsorsium antar negara). Agar negara-negara pembeli memiliki tanggungjawab penuh (termasuk pembiayaan) atas proyek penyelamatan bumi ini dan meminimalisir terjadinya penyelewengan-penyelewengan penggunaan.
Skema REDD sebenarnya bisa memberikan keuntungan yang berlimpah kepada Indonesia namun semua itu harus di laksanakan dengan komitmen yang tegas terhadap semangat pengentasan kemiskinan serta penciptaan lingungan alam yang lestari dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkesinambungan.
(5)
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang :
Undang-undang no. 41 tahun 1999
Permenhut No.68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaraan Demonstration Activities REDD
Permenhut No.P.30/Menhut-II/2009 tentang tata cara REDD
Permenhut No.P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan atau Peyimpanan Karbon pada Hutan Kayu Produksi dan Hutan Lindung.
Buku :
Chilcote, Ronald H, 2003, Teori Perbandingan Politik, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Hidayat, Herman, 2008, Politik Lingkungan : Pengelolahan Hutan Masa Orde Baru
Dan Ref-ormasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Jackson, Robert dan Goerg Sorensen, 2005, Pengantar Studi Hubungan Internasional , Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jemadu, Aleksius, 2008, Politik Global Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Murdiyarso, Daniel, 2003, Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Salim, Emil, 1979, Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Suprapto, R, 1997, Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi, Dan Perilaku, Jakarta : PT. Grafindo Persada.
(6)
Yusup, Suffri, 1989, Hubungan Internasional Dan Politik Luar Negeri, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
DOKUMEN :
Climate Action Network, CAN (Climate Action Network) mengenai REDD November
2007
INTERNET :
http:/
Deforestasi dan Degradasi (Dephut, 2008) dapat diakses melalui website
university-about-the-upcoming-world-governance/
http://www.greenpressnetwork.blogspot.com200711skema-redd-tak menguntungkan- bagi.html diunduh pada tanggal 15 Desember 2009
Terhadap lingkungan : Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi.
http://sinarharapan.co.id/arsip/kesra/no.5745.