Peran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi ) Dalam Upaya Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging Terhadap Hutan Indonesia ( Studi Pada LSM WALHI-Sumatera Utara ).

(1)

PENELITIAN SKRIPSI

PERAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ( WALHI )

DALAM UPAYA PENCETUSAN KEBIJAKAN MORATORIUM

LOGGING TERHADAP HUTAN INDONESIA

( Studi Pada LSM WALHI-Sumatera Utara )

D

I

S

U

S

U

N

OLEH

ANDRI IRFANI

040906052

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KATA PENGANTAR

Rasanya, tiada untaian kata yang patut penulis haturkan untuk mengungkapkan rasa terima kasih penulis yang begitu besar kepada Allah S.W.T. Yang mana, karena atas izin dan karunia Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan skrisipsi ini dengan baik.

Skripsi yang penulis susun ini pada dasarnya membahas tentang peran WALHI dalam pencetusan kebijakan moratorium logging di Indonesia. Adapun dilakukannya pencetusan kebijakan moratorium logging ini adalah merupakan wujud dari keprihatinan WALHI terhadap kondisi hutan Indonesia yang terus mengalami penyusutan dan kerusakan yang disebabkan oleh berbagai hal yang tidak terlepas oleh ulah masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, dengan alasan untuk memahami lebih dalam tentang konsep kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian skripsi.

Adapun skripsi yang penulis susun ini adalah dalam rangka untuk memenuhi dan melengkapi segala syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara

Meski penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan skripsi ini, namun penulis sadar bahwasannya, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap agar mendapatkan kritik dan saran dari rekan-rekan yang membaca skripsi ini demi tercapainya kesempurnaan yang penulis harapkan dari skripsi ini. Dan akhirnya, kepada Nya jualah kita berserah diri. Semoga, skripsi yang penulis susun ini dapat menjadi salah satu wujud bakti dan amal penulis kepada nusa dan bangsa.Indonesia.

Medan, Oktober 2009 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...

i

DAFTAR ISI ...

ii

ABSTRAKSI ...

v

BAB I : PENDAHULUAN ...

1

I.1 Latar Belakang ...

1

I.2 Perumusan Masalah ...

17

I.3 Pembatasan Masalah ... 18

I.4 Tujuan Penelitian ...

18

I.5 Manfaat Penelitian ...

19

I.6 Kerangka Teori ...

19

I.6.1 Demokrasi ... 19

I.6.2 Masyarakat Sipil (Civil Society) ...

21

I.6.3 Kelompok Penekan (Pressure Group) ...

23

I.6.3.1 Penentuan Kelompok Penekan ...

24

I.6.3.2 Berbagai Jenis Kelompok Penekan ...

26

I.6.3.3 Kelompok-Kelompok Penekan Lainnya ...

26

I.6.4 Kebijakan Publik ...

28


(4)

I.6.4.2 Tahapan-Tahapan Kebijakan Publik ...

30

I.7 Metode Penelitian ...

33

I.7.1 Jenis Penelitian ...

34

I.7.2 Lokasi Penelitian ...

35

I.7.3 Teknik Pengumpulan Data ...

35

I.7.4 Teknik Analisis Data ...

36

I.8 Sistematika Penulisan ...

36

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ...

37

II.1 Sejarah Berdirinya WALHI ...

37

II.1.1 Masa Perkembangan WALHI ...

40

II.1.2 Pluralitas WALHI ...

43

II.2 Profil WALHI Sumtera Utara ...

45

II.2.1 Visi, Misi, dan Peran WALHI Sumatera Utara...

47

II.2.2 Nilai-Nilai Dasar WALHI Sumatera Utara ...

48

II.2.3 Kelembagaan dan Sistem Pengambilan Keputusan ...

49

II.2.4 Dewan Daerah dan Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Utara...

49

II.3 Statuta WALHI ...

50

BAB III : ANALISIS DATA ...

54

III.1 Kebijakan Moratorium Logging ...

54


(5)

III.1.2 Konsep dan Tujuan Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging

55

III.2 Tahapan-Tahapan Kebijakan Moratorium Logging ...

60

III.3 Keuntungan Diberlakukannya Kebijakan Moratorium Logging ...

64

III.4 Kerugian Bila Tidak Diberlakukannya Kebijakan Moratorium Logging

65

III.5 Upaya-Upaya yang Dilakukan WALHI Dalam Menyosialisasikan

Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging ...

66

BAB IV PENUTUP ...

77

IV.1 Kesimpulan ...

77

IV.2 Saran ...

80


(6)

ABSTRAKSI

Hutan memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Beberapa diantara yaitu sebagai plasma nuftah, sebagai habitat flora dan fauna, mengatur tata air dan sebagainya. Indonesia dikenal memiliki hutan yang cukup luas, bahkan merupakan hutan yang terluas ketiga didunia setelah Brazil dan Zaire. Pada tahun 1950 Departemen Kehutanan RI mempublikasikan luas hutan Indonesia adalah 162,0 juta hektar. Masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan Indonesia tersebut, seperti halnya untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu, baik itu kebutuhan kayu untuk industri, untuk membangun rumah dan berbagai macam kebutuhan lainnya. Oleh karena adanya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap hutan tersebut, maka mau tidak mau hutan Indonesia harus dieksploitasi/ditebang. Namun, eksploitasi yang dilakukan terhadap hutan Indonesia ini, ternyata tidak disertai dengan kontrol dan pengawasan yang baik oleh para pelaku kehutanan khususnya pemerintah. Akhirnya hutan Indonesia ditebang secara besar-besaran dan tak terkendali. Dan akibatnya, dari tahun ke tahun luas hutan Indonesia terus mengalami penyusutan yang sangat drastis. Pada publikasi terakhir oleh Departemen Kehutanan RI tahun 2005, luas hutan Indonesia hanya tinggal 93,92 juta hektar.

Akibat dari penyusutan yang terjadi pada hutan Indonesia tersebut jelas akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap masyarakat Indonesia itu sendiri seperti halnya bencana banjir bandang. Hal itu dapat terjadi karena, dengan menyusutnya hutan Indonesia tersebut, mengakibatkan hutan Indonesia tidak mampu lagi menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai penahan laju air hujan yang turun dari dataran yang tinggi. Akhirnya terjadilah banjir bandang yang mengakibatkan banyak korban yang tidak lain adalah masyarakat Indonesia itu sendiri.

Sebagai lembaga yang sangat concern terhadap lingkungan khususnya hutan, WALHI pun berupaya mencarikan solusi dalam mengatasi kondisi hutan Indonesia tersebut. Adapun solusi yang dicarikan WALHI tersebut dengan merancang dan mencetuskan sebuah konsep ataupun rumusan berupa kebijakan yang akan ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Dan adapun istilah dari rumusan ataupun konsep kebijakan tersebut, disebut dengan istilah kebijakan moratorium logging atau jeda tebang terhadap hutan Indonesia. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Menurut WALHI, kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia, apabila diterapkan dengan baik. Oleh karena itu, WALHI melakukan berbagai upaya untuk memperkenalkan dan menyosialisasikan pencetusan konsep kebijakan moratorium logging tersebut kepada masyarakat Indonesia agar dapat bersama-sama menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging tersebut, agar penyusutan hutan Indonesia dapat segera teratasi.


(7)

ABSTRAKSI

Hutan memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Beberapa diantara yaitu sebagai plasma nuftah, sebagai habitat flora dan fauna, mengatur tata air dan sebagainya. Indonesia dikenal memiliki hutan yang cukup luas, bahkan merupakan hutan yang terluas ketiga didunia setelah Brazil dan Zaire. Pada tahun 1950 Departemen Kehutanan RI mempublikasikan luas hutan Indonesia adalah 162,0 juta hektar. Masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan Indonesia tersebut, seperti halnya untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu, baik itu kebutuhan kayu untuk industri, untuk membangun rumah dan berbagai macam kebutuhan lainnya. Oleh karena adanya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap hutan tersebut, maka mau tidak mau hutan Indonesia harus dieksploitasi/ditebang. Namun, eksploitasi yang dilakukan terhadap hutan Indonesia ini, ternyata tidak disertai dengan kontrol dan pengawasan yang baik oleh para pelaku kehutanan khususnya pemerintah. Akhirnya hutan Indonesia ditebang secara besar-besaran dan tak terkendali. Dan akibatnya, dari tahun ke tahun luas hutan Indonesia terus mengalami penyusutan yang sangat drastis. Pada publikasi terakhir oleh Departemen Kehutanan RI tahun 2005, luas hutan Indonesia hanya tinggal 93,92 juta hektar.

Akibat dari penyusutan yang terjadi pada hutan Indonesia tersebut jelas akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap masyarakat Indonesia itu sendiri seperti halnya bencana banjir bandang. Hal itu dapat terjadi karena, dengan menyusutnya hutan Indonesia tersebut, mengakibatkan hutan Indonesia tidak mampu lagi menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai penahan laju air hujan yang turun dari dataran yang tinggi. Akhirnya terjadilah banjir bandang yang mengakibatkan banyak korban yang tidak lain adalah masyarakat Indonesia itu sendiri.

Sebagai lembaga yang sangat concern terhadap lingkungan khususnya hutan, WALHI pun berupaya mencarikan solusi dalam mengatasi kondisi hutan Indonesia tersebut. Adapun solusi yang dicarikan WALHI tersebut dengan merancang dan mencetuskan sebuah konsep ataupun rumusan berupa kebijakan yang akan ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Dan adapun istilah dari rumusan ataupun konsep kebijakan tersebut, disebut dengan istilah kebijakan moratorium logging atau jeda tebang terhadap hutan Indonesia. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Menurut WALHI, kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia, apabila diterapkan dengan baik. Oleh karena itu, WALHI melakukan berbagai upaya untuk memperkenalkan dan menyosialisasikan pencetusan konsep kebijakan moratorium logging tersebut kepada masyarakat Indonesia agar dapat bersama-sama menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging tersebut, agar penyusutan hutan Indonesia dapat segera teratasi.


(8)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan yang terbesar di dunia. Predikat ini jelas menjadi kebanggaan dan kekuatan tersendiri bagi Indonesia secara verbal. Negara Indonesia secara umum terbagi atas 5 pulau besar, diantaranya yaitu pulau Sumatera, pulau Jawa, pulau Irian, pulau Sulawesi dan pulau Kalimantan. Bila dilihat dari segi sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar, dan salah satunya adalah hutan.

Pada dasarnya, hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan yang lazim dijumpai didaerah tropis, subtropis, didataran rendah maupun pegunungan, bahkan di daerah kering sekalipun. Secara umum, hutan didefinisikan sebagai sebuah kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat dan lebat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan aneka ragam jenis yang berperan penting bagi kehidupan dibumi.1 Secara sederhana ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh kumpulan pohon-pohonan tanaman keras.2

1

Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001, hal 11

2

Ibid, hal 12

Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.


(9)

Bila dilihat dari segi fungsi ataupun manfaat, hutan memiliki fungsi dan manfaat yang bersifat global dan sangat penting bagi kehidupan dibumi. Adapun beberapa fungsi hutan tersebut diantaranya yaitu3

1. Sebagai Pelestarian Plasma Nuftah

Plasma nuftah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan dimasa depan, terutama dibidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Pengusaannya merupakan keuntungan komparatif yang sangat besar bagi Indonesia dimasa depan. Oleh karena itu, plasma nuftah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekargaman hayati.

2. Sebagai Penahan dan Penyaring Partikel Padat Dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Partikel yang melayang-layang dipermukaan bumi sebagian akan terjerap pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan kasar dan sebagian lagi akan terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting. Dengan demikian hutan menyaring udara menjadi lebih bersih dan sehat.

3. Sebagai Penyerap Partikel Timbal

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama yang mencemari udara didaerah perkotaan. Diperkirakan, sekitar 60-70% dari partikel timbal diudara perkotaan berasal

3


(10)

dari kendaraan bermotor. Hutan dengan keanekaragaman tumbuhan yang terkandung didalamnya mempunyai kemampuan menurunkan timbal dari udara tersebut.

4. Dapat Mengurangi Bahaya Hujan Asam

Pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi.

5.

Sebagai Penyerap Karbon Dioksida dan Penghasil Oksigen

Hutan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di Samudera. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik dihutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2

6. Dapat Mengatasi Penggenangan Air

dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini menjadi sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan serta akan mengurangi akibat dari efek rumah kaca. Dilain pihak, proses ini akan menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata yang banyak pula.

7. Dapat Mengatasi Intrusi Air Laut dan Abrasi

Hutan berupa formasi hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur dipantai. Dengan demikian hutan selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses pembentukan daratan.


(11)

8. Sebagai Ameliorasi Iklim

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik dari bumi.

9. Pelestarian Air Tanah

Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Dengan demikian pelestarian hutan pada daerah air akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.

10.Sebagai sumber bahan-bahan produk eksraksi seperti kayu bakar, serat, buah, dan lain-lain.

11.Sebagai perlindungan terhadap berbagai jenis flora dan fauna. 12.Dan sebagai produksi kayu atas dasar system produksi yang lestari.

Definisi hutan menurut pemerintah Indonesia, secara khusus tercantum didalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.4

Hutan dalam pengertian pemerintah Indonesia ini memiliki 4 unsur yang menjadi ciri-ciri dari hutan tersebut. Adapun 4 unsur dari ciri-ciri hutan tersebut yaitu : (1) Unsur

4


(12)

lapangan yang cukup (minimal ¼ hektar), (2) Unsur pohon (kayu, bambu, palem), (3) Unsur lingkungan dan (4) Unsur penetapan pemerintah.5

1. Jenis hutan berdasarkan statusnya

Dalam UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, pemerintah Indonesia membagi hutan menjadi 4 jenis, yaitu berdasarkan : (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus dan, (4) pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air. Dan adapun penjelasan dan klasifikasi atas jenis-jenis hutan tersebut diatas yaitu :

Jenis hutan berdasarkan statusnya adalah merupakan suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut (pasal 5 UU No.41/1999). Adapun jenis hutan berdasarkan statusnya tersebut, dibagi menjadi dua yaitu :

a. Hutan Negara yaitu hutan yang tidak dibebani hak-hak atas tanah. Kualifikasi hutan Negara terdiri atas :

- Hutan Adat yaitu hutan Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat yang sebelumnya disebut juga hutan ulayat.

- Hutan Desa yaitu hutan Negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

- Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.

b. Hutan Hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah di bebani hak atas tanah. Yang disebut dengan hak atas tanah antara lain ; hak milik, hak guna usaha, hak

5


(13)

guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak gadai, hak bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa pertanian.6

2. Jenis hutan berdasarkan fugsinya

Jenis hutan berdasarkan fungsinya merupakan penggolongan hutan yang didasarkan pada penggunaannya (pasal 6 dan 7 UU No.41/1999). Adapun jenis hutan berdasarkan fungsinya tersebut, dibagi menjadi lima yaitu :

a. Hutan Konservasi yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

b. Hutan Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. c. Hutan Produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi

hasil hutan.

d. Hutan Suaka Alam yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

e. Taman Wisata alam yaitu kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam

3. Jenis hutan berdasarkan tujuan khususnya

6


(14)

Jenis hutan berdasarkan tujuan khususnya merupakan penggolongan hutan yang diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan budaya (diatur dalam pasal 8 UU No.41/1999)

4. Jenis hutan berdasarkan kepentingan iklim mikro, estetika, dan resapan air

Jenis hutan berdasarkan kepentingan iklim mikro, estetika, dan resapan air merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai hutan kota (diatur dalam pasal 9 UU No.41/1999).

Di dalam hutan Indonesia, hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang juga merupakan bagian dari spesies tumbuhan dan hewan yang ada didunia. Adapun diantaranya yaitu : 38.000 jenis tumbuhan (10% dari jumlah jenis flora di dunia), 515 jenis mamalia (12% dari jumlah jenis mamalia di dunia), 511 jenis reptilia (7,3% dari jumlah jenis reptil di dunia), 1531 jenis burung (17% dari jumlah total jenis burung di dunia), 270 jenis amphibi, 2827 jenis avertebrata atau hewan tak bertulang belakang.7

Hutan Indonesia sangat luas, bahkan merupakan hutan yang terluas ketiga didunia setelah Brazil dan Zaire.8 Berdasarkan data resmi yang pertama kali dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan RI pada tahun 1950, bahwa luas hutan Indonesia adalah 162,0 juta hektar.9

7

Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogayakarta : Gadjah Mada University Press, 2001, hal 23

8

Karden Eddy Sontang Manik, Op Cit, hal 74

Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah ukuran luas hutan Indonesia tersebut tidak dapat bertahan lama. Dari tahun ke tahun jumlah ukuran luas hutan Indonesia yang dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan RI pada tahun 1950 tersebut terus berkurang dan mengalami penyusutan dan kerusakan dimana keadaan ini sering juga disebut dengan istilah deforestasi.

9


(15)

Deforestasi hutan Indonesia ini tampak pada saat tahun 1980 dimana Departemen Kehutanan RI kembali mempublikasikan luas hutan Indonesia tersebut dengan jumlah yang sangat jauh berkurang yaitu sekitar 142 juta hektar, lalu pada tahun 1992, dipublikasikan lagi dengan jumlah ukuran yang terus berkurang yaitu hanya tinggal sekitar 118,7 juta hektar, lalu pada tahun 1995 luas hutan Indonesia dipublikasikan lagi oleh Departemen Kehutanan RI yaitu hanya tinggal 111,7 juta hektar, lalu pada tahun 2003, ukuran luas hutan Indonesia tersebut kembali dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan RI yaitu hanya tinggal sekitar 110,0 juta, dan publikasi terakhir oleh Departemen Kehutanan RI, dilakukan pada tahun 2005 yaitu luas hutan Indonesia hanya tinggal 93,92 juta hektar.10 Adapun kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta dipublikasikan pada tahun sebagai berikut : Papua (32,36 juta ha), lalu Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).11

Sebagai lembaga yang sangat concern terhadap lingkungan, WALHI merasa kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus karena, semakin lama akan semakin mengancam eksistensi dan membuat kualitas ataupun kuantitas hutan Indonesia tersebut menjadi menurun. Yang pada akhirnya membuat hutan Indonesia tersebut tidak bisa menjalankan fungsi dan manfaatnya dengan baik. Dan hal ini disadari atau tidak pada

Menanggapi hal ini, tentunya membuat resah seluruh masyarakat Indonesia dan khusunya para pemerhati lingkungan baik perseorangan ataupun lembaga. Salah satunya yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

10

Ibid

11


(16)

akhirnya akan menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, menurut WALHI, pemerintah harus segera bertindak cepat dan harus segera menghentikan semua kegiatan yang menjadi penyebab dari berkurang atau menyusutnya jumlah hutan tersebut.

Menurut WALHI, terjadinya deforestasi terhadap jumlah ukuran luas hutan Indonesia ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti misalnya terjadinya penebangan hutan secara besar-besaran dan tak terkendali.12 Menurut WALHI, penebangan hutan Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana masyarakat Indonesia melakukan penebangan hutan secara manual. Lalu, penebangan hutan dalam skala besar dimulai pada tahun 1970, lalu dilanjutkan lagi dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri, seperti halnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di tahun 1990, dan sejak di keluar peraturan HPH inilah hutan Indonesia terus berkurang dengan cepat. Bank Dunia, memperkirakan luas penyusutan hutan dalam tahun 1970-an sekitar 300.000 hektar pertahun, lalu pada tahun 1980-an naik menjadi 800.000 hektar, lalu dalam tahun 1990-an luas penyusutan hutan Indonesia meningkat lagi menjadi 1juta hektar dan dalam tahun 2000-an meningkat lagi menjadi 1,3 juta hektar pertahun.13

Adapun terjadinya penebangan hutan Indonesia secara besar-besaran dan tak terkendali ini adalah merupakan implikasi dari semakin tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia yang bersumber dari hutan tersebut, seperti misalnya kebutuhan terhadap persediaan kayu, baik itu kayu untuk kebutuhan pembangunan rumah, untuk memenuhi kebutuhan industri dan sebagainya. Dampak dari tingginya permintaan terhadap kebutuhan kayu tersebut, maka terciptalah kesenjangan antara persediaan dan permintaan

12

http://

13


(17)

(supply and demand) terhadap kayu dipasaran. Keadaan ini akhirnya mendorong masyarakat Indonesia, baik secara individu maupun kelompok ataupun lembaga melakukan eksploitasi terhadap hasil hutan dan melakukan penebangan kayu secara besar-besaran. Para pelaku industri perkayuan seperti hal nya pemegang izin konsesi HPH meningkatkan kapasitas hasil produksi kayunya dengan paksa. Setiap tahun hutan Indonesia ditebang melebihi kapasitas pasokannya kayunya pertahun, yaitu rata-rata sekitar 96,19 juta meter kubik/tahun, yang mana menurut WALHI, sebenarnya hutan Indonesia hanya mampu memasok kayu bulat sekitar 46,77 juta meter kubik setiap tahunnya.14

Secara harfiah, definisi dari illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang/pemerintah sehingga dianggap tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusak hutan.

Ironisnya lagi, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap kayu tersebut, hutan Indonesia juga ditebang secara tak terkendali atau secara liar atau sering disebut dengan istilah praktek illegal logging.

15

14

http:/

Praktek illegal logging ini pada umumnya dilakukan oleh oknum-oknum yang sebenarnya memiliki izin resmi dari pemerintah Indonesia untuk melakukan penebangan terhadap hutan Indonesia, seperti halnya pemegang izin konsesi HPH seperti yang telah disebut diatas. Namun, bila dirinci lagi, pelaku illegal logging ini sebenarnya merupakan suatu kelompok yang teroganisir. Maksudnya adalah, pelaku yang terlibat dalam praktek illegal logging ini tidak hanya pemegang izin penebangan hutan atau HPH tersebut, namun termasuk juga buruh penebang kayu, pemilik modal, pembeli,

15


(18)

penjual, maupun backing dari oknum aparat pemerintah dan TNI/Polri dan oknum tokoh masyarakat.16

Menurut dokumen resmi pemerintah, HPH-HPH tersebut menghasilkan kayu bulat rata-rata 20,4 juta meter kubik per tahun. Tetapi, hasil analisis pengamat dan investigasi-olah data aktivis lingkungan diyakini sesungguhnya angka riil pembalakan oleh HPH dua kali lipat dari angka di dalam dokumen resmi tersebut.

Seperti yang telah diuraikan diatas, adapun hal yang memotivasi para pemegang HPH ini untuk melakukan praktek illegal logging tersebut adalah karena tingginya permintaan pasar terhadap kayu, seperti halnya untuk memenuhi kebutuhan industri pulp

and paper, yang secara tidak langsung telah menciptakan kesenjangan antara supply and demand. Sehingga, untuk memenuhi tingginya permintaan pasar terhadap kayu di

Indonesia tersebut, para pemegang izin HPH ini sering dengan sengaja melakukan penebangan hutan diluar kapasitas konsesi izin HPH yang mereka miliki seperti halnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena tindakan penebangan hutan yang dilakukan diluar konsesi izin HPH yang telah ditetap pemerintah tersebut, maka terjadilah apa yang disebut dengan praktek illegal logging.

17

Salah satu contoh kasus illegal logging yang dilakukan melalui modus penyalahgunaan izin HPH ini adalah kasus illegal logging yang dilakukan oleh pemilik izin HPH bernama Adelin Lis. Adelin Lis adalah pemilik izin HPH yang berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Melalui PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI), Adelin Lis mengantongi izin HPH dari Menteri Kehutanan RI yang dikeluarkan pada tahun 1999.18

16

Ibid, hal. 101

Areal konsesi izin HPH yang dimiliki Adelin Lis ini

17

http://

18


(19)

luasnya mencapai 58.590 hektar yang terletak di Kecamatan Muara Batang Natal, Mandailing Natal Sumatera Utara. Akan tetapi, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, ternyata Adelin Lis melalui PT KNDI lakukan penebangan di luar areal konsesi izin HPH yang dimilikinya. Dan atas perbuatannya ini, saat ini Adelin Lis dinyatakan telah melakukan praktek illegal logging.

Praktek illegal logging ini merupakan salah satu penyebab penting terjadinya penyusutan dan berkurang nya luas hutan Indonesia. Secara kumulatif, menurut WALHI, terhitung sejak tahun 1990 hingga tahun 2007, hutan Indonesia yang ditebang secara

illegal rata-rata mencapai puluhan juta meter kubik setiap tahunnya, yaitu 30,18 juta meter

kubik setiap tahunnya.19

Sistem penebangan hutan melalui izin HPH, walaupun resmi, sebenarnya juga merupakan salah satu penyebab berkurangnya hutan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh luas hutan Indonesia yang dijadikan sebagai lahan konsesi HPH terlalu luas, yaitu sejak dibentuk pada tahun 1990 hingga tahun 2000-an, sekitar 62 juta hektar hutan dialokasikan sebagai lahan atas 585 izin HPH.20

Adapun definisi dari HPH ini adalah izin yang diberikan pemerintah Indonesia untuk melakukan pembalakan hutan secara mekanis diatas hutan alam Indonesia.

Jelas hal ini sangat mengancan eksistensi dan kuantitas hutan Indonesia.

21

19

Ibid

20

Ibid

21

Pasal 1 PP No 7/1990, tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

Tujuan dari dibuatnya aturan HPH itu sendiri adalah untuk menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri demi meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan


(20)

lapangan usaha.22

Adapun penyebab lain terjadinya deforestasi hutan tersebut adalah disebabkan oleh sistem perladangan berpindah.

Penebangan hutan melalui sistem HPH ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).

Namun, tujuan dari dibentuknya aturan HPH tersebut tidak dijalankan dengan baik oleh pengusaha-pengusaha HPH tersebut. Mereka hanya mengejar keuntungan materi saja. Persayaratan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur pengusahaan hutan tidak mereka laksanakan sehingga kayu hutan dibabat habis tanpa tebang pilih dan tidak dilakukannya penananam kembali terhadap lahan yang telah habis ditebang. Hal ini dapat terjadi disebabkan antara lain kurangnya pengawasan, mentalitas dan integritas pengawas yang bobrok, pengusaha kurang bertanggung jawab, dan pengusaha tidak peduli lingkungan.

23

22

Arifin Arief, Op Cit, hal 21-22

23

Karden Eddy Sontang Manik, Op Cit, hal 78

Sistem ini dilakukan oleh penduduk yang tinggal dikawasan atau dipinggir hutan. Pertanian yang mereka lakukan masih sederhana yaitu dengan cara menebang pohon dan setelah kering dibakar. Tanah tidak diolah, tetapi langsung ditanami. Lahan hutan yang telah ditebang ini hanya dimanfaatkan 3-4 tahun saja dan kemudian ditinggalkan. Selanjutnya, mereka membuka lahan hutan baru yang caranya sama dengan sebelumnya. Demikian seterusnya dan biasanya setelah setelah 6-12 tahun (4 kali berpindah garapan) mereka kembali ke lokasi yang yang dibuka pertama. Sebetulnya, sistem perladangan berpindah tidak berdampak negatif terhadap lingkungan karena luas yang dibuka tidak terlalu besar, sekitar 2-3 hektar. Tetapi, karena penduduk bertambah terus dan teknologi sudah mulai mereka kenal, maka luas hutan yang dibuka makin luas dan waktu tanah untuk ditanami juga semakin singkat.


(21)

Sebenarnya masih banyak lagi penyebab terjadinya deforestasi terhadap hutan Indonesia tersebut. Namun, apapun bentuknya, kompleksnya penyebab terjadinya deforestasi terhadap hutan Indonesia seperti yang telah diuraikan diatas, sebenarnya tidak akan terjadi bila manajemen perlindungan hutan Indonesia yang telah dirancang pemerintah Indonesia diterapkan dengan baik. Karena, setidaknya telah ada tiga instrumen perundangan-undangan yang mengakomodir, mengatur dan melindungi sektor kehutanan di Indonesia tersebut. Seperti misalnya UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam, khususnya terdapat pada pasal 19, 21, 22, dan 33, yang mencatat pelarangan-pelarangan yakni; menebang tumbuhan yang dilindungi, kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi, zona inti dan zona lainnya dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, mengangkut kayu yang tidak sesuai dengan ketentuannya, menyimpan-memiliki dan atau memperdagangkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Lalu UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat pada pasal 15 dan pasal 18, yang juga mencatatkan hal yang berhubungan dengan pelarangan terhadap upaya-upaya perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Usaha-usaha yang berdampak besar kepada penghancuran lingkungan hidup tanpa memiliki analisa dampak lingkungan (pasal 15), tidak memiliki/memperoleh izin usaha (usaha-usaha yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup) yang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan (pasal 18), dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan, pada pasal 50 menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pelarangan yang terjadi pada pengelolaan sumber daya hutan antara lain : menebang tanpa izin, menebang dekat sumber air (waduk), menebang tidak sesuai izin, menebang dikawasan lindung dan taman nasional, membunuh satwa dan pohon yang dilindungi, menyelundupkan kayu, memproses kayu illegal, menyuap petugas kehutanan, gagal bayar dana reboisasi.


(22)

Namun sangat disayangkan, dalam implementasinya ketiga perangkat hukum ini sepertinya tidak dijalankan secara intensif oleh para pelaku kebijakan dan terkesan lemah dalam memberantas perusakan hutan ataupun illegal logging karena, secara hukum undang-undang tersebut tidak mampu membuktikan pelaku utamanya. Justru yang sering dijerat hukum adalah buruh penebang dan pemilik jasa angkutan yang dibayar oleh pelaku utama atau aktor intelektualnya.

Manajemen hutan di Indonesia juga telah lama dijangkiti oleh korupsi. Aparat pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa reputasi baik dan politisi licik. Ini berarti larangan penebangan hutan secara liar tidak dijalankan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Sungguh mengheran jika mendengar berita di media, cukong illegal logging di vonis bebas oleh pengadilan atau pelaku lapangan perambahan hutan dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara.

Cerita terjadinya penyusutan dan terus berkurangnya hutan Indonesia memang bukan lagi hal yang baru. Bahkan, hal tersebut telah banyak menimbulkan bencana ekologi, seperti misalnya banjir, tanah longsor, perubahan iklim yang tak menentu, kebakaran dan kekeringan. Hal ini jelas merupakan dampak dari penyusutan dan terus berkurang hutan Indonesia tersebut, yang mengakibatkan hutan Indonesia tidak dapat menjalankan fungsi dan manfaat nya secara maksimal. Ilmuwan diberbagai belahan dunia telah membukt ikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya


(23)

kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global.24

“Hampir semua krisis yang melanda dan mempengaruhi ekonomi dunia pada hakikatnya berasal dari masalah lingkungan.”

Dan tentunya, hal ini juga berpengaruh terhadap ekonomi dunia khusunya Indonesia seperti halnya ungkapan seorang ekonom dari Harvard University, Amerika Serikat yaitu Jeffrey Sachs yang mengatakan bahwa :

25

Menurut WALHI, pada tahun 2006 saja, terjadi 59 kali bencana banjir dan longsor yang memakan korban jiwa 1.250 orang, merusak 36 ribu rumah dan menggagalkan panen di 136 ribu hektar lahan pertanian.26 Dan WALHI mencatat kerugian langsung dan tak langsung yang ditimbulkan dari banjir dan longsor tersebut, rata-rata mencapai Rp 20,57 triliun setiap tahunnya atau setara dengan 2,94% dari APBN 2006.27

Oleh karena itu, dalam menanggapi pokok permasalahan tersebut diatas, maka WALHI sebagai lembaga yang sangat concern tehadap lingkungan tetap tidak pesimistis dalam memandang kondisi hutan Indonesia saat ini. Menurut WALHI, kondisi ini sesungguhnya dapat diperbaiki dan hutan Indonesia dapat diselamatkan jika ada kemauan baik dan berubahnya pola pikir masyarakat dan khususnya Negara/pemerintah dalam

Masalah pokok yang sangat memprihatinkan tersebut diatas, menjadi judul besar penghancuran hutan di Indonesia. LSM yang menyangkut lingkungan hidup memperkirakan bahwa, apabila permasalahan kerusakan hutan di Indonesia tersebut diatas tidak ditangani segera, maka diprediksikan kemungkinan hutan Indonesia akan musnah 15 tahun kedepan dapat lebih cepat terjadi.

24

M.Ridha Saleh, ECOCIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta : WALHI, 2005, hal 33

25

Jeffrey Sachs, Commom Wealth: Economics for a Crowded Planet , 2009, dikutip dalam KOMPAS, Bumi Kian Sumpek, Rabu 3 Juni 2009, hal 6

26

27


(24)

mengelola hutan Indonesia secara berkeadilan rakyat dan pro kelestarian. Inilah waktunya bagi pemerintah ataupun masyarakat Indonesia untuk mulai serius menangani penyusutan dan perusakan hutan baik dengan motif illegal logging, penggunaan HPH ataupun pembukaan lahan yang tak terkontrol. Dan bagi pemerintah, komitmen politis adalah kuncinya.

Maka dari itu, untuk menunjukkan kepedulian WALHI terhadap hutan Indonesia yang terus mengalami deforestasi tersebut, WALHI pun berupaya mencarikan sebuah solusi dalam mengatasi terjadinya deforestasi terhadap hutan Indonesia tersebut. Adapun upaya pencarian solusi yang dilakukan WALHI tersebut adalah dengan merancang dan mencetuskan sebuah konsep ataupun rumusan berupa kebijakan yang akan ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Dan adapun istilah dari rumusan ataupun konsep kebijakan yang dicetuskan oleh WALHI tersebut, disebut dengan istilah kebijakan moratorium

logging atau jeda tebang terhadap hutan Indonesia.

Rumusan ataupun konsep kebijakan moratorium logging ini, dicetuskan oleh WALHI melalui rapat Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) yang diadakan WALHI pada tanggal 22 April tahun 2000 di Jakarta.28 Secara definisi, moratorium

logging atau jeda tebang menurut WALHI adalah berhenti sejenak dari aktivitas

penebangan dan konversi hutan.29

28

Wawancara dengan Syahrul Isman (Eksekutif Daerah WALHI-Sumatera Utara) pada tanggal 27 Maret 2009

Adapun definisi lainnya yaitu pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Menurut WALHI, moratorium logging ini dilaksanakan paling sedikit selama 15 tahun. Lama atau masa diberlakukannya moratorium logging ini biasanya juga ditentukan oleh berapa lama

29


(25)

waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen.

Menurut WALHI, kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia. Oleh karena itu, WALHI menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging tersebut. Agar penyusutan dan kerusakan hutan dalam skala massif dapat segera terhindari.

Dengan alasan untuk lebih memahami dan mendalami tentang peran WALHI dalam upaya mencegah laju penyusutan dan perusakan hutan di Indonesia melalui pencetusan kebijakan moratorium logging tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkajinya lebih mendalam melalui penelitian skripsi ini.

I.2 Perumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang dan persoalan yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bagaimanakah konsep dan tahapan-tahapan dari penerapan kebijakan

moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI tersebut?

Apakah keuntungan dari diterapkannya kebijakan moratorium logging tersebut dan apakah kerugiannya apabila kebijakan moratorium logging tersebut tidak segera diterapkan?

Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan WALHI dalam menyosialisasikan pencetusan kebijakan moratorium logging terhadap hutan Indonesia?


(26)

I.3 Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian tentunya harus memiliki pembatasan masalah yang diteliti, agar ruang masalah yang diteliti tersebut tidak melebar dan meluas. Oleh karena itu, dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam penelitian skripsi ini, penulis mencoba membatasi penelitian ini pada ruang lingkup meneliti dan menganalisis tentang konsep kebijakan moratorium logging dan peran WALHI dalam pencetusan kebijakan

moratorium logging terhadap hutan Indonesia. I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian, dan adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan WALHI dalam menyosialisasikan kebijakan moratorium logging terhadap hutan Indonesia tersebut.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah tahapan-tahapan dari penerapan kebijakan

moratorium logging tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah manfaat dari di terapkannya kebijakan moratorium

logging bagi pelestarian hutan Indonesia.

4. Dan untuk mengetahui apakah kerugian yang akan muncul apabila kebijakan

moratorium logging tersebut tidak segera dilaksanakan. I.5 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian, diharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu untuk peneliti itu sendiri dan terlebih lagi untuk masyarakat luas. Untuk itu, menurut penulis adapun manfaat dari penelitian ini adalah :


(27)

1. Bagi penulis sendiri, tentunya penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam membuat ataupun menyusun sebuah karya ilmiah dan melatih penulis untuk membiasakan diri dalam membuat dan membaca karya tulis. Melalui penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang di teliti.

2. Secara akademis, melalui penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya penelitian di bidang ilmu politik.

I. 6 Kerangka Teori

Menurut Kerlinger teori adalah sebuah konsep atau construct yang berhubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi yang mangandung suatu pandangan yang sistematis dan fenomena.30

30

M. Arif. Nasution, Metode Penelitian, Medan, Fisip USU Press, 2008 hal. 76

Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis. Dan adapun teori-teori yang dipakai dalam penelaahan penelitian ini adalah :

I.6.1 Demokrasi

Demokrasi adalah suatu sistem politik yang paling banyak dianut oleh Negara-negara di dunia saat sekarang ini. Banyak Negara-Negara-negara di dunia yang mengklaim bahwa negaranya adalah penganut demokrasi, tetapi kenyataannya Negara tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai yang ada dalam demokrasi. Demokrasi secara etimologi berasal dari kata Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan) atau bisa diartikan ‘pemerintahan oleh rakyat’. Ide demokrasi pertama sekali tercetus di kota Athena, Yunani yaitu sekitar abad V SM.


(28)

Mengacu dari pandangan Robert Dahl yang menyebutkan bahwa demokrasi adalah adanya hak yang sama dan tidak dibedakan antara rakyat yang satu dengan yang lainnya.31

Demokrasi adalah sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat, artinya kedaulatan ada di tangan rakyat, atau kehendak rakyat merupakan faktor yang menentukan dalam sistem pemerintahan negara. Untuk mewujudkan demokrasi, setidaknya ada dua perangkat yang harus ada dalam demokrasi tersebut, yakni perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software).

Hak tersebut diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterima semua pihak (legitimate). Kemudian Dahl menyatakan bahwa demokrasi juga harus ditunjukkan dengan adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil. Untuk itu diperlukan ruang yang memperkenankan publik untuk mengekspresikan kehendak-kehendaknya.

32

31

Muhamad Budairi, Masyarakat Sipil dan demokrasi, Yogyakarta : E-Law Indonesia, 2002, hal 49

32

Riant Nugroho dan Tri Hanurita S, Tantangan Indonesia, Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2005, hal 18

Salah satu perangkat lunaknya adalah adanya kompetensi (kecakapan yang harus dimiliki) dari masyarakat dalam hal ini yang direpresentasikan oleh LSM/NGO yang menyuarakan aspirasi masyarakat dari bawah. Karena LSM sebagai wadah dari terbinanya Civil Society menjadi subordinasi dari kekuasaan Negara atau pemerintah. LSM inilah yang nantinya akan menyampaikan aspirasi publik ke badan yang berwenang, seperti yang dikemukakan oleh Anderson bahwa LSM sebagai Unofficial Participan dalam proses pembuatan kebijakan publik, seperti hal nya keberadaan LSM WALHI di Indonesia.


(29)

Keberadaan WALHI merupakan salah satu representasi dari sistem demokrasi yang dikategorikan sebagai software dalam sistem demokrasi itu sendiri. WALHI terbentuk melalui persamaan aspirasi masyarakat Indonesia yang khawatir akan kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Melalui LSM WALHI ini, masyarakat dapat menggunakan kedaulatan nya yang diakui dalam sistem demokrasi. Penggunaan kedaulatan itu dapat diwujudkan dengan melakukan penekanan ataupun advokasi tehadap Pemerintah, agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyelamatkan lingkungan hidup di Indonesia.

Bila dikaitkan dengan pandangan Robert Dahl tadi, jelas negara harus membuka ruang-ruang publik bagi rakyatnya untuk mewujudkan kedaulatannya, disinilah apa yang dimaksud dengan ruang masyarakat sipil (civil society), dan disini jugalah letak adanya kompetensi dari masyarakat, jadi dengan adanya demokrasi maka civil society akan terbentuk.

I.6.2 Masyarakat Sipil ( Civil Society )

Konsep masyarakat sipil berasal dari sejarah peradaban Barat. Ditempat asalnya, Eropa Barat, konsep ini sudah tidak banyak dibicarakan. Masayarakat sipil kembali mengemuka ketika gerakan solidaritas di Polandia pimpinan Lech Walesa melancarkan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan Jenderal Jeruzelski. Dalam perlawanan tersebut, solidaritas memakai masyarakat sipil sebagai dasar sekaligus arah perjuangan dengan tekanan utama pada perlawanan terhadap otoritarianisme Negara. Pola yang dipakai solidaritas ini menjalar kebeberapa Negara Eropa Timur Lain, seperti bekas Chekoslovakia, seiring dengan runtuhnya rezim komunis di Uni Soviet. Keberhasilan dari


(30)

gerakan-gerakan tersebut kemudian menjadi pemicu ramainya perbincangan masyarkat sipil diberbagai belahan dunia, termasuk Amerika Utara dan Eropa Barat sendiri.33

Pengertian lainnya dari masyarakat sipil adalah kemampuan untuk hidup bersama secara umum dan kebiasaan berkumpul itu menggalakkan ketertiban masyarakat dalam tindakan didalam sebuah kegiatan politik yang demokratik. Ini dikemukakan oleh Adam Ferguson dipertengahan abad ke 18 dengan latar belakang kemunculan masyarakat kapitalisme yang mengalami pengikisan dari segi tanggung jawab sosial dan berkembangnya pengaruh individualisme. Dengan itu Ferguson mengibaratkan masyarakat sipil sebagai masyarakat yang hidup dengan ciri-ciri solidaritas yang kuat, bermoral tinggi dan sebagainya.

Konsep masyarakat sipil digunakan sebagai konsep deskriptif untuk menilai keseimbangan antara kuasa Negara dan persatuan atau badan privat. Bagi tradisi liberal, masyarakat sipil yang sehat dan kuat merupakan ciri penting dari demokrasi liberal dan liberal klasik khususnya memiliki panduan moral dari masyarkat sipil terhadap negara yang diterjemahkan melalui keinginan untuk meminimalkan ruang kuasa Negara dan memaksimalkan ruang privat, kelompok-kelompok relawan, pergerakan sosial, media massa, dan institusi diluar kerajaan yang dapat berfungsi tanpa pengawasan Negara.

Dalam penggunaan tradisionalnya, istilah masyarakat sipil adalah transliterasi literal dari kata Romawi, societas civilis. Masyarakat sipil adalah arena bagi warga yang aktif secara politik. Ia juga memuat arti masyarakat beradab ( civilized ), masyarakat yang menata aturan-aturannya berdasarkan sistem hukum, bukan berdasarkan seorang despot.

34

33

Hendro Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 1-2

34


(31)

Selain itu, Ernest Gellnerr memberi pengertian bahwa masyarakat sipil sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat mengimbangi negara. Walaupun tidak menghalangi negara dalam memenuhi dan dan melaksanakan perannya sebagai penjaga keamanan dan keselamatan serta bertindak sebagai hakim antara negara dan rakyat. Masyarakat sipil tetap dapat menghalangi usaha-usaha negara dalam mendominasi warganya. Gerakan masyarakat sipil dikenal sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat dalam berbagai kegiatan seperti politik, sosial dan ekonomi disamping mampu memberi kepada hubungan negara dan rakyat.35

Dengan demikian masyarakat sipil bukanlah entitas sosial yang terdiri dari kumpulan manusia. Ia juga bukan manifetasi dari sistem komunal yang dikenal luas dalam masyarakat tradisional. Masyarakat sipil merupakan ruang publik yang berisikan manusia sebagai individu-individu dengan segala atribut intrinsiknya. Oleh karena itu, masyarakat sipil memiliki karakteristik yang juga terdapat dalam konsep manusia sebagai individu. Jika individu merupakan ruang pribadi, masyarakat sipil merupakan ruang publik. Karena itu, didalam masyarakat sipil juga harus terdapat kebebasan, kesederajatan dan nilai-nilai yang terkait seperti otonomi, kesukarelaan atau keseimbangan. Ciri-ciri tersebut harus terwujud dalam gerak anggota yang ada didalam maupun dalam relasi masyarakat sipil dengan masyarakat sipil lainnya dan bahkan dalam hubungannya dengan negara.36

Kelompok penekan merupakan kelompok yang dapat mempengaruhi segala kebijakan didalam setiap pemerinatahan. Kelompok penekan hanya melancarkan pengaruh kepada atas mereka yang sedang berkuasa, memberikan tekanan atas orang-orang tersebut.

1.6.3 Kelompok Penekan ( Pressure Groups )

35

Anwar Ibrahim, Masyarakat Madani vs Masyarakat Sipil, tanggal 6 Mei 2009)

36


(32)

Itulah sebabnya mereka dinamakan kelompok penekan. Kelompok penekan mewakili suatu jumlah yang terbatas yang mempunyai kepentikangan khusus. Orang yang masuk dalam kelompok ini sebagai pekerja, sebagai seorang Agamawan, sebagai penentang bom atom, sebagai anak muda dan sebagai apa saja yang ada dikelompoknya, bukan hanya ia sebagai seorang warga negara. Dengan demikian kelompok penekan mempunyai sifat organisasi ”kooperarif” dalam arti yang sudah lumrah seperti sekarang ini.

Eksistensi kelompok penekan untuk mempengaruhi kekuasaan, sementara mereka sendiri tidak terlibat didalamnya. Mereka melancarkan tekanan-tekanan atas kekuasaan yang sedang berjalan ( dari sinilah asal mula nama Pressure Groups ) yang diperkenalkan di Perancis pada tahun 1962 dari ungkapan Amerika Pressure Groups. Kelompok penekan ini berusaha mempengaruhi orang-orang yang memegang dan menjalankan kekuasaan, bukan untuk menempatkan orang-orang mereka sendiri dalam posisi yang memegang kekuasaan. Tetapi, kelompok-kelompok penekan tertentu sebenarnya mempunyai wakil-wakil mereka dipemerintahan dan dibadan-badan legislatif, tetapi hubungan antara para individu-individu tersebut dengan kelompok yang mereka wakili masih sangat rahasia atau hati-hati.37

Suatu kelompok penekan itu bersifat eksklusif (istimewa ; lain dari yang lain) bila ia hanya menyangkut soal mengambil tindakan dalam bidang politik saja, dengan memberikan tekanan atas kekuasaan politik. Yaitu organisasi-organisasi yang mengadakan campur tangan dengan pekerjaan-pekerjaan para senator dan anggota-anggota kongres, dengan anggota kabinet dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan lainnya. Sebaliknya

I.6.3.1 Penentuan Kelompok Penekan

a. Kelompok Eksklusif dan Kelompok Parsial

37


(33)

sebuah kelompok penekan dikatakan Parsial, apabila kegiatan politik hanyalah merupakan salah satu bagian saja dari aktivitasnya, bila kelompok ini mempunyai alasan-alasan lain untuk eksistensinya dan mempunyai rencana tindakan lain maka dapat melakukan suatu gerakan besar seperti turun ke jalan-jalan. Artinya disini, kelompok manapun atau organisasi apapun dapat saja terjangkit untuk melancarkan tekanan politiknya pada suatu ketika dalam masa-masa rangkaian aktivitasnya. Gereja pun masuk dalam kategori ini karena gereja ikut menyampuri masalah otoritas, demikian juga persatuan para filosof, kelompok budaya dan intelektual. Dalam prakteknya, perbedaan antara kedua macam kelompok tersebut tidaklah mudah untuk diselidiki.

b. Kelompok Resmi dan Kelompok Swasta

Terdapat dua jenis kelompok resmi. Pertama, badan-badan resmi pemerintahan yang bertindak sebagai kelompok penekan untuk membela kepentingan-kepentingan badan yang diwakilinya. Kedua, terdiri atas pejabat-pejabat pemerintahan yang membentuk suatu persaudaraan diantara mereka yang berlangsung secara rahasia, yang merencanakan untuk membentuk monopoli pos-pos jabatan tertinggi dalam administrasi negara, sehingga keberadaannya dapat menimbulkan pengaruh yang besar.

Berbeda dengan kelompok resmi, kelompok swasta ini cenderung didirikan sebagai perpanjangan tangan pihak asing agar dapat ikut terlibat dalam perputaran ekonomi, politik atau sub kehidupan lain di suatu negara yang ditunjuk. Tekanan-tekanan yang datang dari kelompok asing juga menciptakan suatu ketergantungan yang sifatnya de

facto. Tetapi ketergantungan itu bukanlah antara pemerintahan yang satu dengan

pemerintahan yang lain melainkan ketergantungan suatu pemerintahan asing pada suatu organisasi swasta. Pemerintahan asing tersebut yang kemudian menyediakan dana operasional, program kerja, training dan sebagainya.


(34)

I.6.3.2 Berbagai Jenis Kelompok Penekan

 Orgnanisasi-Organisasi Profesional

Merupakan organisasi yang kegiataanya didasarkan pada kemampuan ahli ataupun aktivitas tertentu.

 Organisasi Pertanian (Farm Organization)

Organisasi para petani merupakan kelompok penekan massa, kecuali untuk sekelompok tuan tanah atau asosiasi profesional pada tingkat yang lebih tinggi.

 Organisasi Para Pekerja

Mereka berkembang akibat dari industrialisasi dan diikuti oleh pembentukan kaum proletariat. Dalam masyarakat yang sangat maju, telah mendorong pekerja industri menjadi golongan minorotas. Dari seluruh jenis kelompok penekan, organisasi buruh inilah yang paling banyak massa pendukungnya.

 Organisasi Lingkungan dan Sumber Daya

Maraknya isu tentang global warming menjadikan masyarakat dunia mulai peduli kepada lingkungan tempat tinggalnya.

I.6.3.3 Kelompok-Kelompok Penekan Lainnya

 Organisasi Politik Yang Khusus

Organisasi yang didirikan diarahkan ke tujuan politik yang khusus, seperti membatalkan penggunaan bom atom di luar hukum, perlucutan senjata, memelihara perdamaian dunia, menentang diskriminasi RAS, reformasi di bidang agraria, subsidi untuk sekolah-sekolah , dan sebagainya.


(35)

Mencakup persatuan pegawai pemerintahan, para insinyur, akademisi universitas, , mahasiswa, dan sebagainya.

 Asosiasi Veteran

Kelompok ini mempunyai sifat ganda. Yakni membela kepentingannya sendiri ( Misalnya dana pensiun, tujangan kesehatan) dan juga kepentingan sebagai kelompok ideologi.

 Gerakan Pemuda

Merupakan gerakan perpaduan antara beberapa aliansi di kalangan mahasiswa. Isu yang dibahas seputar kebijakan pemerintah terhadap publik.

 Gerakan Wanita dan Organisasi Keluarga

Gerakan ini berlangsung diseputar masalah membela eksistensi kampung minoritas, masalah alkoholisme, gender, pendidikan kewarganegaraan, seks dan sebagainya.

 Kelompok Ideologi dan Agama

Membela kepentingan-kepentingan ideologi tertentu dan juga masalah moralitas generasi muda, free seks, pornografi dan pornoaksi dan sebagainya.

Bila dikorelasikan semua ciri-ciri kelompok penekan seperti yang disebut dari uraian teori kelompok penekan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwasannya WALHI juga merupakan salah satu bagian dari kelompok penekan. Hal ini dapat dilihat dari peran WALHI dalam mempengaruhi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. WALHI cenderung akan melakukan upaya-upaya penekanan terhadap pemerintah untuk mempengaruhi setiap kebijakan-kebijakannya dalam mengelola lingkungan hidup di Indonesia yang apabila kebijakan tersebut dirasa akan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup Indonesia. Agar kebijakan tersebut tidak menjadi polemik dan tidak


(36)

hanya menguntungkan pihak tertentu dan sesuai dengan keinginan rakyat. Berdasarkan klasifikasi dari berbagai jenis kelompok penekan tersebut diatas, maka WALHI merupakan salah satu kelompok penekan dengan jenis Organisasi Lingkungan dan Sumber Daya.

I.6.4 Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam kegiatan akademis, atau dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Pada dasarnya, terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur ilmu politik. Masing-masing definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang pemikiran yang berbeda-beda.

Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone. Menurut Robert Eyestone kebijakan publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.38 Namun konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti. Karena, apa yang dimaksud dengan kebijakan publik seharusnya dapat mencakup banyak hal. Adalagi definisi kebijakan publik yaitu di kemukan oleh Thomas R. Dye. Ia mengatakan bahwasannya kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.39

38

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo, 2004, hal. 15

39

Ibid

Walau batasan definisi yang diberikan oleh Thomas R. Dye ini agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.


(37)

Definisi kebijakan pubilk yang lainnya yaitu diberikan oleh James Anderson. Menurut Anderson, kebijakan publik adalah merupakan suatu arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan.40

Menurut James Anderson, sifat kebijakan publik terbagi dalam beberapa kategori yaitu : seperti policy demands (tuntutan-tuntutan kebijakan), policy decisions (keputusan-keputusan kebijakan), policy statements (pernyataan-pernyataan kebijakan), policy outputs (hasil-hasil kebijakan), dan outcomes (dampak-dampak kebijakan).

Menurut James Anderson, kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Definisi kebijakan publik yang diberikan James Anderson diatas, memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan apa yang diusulkan atau yang dimaksudkan.

I.6.4.1 Sifat-sifat Kebijakan Publik

41

Sementara itu, policy decisions didefinisikan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan

Policy demands adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau

pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan itu berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus berbuat sesuatu sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan mengenai suatu persoalan.

40

Ibid, hal.16

41


(38)

substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyataan-pernyataan resmi, dan mengumumkan peraturan-peraturan administratif.

Sedangkan policy statements adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat-pejabat pemerintah yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Lalu

policy outputs lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik,

hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Dalam hal ini lebih difokuskan pada masalah-masalah seperti pembayaran pajak, pembangunan jalan-jalan raya, penghilangan hambatan-hamabatan perdagangan, maupun pemberantasan usaha-usaha penyelundupan barang. Dan yang terakhir adalah

outcomes. Outcomes ini lebih merujuk kepada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik

yang diinginkan atau yang tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.

I.6.4.2 Tahapan-tahapan Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang sangat kompleks. Karena, melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik, membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita didalam mengkaji kebijakan publik.42

42

Charles Lindblom, Proses Penetapan Kebijakan Publik, Jakarta : Airlangga, 1996, hal. 3

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, William Dunn mengemukakan bahwa ada


(39)

beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu agenda setting (penetapan agenda kebijakan), policy formulation (formulasi kebijakan), policy adoption (adopsi kebijakan),

policy implementation (implementasi kebijakan), dan policy assasment (evaluasi

kebijakan).43

Policy Formulation

Adapun tahapan-tahapan tersebut digambarkan oleh William Dunn sebagai berikut :

Agenda Setting

Policy Adoption

Policy Implementation

Policy Assasment

Gambar I.1 Skema Tahapan-Tahapan Kebijakan Publik

Adapun tahapan-tahapan dari proses kebijakan publik tersebut diatas dijelaskan sebagai berikut :

1. Agenda Setting

Tahap penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya permasalahan

43

Hessel Nogi S Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, : Konsep, Strategis, dan Kasus, Yogyakarta : Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), 2003, hal. 7-8


(40)

ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut William Dunn problem

structuring memiliki 4 fase yaitu : pencarian masalah (problem search), pendefinisian

masalah (problem definition), spesisfikasi masalah (problem spesification), dan pengenalan masalah (problem setting).44

2. Policy Formulation

Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki dan brainstroming, analisis multi perspektif, analisis asumsional serta pemetaan argumentasi.

Pada tahap formulasi kebijakan ini, para analis harus mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan bermain untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Policy Adoption

44


(41)

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang telibat. Tahap ini dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut45

a. Mengidentifikasikan altenatif kebijakan (policy alternative) yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.

:

b. Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai alternatif yang akan direkomendasi.

c. Mengevaluasi altenatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebh besar daripada efek negatif yang akan terjadi.

4. Policy Implementation

Pada tahap ini, suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah)) tertentu memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen) dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.

45


(42)

5. Policy Assesment

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.

Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh lembaga independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif) untuk mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuannya atau tidak. Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan, maka pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak terulang dimasa yang akan datang.

I.7 Metode Penelitian

Metode penelitian didefinisikan sebagai ajaran mengenai cara-cara yang di gunakan dalam memproses penelitian. Metode berguna untuk memberikan ketepatan, kebenaran dan pengetahuan yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi.46

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, penekanan pada deskriptif dan analitis. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini dapat juga digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu yang baru sedikit di ketahui, metode kualitatif

Untuk itu, penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk mencapai kebenaran ilmiah, yakni : jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.

I.7.1 Jenis Penelitian

46


(43)

juga dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit di ungkap oleh metode kuantitatif.47

Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperbolehkan melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Disamping itu, metode penelitian kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam konsep-konsep atau ide-ide.

48

Penelitian kualitatif mengacu kepada berbagai cara pengumpulan data yang berbeda, yang meliputi penelitian lapangan, observasi partisipan, wawancara mendalam, dan penelitian etnografi.49 Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat hidup dan prilaku seseorang, disamping itu juga tentang organisasi, Pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik. Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data sensus, namun dianalisisnya bersifat kualitatif.50

Adapun penelitian ini dilakukan di sekretatiat WALHI-SU yang beralamat di Jalan. Sei Serapuh No.20. Medan, Sumatera Utara. Adapun alasan dipilihnya lokasi ini sebagai tempat penelitian adalah : (1) penulis menilai, lokasi ini lebih dekat dengan tempat tinggal penulis. Sehingga lebih mudah dijangkau dan terdapat efisiensi dari segi waktu ataupun biaya. (2) lokasi ini merupakan salah satu pemilik akses informasi atau data yang resmi yang berhubungan dengan penelitian ini, yang sangat dibutuhkan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini. (3) lokasi ini juga merupakan cabang/perwakilan resmi dari WALHI Pusat/Nasional.

I.7.2 Lokasi Penelitian

47

Anselm Strauss dan Juliet Corbin., Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 5

48

Ibid, hal. 4

49

Bruce A. Chadwick, dkk, Social Science Research Methods, Terj. Sulistia, dkk, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Semarang : IKIP Semarang Press, 1991, hal. 234

50


(44)

I.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga dapat dipertanggung jawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun data yang akan dikumpulkan dalam upaya pengumpulan data tersebut di bagi menjadi dua yaitu :

1. Data Primer

Untuk jenis yang dikumpulkan dari data primer ini yaitu, penulis akan melakukan wawancara langsung dengan anggota WALHI-SU yang dianggap mengetahui dengan benar tentang masalah yang di teliti.

2. Data Sekunder

Dalam mengumpulkan data sekunder, penulis akan melakukan penelitian kepustakaan antara lain mengumpulkan data dari buku-buku, dokumen-dokumen WALHI yang dianggap berkaitan dengan masalah yang diteliti, juga melalui Surat Kabar, Media Internet dan berbagai sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan.

I.7.4 Teknik Analisis Data

Proses analisa data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah didapat, baik yang diperoleh dari wawancara, ataupun dari dokumen-dokumen dan buku-buku atau media lainnya. Keseluruhan data yang didapat tersebut dirangkum sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian yang terdapat dalam skripsi ini. Selanjutnya, data yang telah dirangkum tersebut, akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif


(45)

melalui sebuah kajian deskripsi untuk kemudian dianalisis sehingga memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh.51

I.8 Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari beberapa BAB. Adapun tiap bab terdiri dari :

BAB I : Pendahuluan

Bab I ini berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab II ini berisikan tentang gambaran umum profil lembaga penelitian.

BAB III : Analisis Data

BAB IV : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran atau rekomendasi berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan dalam penyusunan skripsi ini.

51


(46)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN II. 1 Sejarah Singkat Berdirinya WALHI

WALHI merupakan forum kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi non-pemerintah/Non Government (Ornop/NGO), Kelompok Pecinta Alam (KPA) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1980 sebagai reaksi dan keprihatinan atas ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan sumber-sumber kehidupan, sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan.

Sejarah berdirinya WALHI tak bisa dilepaskan dari salah seorang tokoh yang ada di Indonesia yaitu Emil Salim. Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Soeharto, Emil Salim mengadakan pertemuan dengan beberapa kawannya, yaitu Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia. Ia ingin terjun ke tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari jalan keluar agar bola salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar.

Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung secara informal dengan kawan-kawannya, menurut Emil Salim tidak ada pilihan lain, kecuali minta bantuan kelompok-kelompok NGO dan pecinta alam. Harapannya adalah agar kelompok NGO dan pecinta alam dapat


(47)

membantu menyelesaikan pelbagai persoalan lingkungan, karena kedua kelompok ini dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat. Sehingga pemerintah melalui lembaga ini bisa menyampaikan programnya kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang tidak bisa menyampaikan permohonannya kepada pemerintah bisa disampaikan melalui NGO.

Lalu diadakanlah sebuah pertemuan. Pertemuan tersebut dilakukan di Balaikota (Kantor Gubernur DKI Jakarta). Pertemuan mendadak tersebut dihadiri sekitar 350 lembaga yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama, riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya. Disitulah Emil Salim mengungkapkan semua keinginannya bahwa antara pemerintah dan NGO harus berjalan bersama untuk mewujudkan lingkungan yang baik, juga diungkapkan bahwa masyarakat harus membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan. Agar pertemuan tersebut tidak sia-sia, mereka harus mencari bagaimana memelihara komitmen bersama sekaligus mencari cara berkomunikasi yang efektif di antara mereka. Akhirnya, muncullah kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan hidup dengan membentuk organisasi awal. Agar tidak ada persepsi bahwa organisasi ini adalah sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi dengan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada 23 Mei 1978 di Balaikota.

Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi, tukar pikiran, dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya. Anggota kelompok ini adalah Ikatan Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), dengan ketua Ir. Zein Rachman, Yayasan Indonesia Hijau


(48)

(YIH), dengan ketua Dr Fred Hehuwed, Biologi Science Club (BCS) yang diketuai oleh Dedy Darnaedi, Gelanggang Remaja Bulungan, yang diketuai oleh Bedjo Raharjo, Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) dengan ketua H. Kamil Oesman, Perhimpunan Pecinta Tanaman (PPT) yang diketuai oleh Ny. Mudiati Jalil, Grup Wartawan Iptek yang diketuai oleh Soegiarto PS, Kwarnas Gerakan Pramuka oleh Drs. Poernomo, Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (HUKLI) oleh George Adjidjondro, dan Srutamandala (Sekolah Tinggi Publisistik).

Kelompok ini diketuai oleh Ir. Zein Rachman (IALI), dengan Sekretaris I, yaitu Dedy Darnaedi (BSCc) dan Sekretaris II, Bedjo Rahardjo (GRJS-Bulungan). Untuk menjalankan kegiatannya, kelompok ini menempati sebuah ruangan di kantor PPLH, dengan tugas utama menjadi jembatan antara pemerintah dengan LSM lainnya. Beberapa NGO ini menawarkan bantuan sukarela kepada Emil Salim untuk membantu menjadi sukarelawan di kantor yang baru tersebut.

Atas prakarsa kelompok 10, dan dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono IX lewat Indonesia Wildlife Fund, dibicarakan kemungkinan pertemuan ornop yang lebih besar untuk menindaklanjuti keberadaan organisasi kelompok 10 tersebut. Lalu di adakanlah sebuah pertemuan ornop yang cukup besar kala itu. Pertemuan itu berlangsung pada tanggal 13 - 15 Oktober 1980, di Gedung YTKI bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) se-Indonesia. Pertemuan tersebut diikuti oleh 130 orang peserta dari 78 organisasi dari tiga kelompok, yaitu kelompok organisasi masyarakat (agama, sosial), organisasi pecinta alam, dan organisasi profesi. Pada akhir pertemuan yaitu tanggal 15 Oktober 1980, diadakanlah sidang pleno untuk menetukan nama organisasi yang akan mewadahi seluruh peserta ornop tersebut. Namun sidang pleno tersebut berjalan alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam dan


(49)

aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda misalnya dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.

Dalam sidang pleno yang berlangsung dengan alot tersebut akhirnya Erna Witoelar dan Wicaksono Noeradi yang merupakan peserta pertemuan itu menawarkan sebuah nama yaitu dengan awal Wahana. Lalu para peserta menyambut tawaran nama Wahana tersebut dengan antusias yang tinggi. Lalu dikarenakan organisasi tersebut akan bergerak pada bidang lingkungan hidup maka ornop sepakat memberikan tambahan Lingkungan Hidup Indonesia pada akhir nama Wahana tersebut sehingga jadilah nama organisasi tersebut “Wahana Lingkungan Hidup Indonesia” dan disingkat menjadi “WALHI”.

Nama ini dianggap independen, tidak underbow kepada salah satu organisasi/parpol, serta mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing. Mayoritas lembaga yang mengikuti pertemuan tersebut sangat setuju dengan nama itu. Tanggal 15 Oktober 1980, palu diketok, nama disepakati : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Selain memutuskan pembentukan WALHI dengan mengadakan musyawarah periodik setiap dua tahun, juga dipilih sembilan anggota presidium periode 1980 – 1982 yang diketuai oleh Zen Rachman, dengan sekretaris eksekutif, Ir. Erna Witoelar.

II.1.1 Masa Perkembangan WALHI

Kelahiran WALHI sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.


(50)

Gerakan WALHI di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public relation,” yaitu memperkenalkan WALHI ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai perlombaan,

Perlahan WALHI mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah. WALHI mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga swadaya masyarakat lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982.

Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut


(51)

tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum WALHI, karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik ulur. Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukk1980-an tumbuhnya kesadar1980-an bahwa persoal1980-an lingkung1980-an 1980-antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat

Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun 1982, WALHI ditandai dengan kenaikan anggota LSM yang mengalami booming yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada tahun 1980, tercatat 320 pada tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari 400 LSM. Ketika WALHI melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III tahun 1986, dari 486 LSM lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam WALHI.

Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya.

Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-isu


(1)

pemerintah Indonesia, WALHI, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, perlu kirnya untuk segera melakukan beberapa tindakan penyelamatan terhadap hutan Indonesia tersebut. Adapun tindakan yang perlu dilakukan menurut saran penulis adalah

1. Kepada pemerintah, sudah seharusnya pemerintah Indonesia berganti peran dari yang dulunya selalu berpihak kepada pengusaha/industri yang selalu mengabaikan kelestarian lingkungan menjadi pemerintah yang selalu berpihak kepada lingkungan hidup (green government).

2. Untuk menghentikan penyusutan dan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah sebaiknya segera memberlakukan kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI tersebut dan harus mulai serius untuk tidak lagi dengan mudah mengeluarkan ijin-ijin baru untuk pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar segala aturan dalam kehutanan.

3. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.

4. Kepada WALHI, dalam peranannya mempengaruhi kebijakan, sebagai lembaga yang paling peduli terhadap lingkungan khususnya hutan Indonesia, penulis mengharapkan agar WALHI lebih agresif dan jangan pernah mundur dari permasalahan hutan Indonesia sebelum menemukan jalan keluar. Dan harus lebih


(2)

sering kali tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan khususnya hutan Indonesia.

5. Kepada masyarakat Indonesia, dapat menulis surat ataupun melakukan tekanan kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa. Selain itu, lakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat, dan berikan laporan kepada WALHI terdekat ataupun lembaga non pemerintah lainnya dan kepada instansi penegak hukum, serta media massa, bila menemukan terjadinya peredaran kayu tanpa ijin maupun kegiatan pengrusakan hutan. Dan mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-kayu hasil penebangan yang merusak hutan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Arief, Arifin, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001

Buda iri, Muhamad, Masyarakat Sipil dan demokrasi, Yogyakarta : E-Law Indonesia, 2002

Chadwick, Bruce A, dkk, Social Science Research Methods, Terj. Sulistia, dkk,

Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Semarang : IKIP Semarang Press,

1991

Dietz, Ton, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam : Kontur Geografi Lingkungan

Politik, Yogyakarta : INSIST Press, 2005

Duverger, Maurice, Partai Politik dan Kelompok Penekan, Yogyakarta : Bina Aksara, 1984

K. Yin, Robert, Studi Kasus, Desain dan Metode, Jakarta : Rajawali Pers, 2003

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika, 1997

Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung : CV Mandar Maju, 1996


(4)

M. Echols, Jhon, dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta : GRAMEDIA, 2007

Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta : Resist Book, 2005

Manik, Karden Eddy Sontang, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta : Djambatan, 2003

Nasution, M. Arif, Metode Penelitian, Medan, Fisip USU Press, 2008

Nugroho, Riant dan Tri Hanurita, Tantangan Indonesia, Solusi Pembangunan Politik

Negara Berkembang, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2005

Nurdjana, IGM, dkk, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta : 2005

Prasetyo, Hendro, dkk, Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002

Saleh, M.Ridha, ECOCIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia, Jakarta : WALHI, 2005

Soemarwoto, Otto, Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Yogayakarta : Gadjah Mada University Press, 2001

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah


(5)

Tangkilisan, Hessel Nogi S, Kebijakan Publik yang Membumi, : Konsep, Strategis,

dan Kasus, Yogyakarta : Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia

(YPAPI), 2003

Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo, 2004

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 Tentang Pokok Kehutanan Penjelasan UU No.41/1999 tentang Kehutanan

Peraturan Pemerintah No 7/1990, tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

Dokumen WALHI-Sumut

Database WALHI-Sumatera Utara Dokumen WALHI-Sumatera Utara Statuta WALHI

Koran

KOMPAS, Jumat 6 Februari 2009 KOMPAS, Rabu 3 Juni 2009


(6)

Gumay, Dewa, Moratorium Logging Kebijakan Yang Berdaulat,

Ibrahim, Anwar, Masyarakat Madani vs Masyarakat Sipil, wordpress.com

Munthe, Hadi, Jeda (Moratorium) Tebang Hutan Alam Sumatera Utara Selama 15

T

WALHI, Hutan Hancur, Moratorium Manjur

Wawancara

Wawancara dengan Ibrahim Nainggolan, (Ketua Dewan Daerah WALHI-Sumut) Wawancara dengan Syahrul Isman, (Eksekutif Daerah WALHI-Sumut)