Eufemisme Pada Tindak Tutur Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Pakpak

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Kepustakaan yang Relevan
Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka.

Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan
masalah dalam suatu penelitian, paparan atau konsep-konsep tersebut bersumber
dari pendapat para ahli-ahli, empirisme (pengalaman penelitian), dokumentasi,
dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang
relevan dengan judul skripsi ini. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini
adalah buku-buku yang berhubungan dengan tindak tutur. Selain itu digunakan
sumber bacaan lainnya sebagai berikut.
Tarigan (1985:143) mengemukakan bahwa eufemisme berasal dari bahasa
Yunani yaitu euphemizein yang berarti ‘berbicara’ dengan kata-kata yang jelas
dan wajar. Eufemisme ini merupakan turunan dari kata eu ’baik’ dan phanai
‘berbicara’. Secara singkat eufemisme berarti ‘pandai berbicara, berbicara baik’.
Jadi, eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan

yang dianggap lebih kasar,yang dianggap merugikan atau yang tidak
menyenangkan.
Chaer

(1994:144)

mengatakan

bahwa

eufemisme

adalah

gejala

ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna

5
Universitas Sumatera Utara


yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Misalnya, kata
penjara atau bui diganti dengan ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus
yaitu

lembaga

Kata

pemasyarakatan.

korupsi

diganti

dengan

menyalahgunakan jabatan dan sebagainya.
Eufemisme ini termasuk ke dalam perubahan makna. Menurut Chaer
(2002:132) perubahan makna dapat disebabkan oleh faktor-faktor yakni,

perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial
budaya, perbedaan bidang pemakaian, pertukaran tanggapan indera, perbedaan
tanggapan, adanya proses gramatikal, dan adanya pengembangan istilah.
Selain eufemisme yang merupakan bagian dari perubahan makna, ada juga
beberapa istilah lain yang juga merupakan bagian dari perubahan makna yaitu
makna peyoratif dan makna amelioratif. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi
rendah disebut dengan peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi
disebut amelioratif. Misalnya kata istri dianggap amelioratif dari kata bini yang
dianggap peyoratif.
Djajasudarma (1993: 78), mengatakan bahwa eufemisme ini termasuk ke
dalam pergeseran makna. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) dalam
bahasa Indonesia yang disebut dengan eufemisme (melemahkan makna). Caranya
dapat dengan menggantikan simbolnya baik kata maupun frase dengan yang baru
dan maknanya bergeser, biasanya terjadi pada kata-kata yang dianggap memiliki
makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Misalnya, kata
dipecat yang dirasakan terlalu keras diganti dengan diberhentikan dengan
hormat atau dipensiunkan.

6
Universitas Sumatera Utara


Sedangkan Yandianto (2004: 144) menyatakan bahwa eufemisme
termasuk ke dalam gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa eufemisme ini disebut
juga ungkapan pelembut. Gaya bahasa ini dimaksudkan untuk memperhalus katakata agar terdengar lebih sopan menurut kaidah rasa bahasa. Misalnya, kelaparan
dikatakan dengan kurang makan, gila disebut dengan hilang akal, dan
sebagainya.
Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dan pembicaraan tentang
eufemisme dan tindak tutur khususnya dalam khazanah atau bahasa daerah sudah
ada dilakukan. Di antaranya penelitian Alia Retna Fitriani (2013), Pemakaian
Eufemisme dalam CerkakMajalah Jaya Baya Edisi April-Juli 2012. Kemudian
penelitian Yanti Friska Purba (2013), Kajian tentang Eufemisme pada Tuturan
Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Penelitian lainnya yang berkaitan dengan
topik penelitian penulis adalah yang dilakukan oleh Flora Sinamo, bertajuk
Wacana Merbayo Pada Upacara Perkawinan Batak Pakpak: Kajian Tindak Tutur
(2014).

2.1 Teori yang Digunakan
Dalam penelitian ini sangat dibutuhkan landasan teori, yaitu landasan yang
berupa perenungan terdahulu yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian
dan bertujuan mencari jawaban secarah ilmiah. Teori yang digunakan sebagai

acuan adalah teori eufemisme dan teori tindak tutur. Berikut akan dijelaskan
mengenai kedua teori tersebut.

7
Universitas Sumatera Utara

2.1.1 Bentuk Eufemisme
Sebagai gaya bahasa eufemisme, eufemisme adalah semacam acuanberupa
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain, atau ungkapan-ungkapan
yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin merasakan menghina,
menyinggung

perasaan

orang

atau

menyugestikan


sesuatu

yang

tidak

menyenangkan (Keraf, 1990:132).
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dapat kenyataan makna kata tetap
dipertahankan meskipun lambangnya diganti. Maksud pergantian lambang
tersebut, yakni ingin melemahkan makna agar orang yang dikenai kegiatan tidak
tersinggung. Dengan jalan melemahkan makna, pergeseran makna terjadi pada
kata-kata (frasa) bahasa Indonesia yang disebut eufemisme (melemahkan makna).
Carannya dapat menggantikan simbolnya (kata, frasa) dengan yang baru dan
maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata yang dianggap memiliki
makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya (Djajasudarma,
1993:78).
Eufemisme terjadi pada kata-kata atau frasa yang bermakna terlalu
menyinggung perasaan orang lain yang mengalaminya. Dikatakan pergeseran
makna bukan pembatasan makna, karena dengan pergantian lambang (simbol)
makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufemisme)

menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan bicara atau orang
yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau frasa yang disebutkan)
(Djajasudarma, 1993:79).

8
Universitas Sumatera Utara

Sebagai contoh, kata wanita lebih tinggi nilai rasanya daripada kata
perempuan (Sudaryat, 2009:52). Penggunaan eufemisme mengacu pada
peningkatan makna kata; makna baru dianggap lebih baik atau lebih tinggi
nilainya daripada makna dulu. Dengan eufemisme orang yang dikenai kata atau
urutan kata tersebut tidak terlalu merasakan maknanya secara psikologis. Hal ini
tidak mengherankan sebab bahasa juga perasaan.
Yang dimaksud bentuk di sini adalah satuan-satuan gramatikal yang
digunakan sebagai eufemisme. Satuan gramatika adalah satuan-satuan yang
digunakan arti, baik arti leksikal maupun arti gramatik (Ramlan, 2009: 27). Arti
leksikal adalah arti yang dimiliki atau pada leksem meski tanpa konteks apa pun.
Berbeda dengan arti leksikal, arti gramatik baru ada kalau terjadi proses
gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Satuan gramatik meliputi
morfem, kata, klausa, kalimat, dan wacana. Satuan-satuan gramatik yang

digunakan sebagai eufemisme hanya berupa kata, frasa, dan klausa.
a. Kata
Kata ialah satuan bebas yang paling kecil. Atau dengan kata lain, setiap
satu satuan bebas merupakan kata (Ramlan 2009: 33). Menurut chaer (1994: 162)
kata satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf
yang diapit oleh dua spasi, dan mempunyai satu arti. Berdasarkan defenisi di atas
dapat disimpulkan bahwa kata merupakan satuan yang paling kecil yang memiliki
satu pengertian. Perhatikan contoh-contoh kata berikut: mobil, rumah, sepeda,
ambil, dingin, dan kuliah. Keenam kata yang kita ambil itu kita akui kata karena
setiap kata mempunyai makna. Berbeda dengan kata adepes, libma, ningid, dan

9
Universitas Sumatera Utara

haklak. Kata tersebut bukan termasuk kata dari bahasa Indonesia karena tidak
mempunyai makna. Dalam penelitian ini diamati bentuk eufemisme berupa kata
yang terdapat pada bahasa Batak Toba dengan bahasa Pakpak.
b. Frasa
Frasa ialah satuan gramatikal yanr terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2005: 138). Frasa merupakan

bagian dari klausa, jadi apabila frasa mempunyai ciri-ciri klausa maka tidak lagi
menjadi frasa tetapi klausa (Soepono, 1988: 80). Frasa merupakan satuan
linguistik yang lebih besar dari kata atau lebih kecil dari klausa dan kalimat.
Selain itu frasa merupakan kumpulan kata nonpredikat. Artinya frasa tidak
memiliki predikat dalam strukturnya uwiiesworld.wordpress.com/2011. Jadi dapat
disimpulkan bahwa frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau
lebih yang tidak memiliki predikat dalam strukturnya. Contoh eufemisme yang
berbentuk frasa yaitu pemutusan hubungan kerja yang menggantikan bentuk
pemecatan, pemberlakuan tarif barumenggantikan bentuk kenaikan harga dan
tingkat perekonomian yang rendahmenggantikan bentuk kemiskinan.
c. Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi
predikat. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata dan frasa,
yang berfungsi sebagai predikat, dan yang lainya barfungsi sebagai subjek,
sebagai objek, dan sebagai keterangan ( Chaer, 1994: 231). Soepono (1998: 82)
mendeskripsikan

bahwa

klausa


sebagai

suatu

satuan

gramatikal

yang

berkonstruksi Subjek (S) –Predikat (P). Jadi dapat disimpulkan bahwa klausa

10
Universitas Sumatera Utara

adalah satuan gramatikal yang terdiri dari subjek dan predikat bisa juga disertai
objek keterangan. Contoh uefemisme yang berbentuk klausa yaitu menafkahi
keluarga menggantikan bentuk mencari uang untuk keluarga.


2.2.2 Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech
event) yang merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004:7).
Searle (16:1969) memberi batasan tindak tutur sebagai suatu tanggapan atau
penghasilan kalimat dalam kondisi tertentu yang bisa berupa kegiatan
menyatakan, memerintah, menjawab pertanyaan, berjanji, dan sebagainya. Chaer
dan Leonie (2004:50) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala
individual,

bersifat

psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh

kemampuan bahasasi penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Yule (2006:8)
menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat
tuturan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus,
misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan.
Searle (dalam Tampubolon 2013) yang membagi tindak tutur dalam lima
kategori yaitu representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif,
diantaranya:
1) Representatif ( disebut juga asertif)

11
Universitas Sumatera Utara

Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya pada kebenaran atas
apa yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, memberitahukan, dan
menyebutkan.
2) Direktif
Merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar
lawan tuturndakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyruh,
memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
3) Ekspresif
Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya
diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
Misalnya memuji, mengucapkan terimah kasih, mengkritik, dan menyelak.
4) Komisif
Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah,
mengancam.
5) Deklaratif
Merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Misalnya memutuskan,
membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Dalam tindak tutur dilihat pada makna atau arti tindakan dalam
tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan. Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalan aktivitas dengan
menuturkan sesuatu. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak

12
Universitas Sumatera Utara

dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas
pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai
produk tindak tutur.
Terdapat tiga pembagian makna tindak tutur berdasarkan Austin (2002:16)
yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Ketiga komponen ini mempunyai ciri khas
tersendiri yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1.

Makna lokusi (locutionary act)
Lokusi adalah ‘what is said’ (cutting, 2002:16) atau dengan kata lain

ujaran yang diucapkan oleh penutur, baik bentuknya itu pernyataan, pertanyaan,
maupun perintah. Sementara Levinson (1983:236) menjelaskan bahwa lokusi
adalah “the utterance of a sentence with determinate sense of reference.”
Pengertian yang bisa didapatkan dari penjelasan Levinson ini adalah sikap ujaran
yang mengandung makna ilokusi mempunyai rujukan langsung dalam bentuk
ujarannya. Ujaran tersebut bisa saja berbentuk imperatif, deklaratif, ataupun
interogatif. Untuk melihat makna lokusi, ujaran-ujaran ini dilihat struktur dan
bentuknya secara sintaksis maknanya secara ssemantis.
Makna lokusi dapat diperlihatkan sebagai contoh ujaran “saya tidak uang”
dalam contoh ini, dapat diperhatikan bahwa ujaran yang dituturkan merupakan
sebuah kalimat deklaratif. kalimat dengan bentuk deklaratif mempunyai modus
untuk memberikan informasi kepada lawan tutur. Dengan demikian, makna lokusi
dari contoh tuturan tersebut dalah penutur tidak memiliki uang sebagaimana yang
ia lontarkan dalam ujarannya. Perlu diperhatikan bahwa makna lokusi seperti ini
hanya akan bisa didapatkan jika tuturan dari penutur sesuai dengan konteks yang

13
Universitas Sumatera Utara

muncul. Penutur menuturkan ujaran sebagai informasi kepada lawan tuturnya
bahwa dia tidak memiliki uang.
2.

Makna Ilokusi (Illocutionary act)
Austin menjelaskan ilokusi sebagai ‘the act of saying’ (cutting, 2002:16)

atau tindakan yang muncul melalui sebuah ujaran. Searle menjelaskan bahwa
tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai penuturnya pada waktu menuturkan
sesuatu baik maksud yang merupakan tindakan menyatakan berjanji, meminta
maaf, mengancam, dan sebagainya. (Nadar, 2009:14). Pengertian ini menujukkan,
tindak ilokusi tidak bisa hanya dimaknai hanya bentuk ujaran saja. Tindak ilokusi
semestinya menyingkap makna yang muncul secara eksplisit dalam ujaran serta
makna yang secara implisit turut serta dalam ujaran tersebut.
Makna ilokusi dapat diperhatikan dalam ujaran seperti “tong sampahnya
sudah penuh.” Jika ujaran ini dilihat dari sisi lokusinya maka ujaran ini hanya
mempunyai bentuk deklaratif dengan modus memberi informasi kepada lawan
tutur bahwa tong sampah yang dimaksudkan telah penuh. Jika pemaknaan secara
kontekstual yang spesifik dilekatkan kepada ujaran ini, maka makna ini
mempunyai tindak ilokusi. Jika tuturan ini dilontarkan oleh majikan kepada
pembantunya, maka ujaran ini menjadi perintah pembantu untuk mengosongkan
tong sampah. Dengan demikian makna ilokusi adalah makna yang mampu
memberikan daya kepada lawan tutur untuk melakukan sesuatu dengan sebuah
penuturan yang muncul.
3.

Makna Perlokusi (perlocutionary act)

14
Universitas Sumatera Utara

Levinson menyebutkan bahwa tindak perlokusi adalah efek yang muncul
pada pendengar terhadap ujaran yang didengarkan. Dengan demikian, makna yang
muncul dari tuturan tidak hanya berhenti pada maksud apa yang disampaikan oleh
penutur melalui ujarannya tetapi juga kemampuan maksud tersebut ditanggapi
oleh penutur. Efek yang muncul bisa saja sesuai dengan harapan penutur bisa saja
tidak. Untuk itu, Austin (cutting, 2002:17) menyebutkan bahwa daya perlokusi
sebagai perlocutionary effect karena makna tuturan dilihat dari tanggapan petutur
terhadap sebuah ujaran.
Sebagai contoh adalah ujaran “Kebakaran” jika tuturan ini disampaikan
oleh orang yang ingin meminta tolong untuk memadamkan api, maka efek
perlokusi yang muncul dari ujaran ini bisa saja menjadi perlokusi yang sesuai
dengan maksud penutur dan berlawanan. Petutur bisa saja bergegas membantu
penutur untuk memadamkan api akibat kebakaran. Akan tetapi, tidak tertutup
kemungkinan bahwa melalui ujaran meminta tolong yang dituturkan penutur,
petutur memberikan efek yang berbeda. Petutur bisa saja memberikan efek
perlokusi berupa lari ketakutan karena merasa takut akan menjadi korban
kebakaran.
Efek perlokusi dapat dikatakan sebagai bentuk nyata dorongan tuturan
kepada petutur sehingga memberikan efek. Kemungkinan akan adanya efek yang
tidak berkesesuaian dengan maksud dari penutur bisa saja muncul. Hal ini bisa
saja kembali pada konteks situasi tutur yang melekat dari ujaran yang muncul
dalam peristiwa tutur.

15
Universitas Sumatera Utara