Eufemisme Pada Tindak Tutur Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Pakpak Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode artinya cara tepat untuk melakukan sesauatu. Sudaryanto (1982:2),
mengatakan “Metode adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan
pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan”.
Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan,
dan menganalisis sampai dengan menyusun laporan. Jadi, metode penelitian
adalah ilmu mengenai jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman.

3.1 Metode Dasar
Metode dasar yang dipergunakan dalam penganalisis ini adalah metode
deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Metode ini dilakukan agar dapat
menyajikan dan menganalisis data secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerahnya.
Surakhmad (1978:739) mengatakan bahwa penelitian deskriptif adalah
penelitian yang mencoba menggambarkan dan menganalisis data mulai dari tahap
pengumpulan data, penyusunan data dan analisis interpretasi terhadap data.
Tujuan metode deskriptif ialah membuat pembahasan secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerah tertentu.
Secara harafiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang memaparkan secara


16
Universitas Sumatera Utara

lebih rinci hubungan antara suatu objek tertentu dengan populasi yang ada di
daerah tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Desa Rianiate, Kecamatan Pangururan,
Kabupaten Samosir dan Kelurahan Parongil, Kecamatan Silima Pungga-pungga,
Kabupaten Dairi. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan melatarbelakangi bahwa
kedua daerah tersebut menggunakan bahasa yang diteliti.
Penelitian ini dilakukan di Desa Rianiate, Kecamatan Pangururan,
Kabupaten Samosir pada tanggal 25 Januari sampai dengan 14 Februari 2016 dan
di kelurahan Parongil, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi pada
tanggal 15 Februari sampai dengan 27 Februari 2016. Desa Rianiate adalah salah
satu desa yang berada di Kecamatan Pangururan. Latar belakang desa Rianiate
tidak jauh berbeda dengan desa-desa lainnya di kabupaten Samosir. Nama Riniate
sudah dikenal jauh sebelumnya, bahkan ketika desa dikenal dengan istilah
kampung tersendiri dan dipimpin oleh seorang kepala kampung. Bahkan jika

ditelusuri lagi jauh kebelakang, Rianiate merupakan sebuah “Kenegrian”.
Kenegrian Rianiate adalah wilayah pemerintahan menurut adat Batak Toba,
dimana menurut catatan sejarah pada tahun 1908 Belanda sudah mengakui
keberadaan kenegrian Rianiate yang dikenal dengan nama kenegrian Rianiate
yang dipimpin oleh Kepala Negeri, yang pada masa penjajahan Belanda sekaligus
ditetapkan sebagai Ketua Pengadilan Bius dan digelari Tuan. Terakhir

17
Universitas Sumatera Utara

kepemimpinan di Rianiate dipegang oleh Nagari Arnatus Sitanggang. Setelah itu
pimpinan menaglami pergeseran yakni dipegang oleh beberapa kampung di
antaranya adalah Apajongga Simbolon, Mulia simbolon, Kampung Maniru
Malau, Apangalanggas Sitanggang, Amarjapodi Simbolon, Linsius Naibaho dan
terakhir Kepala kampung Rianiate dipegang oleh Mangantar Siboro.
Luas wilayah desa Rianiate sekitar 1.200 Ha sebagian berupa daratan
yang berpotografi berbukit-bukit, dan sebagian lagi daratan dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian dan memanfaatkan sebagai lahan pertanian sayur dan areal
perkebunan rakyat. Desa Rianiate terdiri dari 3 dusun dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut.

Sebelah utara berbatasan dengan desa Hutanamora kecamatan Pangururan.
Sebelah timur berbatasan dengan desa Parmonangan kecamatan Pangururan, dan
desa paraduan kecamatan Ronggur ni huta. Sebelah selatan berbatasan dengan
kecamatan Palipi dan sebelah barat berbatasan dengan danau toba. Luas wilayah
desa rianiate adalah sekitar 12 km2 atau 1.200 Ha dimana 4% berupa daratan yang
berfotografi berbukit-bukit, 6% daratan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
yang dimanfaatkan untuk persawahan irigasi, persawahan tadah hujan dan areal
perkebunan rakyat.
Keadaan sosial masyarakat Desa Rianiate cukup baik, keadaan ini juga
didukung oleh masyarakatnya yang tidak terlalu heterogen, masyarakat desa
Rianiate terdiri dari tiga etnis yaitu etnis Batak Toba, etnis Nias dan dan etnis
Jawa, adapun etnis Nias tersebut adalah di karenakan perkawinan, makanya etnis
Nias yang ada di desa Rianiate didominasi perempuan (istri). Penduduk Rianiate

18
Universitas Sumatera Utara

menganut agama kristen protestan, agama katolik dan agama Islam, meskipun
demikian masyarakat desa Rianiate tidak pernah manjadikan perbedaan itu
sebagai konflik sehingga kerukunan hidup beragama selalu terjaga.

Dari sisi sosial budaya, desa Rianiate sudah sejak lama dikenal sebagai
sebuah wilayah adat dan terpelihara hingga saat ini, desa Rianiate identik dengan
“Bius” Rianiate yang dikenal dengan “Bius Siualutali”. Dalam kehidupan seharihari adat Batak sangat dominan dan sudah tertata dengan baik oleh para tetuatetua di desa Rianiate. Beberapa hal yang belum tercipta adalah kelompokkelompok seni budaya, hal ini tentunya menjadi tugas pemerintah desa kedepan
untuk menciptakan kelompok seni dalam mengangkat citra desa Rianiate
sekaligus menjadi sarana pembinaan kaum muda dan kepariwisataan.
Kelurahan Parongil Kecamatan Silima Pungga-pungga merupakan satu
dari 15 Kecamatan yang ada di Kabupaten Dairi. Kelurahan Parongil terbentuk
tepatnya tanggal 1 januari 1991. secara geografis terletak pada bagian barat laut
dari Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi pada ketinggian berkisar antara 700 –
1.100 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 260C – 320.
Luas wilayah ± 83,40 KM2 (8.340 HA) dimana sebagian besar arealnya terdiri
dari pegunungan yang bergelombang dengan tingkat kemiringan tanah bervariasi
antara 00-250, dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan
Siempat Nempu Hilir, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lae Parira,
sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Aceh NAD dan Kabupaten Pakpak
Bharat batas alam kawasan hutan lindung register 66 Batu Ardan, dan sebelah
barat Berbatasan dengan Provinsi Aceh NAD.

19
Universitas Sumatera Utara


Penduduk Kecamatan Silima Punga-pungga secara umum merupakan suku
Batak yang didominasi oleh etnis Toba (± 85%), disamping etnis Pakpak (± 12%),
Karo, Simalungun, dan lain-lain (± 3%). Penduduk Kecamatan Silima Punggapungga mayoritas memeluk agama Kristen Protestan, sedangkan selebihnya
memeluk agama Islam dan Katolik. Jika

dilihat dari segi pendidikan yang

terserap di masyarakat, masyarakat Parongil sudah berkembang dilihat dari data
yang ada bahwa setiap KK yang ada rata personil keluarga sudah melalui jenjang
SMA, bahkan S1 dan S2.

3.3 Instrumen Penelitian
Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan
instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang diajukan penulis dalam
melakukan wawancara dengan informan. Alat bantu yang digunakan yaitu :
1. Handphone (ponsel).
2. Kamera.
3. Alat tulis.


3.4 Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
3.4.1 Observasi

20
Universitas Sumatera Utara

Metode ini dilakukan untuk mengamati secara langsung daerah tempat
penelitian untuk mendapatkan informasi yang mampu memberikan informasi data
yang dibutuhkan, tehnik yang dipergunakan penulis adalah tehnik catat.
3.4.2 Wawancara
Wawancara atau interview, yakni mengadakan wawancara terhadap
informan, bertanya langsung tentang hal-hal yang berhubungan serta mencatat
semua jawaban yang diberikan. Wawancara tidak langsung yaitu sambil bercakapcakap lalu dicatat data yang diperlukan.
Maka peneliti menentukan informan penelitian yang diharapkan memiliki
kemampuan untuk memberikan data informasi terhadap masalah yang sedang
dikaji. Dalam penelitian ini, informan penelitian (responden) ditentukan secara
bertujuan, yakni orang-orang yang dipilih dan ditentukan memiliki kemampuan
untuk menjelaskan yang berhubungan dengan data yang dikaji.
3.4.3 Dokumentasi

Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai
hal-hal atau variable yang berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, agenda, dan
lain sebagainya (Arikunto, 2006:236)
Dalam penelitian ini, metode dokumentasi yang dilakukan penulis adalah
dengan

mengumpulkan data-data melalui pencatatan atau tertulis,

dan

dokumentasi dalam bentuk gambar yang ada di kawasan desa Rianiate dan
kelurahan Parongil.

21
Universitas Sumatera Utara

3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah
data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah. Pada dasarnya dalam
menganalisis data diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan

peneliti dalam menalar sesuatu. Adapun langkah-langkah analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Menuliskan data yang diperoleh dari lapangan dan mendeskripsikan tindak
tutur lisan ke dalam tulisan sehingga akan tergambar dengan jelas proses
bagaimana tindak tutur dalam masyarakat Batak Toba dan bahasa Pakpak
b) Menerjemahkan data ke dalam bahasa Indonesia.
c) Mengklasifikasikan data sesuai dengan objek penelitian.
d) Menganalisis data sesuai dengan rumusan masalah.
e) Membuat kesimpulan dari hasil penelitian.

22
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1

Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur dalam Bahasa Batak Toba
dengan Bahasa Pakpak

Dalam kehidupan sehari-hari pada suatu masyarakat,sering kali dijumpai

penggunaan sejumlah kata jika diucapkan tidak pada tempatnya, maka si penutur
dianggap tidak memiliki sopan santun atau tidak tahu bahasa. Bahasa Batak Toba
dan bahasa Pakpak dalam kesehariannya sangatlah fungsional. Pemakaiannya
meliputi lingkungan yang sangat luas, hampir disemua tempat dan situasi.
Penggunaan bahasa Batak Toba dan juga Pakpak tidaklah sekaku dalam
pemakaian bahasa pada upacara adat istiadat.
Dalam bahasa Batak Toba maupun bahasa Pakpak penggunaan eufemisme
biasanya dihubungkan dengan penggunaan kata-kata yang dianggap halus atau
sopan dalam berbicara oleh si pemakai bahasa lainya.Eufemisme muncul karena
adanya konsep kata yang bermakna kasar. Selain itu, penggunaan suatu kata dapat
berkaitan dengan adanya kepercayaan yang bersifat magis, atau dalam anggapan
mereka bahwa kata-kata tersebut dianggap tabu apabila diucapkan sehingga
digunakanlah penghalusan bahasa.
Dalam berkomunikasi, pengguna bahasa hendaknya memperhatikan kata
yang digunakan dalam penyampaian ide atau maksud kepada orang lain.
Pengguna bahasa tidak berbicara sembarangan, tetapi memperhatikan pilihan kata

23

Universitas Sumatera Utara

dan situasi. Dalam bahasa batak Toba dengan bahasa Pakpak, eufemisme muncul
dengan adanya konsep kata kasar, tidak sopan, atau kurang sopan. Penggunaan
kata yang demikian diakibatkan oleh adanya kepercayaan yang bersifat tabu.Bila
dilihat dari situasi hidup masyarakat batak Toba dan Pakpak masih tetap diwarnai
oleh aturan-aturan memaparkan beberapa kata yang mengandung eufemisme
dalam lingkungan masyarakat batak Toba dan Pakpak.
Dari hasil penelitian dapat dikelompokkan bahwa dalam bahasa Batak
Toba dan bahasa Pakpak memiliki wujud eufemisme pada tindak tutur yang
meliputi: (1) representatif, (2) direktif, (3) komisif, (4) ekspresif, (5) deklaratif.
Bentuk eufemisme pada jenis tindak tutur tersebut dapat dilihat pada paparan
berikut.

4.1.1 Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur Representatif dalam Bahasa
Batak Toba dengan Bahasa Pakpak
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang dituturkan penuturnya
dengan maksud untuk memberitahukan sesuatu kepada mitra tutur. Termasuk
jenis tindak tutur ini


misalnya menjelaskan,

menyatakan,

melaporkan,

menyebutkan, mengumumkan, mengemukakan pendapat, dan sebagainya. Dari
tindak tutur representatif terdapat bentuk eufemismenya yang berbentuk kata,
frasa dan klausa.

24
Universitas Sumatera Utara

4.1.1.1Eufemisme Berbentuk Kata
Bentuk eufemisme berbentuk kata pada tindak tutur representatif yang
ditemukan penulis dalam penelitian di lokasi terdapat pada percakapan seharihari. Hal ini terlihat dari tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran
dan menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Seperti contoh di bawah ini :
(1)

Nunga laho be ibana manganju asa mulak tu jabu. (BBT)
‘Dia sudah pergi membujuk supaya pulang ke rumah’.
Kalimat di atas mengandung data uefemisme berupa kata manganju (BBT)

dalam bahasa Batak Toba yang digunakan dalam bahasa sehari-hari memiliki
makna lebih halus daripada kata mangelek(BBT) mempunyai arti membujuk.
Manganju(BBT) merupakan kata berimbuhan dari bentuk dasar anju(BBT) dan
mangelek(BBT) merupakan kata berimbuhan dari bentuk dasar elek(BBT) yang
sama-sama memiliki arti bujuk tergolong dalam kata kerja.
Dalam bahasa Pakpak dapat dilihat dari percakapan tersebut memiliki
eufemisme bentuk kata yaitu sebagai berikut:
(2)

Ia enggo laus mengelek lako mi sapo. (BP)

‘Dia sudah pergi membujuk supaya pulang ke rumah’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur melaporkan. Melaporkan adalah
memberitahukan (KBBI, 1997:566). Tuturan di atas merupakan contoh tindak
tutur melaporkan sebab berisi informasi yang penuturnya terkait oleh kebenaran
isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu

25
Universitas Sumatera Utara

memang fakta dan dapat dibuktikan bahwa penutur tersebut melaporkan
seseorang itu sudah membujuk agar pulang ke rumah.
Kata anju dan elek merupakan bagian dari sikap dan tutur kata santun
dalam budaya masrayakat batak Toba. Begitu juga dengan bahasa Pakpak kata
mengelek(BP)dan ki bujuk(BP)adalah tuturan yang dipakai dalam percakapan
sehari-hari. Kedua bahasa dalam bentuk kata tersebut mempunyai arti membujuk
agar pihak yang dimohonkan sudi kiranya, atau memaklumi adanya, atau dengan
merendah hati untuk dapat pengertian dari pihak lain. Petuah dari Batak, apabila
seseorang menyadari kesalahannya, ia sebaliknya berusaha meminta supaya pihak
yang mungkin merasa dirugikan dapat memaafkan atau menerima secara ikhlas.
Apabila kata manganju(BBT) diganti dengan kata mangelek(BBT) dalam
bahasa Batak Tobamaka kalimat tersebut terlihat seperti ini :
(3)

Nungnga laho be ibana mangelek asa mulak tu jabu. (BBT)
‘Dia sudah pergi membujuk supaya pulang ke rumah’.

Sedangkan dalam bahasa Pakpak kata mengelek(BP) diganti dengan kata ki
bujuk(BP) maka kalimat tersebut terlihat seperti berikut:
(4)

Ia enggo laus ki bujuk lako mi sapo. (BP)

‘Dia sudah pergi membujuk supaya pulang ke rumah’.
Kedua data kalimat diatas juga sering dipakai pada percapakapan seharihari. Tergantung pada orang yang menyampaikannya pada saat berkomunikasi
dan dari segi bahasanya kita dapat melihat nilai kesantunan dalam berbahasa.

26
Universitas Sumatera Utara

4.1.1.2 Eufemisme Berbentuk Frasa
Eufemisme berbentuk frasa dapat ditemukan dari percakapan sehari-hari
pada masyarakat Batak Toba dan juga dalam bahasa Pakpak. Bentuk frasa
tersebut dapat kita lihat dari contoh tindak tutur sebagai berikut :
(5)

Dung marumur 20 taon, diboto si Parulian do na mangolu do pe Among
Parsinuan na i. (BBT)
‘Setelah berusia 20 tahun, Parulian baru mengetahui bahwa Ayah
Kandungnya masih hidup’.

(6)

Mula enggo umur 20 tahun, Parulian baru memetto engelluh deng pertuah na
daholi na. (BP)

‘Setelah berusia 20 tahun, Parulian baru mengetahui bahwa Ayah
Kandungnya masih hidup’.
Tuturan di atas merupakan tindak tutur melaporkan atau memberitahukan
kepada seorang anak yang sudah lama dia belum tahu bagaimana kehidupan
seorang ayahnya yang masih hidup. Dalam penyampaian kalimat tersebut
merupakan tuturan yang lebih sopan.
Kalimat di atas mengandung data eufemisme dalam bahasa Batak Toba
berupa Among Parsinuan(BBT). Eufemisme Among Parsinuaan(BBT) memiliki
makna halus daripada kata Bapa(BBT) atau juga kata Amang(BBT). Frasa Among
parsinuan(BBT) memang sudah jarang sekali dipakai dalam percakapan seharihari dikarenakan kebiasaan masyarakat dilingkungannya. Begitu juga dalam

27
Universitas Sumatera Utara

bahasa Pakpak, kalimat bahasa Pakpak mengandung data eufemisme yaitu berupa
pertuah na daholi (BP). Eufemisme pertuah na daholi (BP) memiliki makna lebih
halus daripada Bapa (BP).
Apabila data eufemisme bahasa Batak Toba diganti dengan Amang (BBT)
maka terlihat seperti berikut:
(7)

Dung marumur 20 taon, diboto si Parulian do na mangolu do pe Amangna
i. (BBT)
‘Setelah berusia 20 tahun, Parulian baru mengetahui bahwa Ayah
Kandungnya masih hidup’.

Dan juga bila data eufemisme bahasa Pakpak diganti dengan Bapa (BP) terlihat
seperti berikut:
(8)

Mula enggo umur 20 tahun, Parulian baru memetto engelluh deng Bapa kalon
na.(BP)

‘Setelah berusia 20 tahun, Parulian baru mengetahui bahwa Ayah
Kandungnya masih hidup’.

4.1.1.3 Eufemisme Berbentuk Klausa
Eufemisme berbentuk klausa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dengan bahasa Pakpak pada pecakapan sehari-hari. Bentuk
klausa tersebut dapat kita lihat dari contoh sebagai berikut :

28
Universitas Sumatera Utara

(9)

Sai diramoti Debata do angka jolma na serep marroha mangulahon ulaon
na denggan siganup ari. (BBT)
‘Senantiasa diberkati Tuhannya orang yang baik melakukan perbuatan yang
baik setiap hari’.

(10) I berkati Debata mo kalak simende basa na memettoh merlakon
‘Senantiasa diberkati Tuhannya orang yang baik melakukan perbuatan yang
baik setiap hari’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur memberkati. Memberkati adalah
memberi berkat (tentang Tuhan); mendoa supaya tuhan mendatangkan berkah;
mendatangkan kebaikan, keselamatan, dsb (KBBI, 1997:124). Tuturan di
atasmerupakan tindak tutur memberkati kepada orang yang selalu memiliki hati
yang baik atau tabah dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidup. Menjadi
pribadi yang baik adalah keinginan setiap orang yang bisa membawa kebaikan
bagi sekitarnya, terutama bagi lingkungan keluarga. Masyarakat Batak Toba
memiliki ungkapan-ungkapan yang bermakna untuk kebaikan dalam hidup.
Ungkapan-ungkapan tersebut menjadikan pedoman bagi orang Batak Toba dalam
kehidupannya dan selalu mengingat nasehat para leluhur yang mewariskan
kebaikan kepada generasinya. Begitu juga dengan masyarakat Pakpak memiliki
sifat yang rendah hati dan tabah dalam menjalani hidup. Seperti dalam
perumpamaan bahasa Pakpak yaitu ulang mersisintak bana bage laklak ni
nderrung (jangan seperti kulit kayu nderrung yang saling tarik menarik).
Perumpamaan ini ditujukan kepada keluarga dan masyarakat yang selalu tidak
29
Universitas Sumatera Utara

dapat menyatukan pendapat untuk mencapai tujuan. Mereka yang berkeras hati
untuk mempertahankan prinsip masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan
kerendahan hati dan kemauan membuka pikiran terhadap pendapat orang lain.
Janganlah menjadi orang duhul (BP). Duhuli (BP)adalah istilah masyarakat
Pakpak bagi orang yang selalu merasa diri lebih benar, selalu maha tahu dan juga
selalu membantah pendapat orang lain. Selalu menolak nasehat orang lain,
menganggap diri lebih tinggi dari yang lain. Dengan demikian, sifat duhul
(BP)tidak boleh diteladani.
Kalimat di atas mengandung data eufemisme dalam bahasa Batak Toba
berupa klausa yaitu na serep marroha(BBT) yang memiliki arti baik atau tabah.
Klausa na serep marroha(BBT) memiliki makna lebih halus daripada burju(BBT)
dalam konteks kalimat di atas tersebut dikarenakan tuturan yang mengandung
kalimat memberkati agar terdengar lebih halus. Apabila klausa na serep
marroha(BBT) diganti dengan kata burju(BBT), maka akan terlihat seperti
berikut:
(11)

Sai diramoti Debata do akka jolma na burju mangulahon ulaon na
denggan siganup ari. (BBT)
‘Senantiasa diberkati Tuhannya orang yang baik melakukan perbuatan yang
baik setiap hari.’
Dalam bahasa Pakpak, data eufemisme yaitu simende basa(BP) memiliki

makna lebih halus daripada burju (BP). Apabila eufemisme simende basa
(BP)diganti dengan kataki burju(BP), maka akan terlihat seperti berikut:

30
Universitas Sumatera Utara

(12)

I berkati Debata mo kalak ki burju na memettoh merlakon. (BP)
‘Senantiasa diberkati Tuhannya orang yang

baik melakukan perbuatan

yang baik setiap hari’.

4.1.2 Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Batak
Toba dengan Bahasa Pakpak
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dituturkan penuturnya
dengan maksud untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu. Termasuk jenis
tindak tutur ini misalnya menyuruh, memohon, meminta, menuntut, memesan,
menasehati, menghimbau, melarang, mendesak, mengharap, dan sebagainya.
Tindak tutur direktif yang digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari pada
bahasa Batak Toba dengan bahasa Pakpak memiliki makna dalam setiap bahasa
tersebut seperti dalam pembahasan berikut.

4.1.2.1 Eufemisme Berbentuk Kata
Eufemisme berbentuk kata dapat ditemukan pada tindak tutur direktif
dalam bentuk kalimat bahasa Batak Toba. Bentuk kata dapat dilihat dalam contoh
berikut:
(13)

Nuaeng pe, hujalo hami ma hahadoli dohot anggidoli nami mardos ni
tahi hamu manang ise bahenon muna na gabe mandok hata. (BBT)

31
Universitas Sumatera Utara

‘Sekarang pun, kami minta agar abang dan adik kami sepakat memilih
siapa pembicaranya.’
(14)

Begendari mendilo asa merdos ate karina dengan-dengan kipilih
pengeranannta i jolo.
‘Sekarang pun, kami minta agar abang dan adik kami sepakat memilih
siapa pembicaranya.’
Tuturan di atas merupakan tindak tutur meminta. Meminta adalah berlaku

supaya diberi atau mendapat sesuatu (KBBI, 1997:675). Tindak tutur meminta
merupakan tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dengan berlaku supaya diberi
atau mendapat sesuatu dari mitra tutur. Dalam budaya Batak Toba tuturan di atas
terjadi pada saat acara adat seperti marhata sinamot, marunjuk, mangadathon,
mangopoi jabu, mamestahon tamba ni ompu, dan lain-lain. Selalu ada jurubicara
atau utusan pembicara/ pande hata dari pihak keluarga yang beracara (hasuhutan).
Pada budaya Pakpak, acara adat Pakpak tidak jauh berbeda dengan Batak
lainnya.Terdapat persamaan secara umum, namun tetap saja ada hal yang
membedakannya sesuai dengan adat dan budaya Pakpak.
Upacara adat Pakpak juga memiliki jurubicara disebut perkata kata.
Seorang perkata kata ditentukan oleh pihak keluarga yang memiliki acara dan
didiskusikan pihak keluarga (sungkun simpanganen) siapa yang pantas menjadi
perkata kata. Seorang perkata kata memiliki beberapa kriteria antara lain satu
marga, pandai berbicara dan berwawasan luas, dan mengenal keseluruhan aspek
kehidupan budaya Pakpak.

32
Universitas Sumatera Utara

Kalimat di atas mengandung data eufemisme yaitu mardos ni tahi(BBT)
yang mempunyai makna lebih halus daripada sahata (BBT). Penggunaan
eufemisme mardos ni tahi (BBT) lebih tepat penggunaanya pada tindak tutur
meminta yang terjadi di dalam upacara adat. Jika eufemisme mardos ni tahi(BBT)
diganti dengan kata sahat (BBT), maka akan terlihat seperti ini:
(15)

Nuaeng pe, hujalo hami ma hahadoli dohot anggidoli nami sahata hamu
manang ise bahenon muna na gabe mandok hata. (BBT)
‘Sekarang pun, kami minta agar abang dan adik kami sepakat memilih
siapa pembicaranya.’
Kemudian kita lihat dalam bahasa Pakpak eufemisme merdos ate (BP)

apabila diganti dengan kata sada kata (BP) terlihat sebagai berikut:
(16)

Begendari mendilo asa sada kata karina dengan-dengan kipilih
pengeranannta i jolo. (BP)
‘Sekarang pun, kami minta agar abang dan adik kami sepakat memilih
siapa pembicaranya.’

4.1.2.2 Eufemisme Berbentuk Frasa
Eufemisme berbentuk frasa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak. Bentuk frasa tersebut dapat kita lihat dari
contoh sebagai berikut :

33
Universitas Sumatera Utara

(17) Sude jolma ingkon marujung molo jumpang tingki na. Sada pe sian hita
ndang adong na boi pasidinghon i. Alai pangidoanta, molo tung pe
hita marujung ngolu nian sian hasiangan on, asa jolo sahat ma nian hita tu
saur-matua. Ima songon pangidoan dohot elek-elek tu Tuhanta. (BBT)
‘Semua manusia akan mati jika sudah waktunya. Tidak satu pun yang bisa
menghindari. Tapi harapan kita, walaupun kita meninggal dunia, kiranya
kita sampai sudah semua berumah tangga dari seluruh anak-anaknya.
Begitulah harapannya kepada Tuhan’.
(18) Karina jelma lako mate. Sada pe oda boi enggelluh selama na. Tapi pangidoon,
mendahi ken Tuhan, mula ndilo Tuhan Debata pe kita i breken bekas si mendena.
(BP)

‘Semua manusia akan mati jika sudah waktunya. Tidak satu pun yang bisa
menghindari. Tapi harapan kita, walaupun kita meninggal dunia, kiranya
kita sampai sudah semua berumah tangga dari seluruh anak-anaknya.
Begitulah harapannya kepada Tuhan’.
Tuturan di atas merupakan tindak tutur mengharap. Mengharap adalah
berharap akan, menantikan, menginginkan supaya sesuatu terjadi (KBBI:388).
Tindak tutur mengharap merupakan tindak tutur yang disampaikan oleh penutur
kepada mitra tutur atau kepada yang lain di luar mitra tutur dengan berharap,
menantikan sesuatu terjadi. Tuturan diatas mengandung makna yaitu mengenai
harapan yang diajukan oleh seseorang yang sedang menyampaikan dalam doanya
agar Tuhan memberikan panjang umur yang tinggi atau dalam masyarakat Batak

34
Universitas Sumatera Utara

Toba kata saur-matua (BBT) adalah orang yang telah meninggal dunia yang
sudah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan, karena jika
sudah saur-matua(BBT) itu adalah sesuatu yang dibanggakan dalam kekerabatan
dan biasanya hal seperti ini harus dilakukan upacara adat yang besar sebagai tanda
penghormatan untuk orang tua yang sudah saur matua(BBT). Begitu juga pada
masyarakat Pakpak memiliki upacara adat kematian yang disebut upacara mate
ncayur ntua (BP).Pada masyarakat Pakpak, upacara mate ncayur ntua (BP) adalah
istilah upacara adat yang terkait dengan suasana hati tidak gembira dinamakan
kerja njahat (BP).
Kalimat di atas mengandung dalam bahasa Batak Toba, data eufemisme
berupa frasa marujung ngolu(BBT) yang mempunyai arti mati atau meninggal
dunia. Frasa marujung ngolu(BBT) memiliki makna lebih halus daripada kata
mate (BBT) yang mempunyai arti sama. Penggunaan frasa marujung ngolu(BBT)
lebih tepat pemakaiannya daripada kata mate(BBT) pada tindak tutur memohon
karena penyampaianya di sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam bahasa Pakpak, data eufemisme pada kalimat tersebut
berupa frasa ndilo Tuhan Debata (BP) juga memiliki makna lebih halus daripada
mate (BP). Selain daripada frasa ndilo Tuhan Debata (BP) kata monggil
(BP)memiliki makna halus. Masyarakat Batak Toba dan Pakpak adalah
masyarakat yang memiliki nilai keagamaan yang tinggi. Oleh sebab itu, dalam
berdoa mereka memakai bahasa yang lebih sopan untuk meminta kepada Tuhan
dalam kepercayaan kedua masyarakat tersebut.

35
Universitas Sumatera Utara

Jika frasa marujung ngolu(BBT) diganti dengan kata mate(BBT), akan
terlihat seperti ini:
(19) Sude jolma ingkon marujung molo jumpang tingki na. Sada pe sian hita
ndang adong na boi pasidinghon i. Alai pangidoanta, molo tung pe
hita mate nian sian hasiangan on, asa jolo sahat ma nian hita tu saurmatua. Ima songon pangidoan dohot elek-elek tu Tuhanta. (BBT)
‘Semua manusia akan mati jika sudah waktunya. Tidak satu pun yang bisa
menghindari. Tapi harapan kita, walaupun kita meninggal dunia, kiranya
kita sampai sudah semua berumah tangga dari seluruh anak-anaknya.
Begitulah harapannya kepada Tuhan’.
Kemudian kita lihat dalam bahasa Pakpak apabila diganti dengan kata mate
(BP) terlihat sebagai berikut:
(20) Karina jelma lako mate. Sada pe oda boi enggelluh selama na. Tapi pangidoon,
mendahi ken Tuhan, mula matepe kita i breken bekas si mendena. (BP)

‘Semua manusia akan mati jika sudah waktunya. Tidak satu pun yang bisa
menghindari. Tapi harapan kita, walaupun kita meninggal dunia, kiranya
kita sampai sudah semua berumah tangga dari seluruh anak-anaknya.
Begitulah harapannya kepada Tuhan’.

36
Universitas Sumatera Utara

4.1.2.3 Eufemisme Berbentuk Klausa
Eufemisme berbentuk klausa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak. Bentuk klausa tersebut dapat kita lihat
dari contoh sebagai berikut :
(21) Marneang ni langka dohot las ni roha ma dihamu laho mandohoti ulaon
pamasumasuon di ari naeng ro. (BBT)
‘Berbahagialah kepada kalian yang di undang di acara pesta kami ini pada
hari yang akan datang’.
(22) Merlolo ni ate mo ke karina i dilo kami i bagasen pesta lako si roh. (BP)
‘Berbahagialah kepada kalian yang di undang di acara pesta kami ini pada
hari yang akan datang’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur mengajak. Mengajak adalah
membangkitkan hati supaya melakukan sesuatu (KBBI, 2005:17). Tindak tutur
mengajak adalah tindak tutur yang dilakukan penutur yang menginginkan mitra
tutur supaya melakukan sesuatu. Tuturan di atas merupakan tindak tutur mengajak
kepada setiap orang yang diundang agar menghadiri pesta yang akan berlangsung
di waktu yang sudah ditetapkan. Pada masyarakat Batak Toba biasanya saat
mengundang atau mengantarkan undangan, undangan di antar ke rumah yang
ditujukan. Begitu juga dengan bahasa Pakpak memiliki bahasa yang lebih sopan.
Kemudian tuturan tersebut disampaikan dengan maksud supaya yang akan di

37
Universitas Sumatera Utara

undang merasa terhormat dan penting di acara pesta dan yang mengundang
dengan senang menyampaikan harapannya pada kedatangan para undangan.
Kalimat di atas mengandung data eufemisme bahasa Batak Toba
marneang langka dohot las ni roha(BBT) yang mempunyai arti bersukacita atau
berbahagia.Marneang langka dohot las ni roha(BBT) memiliki makna lebih halus
daripada marlas ni roha(BBT). Apabila marneang ni langka dohot las ni
roha(BBT) diganti dengan marlas ni roha(BBT) maka kalimat tersebut terlihat
seperti ini :
(23)

Marlas ni roha ma dihamu laho mandohoti ulaon pamasumasuon di ari
naeng ro. (BBT)
‘Berbahagialah kepada kalian yang di undang di acara pesta kami ini pada
hari yang akan datang’.

Kalimat bahasa Pakpak juga mengandung bentuk eufemisme yaitu merlolo ni ate
mo ke karina (BP) yang memiliki makna lebih sopan daripada lias ni ate (BP).
Apabila merlolo ni ate mo ke karina (BP) diganti dengan lias ni ate (BP) maka
akan terlihat seperti ini:
(24) Lias ni atemo ke karina i dilo kami i bagasen pesta lako si roh. (BP)
Berbahagialah kepada kalian yang di undang di acara pesta kami ini pada
hari yang akan datang’.

38
Universitas Sumatera Utara

4.1.3 Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur komisif dalam Bahasa Batak
Toba dengan Bahasa Pakpak
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk
menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu untuk lawan tutur. Tindak
tutur ini sedikit banyak terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya
seperti menjanjikan, menawarkan, bersumpah dan mengancam. Tujuan tindak
tutur ini adalah mewajibkan si penutur melakukan suatu tindakan di masa depan.
Pada tindak tutur komisif ini terdapat juga bentuk eufemisme kata, frasa dan
klausa dalam bahasa batak Toba.

4.1.3.1 Eufemisme Berbentuk Kata
Eufemisme berbentuk kata pada tindak tutur komisif yang ditemukan
penulis dalam penelitian di lokasi terdapat pada percakapan sehari-hari. Dapat
dilihat dalam contoh berikut:
(25)

Huilala jolo maradi majo hamu nian tu bagas nami on, ala nungnga di
parade hami sipanganon tu hamu na. Asa boi muse torushonon muna
pardalanan muna muse. (BBT)
‘Saya kira beristirahatlah dulu kalian ke rumah kami ini, karena kami
sudah menyediakan makanan untuk kalian. Supaya bisa kalian teruskan
perjalanan kalian lagi’.

39
Universitas Sumatera Utara

(26)

Merbengin mo kene i bages nami en,kumerna enggo kusediaken kami ngo
panganen deket enumen bai ndene, asa boi ke kilanjutken perdalanan
ndene.(BP)
‘Saya kira beristirahatlah dulu kalian ke rumah kami ini, karena kami
sudah menyediakan makanan untuk kalian. Supaya bisa kalian teruskan
perjalanan kalian lagi’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur menawarkan. Menawarkan

adalah menunjukkan sesuatu kepada (dengan maksud supaya dibeli, dikontrak,
diambil, dipakai, dsb) bersedia melakukan sesuatu untuk orang lain (KBBI,
1997:101. Tindak tutur menawarkan kebaikan kepada seseorang yang sedang
melanjutkan perjalanannya. Kalimat menawarkan bantuan yang baik dan sopan
merupakan suatu kebersamaan. Masyarakat Batak Toba dan masyarakat Pakpak
hidup dalam keberadaan orang lain atau kebersamaan yang sama-sama saling
membutuhkan dan saling membantu.
Kita dapat memberikan bantuan kepada orang lain, tetapi kita menawarkan
bantuan harus kita ucapkan dalam bahasa yang baik dan sopan. Jangan sampai
timbul kesan kita ingin memaksakan sesuatu.Mungkin secara ikhlas ingin
membantu, tetapi karena ungkapan bahasa kita tidak berkenan pada orang lain,
tidak mustahil orang akan menolak tawaran yang kita berikan. Padahal orang
tersebut sebenarnya memerlukan bantuan.
Kalimat bahasa Batak Toba di atas mengandung data eufemisme berupa
kata yaitu bagas (BBT) yang mempunyai arti rumah. Kata bagas (BBT) memiliki

40
Universitas Sumatera Utara

makna yang lebih halus daripada kata jabu (BBT). Dalam bahasa sehari-hari kata
jabu (BBT) juga sering dipakai. Tetapi dalam konteks kalimat di atas kata jabu
(BBT) kurang tepat. Kalimat bahasa Pakpak di atas juga mengandung data
eufemisme yaitu bages (BP) yang mempunyai arti rumah. Eufemisme bages (BP)
memiliki makna yang lebih halus daripada Kata sapo (BP).
Apabila kata bagas (BBT) diganti dengan kata jabu (BBT) maka akan
terlihat seperti ini:
(27)

Huilala jolo maradi majo hamu nian tu bagas nami on, ala nungnga di
parade hami sipanganontu hamu na. Asa boi muse torushonon muna
pardalanan muna muse.(BBT)

Dalam bahasa Pakpak kata bages (BP) diganti dengan kata sapo (BP)
makaterlihat seperti berikut:
(28)

Merbengin mo kene i sapo nami en,kumerna enggo kusediaken kami ngo
panganen deket enumen bai ndene, asa boi ke kilanjutken perdalanan
ndene. (BP)

4.1.3.2 Eufemisme Berbentuk Frasa
Eufemisme berbentuk frasa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dengan bahasa Pakpak. Bentuk frasa dalam bahasa Batak Toba
tersebut dapat kita lihat dari contoh sebagai berikut :

41
Universitas Sumatera Utara

(29)

Taringot tu ragi-ragi paruseang ni sinamot, hupasahat hami ma muse di
angka ari na naeng ro. (BBT)
‘Tentang pembagian harta untuk mahar berupa uang, kami akan
sampaikan lagi di waktu yang datang’.
Bentuk frasa dalam bahasa Pakpak juga dapat dilihat sebagai berikut:

(30)

Mula harta tading-tadingen manang pe kepeng ni tadingken Bapa na engket
Inang, na han mo i bagiken mendahi ken kami.(BP)

‘Tentang pembagian harta untuk mahar berupa uang, kami akan
sampaikan lagi di waktu yang datang’.
Kalimat di atas mengandung data eufemisme berupa frasa pada bahasa
BatakToba yaituragi-ragi paruseang(BBT)memiliki makna lebih halus daripada
panjaean(BBT) mempunyai arti yaitu pembagian harta atau pembagian warisan.
Eufemisme dalam kalimat bahasa Pakpak yaitu harta tading-tadingen(BP)juga
memiliki makna lebih halus daripadapajaeken(BP)ataumembagi harta(BP).
Kalimat di atas merupakan tindak tutur berjanji. Berjanji adalah mengucapkan
janji; menyatakan bersedia dan sanggup untuk berbuat sesuatu (memberi,
menolong, datang, dsb) (KBBI 1997:401). Tindak tutur berjanji adalah tindakan
yang dituturkan oleh penutur tentang kesediaannya untuk berbuat sesuatu atau
menuturkan janji. Tindakan dalam tindak tutur berjanji ini dilakukan pada waktu
yang akan datang dan pelaksanaan tindak tutur berjanji didasarkan atas keadaan
yang mendesak agar mitra tutur mempunyai kepercayaan kepada penutur. Pada

42
Universitas Sumatera Utara

masyarakat Batak Toba, kalimat yang diucapkan hulahula(BBT)harus ditepati
yaitu memberikan pembagian harta kepada pihak perempuan berupa uang atau
juga

berupa

tanah

bagian

perempuan.

Dalam

keterangan

ragi-ragi

paruseang(BBT)ini sudah lebih jelas bahwa ini merupakan penegasan bila
parboru menuntut hak waris anaknya yang disebut panjaean, dia juga
berkewajiban untuk memberikan hak waris kepada putrinya yang disebut
pauseang.Pada masyarakat Pakpak mempunyai kebiasaan yaitu membuat anak
yang baru kawin berdiri sendiri atau memulai rumah tangga sendiri. Harta benda
yang diberikan oleh orangtua dan juga memisahkan sebagian tanah.
Frasa ragi-ragi paruseang(BBT)adalah bahasa halus yang digunakan
dalam upacara adat perkawinan pada pembagian harta untuk perempuan. Frasa
ragi-ragi paruseang(BBT)ini sudah jarang dipakai karena masyarakat batak toba
memakai kata panjaean(BBT)yang mempunyai arti hampir sama. Apabila frasa
ragi-ragi paruseang(BBT)diganti dengan kata panjaean(BBT)maka kalimat
tersebut terlihat seperti ini :
(31)

Taringot tu panjaean ni sinamot, hupasahat hami ma muse di angka ari na
naeng ro. (BBT)
‘Tentang pembagian harta untuk mahar berupa uang, kami akan
sampaikan lagi di waktu yang datang’.
Kata panjaean biasanya bermakna pembagian harta dari orangtua kepada

anak laki-laki, namun sekarang sudah banyak juga dipakai untuk perempuan.

43
Universitas Sumatera Utara

Frasa harta tading-tadingen (BP) dapat kita lihat apabila diganti dengan
kata pajaeken sebagai berikut:
(32)

Mula pajaeken manang pe kepeng ni tadingken Bapa na engket Inang, na han
mo i bagiken mendahi ken kami. (BP)

‘Tentang pembagian harta untuk mahar berupa uang, kami akan
sampaikan lagi di waktu yang datang’.

4.1.3.3 Eufemisme Berbentuk Klausa
Eufemisme berbentuk klausa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba. Bentuk klausa tersebut dapat kita lihat dari contoh sebagai
berikut :
(33)

Nauli ma idok hami raja na mi, ihuthonon na mi ma hata nauli na sian
hamu na i. Siala naung denggan panghataion taon asa tauduti ma muse
laho martangiang. (BBT)
‘baiklah raja kami, kami akan ikuti kata yang baik dari kalian. Karena
sudah baik kesepakatan kita agar kita ikuti selanjutnya dengan berdoa.’
Bentuk klausa dalam bahasa Pakpak juga dapat dilihat seperti ini:

(34)

Selloh mo pertuah nami, kami mengikuti ajaranmu. Ku merna enggo sepakat,
kita tutup dekket mertangiang.(BP)

44
Universitas Sumatera Utara

‘baiklah raja kami, kami akan ikuti kata yang baik dari kalian. Karena
sudah baik kesepakatan kita agar kita ikuti selanjutnya dengan berdoa’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur mengesahkan. Mengesahkan
adalah menjadikan (menyatakan, mengakui, membenarkan, menyetujui dan
menguatkan (perjanjian) (KBBI 1997:860). Tuturan tersebut merupakan tindak
tutur mengesahkan hasil dari kesepakatan pada pembicaraan di acara marhata
sinamot(BBT) pada adat Batak Toba. Begitu juga dengan adat Pakpak memiliki
pembicaraan tindak tutur menyetujui yang disebut juga acara adat mengkata utang
(menentukanmas kawin) juga disebut mengelolo(BP). Biasanya, tuturan di atas
adalah tuturan terakhir atau kata penutupan dalam acara marhata sinamot(BBT).
setelah semua hal yang perlu pada kegiatan itu disepakati, dalam adat Batak Toba,
pihak dari parboru akan mencatat hasil kesepakatan dan membacakannya.
Kemudian pihak dari boru menutup kegiatan tersebut dengan doa bersama.
Sedangkan pada adat Pakpak setelah pembicaraan disepakati maka semua hutang
yang

telah

diputuskan

pengkancing(BP)yang

diikat

dengan

suatu

simbol

yang

disebut

merupakan pemberian uang secara langsung dari

persinabuli yaitu pihak kerabat calon pengantin perempuan.
Kalimat di atas mengandung data eufemisme bahasa Batak Toba berupa
klausa yaitu nauli ma idok hami rajanmi(BBT) yang mempunyai arti baiklah atau
ia. Klausa nauli ma idok hami rajanami (BBT) memiliki makna lebih halus
daripada kata olo(BBT). Kata olo(BBT) kurang sopan pemakaiannya pada
percakapan upacara adat batak Toba. Apabila klausa nauli ma idok hami raja
nami(BBT) diganti dengan kata olo(BBT) maka terlihat seprti ini:

45
Universitas Sumatera Utara

(35)

olo, ihuthonon na mi ma hata nauli na sian hamu na i. Siala naung
denggan panghataion taon asa tauduti ma muse laho martangiang.(BBT)
Begitu juga dengan bahasa Pakpak, bentuk eufemisme berupa klausa yang

terdapat dalam kalimat bahasa Pakpak yaituselloh mo petuah na mi(BP) juga
memiliki makna lebih halus daripada kata eu atau juga belli mo raja nami (BP).
Jika diganti dengan kata ue(BP) maka terlihat seperti berikut:
(36)

ue, kami mengikuti ajaranmu. Ku merna enggo sepakat, kita tutup dekket
mertangiang.(BP)
atau juga seperti berikut:

(37) Belli mo raja na mi, kami mengikuti ajaranmu. Ku merna enggo sepakat, kita tutup
dekket mertangiang. (BP)

4.1.4 Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur Ekspresif dalam Bahasa Batak
Toba dengan Bahasa Pakpak
Dalam bentuk eufemisme bahasa batak Toba dengan bahasa Pakpak dapat
kita lihat pada tindak tutur ekspresif yaitu mengekspresikan perasaan daan sikap
mengenai suatu hal atau keadaan. Termasuk tindak tutur ini misalnya seperti
menyesal, meminta maaf, berterimah kasih, mengucapkan selamat, memuji,
mengkritik, dan lainya. Dapat kita lihat seperti data yang ada pada masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Tindak tutur ekspresif merupakan tuturan yang
digunakan sebagai salam dalam menyapa tutur, selain itu tindak tutur juga

46
Universitas Sumatera Utara

digunakan sebagai ekspresi ucapan terimah kasih/memuji penutur terhadap apa
yang telah dilakukan oleh lawan tutur. Dapat kita lihat dari kalimat berikut dari
bentuk eufemisme kata, frasa dan klausa.

4.1.4.1 Eufemisme Berbentuk Kata
Eufemisme berbentuk kata dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak. Bentuk kata tersebut dapat kita lihat dari
contoh sebagai berikut :
(38)

Tung mansai uli do nian rupami da ito, gabe targoda ahu. (BBT)
‘Sungguh sangat cantiklah wajahmu gadis, jadi tergoda aku’.

Kalimat dalam bahasa Pakpak terlihat sebagai berikut:
(39)

Mberruh kalon rupamu si merbaju, gara-gara rupami aku jadi tergoda. (BP)

‘Sungguh sangat cantiklah wajahmu gadis, jadi tergoda aku’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur memuji. Memuji adalah
melahirkan kekaguman dan penghargaan kepada sesuatu yang dianggap baik,
gagah, berani, dan sebagainya (KBBI, 2006:19). Tindak tutur memuji yaitu
tundak tutur yang disampaikan oleh penutur dengan melahirkan kekaguman dan
penghargaan kepada sesuatu yang dianggap baik, indah, gagah, berani, dan
sebagainya. Tuturan di atas merupakan tindak tutur terhadap seorang anak gadis
yang digoda oleh seorang lelaki. Tuturan di atas memiliki rasa santun agar

47
Universitas Sumatera Utara

pendengar atau seorang gadis tersebut tidak tersinggung tetapi untuk menarik
perhatian si gadis tersebut. Apabila si gadis tertarik akan kalimat tersebut, maka si
gadis biasanya membalas perkataan lelaki yang menggodanya ataupun dibalas
dengan senyuman.
Kalimat di atas pada bahasa Batak Toba mengandung data eufemisme
berupa

kata

uli(BBT).

Kata

uli(BBT)

ini

menggantikan

kata

bagak(BBT).Uli(BBT) memiliki makna lebih halus daripada bagak(BBT)
mempunyai arti sama yaitu cantik pada kalimat di atas. Sedangkan pada kalimat
dalam bahasa Pakpak terdapat eufemisme berupa mebrruh(BP) yang memiliki
makna lebih halus daripada bagak (BP). Kedua kalimat di atas merupakan tindak
tutur ekspresif memuji bahwa pada kalimat di atas makna kata cantiktidak hanya
menggambarkan kecantikan dalam fisik saja tetapi juga dilihat dari perilaku yang
baik pada gadis tersebut. Kata cantikmengandung konotasi sesuatu yang
menyenangkan hati. Jika dipadankan dengan hati, maka bisa diterjemahkan
sebagai wajah yang cantik dan perilaku yang baik pula.
Apabila kata uli(BBT) diganti dengan kata bagak(BBT) maka kalimat
tersebut terlihat seperti ini.
(40)

Tung mansai bagak do nian rupami da ito, gabe targoda ahu. (BBT)
‘Sungguh sangat cantiklah wajahmu gadis, jadi tergoda aku’.

Dan kata mberruh (BP) diganti dengan kata bagak (BP) terlihat seperti ini:
(41)

bagak kalon rupamu si merbaju, gara-gara rupami aku jadi tergoda.(BP)

48
Universitas Sumatera Utara

‘Sungguh sangat cantiklah wajahmu gadis, jadi tergoda aku’.
Kalimat di atas hanya memuji kecantikan dalam fisik pada gadis tersebut
dan tidak melihat dari perilakunya. kalimat tersebut terjadi pada saat seorang
lelaki menggoda gadis pada pandangan pertamanya karena biasanya kita menilai
seseorang itu dari tampang dan penampilannya.

4.1.4.2 Eufemisme Berbentuk Frasa
Eufemisme berbentuk frasa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak dalam tindak tutur ekspresif. Bentuk frasa
tersebut dapat kita lihat dari contoh sebagai berikut :
(42)

Hata patujolo sian hami i ma siala haroro muna tu bagas na badia
on mangadopi pamasumasu on ni anak dohot parumaen nami di tingki on.
(BBT)
‘Pertama sekali kami ucapkan terima kasih atas kedatangan kalian
ke rumah yang kudus ini untuk menghadiri acara pemberkatan anak dan
menantu perempuan kami di hari ini’.

(43)

Parjolo-jolo kami mendekken muliate atas rohna mi ibagasen jarroh
debatanta en imo na lako acara pemasumasun anak dekket permaen. (BP)

49
Universitas Sumatera Utara

‘Pertama sekali kami ucapkan terima kasih atas kedatangan kalian
ke rumah yang kudus ini untuk menghadiri acara pemberkatan anak dan
menantu perempuan kami di hari ini’.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur berterimah kasih. Berterimah
kasih adalah mengucap syukur atau melahirkan rasa syukur atau membalas budi
setelah menerima kebaikan (KBBI, 2005:1183). Tindak tutur berterimah kasih
adalah tindak tutur yang disampaikan oleh penutur untuk mengucap syukur atau
melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerima kebaikan dari
seseorang. Tuturan di atas tindak tutur berterimah kasih kepada tamu yang hadir
di acara pemberkatan pernikahan anaknya di gereja. Tuturan ini biasanya
disampaikan oleh pihak dari mempelai laki-laki sebelum acara pemberkatan
dimulai sesuai dengan susunan acara. Pihak mempelai laki-laki mengucapkan rasa
terima kasih kepada para undangan sebagai penghormatan dan rasa bahagianya
atas kehadiran para undangan.
Kalimat di atas mengandung data eufemisme dalam bahasa Batak Toba
berupa frasa yaitu bagas na badia on (BBT) yang mempunyai arti gereja atau
tempat ibadah. Frasa bagas na badia on (BBT) memiliki makna lebih halus
daripada joro ni Tuhan (BBT). Sedangkan pada bahasa Pakpak, data eufemisme
pada kalimat diatas yaitu bagasen jarroh debatanta(BP) yang juga mempunyai arti
sama yaitu tempat ibadah atau gereja. Bagasen jarroh debatanta(BP) memiliki makna
lebih halus daripada gereja (BP).

Apabila frasa bagas na badia on(BBT) diganti dengan joro ni
Tuhan(BBT) maka kalimat tersebut terlihat seperti ini.

50
Universitas Sumatera Utara

(44)

Hata patujolo

sian hami i ma siala haroro muna tu joro ni Tuhan

mangadopi pamasumasu on ni anak dohot parumaen nami di tikki on.
(BBT)
‘Pertama sekali kami ucapkan terima kasih atas kedatangan kalian
ke rumah yang kudus ini untuk menghadiri acara pemberkatan anak dan
menantu perempuan kami di hari ini’
Sedangkan dalam bahasa Pakpak kalimat tersebut terlihat seperti berikut:
(45)

Parjolo-jolo kami mendekken muliate atas rohna mi igerejanta en imo na lako
acara pemasumasun anak dekket permaen.(BP)

‘Pertama sekali kami ucapkan terima kasih atas kedatangan kalian
ke rumah yang kudus ini untuk menghadiri acara pemberkatan anak dan
menantu perempuan kami di hari ini’.

4.1.4.3 Eufemisme Berbentuk Klausa
Eufemisme berbentuk klausa dapat ditemukan dalam bentuk kalimat pada
bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak. Bentuk klausa tersebut dapat kita lihat
dari contoh sebagai berikut :
(46)

Tongtong ma hita marsiaminaminan songon lampak ni gaol jala
marsitungkoltungkolan songon suhat di robean manang didia pe hita
maringanan.(BBT)

51
Universitas Sumatera Utara

‘hendaklah kita saling tolong-menolong dimanapun kita berada’.
(47)

Dak tong mo kita bage laklak galuh marang idike pe kita merbekkas. (BP)
‘hendaklah kita saling tolong-menolong dimanapun kita berada’.
Tuturan di atas dalam bahasa Batak Toba tersebut merupakan

perumpamaan yang digunakan pada masyarakat Batak Toba dalam upacara adat.
Dalam penyampaian ini, penutur menyampaikan keinginannya agar orang-orang
Batak Toba memiliki rasa saling mendukung satu sama lain. Ungkapan ini
merupakan kata-kata bijak dari nenek moyang orang Batak Toba yang mewarisi
kepada keturunannya sampai sekarang supaya dalam kehidupan masyarakat Batak
Toba saling tolong menolong.
Pada masyarakat Batak Toba lambang dari gotong-royong orang Batak
Toba disebut tumpak (BBT). Adat Batak Toba, saling tolong menolong adalah
esensi kebudayaan mereka. Aplikasi sikap tolong-menolong itu diwujudkan ketika
dalam musyawarah yang disebut tonggo raja atau marria raja (BBT) yang
dihadiri oleh struktur dalihan na tolu (BBT).
Tuturan di atas dalam bahasa pakpak juga memiliki perumpamaan yang
memiliki makna sama dengan bahasa Batak Toba yaitu tentang saling tolong
menolong dalam kehidupan sehari-hari. klausa bage laklak galuh (BP) memiliki
arti jadilah kita seperti pisang. Pelepah pisang bila dipisah satu sama lain akan
sangat lembek dan lemah, tapi bila mereka menyatu satu sama lain akan sangat
kuat. Perumpamaan ini mengajarkan agar masyarakat Pakpak selalu satu hati dan

52
Universitas Sumatera Utara

saling mendukung sesama sehingga mudah untuk mencapai setiap tujuan yang
diinginkan.
Kalimat di atas dalam bahasa Batak Toba mengandung data eufemisme
berupa

klausa

yaitu

marsiaminaminan

songon

lampak

ni

gaol

jala

marsitungkoltungkolan songon suhat di robean(BBT) yang mempunyai makna
saling tolong menolong dan gotong royong. Klausa marsiaminaminan songon
lampak ni gaol jala marsitungkoltungkolan songon suhat di robean(BBT)
memiliki makna lebih halus daripada marsianjuan, marsiurupan. Dapat dilihat
dalam kalimat apabila diganti sebagai berikut.
(48)

Tongtong ma hita marsianjuan, marsiurupan didia pe hita maringanan.
‘hendaklah kita saling tolong-menolong dimanapun kita berada’.
Dalam bahasa Pakpak, tuturan di atas mengandung data eufemisme berupa

klausayaitu bage laklak galuh (BP) yang memiliki makna lebih halus daripada
mengurupi atau urup-urup(BP). Dapat kita lihat dalam kalimat apabila diganti
seperti berikut.
(49)

Dak tong mo kita mengurupi marang idike pe kita merbekkas. (BP)
‘hendaklah kita saling tolong-menolong dimanapun kita berada’.

53
Universitas Sumatera Utara

4.1.5 Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur Deklaratif dalam Bahasa Batak
Tobadengan Bahasa Pakpak
Dalam bentuk eufemisme bahasa batak Toba dengan bahasa Pakpak dapat
kita lihat pada tindak