DISKURSUS AMANDEMEN KELIMA UNDANG UNDAN

“DISKURSUS AMANDEMEN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM”
ABD. GAFUR SANGADJI
NPM: 1306493796

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PEMINATAN HUKUM KENEGARAAN
2014

0

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan besar atas naskah UUD 1945 yang semula hanya terdiri atas 16 bab, 37
pasal, 49 pasal Aturan Peralihan serta 2 ayat Aturan Tambahan melalui proses empat kali
amandemen maka UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan
Peralihan, serta 2 pasal Aturan Tambahan.1 Namun setelah empat kali perubahan tersebut2,

ada dorongan dari masyarakat untuk kembali melakukan perubahan kelima atas UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar kelemahan-kelemahan yang
masih terdapat dalam UUD 1945 dapat diperbarui.
Hasil perubahan UUD 1945 secara keseluruhan yang terjadi pada awal reformasi
dipandang belum sesuai dengan sistem ketatanegaraan ideal yang hendak diwujudkan,
aspirasi bangsa, perkembangan zaman, dan kebutuhan bangsa sekarang dan ke depan. Oleh
karena itu, muncul gagasan yang mendorong dan memperjuangkan terjadinya perubahan
kelima UUD 1945 pada masa yang akan datang.3
Pada awalnya, ide perubahan kelima UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan
kewenangan struktur lembaga negara (DPD RI) yang diatur pada Pasal 22D UUD 1945 4
1

Lihat Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal. 4.
2
Secara substansial, Undang-Undang Dasar Negara 1945 mengalami perubahan mendasar sejak perubahan
pertama sampai perubahan keempat dalam kurun waktu 1999-2002. Perubahan-perubahan itu telah meliputi
materi yang sangat banyak sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah muatan asli UUD 1945. Jika
naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD
1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian dapat dikatakan meskipun namanya tetap

merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya dapat dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali dengan
nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal
Amandemen Konstitusi Indonesia, kata pengantar dalam Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara
Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Penerbit Mizan, cetakan kedua, 2007), hal. 31.
3
Lihat Eksistensi DPD RI 2009-2013: Untuk Daerah dan NKRI, (Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI,
2013), hal. 45.
4
Menurut Pasal 22D UUD 1945 diatur bahwa: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; (2) Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; (3) Dewan Perwakilan Daerah
dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama

serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan

1

karena kewenangan tersebut dinilai masih “terbatas”, tidak seimbang dengan kewenangan
yang dimiliki DPR. Ide pembentukan Dewan Perwakilan Daerah semula dimaksudkan untuk
mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas
DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat
diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi basis
sosial yang lebih luas. DPR merupakan representasi politik (political representation),
sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional
representation).5
Meskipun pada awalnya ide perubahan kelima UUD 1945 dilatarbelakangi oleh upaya
politik untuk memperkuat kewenangan DPD RI, namun dalam naskah komprehensif yang
diusulkan DPD RI, substansi (materi) perubahan kelima UUD 1945 tidak hanya terbatas pada
isu penguatan kewenangan DPD RI, tetapi menyangkut penyempurnaan secara komprehensif
sistem ketatanegaraan yang harus diatur pada naskah konstitusi. Pokok-pokok usul perubahan
kelima UUD 1945 adalah: 1) Penguatan Sistem Presidensial, 2) Penguatan Lembaga
Perwakilan, 3) Penguatan Otonomi Daerah, 4) Calon Presiden Perseorangan, 5) Pemisahan
Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, 6) Foum Previlegiatum bagi Pejabat Publik, 7)

Optimalisasi Peran Mahkamah Konstitus, 8) Penambahan Pasal Hak Asasi Manusia, 9)
Komisi Negara, dan 10) Penajaman Bab tentang Pendidikan dan Perekonomian Nasional.6
Wacana perubahan kelima UUD 1945 juga didukung oleh masyarakat. Besarnya
dukungan terhadap amandemen kelima UUD 1945 juga sejalan dengan hasil survei yang
dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dimana mayoritas responden mendukung
penguatan DPD RI sebagaimana tercermin dalam hasil survei LSI pada bulan Desember
2011. Sebanyak 58,1% responden menyatakan dukungan terhadap penguatan fungsi legislasi
DPD RI.7
Wacana perubahan kelima UUD 1945 berangkat dari sebuah pemikiran mendasar
bahwa kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah
suatu hal yang pasti.8 Bahkan kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 telah dinyatakan

untuk ditindaklanjuti; dan (4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
5
Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 119.
6
Lihat Pokok-Pokok Usul Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2013), hal. 11-22.

7
Eksistensi DPD RI 2009-2013, Op.Cit., hal. 59.
8
Lihat Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009),
hal. 167.

2

oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945. 9 Karena itu, wacana
perubahan kelima dilakukan agar UUD 1945 terus menjadi living and working constitution. 10
Seiring dengan dinamisnya praktik sistem ketatanegaraan tentu konstitusi harus dapat
menyesuaikan dengan kekinian dan masa depan. Amandemen konstitusi dipandang tidak
cukup hanya dengan perubahan yang parsial, namun hendaknya merupakan sebuah konsep
perbaikan yang lebih komprehensif dan berorientasi masa depan.11
Wacana perubahan kelima UUD 1945 sangat terkait juga dengan konsep sosiologi
hukum dimana hukum dalam perspektif sosiologi hukum dilihat sebagai alat untuk mengubah
masyarakat. Pemikiran ini berangkat dari gagasan Roscoe Pound tentang hukum sebagai
social engineering.12 Hukum sebagai social ngineering berkaitan dengan fungsi dan
keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat. Karena itu,
menurut Roscoe Pound, hak-hak bagaimana yang harus diatur oleh hukum dan hak-hak

seperti apa yang yang dapat dituntut oleh individu dalam kehidupan bermasyarakat. Pound
mengemukakan bahwa yang merupakan hak adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang
diakui, diharuskan, dan dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan
terwujudnya apa yang dimaksud dengan ketertiban umum. 13
Bila hukum merupakan suatu social control dan sekaligus dapat dijadikan agent of
change, maka hubungan menurut prinsip, konsep, atau aturan, standar tingkah laku, doktrindoktrin, dan etika profesi, serta semua yang dilakoni oleh “individu” dalam usaha
memuaskan kebutuhan atau kepentingan harus dijamin dalam aturan hukum.
Menurut Selo Soemarjan tentang perubahan sosial bahwa perubahan-perubahan sosial
adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan
pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hukum harus berperan
sebagai perubahan sosial karena pada dasarnya di dunia ini tidak terlepas dari perubahan

9

Dalam pidatonya Soekarno menyatakan: “tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar
yang (kita) buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau saya memakai perkataan: “ini
adalah undang-undang dasar kilat”. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram,
kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar
yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar

1945, Jilid Pertama, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hal. 410.
10
Lihat Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2011), hal. 1.
11
Ibid.
12
Lihat Roscoe Pound, Intrepretation of Legal History, (USA: Holmes Beach, Florida, 1986), hal. 164.
13
Lihat Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 26.

3

terhadap suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan
sosial manusia. 14
Jika dilihat dari muatan materi yang menjadi usul amandemen kelima UUD 1945,
maka materi perubahan kelima UUD 1945 tidak hanya menyangkut perubahan pada institusiinstitusi negara terkait dengan fungsi dan kewenangannya, tetapi juga berkaitan dengan
jaminan atas hak-hak masyarakat. Karena itu, perubahan konstitusi merupakan sebuah
keniscayaan untuk mendorong hukum sebagai alat pengubah masyarakat.
B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, permasalahan yang diurai adalah bagaimana perspektif sosiologi
hukum dalam wacana perubahan kelima UUD 1945. Apakah perubahan kelima UUD 1945
mengandung semangat untuk menjadikan hukum sebagai alat pengubah masyarakat? Apakah
muatan materi perubahan kelima UUD 1945 juga mengandopsi materi-materi yang terkait
dengan hak-hak sosial masyarakat?
C. Kerangka Teori

1. Negara Hukum
Dari sejarah perkembangan ide-ide negara hukum, gagasan tentang negara hukum
makin menemukan ciri-cirinya seperti yang kita kenal sekarang sejak abad ke-19. Di Eropa
Daratan (Kontinental) yang menganut tradisi civil law, hal itu ditandai dengan diterimanya
gagasan Rechtsstaat serta Rule of Law di negara-negara Anglo-Saxon, khususnya Inggris
yang menganut tradisi common law. 15
Konsep Rechtsstaat secara longgar sering diterjemahkan sebagai law state, rule of
law, atau “a state governed by law”. Namun menurut Bockenforde bahwa negara hukum
mengandung pengertian lebih daripada sekadar tentang suatu pemerintahan menurut hukum,
melainkan juga menekankan pada kebebasan, persamaan, dan otonomi dari tiap-tiap individu
di dalam kerangka suatu tertib hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan dijalankan
oleh pengadilan yang independen.16


14

Lihat Soerjono Soekanto, Bebeberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: UI Press, 1983), hal. 12.
15
Lihat I Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
hal. 79-80.
16
Lihat Ernst-Wolfgang Bockenforde dalam Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the
Federal Republic of Germany, (Durham and London: Duke University Press, 1989), hal. 36 sebagaimana
dikutip oleh I Gede Palguna, Ibid., hal. 80.

4

Tujuan utama Rechtsstaats adalah untuk melindungi kebebasan individu warga negara
dari kekuasaan negara. Ini merupakan konsepsi Rechtsstaat yang liberal, yang menurut Carls
Shmitt dinberi batasan dan pengertian khusus yang sekaligus merupakan ciri-cirinya, yaitu: 17
1. Suatu negara dianggap sebagai Rechtsstaat jika campur tangan terhadap kemerdekaan
individu dilakukan semata-mata atas dasar undang-undang.
2. Suatu negara dianggap sebagai Rechtsstaat jika seluruh aktivitasnya sepenuhnya tercakup

dalam sekumpulan kewenangan yang batas-batasnya ditentukan secara pasti. Di sini yang
menjadi prinsip fundamentalnya adalah pembagian dan pemisahan kekuasaan.
3. Perlunya independensi atau kemerdekaan hakim.
Secara sempit, definisi negara hukum (rule of law) mengandung arti harfiah bahwa
masyarakat harus taat pada hukum dan diatur oleh hukum. Sementara secara luas, mengutip
pemikiran Thomas Carothers bahwa rule of law didefinisikan sebuah sistem dimana hukumhukum dipahami oleh publik, jernih maknanya, dan diterapkan secara sama pada semua
orang. Hukum menjaga dan menyokong kebebasan sipil dan politik yang telah memperoleh
status sebagai hak-hak asasi manusia universal. Karena itu, siapapun yang disangka atas suatu
kejahatan memiliki hak atas perlakuan yang adil (prompt hearing) dan praduga tidak bersalah
sampai dinyatakan bersalah. Lembaga-lembaga utama dari sistem hukum, termasuk
pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian harus berlaku adil, kompeten, dan efisien. Para hakim
harus bersikap imparsial dan independen, tidak dipengaruhi atau dimanipulasi oleh politik.
Yang terpenting juga, pemerintah menyatu dalam suatu kerangka hukum yang menyeluruh,
para pejabatnya menerima bahwa hukum akan diterapkan pada perilaku mereka sendiri, dan
pemerintah harus taat pada hukum.18
Sementara itu, menurut Kleinfeld, terdapat dua tujuan negara hukum. Pertama,
membatasi kesewenang-wenangan dan penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan
negara. Dimana negara hukum adalah konsep payung bagi beberapa instrumen hukum dan
kelembagaan demi melindungi warga negara dari kekuasaan negara. Fungsi kedua,
melindungi kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran dan serangan warga

lainnya.19

17

Lihat Carl Schmitt, Constitutional Theory (translated and edited by Jeffresy Seitzer), (Durham and London:
Duke University Press, 2008), hal. 173-175 sebagaimana dikutip oleh I Gede Palguna, Ibid., hal. 81.
18
Lihat Adriaan W. Bedner, Suatu Pendekatan Elementer terhadap Negara Hukum, dalam Sulistyowati dkk,
Kajian Sosio Legal, (Denpasar: Pustaka Larasan, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas
Groningen, 2012), hal. 53.
19
Lihat Kleinfeld, Competing Definitions of Rule of Law, dalam T. Caronthers (ed.), Promoting the Rule of Law
Abroad: In Search of Knowledge, Rule of Law Series, Volume 34,31-37, (Washington: Carnegie Endowment for
Internasional Peace, sebagaimana dikutip oleh Adriaan W. Bedner, Ibid., hal. 48.

5

Unsur-unsur negara hukum menurut Kleinfeld terdiri dari tiga elemen penting dari
sebuah negara hukum: elemen prosedur, elemen substantif, dan elemen mekanisme kontrol
(lembaga-lembaga pengawal negara hukum).20 Kategori pertama, elemen prosedur, yang
terdiri dari:


Pemerintahan dengan hukum (rule by law), yakni negara memerintah dengan hukum.
Pemerintah dengan hukum umumnya dilawan dengan pemerintah oleh orang-orang (rule
by men). Sementara di sisi lain, pemerintahan dengan hukum sering juga disandingkan
dengan negara hukum (rule of law). Namun demikian rule of law memiliki makna yang
lebih vital.



Tindakan negara tunduk pada hukum. Pemerinthan dengan hukum adalah mensyaratkan
landasan hukum untuk tiap tindak-tanduk negara yang biasa disebut dengan prinsip
legalitas yakni pembentukan hukum memerlukan landasan hukum dan pemerintah harus
patuh pada aturannya sendiri.



Legalitas formal. Dalam arti hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan
bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada semua orang.



Demokrasi. Demokrasi merujuk pada makna persetujuan menentukan atau mempengaruhi
muatan dan tindakan hukum. Secara teoritis, hukum akan adil apabila dibentuk dengan
persetujuan umum. Ada juga pemikiran untuk tidak memasukan demokrasi ke dalam
konsep negara hukum karena demokrasi memiliki medan penelitian yang berbeda. Dalam
studi ilmu politik dan pembangunan, demokrasi memiliki tempat yang tersendiri.
Walaupun begitu, cara-cara demokrasi bukan merupakan sesuatu cara hukum, melainkan
sebagai cara-cara politis – meskipun aturan-aturan demokratis dapat juga dimasukkan ke
dalam hukum.21
Kategori kedua, elemen-elemen substantif, yang terdiri dari:



Subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhdap prinsip-prinsip fundamental dan
keadilan. Elemen penting dari negara hukum adalah keadilan dan proses peradilan yang
baik (due process).



Perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan perorangan.



Pemajuan hak asasi sosial.

20

Pembahasan lebih lanjut dari unsur-unsur negara hukum menurut Kleinfeld dapat dibaca pada Adriaan W.
Bedner, Ibid., hal. 55-76.
21
Menurut Jimly Asshiddiqie, perbedaaan antara demokrasi dan negara hukum dapat dilihat dari ciri utama
keduanya. Ciri yang menonjol dari demokrasi adalah mengutamakan the will of people (kehendak publik),
sedangkan ciri yang kuat dari negara hukum adalah mengutamakan rule of law (hukum menentukan segala hal
dalam negara). Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 511.

6



Perlindungan hak kelompok.
Kategori ketiga, mekanisme kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara hukum):



Lembaga peradilan yang independen. Dimana independensi peradilan pada umunya
dikenal sebagai elemen formal dari negara hukum. Namun, independensi peradilan
memiliki makna lebih dari sebuah elemen formal. Peradilan adalah aktor, yang memiliki
tugas untuk menjamin pemerintah dan warga negaranya mematuhi batasan-batasan yang
ditentukan.



Lembaga-lembaga pengawal negara hukum lainnya.

Pentingnya lembaga-lembaga

pengawal negara hukum lainnya didasarkan pada pemikiran bahwa semakin kompleksnya
organisasi negara yang mengarah pada meningkatnya spesialisasi dalam menjalankan
fungsi negara, maka perlunya lembaga-lembaga kontrol lainnya dalam menegakan hukum
dan hak asasi manusia, misalnya saja, lembaga seperti Ombudsman, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
dan sebagainya.
2. Konstitusionalisme dan Konstitusi
Konstitusionalisme secara luas telah diakui sebagai prasyarat baik bagi negara
demokrasi maupun yang negara hukum dan telah diterima sebagai keniscayaan dalam
pemahaman modern. Konstitusionalisme disandarkan pada tiga elemen kesepakatan
(consensus) yaitu: 1) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of
society or general accaptance of the philosophy of government); 2) kesepakatan tentang rule
of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of
governement’; dan 3) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institusions and procedures). Karena itu, konstitusionalisme
berisikan pokok bahasan yang jauh lebih luas dan lebih kompleks dari pokok bahasan yang
terlihat tentang konstitusi itu sendiri. 22
Menurut Ismail Suny, paham konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan yang
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang termuat dalam konstitusi. Pemerintahan yang
berdasarkan pada sistem konstitusi (hukum dasar) berarti negara tidak berdasarkan pada
absolutisme (kekuatan yang tidak terbatas). Dengan demikian, suatu konstitusi atau sistem
konstitusional adalah fondasi negara, yang mengatur pemerintahan, membagi kekuasaan
secara spesifik, dan mengatur tindakan pemimpin. Dalam negara yang bersifat konstitusional,
kedudukan konstitusi lebih fundamental daripada ketentuan-ketentuan lain. Konstitusi harus
22

Ibid., hal. 103.

7

benar-benar merupakan a written fundamental law yang mengatur struktur pemerintahan,
merumuskan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan melindungi hak-hak warga
negara. Dalam negara yang bersifat konstitusional, UUD tidak boleh mengalah pada kemauan
partai/golongan atau satu partai golongan atau pada kehendak seorang pemimpin atau
pemimpin-pemimpin yang berkuasa.23
Menurut Hakim Konstitusi Abdul Muktie Fadjar,24 dasar yang paling tepat dan kokoh
bagi sebuah negara demokrasi adalah sebuah negara konstitusional (constitusional state) yang
bersandar kepada sebuah konstitusi yang kokoh. Konstitusi yang kokoh hanyalah konstitusi
yang jelas faham konstitusinya atau konstitusionalismenya, yaitu yang mengatur secara rinci
batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial secara
seimbang dan mengawasi (checks and balances), serta memberikan jaminan yang cukup luas
dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill)
hak warga negara dan hak asasi manusia. Atau dengan kata lain konstitusionalisme adalah
faham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.25
Secara lebih luas, paham konstitusionalisme tidak hanya berkaitan dengan
pembatasan

kekuasaan

pemerintah,

namun

dalam

perkembangannya

paham

konstitusionalisme mengalami perkembangan konsepsi yang bervariasi yang dikaitkan
dengan gagasan rule of law, separation of power¸ recognizes individual rights, judicial
review, pengisian jabatan publik, pemilihan umum, dan sebagainya. Konstitusionalisme
memuat baik aspek prosedural atau formil maupun substansi atau materiil dari konstitusi.
Aspek prosedural/formil berkaitan dengan prosedur pembuatan dan prosedur perubahan
konstitusi. Sedangkan aspek substansial/materiil berkaitan dengan isi konstitusi yang meliputi
isu-isu: bentuk negara, bentuk pemerintahan (republik atau federal), sistem pemerintahan
(presidensial atau parlementer), sistem perwakilan (unikameral atau bikameral), sistem
pembagian kekuasaan, kekuasaan kehakiman, hubungan negara dengan rakyat (hak warga
negara/HAM), serta berbagai sistem kehidupan bernegara (ekonomi, pendidikan, pertahanan
keamanan, agama, dan sebagainya).26
Menurut CF. Strong, konstitusi bisa berupa sebuah catatan tertulis dimana konstitusi
dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut
23

Lihat Pidato Ismail Suny, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di hadapan
Seminar Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dalam Hendra Nurjahjo, Op.Cit., hal. 67-66.
24
Abdul Mukthie Fadjar adalah seorang Hakim konstitusi yang menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) mendampingi Ketua MK Mohammad Mahfud MD, untuk periode masa jabatan tahun 2008-2011.
25
Lihat Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), hal. 34-35.
26
Ibid., 35-36.

8

kebutuhan atau perkembangan zaman, atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan
hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi. Atau bisa pula dasardasar konstitusi tersebut ditetapkan dalam satu dua undang-undang dasar sedangkan
selebihnya bergantung pada otoritas kekuatan adat istiadat atau kebiasaan. 27
Sementara itu, dalam pandangan Jimly Asshiddiqie membedakan secara prinsipil
antara konstitusi tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten
constitution) sebenarnya kurang tepat. Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk
dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah atau
beberapa naskah. Dimana timbulnya konstitusi tertulis disebabkan oleh pengaruh aliran
kodifikasi. Salah satu negara yang mempunyai konstitusi yang tidak tertulis adalah negara
Inggris. Namun prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam konstitusi di Inggris dicantumkan
dalam Undang-Undang biasa, seperti Bill of Rights. Dengan demikian suatu konstitusi disebut
tertulis apabila ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan suatu konstitusi
disebut tidak tertulis karena ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu pemerintahan tidak
tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur dalam kovensikonvensi atau undang-undang biasa.28
Dalam pandangan Carl Schmitt, dengan merujuk praktik di Eropa Barat dan Amerika
Utara sejak abad ke-18, konstitusi baru dapat disebut sebagai konstitusi apabila bersesuaian
dengan tuntutan akan kebebasan sipil dan berisikan jaminan yang pasti terhadap kebebasan
sipil tersebut.29 Sementara dalam pandangan Friedrich, esensi dari konstitusionalisme adalah
pembagian kekuasaan yang dengan cara itu tercipta sistem pembatasan kekuasaan yang
efektif.30
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Sosiologi Hukum dalam Amandemen Kelima UUD 1945: Analisis atas

Aspek-Aspek Kunci Perubahan Konstitusi
Dalam mengkaji perubahan konstitusi sebagai alat pengubah masyarakat, maka perlu
digunakan pendekatan Denny Indrayana tentang lima aspek utama dalam proses perubahan
konstitusi: (i) kapan perubahan konstitusi harus dilakukan, (ii) bagaimana perubahan
27

Lihat C.F. Strong, Op.Cit., hal. 15.
Lihat Jimly Asshiddiqi, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 148
29
Lihat I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., 103.
30
Ibid., hal. 104.
28

9

konstitusi harus dilakukan, (iii) siapa yang harus menjadi lembaga pengubah konstitusi, (iv)
partisipasi masyarakat seperti apa yang harus digalang, dan (v) materi apa yang semestinya
dikandung dalam sebuah konstitusi.31
Aspek pertama yang berkaitan dengan pertanyaan kapan perubahan konstitusi harus
dilakukan merupakan pertanyaan yang sangat penting. Karena sejak perubahan pertama
hingga perubahan keempat dari tahun 1999-2002, usul perubahan kelima sudah diusulkan
oleh DPD RI pada tahun 2007 pada masa kepemimpinan Ginandjar Kartasasmita. Setelah
periode Pemilu 2009, wacana perubahan kelima kembali mengemuka di bawah
kepemimpinan Irman Gusman sebagai Ketua DPD periode 2009-2014. Namun hinga saat ini,
usul perubahan kelima belum mendapat dukungan oleh mayoritas anggota parlemen
sebagaimana mekanisme perubahan UUD 1945 yang diatur pada Pasal 37 UUD 1945.
Gagasan tentang kapan sebaiknya perubahan konstitusi dilakukan, sebetulnya sudah
mengemuka sejak ide perubahan konstitusi muncul di awal-awal reformasi. Setidaknya ada
dua masalah yang bertalian dengan waktu perubahan konstitusi muncul di Indonesia.
Pertama, apakah masa transisi dari rezim otoriter Soeharto kondusif untuk melakukan
perubahan, dan kedua, apakah diperlukan satu jadwal spesifik untuk mengubah konstitusi.32
Menurut Robert A. Goldwin dan Art Kaufman, bahwa perubahan konstitusi hanya
mungkin dilakukan pada “momentum luar biasa” dalam suatu sejarah bangsa.33 Sementara
itu, menurut Von Savigny, momentum semacam itu terjadi ketika suatu bangsa telah
“sepenuhnya” mencapai kematangan politik atau hukumnya”. Namun faktanya, momentum
bagi perubahan konstitusi justru kerap terjadi dalam masa-masa sulit dan penuh gejolak.
Bahkan kerap kali konstitusi ditulis dan diubah di “saat-saat krisis yang membutuhkan
tindakan-tindakan yang luar biasa dan dramatis”.34
Dari aspek pertama ini dapat dikemukan bahwa usul perubahan kelima UUD 1945
belum mendapat dukungan luas dari anggota MPR karena mungkin dirasakan bahwa
waktunya belum terasa mendesak, belum terjadi suatu kondisi sosial politik yang mengemuka
secara kritis dan dramatis sehingga belum dirasakan adanya kebutuhan yang juga mendesak
untuk menyempurnakan UUD 1945.
Aspek kedua adalah bagaimana perubahan konstitusi harus dilakukan secara
demokratis. Menurut Julius Ihonvbere, bahwa sebuah proses pembuatan (perubahan)
31

Lihat Denny Indrayana dalam Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Penerbit: Mizan,
Media Utama, 2007), hal. 78.
32
Ibid., hal. 79.
33
Lihat Robert A. Goldwin and Art Kaufman (editor), Constitution Makers and Constitution Making: The
Experience of Eight Nations, (Washington, DC: American Enterprise Institute, 1988), hal, 1.
34
Denny Inrayana, Op.Cit.

10

konstitusi yang dilakukan secara demokratis merupakan suatu hal yang sangat penting
sifatnya bagi kekuatan, akseptabilitas, dan legitimasi produk finalnya. Cara yang diusulkan
adalah melalui konsensus (kesepakatan).35 Mengenai pemikiran tentang konstitusi yang
demokratis, menurut Robert Dahl pentingnya merancang konstitusi yang demokratis karena
akan menentukan kelagsungan lembaga-lembaga demokrasi. Konstitusi yang tidak dirancang
dengan baik akan menyumbang pada kemandegan lembaga-lembaga demokrasi. Lembagalembaga demokrasi itu adalah para pejabat yang dipilih, pemilihan umum yang bebas, adil,
dan berkala, kebebasan berpendepat, sumber informasi alternatif, otonomi asosional, dan hak
kewarganegaraan yang inklusif.36
Konstitusi yang demokratis menurut Dahl mengandung beberapa unsur antara lain,
pernyataan hak-hak asasi manusia, pernyataan hak-hak sosial dan ekonomi, bentuk negara
kesatuan atau federal, lembaga legislatif dengan satu kamar atau dua kamar, pengaturan
kekuasaan yudikatif, sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, pengaturan
mengenai amandemen konstitusi dan referendum, serta pengaturan sistem pemilihan umum. 37
Dahl menekankan pentingnya konstitusi yang berkualitas, dan pentingnya konstitusi disusun
oleh tenaga-tenaga terbaik yang dimiliki suatu bangsa.38
Aspek yang ketiga adalah siapa yang harus menjadi pengubah konstitusi. Aspek ini
terkait dengan kewenangan mereka yang memiliki hak untuk mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar. Menurut UUD 1945, kewenangan perubahan konstitusi terletak di
tangan MPR. Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa Majelis Permusyawaratan
Berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
Setelah perubahan UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali, maka ketentuan
tentang perubahan UUD 1945 dalam Pasal 37 UUD 1945 telah mengalami perubahan.
Dimana usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah Anggota MPR,
setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajuman secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, sidang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk
mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurangkurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.

35

Julius Ihonvbere, How to Make an Undemocratic Constitution: The Nigerian Example, Third World
Quarterly, 2000, hal. 346.
36
Lihat Robert Dahl, On Democracy, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Perihal Demokrasi, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001), hal. 118-119.
37
Ibid., hal. 166-170.
38
Ibid., hal. 189.

11

Aspek keempat adalah partisipasi masyarakat dalam perubahan konstitusi. Partisipasi
publik sangatlah penting dalam membuat sebuah konstitusi yang demokratis karena mampu
memperkuat rasa memiliki di pihak rakyat terhadap konstitusi yang bersangkutan. Kekuasaan
untuk membuat dan mengubah konstitusi sebuah negara tidak boleh terlalu bergantung
kepada lembaga pembuat konstitusi.Di sinilah pentingnya konsultasi publik secara aktif dan
inklusif. Agar menjadi satu kontribusi aktif, konsultasi publik harus dimulai sebelum aspekaspek konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif. Kegiatan konstultasi atau musyawarah
harus beranjak lebih dari sekadar mendidik publik yang pasif, dan harus melakukan segala
usaha untuk bisa secara lebih aktif melibatkan rakyat dalam proses perubahan konstitusi.
Dimana kegiatan partisipasi harus interaktif dan memberdayakan, mendorong rakyat untuk
memberikan kontribusi yang konstruktif bagi proses tersebut.39
Aspek yang kelima adalah substansi (materi) dari suatu perubahan Undang-Undang
Dasar yang akan dilakukan. Pada aspek kelima ini maka apa yang menjadi prinsip negara
hukum harus diletakkan secara substantif dalam perubahan kelima UUD 1945. Karena hanya
dengan memasukkan prinsip-prinsip negara hukum dalam konstitusi, maka konstitusi akan
sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat.
Menurut Carl Friedrich, konstitusi yang demokratis disusun dengan mengacu pada
faham konstitusionalisme yaitu gagasan bahwa pemerintahan merupakan kumpulan kegiatan
yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, dengan beberapa pembatasan yang
bertujuan agar kekuasaan yang diperoleh dari rakyat tidak disalahgunakan oleh yang
memerintah.40 Carl Friedrich juga mengatakan negara yang memiliki tatanan konseptual yang
jelas mengenai supremasi hukum, pembagian kekuasaan, dan hak-hak warga negara (civic
rights) disebut sebagai negara demokrasi konstitusional.41

B. Metode Perubahan Konstitusi
Edward

McWhinney

berpendapat,

seperti

halnya

sebuah

konstitusi,

konstitusionalisme adalah konsep yang juga dinamis. 42 Hubungan antara konstitusionalisme
dan pemerintah terus-menerus berubah, di mana konstitusi itu sendiri adalah bukti paling
gamblang dari perubahan itu. Lebih jauh McWhinney menggarisbawahi bahwa tugas dan
tanggung jawab utama elite-elite politik dalam sebuah pemerintahan yang konstitusional
39

Denny Indrayana, Op.Cit., hal. 110-111.
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 52.
41
Lihat Valina Singka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam
Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 21.
42
Lihat Edward McWhinney, Constitution-Making: Principles, Process, Practices (Toronto: University
of Toronto Press, 1981), hal. 132.
40

12

adalah mengantisipasi, mengoreksi, dan mengubah substansi-substansi sebuah konstitusi
demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yang sama ke arah sebuah proses
menuju demokrasi.43
Perubahan suatu Undang-Undang Dasar atau konstitusi dapat diamati dari dua sisi
yang penting, pertama, perubahan secara material dan kedua, perubahan secara forma.
Perubahan secara material dapat berlangsung menurut berbagai bentuk, antara lain
penafsiran, perkembangan tingkat fluktuasi kekuasaan lembaga-lembaga negara, dan
konvensi ketatanegaraan. Sedangkan perubahan melalui prosedur formal lazim ditentukan di
dalam konstitusi itu sendiri.44
Setelah

melakukan

penelitian

terhadap

seratus

Undang-Undang

Dasar

Taufiqurrohman mengkualifikasi istilah “perubahan” menjadi tujuh istilah dalam bahasa
Inggris, yaitu: 45
a) Amandment (perubahan),
b) Revision (perbaikan),
c) Alteration (perubahan),
d) Reform (perbaikan),
e) Change (pergantian),
f) Modified (modifikasi),
g) Review (tinjauan).

Sungguhpun istilah-istilah perubahan tersebut tidak sama, namun dalam aplikasinya
mengandung maksud yang sama yaitu mencakup pencabutan (repeal), tambahan (addition),
dan penggantian (replacement). 46
Wheeler membedakan antara amendemen (amendment) konstitusi dan revisi
(revision) konstitusi.47 Dia mendefinisikan sebuah ‘amendemen’ sebagai “perubahan dalam
lingkup yang terbatas, yang mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam
sebuah

konstitusi”; sedangkan ‘revisi’ didefinisikannya sebagai “menimbang-ulang

(reconsideration) keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi”.
43

Ibid.
Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Tata Negara: Perubahan Undang-Undang Dasar, (Jakarta: PT Tatanusa,
2009), hal. 117.
45
Lihat Taufiqurrohman, Prosedur Perubahan Konstitusi: Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Perbandingan dengan Negara Lain, Disertasi, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003), hal. 102.
46
Ibid., hal. 105.
47
Lihat John P. Wheeler, Jr. (1961), Changing the Fundamental Law dalam John P. Wheeler, Jr. (ed), Salient
Issues of Constitutional Revision, hal. 49.
44

13

Istilah amandemen berasal dari bahasa Latin amandare yang merupakan gabungan
dari dua perkataan e yang berarti dicoret dan mendum yang berarti a mistake (kesalahan). Jadi
mengamandemen berarti mengoreksi atau memperbaiki kesalahan. Maka amandemen
Undang-Undang Dasar bukan berarti merombak UUD 1945 dan menggantinya dengan
Undang-Undang Dasar yang baru.48
Istilah amandemen merupakan serapan dari istilah to amend dalam bahasa Inggris.
Adapun yang dimaksud dengan amandement adalah:49
1) A change made or proposed on the floor of a legislative body or in committee by
adding to, striking out, or altering the wording of any part of a bill or resolution.
Legislative rules usually require that the amandement be germane to the subject
matter, but violation are not uncommon.
2) An Addition to, or a change of, a constitution or an organic act which is appended
to the document rather than intercalated in the text.
Dalam Blacks’s Law Dictionary disebutkan pengertian Amend: 1) To Make right, to
correct or rectify (amend the order to fix a clerical error). 2) To change the wording of,
specific, to alter (statue, constituion, etc) formally by adding or deleting a provision or by
modifying the wording (amend the legislative bill).50 Kata Amend diartikan sebagai membuat
benar, memperbaiki, mengganti kata, khusus dalam Undang-Undang dan Undang-Undang
Dasar merupakan perubahan formal dengan menambah atau menghapus ketentuan atau
mengganti kata.
Sementara itu dalam Encyclopaedia Britannica, amendement diartikan sebagai a
change of some document or written or oral statement, by substitution, omission or addition,
or by a combination of these methods of change. The change or proposed change may intend
improvement or correction by the one proposing the amendement, but improvement or
correction are not essential element.51
Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa amandemen adalah perubahan
dari berbagai dokumen atau tulisan atau pernyataan lisan melalui penggantian, penghapusan,
atau penambahan atau gabungan dari metode-metode perubahan ini. Perubahan atau usul

48

Budiman N.P.D. Sinaga, Op.Cit., hal. 118.
Lihat Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi: Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD
1945), Mochamad Isnaeni Ramadhan (editor), (Bandung: Alumni, 2006), hal. 268-269.
50
Lihat Bryan A. Garner (editor), Blacks’s Law Dictionary, (St.Paul, Minn: West Publisihing Co., 1999), hal. 80.
51
Lihat Encyclopaedia Britannica Volume 1, (Chicago: William Benton Publisher, 1960), hal. 744.
49

14

perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau mengoreksi, maka catatan mengenai
perubahan atau koreksi merupakan unsur utama.
C. Materi Perubahan Kelima UUD 1945 untuk Penguatan Struktur Kelembagaan dan

Penjaminan Hak-Hak Warga Negara
Dilihat dari aspek substansi, maka perubahan materi UUD 1945 tidak hanya
berkenaan dengan perubahan struktur dan kelembagaan-kelembagaan negara, tetapi juga
menyangkut penguatan hak-hak sosial masyarakat yang belum terjamin dalam konstitusi
sebelumnya.
Dari kajian tentang aspek-aspek kunci perubahan suatu Undang-Undang Dasar, maka
salah satu aspek kunci penting yang patut mendapat perhatian adalah tentang usul materi
amandemen kelima UUD 1945. Pembahasan khusus tentang aspek ini penting karena dari
sinilah akan terlihat suatu benang merah antara gagasan untuk menyempurnakan UUD 1945
dengan prinsip-prinsip pokok negara hukum yang sudah diuraikan secara teoritis pada
pembahasan-pembahasan sebelumnya.
Pertama, penguatan sistem presidensial. Prinsip dalam penguatan sistem
presidensial adalah tidak memperkuat kedudukan Presiden melainkan kepada sistem
pemerintahannya. Demi efektivitas pelaksanaan sistem presidensial, pengambilan keputusan
yang selama ini dilakukan oleh DPR RI bersama Presiden selaku pemegang kekuasaan
eksekutif sebaiknya disempurnakan. Pengambilan keputusan dalam fungsi legislasi yang
semula dilakukan oleh DPR (legislatif) dan Presiden (eksekutif) dikembalikan kepada
pemegang fungsi legislasi yakni DPR dan DPD. Dengan demikian, Presiden selaku
pemegang kekuasaan eksekutif dapat lebih memfokuskan pada pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Eksekutif ditempatkan sebagai lembaga negara yang tidak terlibat
dalam proses pembuatan RUU, walaupun tetap mempunyai hak untuk mengajukan RUU.52
Melalui pemisahan secara tegas antara kewenangan eksekutif dan legislatif, akan
menjadikan mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan berjalan dengan
baik. Namun demikian, walaupun tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atas usul RUU,
Presiden mempunyai hak veto atas usul RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dan
DPD. Hal veto ini dapat dibatalkan apabila disetujui oleh 2/3 anggota DPR dan 2/3 anggota
DPD. 53

52
53

Lihat Naskah Perubahan Kelima UUD 1945, (Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2013), hal. 11-12.
Ibid.

15

Kedua, penguatan lembaga perwakilan. UUD 1945 dipandang belum memberikan
kedudukan yang memadai kepada DPD sebagai lembaga perwakilan dalam kerangka
pelaksanaan sistem parlemen dua kamar. Keterbatasan kewenangan DPD berdasarkan
konstruksi yang dibangun dalam konstitusi membawa konsekuensi kurang optimalnya peran
DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah dan masyarakat di level kebijakan
nasional. Untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem bikameral yang berimbang dan efektif
(balance and effective bicameralism), maka diperlukan peran DPD. Melalui peningkatan
peran ini, diharapkan tata hubungan dalam sistem parlemen bikameral dapat lebih ideal dan
efektf. Artinya DPD dapat secara otpimal menyerap, mengakomodasi, mengidentifikasi,
memformulasi, dan mengartikulasikan serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat.54
Menciptakan sistem bikameral yang efektif akan secara otomatis melibatkan MPR
sebagai lembaga negara yang mewadai DPR maupun DPD. Namun sejalan dengan kebutuhan
akan penyelenggaraan sistem bikameral yang efektif, idealnya MPR dikonstruksikan tidak
lagi berfungsi sebagai wadah bagi keanggotaan DPR dan DPD melainkan menaungi DPR dan
DPD sebagai lembaga perwakilan. Perubahan ini akan membawa konsekuensi pada
mekanisme pengambilan keputusan oleh MPR, khususnya dalam pemakzulan Presiden serta
perubahan terhadap UUD 1945, dimana kuorum tidak lagi merupakan gabungan jumlah
anggota DPR dan DPD melainkan di masing-masing kamar (representasi lembaga dalam
MPR).55
Ketiga, penguatan otonomi daerah. Salah satu usul penting terkait dengan
penguatan otonomi daerah adalah meletakkan otonomi secara bertingkat yakni antara pusat
dengan provinsi dan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Hal ini dilakukan untuk
menghindari sentralisasi otonomi yang selama ini terjadi. Dalam beberapa hal, pola
komunikasi dari kabupaten/kota secara langsung ke pusat dengan melangkahi peran provinsi
dipandang sudah tidak terlalu efektif.56
Untuk memperkuat peran daerah melalui otonomi bertingkat, perlu dilakukan
pemisahan secara tegas kedudukan Kepada Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dan DPRD.
Pemegang kekuasaan pemerintahan daerah tidak lagi oleh kepala daerah dan DPRD
melainkan murni oleh kepala daerah. DPRD berkedudukan sebagai parlemen daerah.
Penguatan DPRD sebagai parlemen daerah dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi

54

Ibid., hal. 12-13.
Ibid., hal. 14-15.
56
Ibid., hal 16-17.
55

16

pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan-kebijakannya melalui peraturan daerah,
yang secara otomatis mengefektifkan proses legislasi daerah.57
Keempat,

pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemisahan Pemilu

Nasional dan Pemilu Lokal secara teknis dimaksudkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih
sederhana. Pemilu Nasional diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
Anggota DPR, dan Anggota DPD. Sedangkan Pemilu Lokal diselenggarakan untuk memilih
Gubernur, Bupati/Walikota, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. 58
Kelima, optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi. Disamping kewenangan yang
sudah ada, kewenangan MK harus diperkuat untuk memutus pengaduan konstitusional yakni
pengaduan ketika terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap warga
negara.59
Keenam, penambahan Pasal Hak Asasi Manusia (HAM). Perlu dimasukkan
beberapa isu HAM yang penting diantaranya hak-hak kaum perempuan, hak para pekerja,
serta jaminan terhadap kebebesan pers.60
Ketujuh, penajaman Bab tentang Pendidikan dan Perekonomian Nasional. Perlu
adanya penajaman tentang pendidikan, karena warga negara tidak hanya berhak atas
pendidikan, tetapi juga pelatihan sehingga akan tercipta kecerdasan serta ketrampilan setiap
anak didik. Selain itu, di bidang ekonomi, ada usul untuk penajaman soal perlindungan
potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

57

Ibid.
Ibid., hal. 18.
59
Ibid., hal. 20.
60
Ibid., hal. 21.
58

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah ini, dapat dikemukan beberapa kesimpulan penting:
1) Wacana perubahan kelima UUD 1945 merupakan ide yang berkembang seiring
dengan tuntutan masyarakat luas untuk menyempurnakan konstitusi agar konstitusi
tetap menjadi the living constitution dimana konstitusi terbuka pada perubahan zaman
dan perubahan kepentingan masyarakat yang terus berkembang.
2) Dalam perspektif sosiologi hukum, wacana perubahan kelima adalah suatu upaya
untuk menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial atau agen perubahan
masyarakat. Karena dilihat dari aspek muatan materi yang terkandung di dalam
wacana perubahan kelima UUD 1945 tidak hanya terkait dengan penguatan
kelembagaan-kelembagaan negara, tetapi juga mengandung unsur penguatan pada
penjaminan hak-hak sosial kemasyarakatan.
3) Semua aspek kunci mulai dari kapan perubahan konstitusi harus dilakukan,
bagaimana perubahan konstitusi harus dilakukan, siapa yang harus menjadi lembaga
pengubah konstitusi, partisipasi masyarakat seperti apa yang harus digalang, dan
18

materi apa yang semestinya dikandung dalam sebuah konstitusi, sebetulnya harus
dirumuskan secara lebih tepat sehingga usaha untuk memperjuangkan amandemen
kelima UUD 1945 tidak mendapat pertentangan dan pertanyaan dari berbagai
kalangan masyarakat. Aspek-aspek kunci tersebut juga harus disosialisasikan kepada
masyarakat luas sehingga masyarakat sadar dan mengetahui apa saja yang menjadi
target dan agenda perubahan kelima UUD 1945 tersebut.
B. Saran
Dari kajian sosiologi hukum tentang wacana perubahan kelima UUD 1945 yang
sampai sejauh ini masih menuai hambatan, maka ada beberapa saran yang penulis sampaikan,
yakni:
1) Agenda perubahan kelima UUD 1945 adalah sebuah kebutuhan dan keniscayaan
zaman dalam memperkuat negara hukum serta membuat konstitusi dapat
menangkap perkembangan aspirasi masyarakat yang berkemnbang. Karena itu,
perlu dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif atas usul amandemen
kelima UUD 1945 agar setiap tahapan yang dilalui dapat sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
2) Perlu dibentuk semacam Komisi Konstitusi yang tugasnya adalah menyiapkan

tahapan-tahapan agenda perubahan kelima UUD 1945 agar amandemen kelima
tidak dilakukan secara terburu-buru tanpa fokus dan arah yang jelas. Komisi ini
nantinya bertugas untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan
inventarisasi atas materi-materi perubahan konstitusi, dan memberikan masukan
kepada MPR.
3) Dalam perubahan konstitusi ke depan, maka partisipasi atau keterlibatan
masyarakat juga harus dibuka. Perubahan pada konstitusi tidak bisa hanya
diserahkan kepada anggota MPR tetapi juga harus melibatkan masyarakat luas,
terutama dalam bentuk keterlibatan untuk menyampaikan pikiran-pikiran tentang
pokok-pokok materi perubahan agar perubahan kelima nantinya sesuai dengan
harapan dan aspirasi masyarakat luas.

19

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1991.
Dahl, Robert. On Democracy, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Perihal Demokrasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Eksistensi DPD RI 2009-2013: Untuk Daerah dan NKRI. Jakarta: Kelompok DPD RI di
MPR RI, 2013.
Encyclopaedia Britannica Volume 1. Chicago: William Benton Publisher, 1960.
Fadjar, Abdul Muktie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
Fadjar, Abdul Mukhtie. Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik. Malang:
In-Trans, 2003.
20

Garner, Bryan A. (editor). Blacks’s Law Dictionary. St.Paul, Minn: West Publisihing Co.,
1999.
Goldwin, Robert A. and Art Kaufman (editor). Constitution Makers and Constitution
Making: The Experience of Eight Nations. Washington, DC: American Enterprise
Institute, 1988.
Guru Pinandita: Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006.
Ihonvbere, Julius. How to Make an Undemocratic Constitution: The Nigerian Example. Third
World Quarterly, 2000.
Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung:
Penerbit Mizan, cetakan kedua, 2007.
Kommers, Donald P. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany.
Durham and London: Duke University Press, 1989.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, Edisi Revisi Cetak
2, 2009.
McWhinney, Edward. Constitution-Making: Principles, Process, Practices. Toronto:
University of Toronto Press, 1981.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Edisi
Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI, 2011.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition: Toward Responsive Law.
Harper & Row, 1978.
Palguna, I Gede, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint). Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Pokok-Pokok Usul Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR RI,

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN WARISAN OLEH AHLI WARIS MENURUT KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA

7 73 16

PENERAPAN PASAL 28 AYAT (1) UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENGENAI KERUSAKAN DAN GANGGUAN FUNGSI JALAN (STUDI DI POLRES MALANG KOTA)

0 23 25

IMPLIKASI AMANDEMEN UUD 1945 TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

0 8 116

INJAUAN YURIDIS TERHADAP KEPEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE SETELAH BERLAKUNYA UNDANG - UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 DI KOTA MALANG

1 25 16

KAJIAN YURIDIS TERHADAP SEORANG WALI YANG MELAKUKAN PENGAMBILAN HARTA WARIS ANAK DIBAWAH PERWALIANNYA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

1 28 17

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 5 14

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA BAGI PEMAKAI DAN PENGEDAR NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DIBANDINGKAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997

0 10 15

PRAKTIK OLIGOPSONI SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UNDANG - UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 (Studi pada Pemasaran Hasil Perikanan Tambak Udang di Provinsi Lampung)

0 8 50

PENGARUH UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP POLA - DIDIK GURU DI SMP NEGERI 1 PADANGRATU KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2013

0 9 74

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 7 42