Krisis Petani di Negeri Agraris

Krisis Petani di Negeri Agraris
*) R. Koen
Potensi Sumber Daya Agraria
Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung,
jumlah seluruh pulau di negeri ini mencapai 13.466 pulau. Indonesia juga memiliki garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada. Letak Indonesia di garis khatulistiwa menyebabkan negara
ini beriklim tropis. Kondisi iklim yang sangat mendukung usaha sektor pertanian.
Dengan demikian, tak akan cerita bencana kelaparan di negeri yang subur ini. Tak akan
ada cerita petani yang miskin dan kurang makan. Tak akan ada kisah petani gurem yang tak
mampu menyekolahkan anaknya sebab pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari.
Iya, harapan dan kenyataan adalah dua hal yang sulit berdamai bila tidak diperjuangkan.
Melihat potensi sumber daya agraria kita yang besar, seharusnya sektor pertanian menjadi sektor
usaha andalan. Ditambah tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia yang tertinggi di dunia.
Konsumsi beras untuk tiap orang Indonesia mencapai 114,12 kg/tahun. Oleh karena itu, dengan
jumlah penduduk 253 juta jiwa, kebutuhan beras mencapai 30 juta ton.
Sementara produksi beras nasional tahun 2015 sekitar 41 juta ton yang bersumber dari
75,55 juta ton gabah kering. Meski data produksi padi menunjukkan tren positif, nyatanya
distribusi aktual masih tidak sesuai harapan. Persediaan beras di pasaran tetap saja sulit diperoleh
dan harganya tak terkendali. Anehnya, kenaikan harga beras itu tidak berdampak positif bagi
petani. Pendapatan petani dari hasil penjualan,


tetap tidak bisa menutupi biaya produksi.

Pemenuhan kebutuhan beras domestik secara faktual belum dapat terlaksana karena beberapa
kendala.
Masalah petani meliputi beberapa hal yaitu; kepemilikian lahan yang kecil, permodalan,
kualitas perbibitan, teknologi pertanian dan pemasaran hasil produksi. Selain itu, kualitas sumber
daya manusia dalam usaha di sektor pertanian juga cukup terbelakang. Ditambah dengan
penurunan jumlah petani secara signifikan dalam 1 dekade terakhir.
Kendala Petani Indonesia
Kepemilikan lahan oleh petani masih sangat sedikit. Menurut Khudori (2013), Indeks
Gini kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,72%. Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga

merilis suatu data yang mencengangkan yaitu 0,2% penduduk menguasai 56% kepemilikan
tanah. Sementara petani tak bertanah atau petani gurem sekitar 85% dari keluarga petani di
Indonesia. Artinya, petani yang menggarap lahannya sendiri dan atau memiliki cukup lahan
hanya sekitar 15 %.
Kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian cukup terbelakang. Tercatat bahwa
petani tidak lulus SD 32,7%, lulus SD 42,3%, dan 14,6% lulus SMP 14,6%. Dengan demikian,
hanya sekitar 10,4% petani yang berpendidikan tinggi. Profesi petani lebih didominasi oleh
penduduk berpendidikan rendah. Akibatnya adalah rendahnya adopsi teknologi pertanian

sederhana yang mampu mendukung produksi pertanian.
Hal ini diperparah dengan penurunan jumlah petani produktif dalam beberapa tahun
terakhir. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan melaporkan bahwa dalam kurun waktu 20082012, jumlah petani berusia 15-29 tahun menurun dari 9,3 juta orang menjadi 8 juta. Penyusutan
juga terjadi pada petani berumur 30-44 tahun; dari 13 juta jiwa menjadi 12 juta. Penurunan juga
terjadi pada usia 45-60 tahun; dari 10,7 juta orang menjadi 10,4 juta orang. Sedangkan jumlah
petani dengan umur lebih dari 60 tahun tetap stabil 5 juta orang.
Asosiasi untuk Desa Sejahtera membagi petani menjadi dua kelompok berdasarkan umur
yaitu; petani berumur lebih dari 34 tahun sebanyak 87,15% dan kurang dari 34 tahun sebanyak
12,85%. Artinya, terjadi penurunan minat bertani di kalangan kaum muda. Hal itu tergambar
jelas dalam sensus pertanian 1 dekade terakhir, dari tahun 2003-2013, terjadi penurunan rumah
tangga petani dari 31,17 juta menjadi 26,13 juta. Ada penurunan sebanyak 5,04 juta rumah
tangga petani.
Khudori (2013) menyebutkan bahwa sumbangan usaha tani padi dalam struktur
pendapatan rumah tangga petani mengalami penurunan dari 36,2% pada tahun 1980-an menjadi
13,6% saat ini. Suatu kondisi yang memprihatinkan. Penurunan jumlah peminat bertani tidak
terlepas dari rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kepemilikan lahan pertanian yang
makin menyusut, terdesak oleh ekspansi investasi di bidang pertambangan, perkebunan, properti
hingga bisnis olahraga.
Penerapan atau adopsi teknologi yang sederhana dan praktis sangat mendukung usaha
pertanian. Termasuk dan terutama teknologi dalam perbenihan, pemupukan, pengendalian hama

dan penyakit. Penggunaan teknologi juga bisa dalam hal teknik produksi mulai dari pengolahan
lahan hingga panen. Hal yang riskan dalam adopsi teknologi adalah keberlanjutan pertanian.

Kekhawairan terbesar penggunaan produk hasil teknologi berbasis bahan kimia adalah
penurunan kualitas tanah, kerusakan ekosistem dan ketergantungan petani.
Pemasaran hasil produksi pertanian memiliki masalah lain yang cukup pelik. Kebijakan
impor beras yang ditelurkan pemerintah dan pengawasan yang rendah terhadap pengadaan beras
ilegal makin menyudutkan posisi petani. Belum lagi ulah para tengkulak dalam rantai
perdagangan. Rantai pemasaran hasil produksi di daerah yang masih bersifat monopsoni dan
oligopsoni menyebabkan nilai jual panenan tidak berbanding positif terhadap biaya produksi. Hal
ini menyebabkan Nilai Tukar Petani (NTP) terus menurun. Peran pemerintah lewat Perum Bulog
pun belum nampak keberpihakannya pada petani.
Tantangan Ke Depan
Menghadapi persoalan petani dalam konteks pengembangan pertanian, perlu upaya
komprehensif dengan melibatkan para stakeholder. Mengembalikan citra dan marwah sebagai
negara agraris tentu tidak cukup lewat slogan semata. Presiden Jokowi dalam program Nawacita,
menjanjikan penyelenggaraan Reformasi Agraria lewat dua cara yaitu distribusi lahan 9 juta
hektar kepada rakyat dan meningkatkan kepemilikan lahan pertanian bagi setiap petani gurem
dari 0,3 ha menjadi 2,0 ha. Implementasi program ini perlu dikawal dan dipastikan agar
terlaksana di lapangan.

Pun, reformasi agraria tidak sebatas hanya soal bagi-bagi tanah, tetapi perlu diikuti
dengan fasilitas teknologi pertanian, benih dan pupuk dengan harga terjangkau. Peningkatan
subsidi pemerintah terhadap sarana produksi dan mekanisasi pertanian diharapkan bisa
meningkatkan kembali posisi tawar petani. Dengan demikian, sektor pertanian bisa kembali
bergairah dan minat anak muda untuk bertani kembali bangkit.
Pemberdayaan petani dengan adopsi teknologi pertanian terapan dengan basis budaya
pertanian sangat penting dalam meningkatkan produksi. Pertanian sebagai budaya dan cara hidup
petani tidak bisa dipisahkan begitu saja dari upaya pengembangan pertanian. Bertani sebagai
cara hidup tidak pernah menorehkan catatan kelaparan dan kekurangan pangan bagi petani.
Karena itu, teknologi yang diharapkkan yaitu teknologi yang menjawab persoalan petani di
lapangan. Bukan sebatas program yang diputuskan dari balik meja pejabat.
Kendala pemasaran hasil pertanian bisa dikendalikan oleh pemerintah dengan
pembatasan dan moratorium impor pangan/beras. Pemanfaatan Perum Bulog dalam menyerap

hasil panen petani juga perlu dioptimalkan. Pengendalian perdagangan dalam tingkatan daerah
bisa diorganisir lewat pembentukan dan pendampingan koperasi produksi pertanian. Koperasi
produksi pertanian merupakan

upaya efektif dalam menghadang dan menantang eksistensi


‘kapitalis cilik’ (tengkulak) di perdesaan.
Penurunan jumlah petani dan minat kaum muda di bidang pertanian merupakan ancaman
serius bagi eksistensi pertanian nasional. Tren penurunan tersebut memberi isyarat bahwa ‘negeri
agraris tanpa petani’ bukan lagi fobia tak berdasar melainkan ancaman nyata yang tengah
mengintip. Karenanya, mengembalikan minat bertani harus ditopang dengan kebijakan dan
pendampingan yang masif dan berpihak pada kepentingan petani. Jika tidak, bonus demografi
pada 2025 hanya akan menjadi bencana demografi bagi bangsa ini. Dan yang berpesta pora
adalah korporasi swasta nasional dan transnasional yang bergerak di bidang pangan dan
pertanian. Semoga !!

*) Ketua Sekolah Buruh-Mubyarto Institute
*) Mantan PJ Sekretaris LMND Eksekutif Kota Kupang