Perilaku Ibu dalam Mengatasi Kesulitan Makan pada Anak Prasekolah di Desa Sei Musam Kendit Kecamatan Bahorok

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak usia tiga sampai lima tahun dikenal sebagai anak usia prasekolah. Dimana
pada usia ini terjadinya pertumbuhan dan perkembangan biologis, psikososial,
kognitif, spiritual, dan sosial yang begitu signifikan. Pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal pada anak usia prasekolah dipengaruhi oleh nutrisi,
tidur dan aktivitas, kesehatan gigi, pencegahan cedera dan asuhan keluarga dalam
mengasuh anak (Wong, 2009).
Berdasarkan penelitian Dewi, et al (2015) bahwa secara kognitif anak usia
prasekolah umumnya telah terampil dalam berbahasa.Perkembangan kognitif anak
dapat dilihat dari kemampuannya mengatakan “tidak” terhadap makanan yang
ditawarkan. Ada baiknya diadakan kompromi, anak diberi pilihan satu atau dua
macam makanan (Arisman, 2007).
Makanan yang diberikan saat usia prasekolah sangat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan anak. Oleh karena itu, asupan dan sumber gizi yang
terkandung

dalam

makanan


yang

diberikan

harus

benar

-

benar

diperhatikan.Masalahnya, seringkali makanan yang diberikan tersebut membuat
anak menolak.Hal ini biasa terjadi pada anak umumnya(Rachawati & Salimar,
2007).
Anak usia prasekolah masih memiliki kebiasaan makan yang khas pada masa
todler, seperti makanan ringan dan pemilih makanan yang berasa kuat. Ketika
anak mencapai usia empat tahun, mereka mulai memasuki periode lain dari


Universitas Sumatera Utara

keributan makan, yang biasanya khas pada anak berusia empat tahun yaitu anak
mulai berprilaku lebih pemberontak dan ceroboh (Wong, 2009).
Pada usia lima tahun anak menjadi lebih dapat menerima untuk mencoba
makanan baru, terutama jika mereka didorong oleh orang dewasa yang
memperbolehkan

mereka

membantu

mempersiapkan

makanan

atau

bereksperimen dengan rasa yang baru atau peralatan makan yang berbeda. Saat
makan bisa menjadi medan peperangan bila orang tua terlalu berharap anak

menjalankan tata cara makan yang sempurna. Biasanya anak usia tiga sampai
empat tahun masih sulit untuk duduk tenang pada saat makan, tetapi anak usia
lima tahun siap untuk sisi “sosial” makan (Wong, 2009).
Menurut Uripi (2006) sebaiknya anak tidak dipaksa untuk selalu
menghabiskan porsi makanan yang diberikan kepadanya. Biarkan ia makan sesuai
kemampuannya, orang tua harus mencermati besar porsi yang sesuai bagi anak
agar tidak banyak makanan yang terbuang percuma. Hal yang perlu diingat
bahwa, kapasistas pencernaan masih kecil dan belum sempurna sehingga porsi
makanan tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.
Orang tua kadang - kadang khawatir tentang kuantitas makanan yang
dikonsumsi anak prasekolah. Secara umum, kualitas jauh lebih penting dari pada
kuantitas. Anak akan mengatur sendiri asupan kalori mereka, mereka akan
mengompensasi pada waktu makan berikutnya atau makan kudapan (Wong,
2009).
Makanan jajanan (snack) dapat diberikan sebagai makanan selingan, tetapi pilih
yang mengandung zat gizi yang dibutuhkan. Anak mulai dibiasakan mengonsumsi

Universitas Sumatera Utara

sayuran dan buah - buahan segar, seperti timun, wortel, pisang, pepaya, dan jeruk

untuk menambah asupan vitamin dan mineral, merangsang pertumbuhan gizi,serta
enzim -

enzim pencernaan. Namun, usahakan jangan memaksa anak untuk

memakan sesuatu yang baru dikenal dan tidak disenangi.Hal ini dapat menambah
ketidaksenangannya, bahkan berakibat penolakan seumur hidupnya. Berikan
alternatif makanan lain atau cobalah mengolah dengan variasi lain (Uripi, 2006).
Perilaku makan sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis, kesehatan, dan sosial
anak.Oleh karena itu, keadaan lingkungan dan sikap keluarga merupakan hal yang
sangat penting dalam pemberian makan pada anak agar anak tidak cemas dan
khawatir terhadap makanannya.Seperti pada orang dewasa, susasana yang
menyenangkan dapat membangkitkan selera makan anak (Uripi, 2006).
Kebiasaan dan kesukaan anak terhadap makanan mulai dibentuk sejak kecil.
Jika anak diperkenalkan dengan berbagai jenis makanan mulai usia dini, pola
makan dan kebiasaan makan pada usia selanjutnya adalah makanan yang
beragam. Secara dini, mereka harus dibiasakan makan makanan yang sehat dan
bergizi seimbang sebagai bekal di kemudian hari (Uripi, 2006).
Sering orangtua mengeluhkan tentang anak - anak mereka yang mengalami
kesulitan makan. Susah makan tersebut membuat orangtua cemas dan bingung

bagaimana harus mengatasinya. Susah makan ini disebabkan karena nafsu makan
anak yang menurun, jika dibiarkan berlarut - larut status gizi anak akan terganggu
atau

menurun

dan

berdampak

buruk/mengganggu

pertumbuhan

dan

perkembangan anak (Sulistijani & Herlianty, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Angka kejadian masalah kesulitan makan di beberapa Negara termasuk cukup
tinggi. Sebuah penelitian oleh The Gateshead Millenium Baby Study pada tahun
2006 di Inggris menyebutkan 20% orangtua melaporkan anaknya mengalami
masalah makan, dengan prevalensi tertinggi anak hanya mau makan makanan
tertentu. Studi di Italia mengungkapkan 6% bayi mengalami kesulitan makan,
kemudian meningkat 25-40% pada saat fase akhir pertumbuhan. Survei lain di
Amerika Serikat menyebutkan 19-50% orangtua mengeluhkan anaknya sangat
pemilih dalam makan sehingga terjadi defisiensi zat gizi tertentuWaugh (2006
dalam Nafratilawati, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian Soedibyo (2009) terdapat (58%) anak berusia 1 5 tahun mengalami kesulitan makan di Jakarta, dengan jenis kelamin terbanyak
laki - laki (54%). Subjek memiliki status gizi kurang (43%), kesulitan makan
didapatkan pada 50 orang dari 109 orang subjek (45,9%), keluhan berupa
menghabiskan makanan kurang dari sepertiga porsi (27,5%), menolak makan
(24,8%) dan anak rewel merasa tidak senang atau marah (22,9%), hanya
menyukai satu jenis makanan (7,3%), hanya mau minum susu (18,3%),
memerlukan waktu makan lebih dari satu jam (19,3%) dan mengemut makanan
(15,6%). Keluhan (72%) telah dialami lebih dari enam bulan, memiliki gangguan
kenaikan berat badan (50%), rewel (22%), nyeri epigastrium 9125) dan nyeri
menelan dan muntah (6%).
Hasil penelitian Nafratilawati (2014) hubungan pola asuh dengan kesulitan

makan di Semarang bahwa ditemukan (43,3%) anak prasekolah mengalami
kesulitan makan. Di Palembang ditemukan hasil penelitian tentang gambaran

Universitas Sumatera Utara

kesulitan makan pada anak prasekolah sebanyak (59,3%) anak prasekolah
mengalami kesulitan makan oleh Mutahar (2009).
Berdasarkan hasil penelitian Simangunsong (2013) tentang perilaku ibu
dalam mengatasi kesulitan makan pada anak Balita di kelurahan Huta - huta
Sibolga didapat hasil penelitian bahwa ibu mempunyai pengetahuan baik (32%)
dan pengetahuan cukup (68%). Ibu mempunyai sikap baik (17%) dan sikap cukup
(83%), ibu mempunyai tindakan baik (43%), tindakan cukup (55%) dan tindakan
kurang (2%).
Berdasarkan hasil penelitian Hariani (2007) tentang sikap ibu dalam
mengatasi kesulitan makan pada anak di Lingkungan VIII Desa Tembung
Kecamatan Percut Sei Tuan Medan, diperoleh hasil penelitian Ibu yang memiliki
anak prasekolah berusia 4 - 5 tahun, ibu mempunyai sikap negatif 60,52% dan ibu
yang memiliki sikap positif sebanyak 39,48%.
Seorang ibu hendaknya berupaya dan berusaha mengatasi masalah makan
pada anak, seperti menciptakan suasana makan yang tenang dan tidak tergesa gesa, mengatur menu makan anak dan menciptakan makanan yang bervariasi.

Berdasarkan hasil wawancara saya dengan ibu - ibu yang mempunyai anak usia
prasekolah di Desa Sei Musam Kendit Kecamatan Bahorok, ibu mengatakan
bahwa anak mereka sulit sekali untuk diajak makan. Padahal mereka sudah
berusaha secara maksimal untuk mengupayakan agar anak nya mau makan. Para
ibu juga sering meminta vitamin kepada bidan desa untuk menambah nafsu makan
anak mereka.

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perilaku ibu sangat berpengaruh
dalam mengatasi kesulitan makan pada anak prasekolah. Atas dasar inilah peneliti
tertarik untuk mengkaji tentang perilaku ibu yang terbagi atas pengetahuan, sikap
dan tindakan ibu dalam mengatasi masalah makan pada anak prasekolah.

Universitas Sumatera Utara