Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada Sekolah di Kota Medan Tahun 2014

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes, 2009).

Setiap orang berhak atas kesehatan. Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Demikian juga setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2009). Menurut Katerina Tomasevski, bahwa hak atas kesehatan terkait dengan upaya minimalisasi dampak lingkungan bagi kehidupan manusia. Kenyataannya lingkungan yang sehat masih jauh dari harapan. Salah satu perilaku yang semakin hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Darajat, 2012).

Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih,


(2)

cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman tembakau (nicotiana tobacum, nicotiana rustica) dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan (Perda, 2014). Rokok merupakan gabungan dari bahan-bahan kimia. Satu batang rokok yang dibakar akan mengeluarkan 4000 bahan kimia. Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu komponen gas (92%) dan komponen padat atau partikel (8%). Asap rokok yang dihisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua komponen. Pertama, komponen yang lekas menguap berbentuk gas. Kedua, komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang dihisap dapat berupa gas sejumlah 85 persen dan sisanya berupa partikel. Asap yang dihasilkan rokok terdiri dari asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama adalah asap tembakau yang dihisap langsung oleh perokok, sedangkan asap samping adalah asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, sehingga dapat terhirup oleh orang lain yang dikenal sebagai perokok pasif. Komponen gas asap rokok adalah karbonmonoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin, karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen) (Tarigan, 2014).

Bahaya terhadap kesehatan tubuh bagi perokok aktif telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Perokok aktif merupakan setiap orang yang membakar rokok dan/atau secara langsung menghisap asap rokok yang sedang dibakar. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak


(3)

penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan resiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker oesofagus, bronchitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin (Tarigan, 2014).

Kebiasaan merokok sudah meluas di hampir semua kelompok masyarakat di Indonesia dan cenderung meningkat, terutama di kalangan anak dan remaja sebagai akibat gencarnya promosi rokok di berbagai media massa. Hal ini memberi makna bahwa masalah merokok telah menjadi semakin serius, mengingat merokok berisiko menimbulkan berbagai penyakit atau gangguan kesehatan yang dapat terjadi baik pada perokok itu sendiri maupun orang lain di sekitarnya yang tidak merokok (perokok pasif). Perokok pasif adalah orang yang bukan perokok namun terpaksa menghisap atau menghirup asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok (Kemenkes, 2011).

Masalah rokok pada hakikatnya sudah menjadi masalah nasional bahkan internasional. Dampaknya menyangkut bidang ekonomi dan kesehatan manusia. Perilaku merokok tidak hanya merugikan perokok, tetapi juga orang yang ada disekitarnya yang bukan perokok (perokok pasif) (Aditama, 2001). Orang yang merokok butuh untuk dihargai (self esteem) dari sesama perokok maupun yang bukan perokok, akan tetapi bagi perokok punya tanggung jawab yang lebih besar untuk menciptakan lingkungan sekitar yang lebih sehat sehingga orang yang tidak merokok masih dapat menghirup dan menikmati udara segar (Palutturi, 2010).


(4)

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, diperkirakan ada sebanyak 1,26 miliar perokok di seluruh dunia dan sekitar 200 juta diantaranya adalah perokok wanita. Ada 10 negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, yaitu Cina (390 juta perokok), India (144 juta perokok), Indonesia (65 juta perokok), Rusia (61 juta perokok), Amerika Serikat (58 juta perokok), Jepang (49 juta perokok), Brazil (24 juta perokok), Bangladesh (23,3 juta perokok), Jerman (22,3 juta perokok), Turki (21,5 juta perokok) (Khairunnisa, 2013). Kemudian menurut WHO 2011, 80% perokok di dunia berdomisili di negara-negara berkembang (Aisyah, 2014). Menurut penelitian dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) 2012, di bawah Indonesia ada Laos (51,3%), China (45,1%) dan Kamboja (42,1%), jumlah pria perokok di Indonesia meningkat dan menempati peringkat kedua di dunia dengan 57% di bawah Timor Leste 61% (Tarigan, 2014).

Data hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011, persentase perokok aktif di Indonesia mencapai 67% (laki-laki) dan 2,7% (perempuan) dari jumlah penduduk, terjadi kenaikan 6 tahun sebelumnya perokok laki-laki sebesar 53 %. Data yang sama juga menyebutkan bahwa 85,4% orang dewasa terpapar asap rokok ditempat umum, di rumah (78,4%) dan di tempat bekerja (51,3%). Mereka yang merokok di rumah sama dengan mencelakakan kesehatan anak dan istri (Tarigan, 2014).

Hasil Riskesdas 2013, menunjukkan proporsi perokok pria dari 67% tahun 2011 menjadi 64,9% tahun 2013. Selain itu ditemukan juga 9,9% perokok pada kelompok tidak bekerja dan 32,3% pada kelompok kuintil indeks kepemilikan


(5)

terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sekitar 12,3 batang, untuk terendah 10 batang dan tertinggi 18,3 batang (Aisyah, 2014). Perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, bahkan cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. Dijumpai 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32,3 persen pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah (Riskesdas, 2013).Prevalensi perokok berdasarkan Riskesdas 2013, menurut provinsi terdapat 67,8% perokok di Bali, 66,3 % di provinsi DI Yogyakarta dan 62,7% di Jawa Tengah. Untuk provinsi Sumatera Utara perokok yang merokok setiap hari berjumlah 29,7 persen. Untuk nasional prevalensi perokok laki laki sebesar 54,1 persen Universitas Sumatera Utara, sedangkan perokok saat ini di Sumatera Utara menurut riskesdas 35,7 persen (Tarigan, 2014).

Kasus-kasus perokok tersebut beberapa disebabkan karena banyak yang beranggapan bahwa merokok adalah Hak Asasi Manusia. Salah kaprah semacam ini menimbulkan hal-hal yang kurang baik di tengah masyarakat. Hak Asasi Manusia adalah relasi warga negara dengan Pemerintah, di mana Pemerintah harus memberikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. Adapun hak-hak asasi tergabung dalam hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Sementara, merokok bukanlah salah satu bagian dari hak baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, merokok sama sekali bukanlah Hak Asasi Manusia. Merokok adalah pilihan bagi setiap


(6)

orang. Namun, meskipun sebuah pilihan, ada konsekuensi lain yang harus dilakukan, yakni menghormati orang lain agar tidak terkena dampak (asap rokok). Dalam hal ini, negara selaku pemilik otoritas kebijakan dan hukum, wajib memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat, kepada tiap warga negara, termasuk bebas dari asap rokok ini (Komnas HAM, 2012). Oleh karena hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok (Kemenkes, 2011).

Penanggulangan masalah rokok di Indonesia memang sangat dilematis. Di satu sisi, industri rokok dianggap sebagai penghasil pajak paling besar dibanding sector lain. Misalnya dapat memberikan kontribusi terhadap pemasukan keuangan negara berupa pembayaran cukai. Singkat kata, industri rokok adalah industri padat karya dan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam perekonomian bangsa (Tarigan, 2014).

World Health Organization (WHO) mengembangkan kerangka kerja internasional yang disebut Framework Convertion On Tobacco Control (FCTC). Yang merupakan Instrumen Hukum Internasional sebagai sarana untuk memperkuat kemampuan negara-negara dalam mengendalian tembakau juga satu-satunya landasan bagi standar global pengendalian tembakau (Supriyadi, 2014).

UU No. 36 tahun 2009 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Saat ini beberapa provinsi, kabupaten/kota, telah memiliki kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), namun terkadang masih


(7)

ditemukannya orang merokok pada kawasan tanpa asap rokok. Pengaturan pembatasan terhadap orang yang merokok adalah kewajiban negara agar setiap warga negara dapat menikmati udara bersih dan lingkungan yang sehat, termasuk di tempat umum (Darajat, 2012).

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 35 Tahun 2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada Perkantoran Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, menyebutkan tujuan penetapan kawasan tanpa rokok adalah antara lain menumbuhkan kesadaran bahwa merokok merugikan kesehatan, menurunkan angka perokok dan menengah perokok pemula, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka kesakitan dan /atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat dan staf di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk hidup sehat. Dan sasaran kawasan tanpa rokok adalah perkantoran atau tempat kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pergub, 2012).

Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau (Perda, 2014). Beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan KTR, seperti Jakarta, Bogor, Palembang, Yogyakarta, dan Padang Panjang (Susanti, 2011). KTR ditetapkan pada, antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (Depkes, 2009).


(8)

Berdasarkan amanat Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang mewajibkan tiap daerah untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok maka Pemerintah Kota Medan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Perda KTR tersebut ditetapkan pada fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum. Perda ini bertujuan menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak buruk rokok baik langsung maupun tidak langsung dan menciptakan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Maka dari itu setiap warga masyarakat berkewajiban memelihara dan meningkatkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok. Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan KTR, peran serta masyarakat tersebut dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau badan usaha, dan lembaga atau organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat (Perda, 2014).

Meskipun KTR di Kota Medan telah diwajibkan sebagaimana disebutkan pada Perda KTR, namun pelaksanaannya masih banyak yang belum menerapkan KTR dan bagi yang telah melaksanakan KTR pun masih banyak terjadi pelanggaran, terkhusus pada tempat proses belajar mengajar seperti sekolah. Maka selain orang tua, instansi yang paling dekat dengan anak-anak adalah sekolah.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hudriani Jamal dengan Kepatuhan Mahasiswa Terhadap Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Di Kampus Universitas Hasanuddin dijelaskan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi


(9)

maupun responden yangberpengetahuan rendah cenderung tidak patuh, responden yang memiliki sikap positif cenderung patuh sedangkan responden yang bersikap negatif tidak patuh, responden yang memiliki pengaruh positif dari lingkungan sosialnya lebih patuh sedangkan yang tidak ada pengaruh dari lingkungan sosialnya cenderung tidak patuh terhadap penerapan kawasan bebasasap rokok di lingkungan kampus Unhas (Jamal, 2012).

Menurut survei pendahuluan serta observasi yang dilakukan peneliti, sekolah di Kota Medan yaitu SD Negeri 060919 Medan, SMP Negeri 7 Medan, SMA Negeri 1 Medan telah menerapkan KTR. Pada sekolah-sekolah tersebut juga terdapat beberapa gambar menyangkut bahaya merokok, poster larangan merokok dan plakat KTR yang dipasang di area sekolah. Namun masih juga terjadi pelanggaran seperti menyelinap merokok ke kamar mandi atau di kantin sekolah, bahkan ada juga satpam yang dengan tenang merokok di pos, dan lainnya, serta belum ada sanksi yang telah diterapkan pada sekolah tersebut.

Uraian dan fakta di atas menarik minat dan perhatian penulis untuk mengetahui lebih jauh bagaimana implementasi Perda Kota Medan No. 3 Tahun 2014 tentang KTR pada sekolah di Kota Medan, terkhusus pada SD Negeri 060919 Medan, SMP Negeri 7 Medan dan SMA Negeri 1 Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti merumuskan masalah pada penelitian ini yaitu “Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada sekolah di Kota Medan” yang telah terlaksana pada tahun 2014.


(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada sekolah di Kota Medan yang telah terlaksana pada tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi Pemerintah, dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam penerapan KTR di Kota Medan terkhusus pada sekolah.

2. Bagi Instansi, sebagai bahan masukan bagi sekolah dalam melihat implementasi penerapan KTR yang terlaksana di SD Negeri 060919 Medan, SMP Negeri 7 Medan dan SMA Negeri 1 Medan.

3. Bagi ilmu kesehatan masyarakat diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan bahan informasi.


(1)

terendah. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sekitar 12,3 batang, untuk terendah 10 batang dan tertinggi 18,3 batang (Aisyah, 2014). Perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, bahkan cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. Dijumpai 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun, 9,9 persen perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32,3 persen pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terendah (Riskesdas, 2013).Prevalensi perokok berdasarkan Riskesdas 2013, menurut provinsi terdapat 67,8% perokok di Bali, 66,3 % di provinsi DI Yogyakarta dan 62,7% di Jawa Tengah. Untuk provinsi Sumatera Utara perokok yang merokok setiap hari berjumlah 29,7 persen. Untuk nasional prevalensi perokok laki laki sebesar 54,1 persen Universitas Sumatera Utara, sedangkan perokok saat ini di Sumatera Utara menurut riskesdas 35,7 persen (Tarigan, 2014).

Kasus-kasus perokok tersebut beberapa disebabkan karena banyak yang beranggapan bahwa merokok adalah Hak Asasi Manusia. Salah kaprah semacam ini menimbulkan hal-hal yang kurang baik di tengah masyarakat. Hak Asasi Manusia adalah relasi warga negara dengan Pemerintah, di mana Pemerintah harus memberikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. Adapun hak-hak asasi tergabung dalam hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Sementara, merokok bukanlah salah satu bagian dari hak baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, merokok sama sekali bukanlah Hak Asasi Manusia. Merokok adalah pilihan bagi setiap


(2)

orang. Namun, meskipun sebuah pilihan, ada konsekuensi lain yang harus dilakukan, yakni menghormati orang lain agar tidak terkena dampak (asap rokok). Dalam hal ini, negara selaku pemilik otoritas kebijakan dan hukum, wajib memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat, kepada tiap warga negara, termasuk bebas dari asap rokok ini (Komnas HAM, 2012). Oleh karena hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok (Kemenkes, 2011).

Penanggulangan masalah rokok di Indonesia memang sangat dilematis. Di satu sisi, industri rokok dianggap sebagai penghasil pajak paling besar dibanding sector lain. Misalnya dapat memberikan kontribusi terhadap pemasukan keuangan negara berupa pembayaran cukai. Singkat kata, industri rokok adalah industri padat karya dan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam perekonomian bangsa (Tarigan, 2014).

World Health Organization (WHO) mengembangkan kerangka kerja internasional yang disebut Framework Convertion On Tobacco Control (FCTC). Yang merupakan Instrumen Hukum Internasional sebagai sarana untuk memperkuat kemampuan negara-negara dalam mengendalian tembakau juga satu-satunya landasan bagi standar global pengendalian tembakau (Supriyadi, 2014).

UU No. 36 tahun 2009 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Saat ini beberapa provinsi, kabupaten/kota, telah memiliki kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), namun terkadang masih


(3)

ditemukannya orang merokok pada kawasan tanpa asap rokok. Pengaturan pembatasan terhadap orang yang merokok adalah kewajiban negara agar setiap warga negara dapat menikmati udara bersih dan lingkungan yang sehat, termasuk di tempat umum (Darajat, 2012).

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 35 Tahun 2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada Perkantoran Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, menyebutkan tujuan penetapan kawasan tanpa rokok adalah antara lain menumbuhkan kesadaran bahwa merokok merugikan kesehatan, menurunkan angka perokok dan menengah perokok pemula, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka kesakitan dan /atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat dan staf di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk hidup sehat. Dan sasaran kawasan tanpa rokok adalah perkantoran atau tempat kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pergub, 2012).

Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau (Perda, 2014). Beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan KTR, seperti Jakarta, Bogor, Palembang, Yogyakarta, dan Padang Panjang (Susanti, 2011). KTR ditetapkan pada, antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (Depkes, 2009).


(4)

Berdasarkan amanat Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang mewajibkan tiap daerah untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok maka Pemerintah Kota Medan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Perda KTR tersebut ditetapkan pada fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum. Perda ini bertujuan menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak buruk rokok baik langsung maupun tidak langsung dan menciptakan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Maka dari itu setiap warga masyarakat berkewajiban memelihara dan meningkatkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok. Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan KTR, peran serta masyarakat tersebut dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau badan usaha, dan lembaga atau organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat (Perda, 2014).

Meskipun KTR di Kota Medan telah diwajibkan sebagaimana disebutkan pada Perda KTR, namun pelaksanaannya masih banyak yang belum menerapkan KTR dan bagi yang telah melaksanakan KTR pun masih banyak terjadi pelanggaran, terkhusus pada tempat proses belajar mengajar seperti sekolah. Maka selain orang tua, instansi yang paling dekat dengan anak-anak adalah sekolah.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hudriani Jamal dengan Kepatuhan Mahasiswa Terhadap Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Di Kampus Universitas Hasanuddin dijelaskan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi


(5)

maupun responden yang berpengetahuan rendah cenderung tidak patuh, responden yang memiliki sikap positif cenderung patuh sedangkan responden yang bersikap negatif tidak patuh, responden yang memiliki pengaruh positif dari lingkungan sosialnya lebih patuh sedangkan yang tidak ada pengaruh dari lingkungan sosialnya cenderung tidak patuh terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok di lingkungan kampus Unhas (Jamal, 2012).

Menurut survei pendahuluan serta observasi yang dilakukan peneliti, sekolah di Kota Medan yaitu SD Negeri 060919 Medan, SMP Negeri 7 Medan, SMA Negeri 1 Medan telah menerapkan KTR. Pada sekolah-sekolah tersebut juga terdapat beberapa gambar menyangkut bahaya merokok, poster larangan merokok dan plakat KTR yang dipasang di area sekolah. Namun masih juga terjadi pelanggaran seperti menyelinap merokok ke kamar mandi atau di kantin sekolah, bahkan ada juga satpam yang dengan tenang merokok di pos, dan lainnya, serta belum ada sanksi yang telah diterapkan pada sekolah tersebut.

Uraian dan fakta di atas menarik minat dan perhatian penulis untuk mengetahui lebih jauh bagaimana implementasi Perda Kota Medan No. 3 Tahun 2014 tentang KTR pada sekolah di Kota Medan, terkhusus pada SD Negeri 060919 Medan, SMP Negeri 7 Medan dan SMA Negeri 1 Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti merumuskan masalah pada penelitian ini yaitu “Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada sekolah di Kota Medan” yang telah terlaksana pada tahun 2014.


(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada sekolah di Kota Medan yang telah terlaksana pada tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi Pemerintah, dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam penerapan KTR di Kota Medan terkhusus pada sekolah.

2. Bagi Instansi, sebagai bahan masukan bagi sekolah dalam melihat implementasi penerapan KTR yang terlaksana di SD Negeri 060919 Medan, SMP Negeri 7 Medan dan SMA Negeri 1 Medan.

3. Bagi ilmu kesehatan masyarakat diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan bahan informasi.