Pengaruh Suhu Hidrolisis pada Pembuatan Dekstrin dari Pati Kentang (Solanum tuberosum L.) Secara Enzimatis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kentang. Kentang
merupakan sumber karbohidrat yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan
baku industri dan pakan ternak (Martunis, 2012).
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman umbi-umbian yang
kaya akan karbohidrat dan menjadi prioritas untuk dikembangkan. Hal ini dapat
dilihat dari konsumsi kentang di dunia menempati urutan keempat setelah beras,
gandum, dan jagung Indonesia adalah negara penghasil kentang terbesar
dikawasan Asia Tenggara. Daerah produksi kentang di Indonesia tersebar di
daerah Sumatera Utara¸ Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Sulawesi Selatan (Niken dan Andepristia, 2013).
Kentang selain dikonsumsi dalam bentuk segar juga dimanfaatkan sebagai
sumber pati untuk keperluan industri farmasi (Martunis, 2012). Pati umumnya
tidak larut dalam air dingin, pemasakannya memerlukan waktu yang cukup lama
dan pasta yang terbentuk juga cukup keras. Modifikasi pati dilakukan agar
diperoleh sifat-sifat yang cocok untuk dimanfaatkan dalam industri farmasi. Pati
termodifikasi memiliki sifat fisikokimia yang lebih baik dibanding pati asal
(Ningsih, et al., 2010).

Pati termodifikasi dapat dihasilkan dari modifikasi pati kentang. Salah
satunya adalah dekstrin. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2593-1992)
dekstrin didefinisikan sebagai salah satu produk hidrolisis pati yang berbentuk
serbuk amorf, berwarna putih sampai kekuningan. Dekstrin memiliki sifat mudah

1
Universitas Sumatera Utara

larut dalam air dingin, dapat membentuk lapisan film dan memiliki sifat adesif
(Ningsih, et al., 2010).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang pembuatan dekstrin
diantaranya adalah Jati (2006) yang melakukan penelitian tentang pengaruh waktu
hidrolisis dan konsentrasi HCl terhadap nilai Dextrose Equivalen (DE) dan
karakterisasi mutu pati termodifikasi dari pati tapioka dengan metode hidrolisis
asam untuk mengetahui pengaruh faktor lama pemanasan, konsentrasi HCl dan
interaksi antara keduanya dalam pembuatan pati termodifikasi secara metode
basah (gelatinisasi) dan metode kering (penyangraian). Peneliti lainnya Triyono
(2007) telah melakukan pemanfaatan jenis umbi lain yaitu ubi jalar (Ipomea
batatas (L.) untuk meningkatkan fungsional pati dari ubi jalar dengan


menggunakan enzim α-amilase dari Bacillus subtilis sebagai bahan subsitusi
pengolahan pangan dengan memperhatikan pengaruh pH dan konsentrasi pati
yang dikarakterisasi sesuai persyaratan mutu Standar Nasioanal Indonesia (SNI).
Peneliti lainnya Ningsih, et al., (2010) melakukan penelitian tentang pembuatan
dekstrin dari pati ubi kayu (Manihot esculenta ) menggunakan enzim amilase dari
Azospirillum sp. JG3 untuk meningkatkan kegunaan pati yang lebih luas dan

dikarakterisasi sesuai dengan syarat mutu dekstrin untuk industri pangan SNI
1992. Selain itu Santosa (2010) juga telah melakukan penelitian tentang hidrolisis
enzimatik pati tapioka (merk “Gunung Agung”) dengan kombinasi pemanasan
microwave-water bath pada pembuatan dekstrin sebagai salah satu usaha untuk

mengkonversi pati tapioka menjadi dekstrin dengan ketersediaan bahan baku pati
tapioka yang terpenuhi, sehingga dapat mengurangi volume impor dekstrin.
Kemudian Pudiastuti dan Pratiwi (2013) juga telah melakukan penelitian tentang

2
Universitas Sumatera Utara

pembuatan dekstrin dari tepung tapioka (merk “Gunung Agung”) secara enzimatik

(α-amilase dari Bacillus licheneformis) dengan pemanasan microwave sebagai
pengganti pemanas konvensional dan mengkaji pengaruh konsentrasi pati dan
waktu likuifaksi terhadap Dextrose Equivalen (DE) dan viskositas.
Desktrin dapat diproduksi dengan tiga proses pembuatan yaitu proses
pembuatan secara enzimatis, proses pembuatan secara basah serta proses
pembuatan secara kering. Proses pembuatan secara enzimatis dilakukan karena
proses ini dapat berjalan pada suhu yang rendah, lebih spesifik, menghasilkan
sedikit produk samping (Pudiastuti dan Pratiwi 2013). Pembuatan secara kering
(penyangraian) menghasilkan perubahan warna pada pati selama proses
pembuatan sehingga dekstrin yang diperoleh berwarna lebih gelap. Pembuatan
dekstrin secara basah dengan menggunakan asam memiliki keunggulan karena
prosesnya mudah, bahan baku mudah didapatkan dan murah (Jati, 2006).
Kelemahan menggunakan asam yaitu dapat menghasilkan produk dengan rasa dan
warna yang buruk karena asam memiliki sifat sangat reaktif.
Dekstrin terbentuk melalui dua tahapan yaitu tahap gelatinisasi dan tahap
hidrolisis. Gelatinisasi adalah proses pemecahan pati dengan menggunakan air
dan panas. Hidrolisis adalah tahapan proses dimana pati yang telah tergelatinisasi
terhidrolisis menjadi dekstrin. Sejumlah asam, atau enzim ditambahkan pada
tahap hidrolisis untuk membentuk dekstrin (Santosa, 2010).
Produksi secara enzimatis umumnya dilakukan dengan menggunakan

enzim amilase. Enzim amilase di gunakan sebab ramah lingkungan, pemecahan
yang terjadi lebih spesifik dan tidak menimbulkan rasa yang menyimpang pada
produk akhir (Nangin dan Sutrisno, 2014). Aktivitas enzim α-amilase dapat

3
Universitas Sumatera Utara

dipengaruhi oleh suhu (Sadikin, 2002). Umumnya aktifitas enzim α-amilase
terjadi pada suhu 30-40

(Suarni dan Patong, 2007).

Dunia industri farmasi di Indonesia menggunakan dekstrin yang selama ini
diimport dari luar. Kebutuhan dekstrin dalam industri farmasi dari tahun ke tahun
semakin meningkat (Triyono, 2007). Volume import dekstrin Indonesia pada
tahun 2007 mencapai 39.309.703 kg senilai US$ 26.209.257. Itu meningkat dari
tahun sebelumnya yang hanya 36.747.033 kg senilai US$ 21.791.938 (Pudiastuti
dan Pratiwi, 2013).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
pembuatan dekstrin dari pati kentang karena belum sering diteliti sehingga

meningkatkan pemanfaatan pati kentang dan mengetahui pengaruh suhu hidrolisis
terhadap karakteristik dekstrin dari pati kentang secara enzimatis. Kemudian
dilakukan karakteristik dekstrin yang didapatkan menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI 01-2593-1992).

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah dekstrin dapat dibuat dari pati kentang (Solanum tuberosum L.)
dengan menggunakan metode enzimatis?
b. Apakah suhu hidrolisis mempengaruhi karakteristik dekstrin yang dibuat
dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) menggunakan enzim α-amilase?
c. Apakah dekstrin dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) dengan metode
enzimatis menggunakan enzim α-amilase memenuhi persyaratan Standar
Nasional Indonesia (SNI).

4
Universitas Sumatera Utara

1.3 Hipotesis

Dari masalah yang dirumuskan diatas, hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Dekstrin dapat dibuat dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) menggunakan
metode enzimatis.
b. Suhu hidrolisis mempengaruhi karakteristik dekstrin yang dibuat dari pati
kentang (Solanum tuberosum L.) menggunakan enzim α-amilase.
c. Dekstrin dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) dengan metode enzimatis
menggunakan enzim α-amilase memenuhi persyaratan Standar Nasional
Indonesia (SNI).

1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Membuat dekstrin dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) menggunakan
metode enzimatis.
b. Mengetahui pengaruh suhu hidrolisis terhadap karakteristik dekstrin yang
dibuat dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) menggunakan enzim
α-amilase.
c. Mengetahui dekstrin dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) dengan metode
enzimatis menggunakan enzim α-amilase apakah memenuhi persyaratan
Standar Nasional Indonesia (SNI)


5
Universitas Sumatera Utara

1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk masyarakat,
termasuk akademisi tentang pengaruh suhu hidrolisis terhadap karakteristik
dekstrin dari pati kentang (Solanum tuberosum L.) secara enzimatis.

6
Universitas Sumatera Utara