Konstruksi Realitas Teks Guru Dalam Kelas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wacana dan Teks
Wacana adalah istilah yang sering dipakai masyarakat saat ini khususnya
oleh para linguist. Banyak pengertian yang merangkai kata wacana ini. Wacana
pada mulanya secara teoritis adalah sebagai istilah yang dipakai untuk menyebut
satuan gramatikal yang lebih besar daripada kalimat atau satuan yang berada pada
level di atas kalimat.
Penggunaan istilah wacana sebagai istilah satuan gramatika dapat kita ambil
dari Stubbs (1983:10); Widdowson (1973:66). Menurut Samsuri seperti dikutip
Sumarlan (2003), wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa
komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula
memakai bahasa tulisan. Wacana mungkin bersifat transaksional, jika yang
dipentingkan ialah isi komunikasi itu, tetapi mungkin bersifat interaksional, jika
merupakan komunikasi timbal-balik. Wacana lisan transaksional mungkin berupa
pidato, ceramah, tuturan, dakwah, deklamasi, dan lain-lain. Wacana lisan
interaksional dapat berupa percakapan, debat, tanya-jawab (di sidang pengadilan,
di kantor polisi, dan sebagainya).
Wahab (1998) menyatakan bahwa wacana adalah organisasi bahasa di atas
kalimat atau klausa, juga dimaksudkan sebagai unit linguistik yang lebih luas,

misalnya dapat berupa percakapan lisan atau teks tertulis. Djajasudarna (1994)
berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau
terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,

Universitas Sumatera Utara

disampaikan secara lisan atau tulisan. Djajasudarna juga berpendapat bahwa
wacana terbagi menjadi empat berdasarkan: realitas/eksistensiya, media
komunikasinya, cara pemaparannya dan jenis pemakaiannya. Berdasarkan
eksistensinya, wacana terbagi menjadi verbal dan non verbal. Berdasarakan media
komunikasi yang digunakan, wacana terbagi menjadi wacana lisan dan tulisan.
Berdasarkan cara pemaparannya, wacana terbagi menjadi wacana naratif,
deskriftif, prosedural, ekspositori dan hortatori. Berdasarkan jenis pemakainya,
wacana terbagi menjadi wacana monolog, wacana dialog dan wacana polilog.
Sobur (2009) berpendapat bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau
rangkaian tindak tutur yang mengungkap suatu hal (subjek) yang disajikan secara
teratur, sistematis, dalam kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental
maupun nonsegmental bahasa. Chaer (2007) berargumentasi bahwa wacana
adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hirarki gramatikal merupakan

satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana mengandung konsep, gagasan,
pikiran atau ide, yang bisa dipahami oleh pembaca dalam wacana tulis atau
pendengar dalam wacana lisan tanpa keraguan sedikitpun.
Dari berbagai pendapat para ahli bahasa di atas, bisa disimpulkan bahwa
wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan terbesar di atas klausa dan
kalimat. Wacana juga adalah suatu satuan gramatika dengan kohesi dan koherensi
yang tinggi yang berkesinambungan dalam penggunaan bahasa. Wacana bisa
disampaikan secara lisan transaksional atau interaksional maupun tertulis yang
mengandung konsep yang utuh yang bisa dipahami pendengar dan pembaca.
Membahas wacana sangat menarik, namun pembahasannya akan lebih
lengkap apabila kita membicarakan satu istilah yang sangat dekat dengan wacana,

Universitas Sumatera Utara

yaitu teks. Oleh sebab itu banyak ahli bahasa melihat wacana sebagai teks dan
juga teks sebagai wacana. Pengertian wacana dan teks sering dipakai secara
bersamaan atau memiliki makna yg sama. Sering sekali para pemakai bahasa
mengasosiasikan istilah wacana sebagai teks; maka keduanya selalu dicampur
baur, digunakan secara bertukar oleh penutur, penulis dan pengguna bahasa
lainnya.

Usulan yang membakukan batasan istilah diantara istilah wacana dan teks,
seperti yang ditulis Sinar (2008:7) yang menyatakan istilah wacana cenderung
digunakan di dalam mendiskusikan hal-hal yang berorientasi pada faktor sosial,
sementara istilah teks cenderung digunakan dalam membicarakan hal-hal yang
berdasar/berorientasi kepada bahasa (Sinar, 2008:6).
Fairclough (1995:7) mengemukakan bahwa teks adalah penggunaan bahasa
dilihat sebagai bentuk praktik sosial, dan analisis wacana adalah analisis
bagaimana teks bekerja dalam praktik sosiokultural. Analisis seperti ini
memerlukan perhatian pada bentuk, struktur dan organisasi teks pada semua level
organisasi teks: fonologi, gramatikal, leksikal dan pada level yang lebih tinggi
yang terkait dengan sistem pertukaran (distribusi giliran bicara), struktur
argumentasi, dan struktur generik. Lebih lanjut Fairclough (1995:6) menyatakan
bahwa teks adalah ruang sosial tempat terjadinya dua proses fundamental sosial
secara simultan: kognisi dan representasi tentang dunia dan interaksi sosial.
Menurut aliran fungsional, antara teks dan wacana merupakan bentuk
kembar yang cenderung tidak dapat dipisah, teks dan wacana adalah sama-sama
unit atau satuan bahasa yang lengkap baik lisan maupun tulisan. Wacana
memerlukan teks sebagai realisasinya dengan kata lain teks adalah bentuk konkrit

Universitas Sumatera Utara


wacana. Wacana sebagai penggunaan bahasa, yaitu bahasa digunakan sesuai
keperluannya. Wacana yang dilahirkan bukan sekadar dalam format kalimat,
tetapi bisa di bawah kalimat seperti klausa, frase, atau di atasnya seperti paragraf
dan teks yang panjang. Wacana ini mengandung makna yang berbeda-beda,
bergantung pada konteks dimana wacana atau bahasa itu digunakan (register).
Oleh sebab itu, kajian wacana adalah kajian bahasa berdasarkan konteks
penggunaannya.
Teks merupakan sebuah peristiwa sosiologis (Halliday, 2002:26). Teks
adalah unit arti atau unit semantik yang bisa direalisasikan oleh kata, frase, klausa,
paragraf atau pun naskah. Akan tertapi teks bukan unit tata bahasa yang terdiri
atas morfem, kata, frase, dan klausa. Seperti yang dikemukakan Webster (2002:3)
bahwa ukuran bukan merupakan masalah ketika menentukan sebuah teks. Dalam
mendefenisikan teks, ukuran besar kecilnya teks bukanlah masalah, melainkan
teks adalah pilihan semantis (makna) dalam konteks sosial; teks dideskripsikan
sebagai konsep semantik, peristiwa sosiologis.
Selanjutnya Halliday (2002:45) menyatakan teks adalah konsep semantik.
Teks bukan terdiri atas kalimat tetapi direalisasikan dalam bentuk yang
mengandung kalimat dan makna. Selanjutnya teks adalah proses yang terus
menerus dalam pilihan semantik karena teks adalah makna dan makna adalah

pilihan,

seperangkat

opsi-opsi

dalam

lingkungan

paradigmatik-subsistem

inemerasi yang membuat sistem semantik. Teks adalah proses semantik yang
terkode dalam sistem leksikogramatika. Disisi lain teks dan kajian sosiologis
adalah suatu proses sosial semantik. Sebagai proses yang terus menerus
mempunyai hubungan sintagmatik dan paradigmatik.

Universitas Sumatera Utara

Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah

bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday
& Hasan,1976:13). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan,
dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi nyata.
Dalam rumusan yang lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu
pilihan semantis dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna lewat
bahasa lisan atau tulis (Halliday 1978:40). Semua bahasa yang hidup yang
mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Terkait
dengan teks, Halliday memberikan beberapa penjelasan berikut:
Pertama, teks adalah unit semantis menurut Halliday (1978:135), kualitas
tekstur tidak didefinisikan dari ukuran. Teks adalah sebuah konsep semantis.
Meskipun terdapat pengertian sebagai sesuatu di atas kalimat (super-sentence),
sesuatu yang lebih besar daripada kalimat, dalam pandangan Halliday hal itu
secara esensial, salah kualitas teks. Kita tidak dapat merumuskan bahwa teks itu
lebih besar atau lebih panjang daripada kalimat atau klausa. Ditegaskan oleh
Halliday (1978:135) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan
realisasi teks daripada merupakan sebuah teks tersebut. Sebuah teks tidak tersusun
dari kalimat atau klausa, tetapi direalisasikan dalam bentuk kalimat.
Kedua, teks dapat memproyeksikan makna kepada level yang lebih tinggi.
Menurut Halliday (1978:138), sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam levellevel sistem lingual yang lebih rendah seperti sistem leksikogramatis dan
fonologis juga merupakan realisasi dari level yang lebih tinggi dari interpretasi,

kesusastraan, sosiologis, psikoanalitis, dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu.
Level-level yang lebih rendah itu memiliki kekuatan untuk memproyeksikan

Universitas Sumatera Utara

makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah latar depan
(fore grounded).
Ketiga, teks adalah proses sosio semantis. Halliday (1978:139) berpendapat
bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks merupakan sebuah peristiwa
sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem
sosial yang sedang saling dipertukarkan. Anggota masyarakat yakni individuindividu adalah seorang pemakna (meaner). Melalui tindak tanduk pemaknaan
antara individu bersama individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam
urutan yang baik, dan secara terus menerus disusun dan dimodifikasi. Fitur
esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi
perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat.
Karena sifatnya yang perjuangan itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada
makna yang bersifat tunggal begitu saja. Dengan demikian, pilihan bahasa pada
hakikatnya adalah perjuangan atau pertarungan untuk memilih kode-kode bahasa
tertentu.
Keempat, situasi adalah faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141),

makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota
masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi
dari lingkungannya. Secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah
sistem sosial. Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks.
Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks.
Penjelasan di atas memiliki empat catatan mengenai teks yang perlu
dikemukakan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantis.
2. Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi.
3. Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis.
4. Situasi merupakan faktor penentu teks.

2.2 Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)
Dalam LFS, bahasa merupakan kombinasi dari tiga struktur berbeda dengan
menggabungkan ketiga komponen yang berfungsi berbeda. Komponen-komponen
tersebut disebut dengan metafungsi yang terdiri dari fungsi ideasional, fungsi
interpersonal dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realita fisik

yang

berkenaan

dengan

representasi

pengalaman.

Fungsi

interpersonal

mengungkapkan realitas sosial serta berkenaan dengan interaksi antara
penutur/penulis dan pendengar/pembaca. Fungsi tekstual berkenaan dengan cara
penciptaan teks dalam konteks (Halliday and Matthiessen, 2004). Ketiga fungsi
tersebut saling berkait, utuh dan menjadi satu kesatuan metafungsi.
Realisasi dari ketiga makna tersebut di dalam sebuah teks, dapat dilihat dari
unsur-unsur leksiko grammatika, yaitu bagaimana kata-kata disusun beserta segala

akibat maknanya yang muncul. Ketika kita mendengar atau membaca teks
tertentu, kita dapat memahaminya dengan adanya konteks situasi yang melingkup
teks atau tuturan kebahasaan tersebut. Konteks situasi bisa dikonstruksi karena
adanya hubungan yang sistematis antara konteks dengan teks. Susunan kata dalam
teks secara utuh mengandung tiga jenis makna yaitu fungsi ideasional, fungsi
interpersonal dan fungsi tekstual. Wang (2010) menambahkan bahwa LFS
menjadi pondasi utama dalam AWK dan teori lain dalam Pragmatik „Systemic

Universitas Sumatera Utara

Functional Linguistics is the main foundation on Critical Discourse Analysis as
well as other theories in Pragmatics‟. Lebih jauh mengenai metafungsi dalam
LFS dijelaskan dibawah ini:

2.2.1 Fungsi Ideasional
Halliday and Matthiessen (2004) mengatakan Ideational function construc
human experience, bahasa berfungsi memaparkan pengalaman atau fungsi
ideasional merupakan pengalaman manusia. Sedangkan Gerot and Wignell (1994)
mengatakan ideational meanings are meanings about phenomena-about things
(living and non-living, abstract and concrete), about goings on (what the things

are or do) and the circumstances surroundings these happenings and doings.
Makna ideasional adalah makna mengenai fenomena tentang benda (baik yang
bernyawa maupun yang tidak bernyawa, abstrak atau konkrit), mengenai hal-hal
yang sedang terjadi (apa dan terjadinya) dan sirkumstansi yang melingkupi
terjadinya.
Fungsi ideasional mengungkap realitas fisik yang berkenaan dengan
representasi pengalaman. Makna ideasional yang terkait dengan makna
eksperiensial diwujudkan dengan berbagai jenis proses dalam kerangka sistem
kebahasaan yang disebut Transivitas, yaitu representasi pengalaman yang
direalisasikan dalam bentuk proses, partisipan dan sirkumstansi (Gerot and
Wignell, 1994; Halliday and Matthiessen, 2004).
Sesuatu dapat dianggap sebagai proses apabila proses itu terjadi atau
berlangsung, ada yang terlibat dalam proses dan terjadi dalam suatu situasi
tertentu. Oleh karena itu proses terdiri atas tiga unsur yaitu proses itu sendiri, yang

Universitas Sumatera Utara

terlibat dalam proses (partisipan) dan keterangan yang mengitari terjadinya proses
seperti waktu, tempat dan cara (sirkumtansi). Alat yang digunakan untuk
menyatakan proses adalah kata kerja, untuk menyatakan partisipan adalah nomina
dan untuk menyatakan sirkumtansi adalah adverba.
Halliday dan Matthiessen (2004) juga menyatakan bahwa srtruktur
transivitas menunjukkan makna representasi yang ada dalam sebuah klausa
biasanya berupa proses yang berhubungan dengan partisipan dan sirkumstansi.
Fairclough (1989) menambahkan „the system of transivity makes options available
and to choose which type to signify a real process may be of cultural, political or
ideological significance‟. Sistem transivitas memungkinkan adanya pilihan, dan
untuk memilih suatu jenis proses bisa saja berdasarkan secara budaya, politik dan
ideologi.
Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa
yang dinyatakan dengan verba (menurut tata bahasa tradisional dan formal).
Proses merupakan penentu dalam satu unit pengalaman karena proses mengikat
partisipan. Ada enam jenis proses dalam sistem transivitas yaitu : proses material,
mental, relasional, verbal, perilaku dan eksistensial/wujud (Gerot and Wignell,
1994; Halliday and Matthiessen, 2004). Masing-masing proses tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
1) Proses Material
Proses material adalah aktivitas atau kegiatan yang menyangkut fisik dan
nyata dilakukan pelakunya (process of doing and happening), karena sifatnya
yang demikian proses material dapat diamati dengan indera. Pada proses material
terdapat partisipan yang melakukan sesuatu yang disebut aktor dan partisipan

Universitas Sumatera Utara

yang lain gol/sasaran (tidak selalu ada) yang kepadanya proses ditujukan atau
dikenai proses.
Contoh proses material: menari, menulis, membaca, membeli, berlari, berkunjung
dan lainnya.
2) Proses Mental
Proses mental menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang menyangkut
indera, kognisi, emosi/afeksi dan persepsi yang terjadi di dalam diri manusia
(process of sensing). Pada proses mental terdapat partisipan pengindera (senser)
yaitu yang terlibat dalam proses mental dan fenomenon adalah partisipan yang
dikenai proses mental.
Contoh proses mental: menyadari, mengetahui, percaya, suka, melihat, mendengar
dan lainnya.
3) Proses Relasional
Proses relasional adalah proses yang menunjukkan keadaan, sifat atau
kepemilikan (process of being). Proses relasional berfungsi menghubungkan satu
entitas dengan lingkungan lain dalam hubungan intensitas, sirkumstan dan
kepemilikan. Hubungan intensitas menunjukkan hubungan satu entitas dengan
entitas lain. Hubungan sirkumstan menunjukkan hubungan satu entitas dengan
lingkungan yang terdiri atas lokasi, sifat, peran, fungsi, sertaan dan sudut pandang
dan hubungan kepemilikan menunjukkan kepunyaan.
Hubungan dalam proses relasional ini terdapat dua cara (mode) yaitu atribut
dan identifikatif. Proses atribut mengandung pengertian A adalah atribut B dan
proses identifikatif mengandung pengertian A adalah identitas B.

Universitas Sumatera Utara

Pada proses relasional yang atributif terdapat partisipan yang disebut penyandang
(carrier) digunakan untuk partisipan yang memiliki atribut dan sandangan
(attribute) yang digunakan untuk partisipan yang memiliki sifat penyandang.
Partisiapan dalam proses relasional yang identifikatif disebut tanda (token) yaitu
partisipan

yang diidentifikasi

dan nilai

(value)

yaitu partisipan

yang

mengidentifikasi. Partisipan dalam proses relational kepemilikan disebut pemilik
(possessor) dan milik (possessed) yaitu yang dimiliki partisiapan.
Contoh proses relational: adalah, berada, merupakan, termasuk, mempunyai,
meliputi dan lainnya.
4) Proses Verbal
Proses verba adalah proses yang menunjukkan kegiatan pemberitahuan atau
pewartaan (process of saying) atau aktivitas yang menyangkut informasi.
Pada proses verbal terdapat partisipan penyampai (sayer), partisipan penerima
(reciever), patisipan yang diwartakan (verbiage) dan partisipan sasaran (target)
Contoh proses verbal: berkata, menceritakan, mengaku, menjelaskan, berseru,
bersumpah dan lainnya.
5) Proses Perilaku
Proses perilaku adalah proses yang menunjukkan tingkah laku (process of
behaving) atau kegiatan fisiologis yang menyatakan perilaku fisik manusia.
Partisipan yang ada dalam proses perilaku hanya satu yaitu partisipan petingkah
laku (behaver).
Contoh proses perilaku: bernafas, pingsan, menguap, tersenyum, tertawa, tidur
dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

6) Proses Eksistensial/Wujud
Proses eksistensial adalah proses yang menunjukkan keberadaan sesuatu
(process of existing). Di dalam bahasa Inggris proses eksistensial ditandai dengan
„there‟, sedangkan dalam bahasa Indonesia proses eksistensial diawali dengan
penggunaan kata „ada‟.
Partisipan dalam proses eksistensial disebut eksisten (existent) yang biasanya
terletak di belakang proses eksistensial tersebut.
Contoh proses eksistensial : ada, terdapat, muncul, terjadi, tumbuh, berada dan
lainnya.

2.2.2 Fungsi Interpersonal/Antarpersona
Halliday and Matthiessen (2004) mengatakan „ideational function is
languageas reflection, while interpersonal function is language as action‟ bahwa
fungsi ideasional menjadikan bahasa sebagai refleksi, sedangkan fungsi
interpersonal menjadikan bahasa sebagai sebuah tindakan. Bahasa memerankan
hubungan personal dan sosial kita dengan orang lain serta dengan lingkungan
sekitar kita. Klausa/kalimat tidak hanya menjadi bentuk yang menunjukkan proses
dengan segala macam partisipan dan sirkumstansinya melalui bahasa kita
memberikan informasi, mempertanyakan, memberi perintah atau pesanan,
menunjukkan penghargaan dan sikap kita kepada lawan bicara mengenai apa yang
kita bicarakan. Fungsi interpersonal membuat tuturan menjadi interaktif atau
personal.
Gerot and Wignell (1994) mengatakan bahwa makna interpersonal
merupakan makna yang mengungkapkan sikap dan penilaian penutur atau

Universitas Sumatera Utara

produsen teks. Saragih (2008) mengatakan makna interpersonal menunjukkan
tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Dengan kata
lain, makna interpersonal merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam
saling bertukar pengalaman linguistik yang terepresentasikan dalam makna
pengalaman (experiential meaning). Dengan kemampuan interaksi sosial,
manuasia mempertukarkan pengalaman untuk memenuhi kebutuhannya.
Makna interpersonal pada tataran gramatika direalisasikan dengan mood,
yaitu sebuah struktur gramatika yang terdiri dari subjek, finite, predikator,
pelengkap dan keterangan. Posisi subjek umumnya diisi kelompok nomina,
sedangkan finite adalah bagian dari verba yang menunjukkan polaritas, modalitas
dan kala. Dalam bahasa Inggris, untuk mendapat informasi maka finite (is,am,are,
can, may dan lain-lain) ditempatkan sebelum subjek. Djatmika (2012)
mengatakan, dalam bahasa Indonesia tidak ada unsur kala, sehingga untuk
mendapatkan informasi tidak harus membuat susunan subjek, finite seperti dalam
bahasa Inggris. Dengan demikian, analisis struktur mood dalam bahasa Indonesia
dapat difokuskan kepada subjek, predikat, pelengkap dan keterangan.
Selain mood, makna interpersonal juga direalisasikan dengan Modalitas
(Halliday and Matthiessen, 2004) yaitu suatu ekspresi pendapat dan penilaian oleh
penerima tuturan mengenai informasi apa yang baru saja diterima. Pembeda
utama dalam menentukan pemilihan modalitas adalah orientasi, yaitu modalitas
yang bersifat subjektif atau objektif, serta diungkapkan dalam bentuk yang
eksplisit atau implisit. Ada tiga nilai dasar utama modalitas yaitu, tinggi, sedang
dan rendah.

Universitas Sumatera Utara

Modalitas tidak hanya sekedar pelengkap kata kerja. Arah ideologi dan
ideologi apa yang dianut dapat dibuktikan melalui penggunaan modalitas
(Fairclough, 1989). Dengan demikian bahwa modalitas merupakan nilai yang
diberikan oleh si penutur, suka atau tidak suka, menolak atau menerima, setuju
atau tidak setuju atau mungkin berada ditengahnya. Modalitas mengandung
ideologi (gagasan, pendapat, ide, keyakinan) dari si penutur, sekaligus
menunjukkan posisi penutur di pihak mana.
Berdasarkan nilai (value), yakni tingkatan kemungkinan terjadi atau tingkat
kedekatannya terhadap

polar „ya‟ atau „tidak‟, masing-masing probabilitas,

keseringan, keharusan dan kecenderungan dapat digolongkan ke dalam tiga
tingkat: tinggi yakni aksi yang paling dekat ke polar „ya‟ dan paling mungkin
terjadi, tingkat rendah yang paling dekat ke polar „tidak‟ dan paling mungkin tidak
terjadi, dan tingkat menengah antara tinggi dan rendah, seperti dalam

tabel

modalitas berikut (Saragih: 2008)
Tabel 2.1. Modalitas

Modalitas
Tinggi
Menengah
Rendah

Probabilitas
Pasti
mungkin
barangkali

Polar Positif
Keseringan
Keharusan
Selalu
wajib
Biasa
diharapkan
Kadangboleh
kadang
Polar Negatif

Kecenderungan
ditetapkan
mau
ingin

2.2.3 Fungsi Tekstual
Bahasa memiliki aturan bahwa pesan yang disampaikan disusun dan
dirangkai dengan baik (berpola atau bersistem). Fungsi tekstual (textual function)
adalah fungsi penggunaan bahasa untuk merangkai pengalaman yang di dalam

Universitas Sumatera Utara

rangkaian itu terbentuk keterkaitan satu pengalaman relevan dengan pengalaman
yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya yang berkaitan dengan
lingkungan atau konteks. Gerot and Wignell (1994) mengatakan „textual
menanings express the relation of language to its envirorment including both the
verbal environment – what has been said or written before (co-text) and the nonverbal, situational environment (context). These meanings are realized through
patterns of themes and cohesion. Textual meaning are most centrally influenced
bu mode of discorse.
Halliday and Matthiessen (2004) mengatakan makna tekstual berhubungan
dengan konstruksi sebuah teks. Ini berarti bisa menjadi fungsi perantara, terhadap
kedua fungsi yang lain (makna ideasional yang menguraikan pengalaman dan
makna interpersonal yang memerankan hubungan interpersonal) tergantung
kepada kemampuan membangun rangkaian wacana, mengatur alirannya dan
menciptakan keutuhan dan kontinuitas wacana yang muncul secara jelas dalam
wujud gramatika.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada dimensi makna tekstual, teks
dipandang sebagai sumber makna yang digunakan untuk menampilkan
pengorganisasian informasi atau pesan. Dalam tataran gramatika, makna tekstual
direalisasikan dalam bentuk struktur tema dan rema (Djatmika, 2012). Pada klausa
terdapat susunan distribusi informasi. Informasi yang dianggap lebih penting
biasanya ditempatkan di bagian awal disebut tema, sedangkan bagian yang
disusulkan atau yang melengkapi informasi yang telah disampaikan sebelumnya
disebut rema.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Teks Guru
Dalam interaksi di kelas, guru selalu menggunakan bahasa untuk
memperlancar proses interaksi pembelajaran. Dalam interaksi tersebut, guru
diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik untuk mencapai pembelajaran
yang aktif. Selain itu, guru memiliki tugas untuk mengelola kegiatan
pembelajaran yang memungkinkan berlangsungnya pembelajaran yang lebih
efektif dan meningkatkan keterampilan murid serta mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan bahasa.
Penggunaan bahasa merupakan realitas interaksi komunikasi guru dan
murid yang berlangsung dalam kegiatan belajar mengajar. Guru dalam kegiatan
berkomunikasi tersebut diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik untuk
menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi
murid sehingga murid aktif. Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan kegiatan
yang melibatkan dua pihak, yaitu guru dan murid. Guru sebagai pengajar
melaksanakan

pembelajaran

sesuai

dengan

fungsi

dan

prinsip-prinsip

pembelajaran. Sementara itu, murid menerima dan merespons pembelajaran
sesuai dengan skenario yang telah dirancang guru. Sebagai kegiatan yang
melibatkan dua pihak, tentu terjadi interaksi antara keduanya, baik interaksi verbal
maupun nonverbal. Interaksi verbal merupakan interaksi yang melibatkan
penggunaan bahasa atau tuturan, sedangkan interaksi nonverbal merupakan
interaksi yang melibatkan hal lain di luar bahasa.
Pembahasan mengenai wacana kelas sudah banyak dilakukan peneliti
sebelumnya, pada penelitian ini yang dimaksud dengan istilah wacana kelas
dikaitkan dengan teks linguistik yang dipakai guru ketika mengajar di dalam

Universitas Sumatera Utara

kelas. Istilah wacana kelas sering dikaitkan dengan bahasa dalam kelas. Hal ini
dikarenakan istilah juga menunjukkan jenis register, tidak pada jenis wacana,
sehingga bahasa di kelas identik dengan „classroom register‟ (Halliday 1978:610).
Bahasa dalam konteks kelas merupakan bahasa yang memiliki karakteristik
tersendiri dari bahasa-bahasa yang digunakan pada konteks lain. Tujuan utama
paling mendasar dari penggunaan bahasa di kelas adalah bagaimana mentransfer
ilmu pengetahuan. Pada pengkajian hubungan antara pengetahuan dan bahasa,
Martin (1992:8) menyatakan bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk
mengekspresikan ide-ide dari proses fisik dan biologis saja, tetapi lebih dari itu,
melalui

bahasa

pengalaman

seseorang

dengan

dapat

pemindahan

menginterpretasikan
pengalaman

kita

atau
ke

menafsirkan

dalam

makna.

Pengekspresian bahasa ilmu pengetahuan, banyaknya konsep dan pengetahuan
yang dibentuk dan karakteristik bahasa ilmu pengetahuan dihasilkan oleh cara
berpikir yang spesifik.
Dengan demikian, belajar di sekolah dapat dilihat sebagai proses magang,
pembelajar tidak hanya berlatih linguistik ilmiah, tetapi lebih dari itu, berlatih
dalam berpikir dan disiplin ilmu pengetahuan. Sejalan dengan pendapat Christie
(2005:237) bahwa pendidikan sebagai proses inisiasi dengan cara membincangkan
dan perintah, merupakan pengalaman yang dihargai.
Mackey (1967) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam situasi
proses kegiatan pembelajaran di kelas terjadi interaksi antara guru dan murid.
Kesimpulan ini didukung oleh Arthur (1983) yang mengemukakan bahwa dalam
kelas terjadi pertukaran tindak atau interaksi selama proses belajar mengajar.
Sementara itu, Flander (1970) dalam pengamatannya tentang bahasa guru dan

Universitas Sumatera Utara

pengaruhnya terhadap keberhasilan murid menyimpulkan bahwa corak bahasa
guru berpengaruh terhadap keberhasilan murid. Hal ini sama dengan pengamatan
yang dilakukan oleh Barnes (1969). Beliau mengemukakan bahwa jenis
pertanyaan tertentu yang ditanyakan guru, dalam hal ini adalah pertanyaan
pancingan, penting artinya dalam rangka memusatkan perhatian murid.
Kegiatan

pembelajaran

di

kelas

adalah

membelajarkan

murid.

Membelajarkan berarti meningkatkan kemampuan murid untuk memproses,
menemukan, dan menggunakan informasi bagi pengembangan diri murid dalam
konteks lingkungannya. Berdasarkan pemahaman tersebut pelibat atau partisipan
(guru dan murid) dalam kegiatan belajar di kelas memerlukan kemampuan saling
bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman.
Bahasa di kelas sebagai salah satu bentuk komunikasi, mempunyai ciri
tersendiri. Pertama, bahasa guru dan murid sebagai ragam konsultatif sangat
fungsional dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap fungsi bahasa ini sangat diperlukan bagi kalangan
pendidikan (guru dan murid) demi tercapainya proses belajar mengajar yang ideal.
Kedua, bahasa guru dan murid dalam wacana kelas adalah khas. Bahasa guru dan
murid dalam wacana kelas diasumsikan merupakan performansi penutur bahasa
dewasa yang ideal karena para guru dan murid menguasai bahasa yang sama,
tidak hanya melalui pemerolehan, tetapi juga pembelajaran. Kekhasan berikutnya
dapat dilihat pada kesejajaran murid guru pada satu sisi karena berada dalam
konteks ilmiah, tetapi pada satu sisi lain tetap dipengaruhi oleh status berbeda.
Strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang digunakan oleh guru untuk
menyampaikan materi pembelajaran sehingga akan memudahkan murid menerima

Universitas Sumatera Utara

dan memahami materi pembelajaran, dalam penelitian ini selanjutnya disebut
dengan struktur TG. Strategi pembelajaran harus mengandung penjelasan tentang
metode/prosedur dan teknik yang digunakan selama proses pembelajaran
berlangsung. Strategi pembelajaran terdiri dari : a) Prapembelajaran/Pembukaan
yang dianggap penting karena dapat memotivasi dan memberi petunjuk kepada
murid. b) Penyajian informasi/Isi dilakukan karena dengan adanya penyajian
informasi, anak didik akan tahu seberapa jauh materi pembelajaran yang harus
mereka pelajari. c) Kegiatan Tindak Lanjut/Penutup dilakukan untuk dapat
mengetahui apakah murid menguasai seluruh materi yang dapat diukur. (Hamzah,
2009)
2.4 Analisis Wacana
Analisis wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi terhadap bentuk
linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat
semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana adalah
kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas
kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar
dari kalimat. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan
bentuk wacana dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik,
analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena
bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa
ideologi bisa terserap di dalamnya, aspek inilah yang dipelajari dalam analisis
wacana.
Untuk bisa dipahami, sebuah teks haruslah memenuhi tujuh standar tekstual
yakni: 1) Kohesi, 2) Koherensi, 3) Intensionalitas, 4) Keberterimaan, 5)

Universitas Sumatera Utara

Informativitas, 6) Situasional, 7) Intertekstual, menurut de Beaugrande dan
Dressler (1986). Jika ketujuh standar tidak dipenuhi, sebuah teks tidak akan
menjadi komunikatif. Teks yang tidak komunikatif diperlakukan dengan nontexts. Secara tegas de Beaugrande dan Dressler (1986) mengemukakan bahwa
tujuh standar tekstual itu sebagai constitutive principles, yakni prinsip-prinsip
yang bersifat integratif yang bersifat wajib dalam komunikasi tekstual.
Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan
pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana
menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana
diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis
dan semantik, titik perhatian didasarkan pada benartidaknya bahasa secara
gramatikal. Analisis ini disebut analisis isi (kuantitatif).
Pandangan

kedua

disebut

sebagai

konstruktivisme.

Pandangan

ini

menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksudmaksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan
maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pernyataan.
Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara
dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. Analisis ini
disebut analisis framing (bingkai).
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam
paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses
produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral
yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun

Universitas Sumatera Utara

strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana kritis dipakai untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa
yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa
yang dibicarakan. Wacana kritis melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan
„kekuasaan‟. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini
disebut juga dengan analisis wacana kritis/AWK.

2.5 Linguistik Kritis
Crystal (1991:90) berpendapat bahwa linguistik kritis merupakan kajian
ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kuasa tersembunyi
(hidden power) dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks lisan atau
tulisan. Linguistik kritis dikembangkan di Inggris Raya dan menjadi sebuah
metode yang menggabungkan analisis teks linguistik dengan sebuah teori sosial,
yang menjelaskan bagaimana sebuah bahasa berfungsi dalam proses politik dan
ideologi.
Konsep kritis dalam analisis bahasa mulai muncul pada tahun 1979 oleh
Fowler, Hodge, Kress, and Trew (lihat Blomaert, 2005). Fowler sang pelopor
secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday lah yang
mendasari pengembangan linguistik kritis ini. Teori yang mendasari metodelogi
linguistik kritis ini diambil dari Linguistik Sitemis Fungsionalnya Michael
Halliday yang berfokus pada tata bahasa, perbendaharaan kata, dan khususnya
kata kerja transitif dan transformasi, untuk kepentingan ideologis dalam teks, yang
berarti untuk menganalisis wacana diperlukan suatu konsep analisis linguistik
yang tidak semata-mata deskriptif. Dalam beberapa karyanya, Fairclough (1989;

Universitas Sumatera Utara

1995), misalnya menyebut bahwa teorinya adalah gabungan dari linguistik
fungsional-sistemik Halliday, linguistik Fowler, dan teori sosial baru Foucault.
Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena
komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidak setaraan relasi
antar partisipan, sebagai contoh dalam komunikasi politik, relasi antara atasanbawahan, komunikasi dalam wacana media massa, dan relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam politik gender. Dalam paradigma kritis bahasa dipandang
sebagai sesuatu yang tidak netral, tidak bebas dari kepentingan, menjadi ajang dan
media manipulasi dan kompetisi, selalu diwarnai oleh relasi dominasi-subordinasi.
Bahasa dikaji sebagai media praksis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan,
memperkokoh citra diri, dan menyingkirkan posisi kelompok lain sebagai lawan.
Kajian bahasa senantiasa menjadi kajian atas konteks sosial-historis (Fowler,
1996; Wodak, 2008).
Menurut Fowler (1996:5), model linguistik ini sangat memperhatikan
penggunaan analisis linguistik kritis untuk membongkar misrepresentasi dan
diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik. Fowler merumuskan sebuah
analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (i)
memperoleh atau menemukan ideologi yang dikodekan secara implisit di
belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati ideologi
secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3).
Linguistik kritis berfokus pada „interpretasi kritis‟ atas sebuah teks, dengan
menemukan interpretasi sosial yang diekspresikan dalam teks tersebut. Linguistik
kritis menganalisis struktur sebuah teks dengan saksama dan juga menganalis
konteks sosial sebuah teks dengan luas (Fairclough 1992 : 27). Prioritas lain

Universitas Sumatera Utara

linguistik kritis adalah menjelaskan hubungan sosial dan identitas sosial ditandai
dalam klausa-klausa yang ada dalam sebuah teks (Fairclough, 1992: 28).
Dalam pandangan kritis, fitur-fitur wacana lebih dipandang hanya sebagai
„gejala‟ dalam persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti ketidakadaan,
ketidakadilan, perbedaan kelas, seksisme, rasisme kekuasaan, dan dominasi
subjek daripada sekadar teks dan tuturan. Kemudian ditegaskan oleh Dijk
(1985:7) bahwa wacana memainkan peran yang penting sekali dalam perumusan
ideologi, reproduksi komunikatif, dan prosedur penentuan sosial dan politis, serta
memanajemen institusi dan representasi isu-isu sosial lain.

2.6 Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis (AWK) dalam beberapa dekade terakhir telah
berkembang sangat pesat sebagai satu metode ilmu sosial yang membahas rasa
dan guna bahasa. Fairclogh merupakan ilmuwan pertama yang menggunakan
istilah Critical Discourse Analysis (CDA) untuk membedakannya dari Discourse
Analysis (DA). Tulisan Fairclough dalam bukunya yang berjudul Language and
Power (1989) dianggap sebagai buku yang sangat penting dalam pengembangan
era AWK. Setelah itu banyak para ilmuan tertarik terhadap AWK, bagai sebuah
magnet banyak pertemuan dan publikasi ilmiah dilakukan untuk mengkaji AWK
lebih lanjut. Ada beberapa publikasi ilmiah dalam bentuk jurnal yang sangat
terkenal antara lain Discourse and Society dikelola oleh Teun van Dijk, Critical
Discourse Studies dikelola oleh Norman Fairclough dan Journal of Language and
Politics dikelola oleh Ruth wodak dan Paul Chilton.

Universitas Sumatera Utara

Pemahaman dasar AWK adalah wacana tidak dipahami hanya semata-mata
sebagai objek studi bahasa. AWK merupakan pengembangan dari analisis wacana
biasa dengan melihat lebih dalam makna yang tersembunyi dari suatu teks.
Pemakaian bahasa tutur dan juga tulisan adalah wujud praktik sosial dalam AWK.
Dalam AWK wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa tetapi wacana
adalah sebuah bentuk dari praktik sosial sehingga perlu diperhatikan kriteria yang
holistik dan kontekstual (Jorgensen dan Philip, 2007:65). AWK adalah sebuah
pendekatan yang tidak hanya menganalisis teks secara lisan tetapi juga secara
lisan seperti dalam Teun Van Dijk (1993):
„Critical Discourse Analyis (CDA) has become the general label for
special approach to the study of text and talk, emerging from critical
linguistics, critical semiotics and in general from a socio politically
conscious optional way of investigating language,discorse and
communication‟
Kualitas suatu wacana kritis akan selalu dinilai dari segi kemampuan
menempatkan teks pada konteks yang utuh. Wacana tidak lagi dipahami sekadar
serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sebagai sebuah gagasan, konsep
atau efek yang dibentuk dalam satu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak .
Menurut Fairclough (1985; 1995) setiap institusi sosial berisi cara-cara
berbicara dan cara-cara melihat yang dalam terminologi Fairclough disebut
„bentukan ideologi-diskursif‟. Biasanya hanya satu bentukan ideologi-diskursif
yang dominan, sementara itu bentukan ideologi-diskursif yang lain berada pada
posisi tersubordinasi dan terhegemoni. Setiap institusi sosial memiliki normanorma wacana yang dilekatkan dalam norma-norma ideologis dan disimbolkan
oleh norma ideologisnya. Subjek institusi dikonstruksikan menurut norma-norma

Universitas Sumatera Utara

sebuah

bentukan

ideologi-diskursif,

yang

memungkinkan

posisi

subjek

pendukung ideologi itu tidak sadar.
Bentukan ideologi-diskursif yang dominan selalu menaturalisasikan
ideologinya pada kelompok lainnya agar tampak sebagai suatu „akal sehat‟ yang
non-ideologis. Proses-proses naturalisasi ini berjalan sedemikian rupa sehingga
anggota

komunitas

sudah

tidak

merasakan

dan

menganggap

yang

dinaturalisasikan itu sebagai suatu kebenaran yang secara akal sehat tidak perlu
lagi dikritisi.
Jadi AWK dimaknai adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk
memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji
oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai
tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah
konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang
terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si pembuat teks dari berbagai
faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa dibalik teks itu terdapat makna dan
citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Jadi dalam
wacana seseorang di dalamnya terkandung motif ideologis dan relasi
kekuasaannya.
AWK yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya
pengungkapan

maksud

tersembunyi

dari

subjek

(pembuat

teks)

yang

mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan
diri pada posisi sang pembuat teks dengan mengikuti struktur makna dari sang
pembuat teks, sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan
dalam wacana dapat diketahui. Jadi, dalam teks dapat dilihat dari bentuk

Universitas Sumatera Utara

hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan
representasi. Domain utama dalam pembahasan AWK adalah Ideologi (Renkema,
2004: Blomaert, 2005; Woofftt, 2005; Wodak, 2007), namun demikian AWK juga
merupakan konsep kritis seperti kekuasaan dan historis.

2.6.1 AWK versi Norman Fairclough
Pada pandangan Fairclough, bahasa tutur dan bahasa tulis merupakan
bentuk praktik sosial yang dilakukan oleh penulis dan penutur kepada pembaca
dan pendengar. Norman Fairclough (1989) melihat adanya dialektika antara
kenyataan sosial dan wacana. Wacana mempengaruhi tatanan sosial, demikian
juga sebaliknya, tatanan sosial mempengaruhi wacana.
Model analisis wacana yang dikembangkan oleh Fairclough adalah
Pendekatan Relasi Dialektika (Dialectical-Relational Approach) atau lebih
dikenal dengan pendekatan perubahan sosial. Dialektika antara kenyataan sosial
dan wacana bisa ditelusuri melalui beberapa parameter. Pertama, wacana
membentuk dan dibentuk oleh masyarakat. Kedua, wacana membantu proses
terbentuknya pengetahuan dan perubahan pengetahuan orang terhadap objek,
hubungan sosial dan identitas sosial. Ketiga, wacana dibentuk oleh relasi
kekuasaan dan terkait dengan ideologi. Keempat, pembentukan wacana menandai
adanya tarik ulur kekuasaan antar partisipan dalam sebuah interaksi sosial.
AWK versi Fairclough (1989 & 1995) menitik beratkan pada tiga hal
penting: pertama, setiap teks secara simulatan memiliki tiga fungsi yaitu fungsi
representasi, fungsi relasi dan fungsi identitas. Kedua, praktik wacana meliputi
cara-cara para penulis/penutur sebagai produser teks dalam memproduksi teks

Universitas Sumatera Utara

mereka. Ketiga, praktik sosial budaya menganalisis hal ekonomi, politik
(utamanya yang berkaitan dengan isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (tata
nilai, norma dan identitas). Secara kontekstual, praktik sosial budaya meliputi
tingkat situasional, tingkat institusional dan tingkat sosial. Tingkat situasional,
berkaitan dengan produksi dan konteks situasi pada waktu teks dibuat. Tingkat
institusional berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal.
Sedangkan tingkat sosial berhubungan dengan situasi yang lebih luas, seperti
sistem ekonomi dan sistem budaya masyarakat.
Ideologi dan relasi sosial yang tidak setara seringkali muncul secara
tersamar dalam bahasa/teks, sebagaimana diungkapkan „...the ideological loading
of particular ways of using language and relations of power which underlie them
are often unclear to people‟ (Fairclough, Mulderrig and Wodak 2011:358). Dalam
perspektif AWK Norman Fairclough, ideologi merupakan domain utama.
Identifikasi ideologi dalam teks bisa dilakukan melalui penggunaan jenis proses
dan partisipan yang dominan pada teks yang tengah dikaji, kosakata baik formal
maupun informal termasuk metafora, nominalisasi, penggunaan kalimat
deklaratif, imperatif dan kalimat tanya, penggunaan kalimat aktif atau pasif,
penggunaan kalimat positif atau negatif, penggunaan modalitas (Fairclough
1989:120-130). Menurut Fairclough dalam kehidupan sosial selalu ada pihak yang
berusaha menjaga agar tetap mempunyai kekuatan dan kekuasaan (langgeng).
Wacana tidak berdiri sendiri namun menjadi bagian dari kehidupan sosial.
Wacana saling berhubungan dengan unsur-unsur lain dalam kehidupan sosial
tersebut, sehingga analisis wacana dan sosial selalu berkaitan satu sama lain dan
tidak terpisahkan.

Universitas Sumatera Utara

2.6.2 AWK versi Teun A. Van Dijk
Van Dijk (1985) melahirkan karya tulisan berjudul Stucture of the news in
the press yang menjadi pondasi AWK dengan pendekatan kognisi sosial.
Menganalisis teks berita dengan melihat hubungan teks dengan konteks di luar
teks. Dalam persepsi Van Dijk, wacana memiliki tiga dimensi yaitu teks, kognisi
sosial dan konteks sosial. Ketiganya merupakan suatu kesatuan analisis yang padu
dan saling terkait. Dalam sebuah teks perlu dicermati: Pertama, bagaimana
struktur teks dan strategi wacana digunakan untuk menyajikan sebuah tema dan
topik tertentu. Kedua, kognisi sosial mempelajari proses produksi teks yang
melibatkan kognisi individu berdasarkan profesinya (guru, ulama, dokter,
wartawan, politisi). Ketiga, konteks sosial mengkritisis bangunan/konstruksi
wacana yang berkembang di masyarakat mengenai suatu masalah/topik tertentu.
AWK versi Van dijk ini lebih dikenal dengan sebutan „kognisi sosial‟ yang
analisisnya lebih menitikberatkan pada kognisi sosial individu si pemroduksi teks.
Teks tidak cukup hanya dicermati dari perspektif analisis teks, tetapi sebagai suatu
praktik produksi. Sebuah teks harus diamati sejak dari awal mula teks itu
diproduksi, apa asumsi yang terbangun di benak si produsen teks, apa agenda
yang disampaikannya, bagaimana lingkungan sosial dan latar belakang akademis
yang telah membentuk penulis/pembicara, sehingga menghasilkan sebuah teks
dengan karakteristik tertentu.
Struktur wacana menurut model Van Dijk terdiri atas tiga bagian yang
membentuk satu kesatuan yaitu: stuktur makro, suprastruktur dan struktur mikro.
Struktur makro merupakan wadah bagi makna keseluruhan (global meaning) yang
dapat dicermati melaui tema dan topik teks. Suprastruktur melihat teks sebagai

Universitas Sumatera Utara

sebuah kerangka wacana yang memiliki skema. Dengan demikian kelaziman
(konvensi/tradisi) pembuatan teks yang berlaku di masyarakat menjadi pijakan
penting. Struktur mikro bisa dilihat melalui makna setempat (local meaning) yang
dieksplorasi melalui semantik, sintaksis, stilistika dan retorika teks.
Dengan menganalisis seluruh komponen struktur wacana, Van Dijk
meyakini bahwa kognisi sosial produsen wacana bisa dieksplorasi dan dipahami.
Secara teoritis pandangan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang
suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan
(Van Dijk,1985). Unsur-unsur kerangka pengembangan ideologi oleh produsen
teks memuat: penekanan pada kebenaran kita (Emphasize our good thing),
penekanan pada keburukan orang (Empahasize their bad thing), pengurangan
keburukan kita (De-emphasize our bad things) dan pengurangan kebenaran
mereka (De-emphasize their good things). Keempat kerangka Ideologi Dijk ini
menggambarkan bagaimana suatu teks dimanipulasi sipembuat teks melalui
penonjolan sisi baiknya dan meminimalisasikan sisi buruknya.
Menurut Van Dijk (1985), suatu ideologi yang muncul dalam sebuah
wacana dapat diungkap melaui kajian penggunaan bentuk modalitas, pilihan kata
dan urutan kata, pemakain kalimat pasif dan kalimat aktif, penggunaan bentuk
nominalisasi dan pilhan kosakata dan kalimat yang membawa citra positif atau
negatif. Van Dijk (1993) menyatakan bahwa ada beberapa tujuan AWK yaitu: 1.
AWK fokus kepada persoalan-persoalan sosial dan isu-isu politik, 2. AWK sangat
cocok diterapkan secara multi-disiplin, 3. Tidak sekadar memberi gambaran dari
struktur wacana, namun AWK juga mencoba menjelaskan properti interaksi sosial
dan struktur sosial, dan 4. Lebih spesifik, AWK fokus kepada bagaimana struktur

Universitas Sumatera Utara

wacana memainkan peran, mengkonfirmasi, melegitimasi, memproduksi atau
menghadapi relasi kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat.
Dalam argumennya Van Dijk mengatakan bahwa ideologi dalam wacana dapat
diungkap dengan menyelidiki penggunaan modalitas, penggunaan kata dan urutan
kata, kalimat aktif dan kalimat pasif dan nominalisasi, serta penggunaan kosakata
dan kalimat yang membawa citra positif atau sebaliknya citra negatif .

2.6.3 AWK versi Theo Van Leewen
Analisis wacana versi Theo van Leewen ini menitikberatkan pada pencarian
terhadap pelaku wacana (social actors) dalam sebuah teks baik berupa teks lisan
dan teks tulisan seperti berita, komplain, iklan, delik aduan dan lain-lain.
Produsen atau sipembuat dalam merekonstruksi teksnya dapat memposisikan
suatu kelompok secara dominan dan memberi citra buruk terhadap pihak lawan,
dengan merekayasa pemaknaan secara berulang dan terus menerus.
Sebagai contoh bagaimana sebuah media menayangkan buruh yang sedang
berdemonstrasi mendapat tindakan kekerasan dari aparat keamanan. Secara
berulang-ulang tayangan tersebut dipertontonkan kepada masyarakan umum
sehingga terbentuklah opini publik bahwa demonstrasi buruh menimbulkan
keonaran, kemacetan, kerusakan (Eryanto, 2002). Intensitas penayangan berita
tersebut berperan penting dalam mengkonstruksi ideologi produsen teks dan
menggiring pikiran pemirsa.
Model analisis Van Leuween (2008) yang memotret perilaku para aktor
sosial pada sebuah peristiwa melalui pemberitaan di media, memfokuskan pada
dua hal yaitu pertama, prose