Terjemahan Modal Pada Teks „United Nations Convention On The Law Of The Sea (Unclos ‟82)‟ Dalam Bahasa Indonesia

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Konsep Penerjemahan
Penerjemahan merupakan proses pengalihan bahasa dalam suatu teks dari

bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) yang dilakukan melalui tulisan.
Pernyataan ini senada dengan Newmark (1981:7) yang mendefenisikan bahwa
penerjemahan adalah suatu upaya mengalihkan pesan yang tertulis dalam bahasa
sumber (BSu) ke dalam bahasa Sasaran (BSa) dengan mengutamakan kesepadan
makna. Sebuah naskah terjemahan dari BSu ke BSa dapat mencapai kesepadanan
makna sangat dipengaruhi oleh kemampuan penerjemah dalam memahami teks
sumber (TSu) dan menyampaikan makna yang ada dalam teks sasaran (TSa).
Hasil penerjemahan ke TSa sangat ditentukan oleh kemampuan tata bahasa
(grammatical skill), keterampilan membaca (reading skill) dan analisa wacana
(discourse analysis) yang dimiliki penerjemah. Apabila penerjemah memiliki
ketiga kemampuan tersebut maka akan mempengaruhi kualitas terjemahan
yang dihasilkan demikian juga sebaliknya apabila penerjemah tidak memiliki
ketiga kemampuan tersebut maka akan berpengaruh besar dalam kualitas hasil

terjemahan.
Secara lebih spesifik, Larson (1984:3) menegaskan bahwa pengalihan
tersebut hanya mengubah bentuk bahasa dari BSu ke BSa, sementara makna yang
terdapat pada BSu harus dipertahankan. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam
penerjemahan, struktur kalimat yang digunakan dalam BSa boleh saja berbeda

dengan BSu sepanjang keduanya menyampaikan makna yang sama. Dengan kata
lain, seseorang yang membaca suatu teks terjemahan akan sampai kepada
pemahaman yang sama ketika membaca teks tersebut baik dalam BSu maupun
dalam BSa. Proses pengalihan makna dalam penerjemahan dapat diilustrasikan
seperti yang terdapat pada Bagan 1.

Bagan 2.1 Proses penerjemahan (Larson, 1984:4)
Bagan 2.1 menjelaskan bahwa penerjemahan harus dimulai dari
penemuan makna yang terdapat pada BSu. Selanjutnya, makna tersebut
diungkapkan kembali dengan menggunakan ungkapan yang berterima dalam BSa.
Dengan demikian, ungkapan yang disampaikan dalam BSa inilah yang disebut
dengan produk terjemahan.
Selanjutnya, pemertahanan makna yang dimaksud dalam penerjemahan
dapat disebut juga dengan usaha untuk mempertahankan „kesepadanan‟

makna dan fungsi yang terdapat dalam BSu dan BSa (Bell, 1991:19;
Munday, 2008:36; Newmark, 1988:28; Venuti 2000:5). Kesepadanan, menurut
Venuti (2000:5), dapat dipahami sebagai keakuratan, kecukupan, kebenaran,

keterhubungan, dan ketepatan makna yang terdapat dalam BSu dan BSa.
Meskipun demikian, dalam penerjemahan tidak ada kesepadanan makna
penuh atau utuh yang terdapat dalam BSu dan BSa (Jakobson, 2000:114).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerjemahan merupakan proses
mencari kesepadanan makna yang terdapat dalam dua bahasa yang berbeda.
Berbicara tentang penerjemahan – yang melibatkan bahasa – tentunya juga
tidak terlepas dari unsur budaya; oleh karena itu, pemahaman budaya yang
memadai sangat diperlukan dalam penerjemahan. Bahasa dan budaya ibarat dua
sisi koin mata uang yang tak terpisahkan: mengganti unsur salah satu sisi koin
berarti mengubah nilai mata uang tersebut. Dengan kata lain, menerjemahkan
bahasa ke dalam bahasa yang berbeda berarti juga menerjemahkan budaya ke
budaya yang berbeda pula. Begitu pentingnya unsur budaya dalam penerjemahan
ditegaskan oleh Torop (2002:593) yang menyatakan bahwa penerjemahan tidak
dapat terpisahkan dari konsep budaya.
Di samping itu, unsur lain yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan
adalah gaya bahasa. Menurut Nababan (1999:20), gaya bahasa terjemahan

merupakan salah satu aspek penting yang butuh pertimbangan pada setiap
penerjemahan. Gaya bahasa sangat berpengaruh pada tingkat keterbacaan suatu
teks terjemahan sehingga gaya bahasa itu harus disesuaikan dengan ragam bahasa
yang terdapat dalam teks BSu. Seorang penerjemah harus dapat menentukan gaya
bahasa yang digunakannya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti siapa
yang akan mengkonsumsi hasil terjemahannya, bagaimana gaya bahasa yang
digunakan dalam teks sumber, dan lain-lain (Duff, 1981:7).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan
merupakan suatu proses pengalihan bahasa yang terdapat dalam teks dari BSu ke
BSa dengan mempertahankan kesepadanan makna dalam kedua bahasa tersebut.
Dengan demikian, seorang penerjemah harus mampu memilih makna yag sepadan
yang dapat mengimbangi bobot makna sebuah kata pada teks sumber ke dalam
teks sasaran.
Dalam penelitian ini, teori kesepadanan yang diusung oleh Larson (1984)
digunakan untuk menganalisis penerjemahan modal, dan secara spesifik,
penelitian ini menggunakan “kerangka padanan” yang diusung oleh Koller (1995).
Larson (1984:17) menyatakan bahwa ketika seorang penerjemah ingin
menerjemahkan sebuah teks bahasa, maka tujuan utamanya adalah berusaha
memadankan makna teks yang terdapat pada BSa ke dalam bentuk yang lebih

alami pada BSa. Hal ini menyebabkan penerjemahan memiliki keterkaitan
terhadap leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi dan konteks budaya
teks BSu yang dianalisis guna menemukan makna sepadan.
Koller (1995:192) memandang padanan sebagai proses yang dibatasi oleh
pengaruh perbedaan bahasa, non-bahasa serta lingkungan/situasi antara BSu dan
BSa dan juga peran kondisi sejarah – budaya yang menjadi konteks penciptaan
teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu sampai ke pembaca.
Relasi-relasi yang sepadan (ekuivalen) bersifat relatif terhadap „ikatan ganda‟,

pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak
penerima. Satuan-satuan teks sumber dilihat dari „kerangka-kerangka padanan‟.
Sejalan dengan konsep tersebut, Koller (1995:193) merumuskan “kerangka
padanan” dan menyatakan bahwa padanan terjemahan dapat dicapai melalui salah
satu tataran berikut:
a.

Kata-kata BSu dan BSa memiliki fitur ortografis dan fonologis yang
serupa (padanan formal)

b.


Kata-kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama
(padanan referensial/denotatif)

c.

Kata-kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip
dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif).

d.

Kata-kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau
serupa pada masing-masing bahasa (padanan tekstual-normatif).

e.

Kata-kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap
masing-masing

pembaca


dalam

kedua

bahasa

itu

(padanan

pragmatik/dinamik).

2.2

Pengambilan Keputusan dalam Penerjemahan
Penerjemahan berhubungan dengan pengambilan keputusan karena

seorang penerjemah harus dapat memutuskan untuk menggunakan diksi tertentu
berdasarkan konteks penggunaan penerjemahan. Konteks yang dimaksud di sini


dapat dihubungkan dengan siapa yang akan membaca teks terjemahan
maupun topik teks yang sedang diterjemahkan. Hal senada disampaikan oleh
Levy (2000:148) yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan proses
pengambilan keputusan dimana seorang penerjemah harus mampu memilih
ungkapan tertentu dari beberapa alternatif. Sementara itu, Pym (2004:27)
mengusulkan suatu model yang menerangkan bagaimana bagaimana penerjemah
membuat keputusan ketika menerjemahkan. Ide utamanya adalah bahwa
pengambilan keputusan merupakan pengambilan risiko; dengan kata lain,
penerjemah harus berani mengambil risiko ketika menerjemahkan elemen tekstual
yang berbeda.
Meskipun memiliki kebebasan yang luas dalam memutuskan ungkapan
apa yang akan digunakan, seorang penerjemah tidak boleh mengambil keputusan
atas dasar „suka-suka‟, akan tetapi harus berdasarkan pengetahuannya yang
meliputi unsur-unsur tata bahasa, linguistik, filosofis, dan lain sebagainya
(Levy, 2000:148). Dengan kata lain, seorang penerjemah harus dapat memberikan
alasan atas keputusan yang diambilnya dalam terjemahannya. Sehubungan dengan
hal ini, Darwish (2008:205) mengatakan bahwa pengambilan keputusan dalam
penerjemahan dibatasi oleh beberapa faktor seperti pilihan gaya bahasa yang telah
digunakan penulis aslinya dalam teks BSu, tingkatan perbedaan antara BSu dan

BSa, tingkatan kepastian tentang konten, konteks, kesengajaan, intertekstualitas
(keterkaitan antar teks), dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Darwish (2008:206-207) merumuskan lima jenis keputusan
yang

diambil

oleh

seorang

penerjemah

dalam

proses

penerjemahan:


(i) meta-keputusan (meta-decision), (ii) keputusan terencana (programmed decision),
(iii) keputusan tak terencana (unprogrammed decision), (iv) keputusan taktis
(tactical decision), dan (v) keputusan strategis (strategic decision). Pertama,
meta-keputusan adalah keputusan tentang keputusan. Karena penerjemahan itu
pada hakikatnya bersifat mengulang sesuatu, maka beberapa keputusan tertentu
perlu dipertimbangkan kembali. Meta-keputusan pertama yang biasanya
dilakukan oleh seorang penerjemah adalah apakah dia harus menerjemahkan teks
dengan segera atau tidak. Kedua, keputusan terencana berhubungan dengan
keputusan yang umum dilakukan oleh seorang penerjemah. Ketiga, keputusan tak
terencana adalah keputusan yang harus diambil oleh seorang penerjemah ketika
terdapat suatu kasus penerjemahan di luar kebiasaan. Keempat, keputusan taktis
merupakan keputusan yang diambil di tahap-tahap awal penerjemahan yang
bekerja pada level leksikal dan kalimat. Keputusan taktis ini dapat bersifat linear
(ketika pola informasi yang terdapat dalam BSu itu sederhana) dan kursif
(ketika pola informasi itu kompleks). Kelima, keputusan strategis merupakan
keputusan yang di ambil pada tahapan akhir dari penerjemahan yang berkenaan
dengan keterwakilan teks BSu dalam teks BSa.
Pengambilan keputusan merupakan keahlian yang harus dimiliki oleh
setiap penerjemah. Ketidakmampuan dalam mengambil keputusan yang tepat
dalam penerjemahan mengindikasikan kegagalan dalam melakukan penerjemahan.

Dengan demikian, seorang penerjemah harus cakap dalam menentukan jenis

keputusan apa yang harus diambilnya pada keadaan tertentu ketika sedang
menerjemahkan.

2.3

Kompetensi Penerjemahan
Hasil terjemahan yang berkualitas akan dihasilkan jika dikerjakan oleh

penerjemah yang memiliki kompetensi penerjemahan yang baik. Salah satu
indikator baik tidaknya kompetensi penerjemahan yang dimiliki seorang
penerjemah adalah pengambilan keputusan tentang strategi yang sesuai untuk
mengatasi permasalahan yang muncul dalam proses penerjemahan (PACTE,
2009:209). Bell (1991:35) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan dan
keahlian yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah. Sementara itu, Lorshcher
(2012:5) menyatakan kompetensi merupakan suatu proses perkembangan keahlian
yang tidak ada akhirnya. Hal ini bermakna bahwa kompetensi penerjemahan
merupakan suatu pengetahuan dan keahlian dalam penerjemahan yang terus
berkembang dari masa ke masa.

Neubert (2000:4-5) menyatakan ada tujuh jenis kompetensi dalam
penerjemahan: kompleksitas, heterogenitas, prakiraan, berpikiran terbuka,
kreatifitas, pemahaman situasi, dan

pemahaman sejarah. Kompleksitas

berhubungan dengan kemampuan membedakan penerjemahan dari profesi
akdemis lainnya. Kompetensi heterogenitas merupakan kemampuan untuk
mengkombinasikan beberapa bidang dalam terjemahan. Sehubungan dengan
heterogenitas itu, seorang penerjemah juga harus memiliki kecakapan untuk
membuat prakiraan dalam suatu terjemahan karena tidak mungkin seorang
penerjemah itu mengetahui seluruh bidang yang diterjemahkannya. Selanjutnya,

seorang penerjemah harus berpikiran terbuka sehingga selalu mau untuk
memperbaharui pengetahuannya. Di samping itu, seorang penerjemah juga harus
kreatif yang selalu mempunyai kata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang
diterjemahkannya. Berikutnya, pemahaman situasi dan sejarah juga memudahkan
seorang penerjemah dalam pekerjaannya.
Sementara itu, Presas (2000:20) membuat istilah yang dia sebut
dengan kompetensi bilingual dan kompetensi penerjemahan. Pernyataan ini
bermakna bahwa, di samping memiliki kompetensi dalam penerjemahan,
seorang penerjemah harus bilingual, memiliki kompetensi pada dua bahasa yang
berbeda. Bilingual tidak hanya mampu menggunakan dua bahasa yang berbeda,
akan tetapi juga memiliki pengetahuan tentang tatabahasa kedua bahasa tersebut.
Penguasaan terhadap BSu dan BSa (kompetensi kebahasaan) merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan.
Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi,
leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut (Nababan, 2008:12).
Masih berkaitan dengan bilingual, Bell (1991:41) mengatakan bahwa
kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat
ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya, yang mencakup:
(i) Kompetensi gramatikal, yaitu pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi
kosa kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan
ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan
menghasilkan tuturan; (ii) Kompetensi sosiolinguistik, yaitu pengetahuan dan
kemampuan untuk menghasilkan dan memahami tuturan yang sesuai dengan
konteks (misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan); (iii) Kompetensi

wacana, yaitu kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk
menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu; dan (iv) Kompetensi strategik,
yaitu kemampuan dalam menguasai strategi berkomunikasi.
Selanjutnya, Nababan (2008:11) menyatakan bahwa menerjemahkan
merupakan kegiatan yang kompleks, sulit dan rumit. Agar pengambilan keputusan
dapat dilakukan secara efektif, cepat dan tepat dalam setiap proses penerjemahan,
penerjemah memerlukan beberapa kompetensi, yang tidak hanya sekadar
kompetensi

bilingual.

Kompetensi

merupakan

sistem

yang

mendasari

pengetahuan dan keterampilan yang membuat sesorang dapat melakukan hal-hal
khusus. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat didefinisikan sebagai sistem yang
mendasari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat
menerjemahkan (PACTE, 2000:100).
Kompetensi yang dipaparkan ini mengimplikasikan bahwa penerjemahan
yang dilakukan seorang penerjemah yang tidak memiliki kompetensi seperti
tersebut di atas akan menghasilkan terjemahan yang tidak atau kurang berkualitas.
Kompetensi terjemahan bersifat mutlak untuk dimiliki setiap penerjemah,
sehingga kajian-kajian yang melibatkan produk terjemahan harus mencari tahu
siapa orang dibalik produk atau teks terjemahan tersebut.

2.4

Teknik Penerjemahan
Karena semakin banyaknya keluhan dari masyarakat yang mengkonsumsi

produk terjemahan, maka para penerjemah terus berupaya untuk mengembangkan
teknik-teknik mutakhir yang dapat bekerja secara efektif dalam menerjemahkan.
Pada dasarnya, keinginan untuk menemukan teknik-teknik tersebut berawal dari

pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah mereka melakukan penerjemahan.
“Bagaimana makna yang terdapat dalam teks BSu terwakili dalam teks BSa?”,
“Metode apa yang tepat untuk menerjemahkan teks ini?”, atau “Strategi atau
teknik apa yang tepat untuk memecahkan masalah penerjemahan pada suatu
teks?” adalah beberapa pertanyaan yang mungkin timbul dalam rangka upaya
menemukan teknik yang tepat dalam penerjemahan.
Molina dan Albir (2002:499) memberikan definisi tentang teknik
penerjemahan sebagai prosedur untuk menganalisis dan mengelompokkan
bagaimana padanan penerjemahan bekerja. Menurut mereka, teknik penerjemahan
memiliki lima karakteristik dasar yaitu: (i) berdampak pada hasil terjemahan;
(ii) diklasifikasikan oleh perbandingan dengan teks aslinya; (iii) berdampak pada
unit mikro dari teks; (iv) bersifat diskursif dan kontekstual; dan (v) bersifat
fungsional.
Selanjutnya, berdasarkan lima karakteristik teknik penerjemahan tersebut,
Molina dan Albir (2002:501) mengklasifikasikan teknik penerjemahan kepada
18 jenis.
1.

Adaptasi (Adaptation)
Teknik ini mengganti istilah-istilah khas teks BSu dengan istilah lain yang
diterima dan dikenal dalam BSa. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris
(BSu) kata “snow” dalam ungkapan “as white as snow” diterjemahkan
menjadi “kapas” dalam bahasa Indonesia (BSa).

2.

Penambahan (Amplification)

Teknik ini memperkenalkan/menambahkan detail informasi yang tidak
terdapat dalam teks BSu yakni parafrase eksplisit atau eksplisitasi.
Sebagai contoh, frasa “valentine day” dalam BSu diterjemahkan melalui
parafrase “hari kasih sayang” dalam BSa. Demikian juga halnya dengan
kalimat “Be careful!” yang diterjemahkan dengan “Hati-hati di jalan ya!”
3.

Peminjaman (Borrowing)
Teknik ini mengambil sebuah kata atau ungkapan secara langsung dari
BSu. Peminjaman langsung ini disebut peminjaman murni, sedangkan
peminjaman yang menggunakan penyesuaian sistem fonetik dan
morfologis BSa adalah peminjaman naturalisasi. Kata “blog” dalam BSu
yang diterjemahkan dengan kata “blog” dalam BSa merupakan contoh
peminjaman murni, sedangkan kata “existence” yang diterjemahkan
dengan kata “eksistensi” merupakan contoh peminjaman naturalisasi.

4.

Kalke (Calque)
Teknik penerjemahan ini melibatkan penerjemahan harfiah sebuah kata
atau frase BSu secara langsung ke dalam BSa, bisa dalam tataran leksikal
atau struktural. Sebagai contoh, kata majemuk “Directorate General”
dalam BSu yang diterjemahkan menjadi “Direktorat Jenderal” dalam BSa
tidak mengubah makna dan letak strukturnya pada BSa. Contoh lainnya
adalah kata “Assistant Manager” dalam BSu yang diterjemahkan menjadi
kata “Asisten Manejer” dalam BSa.

5.

Kompensasi (Compensation)

Teknik penerjemahan yang memperkenalkan elemen informasi teks BSu
atau efek stilistik yang terdapat pada posisi lain dalam teks BSa karena
hal tersebut tidak bisa tercermin pada posisi yang sama dalam teks BSu.
Sebagai contoh, frasa “a pair of scissors” diterjemahkan menjadi
“sebuah gunting” dalam BSa. Begitu juga halnya dengan kalimat
“She stole my heart” yang diterjemahkan “Dia mencuri hati saya”.
6.

Deskripsi (Description)
Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan menggantikan istilah atau
ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Sebagai contoh, kalimat
“He ate farinha” dalam BSu diterjemahkan “Dia memakan farinha,
makanan tradisional dari Nigeria yang terbuat dari ubi kayu” dalam BSa.
Demikian juga halnya dengan kalimat “Simon likes panettone” yang
diterjemahkan “Simon menyukai panettone, kue tradisional Italia yang
dimakan pada saat Tahun Baru”.

7.

Kreasi Diskursif (Discursive Creation)
Teknik penerjemahan yang digunakan dengan menentukan padanan
sementara yang tidak terduga atau di luar konteks. Contohnya, ungkapan
“The mouse deer” dalam BSu diterjemahkan dengan “Sang kancil”.
Demikian juga halnya dengan ungkapan “Great Alexandre” yang
diterjemahkan “Aleksander yang Agung”.

8.

Padanan Lazim (Established Equivalent)
Teknik ini menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah diakui/lazim
(berdasarkan kamus atau penggunaan bahasa sehari-hari). Sebagai contoh,

“Great Britain” diterjemahkan ke dalam BSa menjadi “Britania Raya”
dan “You’re welcome” diterjemahkan dengan ungkapan “Sama-sama”.
9.

Generalisasi (Generalization)
Teknik ini menggunakan istilah-istilah yang lebih umum atau netral
dalam BSa. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan
yang spesifik. Kata “flat” dalam bahasa Inggris (BSu) tidak memiliki
kesepadanan yang spesifik dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga dapat
diterjemahkan dengan kata “apartemen”. Contoh lainnya adalah “2 pounds”
yang diterjemahkan dengan “900 gram”.

10. Amplipikasi Linguistik (Linguistic Amplification)
Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambah elemen-elemen
linguistik. Teknik ini sering digunakan dalam penerjemahan lisan secara
konsekutif dan dubbing. Sebagai contoh dapat dilihat pada ungkapan
“Not at all” yang diterjemahkan “Tidak, sama sekali tidak”, begitu juga
halnya dengan ungkapan “Speaking” dalam menerima telepon yang
diterjemahkan “Saya sendiri”.
11. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression)
Teknik penerjemahan yang mengumpulkan dan menjadikan satu
elemen-elemen linguistik dalam teks. Ungkapan-ungkapan “I want you to know”
yang diterjemahkan “Ketahuilah” dan “Yes, so what?” yang diterjemahkan
“Jadi, kenapa?” merupakan contoh penerapan teknik kompresi linguistik.
12. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)
Teknik terjemahan yang menerjemahkan sebuah kata atau ungkapan kata
demi kata. Dalam menggunakan teknik ini, seorang penerjemah tidak
mengaitkan terjemahannya dengan konteks. Beberapa contoh penggunaan

teknik ini adalah “I bought some books” yang diterjemahkan dengan
“Saya membeli beberapa buku” dan “You are an angel” yang diterjemahkan
“Kamu adalah seorang malaikat”.
13. Modulasi (Modulation)
Teknik terjemahan ini mengganti sudut pandang, fokus atau kategori
kognitif dalam hubungannya dengan teks BSu; bisa dalam tataran leksikal
atau struktural. Sebagai contoh, kalimat “I left my pen” diterjemahkan
“Pena saya ketinggalan” dan “No one is smarter than him in this class”
diterjemahkan “Dia yang paling pintar di kelas ini”.
14. Partikularisasi (Particularization)
Teknik terjemahan ini menggunakan istilah yang lebih kongkret atau
khusus. Teknik ini bertolak belakang dengan teknik generalisasi.
Frasa “air transportation” yang diterjemahkan dengan “pesawat” merupakan
bentuk penerapan partikularisasi karena sebenarnya masih ada beberapa
kata lain yang termasuk ke dalam kategori ini seperti helikopter dan jet.
Begiu juga halnya pada kata “jewelry” yang diterjemahkan “kalung emas”.
15. Reduksi (Reduction)
Teknik ini menekan/memadatkan fitur informasi teks BSu ke dalam teks
BSa. Teknik ini juga dapat disebut sebagai kebalikan dari teknik
amplifikasi. Beberapa contoh penerapan teknik ini adalah “Jakarta,
the capital of Indonesia” yang cukup diterjemahkan dengan kata “Jakarta”
dan “This house according to some people is full of mistery” yang
diterjemahkan “Rumah ini penuh misteri”.

16. Subtitusi (Subtitution)
Teknik penerjemahan ini menggantikan elemen linguistik ke dalam
elemen paralinguistik atau sebaliknya. Elemen paralinguistik “shaking
head” dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan elemen linguistik “iya”
dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, “thumb up” diterjemahkan “bagus”.
17. Transposisi (Transposition)
Teknik terjemahan ini mengganti kategori gramatikal. Teknik ini juga
disebut dengan teknik pergeseran kategori, struktur ataupun unit.
Contohnya, frasa “His success to win the contest” diterjemahkan ke dalam
bentuk klausa “Dia berhasil menjuarai lomba itu”. Contoh lainnya adalah
perubahan nomina “in doubt” pada klausa “he is in doubt” menjadi
adjektiva “ragu-ragu”.
18. Variasi (Variation)
Teknik penerjemahan ini mengubah elemen linguistik atau paralinguistik
(intonasi, gesture) yang berdampak pada variasi linguistik seperti
perubahan tona secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial dan juga dialek
geografis. Teknik ini lazim diterapkan dalam menerjemahkan naskah
drama. Sebagai contoh, ungkapan “hi chick” diterjemahkan “hai cewek”
dan ungkapan “Stay away from me!” diterjemahkan “Jauhi aku!”
Teknik yang dipaparkan oleh Molina dan Albir (2002: 499) inilah yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu untuk menentukan teknik yang dominan
digunakan dalam menerjemahkan teks Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).

2.5

Penilaian Kualitas Terjemahan
Tujuan setiap penerjemahan tentunya adalah hasil terjemahan yang

berkualitas, akan tetapi pengukuran tentang terjemahan yang mana yang
berkualitas dan yang tidak berkualitas masih merupakan isu yang terus menerus
menjadi perdebatan para ahli di bidang penerjemahan. Nida (1964: 182)
menyatakan bahwa penerjemahan harus menghasilkan tanggapan yang sepadan
dalam BSa. Berkenaan dengan kesepadanan, Nida dan Taber (1969: 173)
mengusulkan tiga kriteria kualitas terjemahan: ketepatan, kemudahan dalam
pemahaman, dan keterlibatan ahli yang berpengalaman dalam penerjemahan.
Sementara

itu,

Larson

(1984:529)

menyatakan

bahwa

kualitas

penerjemahan dapat dilihat dari tiga aspek: keakuratan (accuracy), kejelasan
(clarity), dan kealamiahan (naturalness). Keakuratan bermakna bahwa teks
terjemahan pada BSa harus mewakili makna keseluruhan yang terdapat pada
BSu – tidak bertambah dan tidak berkurang. Selanjutnya, kejelasan berhubungan
dengan keterbacaan teks terjemahan oleh pembacanya sehingga teks tersebut
dapat dipahami dengan mudah. Berikutnya, kealamiahan berhubungan dengan
struktur tata bahasa pada BSa. Terkadang suatu teks terjemahan mengandung
struktur kalimat yang asing digunakan dalam BSa meskipun memiliki akurasi dan
kejelasan yang baik. Kealamiahan ini bertujuan agar pembaca dapat membaca
teks terjemahan seperti membaca teks pada bahasa mereka sendiri.
Selanjutnya, Larson (1984:533-545) mengusulkan lima cara untuk
mengukur kualitas penerjemahan, yaitu: (1) membandingkan teks sumber (TSu)

dengan teks sasaran (TSa); (2) menerjemahkan kembali TSa ke TSu;
(3) mengecek pemahaman; (4) menguji kealamiahan dan keterbacaan TSa; dan
(5) mengecek konsistensi. Pertama, membandingkan TSu dan TSa untuk
mengukur apakah makna yang terdapat dalam TSu telah terwakili dalam TSa.
Kedua, meminta orang lain menerjemahkan kembali TSa ke TSu tanpa
melihat TSu, selanjutnya, hasil terjemahan tersebut dibandingkan dengan
TSu yang sebenarnya. Ketiga, meminta orang lain untuk membaca TSa tanpa
memperlihatkan kepadanya TSu untuk mengecek pemahamannya terhadap
TSa tersebut. Keempat, menguji kealamiahan dapat dilakukan oleh orang
yang memiliki kompetensi BSa yang baik, biasanya orang tersebut disebut
dengan pereview. Kompetensi inilah yang dapat mengukur apakah tata
bahasa yang digunakan dalam TSa sudah sesuai dengan tata bahasa pada BSa.
Kelima, menguji konsistensi dapat melibatkan konsistensi penggunaan kata,
istilah, nama, dan lain sebagainya.
Secara khusus, penelitian ini menggunakan tiga instrumen penilaian
kualitas penerjemahan (Larson, 1984; Machali, 2000; Nagao dkk., 1988):
(i) instrumen pengukur keakuratan (accuracy rating instrument), (ii) instrumen
pengukur keberterimaan (acceptability rating instrument), dan (iii) instrumen
pengukur keterbacaan (readability rating instrument). Selanjutnya, ketiga
instrumen tersebut dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini
berdasarkan model yang digunakan oleh Machali (2000), Nababan (2004),
Silalahi (2009), dan Anshori (2010).

2.5.1 Instrumen Pengukur Keakuratan (Accuracy Rating Instrument)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat akurasi pada penelitian
ini mengacu pada instrumen pengukur keakuratan yang diadapatasi dari Larson
(1984), Nagao dkk. (1988), dan Nababan (2004) berdasarkan skala 1 sampai 4
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pesan dalam kalimat BSu tersampaikan secara akurat ke dalam BSa.
Kalimat BSa jelas dan tidak perlu ditulis ulang atau drevisi.
2. Pesan dalam kalimat BSu tersampaikan secara akurat ke dalam BSa.
Kalimat BSa dapat dipahami, namun susunan kata perlu ditulis ulang
revisi.
3. Pesan dalam kalimat BSu belum tersampaikan secara akurat ke dalam
BSa. Terdapat beberapa masalah dengan pilihan kata dan hubungan
antar frasa, klausa dan unsur kalimat.
4. Pesan dalam kalimat BSu tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam
BSa, misalnya, dihilangkan.
Lebih lanjut, dalam penelitian ini kriteria penilaian untuk mengukur
keakuratan teks BSa telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.
Penilaian keakuratan menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria seperti yang
terdapat pada Lampiran 1.

2.5.2 Instrumen Pengukur Keberterimaan (Acceptability Rating Instrument)
Merujuk kepada Machali (2000), maka kriteria pengukur keberterimaan
teks BSa adalah sebagai berikut:

1. Terjemahan hampir sempurna dengan indikator; penyampaian wajar,
hampir tidak terasa seperti terjemahan, tidak ada kesalahan ejaan,
tidak ada kesalahan/penyimpangan tata bahasa dan tak ada kekeliruan
penggunaan istilah,
2. Terjemahan sangat bagus dengan indikator; tidak ada distorsi makna,
tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada kekeliruan
penggunaan istilah, ada satu dua kesalahan tata bahasa/ejaan
3. Terjemahan baik dengan indikator; tidak ada distorsi makna, ada
terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 15% dari
keseluruhan teks sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan,
kesalahan tata bahasa dan idiom relatif tidak lebih dari 15% dari
keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku
umum, ada satu dua kesalahan tata bahasa/ejaan
4. Terjemahan cukup dengan indikator; terasa sebagai terjemahan,
ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih
dari 25%, ada beberapa kesalahan idiom dan/tata bahasa, tetapi relatif
tidak lebih dari 25% dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan
istilah yang tidak baku umum dan/atau kurang jelas.
5. Terjemahan buruk dengan kategori; sangat terasa sebagai terjemahan,
terlalu banyak terjemahan harfiah yang kaku (relatif lebih dari 25% dari
keseluruhan teks), terjadi distorsi makna dan kekeliruan penggunaan
istilah lebih dari 25% dari keseluruhan teks.

Mengusung kriteria yang diusulkan oleh Machali (2000), kriteria penilaian
untuk mengukur keberterimaan teks BSa telah dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan penelitian ini. Penilaian keakuratan menggunakan skala 1 sampai 3
dengan kriteria seperti yang terdapat pada Lampiran 2.

2.5.3 Instrumen Pengukur Keterbacaan (Readibility Rating Instrument)
Pengukur keterbacaan berhubungan dengan sulit atau mudahnya teks BSa
dibaca oleh seseorang. Pada penelitian ini, penulis menambahkan satu kategori
lagi yang berada di antara keduanya, yaitu „sedang‟ Dalam hal ini, lima cara
pengukur kualitas yang diusung oleh Larson (1984) akan digunakan, yang salah
satunya adalah dengan meminta orang lain untuk membaca teks BSa tanpa
memperlihatkan teks BSu. Instrumen penilaian keterbacaan juga dimodifikasi
dengan membuat skala nilai 1-3 yang disertai indikator untuk masing-masing
skala penilaian (Lihat Lampiran 3).

2.6

Pengertian Modal dan Modalitas
Makna yang terdapat pada suatu kalimat dapat berupa positif dan negatif;

akan tetapi, makna kalimat juga dapat berada di tengah-tengah antara positif dan
negatif. Dengan kata lain, makna suatu kalimat tidak sepenuhnya positif, dan tidak
sepenuhnya negatif. Makna inilah yang disebut dengan makna modalitas
dalam kalimat. Dengan demikian, makna yang terkandung di dalam modalitas
mengungkapkan sikap si penulis/pembicara terhadap hal yang dinyatakannya, dan
alat yang digunakan untuk menyatakan sikap tersebut disebut dengan modal.

Menurut Lyons (1977:747), modal merupakan alat yang digunakan oleh
seseorang dalam menggambarkan sikapnya yang dihubungkan dengan isi
ungkapannya dengan apa yang disampaikannya.
Sementara itu, Chaer (1994:262) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap
pengguna bahasa terhadap hal yang disampaikan, yaitu mengenai perbuatan,
keadaan, peristiwa, atau sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa
pernyataan kemungkinan, keinginan, atau keizinan. Dalam bahasa Indonesia,
modalitas dinyatakan secara leksikal, yaitu berupa sebuah modal.
Selanjutnya,

Hasanuddin

(2009:772)

menjelaskan

tiga

pengertian

modalitas, yaitu: (1) klasifikasi proposisi menurut hal menyuguhkan atau
mengingkari kemungkinan atau keharusan; (2) cara pembicara menyatakan
sikap terhadap situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi; dan (3) makna
kemungkinan, keharusan, kenyataan, yang dinyatakan dalam kalimat; dalam
bahasa Indonesia modalitas dinyatakan dengan kata-kata seperti barangkali, harus,
akan atau dengan adverbial kalimat seperti pada hakikatnya, menurut hemat saya,
dan sebagainya.
Ada beberapa pandangan mengenai kemiripan pengertian antara modalitas
dan modus (mood). Meskipun memiliki kesamaan, akan tetapi pada dasarnya
modalitas dan modus itu berbeda khususnya secara struktural dan semantis.
Menurut Lyons (1977:748), modus merupakan penggambaran sikap pembicara
secara gramatikal yang biasanya terlihat pada pemakaian verba khusus dengan
proses morfologis yang terkait pada fleksi. Sedangkan modalitas menggambarkan

sikap pembicara yang dihubungkan dengan isi ungkapannya dengan apa yang
disampaikannya. Selanjutnya, Alwi (1990) menjelaskan bahwa modus merupakan
kategori gramatikal sedangkan modalitas termasuk ke dalam kategori semantis.
Selanjutnya dengan mengutip pandangan Blomfield (1933), dia menjelaskan
bahwa kategori semantis itu merupakan salah satu fenomena kesemestaan bahasa
(language universal). Pandangan ini memberi petunjuk bahwa setiap bahasa
memiliki unsur yang dapat digunakan untuk menggambarkan sikap pembicara
dalam tuturannya tanpa selalu berbentuk modus (Abdurrahman, 2011:4).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa modalitas
merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang yang
menggunakannya. Alat leksikal yang digunakan dalam modalitas disebut dengan
modal – kata kerja bantu yang memberikan makna modalitas pada kalimat yang
dimasukinya. Pembahasn selanjutnya berkenaan dengan jenis-jenis modal atau
klasifikasi modal.

2.7

Klasifikasi Modal
Modal diklasifikasikan berdasarkan makna modalitas yang dibawanya, dan

makna ini sangat bergantung kepada konteks di mana modal tersebut digunakan.
Dengan kata lain, modal yang sama dapat membawa makna modalitas yang
berbeda ketika terletak dalam konteks yang berbeda. Coates dan Leech (1980:25)
mengilustrasikan makna modalitas yang dibawa oleh modal „can‟ seperti yang
terdapat pada (a) dan (b) berikut ini.

(a) We can’t expect him to leave his customers.
Kita tidak dapat mengharapkannya untuk meninggalkan pelanggannya.
(b) You can‟t leave the office before 12.
Kamu tidak boleh meninggalkan kantor sebelum jam 12.
Kedua kalimat yang terdapat dalam (a) dan (b) sama-sama menggunakan
modal yang sama, yaitu can’t. Akan tetapi, makna modalitas yang dibawa oleh
kedua modal tersebut berbeda; kalimat yang terdapat pada (a) menyatakan makna
modalitas kemampuan, sedangkan kalimat yang terdapat pada (b) menyatakan
makna kebolehan atau izin.
Berkaitan dengan makna modalitas yang dibawa oleh modal, Warnsby
(2006:10-21) membagi modalitas kepada dua kelompok yang luas: modalitas
epistemik dan modalitas non-epistemik. Selanjutnya, epistemik itu sendiri dibagi
lagi menjadi tiga jenis, yaitu modalitas deontik, modalitas dinamik, dan modalitas
eksistensial. Dengan demikian, secara umum, modalitas dapat diklasifikasikan ke
dalam empat jenis: epistemik, deontik, dinamik, dan eksistensial (Alwi, 1992;
Brewer, 1987; Downing and Locke, 1992; Lyons, 1977; Warnsby, 2006).
Modalitas epistemik berhubungan dengan istilah „pengetahuan‟. Perkins
(1983:6) menyatakan bahwa istilah epistemik diartikan sebagai „kekurangtahuan‟
(lack of knowledge), sedangkan Coates (1983:131) mengartikannya sebagai
„kekurangyakinan‟ (lack of confidence). Selanjutnya, modalitas epistemik
mencakup dua makna: kemungkinan dan keperluan (Coates dan Leech, 1980:24)
yang dikembangkan menjadi empat jenis „kemungkinan‟, „keteramalan‟,
„keperluan‟, dan „kepastian‟ oleh Alwi (1992:191).

Makna yang terkandung di dalam „kemungkinan‟, „keteramalan‟, „keperluan‟,
dan „kepastian‟ ini secara berturut-turut menggambarkan gradasi keepistemikan
sikap pembicara terhadap kebenaran proposisi. Contoh kalimat-kalimat di bawah
ini menggambarkan gradasi keepistemikan modalitas.
(a) Dia pasti tidak datang pada acara pernikahanmu. (Kepastian)
(b) Dia tidak perlu datang pada acara pernikahanmu. (Keperluan)
(c) Rasanya dia tidak datang pada acara pernikahanmu karena
kesibukannya. (Keteramalan)
(d) Dia mungkin tidak datang pada acara pernikahanmu. (Kemungkinan)
Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah bahwa „kedatangannya‟
merupakan suatu hal yang dipastikan tidak akan terjadi. Selanjutnya pada kalimat
(b), „kedatangannya‟ diharapkan tidak terjadi, akan tetapi masih memungkinkan
untuk terjadi. Berikutnya pada kalimat (c), „kedatangannya‟ diramalkan tidak akan
terjadi, akan tetapi masih memungkinkan untuk terjadi. Sementara itu, pada
kalimat (d), „kedatangannya‟ mungkin terjadi, akan tetapi tingkatan kemungkinan
itu rendah.
Selain

kata-kata

yang

terdapat

pada

(d),

modalitas

epistemik

„kemungkinan‟ dapat dipaparkan melalui kata dan frasa lainnya. Yang berupa kata
ialah dapat, bisa, boleh, bisa-bisa, mungkin dan barangkali, sedangkan yang
berupa frasa ialah dapat saja, bisa saja, boleh saja, bisa jadi, dan boleh jadi.
Pengungkap modalitas untuk modalitas epistemik „keteramalan‟ yang berbentuk
kata ialah akan, agaknya, rupanya, tampaknya, dan rasanya, dan yang berbentuk
frasa proposisi ialah menurut/pada hemat/pendapat saya, kemudian yang berupa
klausa ialah kalau saya tidak salah/keliru atau saya kira/rasa/pikir/duga.

Sementara itu, kata harus, mesti, wajib, perlu, patut, seharusnya, semestinya,
sebaiknya, selayaknya, sepantasnya dan seyogianya serta frasa mau tak mau
dibahas sebagai pengungkap modalitas „keharusan‟. Paparan makna „kepastian‟
yang dipaparkan dengan bentuk kata ialah pasti, tentu, niscaya, tentunya,
sementara yang berbentuk frasa ialah tentu saja, sudah barang tentu, dan tak
salah/pelak lagi, serta yang berbentuk klausa ialah saya yakin/percaya atau saya
(merasa) pasti (Alwi, 1992:92).
Selanjutnya, modalitas deontik berhubungan dengan izin dan keharusan
(Coates dan Leech, 1980:23) yang selanjutnya dikembangkan oleh Alwi (1992:20)
menjadi izin, perintah, dan larangan. Coates dan Leech (1980:24) mengilustrasikan
keterhubungan makna antara modalitas epistemik dan modalitas deontik seperti
yang terdapat pada Bagan 2.2 berikut ini.
Deontik

Epistemik

CAN
izin

kemungkinan

MAY
MUST

keharusan

keperluan

kemungkinan

MAY
MUST

keperluan

HAVE TO

(HAVE TO)

Bagan 2.2 Makna modalitas deontik dan epistemik
(Coates dan Leech, 1980:24)
Berikut ini merupakan contoh kalimat yang menggunakan modal „may‟
yang berfungsi menyatakan makna modalitas epistemik kemungkinan (Coates dan
Leech, 1980:27).
I may not get back there today – it depends on the work here.

Modal „may‟ pada contoh di atas menyatakan makna bahwa subjek
mungkin saja tidak melakukan aksinya karena ada suatu kondisi yang tidak
memungkinkan dia untuk melakukannya. Pada konteks ini, modal „may‟ tidak
dapat digantikan dengan modal „can‟ meskipun „can‟ dapat digunakan untuk
menyatakan kemungkinan. Akan tetapi, dengan menghilangkan klausa „it depends
on the work here‟, maka modal „may‟ dapat digantikan dengan modal „can‟
seperti pada contoh kalimat berikut ini.
I cannot get back there today.
Meskipun demikian, penggantian „may‟ dengan „can‟ pada konteks
kalimat ini mengakibatkan pergeseran makna modalitas yang terdapat di
dalamnya. Kalimat di atas tidak lagi menyatakan makna modalitas epistemik
kemungkinan, melainkan modalitas dinamik kemampuan.
Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, modalitas deontik „izin‟ dapat
diungkapkan melalui kata boleh, dapat, bisa, perkenankan, memperkenankan,
diperkenankan, izinkan, mengizinkan, diizinkan, perbolehkan, memperbolehkan,
dan diperbolehkan. Sementara untuk pengungkap modalitas deontik „perintah‟
dapat dipaparkan melalui kata wajib, mesti, harus, haruskan, mengharuskan,
diharuskan, perintahkan, memerintahkan, diperintahkan, larang, melarang, dilarang,
tidak boleh, dan jangan (Alwi, 1992:251). Kalimat-kalimat di bawah ini merupakan
contoh penggunaan modalitas deontik.
(a) Para hadirin diperkenankan duduk kembali. (Izin)
(b) Anak itu mesti meninggalkan ruangan ini secepatnya. (Keharusan)
(c) Dia tidak wajib mengatakan fakta yang sebenarnya. (Larangan)

Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah bahwa „duduk kembali‟
merupakan suatu hal yang diperbolehkan kepada para hadirin untuk melakukannya;
dengan kata lain, para hadirin diberi izin untuk duduk. Selanjutnya pada
kalimat (b), „meninggalkan ruangan ini secepatnya‟ merupakan aksi yang wajib
dilakukan „anak itu‟; dengan kata lain, jika aksi tersebut tidak dilakukan anak itu,
maka akan mendapat suatu konsekuensi yang diberikan oleh si pembicara.
Berikutnya proposisi pada kalimat (c) memiliki makna yang bertolak belakang
dengan proposisi pada kalimat (b), di mana „mengatakan fakta yang sebenarnya‟
merupakan larangan yang tidak boleh dilakukan oleh „Dia‟.
Berikutnya, Alwi (1992:233) menyatakan bahwa modalitas dinamik
sama dengan modalitas deontik yang mempersoalkan sikap pembicara terhadap
aktualisasi peristiwa. Modalitas dinamik ini mencakup modalitas kemampuan
yang diungkapkan melalui dapat, sanggup, bisa, dan mampu. Pandangan
pembicara dalam modalitas dinamik terhadap peristiwa bersifat objektif karena
keberlangsungan peristiwa tidak bergantung pada pembicara, tetapi pada subjek
yang berperan sebagai pelaku dalam hal ini terlihat pada makna kemampuan
(ability) seperti yang disebutkan di atas. Kalimat-kalimat di bawah ini merupakan
contoh penggunaan modalitas dinamik.
(a) Anak itu dapat menjawab soal ujian dengan benar.
(b) Anak itu sanggup memikul satu karung beras.
(c) Anak itu bisa berjalan dengan satu kaki.
Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) – (c) adalah kemampuan „Anak
itu‟ dalam melakukan beberapa aksi: „menjawab soal ujian dengan benar‟ yang

ditandai dengan penggunaan modalitas „dapat‟ seperti yang terdapat pada
(a), „memikul satu karung beras‟ yang ditandai dengan penggunaan modalitas
„sanggup‟ pada (b), dan „berjalan dengan satu kaki‟ yang ditandai dengan
penggunaan modalitas „bisa‟ pada (c).
Klasifikasi terakhir dari modalitas, yaitu eksistensial atau intensional,
mencakup „keinginan‟, „harapan‟, „ajakan‟, „pembiaran‟ dan „permintaan‟.
Faktor

keterlibatan

pembicara

dalam

keberlangsungan

atau

aktualisasi

peristiwa merupakan tolak ukur yang membedakan „keinginan‟ dari „harapan‟.
Sementara itu, „ajakan‟ dan „pembiaran‟ dibedakan dari „permintaan‟ berdasarkan
siapa di antara pembicara dan teman pembicara yang akan menjadi pelaku
aktualisasi peristiwa (Alwi, 1992:52-52). Penggunaan modalitas intensional dapat
dilihat pada kalimat-kalimat di bawah ini.
(a) Saya ingin segera menyelesaikan tugas saya.
(b) Saya berharap segera menyelesaikan tugas saya.
(c) Ayo kita berlari sekencang-kencangnya.
(d) Biarkan dia berlari sekencang-kencangnya.
Proposisi pada kalimat (a) dan (b) dibedakan berdasarkan atas keinginan
dan harapan. „Keinginan‟ sebenarnya juga mengandung makna „harapan‟, akan
tetapi, „keinginan‟ merupakan perwujudan „harapan‟ yang diikuti oleh aksi-aksi
yang menunjang untuk mencapai keinginan tersebut. Sementara „harapan‟ juga
mengandung makna „keinginan, tapi perwujudannya tidak dilakukan dengan

menunjukkan aksi-aksi yang relevan untuk mencapainya. Sementara proposisi
pada kalimat (c) dan (d) adalah „ajakan‟ dan „pembiaran‟ atas permintaan si
pembicara.
Lebih jauh lagi, menurut Alwi (1992:54), „keinginan‟ terbagi atas dua
gradasi yakni keinginan yang kuat dan keinginan yang lemah. Keinginan yang
kuat berkadar „keinginan‟, sementara keinginan yang lemah berkadar „kemauan‟,
„maksud‟ dan „keakanan‟. Pengungkap modalitas menyatakan „maksud‟ karena
pemfokusan terletak pada kalimat. Akan tetapi, pengungkap modalitas
menyatakan kadar „kemauan‟ karena pemfokusan terletak pada pengungkap
modalitas. Pengungkap modalitas mengandung kadar „keakanan‟ karena
menyiratkan adanya unsur ramalan. Dalam bahasa Inggris, gradasi ini dapat
dilihat pada penggunaan modalitas „be going to‟ dan „will‟ seperti yang terdapat
pada kalimat-kalimat di bawah ini.
(a) I am going to take an English course.
Saya ingin mengikuti kursus Bahasa Inggris.
(b) I will take an English course.
Saya akan mengikuti kursus Bahasa Inggris.
Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah keinginan yang kuat
dari si pembicara untuk „mengikuti kursus bahasa Inggris‟. Dengan kata lain,
si pembicara sudah berniat ataupun bermaksud untuk melakukan hal tersebut.
Sementara pada kalimat (b), si pembicara mengungkapkan keinginan yang lemah
untuk mengikuti kursus bahasa Inggris. Dengan kata lain si pembicara hanya
menyampaikan keakanannya untuk melakukan hal tersebut, dan berkemungkinan
tidak melakukannya.

2.8

Sejarah UNCLOS 1982
United Nations Convention on the Law of the Sea atau yang dikenal

dengan UNCLOS, merupakan perjanjian hukum laut yang dihasilkan dari
konferensi PBB yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982.
UNCLOS sendiri sebelumnya sudah dilaksanakan sejak tahun 1958 yang
kemudian dirasa perlu adanya penyempurnaan hingga akhirnya dilaksanakanlah
UNCLOS 1982 yang sudah diakui oleh lebih dari 150 negara termasuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Setahun sebelum diadakan UNCLOS untuk pertama kalinya, sebenarnya
Indonesia sudah mulai memperjuangkan hukum laut demi memperkokoh
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada
tanggal 13 Desember 1957. Isi dari Deklarasi Djuanda tersebut antara lain yaitu
ditegaskan bahwa demi keutuhan territorial dan melindungi kekayaan Negara
Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap
sebagai kesatuan yang bulat. Selain itu, dalam deklarasi ini juga disebutkan bahwa
penentuan batas territorial yang lebarnya 12 mil, diukur dengan garis-garis yang
menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Demikian isi dari Deklarasi Djuanda yang kemudian disisipkan dalam
rangka menghadiri UNCLOS pertama yang diadakan di Jenewa pada tahun 1958.
Namun karena banyaknya kepentingan dari negara-negara peserta UNCLOS,
konferensi tersebut akhirnya gagal menentukan lebar laut territorial dan konsepsi
Negara kepulauan yang diajukan Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan
UNCLOS kedua yang sama-sama mengalami kegagalan dalam penetapan lebar
laut territorial dan Negara kepulauan.

Namun seiring berjalannya waktu kesadaran masyarakat dunia akan
pentingnya mengatur batas-batas perairan, akhirnya pada UNCLOS ketiga
yang berlangsung pada tahun 1973 sampai dengan 1982, ditetapkan beberapa
kesepakatan diantaranya yaitu ditetapkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan,
selain itu dinyatakan bahwa Negara pantai seperti Indonesia berhak atas Laut
Teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Tambahan sejauh 24 mil laut, Zona Ekonomi
Ekslusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen sejauh 350 mil atau lebih
yang lebar masing-masing zona tersebut diukur dari referensi yang disebut garis
pangkal. Laut territorial sendiri yaitu suatu kedaulatan yang diberikan kepada
Negara pantai termasuk ruang udara, dasar laut dan tanah dibawahnya.
Sedangkan yang dimaksud Zona Tambahan yaitu zona yang lebarnya tidak
melebihi 24 mil yang diukur dari garis pangkal dimana lebar laut territorial
diukur. Selain itu yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Ekslusif yaitu zona yang
luasnya 200 mil dari garis pantai, dimana dalam zona tersebut sebuah negara
pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, berhak menggunakan
kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun
melakukan penanaman kabel atau pipa.

2.8.1 Manfaat UNCLOS 1982 Bagi Bangsa Indonesia
Salah satu manfaat yang nyata dari penerapan UNCLOS 1982 ini bagi
bangsa Indonesia adalah dirumuskannya United Nations Implementing Agreement
(UNIA) pada tahun 1995 (Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2009). UNIA merupakan persetujuan multilateral yang mengikat
para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya

terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan
Pasal 64 UNCLOS 1982 (Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2009). Yang dimaksud dengan „beruaya‟ di sini adalah
perpindahan atau migrasi yang dilakukan ikan untuk keperluan berkembangbiak
(KBBI, 2002). Sebagian ikan ada yang bermigrasi ke laut yang dekat dengan
tempat asalnya (beruaya terbatas), dan ada yang bermigrasi jauh bahkan sampai
ribuan kilometer (beruaya jauh) dari tempat asalnya.
Adapun manfaat pengesahan UNIA 1995 bagi Indonesia adalah:
(1) memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan
ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi kapal
Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas;
(2) mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan
tepat waktu melalui mekanisme pertukaran data dan informasi di antara negara
pihak; (3) mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya
terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional;
(4) mendapatkan hak akses dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi
perikanan di Laut Lepas; (5) memperoleh perlakuan khusus sebagai negara
berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis,
bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, bantuan pengawasan, dan
bantuan penegakan hukum; (6) memperoleh bantuan dana untuk penerapan
Persetujuan ini, termasuk bantuan dana untuk penyelesaian sengketa yang
mungkin terjadi antara negara yang bersangkutan dan negara pihak lain;

(7) memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan internasional;
(8). mempertegas hak berdaulat Indonesia berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya ikan di ZEE Indonesia; dan (9) memperkuat penerapan persetujuan regional
di bidang pengelolaan sumber daya ikan.

2.9

Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian atau penelitian yang melibatkan teknik penerjemahan dan

penerjemahan modalitas telah dilakukan oleh para ahli di bidang penerjemahan.
Silalahi (2009) melakukan penelitian tentang dampak teknik, metode, dan ideologi
penerjemahan pada kualitas terjemahan teks medical-surgical nursing dalam
bahasa Indonesia. Berkaitan dengan teknik penerjemahan, hasil temuannya
mengungkapkan bahwa dalam menerjemahkan teks medical-surgical nursing,
delapan teknik penerjemahan diterapkan yaitu teknik harfiah (literal), pe