Iredentisme di Asia Tenggara. docx

Iredentisme Islamis di Asia Tenggara Pasca 9/11:
Identifikasi, Karakteristik dan Respon Pemerintah1
Baiq L.S.W.Wardhani
Departemen Hubungan Internasional FISIP Unversitas Airlangga

Pendahuluan
Kawasan   Asia   Tenggara   dikenal   sebagai   salah   satu   kawasan   yang   paling   bergolak
akibat   konflik   etnis   separatis 2.   Salah   satu   konfik   etnis   yang   belum   berakhir   adalah
upaya pemisahan diri karena keinginan bergabung dengan negara lain (iredentisme) 3.
Hal   yang   menarik   dari   fenomena   ini   adalah   perjuangan   sejumlah   gerakan­gerakan
iredentis   yang   berdasarkan   Islam   yang   kelompok­kelompok   tersebut   tersebar   di
beberapa negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Tujuan utama gerakan iredentis tersebut adalah bersatu dan membentuk negara Islam
di Asia Tenggara. Perlu digarisbawahi bahwa gerakan­gerakan iredentis islamis di Asia
Tenggara   menjelma   dalam   berbagai   bentuk   organisasi,   mulai   dari   gerakan­gerakan
(yang   dianggap)   memisahkan   diri   maupun   partai­partai   politik   dan   gerakan   massa.
Gerakan   teroris   yang   beroperasi   di   Asia   Tenggara,   terutama   Jamaah   Islamiyah   (JI)
berupaya memanfaatkan kelompok­kelompok ini untuk menyebarkan pengaruhnya.
Beberapa kelompok­kelompok islamis dengan elemen iredentis yang terdapat di Asia
Tenggara tersebut diantaranya adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad
1 Disajikan dalam International Seminar Indonesia­Malaysia Update 2008. Kerjasama UGM dengan 

Malaya University yang diselenggarakan di Yogyakarta, 27­29 Mei 2008. 
2 Separatis (me) merupakan istilah generik yang digunakan untuk menjelaskan gejala pemisahan diri 
(sececcionism), iredentisme maupun tuntutan otonomi.

3  Iredentisme  (berasal   dari   bahasa   Italia  terra   irredenta  yang   berarti   “tanah   tak   terlepaskan”)   adalah
doktrin yang menurut kaum iredentis, wilayah iredenta tersebut seharusnya dibawah kontrol/kekuasaan
negara yang secara etnis atau sejarah berhubungan (Chazan 1991). Pengertian iredentis mengandung dua
makna yaitu (a) keinginan untuk melepaskan diri dari negara satu untuk bergabung dengan negara lain
[yang secara etnis dan sejarah berhubungan] dan (b) menggabungkan lebih dari satu nation yang terpisah
untuk bergabung di bawah satu kontrol kekuasaan (Horowitz 1992: 119). Iredentis jarang ditemui dalam
praktek pemisahan diri karena, menurut Horowitz, menjadi sesessionis lebih membawa hasil yang nyata
dan karenanya ‘more satisfying choice’. Iredentis dapat meningkatkan dan memperkuat keinginan sesessi
tetapi   tidak   sebaliknya   (Horowitz   1991:   12).   Selain   itu   iredentisme   merupakan   fenomena   yang   sulit,
sekalipun mungkin saja terjadi, karena banyak pemerintah mengkhawatirkan dampak iredents yang bisa
mengganggu keseimbangan etnis akibat masuknya etnis tertentu ke dalam wilayah sebuah negara. 

1

(Indonesia), Pattani United Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro Islamic
Liberation Front – MILF (Filipina), PAS, KMM (Malaysia). Perjuangan mereka sudah

berlangsung sejak sebelum negara mendapat kemerdekaan dari pemerintah kolonial.
Gerakan   yang   sudah   berlangsung   lama   ini   seringkali   tidak   mendapat   respon   yang
memadai dari negara karena sifat gerakannya yang laten dan sporadis. Ancaman yang
ditimbulkan   dari gerakan iredentis di Asia Tenggara kerap ditengarai semata­mata
sebagai   gerakan   pemisahan   diri   yang   menuntut   kemerdekaan   (sessesi­secession)   dan
negara   tidak   pernah   memandang   kelompok­kelompok   tersebut   sebagai   kelompok
iredentis islamis. Hal ini menunjukkan Islam sebagai faktor yang “tidak diakui” (denied
factor) oleh kebanyakan pemerintah negara­negara Asia Tenggara (Permata, 2007: 74). 
Sesungguhnya tujuan akhir gerakan iredentisme di Asia Tenggara adalah berdirinya
sebuah   pemerintahan   yang   berdasar   pada   sendi­sendi   keislaman   (daulah   islamiyah),
bukan   sekedar   menuntut   pemisahan   diri   dan   berdiri   sebagai   entitias   politik   yang
terpisah dari negara. Sementara itu  daulah islamiyah  merupakan cita­cita yang belum
pernah   terwujud   dan   akan   selalu   diperjuangkan   oleh   para   peyakinnnya.   Akibat
perlakuan yang tidak tepat atas gerakan­gerakan iredentis tersebut, pemerintah sering
salah mengambil kebijakan dalam menghadapinya. 
Sebelum   tragedi   9/11   gerakan­gerakan   iredentis   ini   diperlakukan   sebagai   gerakan
pemisahan diri yang berjuang melawan pemerintah. Pendekatan pemerintah yang pada
umumnya menggunakan cara­cara kekerasan/militeristik tidak berhasil memadamkan
hasrat   memberontak   kelompok­kelompok   tersebut.   Sebaliknya,   secara   diam­diam
mereka memperkuat diri dengan bantuan pihak luar negeri. 

Akan tetapi setelah peristiwa serangan 9/11 gerakan­gerakan iredentis ini mendapat
julukan   baru   sebagai   teroris   yang   mendasarkan   perjuangannya   pada   revivalisme
ideologi islamis. Perjuangan mereka dikaitkan dengan tujuan perjuangan para pelaku
serangan menara kembar WTC di Amerika. Dampaknya, pengawasan pemerintah pada
mereka semakin ketat, yang berkonsekuensi pada meningkatnya tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintah.      
Hal   yang   menarik   dalam   mengamati   iredentisme   islamis   Asia   Tenggara   adalah
terdapatnya kecenderungan untuk mengaitkannya dengan gerakan pemisahan diri dan
akhir­akhir ini, terorisme. Sekalipun keterkaitan tersebut belum jelas benar, terdapat
indikasi bahwa memang terdapat hubungan antara tiga variable tersebut. Lebih jauh
lagi, faksionalisasi yang terdapat dalam gerakan­gerakan iredentis dan pemisahan diri
tersebut menyebabkan kesulitan untuk mengidentifikasi gerakan manakah yang murni
memperjuangkan tujuan iredentis dan pemisahaan diri. Berbagai kepentingan politis,
ekonomi,   strategis,   ideologis   dan   faktor­faktor   pragmatis   turut   mengaburkan   batas­
batas tujuan setiap gerakan tersebut. 

2

Tulisan   ini   bertujuan   untuk   mengamati   respon   yang   diberikan   oleh   pemerintah
beberapa negara Asia Tenggara dalam menanggapi gerakan iredentisme di kawasan

tersebut.   Penulis   berargumen   bahwa   respon   pemerintah   yang   mengutamakan
pendekatan   kekerasan   tersebut   merupakan   respon   reaksioner   kebijakan   AS   dalam
menjalankan   strategi   globalnya   melawan   terorisme.  Pendekatan   tersebut
kontraproduktif   dengan   tujuan   pemerintah   untuk   memadamkan   aspirasi   para
kelompok iredentis. Respon tersebut mengembalikan sifat otoritarian dan konservatif
pada   beberapa   negara   Asia   Tenggara   yang   tidak   kondusif   bagi   pengembangan
demokrasi   yang   baru   dirintis   oleh   negara­negara   tersebut.   Keberadaan   iredentisme
Islamis   menimbulkan   dilemma   keamanan   bagi   negara­negara   terkait,   yang
penanganannya memerlukan kerjasama di antara negara­negara tersebut.

Identifikasi
Kelompok­kelompok iredentis yang bermaksud bergabung mendirikan daulah islamiyah
di Asia Tenggara diwakili oleh beberapa organisasi, yang paling dominan di antaranya
adalah   Gerakan   Aceh   Merdeka   –   GAM,   Laskar   Jihad   (Indonesia),   Pattani   United
Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro National Liberation Front – MILF
(Filipina),   KMM   (Malaysia).   Tujuan   pendirian   daulah   islamiyah   ini   sejalan   dengan
tujuan Jamaah Islamiyah, sebuah sel gerakan Al Qaeda di Asia Tenggara.
GAM merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Aceh yang didirikan pada
tahun   1976   oleh   Hassan   Tiro.   Gerakan   ini   juga   dikenal   dengan   nama  Aceh   Sumatra
National   Liberation   Front  (ASNLF).   Tujuan   perjuangan   kelompok   ini   adalah   untuk

melepaskan   diri   dari   NKRI   dan   membentuk   negara   merdeka.   Tuntutan   merdeka
kelompok ini disebabkan kekecewaan para pemimpinnya atas berbagai harapan yang
tidak   pernah   terwujud.   Sebagian   tujuan   gerakan   ini   diilhami   oleh   pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pada tahun 1953­1962 pimpinan Daud Beureuh
yang bertujuan mendirikan negara islam Indonesia. Secara historis hubungan antara JI
dan   Aceh   diawali   dengan   pemberontakan   Darul   Islam   tersebut.   Rakyat   Aceh
menganggap   Daud   Beurueh   sebagai   pahlawan   dan   GAM   menganggapnya   sebagai
pionir   kemerdekaan   Aceh,   semenatar   JI   menganggapnya   sebagai   pejuang   sejati
berdirinya Negara Islam (ICG Report no. 43, 2002: 7). Namun keterkaitan GAM dengan
JI   disangkal   oleh   Muzakir   Manaf,   salah   seorang   pimpinan   GAM.
(http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html)
Menurut   pengamatan   Dillon   (2004),   GAM   merupakan   salah   satu   kelompok   yang
ditengarai   memiliki   hubungan   dekat   dengan   jaringan   teroris   namun   tidak   pernah
tercatat dalam daftar teroris internasional (Foreign Terrorist Organizations   ­ FTO) di
PBB.   Hal   ini   disebakan   karena   beberapa   faktor   yang   menurut   kriteria   AS   tidak
memenuhi persyaratan disebut sebagai teroris, seperti organisasi tersebut (dalam hal ini
3

GAM) digerakkan oleh pihak asing, tidak terlibat dalam aktivitas terorisme, kegiatan
organisasi tersebut tidak mengancam keselamatan warga AS dan pemerintah AS. Akan

tetapi Dillon berpendapat bahwa ada bukti nyata keterlibatan GAM dalam beberapa
tindak   kejahatan   terorisme.   Aksi­aksi   yang   dilakukan   GAM   dalam   upaya   mencapai
tujuannya   untuk   melepaskan   diri   dari   NKRI   telah   ditunggangi   oleh,   maupun
memanfaatkan kepentingan kelompok teroris. 
Di   Thailand   terdapat   PULO   (The   Pattani   United   Liberation   Organization)   identik
dengan   gerakan   separatis   yang   meggunakan   aksi   terorisme   di   Thailand   Selatan.
Organisasi ini didirikan pada 22 Maret 1968. Pada tahun 1992 organisasi ini mengalami
perpecahan. Faksi pertama membentuk sayap militer yang bernama  “Caddan Army”.
Faksi kedua juga memiliki sayap militer yang disebut PULO Army Command Council.
PULO merupakan organisasi yang mewakili rakyat Melayu yang berdiam di Thailand
Selatan.   Pemberontakan   PULO   didasari   oleh   anggapan   bahwa   pemerintah   Thai
melakukan penjajahan sehingga konstitusi Thai tidak diakui oleh PULO. Pemerintah
Thai bukanlah merupakan pemerintahan yang absah di hadapan PULO. Keterikatan
historis   dan   kedekatan   geografis   menyebabkan   markas   besar   kedua   faksi   tersebut
terletak di Malaysia  (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm).
Secara   sosiologis­kultural   masyarakat   Muslim   Thai   merupakan   kelompok   minoritas
yang berbeda dengan penduduk Thai pada umumnya. Keterikatan historis yang kuat
dengan   Kedah   dan   Kelantan   (wilayah   Malaysia)   menyebabkan   mereka   tidak   mau
meninggalkan bahasa Melayu. Bahasa ini menjadi  lingua franca  yang mempersatukan
mereka   dan   menjadi   simbol   identitas   persatuan   mereka.   Bahasa   Melayu   tidak   saja

identik dengan bangsa Melayu tetapi dengan agama Islam.
Terdapat beberapa wilayah di Thailand Selatan yang beragama Islam dan secara rasial
Melayu, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat, Setun dan Songkhla. Selain PULO terdapat
beberapa   organaisasi   serupa,   seperti   Barisan   Revolusi   National   (BRN),   Gerakan
Mujahideen   Islam   Pattani   (GMIP),   United   Front   for   the   Independence   of   Pattani   –
Bersatu, Mujahideen Pattani Movement (BNP), Barisan National Pember­Basab Pattani
(BNPP), Mujahideen Islam Pattani (Dulyakasem, 1984).  Di antara organisasi­organisasi
tersebut, PULO merupakan salah satu yang relatif paling aktif sehingga dapat dianggap
mewakili   aspirasi   iredentis   kaum   muslim   Thailand.   Perjuangan   PULO   mencapai
keberhasilannya   telah   menjadikan   kelompok   ini   sebagai   faktor   pengganggu   utama
dalam upaya nation building dan mengancam integritas teritorial Thailand.
Semenjak banyaknya aksi kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan sepanjang 2004­
2005 yang menewaskan sekitar 800 orang, PULO ditengarai memiliki kaitan dengan JI.
(Kompas, 29/08/2005). Salah satu respon pemerintah Bangkok yang tidak populer atas
orang­orang yang dicurigai terlibat terorisme adalah dengan terjadinya tragedi Thak
Bai pada tahun 1984 yang mengorbankan nyawa 87 muslim Pattani ketika PM Thaksin
Sinawatra   memerintahkan   militer   Thai   untuk   menangkap   dan   mengangkut   mereka
4

dengan  truk  menuju tempat  tahahan. Tragedi tersebut dikecam  dunia internasional,

bukan saja karena menyangkut pelanggaan HAM tetapi juga terjadi pada bulan suci
Ramadhan   (Roberts,   2004).   Pemerintah   Thailand   dan   Barat   mulai   khawatir
ketidakstabilan di Thailand Selatan dimanfaatkan jaringan Al Qaeda. Apalagi setelah
beberapa tokoh JI ditangkap setelah terjadi pertemuan tokoh JI di Sungai Kolok, kota
kecil   di   perbatasan   Thailand   dengan   Malaysia.   Pada   pertemuan   itu   hadir   Hambali,
Mukhlas,   Dr   Azahari,   Noordin   M   Top,   Zulkarnaen,   dan   tokoh   lainnya   (Kompas,
20/12/2004.  http://64.203.71.11/kompas­cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm). Sekali
pun PULO menyatakan sebagai pihak yang berada di balik berbagai aksi kekerasan di
Thailand Selatan dalam kurun waktu tersebut, gerakan yang dilakukan PULO yang
merupakan   bagian   dari   perjuangan   kemerdekaan   suku   Melayu   itu   mengaku   sama
sekali   tak   memiliki   hubungan   dengan   kelompok­kelompok   internasional   seperti   Al
Qaeda   pimpinan   Osama   bin   Laden   atau   Kelompok   Jamaah   Islamiyah   (Kompas,
29/08/2005. http://www2.kompas.com/kompas­cetak/0508/29/ln/2006896.htm).
MNLF (Moro National Liberation Front) yang didirikan pada akhir 1960­an, menuntut
kemerdekaan diri dari pemerintah Filipina dan mendirikan negara islam Moro. Pada
tahun 1981 beberapa anggota MNLF mendirikan MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Perpecahan   ini   disebabkan   karena   keediaan   MNLF   melakukan   perundingan
perdamaian dengan pemerintah Filipina, yang berakhir dengan diterimanya tawaran
semi­otonomi bagi MNLF (Wright­Neville, 2004). MILF berkembang menjadi organisasi
perjuangan yang bersifat jihadis dengan menjalin hubungan dengan Abu Sayyaf dan Al

Qaeda.   Sekalipun   menyangkal   mengakitkan   diri   dengan   Jemaah   Islamiyah,   MILF
menerima bantuan berupa fasilitas latihan dan persenjataan (BBC News Online, 2003).
MILF juga menyangkal keterlibatannya dengan JI sekalipun mengakui telah mengiri
sekitar 600 pasukannya ke tempat pelatihan Al Qaeda di Afganistan dan Osama bin
Laden member bantuan logistik dan uang ke Moro (Abuza, 2002). 
Tidak lama setelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Gloria Arroyo  mengumumkan
perang   semesta   (all  out  war)  dengan  pemberontak   MILF   yang   telah  melakukan  aksi
kriminalitas penculikan terhadap orang asing dan warga setempat. MILF melanjutkan
pemberontakannya   dengan   melakukan   aksi   pemboman   di   Zamboangan   pada   tahun
2002. Perlawanan yang lebih serius terjadi di Cotabato pada tahun Februari 2003 degan
tewasnya
 
sekitar
 
200
 
tentara
 
pemberontak
(http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).

Berbeda dengan GAM, PULO maupun MILF, KMM (Kumpulan Mujaheedin Malaysia)
bukanlah pemberontak separatis yang bermaksud mendirikan negara merdeka. KMM
merupakan sebuah gerakan berhaluan keras di Malaysia yang ide­idenya mengandung
unsur   iredentis   islamis.   Setelah   serangan   11   September   pemerintahan   PM   Mahathir
Muhammad   mengindikasikan   adanya   keterlibatan   KMM   dengan   jaringan   teroris
internasional seperti Al Qaeda, sekalipun hal tersebut dibantah oleh anggota KMM.
5

Kecurigan pemerintah Malaysia direalisasikan dengan pemberlakuan Internal Security
Act (ISA) (http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm). 
Rencana   peledakan   Kedutaan   Besar   Amerika   Serikat   di   Singapura,   Malaysia,   dan
Indonesia mengungkap beberapa kecurigaan mengenai keterkaitan KMM dengan  JI.
Kelompok lain yang dicurigai oleh Pemerintah Malaysia memiliki keterkaitan dsengan
JI adalah PAS, sebuah partai Islam di Malaysia 4. Kepala Polisi Diraja Malaysia, Tan Sri
Norian Mai, menyatakan bahwa beberapa anggota KMM yang ditahan memang punya
hubungan dengan Jamaah Islamiyah di Singapura (Wiyana, dan Albintani, 2002).  
Indonesia menempati posisi penting bagi gerakan­gerakan iredentis islamis. Karenanya
Indonesia   merupakan   negara   target   pertama   terwujudnya  daulah   islamiyah  berdasar
fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Salah seorang anggota amah Islamiah (JI), Wan Min bin Wan Mat mengakui bahwa jika

negara islam Indonesia sudah terbentuk, maka terwujudnya daulah islamiyah nusantara
akan   segera   terbentuk   pula.   Negara   islam   tersebut   akan   meliputi/menggabungkan
Malaysia,   Indonesia,   Thailand,   Singapura   dan   Filipina.   Setelah  daulah   islamiyah
terbentuk   maka   segera   diikuti   dengan   terbentuknya   sebuah   kekhalifaan   Islam   (ICG
Asia Report no. 63, 2003: 1), yang bernama Daulah Islamiyah Nusantara. 

Karakteristik 
Terdapat   beberapa   karakteristik   gerakan   iredentis  daulah   islamiyah  dalam   mecapai
tujuan   perjuangannya.   Pertama,   kelompok­kelompok   ini   menggunakan   cara­cara
kekerasan   sebagai   strategi   utama   perjuangan   mencapai   tujuannya.  Cara   kekerasan
bahkan menjadi cara yang paling sering digunakan oleh kelompok­kelompok tersebut.
Cara­cara   seperti   pemboman,   termasuk   bom   bunuh   diri,   penculikan,   ancaman,
pemerasan dianggap paling ampuh untuk menarik perhatian umum. Metoda  violence
ini   menjadi   ciri   penting   bagi   gerakan­gerakan   tersebut   yang   memberi   warna   pada
militanisme “jihadis” kelompok­kelompok milenarian. 
Kedua,   pada   dasarnya   tidak   ada   keterkaitan   langsung   antara   gerakan   iredentisme
daulah islamiyah dengan terorisme Asia Tenggara maupun terorisme global. Keterlibatan
JI   (dan   Al   Qaeda)   di   Asia   Tenggara   diawali   pada   tahun   1991   di   Filipina   melalui
Mohammed Khalifa, kerabat Osama bin Laden.  Kegiatan JI di Malaysia dimulai tahun
1994 dengan perantara Wali Khan Amin Shah, seorang anggota kunci yang dipercaya
oleh   Khalifa.  Amin   Shah   dan   Hambali   membentuk   Konsojaya   SDN   BHD,   yang
4Kelompok Mujahidin Malaysia adalah mahasiswa­mahasiswa Malaysia yang sekolah di Pakistan dan 
kemudian ikut berperang dengan mujahidin di Afghanistan. Setelah kembali ketanah airnya mereka 
menjadi bagian dari kelompok partai oposisi PAS (Partai Islam di Malaysia). Namun keterkaitan antara 
KMM dengan JI belum jelas (wawancara dengan Alfitra Salam, Hidayatullah.com, 29/10/2002).

6

bertanggungjawab atas dukungan finansial operasi Al Qaeda di Asia Tenggara (ICG
Asia   Report   no.   63,   2003:   1).     Sekalipun   terdapat   persamaan   dalam   hal   ideologi
perjuangan, iredentisme islamis telah tumbuh sejak sekitar awal abad 20, zaman ketika
para kolonial Barat memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Sementara gerakan­
gerakan   teroris   islamis   merupakan   fenomena   baru   di   Asia   Tenggara   yang
keberadaannya   tidak   pernah   terdengar   sebelum   tahun   serangan   9/11.   Dengan
demikian   hubungan   dan   keterkaitan   gerakan­gerakan   pemberontak   muslim   Asia
Tenggara dengan jaringan teroris JI maupun Al Qaeda merupakan fenomena baru yang
terjadi   hanya   beberapa   tahun   terakhir   saja,   khususnya   setelah   terjadinya   konflik
sektarian   di   Afghanistan.   Para   veteran   perang   Afganistan   mempertahankan
hubungan/jaringan  yang  telah dibinanya  sejak     perang  di  Afganistan  melawan   Uni
Soviet dan kemudian kembali ke tanah air masing­masing dan membentuk  gerakan
baru, salah satunya adalah JI.

Ketiga, Jamaah Islamiyah merupakan gerakan yang bersandar pada gerakan Wahabi,
aliran yang cukup berpengaruh secara politis maupun ekonomi di dunia Islam, yang
aliran   ini   dianut   oleh   Osama.   Gerakan   Wahabi   ingin   mengembalikan   ajaran­ajaran
Islam kepada “kemurnian” dan kejayaan Islam masa lampau, yaitu pada masa kejayaan
Islam yang menguasai dunia dengan inovasi­inovasi saintifik sampai dengn sebelum
runtuhnya kekaisaran Usmaniyah (Ottoman) pada abad ke 15. Berbagai interaksi faktor
ekonomi, politik dan budaya seperti hegemoni Barat yang ditandai dengan meluasnya
kapitalisme   Amerika   dan   industrialisasi   Eropa   serta   keterbatasan   modernisasi   pada
Islam menjadi penanda bagi kemunduran dunia Islam (Langman dan Morris, 2002).
Sementara   itu   masyarakat   Islam   dihadapkan   pada   tantangan   berkembangnya
peradaban lain, yaitu Nasrani, yang peradaban tersebut lebih sesuai dengan nilai­nilai
dan kultur Barat. Perkembangan ini menjadi ancaman bagi masyarakat muslim, yang
akhirnya melahirkan pemikiran­pemikiran tentang revivalisme dunia Islam.       
Beberapa   kelompok   merespon   perkembangan   ini   dengan   sikap   pesimis   dan
bermusuhan   yang   menghasilkan   gerakan­gerakan   radikal.   Menguatnya   radikalisme
bertransformasi kedalam bentuk islam fundamentalis yang  berfaham ortodoksi anti­
modern.   Secara   empiris   fundamentalisme   agama   bercirikan   (a)   gerakan   agama
konservatif radikal menolak nilai­nilai liberal dari institusi sekuler; (b) mereka menolak
menerima batas­batas (kewilayahan) negara sekuler yang menjadikan agama sebagai
urusan wilayah privat, bukan publik; (c) mereka berupaya menegakkan agama sebagai
pusat   pengatur   kehidupan   social.   Di   tengah­tengah   tantangan   peradaban   lain,
kelompok­kelompok   fundamentalis   menjadi   dogmatik   dan   intoleran   (Jurgensmeyer,
2001 dalam Langman dan Moris, 2002: 11).     
Keempat, kelompok­kelompok iredentis merasa terjebak dalam fault lines antara batas­
batas   kewilayahan   semu   dengan   batas­batas   rasial.   Ketidakserasian   ini   merupakan
7

warisan para penjajah yang membagi wilayah tidak mempertimbangan faktor rasial.
Beberapa   konflik   etnis   pasca   kolonial   disebabkan   karena   hal   ini.   Membagi   wilayah
berdasar pertimbangan etnis adalah hal yang absurd pada sejarah modern karena jika
terjadi  maka manusia akan hidup dalam segregasi rigid yang  justru bisa membawa
akibat fatal jika terjadi selisih faham antara satu etnis dengan etnis lain. Dengan kata
lain,   para   kelompok   iredentis   tidak   bisa   menerima   kenyataan   bahwa   mereka   dapat
hidup berdampingan secara damai dengan kelompok ras/etnis dan agama lain dalam
satu negara.   Padahal hampir tidak ada negara yang murni berpenduduk homogen.
Oleh   karena   itu   harmoni   rasial   dalam   multikulturalisme   menjadi   pilihan   yang   tak
terelakkan.     Kaum   muslim   Thailand   Selatan   merasa   bahwa   mereka   seharusnya
bergabung dengan sesama muslim di Kedah dan Kelantan karena di masa lalu mereka
tergabung dalam satu kerajaan besar. 
Rasa keterjebakan itu diperparah dengan kebijakan­kebijakan pemerintah yang terlalu
asimilasionis   dan   bersifat   menekan.   Pemerintah   cenderung   melakukan   pendekatan
kepada kelompok­kelompok “yang berbeda” tersebut dengan tangan besi. Sensitivitas
kelompok semakin meruncing ketika pemerintah memberlakukan sistem pemerintahan
sekuler.   Salah   satu   alasan   pemberontakan   DI/TII   pimpinan   Daud   Beureuh   adalah
karena pemerintahan Sukarno menggabungkan Aceh (yang berstatus Daerah Istimewa
sehingga   dapat   menerapkan   hukum   Islam)   dengan   propinsi   Sumatra   Utara   yang
didominasi oleh penduduk non­muslim.
Pemberontakan GAM yang merasa terjebak dalam sekularisme dan masih bercita­cita
menegakkan daulah islamiyah terlihat dari pernyataan salah satu tokoh GAM di Swedia
bahwa, 
“…sejak   tahun   1924   sampai   detik   ini,   itu   Khilafah   Islamiyah   telah   tiada,   yang   ada
hanyalah   sebagian   besar   Negara­negara   yang   ada   di   dunia   adalah   negara   sekuler
termasuk   negara   RI   ini.…sekarang   adalah   perjuangan   membangun   dan
mengembangkan   kembali  daulah   islamiyah  dan  Khilafah   Islamiyah  (Sudirman,
http://www.dataphone.se/~ahmad/041231a.htm) 
Kebijakan   ini   melambangkan   perbedaan   kepentingan   yang   mencolok   antara
pemerintah   pusat   dan   rakyat   dari   kelompok­kelompok   “yang   berbeda”   tersebut.
Kelompok­kelompok   tersebut   merasa   kehilangan   jati   diri   ketika   dalam   sistem   yang
baru itu keberadaan agama dan etnis mereka terancam. Lebih jauh lagi, konflik antara
negara dengan rakyat bisa menjadi lebih buruk jika pemerintah melakukan penggalian
sumber   daya   alam   wilayah   yang   bermasalah   tersebut   tanpa   member   imbalan   yang
sepadan.     Pemberontakan di wilayah Mindanau (Filipina) dan Aceh, salah satunya
disebabkan karena terdapat ketidakadilan pusat kepada daerah.         
Kelima,   terdapat   kecenderungan   bahwa   gerakan­gerakan   iredentis   Asia   Tenggara
mendapat   dukungan   dari   pihak   luar,   terutama   Libya,   yang   menyediakan   fasilitas
pelatihan   pejuang,   tempat   berlindung,   sekaligus   dukungan   finansial.   Hal   ini   terjadi
8

terutama   pada   saat   Perang   Dingin.     Misalnya,   sepanjang   tahun   1986­1989   GAM
diperkirakan  menerima  bantuan   pelatihan  sebanyak  5.000  orang   kadernya  di  Libya,
yang   memungkinkan   para   pemberontak   bertemu   satu   sama   lain   dan   membentuk
jaringan.   Libya   juga   bertindak   sebagai   penyandang   dana   bagi   Abu   Sayyaf   dan
kelompok   radikal   muslim   lainnya   (Dillon,   2004;   Byman   et   al,   2001:   10).     Tanpa
dukungan pihak luar gerakan­gerakan pemberontak dengan mudah dapat dihancurkan
oleh   pemerintah,   bahkan   sebelum   sempat   mengorganisasi   diri   dan   mencapai   target
minimalnya (Byman et al). Dukungan pihak eksternal memegang peran kritis dalam
mendukung keberhasilan perjuangan para pemberontak karena menambah redibilitas
kelompok pemberontak di hadapan negara. 
Pada masa Perang Dingin terdapat kecenderungan yang kuat bahwa bantuan pihak
luar pada kelompok­kelompok pemberontak diwarnai oleh motivasi ideologis, dalam
konteks rivalitas ideologi AS­Uni Soviet. Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah
perilaku   negara­negara   pendukung   pemberontak.   Negara­negara   pendukung
pemberontak seperti AS, Uni Soviet, Iran, Pakistan, dan Libya tidak lagi melanjutkan
dukungan kepada Negara client   mereka bersamaan dengan menurunnya kepentingan
mereka   atas   kelompok­kelompok   tersebut.   Berakhirnya   Perang   Dingin   pula   yang
mengubah   sifat,   kepentingan   dan   motivasi   bantuan   eksternal   kepada   para
pemberontak. Fenomena ini menarik dibahas dalam konteks bantuan kelompok teroris
kepada kelompok jihadis militan di berbagai negara. 
Kecenderngan   baru   yang   terjadi   adalah   persaingan   para   kelompok   teroris   yang
berhadapan   dengan   AS   dan   sekutunya   dalam   bentuk   perang   baru,   yakni   perang
melawan terorisme (war on terror). Sejak perbaikan hubungan Libya­AS, Libya tidak lagi
bertindak   sebagai   sponsor   gerakan­gerakan   pemberontak.   Kecenderungan   baru
bergeser   pada   peran   aktif   organisasi   teroris   yang   mendukung   atau   memanfaatkan
kelompok pemberontak di negara lain. Al Qaeda merupakan kelompok teroris yang
memiliki banyak sel teroris di Negara lain. Bentuk dukungan yang diberikan hampir
sama dengan yang diberikan oleh Libya kepada kaum pemberontak di sebuah negara.

Respon Pemerintah
Demi   menjaga   keamanan   negara,   pemerintah   mengambil   tindakan   tertentu   dalam
merespon   setiap   peristiwa   yang   mengganggu   keamanan   tersebut.   Pemerintah   pada
umumnya mengambil keputusan untuk menghadapi para pemberontak melalui  dua
cara yaitu kekerasan (pendekatan militer) dan non­kekerasan (dialog politik, pemberian
status otonomi). Namun pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa penggunaa
kekerasanlah   yang   menjadi   metoda   penyelesaian   konflik   yang   utama,   sementara
metoda non­kekerasan hanyalah sebagai penunjang. 

9

Terdapat   kecenderungan   yang   sama,   dalam   fenomena   meningkatnya   penggunaan
kekerasan   di   Asia   Tenggara.   Pertama,   hal   tersebut   merupakan   konsekuensi   dari
kebijakan   AS   untuk   menyebarkan   hegemoninya,   dalam   hal   ini,   strategi  pre­emptive
defence  dalam   memerangi   terorisme.   Asia   Tenggara,   seperti   yang   disinyalir   oleh
beberapa pengamat, sekali pun mendapat kritik dari pengamat yang lain, merupakan
panggung kedua terorisme setelah Afghanistan (Abuza, 2003; Gunaratna, 2002; Wright­
Neville 2004). 
Kedua, kebijakan AS ini diwujudkan dalam pemberian bantuan militer yang semakin
meningkat pada negara­negara Asia Tenggara yang dicurigai sebagai ‘sarang teroris’
karena   keterkaitan   gerakan­gerakan   iredentis   islamis   dengan   JI.   Pemberian   bantuan
militer   ini   sejalan   dengan   sikap   yang   diambil   pemerintah   di   negara­negara   Asia
Tenggara   yang   melihat   bahwa   masalah   iredentisme   islamis   yang   dicurigai   terkait
dengan terorisme diselesaikan dengan pendekatan militer tanpa mampu melihat lebih
jauh   akar   utama   permasalahan   yang   menimbulkan   problem   keamanan   tersebut.   AS
tidak   saja   memberikan   bantuan   militer,   tetapi   juga   bantuan   informasi   dan   intelijen
mengenai kelompok­kelompok Islam radikal yang menerima dana dari, dan membuat
jaringan dengan Al Qaeda (Bonner, 2002: pp1 dan 8).
Ketiga,   tindakan   unilateral   AS   dalam   upayanya   memerangi   terorisme
mengesampingkan   peranan   negara,   PBB   dan   masyarakat   internasional   dalam
menangani masalah­masalah yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Sikap unilateral
AS juga melegitimasi intervensi AS yang terlalu jauh ke masalah dalam negeri negara­
negara   Asia   Tenggara,   yang   dengan   demikian   meremehkan   kemampuan   kekuatan­
kekuatan potensial lain.
Pendekatan   kekerasan   yang   diterapkan   oleh   masing­masing   negara   Asia   Tenggara
beragam bentuknya, mulai pemberlakuan undang­undang keamanan nasional (Internal
Security Act) sampai dengan penyelidikan ke rumah­rumah penduduk yang dicurigai
menjadi   tempat   persembunyian   teroris.   Respon   pemerintah   yang   mengutamakan
pendekatan   kekerasan   dapat   mengancam   demokrasi.   Secara   politis,   pemberlakuan
undang­undang   keamanan   nasional   yang   terlampau   ketat   dapat   mengancam
kebebasan   warganegara.   Bagi   beberapa   negara,   pemberlakuan   secara   ketat   undang­
undang   keamanan   nasional   berarti   pelembagaan   langkah­langkah   anti­imigrasi
(Democracy Action Project, tt). 
Sejak serangan 9/11, kerusuhan­kerusuhan yang disebabkan oleh kelompok­kelompok
pemberontak   separatis   hampir   selalu   dihubungkan   dengan   aksi   para   teroris.
Penumpasan   aksi­aksi   kekerasan   yang   dicurigai   disebabkan   oleh   para   separatis
tersebut mendapat prioritas dari pemerintah, yang segera membentuk tim khusus anti­
teror. Berlindung di balik “perang melawan terorisme”, pemerintah negara­negara Asia
Tenggara   meningkatkan   pengawasan   terhadap   kelompok­kelompok   pemberontak
tersebut. Misalnya, Indonesia memulihkan kembali peran militer yang lebih asertif ke
10

dalam   urusan­urusan   politik.   Malaysia   dan   Singapura   memberlakukan   Internal
Security   Acts   (ISA)   sekalipun   banyak   kritik   ditujukan   bagi   pemberlakuan   undang­
undang tersebut. 
Kehadiran pasukan khusus AS diFilipina tidak terlepas dari strategi global AS melawan
terorisme.   Hal   tersebut   dilakukan   setelah   intelijen   Amerika   berhasil   mengungkap
keterkaitan antara Al Qaeda dengan MILF. Pasukan AS juga membantu melatih tentara
Filipina   untuk   memerangi   tentara   pemberontak   sekaligus   menumpas   pemberontak
Abu   Sayyaf   Group   (ASG),   salah   satu   jaringan   Al   Qaeda   di   Filipina.   (Goodenough,
2002).     Kehadiran   AS   ini   menghasilkan   dampak   tertentu.   Salah   satunya   adalah
banyaknya   pihak   yang   terlibat   dalam   “war   on   terror”,   yang   dengan   cara   ini   justru
perang tersebut menjadi kontraproduktif bagi tercapainya tujuan menumpas terorisme.
Bahkan kehadiran pasukan khusus AS di Filipina bagian selatan diragukan akan bisa
menyelesaikan persoalan separatis yang dihadapi pemerintah Filipina (Pattiradjawane,
2002).      Kehadiran   pasukan   elit   AS   tersebut   dapat   menghambat  berlangsungnya
rencana pembicaraan damai antara pemerintah Filipina dengan pemberontak separatis
yang sudah direncanakan sejak tahun 1996 (Wright­Neville, 2004: 3). 
Berbeda   dengan   kebijakan   yang   diambil   Filipina   yang   secara   fisik   menghadirkan
pasukan AS di negaranya, para ulama Malaysia dari PAS (partai oposisi berbasis Islam)
mengingatkan   Mahathir   agar   tidak   mengijinkan   negaranya   dijadikan   sebagai
pangkalan dalam perang AS melawan terorisme, yang menurut para ulama itu sama
artinya dengan melawan umat Islam (Hidayatullah. com, 2002). Kerjasama AS­Malaysia
mengambil bentuk lain yang tidak terlalu provokatif. Pemerintah Malaysia bekerjasama
dengan   Washington   dalam   hal   penegakan   hukum   dan   intelijen,   memberi   bantuan
finansial pada langkah­langkah anti­terorisme dan secara agresif melakukan kampanye
anti­terorisme kepada rakyat dengan tujuan menumpas kelompok­kelompok ekstrimis
yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan Al Qaeda (Lopez, 2002: 1­3).
Pemerintah Thailand mengambil kebijakan yang  lebih berhati­hati dalam menyikapi
kebijakan AS melawan terorisme. Tekanan pemerintah Malaysia dan Indonesia pada
para   aktivis   JI   menyebabkan   sebagian   dari   mereka   melarikan   diri   ke   Thailand.
Pemerintah   Thailand   di   bawah   PM   Thaksin   Sinawatra   menyangkal   terdapatnya
jaringan   Al   Qaeda   di   Thailand.   Pemerintah   Thai   berubah   pikiran   setelah   peristiwa
penangkapan tiga orang yang berencana melakukan pemboman di beberapa kedutaan
besar di Bangkok pada Juni 2003 serta tertangkapnya seorang guru yang terkait dengan
pembuatan   bom   (Kuppuswamy,   2004).   Selain   itu   pemerintah   Bangkok   bekerjasama
dengan   AS   untuk   mengamati   perdagangan   gelap   obat­obat   terlarang,   yang   cara   ini
dapat membantu mengatasi masalah terorisme. Bangkok juga melakukan penyelidikan
atas transaksi finansial jaringan Al Qaeda (De Castro, 2004: 5).

11

Kecenderungan ini juga terjadi di negara­negara Asia Tenggara lainnya yang memiliki
gerakan­gerakan   separatis.   Dalam   upayanya   mengikuti   kecenderungan   global
memerangi terorisme, pemerintahan Megawati Sukarnoputri memberi prioritas pada
penumpasan teroris. Terjadi perubahan sikap Megawati atas masalah terorisme, yang
bersikap   ‘keras’   pada   AS   atas   kebijakan  ‘war   on   terrism’,   namun   berubah   setelah
meledaknya bom Bali tahun 2002. Salah satu hal penting adalah mengusulkan GAM
dalam daftar teroris PBB setelah terjadinya aksi peledakan bom di Bandara Sukarno­
Hatta yang dicurigai dilakukan oleh GAM. Namun niat Jakarta ini dibatalkan karena
pemerintah   menganggap   tidak   memiliki   sejumlah   bukti   yang   meyakinkan   atas
keterkaitan GAM dengan JI. Pada pertengahan tahun 2003, BAIS dan Kepala Kodam
Iskandar Muda, Mayjend Djali Jusuf menyatakan tidak ada indikasi bahwa organisasi
yang   dipimpin   oleh   Osama   bin   Laden   memiliki   kegiatan   di   Aceh   (Suara   karya
05/06/2003). 
Namun demikian, pembatalan tersebut tidak mengurangi niat AS untuk bekerjasama
dengan   Indonesia   dalam   menaggulangi   masalah   terorisme.   Dengan   kondisi   internal
Indonesia yang laten atas bahaya terorisme yang dapat mengancam kepentingan dan
keselamatan   AS,   pemerintah   AS   melihat   bahwa   Indonesia   merupakan   mitra   yang
sesuai   dalam   upaya   AS   memerangi   terorisme.   Untuk   mewujudkan   hal   tersebut,
Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, mengunjungi Jakarta pada bulan Agustus 2003.
Dalam   kesempatan   tersebut   AS   menyatakan   segera   memulihkan   segala   bentuk
pembatasan   kerjasama   militer   AS­Indonesia,   termasuk   pelatihan   pasukan   kontra­
terorisme kepada sejumlah anggota Polri dan memberikan bantuan sebesar US$ 400.000
kepada TNI. Perubahan mendadak kebijakan AS ini sangat bertolak belakang dengan
kebijakan   sebelumnya   yang   membatalkan   segala   bentuk   kerjasama   militer   sejalan
dengan sikap represif Suharto atas dan rekor HAM Indonesia di Timor­Timur.
Langkah­langkah   yang   diambil   oleh   Presiden   Megawati   tersebut   semakin
mengintensifkan (kembali) pelanggaran HAM karena upaya­upaya tersebut berpotensi
meluasnya   tindakan   kekerasan   pada   kelompok­kelompok   yang   yang   dianggap
‘radikal’. Sikap konfrontatif Jakarta pada terorisme juga nampak pada sikap Megawati
terhadap   upayanya   menyelesaikan   konflik   Papua.   Gerakan   pemisahan   diri   Papua
secara langsung memang tidak terlibat dengan jaringan Al Qaeda namun pemerintahan
Megawati mencurigai hadirnya Laskar Jihad, organisasi Islam radikal dengan sejarah
kekerasan   massal,   yang   kehadirannya   dapat   memperburuk   ketegangan   yang
mendalam antara orang Papua asli dengan pendatang dari daerah lainnya di Indonesia
yang jumlahnya cukup banyak (ICG Report no. 39, 2002: i). 
Dampak   dari   kecurigaan   yang   berlebihan   tersebut   menimbulkan   kecemasan   di
kalangan   masyarakat.   Terdapat   kecenderungan   tentara   dapat   menangkap   seseorang
yang dituduh gerakan ektrimis untuk ditangkap tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Secara keseluruhan, sikap pemerintah yang berlebihan dalam menghadapi teroris dapat
12

meningkatkan kecenderungan penggunaan kekerasan. Hal ini berdampak pula pada
menurunnya   prospek   penyelesaian   secara   damai   konflik­konflik   pemisahan   diri   di
Indonesia.  
Baik   pemerintah   AS   maupun   negara­negara   ASEAN   beranggapan   bahwa   terorisme
merupakan masalah lintas negara yang perlu ditangani secara bersama oleh negara­
negara   kawasan.   Sejak   tahun   2004   terdapat   upaya­upaya   untuk   mengatasi   bersama
masalah   terorisme   di   kalangan   negara­negara   ASEAN.   Misalnya,   tentara   angkatan
darat ASEAN memiliki unit­unit kecil, terutama untuk negara­negara yang berbatasan,
baik   dalam   bentuk   bilateral   maupun   multilateral,   guna   mengantisipasi   ancaman
terorisme.   (Tempo   Interaktif,   2004)   Terorisme   menjadi   agenda   penting   yang   selalu
dibicarakan   di   forum­forum   pertemuan   para   pemimpin   ASEAN,   yang   diagendakan
sebagai isu non­tradisional yang menyangkut keamanan manusia. 
Untuk   mengokohkan   komitmen   itu,   para   pemimpin   10   negara   ASEAN   telah
menandatangani pakta Konvensi Kontra­Terorisme ASEAN pada bulan Januari 2007
yang dilakukan pada pertemuan puncak tahunan ASEAN di Cebu, Filipina. Pakta itu
adalah   perjanjian   pertama   di   kawasan   Asia   Tenggara   untuk   memerangi   terorisme.
Perjanjian   itu   akan   mempersempit   ruang   gerak   teroris,   memudahkan   negara­negara
ASEAN   melacak   orang­orang   yang   dicurigai   sebagai   teroris   dan   pergerakan/aliran
uang mereka yang melintas perbatasan. Pakta tersebut juga memungkinkan Negara­
negara ASEAN  membagi informasi intelejen dan mengekstradisi terdakwa dari  satu
negara ke negara ASEAN yang lain (VOA News, 2007). 
Kesimpulan
Perang melawan terorisme yang terjadi Asia Tenggara telah menyebabkan berubahnya
sikap   pemerintah   dalam   menghadapi   masalah   separatisme   di   Asia   Tenggara   yang
memiliki elemen iredentisme islamis. Pada umumnya pemerintah Negara­negara Asia
Tenggara   semakin   memperketat   pengawasan   terhadap   sejumlah   kelompok   yang
diduga memikili keterkaitan dengan ikatan kerjasama dengan Al Qaeda, seperti Jamaah
Islamiyah dan Abu Sayyaf Group. Perubahan sikap pemerintah ini tidak terlepas dari
peran AS dalam menjalankan strategi globalnya melawan terorisme. 
Hal   terpenting   sebagai   hasil   kebijakan   AS   tersebut   adalah   keberhasilan   AS   dalam
mengembalikan   sifat   otoritarian   dan   konservatif   rejim­rejim   pemerintah   di   Asia
Tenggara. Hal tersebut ditunjukkan dengan berhasilnya AS memaksakan kehendaknya
dalam   penggunaan   militer   bagi   penyelesaian   kasus­kasus   kerusuhan   yang   dicurigai
berkaitan   dengan   keberadaan   terorisme.   Kebijakan   unilateral   AS   tersebut   nampak
berlebihan dan dapat mengganggu stabilitas kawsan Asia Tenggara pada umumnya. 
13

Lebih   jauh   lagi,   Washington   telah   berhasil   mengkampanyekan   strategi   anti­
terorismenya kepada 10 negara anggota ASEAN agar mereka bersedia menandatangani
pakta/perjanjian   kontra­terorisme   yangh   mewajibkan   negara­negara   ASEAN   untuk
memonitor,   membekukan   aset   teroris   dan   memperkuat  sharing  intelijen   dan
meningkatkan patroli perbatasan. Dengan kata lain, kebijakan anti­terorisme AS telah
berhasil   membuat   Asia   Tenggara   seolah­olah   menjadi   panggung   penting   terorisme
karena pemerintah AS beranggapan bahwa Asia Tenggara merupakan ‘sarang’ teroris,
yang ditunjukkan dengan terdapatnya kecenderungan iredentisme islamis di kawasan
ini. Kebijakan AS ini juga menunjukkan kegagalan AS dalam melihat kenyataan bahwa
masalah   konflik   yang   berbasis   agama,   konflik   etnis   pemisahan   diri   dan   konflik
‘fundamentalisme’   lainnya   sudah   terdapat   di   negara­negara   Asia   Tenggara   jauh
sebelum tragedi 9/11.

14

Daftar Bacaan
Abuza,   Zachary,   2003.  Militant   Islam   in   Southeast   Asia:   Crucible   of   Terror.  Boulder,
Colorado, Lynne Rienner Publishers. 
________________,   2002.   Tentacles   of   Terror:   Al   Qaeda’s   Southeast   Asian   Network.
Contemporary Southeast Asia 24(3). 

Bakri,   Zainal.   2003.
 GAM   Bantah   Terlibat   jaringan   Mujahidin.
http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html.
 
Akses
13/05/2008
BBC   News   Online,   2003.   The   Philippines'   MILF
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia­pacific/3003809.stm. Akses 15/05/2008.

 

rebels.

Bonner,   Raymond.   ‘Qaeda’s   Asia   Cells   Redirecting   Attack’.   International   Herald
Tribune,   29/10/2002,   pp   1   and   8,   in   De   Castro,   Renato   Cruz.   200.  Addressing
International   Terrorism   in   Southeast   Asia:   A   Matter   of   Strategic   or   Functional   Approach.
Singapore, ISEAS.
Byman,   Daniel,   et   al.   2001.  Trends   in   Outside   Support   for   Insurgent   Movements.  Santa
Monica, CA, RAND.
Democracy   Action   Project,   tt.  How   the   “War”   on   Terrorism   Undermines   Democracy.
Washington, D.C., DAP c/o Institute for Policy Studies.
De   Castro,   Renato   Cruz.   200.  Addressing   International   Terrorism   in   Southeast   Asia:   A
Matter of Strategic or Functional Approach. Singapore, ISEAS.
Dulyakasem,   Uthai,   1984.   Muslim­Malay   Separatism   in   Southern   Thailand:   Factors
Underlying the Political Revolt. In Joo­Jock, Lim and Vani S (eds.). Armed Separatism in
Southeast Asia. Singapore, ISEAS. 
ICG   Asia   Report   no.   63.   2003.  Jemaah   Islamiyah   in   Southeast   Asia:   Damaged   but   Still
Dangerous.  Jakarta/Brussel, Agustus 2003.
Goodenough,   Patrick.   2002.  Links   Between   Al   Qaeda   And   Filipino   Militants   Probed.
http://www.cnsnews.com/ForeignBureaus/Archive/200209/FOR20020919a.html.
Akses 14/05/2008.
Gunaratna, Rohan, 2002.  Inside Al Qaeda: Global Network Terror.  New York: Columbia
University Press.

15

Hidayatullah. com, 2002. Ulama Malaysia Ingatkan Mahathir Soal Latihan terorisme.
hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=66.
Akses 13/05/2008
Hidayatullah.com,   2002.   Jemaah   Islamiyah,   Operasi   Intelijen   Rekaan   Mahathir.
http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=69&Itemid=6129/10/2002. Akses 13/05/2008.
ICG   Asia   Report   no.   39,   2002.  Indonesia:   Sumberdaya   dan   Konflik   di   Papua.
Jakarta/Brussel, 2002.
Kompas, 20/12/2004.  Thailand  Selatan  dalam  Geostrategi.  http://64.203.71.11/kompas­
 cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm  Akses 13/05/2008.
Kompas, 29/08/2005.  PULO Dalangi Kekerasan.   http://www2.kompas.com/kompas­
 cetak/0508/29/ln/2006896.htm.  Akses 13/05/2008.
Kuppuswamy,   C.   S.   2004.
 Thailand:   Troubled   by   Terrorist.
http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers10%5Cpaper925.html.
 
Accessed
28/4/2006
Langman, Lauren dan Morris, Douglas, 2002.  Islamic Terrorism: From Retrenchment to
Ressentiment   and   Beyond.  http://www.angelfire.com/or/sociologyshop/langbio.html
Akses 13/05/2006.
Lopez, Leslie, 2002.  Suspected Asian Militatnts Allegedly Targeted Embassies.  Asian
Wall Street Journal, 07/01/2002.
Overview:
 
The
 
Challenge
 
Facing
 
Southeast
 h ttp://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm

 

Asia,

Pattani
 
United
 
Liberation
 
Organization
 
(PULO),
(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm; Akses 9/5/08)
Pattiradjawane,   R.   2002.  Berdampak   Kritis   bagi   Kerjasama   Kawasan.
http://www.pattiradjawane.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=147&Itemid=63