Iredentisme di Asia Tenggara. docx
Iredentisme Islamis di Asia Tenggara Pasca 9/11:
Identifikasi, Karakteristik dan Respon Pemerintah1
Baiq L.S.W.Wardhani
Departemen Hubungan Internasional FISIP Unversitas Airlangga
Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara dikenal sebagai salah satu kawasan yang paling bergolak
akibat konflik etnis separatis 2. Salah satu konfik etnis yang belum berakhir adalah
upaya pemisahan diri karena keinginan bergabung dengan negara lain (iredentisme) 3.
Hal yang menarik dari fenomena ini adalah perjuangan sejumlah gerakangerakan
iredentis yang berdasarkan Islam yang kelompokkelompok tersebut tersebar di
beberapa negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Tujuan utama gerakan iredentis tersebut adalah bersatu dan membentuk negara Islam
di Asia Tenggara. Perlu digarisbawahi bahwa gerakangerakan iredentis islamis di Asia
Tenggara menjelma dalam berbagai bentuk organisasi, mulai dari gerakangerakan
(yang dianggap) memisahkan diri maupun partaipartai politik dan gerakan massa.
Gerakan teroris yang beroperasi di Asia Tenggara, terutama Jamaah Islamiyah (JI)
berupaya memanfaatkan kelompokkelompok ini untuk menyebarkan pengaruhnya.
Beberapa kelompokkelompok islamis dengan elemen iredentis yang terdapat di Asia
Tenggara tersebut diantaranya adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad
1 Disajikan dalam International Seminar IndonesiaMalaysia Update 2008. Kerjasama UGM dengan
Malaya University yang diselenggarakan di Yogyakarta, 2729 Mei 2008.
2 Separatis (me) merupakan istilah generik yang digunakan untuk menjelaskan gejala pemisahan diri
(sececcionism), iredentisme maupun tuntutan otonomi.
3 Iredentisme (berasal dari bahasa Italia terra irredenta yang berarti “tanah tak terlepaskan”) adalah
doktrin yang menurut kaum iredentis, wilayah iredenta tersebut seharusnya dibawah kontrol/kekuasaan
negara yang secara etnis atau sejarah berhubungan (Chazan 1991). Pengertian iredentis mengandung dua
makna yaitu (a) keinginan untuk melepaskan diri dari negara satu untuk bergabung dengan negara lain
[yang secara etnis dan sejarah berhubungan] dan (b) menggabungkan lebih dari satu nation yang terpisah
untuk bergabung di bawah satu kontrol kekuasaan (Horowitz 1992: 119). Iredentis jarang ditemui dalam
praktek pemisahan diri karena, menurut Horowitz, menjadi sesessionis lebih membawa hasil yang nyata
dan karenanya ‘more satisfying choice’. Iredentis dapat meningkatkan dan memperkuat keinginan sesessi
tetapi tidak sebaliknya (Horowitz 1991: 12). Selain itu iredentisme merupakan fenomena yang sulit,
sekalipun mungkin saja terjadi, karena banyak pemerintah mengkhawatirkan dampak iredents yang bisa
mengganggu keseimbangan etnis akibat masuknya etnis tertentu ke dalam wilayah sebuah negara.
1
(Indonesia), Pattani United Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro Islamic
Liberation Front – MILF (Filipina), PAS, KMM (Malaysia). Perjuangan mereka sudah
berlangsung sejak sebelum negara mendapat kemerdekaan dari pemerintah kolonial.
Gerakan yang sudah berlangsung lama ini seringkali tidak mendapat respon yang
memadai dari negara karena sifat gerakannya yang laten dan sporadis. Ancaman yang
ditimbulkan dari gerakan iredentis di Asia Tenggara kerap ditengarai sematamata
sebagai gerakan pemisahan diri yang menuntut kemerdekaan (sessesisecession) dan
negara tidak pernah memandang kelompokkelompok tersebut sebagai kelompok
iredentis islamis. Hal ini menunjukkan Islam sebagai faktor yang “tidak diakui” (denied
factor) oleh kebanyakan pemerintah negaranegara Asia Tenggara (Permata, 2007: 74).
Sesungguhnya tujuan akhir gerakan iredentisme di Asia Tenggara adalah berdirinya
sebuah pemerintahan yang berdasar pada sendisendi keislaman (daulah islamiyah),
bukan sekedar menuntut pemisahan diri dan berdiri sebagai entitias politik yang
terpisah dari negara. Sementara itu daulah islamiyah merupakan citacita yang belum
pernah terwujud dan akan selalu diperjuangkan oleh para peyakinnnya. Akibat
perlakuan yang tidak tepat atas gerakangerakan iredentis tersebut, pemerintah sering
salah mengambil kebijakan dalam menghadapinya.
Sebelum tragedi 9/11 gerakangerakan iredentis ini diperlakukan sebagai gerakan
pemisahan diri yang berjuang melawan pemerintah. Pendekatan pemerintah yang pada
umumnya menggunakan caracara kekerasan/militeristik tidak berhasil memadamkan
hasrat memberontak kelompokkelompok tersebut. Sebaliknya, secara diamdiam
mereka memperkuat diri dengan bantuan pihak luar negeri.
Akan tetapi setelah peristiwa serangan 9/11 gerakangerakan iredentis ini mendapat
julukan baru sebagai teroris yang mendasarkan perjuangannya pada revivalisme
ideologi islamis. Perjuangan mereka dikaitkan dengan tujuan perjuangan para pelaku
serangan menara kembar WTC di Amerika. Dampaknya, pengawasan pemerintah pada
mereka semakin ketat, yang berkonsekuensi pada meningkatnya tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintah.
Hal yang menarik dalam mengamati iredentisme islamis Asia Tenggara adalah
terdapatnya kecenderungan untuk mengaitkannya dengan gerakan pemisahan diri dan
akhirakhir ini, terorisme. Sekalipun keterkaitan tersebut belum jelas benar, terdapat
indikasi bahwa memang terdapat hubungan antara tiga variable tersebut. Lebih jauh
lagi, faksionalisasi yang terdapat dalam gerakangerakan iredentis dan pemisahan diri
tersebut menyebabkan kesulitan untuk mengidentifikasi gerakan manakah yang murni
memperjuangkan tujuan iredentis dan pemisahaan diri. Berbagai kepentingan politis,
ekonomi, strategis, ideologis dan faktorfaktor pragmatis turut mengaburkan batas
batas tujuan setiap gerakan tersebut.
2
Tulisan ini bertujuan untuk mengamati respon yang diberikan oleh pemerintah
beberapa negara Asia Tenggara dalam menanggapi gerakan iredentisme di kawasan
tersebut. Penulis berargumen bahwa respon pemerintah yang mengutamakan
pendekatan kekerasan tersebut merupakan respon reaksioner kebijakan AS dalam
menjalankan strategi globalnya melawan terorisme. Pendekatan tersebut
kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk memadamkan aspirasi para
kelompok iredentis. Respon tersebut mengembalikan sifat otoritarian dan konservatif
pada beberapa negara Asia Tenggara yang tidak kondusif bagi pengembangan
demokrasi yang baru dirintis oleh negaranegara tersebut. Keberadaan iredentisme
Islamis menimbulkan dilemma keamanan bagi negaranegara terkait, yang
penanganannya memerlukan kerjasama di antara negaranegara tersebut.
Identifikasi
Kelompokkelompok iredentis yang bermaksud bergabung mendirikan daulah islamiyah
di Asia Tenggara diwakili oleh beberapa organisasi, yang paling dominan di antaranya
adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad (Indonesia), Pattani United
Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro National Liberation Front – MILF
(Filipina), KMM (Malaysia). Tujuan pendirian daulah islamiyah ini sejalan dengan
tujuan Jamaah Islamiyah, sebuah sel gerakan Al Qaeda di Asia Tenggara.
GAM merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Aceh yang didirikan pada
tahun 1976 oleh Hassan Tiro. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra
National Liberation Front (ASNLF). Tujuan perjuangan kelompok ini adalah untuk
melepaskan diri dari NKRI dan membentuk negara merdeka. Tuntutan merdeka
kelompok ini disebabkan kekecewaan para pemimpinnya atas berbagai harapan yang
tidak pernah terwujud. Sebagian tujuan gerakan ini diilhami oleh pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pada tahun 19531962 pimpinan Daud Beureuh
yang bertujuan mendirikan negara islam Indonesia. Secara historis hubungan antara JI
dan Aceh diawali dengan pemberontakan Darul Islam tersebut. Rakyat Aceh
menganggap Daud Beurueh sebagai pahlawan dan GAM menganggapnya sebagai
pionir kemerdekaan Aceh, semenatar JI menganggapnya sebagai pejuang sejati
berdirinya Negara Islam (ICG Report no. 43, 2002: 7). Namun keterkaitan GAM dengan
JI disangkal oleh Muzakir Manaf, salah seorang pimpinan GAM.
(http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html)
Menurut pengamatan Dillon (2004), GAM merupakan salah satu kelompok yang
ditengarai memiliki hubungan dekat dengan jaringan teroris namun tidak pernah
tercatat dalam daftar teroris internasional (Foreign Terrorist Organizations FTO) di
PBB. Hal ini disebakan karena beberapa faktor yang menurut kriteria AS tidak
memenuhi persyaratan disebut sebagai teroris, seperti organisasi tersebut (dalam hal ini
3
GAM) digerakkan oleh pihak asing, tidak terlibat dalam aktivitas terorisme, kegiatan
organisasi tersebut tidak mengancam keselamatan warga AS dan pemerintah AS. Akan
tetapi Dillon berpendapat bahwa ada bukti nyata keterlibatan GAM dalam beberapa
tindak kejahatan terorisme. Aksiaksi yang dilakukan GAM dalam upaya mencapai
tujuannya untuk melepaskan diri dari NKRI telah ditunggangi oleh, maupun
memanfaatkan kepentingan kelompok teroris.
Di Thailand terdapat PULO (The Pattani United Liberation Organization) identik
dengan gerakan separatis yang meggunakan aksi terorisme di Thailand Selatan.
Organisasi ini didirikan pada 22 Maret 1968. Pada tahun 1992 organisasi ini mengalami
perpecahan. Faksi pertama membentuk sayap militer yang bernama “Caddan Army”.
Faksi kedua juga memiliki sayap militer yang disebut PULO Army Command Council.
PULO merupakan organisasi yang mewakili rakyat Melayu yang berdiam di Thailand
Selatan. Pemberontakan PULO didasari oleh anggapan bahwa pemerintah Thai
melakukan penjajahan sehingga konstitusi Thai tidak diakui oleh PULO. Pemerintah
Thai bukanlah merupakan pemerintahan yang absah di hadapan PULO. Keterikatan
historis dan kedekatan geografis menyebabkan markas besar kedua faksi tersebut
terletak di Malaysia (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm).
Secara sosiologiskultural masyarakat Muslim Thai merupakan kelompok minoritas
yang berbeda dengan penduduk Thai pada umumnya. Keterikatan historis yang kuat
dengan Kedah dan Kelantan (wilayah Malaysia) menyebabkan mereka tidak mau
meninggalkan bahasa Melayu. Bahasa ini menjadi lingua franca yang mempersatukan
mereka dan menjadi simbol identitas persatuan mereka. Bahasa Melayu tidak saja
identik dengan bangsa Melayu tetapi dengan agama Islam.
Terdapat beberapa wilayah di Thailand Selatan yang beragama Islam dan secara rasial
Melayu, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat, Setun dan Songkhla. Selain PULO terdapat
beberapa organaisasi serupa, seperti Barisan Revolusi National (BRN), Gerakan
Mujahideen Islam Pattani (GMIP), United Front for the Independence of Pattani –
Bersatu, Mujahideen Pattani Movement (BNP), Barisan National PemberBasab Pattani
(BNPP), Mujahideen Islam Pattani (Dulyakasem, 1984). Di antara organisasiorganisasi
tersebut, PULO merupakan salah satu yang relatif paling aktif sehingga dapat dianggap
mewakili aspirasi iredentis kaum muslim Thailand. Perjuangan PULO mencapai
keberhasilannya telah menjadikan kelompok ini sebagai faktor pengganggu utama
dalam upaya nation building dan mengancam integritas teritorial Thailand.
Semenjak banyaknya aksi kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan sepanjang 2004
2005 yang menewaskan sekitar 800 orang, PULO ditengarai memiliki kaitan dengan JI.
(Kompas, 29/08/2005). Salah satu respon pemerintah Bangkok yang tidak populer atas
orangorang yang dicurigai terlibat terorisme adalah dengan terjadinya tragedi Thak
Bai pada tahun 1984 yang mengorbankan nyawa 87 muslim Pattani ketika PM Thaksin
Sinawatra memerintahkan militer Thai untuk menangkap dan mengangkut mereka
4
dengan truk menuju tempat tahahan. Tragedi tersebut dikecam dunia internasional,
bukan saja karena menyangkut pelanggaan HAM tetapi juga terjadi pada bulan suci
Ramadhan (Roberts, 2004). Pemerintah Thailand dan Barat mulai khawatir
ketidakstabilan di Thailand Selatan dimanfaatkan jaringan Al Qaeda. Apalagi setelah
beberapa tokoh JI ditangkap setelah terjadi pertemuan tokoh JI di Sungai Kolok, kota
kecil di perbatasan Thailand dengan Malaysia. Pada pertemuan itu hadir Hambali,
Mukhlas, Dr Azahari, Noordin M Top, Zulkarnaen, dan tokoh lainnya (Kompas,
20/12/2004. http://64.203.71.11/kompascetak/0412/20/sorotan/1445598.htm). Sekali
pun PULO menyatakan sebagai pihak yang berada di balik berbagai aksi kekerasan di
Thailand Selatan dalam kurun waktu tersebut, gerakan yang dilakukan PULO yang
merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan suku Melayu itu mengaku sama
sekali tak memiliki hubungan dengan kelompokkelompok internasional seperti Al
Qaeda pimpinan Osama bin Laden atau Kelompok Jamaah Islamiyah (Kompas,
29/08/2005. http://www2.kompas.com/kompascetak/0508/29/ln/2006896.htm).
MNLF (Moro National Liberation Front) yang didirikan pada akhir 1960an, menuntut
kemerdekaan diri dari pemerintah Filipina dan mendirikan negara islam Moro. Pada
tahun 1981 beberapa anggota MNLF mendirikan MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Perpecahan ini disebabkan karena keediaan MNLF melakukan perundingan
perdamaian dengan pemerintah Filipina, yang berakhir dengan diterimanya tawaran
semiotonomi bagi MNLF (WrightNeville, 2004). MILF berkembang menjadi organisasi
perjuangan yang bersifat jihadis dengan menjalin hubungan dengan Abu Sayyaf dan Al
Qaeda. Sekalipun menyangkal mengakitkan diri dengan Jemaah Islamiyah, MILF
menerima bantuan berupa fasilitas latihan dan persenjataan (BBC News Online, 2003).
MILF juga menyangkal keterlibatannya dengan JI sekalipun mengakui telah mengiri
sekitar 600 pasukannya ke tempat pelatihan Al Qaeda di Afganistan dan Osama bin
Laden member bantuan logistik dan uang ke Moro (Abuza, 2002).
Tidak lama setelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Gloria Arroyo mengumumkan
perang semesta (all out war) dengan pemberontak MILF yang telah melakukan aksi
kriminalitas penculikan terhadap orang asing dan warga setempat. MILF melanjutkan
pemberontakannya dengan melakukan aksi pemboman di Zamboangan pada tahun
2002. Perlawanan yang lebih serius terjadi di Cotabato pada tahun Februari 2003 degan
tewasnya
sekitar
200
tentara
pemberontak
(http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).
Berbeda dengan GAM, PULO maupun MILF, KMM (Kumpulan Mujaheedin Malaysia)
bukanlah pemberontak separatis yang bermaksud mendirikan negara merdeka. KMM
merupakan sebuah gerakan berhaluan keras di Malaysia yang ideidenya mengandung
unsur iredentis islamis. Setelah serangan 11 September pemerintahan PM Mahathir
Muhammad mengindikasikan adanya keterlibatan KMM dengan jaringan teroris
internasional seperti Al Qaeda, sekalipun hal tersebut dibantah oleh anggota KMM.
5
Kecurigan pemerintah Malaysia direalisasikan dengan pemberlakuan Internal Security
Act (ISA) (http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).
Rencana peledakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Singapura, Malaysia, dan
Indonesia mengungkap beberapa kecurigaan mengenai keterkaitan KMM dengan JI.
Kelompok lain yang dicurigai oleh Pemerintah Malaysia memiliki keterkaitan dsengan
JI adalah PAS, sebuah partai Islam di Malaysia 4. Kepala Polisi Diraja Malaysia, Tan Sri
Norian Mai, menyatakan bahwa beberapa anggota KMM yang ditahan memang punya
hubungan dengan Jamaah Islamiyah di Singapura (Wiyana, dan Albintani, 2002).
Indonesia menempati posisi penting bagi gerakangerakan iredentis islamis. Karenanya
Indonesia merupakan negara target pertama terwujudnya daulah islamiyah berdasar
fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Salah seorang anggota amah Islamiah (JI), Wan Min bin Wan Mat mengakui bahwa jika
negara islam Indonesia sudah terbentuk, maka terwujudnya daulah islamiyah nusantara
akan segera terbentuk pula. Negara islam tersebut akan meliputi/menggabungkan
Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura dan Filipina. Setelah daulah islamiyah
terbentuk maka segera diikuti dengan terbentuknya sebuah kekhalifaan Islam (ICG
Asia Report no. 63, 2003: 1), yang bernama Daulah Islamiyah Nusantara.
Karakteristik
Terdapat beberapa karakteristik gerakan iredentis daulah islamiyah dalam mecapai
tujuan perjuangannya. Pertama, kelompokkelompok ini menggunakan caracara
kekerasan sebagai strategi utama perjuangan mencapai tujuannya. Cara kekerasan
bahkan menjadi cara yang paling sering digunakan oleh kelompokkelompok tersebut.
Caracara seperti pemboman, termasuk bom bunuh diri, penculikan, ancaman,
pemerasan dianggap paling ampuh untuk menarik perhatian umum. Metoda violence
ini menjadi ciri penting bagi gerakangerakan tersebut yang memberi warna pada
militanisme “jihadis” kelompokkelompok milenarian.
Kedua, pada dasarnya tidak ada keterkaitan langsung antara gerakan iredentisme
daulah islamiyah dengan terorisme Asia Tenggara maupun terorisme global. Keterlibatan
JI (dan Al Qaeda) di Asia Tenggara diawali pada tahun 1991 di Filipina melalui
Mohammed Khalifa, kerabat Osama bin Laden. Kegiatan JI di Malaysia dimulai tahun
1994 dengan perantara Wali Khan Amin Shah, seorang anggota kunci yang dipercaya
oleh Khalifa. Amin Shah dan Hambali membentuk Konsojaya SDN BHD, yang
4Kelompok Mujahidin Malaysia adalah mahasiswamahasiswa Malaysia yang sekolah di Pakistan dan
kemudian ikut berperang dengan mujahidin di Afghanistan. Setelah kembali ketanah airnya mereka
menjadi bagian dari kelompok partai oposisi PAS (Partai Islam di Malaysia). Namun keterkaitan antara
KMM dengan JI belum jelas (wawancara dengan Alfitra Salam, Hidayatullah.com, 29/10/2002).
6
bertanggungjawab atas dukungan finansial operasi Al Qaeda di Asia Tenggara (ICG
Asia Report no. 63, 2003: 1). Sekalipun terdapat persamaan dalam hal ideologi
perjuangan, iredentisme islamis telah tumbuh sejak sekitar awal abad 20, zaman ketika
para kolonial Barat memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Sementara gerakan
gerakan teroris islamis merupakan fenomena baru di Asia Tenggara yang
keberadaannya tidak pernah terdengar sebelum tahun serangan 9/11. Dengan
demikian hubungan dan keterkaitan gerakangerakan pemberontak muslim Asia
Tenggara dengan jaringan teroris JI maupun Al Qaeda merupakan fenomena baru yang
terjadi hanya beberapa tahun terakhir saja, khususnya setelah terjadinya konflik
sektarian di Afghanistan. Para veteran perang Afganistan mempertahankan
hubungan/jaringan yang telah dibinanya sejak perang di Afganistan melawan Uni
Soviet dan kemudian kembali ke tanah air masingmasing dan membentuk gerakan
baru, salah satunya adalah JI.
Ketiga, Jamaah Islamiyah merupakan gerakan yang bersandar pada gerakan Wahabi,
aliran yang cukup berpengaruh secara politis maupun ekonomi di dunia Islam, yang
aliran ini dianut oleh Osama. Gerakan Wahabi ingin mengembalikan ajaranajaran
Islam kepada “kemurnian” dan kejayaan Islam masa lampau, yaitu pada masa kejayaan
Islam yang menguasai dunia dengan inovasiinovasi saintifik sampai dengn sebelum
runtuhnya kekaisaran Usmaniyah (Ottoman) pada abad ke 15. Berbagai interaksi faktor
ekonomi, politik dan budaya seperti hegemoni Barat yang ditandai dengan meluasnya
kapitalisme Amerika dan industrialisasi Eropa serta keterbatasan modernisasi pada
Islam menjadi penanda bagi kemunduran dunia Islam (Langman dan Morris, 2002).
Sementara itu masyarakat Islam dihadapkan pada tantangan berkembangnya
peradaban lain, yaitu Nasrani, yang peradaban tersebut lebih sesuai dengan nilainilai
dan kultur Barat. Perkembangan ini menjadi ancaman bagi masyarakat muslim, yang
akhirnya melahirkan pemikiranpemikiran tentang revivalisme dunia Islam.
Beberapa kelompok merespon perkembangan ini dengan sikap pesimis dan
bermusuhan yang menghasilkan gerakangerakan radikal. Menguatnya radikalisme
bertransformasi kedalam bentuk islam fundamentalis yang berfaham ortodoksi anti
modern. Secara empiris fundamentalisme agama bercirikan (a) gerakan agama
konservatif radikal menolak nilainilai liberal dari institusi sekuler; (b) mereka menolak
menerima batasbatas (kewilayahan) negara sekuler yang menjadikan agama sebagai
urusan wilayah privat, bukan publik; (c) mereka berupaya menegakkan agama sebagai
pusat pengatur kehidupan social. Di tengahtengah tantangan peradaban lain,
kelompokkelompok fundamentalis menjadi dogmatik dan intoleran (Jurgensmeyer,
2001 dalam Langman dan Moris, 2002: 11).
Keempat, kelompokkelompok iredentis merasa terjebak dalam fault lines antara batas
batas kewilayahan semu dengan batasbatas rasial. Ketidakserasian ini merupakan
7
warisan para penjajah yang membagi wilayah tidak mempertimbangan faktor rasial.
Beberapa konflik etnis pasca kolonial disebabkan karena hal ini. Membagi wilayah
berdasar pertimbangan etnis adalah hal yang absurd pada sejarah modern karena jika
terjadi maka manusia akan hidup dalam segregasi rigid yang justru bisa membawa
akibat fatal jika terjadi selisih faham antara satu etnis dengan etnis lain. Dengan kata
lain, para kelompok iredentis tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka dapat
hidup berdampingan secara damai dengan kelompok ras/etnis dan agama lain dalam
satu negara. Padahal hampir tidak ada negara yang murni berpenduduk homogen.
Oleh karena itu harmoni rasial dalam multikulturalisme menjadi pilihan yang tak
terelakkan. Kaum muslim Thailand Selatan merasa bahwa mereka seharusnya
bergabung dengan sesama muslim di Kedah dan Kelantan karena di masa lalu mereka
tergabung dalam satu kerajaan besar.
Rasa keterjebakan itu diperparah dengan kebijakankebijakan pemerintah yang terlalu
asimilasionis dan bersifat menekan. Pemerintah cenderung melakukan pendekatan
kepada kelompokkelompok “yang berbeda” tersebut dengan tangan besi. Sensitivitas
kelompok semakin meruncing ketika pemerintah memberlakukan sistem pemerintahan
sekuler. Salah satu alasan pemberontakan DI/TII pimpinan Daud Beureuh adalah
karena pemerintahan Sukarno menggabungkan Aceh (yang berstatus Daerah Istimewa
sehingga dapat menerapkan hukum Islam) dengan propinsi Sumatra Utara yang
didominasi oleh penduduk nonmuslim.
Pemberontakan GAM yang merasa terjebak dalam sekularisme dan masih bercitacita
menegakkan daulah islamiyah terlihat dari pernyataan salah satu tokoh GAM di Swedia
bahwa,
“…sejak tahun 1924 sampai detik ini, itu Khilafah Islamiyah telah tiada, yang ada
hanyalah sebagian besar Negaranegara yang ada di dunia adalah negara sekuler
termasuk negara RI ini.…sekarang adalah perjuangan membangun dan
mengembangkan kembali daulah islamiyah dan Khilafah Islamiyah (Sudirman,
http://www.dataphone.se/~ahmad/041231a.htm)
Kebijakan ini melambangkan perbedaan kepentingan yang mencolok antara
pemerintah pusat dan rakyat dari kelompokkelompok “yang berbeda” tersebut.
Kelompokkelompok tersebut merasa kehilangan jati diri ketika dalam sistem yang
baru itu keberadaan agama dan etnis mereka terancam. Lebih jauh lagi, konflik antara
negara dengan rakyat bisa menjadi lebih buruk jika pemerintah melakukan penggalian
sumber daya alam wilayah yang bermasalah tersebut tanpa member imbalan yang
sepadan. Pemberontakan di wilayah Mindanau (Filipina) dan Aceh, salah satunya
disebabkan karena terdapat ketidakadilan pusat kepada daerah.
Kelima, terdapat kecenderungan bahwa gerakangerakan iredentis Asia Tenggara
mendapat dukungan dari pihak luar, terutama Libya, yang menyediakan fasilitas
pelatihan pejuang, tempat berlindung, sekaligus dukungan finansial. Hal ini terjadi
8
terutama pada saat Perang Dingin. Misalnya, sepanjang tahun 19861989 GAM
diperkirakan menerima bantuan pelatihan sebanyak 5.000 orang kadernya di Libya,
yang memungkinkan para pemberontak bertemu satu sama lain dan membentuk
jaringan. Libya juga bertindak sebagai penyandang dana bagi Abu Sayyaf dan
kelompok radikal muslim lainnya (Dillon, 2004; Byman et al, 2001: 10). Tanpa
dukungan pihak luar gerakangerakan pemberontak dengan mudah dapat dihancurkan
oleh pemerintah, bahkan sebelum sempat mengorganisasi diri dan mencapai target
minimalnya (Byman et al). Dukungan pihak eksternal memegang peran kritis dalam
mendukung keberhasilan perjuangan para pemberontak karena menambah redibilitas
kelompok pemberontak di hadapan negara.
Pada masa Perang Dingin terdapat kecenderungan yang kuat bahwa bantuan pihak
luar pada kelompokkelompok pemberontak diwarnai oleh motivasi ideologis, dalam
konteks rivalitas ideologi ASUni Soviet. Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah
perilaku negaranegara pendukung pemberontak. Negaranegara pendukung
pemberontak seperti AS, Uni Soviet, Iran, Pakistan, dan Libya tidak lagi melanjutkan
dukungan kepada Negara client mereka bersamaan dengan menurunnya kepentingan
mereka atas kelompokkelompok tersebut. Berakhirnya Perang Dingin pula yang
mengubah sifat, kepentingan dan motivasi bantuan eksternal kepada para
pemberontak. Fenomena ini menarik dibahas dalam konteks bantuan kelompok teroris
kepada kelompok jihadis militan di berbagai negara.
Kecenderngan baru yang terjadi adalah persaingan para kelompok teroris yang
berhadapan dengan AS dan sekutunya dalam bentuk perang baru, yakni perang
melawan terorisme (war on terror). Sejak perbaikan hubungan LibyaAS, Libya tidak lagi
bertindak sebagai sponsor gerakangerakan pemberontak. Kecenderungan baru
bergeser pada peran aktif organisasi teroris yang mendukung atau memanfaatkan
kelompok pemberontak di negara lain. Al Qaeda merupakan kelompok teroris yang
memiliki banyak sel teroris di Negara lain. Bentuk dukungan yang diberikan hampir
sama dengan yang diberikan oleh Libya kepada kaum pemberontak di sebuah negara.
Respon Pemerintah
Demi menjaga keamanan negara, pemerintah mengambil tindakan tertentu dalam
merespon setiap peristiwa yang mengganggu keamanan tersebut. Pemerintah pada
umumnya mengambil keputusan untuk menghadapi para pemberontak melalui dua
cara yaitu kekerasan (pendekatan militer) dan nonkekerasan (dialog politik, pemberian
status otonomi). Namun pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa penggunaa
kekerasanlah yang menjadi metoda penyelesaian konflik yang utama, sementara
metoda nonkekerasan hanyalah sebagai penunjang.
9
Terdapat kecenderungan yang sama, dalam fenomena meningkatnya penggunaan
kekerasan di Asia Tenggara. Pertama, hal tersebut merupakan konsekuensi dari
kebijakan AS untuk menyebarkan hegemoninya, dalam hal ini, strategi preemptive
defence dalam memerangi terorisme. Asia Tenggara, seperti yang disinyalir oleh
beberapa pengamat, sekali pun mendapat kritik dari pengamat yang lain, merupakan
panggung kedua terorisme setelah Afghanistan (Abuza, 2003; Gunaratna, 2002; Wright
Neville 2004).
Kedua, kebijakan AS ini diwujudkan dalam pemberian bantuan militer yang semakin
meningkat pada negaranegara Asia Tenggara yang dicurigai sebagai ‘sarang teroris’
karena keterkaitan gerakangerakan iredentis islamis dengan JI. Pemberian bantuan
militer ini sejalan dengan sikap yang diambil pemerintah di negaranegara Asia
Tenggara yang melihat bahwa masalah iredentisme islamis yang dicurigai terkait
dengan terorisme diselesaikan dengan pendekatan militer tanpa mampu melihat lebih
jauh akar utama permasalahan yang menimbulkan problem keamanan tersebut. AS
tidak saja memberikan bantuan militer, tetapi juga bantuan informasi dan intelijen
mengenai kelompokkelompok Islam radikal yang menerima dana dari, dan membuat
jaringan dengan Al Qaeda (Bonner, 2002: pp1 dan 8).
Ketiga, tindakan unilateral AS dalam upayanya memerangi terorisme
mengesampingkan peranan negara, PBB dan masyarakat internasional dalam
menangani masalahmasalah yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Sikap unilateral
AS juga melegitimasi intervensi AS yang terlalu jauh ke masalah dalam negeri negara
negara Asia Tenggara, yang dengan demikian meremehkan kemampuan kekuatan
kekuatan potensial lain.
Pendekatan kekerasan yang diterapkan oleh masingmasing negara Asia Tenggara
beragam bentuknya, mulai pemberlakuan undangundang keamanan nasional (Internal
Security Act) sampai dengan penyelidikan ke rumahrumah penduduk yang dicurigai
menjadi tempat persembunyian teroris. Respon pemerintah yang mengutamakan
pendekatan kekerasan dapat mengancam demokrasi. Secara politis, pemberlakuan
undangundang keamanan nasional yang terlampau ketat dapat mengancam
kebebasan warganegara. Bagi beberapa negara, pemberlakuan secara ketat undang
undang keamanan nasional berarti pelembagaan langkahlangkah antiimigrasi
(Democracy Action Project, tt).
Sejak serangan 9/11, kerusuhankerusuhan yang disebabkan oleh kelompokkelompok
pemberontak separatis hampir selalu dihubungkan dengan aksi para teroris.
Penumpasan aksiaksi kekerasan yang dicurigai disebabkan oleh para separatis
tersebut mendapat prioritas dari pemerintah, yang segera membentuk tim khusus anti
teror. Berlindung di balik “perang melawan terorisme”, pemerintah negaranegara Asia
Tenggara meningkatkan pengawasan terhadap kelompokkelompok pemberontak
tersebut. Misalnya, Indonesia memulihkan kembali peran militer yang lebih asertif ke
10
dalam urusanurusan politik. Malaysia dan Singapura memberlakukan Internal
Security Acts (ISA) sekalipun banyak kritik ditujukan bagi pemberlakuan undang
undang tersebut.
Kehadiran pasukan khusus AS diFilipina tidak terlepas dari strategi global AS melawan
terorisme. Hal tersebut dilakukan setelah intelijen Amerika berhasil mengungkap
keterkaitan antara Al Qaeda dengan MILF. Pasukan AS juga membantu melatih tentara
Filipina untuk memerangi tentara pemberontak sekaligus menumpas pemberontak
Abu Sayyaf Group (ASG), salah satu jaringan Al Qaeda di Filipina. (Goodenough,
2002). Kehadiran AS ini menghasilkan dampak tertentu. Salah satunya adalah
banyaknya pihak yang terlibat dalam “war on terror”, yang dengan cara ini justru
perang tersebut menjadi kontraproduktif bagi tercapainya tujuan menumpas terorisme.
Bahkan kehadiran pasukan khusus AS di Filipina bagian selatan diragukan akan bisa
menyelesaikan persoalan separatis yang dihadapi pemerintah Filipina (Pattiradjawane,
2002). Kehadiran pasukan elit AS tersebut dapat menghambat berlangsungnya
rencana pembicaraan damai antara pemerintah Filipina dengan pemberontak separatis
yang sudah direncanakan sejak tahun 1996 (WrightNeville, 2004: 3).
Berbeda dengan kebijakan yang diambil Filipina yang secara fisik menghadirkan
pasukan AS di negaranya, para ulama Malaysia dari PAS (partai oposisi berbasis Islam)
mengingatkan Mahathir agar tidak mengijinkan negaranya dijadikan sebagai
pangkalan dalam perang AS melawan terorisme, yang menurut para ulama itu sama
artinya dengan melawan umat Islam (Hidayatullah. com, 2002). Kerjasama ASMalaysia
mengambil bentuk lain yang tidak terlalu provokatif. Pemerintah Malaysia bekerjasama
dengan Washington dalam hal penegakan hukum dan intelijen, memberi bantuan
finansial pada langkahlangkah antiterorisme dan secara agresif melakukan kampanye
antiterorisme kepada rakyat dengan tujuan menumpas kelompokkelompok ekstrimis
yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan Al Qaeda (Lopez, 2002: 13).
Pemerintah Thailand mengambil kebijakan yang lebih berhatihati dalam menyikapi
kebijakan AS melawan terorisme. Tekanan pemerintah Malaysia dan Indonesia pada
para aktivis JI menyebabkan sebagian dari mereka melarikan diri ke Thailand.
Pemerintah Thailand di bawah PM Thaksin Sinawatra menyangkal terdapatnya
jaringan Al Qaeda di Thailand. Pemerintah Thai berubah pikiran setelah peristiwa
penangkapan tiga orang yang berencana melakukan pemboman di beberapa kedutaan
besar di Bangkok pada Juni 2003 serta tertangkapnya seorang guru yang terkait dengan
pembuatan bom (Kuppuswamy, 2004). Selain itu pemerintah Bangkok bekerjasama
dengan AS untuk mengamati perdagangan gelap obatobat terlarang, yang cara ini
dapat membantu mengatasi masalah terorisme. Bangkok juga melakukan penyelidikan
atas transaksi finansial jaringan Al Qaeda (De Castro, 2004: 5).
11
Kecenderungan ini juga terjadi di negaranegara Asia Tenggara lainnya yang memiliki
gerakangerakan separatis. Dalam upayanya mengikuti kecenderungan global
memerangi terorisme, pemerintahan Megawati Sukarnoputri memberi prioritas pada
penumpasan teroris. Terjadi perubahan sikap Megawati atas masalah terorisme, yang
bersikap ‘keras’ pada AS atas kebijakan ‘war on terrism’, namun berubah setelah
meledaknya bom Bali tahun 2002. Salah satu hal penting adalah mengusulkan GAM
dalam daftar teroris PBB setelah terjadinya aksi peledakan bom di Bandara Sukarno
Hatta yang dicurigai dilakukan oleh GAM. Namun niat Jakarta ini dibatalkan karena
pemerintah menganggap tidak memiliki sejumlah bukti yang meyakinkan atas
keterkaitan GAM dengan JI. Pada pertengahan tahun 2003, BAIS dan Kepala Kodam
Iskandar Muda, Mayjend Djali Jusuf menyatakan tidak ada indikasi bahwa organisasi
yang dipimpin oleh Osama bin Laden memiliki kegiatan di Aceh (Suara karya
05/06/2003).
Namun demikian, pembatalan tersebut tidak mengurangi niat AS untuk bekerjasama
dengan Indonesia dalam menaggulangi masalah terorisme. Dengan kondisi internal
Indonesia yang laten atas bahaya terorisme yang dapat mengancam kepentingan dan
keselamatan AS, pemerintah AS melihat bahwa Indonesia merupakan mitra yang
sesuai dalam upaya AS memerangi terorisme. Untuk mewujudkan hal tersebut,
Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, mengunjungi Jakarta pada bulan Agustus 2003.
Dalam kesempatan tersebut AS menyatakan segera memulihkan segala bentuk
pembatasan kerjasama militer ASIndonesia, termasuk pelatihan pasukan kontra
terorisme kepada sejumlah anggota Polri dan memberikan bantuan sebesar US$ 400.000
kepada TNI. Perubahan mendadak kebijakan AS ini sangat bertolak belakang dengan
kebijakan sebelumnya yang membatalkan segala bentuk kerjasama militer sejalan
dengan sikap represif Suharto atas dan rekor HAM Indonesia di TimorTimur.
Langkahlangkah yang diambil oleh Presiden Megawati tersebut semakin
mengintensifkan (kembali) pelanggaran HAM karena upayaupaya tersebut berpotensi
meluasnya tindakan kekerasan pada kelompokkelompok yang yang dianggap
‘radikal’. Sikap konfrontatif Jakarta pada terorisme juga nampak pada sikap Megawati
terhadap upayanya menyelesaikan konflik Papua. Gerakan pemisahan diri Papua
secara langsung memang tidak terlibat dengan jaringan Al Qaeda namun pemerintahan
Megawati mencurigai hadirnya Laskar Jihad, organisasi Islam radikal dengan sejarah
kekerasan massal, yang kehadirannya dapat memperburuk ketegangan yang
mendalam antara orang Papua asli dengan pendatang dari daerah lainnya di Indonesia
yang jumlahnya cukup banyak (ICG Report no. 39, 2002: i).
Dampak dari kecurigaan yang berlebihan tersebut menimbulkan kecemasan di
kalangan masyarakat. Terdapat kecenderungan tentara dapat menangkap seseorang
yang dituduh gerakan ektrimis untuk ditangkap tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Secara keseluruhan, sikap pemerintah yang berlebihan dalam menghadapi teroris dapat
12
meningkatkan kecenderungan penggunaan kekerasan. Hal ini berdampak pula pada
menurunnya prospek penyelesaian secara damai konflikkonflik pemisahan diri di
Indonesia.
Baik pemerintah AS maupun negaranegara ASEAN beranggapan bahwa terorisme
merupakan masalah lintas negara yang perlu ditangani secara bersama oleh negara
negara kawasan. Sejak tahun 2004 terdapat upayaupaya untuk mengatasi bersama
masalah terorisme di kalangan negaranegara ASEAN. Misalnya, tentara angkatan
darat ASEAN memiliki unitunit kecil, terutama untuk negaranegara yang berbatasan,
baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral, guna mengantisipasi ancaman
terorisme. (Tempo Interaktif, 2004) Terorisme menjadi agenda penting yang selalu
dibicarakan di forumforum pertemuan para pemimpin ASEAN, yang diagendakan
sebagai isu nontradisional yang menyangkut keamanan manusia.
Untuk mengokohkan komitmen itu, para pemimpin 10 negara ASEAN telah
menandatangani pakta Konvensi KontraTerorisme ASEAN pada bulan Januari 2007
yang dilakukan pada pertemuan puncak tahunan ASEAN di Cebu, Filipina. Pakta itu
adalah perjanjian pertama di kawasan Asia Tenggara untuk memerangi terorisme.
Perjanjian itu akan mempersempit ruang gerak teroris, memudahkan negaranegara
ASEAN melacak orangorang yang dicurigai sebagai teroris dan pergerakan/aliran
uang mereka yang melintas perbatasan. Pakta tersebut juga memungkinkan Negara
negara ASEAN membagi informasi intelejen dan mengekstradisi terdakwa dari satu
negara ke negara ASEAN yang lain (VOA News, 2007).
Kesimpulan
Perang melawan terorisme yang terjadi Asia Tenggara telah menyebabkan berubahnya
sikap pemerintah dalam menghadapi masalah separatisme di Asia Tenggara yang
memiliki elemen iredentisme islamis. Pada umumnya pemerintah Negaranegara Asia
Tenggara semakin memperketat pengawasan terhadap sejumlah kelompok yang
diduga memikili keterkaitan dengan ikatan kerjasama dengan Al Qaeda, seperti Jamaah
Islamiyah dan Abu Sayyaf Group. Perubahan sikap pemerintah ini tidak terlepas dari
peran AS dalam menjalankan strategi globalnya melawan terorisme.
Hal terpenting sebagai hasil kebijakan AS tersebut adalah keberhasilan AS dalam
mengembalikan sifat otoritarian dan konservatif rejimrejim pemerintah di Asia
Tenggara. Hal tersebut ditunjukkan dengan berhasilnya AS memaksakan kehendaknya
dalam penggunaan militer bagi penyelesaian kasuskasus kerusuhan yang dicurigai
berkaitan dengan keberadaan terorisme. Kebijakan unilateral AS tersebut nampak
berlebihan dan dapat mengganggu stabilitas kawsan Asia Tenggara pada umumnya.
13
Lebih jauh lagi, Washington telah berhasil mengkampanyekan strategi anti
terorismenya kepada 10 negara anggota ASEAN agar mereka bersedia menandatangani
pakta/perjanjian kontraterorisme yangh mewajibkan negaranegara ASEAN untuk
memonitor, membekukan aset teroris dan memperkuat sharing intelijen dan
meningkatkan patroli perbatasan. Dengan kata lain, kebijakan antiterorisme AS telah
berhasil membuat Asia Tenggara seolaholah menjadi panggung penting terorisme
karena pemerintah AS beranggapan bahwa Asia Tenggara merupakan ‘sarang’ teroris,
yang ditunjukkan dengan terdapatnya kecenderungan iredentisme islamis di kawasan
ini. Kebijakan AS ini juga menunjukkan kegagalan AS dalam melihat kenyataan bahwa
masalah konflik yang berbasis agama, konflik etnis pemisahan diri dan konflik
‘fundamentalisme’ lainnya sudah terdapat di negaranegara Asia Tenggara jauh
sebelum tragedi 9/11.
14
Daftar Bacaan
Abuza, Zachary, 2003. Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror. Boulder,
Colorado, Lynne Rienner Publishers.
________________, 2002. Tentacles of Terror: Al Qaeda’s Southeast Asian Network.
Contemporary Southeast Asia 24(3).
Bakri, Zainal. 2003.
GAM Bantah Terlibat jaringan Mujahidin.
http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html.
Akses
13/05/2008
BBC News Online, 2003. The Philippines' MILF
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asiapacific/3003809.stm. Akses 15/05/2008.
rebels.
Bonner, Raymond. ‘Qaeda’s Asia Cells Redirecting Attack’. International Herald
Tribune, 29/10/2002, pp 1 and 8, in De Castro, Renato Cruz. 200. Addressing
International Terrorism in Southeast Asia: A Matter of Strategic or Functional Approach.
Singapore, ISEAS.
Byman, Daniel, et al. 2001. Trends in Outside Support for Insurgent Movements. Santa
Monica, CA, RAND.
Democracy Action Project, tt. How the “War” on Terrorism Undermines Democracy.
Washington, D.C., DAP c/o Institute for Policy Studies.
De Castro, Renato Cruz. 200. Addressing International Terrorism in Southeast Asia: A
Matter of Strategic or Functional Approach. Singapore, ISEAS.
Dulyakasem, Uthai, 1984. MuslimMalay Separatism in Southern Thailand: Factors
Underlying the Political Revolt. In JooJock, Lim and Vani S (eds.). Armed Separatism in
Southeast Asia. Singapore, ISEAS.
ICG Asia Report no. 63. 2003. Jemaah Islamiyah in Southeast Asia: Damaged but Still
Dangerous. Jakarta/Brussel, Agustus 2003.
Goodenough, Patrick. 2002. Links Between Al Qaeda And Filipino Militants Probed.
http://www.cnsnews.com/ForeignBureaus/Archive/200209/FOR20020919a.html.
Akses 14/05/2008.
Gunaratna, Rohan, 2002. Inside Al Qaeda: Global Network Terror. New York: Columbia
University Press.
15
Hidayatullah. com, 2002. Ulama Malaysia Ingatkan Mahathir Soal Latihan terorisme.
hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=66.
Akses 13/05/2008
Hidayatullah.com, 2002. Jemaah Islamiyah, Operasi Intelijen Rekaan Mahathir.
http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=69&Itemid=6129/10/2002. Akses 13/05/2008.
ICG Asia Report no. 39, 2002. Indonesia: Sumberdaya dan Konflik di Papua.
Jakarta/Brussel, 2002.
Kompas, 20/12/2004. Thailand Selatan dalam Geostrategi. http://64.203.71.11/kompas
cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm Akses 13/05/2008.
Kompas, 29/08/2005. PULO Dalangi Kekerasan. http://www2.kompas.com/kompas
cetak/0508/29/ln/2006896.htm. Akses 13/05/2008.
Kuppuswamy, C. S. 2004.
Thailand: Troubled by Terrorist.
http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers10%5Cpaper925.html.
Accessed
28/4/2006
Langman, Lauren dan Morris, Douglas, 2002. Islamic Terrorism: From Retrenchment to
Ressentiment and Beyond. http://www.angelfire.com/or/sociologyshop/langbio.html
Akses 13/05/2006.
Lopez, Leslie, 2002. Suspected Asian Militatnts Allegedly Targeted Embassies. Asian
Wall Street Journal, 07/01/2002.
Overview:
The
Challenge
Facing
Southeast
h ttp://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm
Asia,
Pattani
United
Liberation
Organization
(PULO),
(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm; Akses 9/5/08)
Pattiradjawane, R. 2002. Berdampak Kritis bagi Kerjasama Kawasan.
http://www.pattiradjawane.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=147&Itemid=63
Identifikasi, Karakteristik dan Respon Pemerintah1
Baiq L.S.W.Wardhani
Departemen Hubungan Internasional FISIP Unversitas Airlangga
Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara dikenal sebagai salah satu kawasan yang paling bergolak
akibat konflik etnis separatis 2. Salah satu konfik etnis yang belum berakhir adalah
upaya pemisahan diri karena keinginan bergabung dengan negara lain (iredentisme) 3.
Hal yang menarik dari fenomena ini adalah perjuangan sejumlah gerakangerakan
iredentis yang berdasarkan Islam yang kelompokkelompok tersebut tersebar di
beberapa negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Tujuan utama gerakan iredentis tersebut adalah bersatu dan membentuk negara Islam
di Asia Tenggara. Perlu digarisbawahi bahwa gerakangerakan iredentis islamis di Asia
Tenggara menjelma dalam berbagai bentuk organisasi, mulai dari gerakangerakan
(yang dianggap) memisahkan diri maupun partaipartai politik dan gerakan massa.
Gerakan teroris yang beroperasi di Asia Tenggara, terutama Jamaah Islamiyah (JI)
berupaya memanfaatkan kelompokkelompok ini untuk menyebarkan pengaruhnya.
Beberapa kelompokkelompok islamis dengan elemen iredentis yang terdapat di Asia
Tenggara tersebut diantaranya adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad
1 Disajikan dalam International Seminar IndonesiaMalaysia Update 2008. Kerjasama UGM dengan
Malaya University yang diselenggarakan di Yogyakarta, 2729 Mei 2008.
2 Separatis (me) merupakan istilah generik yang digunakan untuk menjelaskan gejala pemisahan diri
(sececcionism), iredentisme maupun tuntutan otonomi.
3 Iredentisme (berasal dari bahasa Italia terra irredenta yang berarti “tanah tak terlepaskan”) adalah
doktrin yang menurut kaum iredentis, wilayah iredenta tersebut seharusnya dibawah kontrol/kekuasaan
negara yang secara etnis atau sejarah berhubungan (Chazan 1991). Pengertian iredentis mengandung dua
makna yaitu (a) keinginan untuk melepaskan diri dari negara satu untuk bergabung dengan negara lain
[yang secara etnis dan sejarah berhubungan] dan (b) menggabungkan lebih dari satu nation yang terpisah
untuk bergabung di bawah satu kontrol kekuasaan (Horowitz 1992: 119). Iredentis jarang ditemui dalam
praktek pemisahan diri karena, menurut Horowitz, menjadi sesessionis lebih membawa hasil yang nyata
dan karenanya ‘more satisfying choice’. Iredentis dapat meningkatkan dan memperkuat keinginan sesessi
tetapi tidak sebaliknya (Horowitz 1991: 12). Selain itu iredentisme merupakan fenomena yang sulit,
sekalipun mungkin saja terjadi, karena banyak pemerintah mengkhawatirkan dampak iredents yang bisa
mengganggu keseimbangan etnis akibat masuknya etnis tertentu ke dalam wilayah sebuah negara.
1
(Indonesia), Pattani United Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro Islamic
Liberation Front – MILF (Filipina), PAS, KMM (Malaysia). Perjuangan mereka sudah
berlangsung sejak sebelum negara mendapat kemerdekaan dari pemerintah kolonial.
Gerakan yang sudah berlangsung lama ini seringkali tidak mendapat respon yang
memadai dari negara karena sifat gerakannya yang laten dan sporadis. Ancaman yang
ditimbulkan dari gerakan iredentis di Asia Tenggara kerap ditengarai sematamata
sebagai gerakan pemisahan diri yang menuntut kemerdekaan (sessesisecession) dan
negara tidak pernah memandang kelompokkelompok tersebut sebagai kelompok
iredentis islamis. Hal ini menunjukkan Islam sebagai faktor yang “tidak diakui” (denied
factor) oleh kebanyakan pemerintah negaranegara Asia Tenggara (Permata, 2007: 74).
Sesungguhnya tujuan akhir gerakan iredentisme di Asia Tenggara adalah berdirinya
sebuah pemerintahan yang berdasar pada sendisendi keislaman (daulah islamiyah),
bukan sekedar menuntut pemisahan diri dan berdiri sebagai entitias politik yang
terpisah dari negara. Sementara itu daulah islamiyah merupakan citacita yang belum
pernah terwujud dan akan selalu diperjuangkan oleh para peyakinnnya. Akibat
perlakuan yang tidak tepat atas gerakangerakan iredentis tersebut, pemerintah sering
salah mengambil kebijakan dalam menghadapinya.
Sebelum tragedi 9/11 gerakangerakan iredentis ini diperlakukan sebagai gerakan
pemisahan diri yang berjuang melawan pemerintah. Pendekatan pemerintah yang pada
umumnya menggunakan caracara kekerasan/militeristik tidak berhasil memadamkan
hasrat memberontak kelompokkelompok tersebut. Sebaliknya, secara diamdiam
mereka memperkuat diri dengan bantuan pihak luar negeri.
Akan tetapi setelah peristiwa serangan 9/11 gerakangerakan iredentis ini mendapat
julukan baru sebagai teroris yang mendasarkan perjuangannya pada revivalisme
ideologi islamis. Perjuangan mereka dikaitkan dengan tujuan perjuangan para pelaku
serangan menara kembar WTC di Amerika. Dampaknya, pengawasan pemerintah pada
mereka semakin ketat, yang berkonsekuensi pada meningkatnya tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintah.
Hal yang menarik dalam mengamati iredentisme islamis Asia Tenggara adalah
terdapatnya kecenderungan untuk mengaitkannya dengan gerakan pemisahan diri dan
akhirakhir ini, terorisme. Sekalipun keterkaitan tersebut belum jelas benar, terdapat
indikasi bahwa memang terdapat hubungan antara tiga variable tersebut. Lebih jauh
lagi, faksionalisasi yang terdapat dalam gerakangerakan iredentis dan pemisahan diri
tersebut menyebabkan kesulitan untuk mengidentifikasi gerakan manakah yang murni
memperjuangkan tujuan iredentis dan pemisahaan diri. Berbagai kepentingan politis,
ekonomi, strategis, ideologis dan faktorfaktor pragmatis turut mengaburkan batas
batas tujuan setiap gerakan tersebut.
2
Tulisan ini bertujuan untuk mengamati respon yang diberikan oleh pemerintah
beberapa negara Asia Tenggara dalam menanggapi gerakan iredentisme di kawasan
tersebut. Penulis berargumen bahwa respon pemerintah yang mengutamakan
pendekatan kekerasan tersebut merupakan respon reaksioner kebijakan AS dalam
menjalankan strategi globalnya melawan terorisme. Pendekatan tersebut
kontraproduktif dengan tujuan pemerintah untuk memadamkan aspirasi para
kelompok iredentis. Respon tersebut mengembalikan sifat otoritarian dan konservatif
pada beberapa negara Asia Tenggara yang tidak kondusif bagi pengembangan
demokrasi yang baru dirintis oleh negaranegara tersebut. Keberadaan iredentisme
Islamis menimbulkan dilemma keamanan bagi negaranegara terkait, yang
penanganannya memerlukan kerjasama di antara negaranegara tersebut.
Identifikasi
Kelompokkelompok iredentis yang bermaksud bergabung mendirikan daulah islamiyah
di Asia Tenggara diwakili oleh beberapa organisasi, yang paling dominan di antaranya
adalah Gerakan Aceh Merdeka – GAM, Laskar Jihad (Indonesia), Pattani United
Liberation Organization – PULO (Thailand), Moro National Liberation Front – MILF
(Filipina), KMM (Malaysia). Tujuan pendirian daulah islamiyah ini sejalan dengan
tujuan Jamaah Islamiyah, sebuah sel gerakan Al Qaeda di Asia Tenggara.
GAM merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Aceh yang didirikan pada
tahun 1976 oleh Hassan Tiro. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra
National Liberation Front (ASNLF). Tujuan perjuangan kelompok ini adalah untuk
melepaskan diri dari NKRI dan membentuk negara merdeka. Tuntutan merdeka
kelompok ini disebabkan kekecewaan para pemimpinnya atas berbagai harapan yang
tidak pernah terwujud. Sebagian tujuan gerakan ini diilhami oleh pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pada tahun 19531962 pimpinan Daud Beureuh
yang bertujuan mendirikan negara islam Indonesia. Secara historis hubungan antara JI
dan Aceh diawali dengan pemberontakan Darul Islam tersebut. Rakyat Aceh
menganggap Daud Beurueh sebagai pahlawan dan GAM menganggapnya sebagai
pionir kemerdekaan Aceh, semenatar JI menganggapnya sebagai pejuang sejati
berdirinya Negara Islam (ICG Report no. 43, 2002: 7). Namun keterkaitan GAM dengan
JI disangkal oleh Muzakir Manaf, salah seorang pimpinan GAM.
(http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html)
Menurut pengamatan Dillon (2004), GAM merupakan salah satu kelompok yang
ditengarai memiliki hubungan dekat dengan jaringan teroris namun tidak pernah
tercatat dalam daftar teroris internasional (Foreign Terrorist Organizations FTO) di
PBB. Hal ini disebakan karena beberapa faktor yang menurut kriteria AS tidak
memenuhi persyaratan disebut sebagai teroris, seperti organisasi tersebut (dalam hal ini
3
GAM) digerakkan oleh pihak asing, tidak terlibat dalam aktivitas terorisme, kegiatan
organisasi tersebut tidak mengancam keselamatan warga AS dan pemerintah AS. Akan
tetapi Dillon berpendapat bahwa ada bukti nyata keterlibatan GAM dalam beberapa
tindak kejahatan terorisme. Aksiaksi yang dilakukan GAM dalam upaya mencapai
tujuannya untuk melepaskan diri dari NKRI telah ditunggangi oleh, maupun
memanfaatkan kepentingan kelompok teroris.
Di Thailand terdapat PULO (The Pattani United Liberation Organization) identik
dengan gerakan separatis yang meggunakan aksi terorisme di Thailand Selatan.
Organisasi ini didirikan pada 22 Maret 1968. Pada tahun 1992 organisasi ini mengalami
perpecahan. Faksi pertama membentuk sayap militer yang bernama “Caddan Army”.
Faksi kedua juga memiliki sayap militer yang disebut PULO Army Command Council.
PULO merupakan organisasi yang mewakili rakyat Melayu yang berdiam di Thailand
Selatan. Pemberontakan PULO didasari oleh anggapan bahwa pemerintah Thai
melakukan penjajahan sehingga konstitusi Thai tidak diakui oleh PULO. Pemerintah
Thai bukanlah merupakan pemerintahan yang absah di hadapan PULO. Keterikatan
historis dan kedekatan geografis menyebabkan markas besar kedua faksi tersebut
terletak di Malaysia (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm).
Secara sosiologiskultural masyarakat Muslim Thai merupakan kelompok minoritas
yang berbeda dengan penduduk Thai pada umumnya. Keterikatan historis yang kuat
dengan Kedah dan Kelantan (wilayah Malaysia) menyebabkan mereka tidak mau
meninggalkan bahasa Melayu. Bahasa ini menjadi lingua franca yang mempersatukan
mereka dan menjadi simbol identitas persatuan mereka. Bahasa Melayu tidak saja
identik dengan bangsa Melayu tetapi dengan agama Islam.
Terdapat beberapa wilayah di Thailand Selatan yang beragama Islam dan secara rasial
Melayu, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat, Setun dan Songkhla. Selain PULO terdapat
beberapa organaisasi serupa, seperti Barisan Revolusi National (BRN), Gerakan
Mujahideen Islam Pattani (GMIP), United Front for the Independence of Pattani –
Bersatu, Mujahideen Pattani Movement (BNP), Barisan National PemberBasab Pattani
(BNPP), Mujahideen Islam Pattani (Dulyakasem, 1984). Di antara organisasiorganisasi
tersebut, PULO merupakan salah satu yang relatif paling aktif sehingga dapat dianggap
mewakili aspirasi iredentis kaum muslim Thailand. Perjuangan PULO mencapai
keberhasilannya telah menjadikan kelompok ini sebagai faktor pengganggu utama
dalam upaya nation building dan mengancam integritas teritorial Thailand.
Semenjak banyaknya aksi kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan sepanjang 2004
2005 yang menewaskan sekitar 800 orang, PULO ditengarai memiliki kaitan dengan JI.
(Kompas, 29/08/2005). Salah satu respon pemerintah Bangkok yang tidak populer atas
orangorang yang dicurigai terlibat terorisme adalah dengan terjadinya tragedi Thak
Bai pada tahun 1984 yang mengorbankan nyawa 87 muslim Pattani ketika PM Thaksin
Sinawatra memerintahkan militer Thai untuk menangkap dan mengangkut mereka
4
dengan truk menuju tempat tahahan. Tragedi tersebut dikecam dunia internasional,
bukan saja karena menyangkut pelanggaan HAM tetapi juga terjadi pada bulan suci
Ramadhan (Roberts, 2004). Pemerintah Thailand dan Barat mulai khawatir
ketidakstabilan di Thailand Selatan dimanfaatkan jaringan Al Qaeda. Apalagi setelah
beberapa tokoh JI ditangkap setelah terjadi pertemuan tokoh JI di Sungai Kolok, kota
kecil di perbatasan Thailand dengan Malaysia. Pada pertemuan itu hadir Hambali,
Mukhlas, Dr Azahari, Noordin M Top, Zulkarnaen, dan tokoh lainnya (Kompas,
20/12/2004. http://64.203.71.11/kompascetak/0412/20/sorotan/1445598.htm). Sekali
pun PULO menyatakan sebagai pihak yang berada di balik berbagai aksi kekerasan di
Thailand Selatan dalam kurun waktu tersebut, gerakan yang dilakukan PULO yang
merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan suku Melayu itu mengaku sama
sekali tak memiliki hubungan dengan kelompokkelompok internasional seperti Al
Qaeda pimpinan Osama bin Laden atau Kelompok Jamaah Islamiyah (Kompas,
29/08/2005. http://www2.kompas.com/kompascetak/0508/29/ln/2006896.htm).
MNLF (Moro National Liberation Front) yang didirikan pada akhir 1960an, menuntut
kemerdekaan diri dari pemerintah Filipina dan mendirikan negara islam Moro. Pada
tahun 1981 beberapa anggota MNLF mendirikan MILF (Moro Islamic Liberation Front).
Perpecahan ini disebabkan karena keediaan MNLF melakukan perundingan
perdamaian dengan pemerintah Filipina, yang berakhir dengan diterimanya tawaran
semiotonomi bagi MNLF (WrightNeville, 2004). MILF berkembang menjadi organisasi
perjuangan yang bersifat jihadis dengan menjalin hubungan dengan Abu Sayyaf dan Al
Qaeda. Sekalipun menyangkal mengakitkan diri dengan Jemaah Islamiyah, MILF
menerima bantuan berupa fasilitas latihan dan persenjataan (BBC News Online, 2003).
MILF juga menyangkal keterlibatannya dengan JI sekalipun mengakui telah mengiri
sekitar 600 pasukannya ke tempat pelatihan Al Qaeda di Afganistan dan Osama bin
Laden member bantuan logistik dan uang ke Moro (Abuza, 2002).
Tidak lama setelah naik ke tampuk kekuasaan, Presiden Gloria Arroyo mengumumkan
perang semesta (all out war) dengan pemberontak MILF yang telah melakukan aksi
kriminalitas penculikan terhadap orang asing dan warga setempat. MILF melanjutkan
pemberontakannya dengan melakukan aksi pemboman di Zamboangan pada tahun
2002. Perlawanan yang lebih serius terjadi di Cotabato pada tahun Februari 2003 degan
tewasnya
sekitar
200
tentara
pemberontak
(http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).
Berbeda dengan GAM, PULO maupun MILF, KMM (Kumpulan Mujaheedin Malaysia)
bukanlah pemberontak separatis yang bermaksud mendirikan negara merdeka. KMM
merupakan sebuah gerakan berhaluan keras di Malaysia yang ideidenya mengandung
unsur iredentis islamis. Setelah serangan 11 September pemerintahan PM Mahathir
Muhammad mengindikasikan adanya keterlibatan KMM dengan jaringan teroris
internasional seperti Al Qaeda, sekalipun hal tersebut dibantah oleh anggota KMM.
5
Kecurigan pemerintah Malaysia direalisasikan dengan pemberlakuan Internal Security
Act (ISA) (http://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm).
Rencana peledakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Singapura, Malaysia, dan
Indonesia mengungkap beberapa kecurigaan mengenai keterkaitan KMM dengan JI.
Kelompok lain yang dicurigai oleh Pemerintah Malaysia memiliki keterkaitan dsengan
JI adalah PAS, sebuah partai Islam di Malaysia 4. Kepala Polisi Diraja Malaysia, Tan Sri
Norian Mai, menyatakan bahwa beberapa anggota KMM yang ditahan memang punya
hubungan dengan Jamaah Islamiyah di Singapura (Wiyana, dan Albintani, 2002).
Indonesia menempati posisi penting bagi gerakangerakan iredentis islamis. Karenanya
Indonesia merupakan negara target pertama terwujudnya daulah islamiyah berdasar
fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Salah seorang anggota amah Islamiah (JI), Wan Min bin Wan Mat mengakui bahwa jika
negara islam Indonesia sudah terbentuk, maka terwujudnya daulah islamiyah nusantara
akan segera terbentuk pula. Negara islam tersebut akan meliputi/menggabungkan
Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura dan Filipina. Setelah daulah islamiyah
terbentuk maka segera diikuti dengan terbentuknya sebuah kekhalifaan Islam (ICG
Asia Report no. 63, 2003: 1), yang bernama Daulah Islamiyah Nusantara.
Karakteristik
Terdapat beberapa karakteristik gerakan iredentis daulah islamiyah dalam mecapai
tujuan perjuangannya. Pertama, kelompokkelompok ini menggunakan caracara
kekerasan sebagai strategi utama perjuangan mencapai tujuannya. Cara kekerasan
bahkan menjadi cara yang paling sering digunakan oleh kelompokkelompok tersebut.
Caracara seperti pemboman, termasuk bom bunuh diri, penculikan, ancaman,
pemerasan dianggap paling ampuh untuk menarik perhatian umum. Metoda violence
ini menjadi ciri penting bagi gerakangerakan tersebut yang memberi warna pada
militanisme “jihadis” kelompokkelompok milenarian.
Kedua, pada dasarnya tidak ada keterkaitan langsung antara gerakan iredentisme
daulah islamiyah dengan terorisme Asia Tenggara maupun terorisme global. Keterlibatan
JI (dan Al Qaeda) di Asia Tenggara diawali pada tahun 1991 di Filipina melalui
Mohammed Khalifa, kerabat Osama bin Laden. Kegiatan JI di Malaysia dimulai tahun
1994 dengan perantara Wali Khan Amin Shah, seorang anggota kunci yang dipercaya
oleh Khalifa. Amin Shah dan Hambali membentuk Konsojaya SDN BHD, yang
4Kelompok Mujahidin Malaysia adalah mahasiswamahasiswa Malaysia yang sekolah di Pakistan dan
kemudian ikut berperang dengan mujahidin di Afghanistan. Setelah kembali ketanah airnya mereka
menjadi bagian dari kelompok partai oposisi PAS (Partai Islam di Malaysia). Namun keterkaitan antara
KMM dengan JI belum jelas (wawancara dengan Alfitra Salam, Hidayatullah.com, 29/10/2002).
6
bertanggungjawab atas dukungan finansial operasi Al Qaeda di Asia Tenggara (ICG
Asia Report no. 63, 2003: 1). Sekalipun terdapat persamaan dalam hal ideologi
perjuangan, iredentisme islamis telah tumbuh sejak sekitar awal abad 20, zaman ketika
para kolonial Barat memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Sementara gerakan
gerakan teroris islamis merupakan fenomena baru di Asia Tenggara yang
keberadaannya tidak pernah terdengar sebelum tahun serangan 9/11. Dengan
demikian hubungan dan keterkaitan gerakangerakan pemberontak muslim Asia
Tenggara dengan jaringan teroris JI maupun Al Qaeda merupakan fenomena baru yang
terjadi hanya beberapa tahun terakhir saja, khususnya setelah terjadinya konflik
sektarian di Afghanistan. Para veteran perang Afganistan mempertahankan
hubungan/jaringan yang telah dibinanya sejak perang di Afganistan melawan Uni
Soviet dan kemudian kembali ke tanah air masingmasing dan membentuk gerakan
baru, salah satunya adalah JI.
Ketiga, Jamaah Islamiyah merupakan gerakan yang bersandar pada gerakan Wahabi,
aliran yang cukup berpengaruh secara politis maupun ekonomi di dunia Islam, yang
aliran ini dianut oleh Osama. Gerakan Wahabi ingin mengembalikan ajaranajaran
Islam kepada “kemurnian” dan kejayaan Islam masa lampau, yaitu pada masa kejayaan
Islam yang menguasai dunia dengan inovasiinovasi saintifik sampai dengn sebelum
runtuhnya kekaisaran Usmaniyah (Ottoman) pada abad ke 15. Berbagai interaksi faktor
ekonomi, politik dan budaya seperti hegemoni Barat yang ditandai dengan meluasnya
kapitalisme Amerika dan industrialisasi Eropa serta keterbatasan modernisasi pada
Islam menjadi penanda bagi kemunduran dunia Islam (Langman dan Morris, 2002).
Sementara itu masyarakat Islam dihadapkan pada tantangan berkembangnya
peradaban lain, yaitu Nasrani, yang peradaban tersebut lebih sesuai dengan nilainilai
dan kultur Barat. Perkembangan ini menjadi ancaman bagi masyarakat muslim, yang
akhirnya melahirkan pemikiranpemikiran tentang revivalisme dunia Islam.
Beberapa kelompok merespon perkembangan ini dengan sikap pesimis dan
bermusuhan yang menghasilkan gerakangerakan radikal. Menguatnya radikalisme
bertransformasi kedalam bentuk islam fundamentalis yang berfaham ortodoksi anti
modern. Secara empiris fundamentalisme agama bercirikan (a) gerakan agama
konservatif radikal menolak nilainilai liberal dari institusi sekuler; (b) mereka menolak
menerima batasbatas (kewilayahan) negara sekuler yang menjadikan agama sebagai
urusan wilayah privat, bukan publik; (c) mereka berupaya menegakkan agama sebagai
pusat pengatur kehidupan social. Di tengahtengah tantangan peradaban lain,
kelompokkelompok fundamentalis menjadi dogmatik dan intoleran (Jurgensmeyer,
2001 dalam Langman dan Moris, 2002: 11).
Keempat, kelompokkelompok iredentis merasa terjebak dalam fault lines antara batas
batas kewilayahan semu dengan batasbatas rasial. Ketidakserasian ini merupakan
7
warisan para penjajah yang membagi wilayah tidak mempertimbangan faktor rasial.
Beberapa konflik etnis pasca kolonial disebabkan karena hal ini. Membagi wilayah
berdasar pertimbangan etnis adalah hal yang absurd pada sejarah modern karena jika
terjadi maka manusia akan hidup dalam segregasi rigid yang justru bisa membawa
akibat fatal jika terjadi selisih faham antara satu etnis dengan etnis lain. Dengan kata
lain, para kelompok iredentis tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka dapat
hidup berdampingan secara damai dengan kelompok ras/etnis dan agama lain dalam
satu negara. Padahal hampir tidak ada negara yang murni berpenduduk homogen.
Oleh karena itu harmoni rasial dalam multikulturalisme menjadi pilihan yang tak
terelakkan. Kaum muslim Thailand Selatan merasa bahwa mereka seharusnya
bergabung dengan sesama muslim di Kedah dan Kelantan karena di masa lalu mereka
tergabung dalam satu kerajaan besar.
Rasa keterjebakan itu diperparah dengan kebijakankebijakan pemerintah yang terlalu
asimilasionis dan bersifat menekan. Pemerintah cenderung melakukan pendekatan
kepada kelompokkelompok “yang berbeda” tersebut dengan tangan besi. Sensitivitas
kelompok semakin meruncing ketika pemerintah memberlakukan sistem pemerintahan
sekuler. Salah satu alasan pemberontakan DI/TII pimpinan Daud Beureuh adalah
karena pemerintahan Sukarno menggabungkan Aceh (yang berstatus Daerah Istimewa
sehingga dapat menerapkan hukum Islam) dengan propinsi Sumatra Utara yang
didominasi oleh penduduk nonmuslim.
Pemberontakan GAM yang merasa terjebak dalam sekularisme dan masih bercitacita
menegakkan daulah islamiyah terlihat dari pernyataan salah satu tokoh GAM di Swedia
bahwa,
“…sejak tahun 1924 sampai detik ini, itu Khilafah Islamiyah telah tiada, yang ada
hanyalah sebagian besar Negaranegara yang ada di dunia adalah negara sekuler
termasuk negara RI ini.…sekarang adalah perjuangan membangun dan
mengembangkan kembali daulah islamiyah dan Khilafah Islamiyah (Sudirman,
http://www.dataphone.se/~ahmad/041231a.htm)
Kebijakan ini melambangkan perbedaan kepentingan yang mencolok antara
pemerintah pusat dan rakyat dari kelompokkelompok “yang berbeda” tersebut.
Kelompokkelompok tersebut merasa kehilangan jati diri ketika dalam sistem yang
baru itu keberadaan agama dan etnis mereka terancam. Lebih jauh lagi, konflik antara
negara dengan rakyat bisa menjadi lebih buruk jika pemerintah melakukan penggalian
sumber daya alam wilayah yang bermasalah tersebut tanpa member imbalan yang
sepadan. Pemberontakan di wilayah Mindanau (Filipina) dan Aceh, salah satunya
disebabkan karena terdapat ketidakadilan pusat kepada daerah.
Kelima, terdapat kecenderungan bahwa gerakangerakan iredentis Asia Tenggara
mendapat dukungan dari pihak luar, terutama Libya, yang menyediakan fasilitas
pelatihan pejuang, tempat berlindung, sekaligus dukungan finansial. Hal ini terjadi
8
terutama pada saat Perang Dingin. Misalnya, sepanjang tahun 19861989 GAM
diperkirakan menerima bantuan pelatihan sebanyak 5.000 orang kadernya di Libya,
yang memungkinkan para pemberontak bertemu satu sama lain dan membentuk
jaringan. Libya juga bertindak sebagai penyandang dana bagi Abu Sayyaf dan
kelompok radikal muslim lainnya (Dillon, 2004; Byman et al, 2001: 10). Tanpa
dukungan pihak luar gerakangerakan pemberontak dengan mudah dapat dihancurkan
oleh pemerintah, bahkan sebelum sempat mengorganisasi diri dan mencapai target
minimalnya (Byman et al). Dukungan pihak eksternal memegang peran kritis dalam
mendukung keberhasilan perjuangan para pemberontak karena menambah redibilitas
kelompok pemberontak di hadapan negara.
Pada masa Perang Dingin terdapat kecenderungan yang kuat bahwa bantuan pihak
luar pada kelompokkelompok pemberontak diwarnai oleh motivasi ideologis, dalam
konteks rivalitas ideologi ASUni Soviet. Berakhirnya Perang Dingin telah mengubah
perilaku negaranegara pendukung pemberontak. Negaranegara pendukung
pemberontak seperti AS, Uni Soviet, Iran, Pakistan, dan Libya tidak lagi melanjutkan
dukungan kepada Negara client mereka bersamaan dengan menurunnya kepentingan
mereka atas kelompokkelompok tersebut. Berakhirnya Perang Dingin pula yang
mengubah sifat, kepentingan dan motivasi bantuan eksternal kepada para
pemberontak. Fenomena ini menarik dibahas dalam konteks bantuan kelompok teroris
kepada kelompok jihadis militan di berbagai negara.
Kecenderngan baru yang terjadi adalah persaingan para kelompok teroris yang
berhadapan dengan AS dan sekutunya dalam bentuk perang baru, yakni perang
melawan terorisme (war on terror). Sejak perbaikan hubungan LibyaAS, Libya tidak lagi
bertindak sebagai sponsor gerakangerakan pemberontak. Kecenderungan baru
bergeser pada peran aktif organisasi teroris yang mendukung atau memanfaatkan
kelompok pemberontak di negara lain. Al Qaeda merupakan kelompok teroris yang
memiliki banyak sel teroris di Negara lain. Bentuk dukungan yang diberikan hampir
sama dengan yang diberikan oleh Libya kepada kaum pemberontak di sebuah negara.
Respon Pemerintah
Demi menjaga keamanan negara, pemerintah mengambil tindakan tertentu dalam
merespon setiap peristiwa yang mengganggu keamanan tersebut. Pemerintah pada
umumnya mengambil keputusan untuk menghadapi para pemberontak melalui dua
cara yaitu kekerasan (pendekatan militer) dan nonkekerasan (dialog politik, pemberian
status otonomi). Namun pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa penggunaa
kekerasanlah yang menjadi metoda penyelesaian konflik yang utama, sementara
metoda nonkekerasan hanyalah sebagai penunjang.
9
Terdapat kecenderungan yang sama, dalam fenomena meningkatnya penggunaan
kekerasan di Asia Tenggara. Pertama, hal tersebut merupakan konsekuensi dari
kebijakan AS untuk menyebarkan hegemoninya, dalam hal ini, strategi preemptive
defence dalam memerangi terorisme. Asia Tenggara, seperti yang disinyalir oleh
beberapa pengamat, sekali pun mendapat kritik dari pengamat yang lain, merupakan
panggung kedua terorisme setelah Afghanistan (Abuza, 2003; Gunaratna, 2002; Wright
Neville 2004).
Kedua, kebijakan AS ini diwujudkan dalam pemberian bantuan militer yang semakin
meningkat pada negaranegara Asia Tenggara yang dicurigai sebagai ‘sarang teroris’
karena keterkaitan gerakangerakan iredentis islamis dengan JI. Pemberian bantuan
militer ini sejalan dengan sikap yang diambil pemerintah di negaranegara Asia
Tenggara yang melihat bahwa masalah iredentisme islamis yang dicurigai terkait
dengan terorisme diselesaikan dengan pendekatan militer tanpa mampu melihat lebih
jauh akar utama permasalahan yang menimbulkan problem keamanan tersebut. AS
tidak saja memberikan bantuan militer, tetapi juga bantuan informasi dan intelijen
mengenai kelompokkelompok Islam radikal yang menerima dana dari, dan membuat
jaringan dengan Al Qaeda (Bonner, 2002: pp1 dan 8).
Ketiga, tindakan unilateral AS dalam upayanya memerangi terorisme
mengesampingkan peranan negara, PBB dan masyarakat internasional dalam
menangani masalahmasalah yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Sikap unilateral
AS juga melegitimasi intervensi AS yang terlalu jauh ke masalah dalam negeri negara
negara Asia Tenggara, yang dengan demikian meremehkan kemampuan kekuatan
kekuatan potensial lain.
Pendekatan kekerasan yang diterapkan oleh masingmasing negara Asia Tenggara
beragam bentuknya, mulai pemberlakuan undangundang keamanan nasional (Internal
Security Act) sampai dengan penyelidikan ke rumahrumah penduduk yang dicurigai
menjadi tempat persembunyian teroris. Respon pemerintah yang mengutamakan
pendekatan kekerasan dapat mengancam demokrasi. Secara politis, pemberlakuan
undangundang keamanan nasional yang terlampau ketat dapat mengancam
kebebasan warganegara. Bagi beberapa negara, pemberlakuan secara ketat undang
undang keamanan nasional berarti pelembagaan langkahlangkah antiimigrasi
(Democracy Action Project, tt).
Sejak serangan 9/11, kerusuhankerusuhan yang disebabkan oleh kelompokkelompok
pemberontak separatis hampir selalu dihubungkan dengan aksi para teroris.
Penumpasan aksiaksi kekerasan yang dicurigai disebabkan oleh para separatis
tersebut mendapat prioritas dari pemerintah, yang segera membentuk tim khusus anti
teror. Berlindung di balik “perang melawan terorisme”, pemerintah negaranegara Asia
Tenggara meningkatkan pengawasan terhadap kelompokkelompok pemberontak
tersebut. Misalnya, Indonesia memulihkan kembali peran militer yang lebih asertif ke
10
dalam urusanurusan politik. Malaysia dan Singapura memberlakukan Internal
Security Acts (ISA) sekalipun banyak kritik ditujukan bagi pemberlakuan undang
undang tersebut.
Kehadiran pasukan khusus AS diFilipina tidak terlepas dari strategi global AS melawan
terorisme. Hal tersebut dilakukan setelah intelijen Amerika berhasil mengungkap
keterkaitan antara Al Qaeda dengan MILF. Pasukan AS juga membantu melatih tentara
Filipina untuk memerangi tentara pemberontak sekaligus menumpas pemberontak
Abu Sayyaf Group (ASG), salah satu jaringan Al Qaeda di Filipina. (Goodenough,
2002). Kehadiran AS ini menghasilkan dampak tertentu. Salah satunya adalah
banyaknya pihak yang terlibat dalam “war on terror”, yang dengan cara ini justru
perang tersebut menjadi kontraproduktif bagi tercapainya tujuan menumpas terorisme.
Bahkan kehadiran pasukan khusus AS di Filipina bagian selatan diragukan akan bisa
menyelesaikan persoalan separatis yang dihadapi pemerintah Filipina (Pattiradjawane,
2002). Kehadiran pasukan elit AS tersebut dapat menghambat berlangsungnya
rencana pembicaraan damai antara pemerintah Filipina dengan pemberontak separatis
yang sudah direncanakan sejak tahun 1996 (WrightNeville, 2004: 3).
Berbeda dengan kebijakan yang diambil Filipina yang secara fisik menghadirkan
pasukan AS di negaranya, para ulama Malaysia dari PAS (partai oposisi berbasis Islam)
mengingatkan Mahathir agar tidak mengijinkan negaranya dijadikan sebagai
pangkalan dalam perang AS melawan terorisme, yang menurut para ulama itu sama
artinya dengan melawan umat Islam (Hidayatullah. com, 2002). Kerjasama ASMalaysia
mengambil bentuk lain yang tidak terlalu provokatif. Pemerintah Malaysia bekerjasama
dengan Washington dalam hal penegakan hukum dan intelijen, memberi bantuan
finansial pada langkahlangkah antiterorisme dan secara agresif melakukan kampanye
antiterorisme kepada rakyat dengan tujuan menumpas kelompokkelompok ekstrimis
yang dicurigai memiliki keterkaitan dengan Al Qaeda (Lopez, 2002: 13).
Pemerintah Thailand mengambil kebijakan yang lebih berhatihati dalam menyikapi
kebijakan AS melawan terorisme. Tekanan pemerintah Malaysia dan Indonesia pada
para aktivis JI menyebabkan sebagian dari mereka melarikan diri ke Thailand.
Pemerintah Thailand di bawah PM Thaksin Sinawatra menyangkal terdapatnya
jaringan Al Qaeda di Thailand. Pemerintah Thai berubah pikiran setelah peristiwa
penangkapan tiga orang yang berencana melakukan pemboman di beberapa kedutaan
besar di Bangkok pada Juni 2003 serta tertangkapnya seorang guru yang terkait dengan
pembuatan bom (Kuppuswamy, 2004). Selain itu pemerintah Bangkok bekerjasama
dengan AS untuk mengamati perdagangan gelap obatobat terlarang, yang cara ini
dapat membantu mengatasi masalah terorisme. Bangkok juga melakukan penyelidikan
atas transaksi finansial jaringan Al Qaeda (De Castro, 2004: 5).
11
Kecenderungan ini juga terjadi di negaranegara Asia Tenggara lainnya yang memiliki
gerakangerakan separatis. Dalam upayanya mengikuti kecenderungan global
memerangi terorisme, pemerintahan Megawati Sukarnoputri memberi prioritas pada
penumpasan teroris. Terjadi perubahan sikap Megawati atas masalah terorisme, yang
bersikap ‘keras’ pada AS atas kebijakan ‘war on terrism’, namun berubah setelah
meledaknya bom Bali tahun 2002. Salah satu hal penting adalah mengusulkan GAM
dalam daftar teroris PBB setelah terjadinya aksi peledakan bom di Bandara Sukarno
Hatta yang dicurigai dilakukan oleh GAM. Namun niat Jakarta ini dibatalkan karena
pemerintah menganggap tidak memiliki sejumlah bukti yang meyakinkan atas
keterkaitan GAM dengan JI. Pada pertengahan tahun 2003, BAIS dan Kepala Kodam
Iskandar Muda, Mayjend Djali Jusuf menyatakan tidak ada indikasi bahwa organisasi
yang dipimpin oleh Osama bin Laden memiliki kegiatan di Aceh (Suara karya
05/06/2003).
Namun demikian, pembatalan tersebut tidak mengurangi niat AS untuk bekerjasama
dengan Indonesia dalam menaggulangi masalah terorisme. Dengan kondisi internal
Indonesia yang laten atas bahaya terorisme yang dapat mengancam kepentingan dan
keselamatan AS, pemerintah AS melihat bahwa Indonesia merupakan mitra yang
sesuai dalam upaya AS memerangi terorisme. Untuk mewujudkan hal tersebut,
Menteri Luar Negeri AS, Collin Powell, mengunjungi Jakarta pada bulan Agustus 2003.
Dalam kesempatan tersebut AS menyatakan segera memulihkan segala bentuk
pembatasan kerjasama militer ASIndonesia, termasuk pelatihan pasukan kontra
terorisme kepada sejumlah anggota Polri dan memberikan bantuan sebesar US$ 400.000
kepada TNI. Perubahan mendadak kebijakan AS ini sangat bertolak belakang dengan
kebijakan sebelumnya yang membatalkan segala bentuk kerjasama militer sejalan
dengan sikap represif Suharto atas dan rekor HAM Indonesia di TimorTimur.
Langkahlangkah yang diambil oleh Presiden Megawati tersebut semakin
mengintensifkan (kembali) pelanggaran HAM karena upayaupaya tersebut berpotensi
meluasnya tindakan kekerasan pada kelompokkelompok yang yang dianggap
‘radikal’. Sikap konfrontatif Jakarta pada terorisme juga nampak pada sikap Megawati
terhadap upayanya menyelesaikan konflik Papua. Gerakan pemisahan diri Papua
secara langsung memang tidak terlibat dengan jaringan Al Qaeda namun pemerintahan
Megawati mencurigai hadirnya Laskar Jihad, organisasi Islam radikal dengan sejarah
kekerasan massal, yang kehadirannya dapat memperburuk ketegangan yang
mendalam antara orang Papua asli dengan pendatang dari daerah lainnya di Indonesia
yang jumlahnya cukup banyak (ICG Report no. 39, 2002: i).
Dampak dari kecurigaan yang berlebihan tersebut menimbulkan kecemasan di
kalangan masyarakat. Terdapat kecenderungan tentara dapat menangkap seseorang
yang dituduh gerakan ektrimis untuk ditangkap tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Secara keseluruhan, sikap pemerintah yang berlebihan dalam menghadapi teroris dapat
12
meningkatkan kecenderungan penggunaan kekerasan. Hal ini berdampak pula pada
menurunnya prospek penyelesaian secara damai konflikkonflik pemisahan diri di
Indonesia.
Baik pemerintah AS maupun negaranegara ASEAN beranggapan bahwa terorisme
merupakan masalah lintas negara yang perlu ditangani secara bersama oleh negara
negara kawasan. Sejak tahun 2004 terdapat upayaupaya untuk mengatasi bersama
masalah terorisme di kalangan negaranegara ASEAN. Misalnya, tentara angkatan
darat ASEAN memiliki unitunit kecil, terutama untuk negaranegara yang berbatasan,
baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral, guna mengantisipasi ancaman
terorisme. (Tempo Interaktif, 2004) Terorisme menjadi agenda penting yang selalu
dibicarakan di forumforum pertemuan para pemimpin ASEAN, yang diagendakan
sebagai isu nontradisional yang menyangkut keamanan manusia.
Untuk mengokohkan komitmen itu, para pemimpin 10 negara ASEAN telah
menandatangani pakta Konvensi KontraTerorisme ASEAN pada bulan Januari 2007
yang dilakukan pada pertemuan puncak tahunan ASEAN di Cebu, Filipina. Pakta itu
adalah perjanjian pertama di kawasan Asia Tenggara untuk memerangi terorisme.
Perjanjian itu akan mempersempit ruang gerak teroris, memudahkan negaranegara
ASEAN melacak orangorang yang dicurigai sebagai teroris dan pergerakan/aliran
uang mereka yang melintas perbatasan. Pakta tersebut juga memungkinkan Negara
negara ASEAN membagi informasi intelejen dan mengekstradisi terdakwa dari satu
negara ke negara ASEAN yang lain (VOA News, 2007).
Kesimpulan
Perang melawan terorisme yang terjadi Asia Tenggara telah menyebabkan berubahnya
sikap pemerintah dalam menghadapi masalah separatisme di Asia Tenggara yang
memiliki elemen iredentisme islamis. Pada umumnya pemerintah Negaranegara Asia
Tenggara semakin memperketat pengawasan terhadap sejumlah kelompok yang
diduga memikili keterkaitan dengan ikatan kerjasama dengan Al Qaeda, seperti Jamaah
Islamiyah dan Abu Sayyaf Group. Perubahan sikap pemerintah ini tidak terlepas dari
peran AS dalam menjalankan strategi globalnya melawan terorisme.
Hal terpenting sebagai hasil kebijakan AS tersebut adalah keberhasilan AS dalam
mengembalikan sifat otoritarian dan konservatif rejimrejim pemerintah di Asia
Tenggara. Hal tersebut ditunjukkan dengan berhasilnya AS memaksakan kehendaknya
dalam penggunaan militer bagi penyelesaian kasuskasus kerusuhan yang dicurigai
berkaitan dengan keberadaan terorisme. Kebijakan unilateral AS tersebut nampak
berlebihan dan dapat mengganggu stabilitas kawsan Asia Tenggara pada umumnya.
13
Lebih jauh lagi, Washington telah berhasil mengkampanyekan strategi anti
terorismenya kepada 10 negara anggota ASEAN agar mereka bersedia menandatangani
pakta/perjanjian kontraterorisme yangh mewajibkan negaranegara ASEAN untuk
memonitor, membekukan aset teroris dan memperkuat sharing intelijen dan
meningkatkan patroli perbatasan. Dengan kata lain, kebijakan antiterorisme AS telah
berhasil membuat Asia Tenggara seolaholah menjadi panggung penting terorisme
karena pemerintah AS beranggapan bahwa Asia Tenggara merupakan ‘sarang’ teroris,
yang ditunjukkan dengan terdapatnya kecenderungan iredentisme islamis di kawasan
ini. Kebijakan AS ini juga menunjukkan kegagalan AS dalam melihat kenyataan bahwa
masalah konflik yang berbasis agama, konflik etnis pemisahan diri dan konflik
‘fundamentalisme’ lainnya sudah terdapat di negaranegara Asia Tenggara jauh
sebelum tragedi 9/11.
14
Daftar Bacaan
Abuza, Zachary, 2003. Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror. Boulder,
Colorado, Lynne Rienner Publishers.
________________, 2002. Tentacles of Terror: Al Qaeda’s Southeast Asian Network.
Contemporary Southeast Asia 24(3).
Bakri, Zainal. 2003.
GAM Bantah Terlibat jaringan Mujahidin.
http://www.tempointeraktif.com/harian/fokus/2003/2,1,38,id.html.
Akses
13/05/2008
BBC News Online, 2003. The Philippines' MILF
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asiapacific/3003809.stm. Akses 15/05/2008.
rebels.
Bonner, Raymond. ‘Qaeda’s Asia Cells Redirecting Attack’. International Herald
Tribune, 29/10/2002, pp 1 and 8, in De Castro, Renato Cruz. 200. Addressing
International Terrorism in Southeast Asia: A Matter of Strategic or Functional Approach.
Singapore, ISEAS.
Byman, Daniel, et al. 2001. Trends in Outside Support for Insurgent Movements. Santa
Monica, CA, RAND.
Democracy Action Project, tt. How the “War” on Terrorism Undermines Democracy.
Washington, D.C., DAP c/o Institute for Policy Studies.
De Castro, Renato Cruz. 200. Addressing International Terrorism in Southeast Asia: A
Matter of Strategic or Functional Approach. Singapore, ISEAS.
Dulyakasem, Uthai, 1984. MuslimMalay Separatism in Southern Thailand: Factors
Underlying the Political Revolt. In JooJock, Lim and Vani S (eds.). Armed Separatism in
Southeast Asia. Singapore, ISEAS.
ICG Asia Report no. 63. 2003. Jemaah Islamiyah in Southeast Asia: Damaged but Still
Dangerous. Jakarta/Brussel, Agustus 2003.
Goodenough, Patrick. 2002. Links Between Al Qaeda And Filipino Militants Probed.
http://www.cnsnews.com/ForeignBureaus/Archive/200209/FOR20020919a.html.
Akses 14/05/2008.
Gunaratna, Rohan, 2002. Inside Al Qaeda: Global Network Terror. New York: Columbia
University Press.
15
Hidayatullah. com, 2002. Ulama Malaysia Ingatkan Mahathir Soal Latihan terorisme.
hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=66.
Akses 13/05/2008
Hidayatullah.com, 2002. Jemaah Islamiyah, Operasi Intelijen Rekaan Mahathir.
http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=69&Itemid=6129/10/2002. Akses 13/05/2008.
ICG Asia Report no. 39, 2002. Indonesia: Sumberdaya dan Konflik di Papua.
Jakarta/Brussel, 2002.
Kompas, 20/12/2004. Thailand Selatan dalam Geostrategi. http://64.203.71.11/kompas
cetak/0412/20/sorotan/1445598.htm Akses 13/05/2008.
Kompas, 29/08/2005. PULO Dalangi Kekerasan. http://www2.kompas.com/kompas
cetak/0508/29/ln/2006896.htm. Akses 13/05/2008.
Kuppuswamy, C. S. 2004.
Thailand: Troubled by Terrorist.
http://www.southasiaanalysis.org/%5Cpapers10%5Cpaper925.html.
Accessed
28/4/2006
Langman, Lauren dan Morris, Douglas, 2002. Islamic Terrorism: From Retrenchment to
Ressentiment and Beyond. http://www.angelfire.com/or/sociologyshop/langbio.html
Akses 13/05/2006.
Lopez, Leslie, 2002. Suspected Asian Militatnts Allegedly Targeted Embassies. Asian
Wall Street Journal, 07/01/2002.
Overview:
The
Challenge
Facing
Southeast
h ttp://www.fpa.org/newsletter_info2485/newsletter_info.htm
Asia,
Pattani
United
Liberation
Organization
(PULO),
(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/pulo.htm; Akses 9/5/08)
Pattiradjawane, R. 2002. Berdampak Kritis bagi Kerjasama Kawasan.
http://www.pattiradjawane.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=147&Itemid=63