Dikotomi Label Terorisme pada Gerakan Is

Dikotomi Label Terorisme pada Gerakan Islam
di Asia Tenggara
Hijrah Saputra Har

Abstraksi
Sudut pandang motivasi menyebabkan kategorisasi terorisme di Asia Tenggara di pahami sebagai model terorisme
religious yang mengancam kedaulatan Amerika Serikat dan rezim barat. Model ini menjadi diafragma bagi
kepentingan nasional Amerika Serikat untuk masuk membasmi setiap gerakan terorisme dan memaksa negaranegara lain untuk berperan serta pada kampanye war on terrorism AS. Namun ,gerakan terorisme di Asia
Tenggara pada awalnya merupakan gerakan sentimen terhadap pemerintah nasional atas ketidakadilan dan
alienasi yang diterimanya, dengan semangat etno nasionalisme yang biasanya juga diiringi dengan membawa
identitas religi yang dianutnya. Maka secara umum, gerakan terorisme di Asia Tenggara dapat dilihat sebagai
gerakan yang lahir dari kelompok suku minoritas yang mempunyai preferensi belief yang berbeda yang diperparah
lagi mengalami masalah kesejahteraan dengan pemerintah nasional. Untuk itu perlu kerangka analisis yang tepat
untuk mengeneralisir terorisme religious dapat digunakan sebagai pendekatan kepada ancaman terorisme di Asia
Tenggara

Pendahuluan –
Mengapa terorisme di Asia Tenggara disebut terorisme religious islam ? dalam beberapa
literatur ditemukan hampir memiliki kesamaan pandangan yang secara implisit mendefiniskan
isu terorisme kontemporer khususnya di Asia tenggara sangat dekat dengan gerakan atau
pergerakan radikalisasi keislaman, seperti yang diungkapkan Magouirk, Atran, Sageman, 2007 1,

Chalk, Rabasa, Rosenau, dan Piggot, 20092, Gunaratna, 20063, Bruce Vaughn, Emma ChanlettAvery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009. 4 analisa lebih
dikaitkan paska runtuhnya WTC, september 2001 yang lalu seperti yang di ungkapkan Chalk,
20025 :
“International attention on the threat of Southeast Asian Islamic extremism has escalated
markedly since al-Qaeda launched its devastating attacks against the United States on
September 11th. Not only is this part of the heightened global awareness of terrorism in general,
1 Justin Magouirk, Scott Atran, Marc Sageman, 2007. Connecting Terrorist Network. Studies in Conflict &
Terrorism, 31:1-16. Routledge Taylor & Francis Group di akses pada
http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf
2 Peter Chalk, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggot, 2009. The Evolving Terrorist Threat to Southeast
Asia A Net Assessment, RAND National Defense Research Institute di akses pada
http://www.rand.org/pubs/monographs/2009/RAND_MG846.pdf
3 Rohan Gunaratna, 2006. Terrorism in Southeast Asia : Threat and Response, Center for Eurasian policy
occasional research paper series II, No,1 Hudson Institute di akses pada http://counterterrorismblog.org/siteresources/images/Gunaratna-Terrorism%20in%20Southeast%20Asia-Threat%20and%20Response.pdf
4 Bruce Vaughn, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin, Larry A. Niksch, 2009.
Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, Pdf di akses pada
http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf
5 Peter Chalk, 2002. Terrorism in Southeast Asia Springboard for International Terrorist Attack, University of
Colorado Denver, Institute for International Business and Center International Business Education & Research,
Global Executive Forum. Pdf


it also reflects the fact that groups and militants based in the region are known to have either
passed through training camps formerly under the charge of the Taliban or to have established
links with Osama bin Laden and his global terror network.”

Menurut Chalk, bahwa gerakan terorisme di kawasan Asia Tenggara meningkat setelah
serangan Al-Qaidah pada 11 September 2001.6 Yang paling menarik dari uraian Chalk dalam
tulisannya adalah bahwa serangan Al-Qaida menjadi stimulus bagi pergerakan terorisme serupa
pada berbagai kawasan, termasuk Asia Tenggara.7
Tata dunia internasional (world order) kerap kali berubah ketika terjadi suatu defining
moment yang dramatis. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, misalnya, segera diikuti
dengan dimulainya era Perang Dingin. Ketika Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989,
masyarakat internasional melihatnya sebagai awal dari lahirnya era Pasca Perang Dingin.
Sejak serangan Al-Qaida meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC) di
New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington D.C. tanggal 11 September 2001 isu
terorisme global menjadi perhatian semua aktor politik dunia baik negara-maupun non negara.
Peristiwa ini kemudian menandai babak baru dimana ancaman terorisme global menjadi
ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional sebuah negara yang ditandainya dengan
munculnya Patriot Act sebagai langkah kebijakan Amerika Serikat memerangi terorisme baru. 8
Sejak inilah, kemudian terorisme muncul sebagai ancaman keamanan non tradisional bagi

negara paska perang dingin yang mampu menciptakan kerusakan/ancaman bagi pemerintahan
negara – negara dunia. Yang menjadi catatan adalah walaupun bentuk terorisme telah muncul
sejak lama, namun kerusakan pada peristiwa 9/11 menjadi indikator terhadap adanya ancaman
baru bagi stabilitas keamanan dunia.
Namun, berubahnya situasi keamanan pada level global itu tidak berarti bahwa situasi
keamanan regional juga telah mengalami perubahan secara fundamental. Meskipun negaranegara di kawasan Asia Tenggara juga mengakui bahwa terorisme merupakan ancaman serius
bagi negara dan masyarakat, hal itu tidak berarti bahwa isyu-isyu keamanan lainnya di kawasan
menjadi tidak penting. Bagi kawasan Asia Tenggara, peristiwa 11 September hanya semakin
memperumit kompleksitas tantangan keamanan di kawasan, yang sebelumnya telah " akrab"
dengan berbagai ancaman non-tradisional termasuk terorisme. Hanya saja, dengan dijadikannya
terorisme sebagai agenda utama - kalaupun bukan sebagai agenda tunggal-- dalam kebijakan
keamanan nasional dan politik luar negeri AS, negara-negara Asia Tenggara terpaksa
dihadapkan pada sebuah realita baru yang merupakan konsekuensi dari dari kebijakan AS itu. 9
Setelah munculnya isu terorisme internasional yang lebih besar, Konsekuensi terjadinya
beberapa kali peristiwa terorisme di Kawasan Asia Tenggara pada akhirnyapun ditenggarai
masih terdapat gerakan-gerakan terorisme yang memiliki konektivitas dengan Al-Qaida dan
Jaringan terorisme islam. Untuk menjawab puzzling kami, maka perlu dilakukan pendekatan
6 Ibid, Chalk, 2002. Pp.1
7 Ibid, Chalk, 2002. Pp.1
8 Kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush tentang "Perang Melawan Terorisme" secara umum tergambar

Dalam sejumlah dokumen seperti The National Security Strategt of the United States of America (2002), National
Security Strategy to Combat weapons of Mass Destruction (2002), dan National Strategy for Combating
Terrorism (2003); sejumlah" Executive order" dari Presiden, d an pidato-pidato presiden George W . Bush yang
kemudian dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam perang melawan terorisme.
9 Rizal Sukma, Keamanan Internasional Pasca 11 September:
Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, disampaikan dalam seminar “Pembangunan Hukum Nasional
VIII” Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar, 14 - 18 juli 2003

kajian lebih dalam apakah gerakan terorisme di Asia Tenggara memang merupakan gerakan
religi Islam atau bukan.
Definisi Terorisme & fenomena karakter baru pergerakan terorisme
Terorisme sebagai fenomena penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik
tertentu sudah terjadi jauh sebelum peristiwa 11 september 2001. Meskipun motivasi untuk
melakukan aksi terorisme bisa berbeda-beda sepanjang sejarah namun kesamaannya terletak
dalam penggunaan kekerasan baik terhadap pejabat resmi pemerintah yang dimusuhi atau
kepada penduduk sipil dengan maksud menimbulkan kepanikan dan menarik perhatian publik
terhadap tuntutan politik yang ingin diperjuangkan oleh kelompok yang melakukan aksi
terorisme tersebut. Bagi kelompok teroris perjuangan dengan jalan damai atau dialog hanya
membuang waktu dan energi dan karena itu aksi kekerasan merupakan satu-satunya jalan untuk
mencapai tujuan politik. Selain perasaan frustasi dalam aksi terorisme ada juga unsur kebencian

terhadap sasaran yang dituju apakah berupa public property dari negara yang dianggap sebagai
musuh atau warga negara dari negara tersebut.10
Untuk bisa mengidentifikasi siapa yang disebut terorisme dan apa yang mendasari
lahirnya gerakan terorisme, salah satu yang menarik adalah seperti yang dijelaskan oleh Audrey
Kurth Cronin11 yang membagi empat kategori jenis kelompok terorisme berdasarkan Source of
Motivation : Left-wing Terrorist, Right-wing Terrorist, ethnonational/separatist terrorist, and
religious or “sacred” terrorist.12 Namun Cronin juga menyadari bahwa pembagian tipe gerakan
terorisme ini bukanlah secara tepat membagi kelompok-kelompok tersebut, karena masih
banyak beberapa bentuk gerakan terorisme yang kemudian mengkombinasikan motivasi
ideologis, seperti kebanyakan grup ethnonationalist yang memiliki religious characteristics or
agenda- walaupun biasanya tetap akan berpegangan pada satu ideologi atau dominasi
pergerakan.
Ditambahkan pula oleh Kiras,13 kesulitan dalam menemukan definisi yang tepat
mengenai teroris karena sulit menentukan tujuan kekerasan yang akan digunakan dan motivasi
dibalik kegiatan terorisme sehingga sejak awal kemunculannya, pada akhirnya terorisme
berbeda dari tindakan kriminal (criminal act). Berbagai perspektif yang muncul dari lahirnya
gerakan terorisme secara global maupun yang lahir di kawasan Asia Tenggara menjadi
modalitas atas terlaksananya kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam War on Terrorism,
dimana dimensi terhadap kegiatan terrorism paska 11 September 2001 dianggap memiliki
kesamaan ideologi dan moralitas yang mampu mengancam kedaulatan negara.

Walaupun sebelumnya regulasi terhadap pencegahan bahaya terorisme telah lahir
melalui konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention
and Suppression of Terrorism), tahun 1937 terorisme diartikan sebagai Crimes against State.
10 Dalam literatur politik dunia konsep terorisme diartikan secara berbeda-beda, karena tergantung kepada siapa
mendefinisikannya. Hal ini bisa dimengerti karena isu terorisme merupakan isu yang telah membangkitkan
kontroversi serta mencakup dimensi yang sangat luas.
11 Audrey Kurth Cronin, Types of terrorist Groups, dikutip dalam James D. Kiras, Terrorism and Globalization
dalam John Baylis & Steve Smith, 2001. The Globalization of World Politics An Introduction to International
Relations, Third Edition. Oxford University Press Pp.480
12 Menurut Cronin, pembagian tipe teroris berkembang pada eranya masing-masing, misalnya left-wing terjalin
bersama pergerakan komunisme, right-wing digambarkan sebagai sayap dari fasisme, dan
ethnonationalist/separatist menyertai gelombang dekolonisasi khususnya pada masa pasca perang dunia ke II,
sedangkan religion atau sacred terrorism kehadirannya lebih signifikan. Walaupun semua tipe group hingga saat ini
masih tetap eksis akan tetapi left dan right-wing lebih banyak terjadi pada dekade sebelumnya.
13 Op.Cit Kiras. Pp.481

Selanjutnya dalam European Convention on The Suppression of Terrorism (ECST) tahun 1977,
pengertian terorisme berubah paradigmanya, yaitu dari semula sebagai Crimes againts State
(termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya),
menjadi Crimes againts Humanity.14

Setelah terjadi diaspora mengenai definisi terorisme, baik akibat dari meluasnya konflik
yang terjadi maupun dari munculnya aktor-aktor baru, namun yang akhirnya kita pahami
mengenai terorisme justru Konstruksi pemahaman terrorisme post 11 september 2001 ini lebih
dikenal sebagai trend baru sebagai Post-Modern Terrorism atau New Terrorism15 yang dalam
pengertian berbeda diungkapkan memiliki motivasi oleh “Promises of Rewards in the afterlife”
dan menggunakan alasan agama untuk membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang tidak
memiliki keyakinan.16 Dalam beberapa peristiwa kasus Bombing diyakini diantara fenomena
regional, kasus terorisme di sponsori oleh negara (State-Sponsored) seperti kasus militant Islam
di Lebanon. Lanjut Menurut Kiras, New Terrorism dapat diartikan pula sebagai rasionalisasi
global Jihad, yaitu sesuatu yang dipandang sebagai reaksi dari penindasan yang dirasakan umat
muslim dan menurunnya nilai spiritual kaum barat.
Sejak runtuhnya WTC & Pentagon, Amerika Serikat memfokuskan diri terhadap
memerangi gerakan islam radikal dan teroris, mereka meyakini bahwa Al-Qaida membentuk
basis pergerakannya di Asia Tenggara, beberapa negara yang dijadikan sel-sel pelatihan seperti
Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand.17
Terjadinya kasus bom bali tahun 2002 yang telah menewaskan sekitar 200 orang
diyakini bahwa penetrasi moralitas gerakan terorisme Al-Qaida telah di pusatkan dikawasan
ini18 sebagai bentuk militansi islam seperti gerakan Jamaah Islamiyah (JI) dan Gerakan Abu
Sayyaf dan MILF19 yang mulai menunjukkan reaksi yang sama terhadap pemerintahan barat
khususnya Amerika Serikat. Sedangkan Guraratna20 mengelompokkan lebih banyak kelompok

ekstrimis yang dipandang lebih mendekati gerakan terorisme, diantaranya :
MILF (Moro Islamic Liberation Front), Abu Sayyaf Group (ASG) di Philipina, Laskar
Jundullah di Indonesia, Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) di Malaysia, Jemmah Salafiyah
(JS) di Thailand, Arakan Rohingya Nationalist Organization (ARNO) dan Rohingya Solidarity
Organization (RSO) di Myanmar dan Bangladesh dan Jemaah Islamiyah (JI), organisasi asia
tenggara yang hadir di Australia.21 Hampir semua kategori kelompok yang berbasis pada
motivasi agama dan bersifat radikalisasi di kawasan Asia Tenggara menjadi satu definisi yang
sangat sering dikaitkan dengan kelompok Al-Qaida, dimana kelompok-kelompok diatas sudah
cukup mewakili ancaman yang mampu membahayakan negara dan pemerintahan. Walau bila di
14 Crimes againts Humanity pada akhirnya di kategorikan sebagai Gross Violation of Human Rights atau
pelanggaran HAM berat yakni apabila serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebihlebih jika diarahkan pada jiwa-jiwa orang tak bersalah (Public by innocent).
15 Ibid. Kiras, Pp. 486
16 Secara umum sebenarnya terdapat perdebatan panjang mengenai isu terorisme yang dikaitkan dengan persoalan
agama, kelompok pertama menegaskan bahwa terorisme tidak memiliki kaitan dengan agama manapun karena
semua agama menolak kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Karena umumnya
mereka, kelompok yang melakukan terorisme merupakan kelompok minoritas dan tidak mewakili penganut agama
secara keseluruhan, sedang kelompok yang lain mengatakan bahwa kelompok terorisme yang bertindak atas nama
ajaran agama mendapatkan inspirasi dan justifikasi atas tindakannya berdasarkan penafsiran mereka atas doktrin
afama yang diyakininya,
17 Op.Cit. Bruce Vaughn. Etc

18 Ibid. Pp. 5
19 Ibid. Pp.16
20 Op.Cit. Rohan Guraratna, Pp.1-2
21 Ibid, Pp.2

cermati tidak seluruhnya dari daftar kelompok-kelompok diatas merupakan kelompok yang
memiliki tujuan yang sama. Diantaranya ada beberapa kelompok separatisme yang memiliki
motivasi religious.
Untuk membantu counter analysis¸ adalah seperti yang diungkapkan oleh Andrew Tan22
dalam Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War Against Terrorism: Evaluating the
Threat and Responses yang menyebutkan bahwa asia tenggara memiliki latar belakang sejarah
yang panjang bahkan jauh lebih dulu dari counter terrorism yang digelorakan oleh Amerika
Serikat setelah peristiwa pengeboman 11 September 2001. Berbeda dengan model gerakan
terorisme internasional, gerakan terorisme di Asia Tenggara pada awalnya merupakan gerakan
sentimen terhadap pemerintah nasional atas ketidakadilan dan alienasi yang diterimanya,
dengan semangat etno nasionalisme yang biasanya juga diiringi dengan membawa identitas
religi yang dianutnya. Maka secara umum, gerakan terorisme di Asia Tenggara dapat dilihat
sebagai gerakan yang lahir dari kelompok suku minoritas yang mempunyai preferensi belief
yang berbeda yang diperparah lagi mengalami masalah kesejahteraan dengan pemerintah
nasional. Identitas agama yang digunakan adalah Agama Islam, karena di beberapa daerah

seperti Filipina, Aceh, dan Thailand, kelompok Islam menjadi kelompok minoritas atau
setidaknya memiliki prinsip yang berbeda dari kelompok Islam lainnya. Namun pada intinya
terbentuknya kelompok terorisme di Asia Tenggara disebabkan karena alasan policy yang tidak
memihak mereka yang kemudia berimbas pada rendahnya ekonomi. Dan hal inilah yang
seringkali menjadi alasan terjadinya clash antara pemerintah dengan kelompok tersebut.
Kelompok teroris Asia Tenggara pada mulanya murni lahir dari dari kelompok-kelompok etnoreligi yang menginginkan separasi dari negara yang dinilai tidak dapat mengakomodir hak-hak
mereka. Mereka menginginkan terbentukya negara baru yang berlandaskan hukum Islam secara
kuat, holistik, dan eksplisit. Revolusi Iran menjadi salah satu hal yang menarik kelompokkelompok tersebut untuk menggaungkan revivalisme Islam global. Namun karena terbentuknya
interaksi antara kelompok tersebut dengan kelompok-kelompok militan terorisme di Timur
Tengah, maka muncullah kelompok-kelompok di Asia Tenggara yang mempunyai tujuan untuk
menekan pos-pos kekuatan negara-negara Barat di Asia Tenggara, seperti Jemaah Islamiyah dan
Kumpulan Militan Mujahidin (KMM).
Gerakan Terorisme di Asia Tenggara seringkali menuai simpati dari kelompok militan
atau terorisme yang lebih besar, terutama yang berada di daerah Timur Tengah. Adanya koneksi
dengan kelompok tersebut membuat terorisme di Asia Tenggara, oleh Andew Tan disebut
sebagai ‘Second Front’ atau batas kedua sebelum pusat gerakan terorisme yang berada di Timur
Tengah, seperti Al-Qaeda yang berada di Afghanistan. Sehingga Asia Tenggara juga dijadikan
sebagai ‘Second Front’ dalam upaya meng-counter terorisme di dunia. Gerakan Terorisme di
Asia Tenggara dapat dikategorikan lahir dari tiga peristiwa: Pemberontakan suku Moro di
Filipina, Pemberontakan Aceh di Indonesia, dan Pemberontakan Pattani di Thailand Selatan.

Pemberontakan Moro di Filipina
Moro merupakan suatu suku Muslim yang mendiami pulau Mindanao. Awal mula
radikalisasi Moro adalah akar sejarah kolonialisme Spanyol yang membatasi Islamisasi Filipina
dan adanya migrasi besar-besaran kelompok Katolik dari Filipina Utara ke Filipina Selatan pada
masa penjajahan Amerika Serikat sekitar tahun 1898. Pada tahun 1960-an, Moro menjadi suku
22 Tan, Andrew. 2003. “Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War Against Terrorism: Evaluating the Threat
and Responses” dalam Terrorism and Political Violance, vol.15 No.2 (summer 2003). London: Frank Cass pp.112138.

yang begitu minoritas di Selatan. Hal ini dikarenakan daerah selatan telah digunakan sebagai
tempat tinggal kelompok Katolik dan para simpatisan komunis. Setelah itu, muncul pula
ketakutan akan upaya asimilasi budaya dan agama sehingga dikhawatirkan agama dan budaya
Islam akan luntur. Hal ini diperparah dengan rendahnya angka ekonomi dan infrasruktur di
kawasan tersebut. Sehingga lahirlah banyak simpati dari organisasi di Timur Tengah seperti
Libya, serta Indonesia dan Malaysia. Kelompok pemberontak moro yang berada dalam
organisasi MNLF (Moro National Liberation Front) pernah mendapat pelatihan di Sabah,
Malaysia. Karena adanya kritik intern akan terlalu nasional orientalisnya MNLF, maka lahirlah
MILF (Moro National Liberation Front) yang bergerak lebih ke arah militansi dengan identitas
Islam, yang memiliki kelompok bersenjata bernama BIAF (Bangsa-Moro Islamic Armed
Forces). Kelompok ini menerima bantuan dari Cairo termasuk dari Afghanistan (Al-Qaeda)
yang memberikan kucuran dana langsung dari adik ipar Osama bin Laden, Muhammad Khalifa.
Selain itu, dana juga datang dari sumbangan organisasi-organisasi muslim simpatisan di seluruh
dunia.
Selain MILF, terdapat juga organisasi ASG (Abu Sayyef Group) yang didirikan sekitar
tahun 1989. Tujuannya adalah pemisahan diri dari negara Filipina dan mendirikan MIR (Moro
Islamic Republic) dengan menentang sgala bentuk kooperasi degan kelompok Katholik. ASG
mengambil nama dari Rasool Sayyeaf yang merupakan alumni perang Afghanistan. Aktifitas
terorisme ASG diantaranya adalah penculikan 12 turis berkebangsaan Barat di pulau Sipadan,
Malaysia pada sekitar April 2000. Di tahun yang sama juga melakukan pemboman di pusat
perbelanjaan, bandara, dan bioskop, serta beberapa kasus pemboman lain juga di tahun yang
sama.
Pemberontakan Aceh di Indonesia
Aceh merupakan sebuah kerajaan yang sangat besar pada awalnya. Dengan kekuatan
perdagangan, Aceh menjadi jalur masuk bagi pedagang-pedagang mancanegara ke Indonesia.
Namun, kedatangan Belanda ke Aceh mengusik keharmonisan wilayah tersebut. Prinsip orang
Aceh untuk memegang teguh Agama Islam menjadi terganggu dengan aturan-aturan kolonial
yang sekuler dan menindas. Sehingga pada waktu itu, Aceh menjadi salah satu sentral kekuatan
yang besar dalam upaya perebutan kemerdekaan Indonesia (atau dengan tujuan menciptakan
negara Islam Indonesia). Hal ini kemudian diperparah dengan kebijakan pemerintah Indonesia
masa Soeharto yang mencangangkan program trasmigrasi sehingga Aceh dibanjiri oleh orang
Jawa yang kemudian mengambil alih sentral pemerintahan lokal. Kekayaan alam di Aceh yang
dieksploitasi oleh para pendatang dinila tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun bagi rakyat
Aceh menciptakan gelombang pemberontakan yang besar.
Pemberontakan di Aceh berada dalam GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang didirikan
tahun 1976 oleh Hasan Tiro. Aspirasi rakyat Aceh yang dinilai tidak terwadahi dalam
pembentukan NKRI, menjadi dasar gerakan ini untuk memisahkan diri dari Indonesia. GAM
pernah mendapat represi langsung dari pemerintah NKRI yang dipimpin oleh presiden Soeharto
pada saat itu, yang membuat Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Hal ini semakin
menambah simpati kelompok-kelompok internasional terhadap GAM. Libya pernah menjadi
trainer dan disinyalir mempunyai relasi yang kuat dengan kelompok-kelompok pemberontak
Asia Tenggara lainnya. Malaysia pernah disebut-sebut turut mendanai gerakan ini, namun hal
ini disangkal oleh pemerintah malaysia. Namun jelas diketahui bahwa kelompok di Thailand
Selatan membantu pendanaannya lewat pasar gelap dengan Kamboja. Karakteristik gerakan
GAM berfokus pada organisasi seperti negara yang dilengkapi dengan angkatan bersenjata.

Setelah peristiwa 11 September, GAM kembali menekankan bahwa konfrontasi yang
dilakukannya adalah dengan negara indonesia, bukan perang agama. Namun hal ini telah
mempunyai titik terang, dengan dilakukannya penandatanganan gencatan senjata antara
pemerintah Indonesia dan GAM pada tahun 2000 di Helsinkin Finlandia.
Pemberontakan Patani di Thailand Selatan
Kelompok Ekstrimis Islam di Thailand lahir dari adanya penindasan hak-hak populasi
Muslim Melayu yang terutama berada di daerah Pattani. kelompok ini dapat tumbuh
dikarenakan tiga faktor. Yang pertama adalah adanya kepercayaan yang dianut oleh kelompok
Islam mengenai romantisme kerajaan Islam, Pattani Darussalam. Yang kedua, adalah adanya
hubungan lintas batas negara dengan kelompok Islam di Kelantan, Malaysia, yang mendukung
gerakan kelompok Islam Pattani. Berikutnya, adalah adanya ajarah untuk ‘hijrah’ yaitu beralih
ke sesuatu yang lebih baik yang diwujudkan dalam melepaskan semua ‘penyiksaan’ pemeritah
untuk unifikasi agama, suku, dan etnis. Selain itu, erosi kebudayaan Melayu yang merupakan
kebudayaan asli masyarakat Moro juga menjadi salah satu pemicunya. Kemudian seperti halnya
kelompok sejenis yang lahir di Filipina ataupun Indonesia, masalah ketimpangan ekonomi juga
menjadi salah satu penyebab timbulnya semangat separasi.
Kelompok ekstrimis Islam Thailand berada di bawah PULO (Pattani United Liberation
Army) dan New-PULO yang didirikan oleh Kabir Abdul Rahman pada tahun 1960-an.
Kelompok ini ditunggangi oleh militan di Malaysia Utara. Selain itu kelompok ini juga
memiliki kerjasama dengan ekstrimis Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan (Hisbullah).
Kerjasama juga dalam bentuk pelatihan, yaitu dengan kelompok radikal Iran, Irak, dan Pakistan.
Menurut Andrew Tan (2003), terdapat tiga faktor yang merupakan kekuatan eksternal dari
kelompok ini, pertama, adanya simpati dari tetangga Malaysia dengan partainya PAS.
Kemudian yang kedua, adanya hubungan saling tolong-menolong dengan organisasi muslim
yang lain di kawasan, misalnya saja dengan GAM. Ketiga, adanya potensi hubungan dengan
organisasi militan Islam internasional, seperti halnya di Afghanistan.
Respon Asia Tenggara –
Ada tiga variabel dalam makalah ini yang menjadi perhatian, yakni terorisme, kebijakan
politik luar negeri dan keamanan nasional AS serta kondisi aktual negara-negara kawasan Asia
Tenggara. Terorisme secara de facto aktivitasnya telah terbukti merugikan banyak pihak. Di
pihak lain kebijakan AS perang terhadap terorisme berimplikasi terhadap semakin beratnya
beban ancaman keamanan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dimana kondisi nyata
negara-negara kawasan Asia Tenggara telah lama berhadapan masalah-masalah yang berkaitan
dengan ancaman tradisional maupun non-tradisional, sebelum ada ancaman terorisme.
Suasana demikian bagi negara-negara kawasan Asia Tenggara menimbulkan situasi
serba dilematis, antara kemiskinan, pengangguran yang dapat mengancam survival sebagai
negara di satu pihak sedangkan di pihak lain ada kewajiban untuk memberantas terorisme.
Belum lagi jika berhubungan dengan stigma yang berkembang bahwa teroris dikaitkan dengan
Islam, membuat ketegangan baru antara pemerintah dengan rakyatnya di negara-negara yang
mayoritas muslim.23
23 Idjang Tjarsono, 2012. Isu Terorisme dan Beban Ancaman Keamanan Kawasan Asia Tenggara
Pasca Runtuhnya WTC –AS, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 Hal.2

Pernyataan Presiden George Bush, ”either you are with us or you are with the
terrorism”, secara eksplisit menunjukkan bahwa dunia ini terbelah antara pertarungan kekuatan
baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Kondisi ini mempersulit posisi khususnya negara-negara
pasca kolonial yang tidak ingin dipersepsikan berada dalam orbit AS. Sedangkan bagi negara
berkembang masalah keterbelakangan, konflik etnik, pengangguran kemiskinan, dianggap
sebagai ancaman utama bagi survival sebagai negara, daripada masalah terorisme.
Disamping itu, tragedi 11 September juga telah merubah ukuran-ukuran yang digunakan
dalam menilai sebuah negara, masalah terorisme menjadi ukuran utama daripada masalah HAM
dan demokrasi. Apalagi dengan adanya kecenderungan stigma yang mangaitkan Islam dengan
teroris membuat pemerintah negara mayoritas muslim dihadapkan pada suatu dilema, antara
keharusan memberantas terorisme dan keharusan untuk memelihara hak-hak rakyatnya. Dengan
demikian kebijakan AS terhadap terorisme telah melahirkan ketegangan baru dalam hubungan
antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam di banyak negara muslim.
Lebih dari itu, dalam mengantisipasi serangan terorisme AS menggunakan doktrin
Preemption, dengan doktrin ini AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk
mengambil tindakan terlebih dahulu, untuk menghancurkan apa yang dipersepsikan sebagai
kemungkinan ancaman teror terhadap kepentingan AS dimana saja. Dengan doktrin preemption
maka prinsip kedaulatan negara, arti penting institusi multilateral seperti PBB dan organisasi
regional, serta ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan. 24 Di sisi lain, kebijakan AS
dalam memerangi Terorisme justru melicinkan hubungan antar negara-negara besar (major
powers) misalnya terhadap Cina dan Rusia masing-masing telah merasa menemukan jalan untuk
lebih meningkatkan
Hubungan diantara mereka. Suasana demikian bagi masyarakat internasional dapat
dikatakan akan mendatangkan malapetaka, mengingat tatanan global senantiasa akan
dikendalikan oleh kepentingan dan kompromi negara-negara besar. Sebagai contoh bagaimana
sikap anggota Dewan Keamanan PBB, terhadap invasi AS ke Afganistan.
Bagi kawasan Asia Tenggara kebijakan AS terhadap terorisme telah melahirkan sebuah
security complex yang semakin rumit. Mengingat dalam suasana dimana masalah-masalah
keamanan yang sudah ada dikawasan belum menemukan bentuk penyelesaiannya, ditambah lagi
beban keamanan regional dengan munculnya ancaman terorisme. Oleh karena itu negara-negara
yang tergabung dalam ASEAN kedepan termasuk Indonesia akan berhadapan dengan tantangan
keamanan regional yang tidak ringan.
Pada umumnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
menganggap tragedi 11 September semata-semata merupakan masalah AS, bukan merupakan
persoalan global. Walaupun semua negara, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara
menyatakan rasa simpatik terhadap tragedi yang menimpa AS. Lebih dari itu mereka pada
umumnya sama sekali tidak percaya bahwa kasus serupa akan terjadi di kawasan Asia Tenggara,
hal tersebut terlihat jelas ketika menanggapi pernyataan pemerintah Singapura yang berhasil
membongkar adanya sebuah jaringan teroris regional yang dapat mengancam keamanan negaranegara kawasan. Sikap skeptis bahkan menyangkal antara lain datang dari Indonesia, Thailand
dan Malaysia.
Masalah komplek itu makin terlihat ketika upaya-upaya untuk memerangi terorisme di
kawasan Asia Tenggara ini dilakukan secara terpisah oleh masing-masing negara Asia Tenggara
dan juga secara kolektif melalui kerjasama regional, baik berupa peningkatan keamanan
nasional, koordinasi agen nasional ataupun saling berbagi informasi satu sama lain. Dalam
24 Op.Cit. Rizal Sukma, Hal.5

konteks upaya memerangi perang yang dilakukan secara terpisah oleh masing-masing negara
Asia Tenggara, penulis mencoba menguraikannya satu per satu. Pertama, upaya memerangi
terorisme di Malaysia, yang dilakukan melalui kerjasama dalam bentuk perundingan dengan
Amerika Serikat terutama dalam menghadapi KMM sebagai salah satu kelompok Islam
extremis yang memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda. Pendekatan yang dilakukan oleh
Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan Malaysia tersebut merupakan usaha untuk
meminimalisir penggunaan Internal Security Act (ISA) yang dicurigai membawahi KMM.
Kerjasama ini juga dikaitkan dengan perhitungan secara politik yang banyak dipengaruhi oleh
perdana menteri Dr Mahathir.
Kedua, upaya memerangi terorisme di Singapura, yang juga meningkatkan intensitas
kerjasama keamanan dengan Amerika Serikat pasca 9/11 melalui kunjungan resmi kenegaraan
Lee Kuan Yew ke gedung putih. Ketiga, upaya yang dilakukan Thailand dalam memerangi
terorisme dianggap setengah-tengah, dengan adanya klaim bahwa Thailand menjadi tempat
transit pasukan dan dana untuk jaringan Al-Qaeda. Namun, pada tahun 2002 terjadi
pembunuhan yang dilakukan polisi keamanan Thailand terhadap masyarakat Thailand yang
dianggap sebagai teroris. Selain itu, terdapat pelatihan angkatan melawan terorisme bekerja
sama dengan AS. Keempat, upaya memerangi terorisme di Philipina, juga bekerja sama dengan
AS terutama dalam menghadapi ASG. Terakhir, upaya memerangi terorisme di Indonesia
dilakukan melalui program kerjasama militer dengan AS. Di mana AS menganggap Indonesia
menjadi wilayah yang memiliki peran signifikan dalam memerangi terorisme. Selain itu,
Indonesia melakukan kerja sama dengan Australia, namun masih terdapat kecurigaan di antara
keduanya yang dihubungkan dengan dukungan terpisahnya Timor-Timur dari Indonesia pada
tahun 1999.
Secara institusi Peran ASEAN dalam mengatasi tindakan terorisme ditunjukkan dengan
mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Kejahatan Transnasional di ASEAN 1997 25 dan Rencana
Aksi untuk Memerangi Transnational Crime pada tahun 1999. 26 Kemudian dalam KTT ke-7
ASEAN Summit Pada tanggal 5 November 2001 di Brunei Darussalam yang menghasilkan
Deklarasi Joint Action to Counter Terrorism dan ASEAN Minister Meeting on Transnational
Crime (AMMTC). Terorisme mereka lihat sebagai ancaman besar untuk perdamaian dan
keamanan internasional dan "tantangan langsung kepada pencapaian perdamaian, kemajuan dan
kemakmuran ASEAN dan mewujudkan Visi ASEAN 2020" Deklarasi Bersama Aksi ke Counter
Terrorism 2001.
ASEAN memaparkan langkah-langkahnya dalam memerangi tindakan terorisme dengan
cara :
1. meninjau dan memperkuat mekanisme nasional dalam memerangi tindakan kejahatan
terorisme yang semakin meluas
2. Menandatangani dan konvensi anti-teroris yang telah di sepakati, termasuk konvensi
Internasional untuk penindasan dari Financing of Terrorism, memperdalam barisan
kerjasama drngan penegak hukum, memperkuat kerjasama yang terorganisir pada
Pertemuan Menteri Transnational Crime (AMMTC) dan badan-badan lain yang terkait
dalam ASEAN countering, suppressing dan mencegah segala bentuk tindakan teroris.
3. Mengembangkan kapasitas yang ada program untuk meningkatkan kemampuan negaranegara anggota ASEAN untuk menyelidiki, mendeteksi, memantau dan melaporkan
25 Upaya ASEAN dalam menanggulangi kejahatan transnasional di kawasan Asia tenggara, di akses pada
http://aseanerspublications.blogspot.com/2006/04/upaya-asean-dalam-menanggulangi.html
26 S Pushpanathan, Combating Transnational Crime in ASEAN di akses pada http://www.aseansec.org/2823.htm

tindakan teroris, Membahas dan mencari ide-ide praktis dan inisiatif untuk
meningkatkan peran dalam ASEAN dan keterlibatan dengan masyarakat internasional
termasuk mitra luar daerah yang ada di dalam kerangka seperti ASEAN + 3 (Cina,
Jepang dan rok), Mitra Dialog ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF) untuk
memerang tindakan teroris yang didasarkan pada enam strategis thrusts: pertukaran
informasi, kerja sama dalam persoalan hukum; kerjasama dalam hal penegakan hukum,
peningkatan kapasitas kelembagaan; pelatihan, dan ekstra-kerjasama regional.
Selain itu terdapat pula langkah-langkah strategis seperti yaitu pertukaran informasi,
kerja sama dalam persoalan hukum, kerjasama dalam hal penegakan hukum, peningkatan
kapasitas kelembagaan, pelatihan, dan ekstra-kerjasama regional
Konferensi ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL)
Diselenggarakan pada bulan Mei 2002 di Phnom Penh, inti dari pertemuan ini adalah
berkomitmen dalam memerangi tindakan terorisme. Semua anggota ASEANAPOL memiliki
kemampuan untuk secara efektif memonitor, berbagi informasi dan memberantas segala bentuk
kegiatan teroris. Mereka sepakat untuk meningkatkan kerjasama antara lembaga penegak
hukum melalui berbagi pengalaman pada counter-terorisme dan pertukaran informasi tentang
dugaan teroris, organisasi dan modus operandi. Indonesia, Malaysia dan Filipina
menandatangani Perjanjian tentang Pertukaran Informasi dan Komunikasi Pendirian prosedur
untuk bekerja sama dalam memerangi kejahatan transnasional, termasuk terorisme. Thailand
dan Kamboja yang kemudian acceded pada Perjanjian. Pada bulan November 2002, Malaysia
membentuk Counter-Terrorism Centre.
Penutup –
Dalam literatur Ilmu Hubungan Internasional akar permasalahan terorisme seperti yang
diungkapkan oleh Viotti dan Kauppi dalam International Relations and World Politics :
Security Economy and Identity. dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu Psikologis, Ideologis,
dan lingkungan.27 Kehadiran terorisme baru dianggap lebih mendekati pada faktor yang ketiga,
yaitu analisis lingkungan akan sangat mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan sebuah
masalah. Namun terlepads dari ketiga teori diatas kemunculan setiap individu atau kelompok
teroris tidak pernah terlepas dari masyarakatnya. Mereka tidak muncul dalam suatu kevakuman
sosial.
Dalam konteks global, aksi perang melawan terorisme yang dilancarkan oleh Amerika
Serikat memang membawa dampak pada perubahan konstelasi politik dunia, Masyarakat dan
negara-negara di dunia diminta untuk bekerjasama melawan aksi terorisme internasional, bagi
Indonesia yang paska pemboman bali 2002 mau tidak mau harus merumuskan kembali
kepentingan nasionalnya untuk memberikan porsi yang sama kepada kejahatan terorisme sama
dengan kepentingan memerangi kemiskinan dan agenda-agenda lainnya.
27 Paul R. Viotti dan Mark Kauppi. 1997, International Relations and World Politics : Security Economy and
Identity. Upper Saddle River: Prentice Hall. Pp. 166-167 Note :pertama, ahli psikologi menjelaskan bahwa
terorisadalah individu yang mengalami sakit mental atau kejiwaan yang mungkin dikaitkan dengan masa kecil
dimana orang tua melakukan kekerasan atau kekejamanan pada anak. Kedua, pada faktor ideologis yang
diperhatikan adalah bagaimana cara berfikir seseorang atau keyakinan yang dianutnya begitu kuat mempengaruhi
perilakunya, dan yang ketiga, faktor lingkungan mengaitkan terorisme dengan lingkungan dimana seseorang
dibesarkan.

Kami tidak menolak bahwa kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari ancaman dan
kerawanan bahaya terorisme tetapi terlepas bahwa aksi terorisme yang dilakukan Al-Qaida di
Amerika Serikat merupakan sebuah aksi dengan motivasi religius tetapi perlu dilakukan sebuah
kajian yang lebih mendalam di kawasan Asia tenggara mengenai klasifikasi dan kelompok
terorisme yang ada. Karena sebagai sebuah kawasan yang rata-rata merupakan negara dunia
ketiga dimana masih terdapatnya konflik-konflik internal yang berbasis pada ketidakpuasan
kelompok-kelompok minoritas memungkinkan terjadinya mixing atau combaining aksi
terorisme. Sehingga kami berpendapat walau aksi terorisme Al-Qaida pada 11 September 2001
menstimulus gerakan-gerakan radikal islam di kawasan, bukan berarti gerakan-gerakan tersebut
menginginkan satu tujuan yang sama. Beberapa diantaranya lebih kepada gerakan
ethonational / separatist movement yang secara garis besar berbeda dari gerakan religious
movement. Perlu dicatat masalah-masalah kaum minoritas di kawasan Asia Tenggara masih
merupakan masalah-masalah kesenjangan hak sebagai warga negara.
Terorisme kontemporer di Asia Tenggara ini membutuhkan penanganan yang berbeda.
Selain karena sifatnya yang berdasar pada agama (religious based), juga karena sifatnya yang
transnasional dan oleh sub-state actor. Sehingga pergerakannya yang luas dan bebas tersebutlah yang membuat rumit. Selain itu tidak adanya headquarter yang pasti yang dapat dijadikan
target militer oleh negara. Juga basis agama menjadikannya dengan mudah untuk doktrinasi
terhadap orang-orang baru. Pemicu lainnya adalah menyebarnya liberelisme kapitalisme yang
secara tidak langsung bertentangan dengan ideologi Islam yang menjadi mayoritas di beberapa
negara di Asia Tenggara. Sehingga ketidaksepahaman inilah yang kemudian membuat
mobilisasi dan perubahan sosial yang mengakar pada kelompok-kelompok terorisme yang
terbentuk.28
Selain itu, salah satu upaya yang mungkin paling tepat dilakukan adalah bagaimana
negara-negara di Asia Tenggara memperkuat stabilitas kawasan melalui kerangka kerjasama
ASEAN, fungsi ini akan memberikan cukup ruang bagi negara-negara anggota kawasan
mengembangkan model-model penanganan bersama terhadap kejahatan terorisme dewasa ini.29
jaringan terorisme yang meluas ke kawasan Asia Tenggara tidak terlepas dari pengaruh
globalisasi melalui ketersediaan informasi, komunikasi dan transportasi yang kemudian
memudahkan penyebaran jaringan terorisme hingga ke kawasan Asia Tenggara. Peluang
menyebarnya jaringan terorisme di Asia Tenggara sebenarnya dapat diminimalisir dengan syarat
kawasan Asia Tenggara harus memiliki pasukan keamanan regional yang kuat. Pasukan
keamanan ini tidak hanya pasukan keamanan yang mengawasi secara langsung wilayah
kawasan Asia Tenggara. Tetapi juga dibutuhkan pasukan keamanan yang mengawasi fungsi
jaringan komunikasi dan informasi seperti halnya di internet. Tetapi, penyelesaian terorisme di
kawasan Asia Tenggara memang tergolong kompleks, di mana negara-negara di Asia Tenggara
bahkan tidak memiliki kesatuan komitmen dalam memerangi terorisme. Dengan kata lain,
terdapat permasalahan internal negara-negara Asia Tenggara yang mesti diselesaikan terlebih
dahulu dan juga penyatuan serta rasa saling percaya harus diciptakan terlebih dahulu. Dengan
demikian, ketika tercipta kesatuan di antara negara-negara Asia Tenggara, hal tersebut akan
mempermudah terciptanya pengawasan keamanan regional yang optimal. Namun, melihat
kondisi negara-negara Asia Tenggara saat ini, hal tersebut sangat sulit tercipta dan
membutuhkan proses yang sangat lama untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Dengan
28 Niklas, Swanstrom and Bjornehed, Emma., 2004. Konflik resolution of Teroris Conflict in southeast Asia.
Dalam Terrorism and Political Violence, vol. 16 no. 2 (Summer 2004). London: Frank Cass pp. 328-349
29 Op.Cit. Chalk, 2002. Pp.7

kemungkinan terburuk, penyelesaian terorisme di kawasan Asia Tenggara hanya akan
mengalami stagnansi tanpa perubahan sama sekali.
Daftar Pustaka
Tan, Andrew. 2003. Southeast Asia as the ‘Second Front’ in the War Against Terrorism:
Evaluating the Threat and Responses dalam Terrorism and Political Violance, vol.15 No.2
(summer 2003). London: Frank Cass pp.112-138.
Chalk, Peter 2002, Terrorism in Southeast Asia Springboard for International Terrorist
Attack, University of Colorado Denver, Institute for International Business and Center
International Business Education & Research, Global Executive Forum. Pdf
Chalk, Peter, Angel Rabasa, William Rosenau, Leanne Piggot, 2009. The Evolving
Terrorist Threat to Southeast Asia A Net Assessment, RAND National Defense Research
Institute pada http://www.rand.org/pubs/monographs/2009/RAND_MG846.pdf
Kiras, James D. 2001. Terrorism and Globalization dalam John Baylis & Steve Smith,
The Globalization of World Politics An Introduction to International Relations, Third Edition.
Oxford University Press Pp.480
Magouirk Justin, Scott Atran, Marc Sageman, 2007. Connecting Terrorist Network.
Studies in Conflict & Terrorism, 31:1-16. Routledge Taylor & Francis Group pada
http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf
Niklas, Swanstrom and Bjornehed, Emma., 2004. Konflik resolution of Teroris Conflict
in southeast Asia. Dalam Terrorism and Political Violence, vol. 16 no. 2 (Summer 2004).
London: Frank Cass pp. 328-349
Sukma, Rizal. 2003 Keamanan Internasional Pasca 11 September:
Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional, disampaikan dalam seminar
“Pembangunan Hukum Nasional VIII” Departemen Kehakiman dan HAM RI, Denpasar
Tjarsono, Idjang 2012. Isu Terorisme dan Beban Ancaman Keamanan Kawasan Asia
Tenggara Pasca Runtuhnya WTC –AS, Jurnal Transnasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012 Hal.2
Vaughn Bruce, Emma Chanlett-Avery, Ben Dolven, Mark E. Manyin, Michael F. Martin,
Larry A. Niksch, 2009. Terrorism In Southeast Asia, Congressional Research Service, Pdf pada
http://www.fas.org/sgp/crs/terror/RL34194.pdf

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22