Hubungan Kadar Procalcitonin dengan beratnya Pneumonia Komunitas

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh
dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran
nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria) dan 28/100.000 penduduk (pada
wanita). Hardiyanto, dkk melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di R.S. Hasan
Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita Pneumonia Komunitas (PK) (Dahlan Z,
2000). Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3
juta orang per tahun (De Frances CJ dkk, 2008; Huang DT dkk 2008, Mira JP dkk,
2008) dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak
akibat infeksi (Huang DT dkk 2008, Mira JP dkk, 2008). Tingginya angka kejadian
dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita
PK berat.

Mar Masia, dkk melaporkan dari 240 pasien yang diteliti penyebab

terjadinya pneumonia yang terbanyak adalah bakteri (39 orang), atypical (36 orang),
virus (15 orang), gabungan (14 orang), tidak diketahui (81 orang) (Masia M dkk,
2005).

Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru dengan
karakteristik adanya konsoliasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh
eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang di luar rumah sakit atau
dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas (PK).
Pada penderita PK, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien
masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan tatalaksana
selanjutnya (Mira JP dkk, 2008; Singanayam A dkk, 2009), Lim WS dkk, 2009,
Mandel LA dkk, 2007; Capelastegui A dkk, 2002006). Hal inilah yang mendorong
lahirnya skor prognostik seperti CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood
pressure, Age >65 years) dengan segala modifikasinya maupun PSI (pneumonia
severity index) dan penelitian akan petanda inflamasi dan infeksi seperti CRP (CReactive Protein), procalcitonin, TNF-alpha (tumour necrosis factor alpha), dll (Mira
JP dkk 2008; Michael J.Fine dkk 1997).
1

Universitas Sumatera Utara

Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai SMART biomarker untuk sepsis
dan infeksi. Hal ini membuktikan dengan memenuhi beberapa kriteria, antara lain : 1.
Memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, 2. Dapat diukur (measureable), 3.
Tersedia di sarana kesehatan seperti rumah sakit (affordable), 4. Responsive dan

reproducible, 5. Memiliki waktu paruh 24 jam dan dapat diperiksa berulang kali
(timely fashion) (Summah H dkk, 2009; Cairn C dkk, 2010). Muller dkk, melaporkan
bahwa kadar procalcitonin lebih akurat dibanding CRP maupun jumlah leukosit total
dalam membedakan PK dengan kondisi medik lain (Mira JP dkk 2008, Muller B dkk,
2007). Pada penelitian Christ-Crain dkk, Nilai PCT ( dengan cut-off ≥ 0,25 ng/ml)
dipakai sebagai pertimbangan untuk memutuskan pemberian antibiotik. Hasilnya
didapatkan pengurangan 50% penggunaaan antibiotik pada pasien dengan infeksi
saluran nafas bagian bawah. Hal ini ditegaskan kembali oleh peneliti yang sama
dimana kurangnya hari rawatan dari 12 hari menjadi 5 hari dengan durasi penggunaan
antibiotik berkurang hingga 65% tanpa merubah dampak klinis penderita PK (Christ
Crain M dkk, 2006; Christ Crain M dkk, 2010).
Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, mendapatkan kadar PCT< 0,1
ng/ml memiliki risiko kematian akibat PK yang rendah tanpa memandang derajat skor
PSI. Pada studi Masia dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan
pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II),
PCT ternyata dapat memprediksi pneumonia akibat bakteri dimana kadar PCT akan
meningkat pada pneumonia bakteria dibanding non-bakteria dengan cut-off ≥ 0,15
ng/ml. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI, kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat
prognostik dibanding diagnostik, dimana kadar PCT ≥ 0,5 ng/ml memiliki komplikasi
dan mortalitas yang lebih tinggi (Huang DT dkk, 2008, Mira JP dkk, 2008;

Capelastegui dkk, 2006). Mar Masia dkk melaporkan

bahwa pasien PK yang

mempunyai score PSI yang lebih tinggi maka semakin tinggi kadar procalsitonin dan
didapati bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI
dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi.
Kruger dkk, dalam suatu studi yang melibatkan 1671 pasien PK melaporkan bahwa
kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang
sama dengan skor CURB-65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi
2

Universitas Sumatera Utara

untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Selain itu,
terdapat 2 (dua) penelitian terdahulu yang saling bertentangan dan menyebabkan
peran procalcitonin sebagai prediktor prognostik menjadi tidak jelas. Masia dkk
mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat PSI dan hal
ini berhubungan dengan derajat peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi.
Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic dkk yang menegaskan

tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Huang DT dkk, 2008).Oleh
karena itu, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan
antara kadar PCT terhadap skor keparahan pneumonia, dalam hal ini PSI pada awal
pasien PK datang ke RS. Selain itu hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah
dilakukan di Medan.
2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan kadar procalcitonin dengan beratnya pneumonia
komunitas pasien yang datang ke rumah sakit?
3. Hipotesa
Semakin tinggi kadar procalcitonin pada penderita pneumonia komunitas yang
datang ke rumah sakit semakin berat keadaan penyakit yang dialaminya.
4. Tujuan Penelitian
Diketahuinya hubungan kadar procalcitonin terhadap beratnya pneumonia
komunitas pada pasien yang datang ke rumah sakit.
5. Manfaat Penelitian
5.1. Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi derajat keparahan pneumonia
sehingga dapat membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan
untuk pemberian antibiotika sejak awal.
5.2. Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, memberi pemahaman akan
penggunaan petanda inflamasi dan menambah pengetahuan mengenai

karakteristik PK di Medan sehingga bermanfaat dalam menurunkan angka
mortalitas.
3

Universitas Sumatera Utara