Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari

(1)

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN SAAT AWAL

MASUK PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

TESIS

Oleh

JUNITA

NIM : 097101036

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN SAAT AWAL

MASUK PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik Ilmu Penyakit

Dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Program Studi Ilmu Penyakit Dalam

pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JUNITA

NIM : 097101036

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR

PROCALCITONIN SAAT AWAL

MASUK PADA PASIEN PNEUMONIA

KOMUNITAS TERHADAP

KEMATIAN 30 HARI

Nama Mahasiswa

: Junita

NIM

: 097101036

Program Studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui,

Pembimbing I Tesis Pembimbing II Tesis

dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP dr. Ermanta Ngirim Keliat, SpPD-KP NIP. 19510401 197711 1001 NIP. 140 131 052

a/n. Ketua Program Studi Ketua Departemen Departemen Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam

Dr. Zainal Safri, SpPD-SpJP Dr. Salli R Nasution, SpPD-KGH NIP. 19680504 199903 1001 NIP. 19540514 198110 1002


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama

: Junita

NIM

: 097101036


(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Junita

NIM : 097101036

Program Studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Konsentrasi : Ilmu Penyakit Dalam

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

HUBUNGAN KADAR PROCALCITONIN SAAT AWAL

MASUK PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat, dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 24 Juni 2013 Yang menyatakan


(6)

Telah diuji

Pada Tanggal : 20 Juni 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K) Anggota : Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH

Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH Dr. Santi Syafril, SpPD-KEMD


(7)

Abstrak

Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari ”

Junita, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK.

Tujuan :

Untuk mengetahui hubungan kadar procalcitonin pada saat awal masuk pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit dengan kematian 30 hari.

Bahan dan Cara :

Penelitian observasional dengan me tode pengukuran cohort. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungkan dengan PCT dan jumlah kematian 30 hari.

Hasil :

Sebanyak 57 subjek penelitian dimana subjek yang memiliki kadar PCT ≥ 0.25 ng/ml dengan skor CURB-65 ringan-sedang 19 subjek (46.3%) dan didapati 17 subjek (41.5%) hidup dan 2 subjek (4.9%) yang meninggal, sedangkan pada skor CURB-65 berat sebanyak 22 subjek (53.7%) dengan 5 subjek (12.2%) yang hidup dan 17 subjek (41.9%) yang meninggal. Sedangkan pada kadar PCT < 0.25 ng/ml dengan skor CURB-65 ringan-sedang dijumpai 15 subjek (93.8%) yang hidup, 1 subjek (6.3%) yang meninggal dan tidak ada subjek yang masuk pada skor CURB-65 yang berat, dengan total jumlah kematian 30 hari sebanyak 20 subjek penelitian (47.5%). Setelah dilakukan uji korelasi pearson diperoleh hubungan yang signifikan antara derajat skor CURB-65 dengan peningkatan kadar PCT dengan kematian 30 hari (p=0.0001).

Kesimpulan :

Procalcitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK dalam menentukan jumlah kematian 30 hari yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.


(8)

Abstract

The Correlation Between Procalcitonin Levels and 30-Day Mortality in Community Acquired Pneumonia at Early Admission in Hospital

Junita, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Internal Medicine Department Division Faculty of Medicine University of Sumatera Utara

H. Adam Malik General Hospital Medan

Background

The assessment of level severity in patient with community acquired pneumonia (CAP) is very important to determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis.

Objective :

To determine the correlation between PCT and CURB-65 score in CAP patients at the early admission in hospital with 30-day mortality.

Materials and Methods :

This was an cohort study. We had examined CAP subject with CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, other laboratory assessment and sputum and blood culture at the early admission at emergency room (ER). We had correlate the PCT levels with CURB-65 to determined prognostic utility of PCT and 30-day mortality.

Result:

In total, 57 subjects with CAP were enrolled in the study and subjects were follow-up for 30 days for survival. In 20 subjects (47.5%) who died during the follow-up,17 subjects (41.9%) died with PCT level ≥ 0.25 ng/ml with severe CURB-65 score and 2 subjects (4.9%) with low-moderate CURB-65 score, but in PCT level > 0.25 ng/ml with low-moderate CURB-65 score, 1 subject (6.3%) was died and no subject with severe CURB-65 score and total 30-day mortality were 20 subjects. We had found correlation between CURB-65 score and PCT level with 30-day mortality using pearson correlation (p = 0.0001).

Conclusion :

Procalcitonin is a biomarker of bacteria infection that has correlation with clinical scoring system CURB-65 and PCT level to determine 30-day mortality. PCT can be use to determine the prognosis in CAP at early admission.

Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, procalcitonin,


(9)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “ Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari“ yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang ilmu penyakit dalam pada fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN yang telah memberikan kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. (Alm) dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH, Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam dan dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP, Sekretaris Program Ilmu Penyakit Dalam yang telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

3. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, SpA(K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara saat saya diterima sebagai peserta pendidikan spesialis penyakit dalam.

4. (Alm) dr. H. Sjafii Pilliang, SpPD-KEMD dan dr.Refli Hasan, SpPD-SpJP(K) yang bersedia memberi rekomendasi dan motivasi untuk terus berjuang agar saya bisa mengikuti pendidikan ini. Semoga semua jasa dan budi baik ini dibalas oleh Allah SWT.

5. Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH sebagai dekan FK USU saat saya diterima sebagai peserta pendidikan spesialis penyaki dalam.

6. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP dan

dr. Ermanta Ngirim Keliat, SpPD-KP sebagai pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama


(10)

melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Allah SWT memberikan rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga.

7. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUD Dr Pirngadi / RSUP H Adam Malik medan : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-KPsi., Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV., Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI-SpMK., Prof. Dr. OK Moehad Sjah, SpPD-KR., Prof. Dr. Lukman H. Zain, SpPD-KGEH., Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH., Prof. Dr. Azmi S Kar, SpPD-KHOM., Prof. Dr. Gontar A Siregar, KGEH., Prof. Dr. Haris Hasan, SpPD-SpJP(K)., Dr. Nur Aisyah, SpPD-KEMD., Dr. A Adin St Bagindo, KKV., Dr. Lutfi Latief, KKV., Dr. Syafii Piliang, SpPD-KEMD (Alm)., Dr. T. Bachtiar Panjaitan, SpPD., Dr. Rustam Effendi YS, SpPD-KGEH., Dr. Abiran Nababan, SpPD-KGEH., Dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH., Dr. Sri M Sutadi, SpPD-KGEH., Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH., Dr. Salli R. Nasution, SpPD-KGH., DR. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH., Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, KGH., Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD., DR. Dr Umar Zein, SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI., Dr. Refli Hasan, SpPD-SpJP., Dr. EN. Keliat, SpPD-KP., DR. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR., Dr. Leonardo Dairy, SpPD-KGEH., Dr. Pirma Siburian, SpPD-KGer., Dr. Mardianto, SpPD-KEMD., Dr. Santi Safril, SpPD-KEMD., Dr Zuhrial, SpPD., yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

8. Dr. Armon Rahimi, KPTI., Dr. R Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH (Alm)., Dr. Daud Ginting, SpPD., Dr. Tambar Kembaren, SpPD., Dr. Saut Marpaung, SpPD., Dr. Dasril Effendi, SpPD-KGEH., Dr. Ilhamd, SpPD., Dr. Calvin Damanik, SpPD., Dr. Rahmat Isnanta, SpPD., Dr. Jerahim Tarigan, SpPD., Dr. Endang, SpPD., Dr. T. Abraham,


(11)

SpPD., Dr. Soegiarto Gani, SpPD., Dr. Savita Handayani, SpPD., Dr. Fransiskus Ginting, SpPD., Dr. Deske Muhadi Rangkuti, SpPD., Dr. Syafrizal Nst, SpPD., Dr. Ida Nensi Gultom, SpPD., Dr. Imelda Rey, SpPD., Dr. Anita Rosari, SpPD., Dr. Wika Hanida, SpPD., Dr. Radar R Ginting, SpPD., Dr. Ameliana Purba, SpPD., dan Dr. Taufik Sungkar, SpPD., sebagai dokter kepala ruangan / senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

9. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

10. Kepada teman-teman seangkatan yang memberikan dorongan semangat: Dr. Darma Liza Effendi, Dr. Naomi N Dalimunthe, Dr. Elisabeth Sipayung, Dr. Sari Harahap, Dr. Herlina Yani, Dr. Ratna Karmila, Dr. Nelila P Fitriani Siregar, Dr. Katharine, Dr. Ester Morina Silalahi, Dr. Bayu Rusfandi Nst, Dr. Doharjo Manullang, Dr. Muhammad Budiman, Dr. M. Azhari, Dr. Wirandi Dalimunthe, Dr. Riki Mulyadi, Dr. Agustina. Juga para sejawat dan PPDS interna lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, paramedik dan Syarifuddin Abdullah, Kak Leli, Erjan, Deni, Fitri, Wanti, Yanti, Tika dan Sari atas kerjasama yang baik selama ini.

11. Para co-asisten dan petugas kesehatan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan / RS Haji Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

12. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes dan dr Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

Rasa hormat dan terima kasih saya yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis tujukan kepada ayahanda (Alm) H. Sulaiman Machmud dan ibunda Hj. Jeumpa yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasanya


(12)

ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan kebahagian kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi. Demikian juga mertua saya (Alm) Lasa Siburian dan

Ny. Herli br. Sinaga yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasihati agar kuat dalam menjalani pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Kepada suamiku tercinta dr. Togu Siburian dan ketiga anakku tercinta

Nada Shafiya br. Siburian, Raihan Salsabila br. Siburian dan M. Hafiz Furqani Siburian terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkati oleh Allah SWT.

Kepada abangku dan adik-adikku Ir. Julidar Sulaiman, dr. Dewi Saputri, M. Kes, Amirzan, Lc dan M. Safrizal Putra, Sked yang telah banyak membantu memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

Kepada adik iparku dr. Almaycano Ginting, M. Kes terimakasih atas semua bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada semua pihak baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin kami ucapkan satu persatu yang telah membantu kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, kami ucapkan banyak terima kasih

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih, maha pemurah dan maha penyayang.

Medan, Juni 2013


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... vii

Daftar Tabel... ix

Daftar Gambar... x

Daftar Singkatan dan Lambang... xi

Daftar Lampiran... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Hipotesis... 3

1.4 TujuanPenelitian... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Biomarker Pada Pneumonia... 4

2.2 Procalcitonin... 5

2.3 Peran PCT dalam Diagnostik... 8

BAB III 2.4 PCT dalam Menentukan Prognostik... ... 2.5 Skor Klinis Pneumonia... 2.6 Skor CURB-65………. 2.7 Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas……….. 2.8 Kultur Sputum……….. 2.9 Kultur Darah………. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 3.1 Kerangka Konsep... 3.2 Definisi Operasional... 10 13 12 13 14 15 17 17 17 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 19

4.1 Desain Penelitian... 19

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 19

4.3 Subjek Penelitian ... 19

4.4 Kriteria Inklusi... ... 19

4.5 Kriteria Eksklusi ... 19

4.6 Besar Sampel... 20

4.7 Cara Kerja ... 20

4.8 Analisa Data ... 23 4.9 Ethical Clearance dan Informed Consent ...

4.10 Kerangka Operasional...

24 24


(14)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 25

5.1 Hasil Penelitian... 25

5.2 Pembahasan... 29

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

6.1 Kesimpulan... 33

5.2 Saran... 33


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.3.1. Aplikasi kadar PCT dalam interpretasi kuman pada pasien infeksi saluran nafas bagian bawah..……...……… 9 Tabel 2.6.1. Skor CURB-6 ... 12 Tabel 5.1.1. Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas….. 26 Tabel 5.1.2. Hubungan PCT terhadap skor CURB-65……… 27 Tabel 5.1.3. Hubungan procalcitonin terhadap skor CURB-65 dengan

Kematian 30 hari…... 28 Tabel 5.1.4. Korelasi antara nadi, laju pernafasan, ureum dan leukosit

dengan Procalcitonin………... 29


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.2.1 Struktur Procalcitonin... 5 Gambar 2.3.1 Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas


(17)

DAFTAR SINGKATAN

ATS : American Thoracic Society AUC : Area Under Curve

BACTEC : Best Patient Care Drug Neutralization Capabilities

BM : Berat Molekul

BTS : British Thoracic Society CALC-I : Calcitonin-I

CCP-I : calcitonin peptide-I CRP : C- Reactive Protein

CURB-65 : Confusion, Ureum, Respiratory rate, Blood pressure Age≥65.

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Dkk : dan kawan-kawan

DM : Diabetes Mellitus

ECLIA : Electrochemiluminesence Immunoassay IDSA : Infectious Disease Society of America

IFN-ϒ : Interferon Gamma

ILMA : Immunoluminometric assay

LBP : Lipopolysaccaride Binding Protein Mg : Miligram

mmHg : Millimeter air raksa

mRNA : Messenger Ribo Nucleic Acid

n : Jumlah subjek penelitian


(18)

PF 1,2 : Prothrombin Fragment 1,2 PK : Pneumonia Komunitas PSI : Pneumonia Severity Index

PT : Protrombin Time

ROC : Receiving Operating Curve

RT-PCR : Multiple Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

SD : Standar Deviasi

SE : Standar Error

SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome

SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

SMART : Sensitivity and specificity, Measureable, Affordable, Responsive and reproducible, timely fashion

TDD : Tekanan Darah diastolik

TDS : Tekanan Darah sistolik

TREM-1 : Trigerring Receptor Expressed on Myeloid-1 TNF-α : Tumour Necrosis factor alpha

Zα : deviat baku normal untuk α


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek... 38

LAMPIRAN 2. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian... 39

LAMPIRAN 3. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian…..………. 40

LAMPIRAN 4. Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian... 41

LAMPIRAN 5. Uji Statistik…... 42


(20)

Abstrak

Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Dengan Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari ”

Junita, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya. Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai biomarker untuk sepsis dan infeksi. PCT dapat berperan dalam diagnosis, memutuskan pemberian antibiotik dan prognosis penderita PK.

Tujuan :

Untuk mengetahui hubungan kadar procalcitonin pada saat awal masuk pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit dengan kematian 30 hari.

Bahan dan Cara :

Penelitian observasional dengan me tode pengukuran cohort. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungkan dengan PCT dan jumlah kematian 30 hari.

Hasil :

Sebanyak 57 subjek penelitian dimana subjek yang memiliki kadar PCT ≥ 0.25 ng/ml dengan skor CURB-65 ringan-sedang 19 subjek (46.3%) dan didapati 17 subjek (41.5%) hidup dan 2 subjek (4.9%) yang meninggal, sedangkan pada skor CURB-65 berat sebanyak 22 subjek (53.7%) dengan 5 subjek (12.2%) yang hidup dan 17 subjek (41.9%) yang meninggal. Sedangkan pada kadar PCT < 0.25 ng/ml dengan skor CURB-65 ringan-sedang dijumpai 15 subjek (93.8%) yang hidup, 1 subjek (6.3%) yang meninggal dan tidak ada subjek yang masuk pada skor CURB-65 yang berat, dengan total jumlah kematian 30 hari sebanyak 20 subjek penelitian (47.5%). Setelah dilakukan uji korelasi pearson diperoleh hubungan yang signifikan antara derajat skor CURB-65 dengan peningkatan kadar PCT dengan kematian 30 hari (p=0.0001).

Kesimpulan :

Procalcitonin merupakan biomarker infeksi bakteri yang memiliki hubungan dengan derajat keparahan PK dalam menentukan jumlah kematian 30 hari yang dinilai dengan skor CURB-65 sehingga PCT dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.


(21)

Abstract

The Correlation Between Procalcitonin Levels and 30-Day Mortality in Community Acquired Pneumonia at Early Admission in Hospital

Junita, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Internal Medicine Department Division Faculty of Medicine University of Sumatera Utara

H. Adam Malik General Hospital Medan

Background

The assessment of level severity in patient with community acquired pneumonia (CAP) is very important to determine the next management of disease. Procalcitonin (PCT) is known as one of biomarker sepsis and infection. The application of PCT is known to be used in diagnosis, to help clinician to decide antibiotic treatment and to make prognosis.

Objective :

To determine the correlation between PCT and CURB-65 score in CAP patients at the early admission in hospital with 30-day mortality.

Materials and Methods :

This was an cohort study. We had examined CAP subject with CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), PCT, other laboratory assessment and sputum and blood culture at the early admission at emergency room (ER). We had correlate the PCT levels with CURB-65 to determined prognostic utility of PCT and 30-day mortality.

Result:

In total, 57 subjects with CAP were enrolled in the study and subjects were follow-up for 30 days for survival. In 20 subjects (47.5%) who died during the follow-up,17 subjects (41.9%) died with PCT level ≥ 0.25 ng/ml with severe CURB-65 score and 2 subjects (4.9%) with low-moderate CURB-65 score, but in PCT level > 0.25 ng/ml with low-moderate CURB-65 score, 1 subject (6.3%) was died and no subject with severe CURB-65 score and total 30-day mortality were 20 subjects. We had found correlation between CURB-65 score and PCT level with 30-day mortality using pearson correlation (p = 0.0001).

Conclusion :

Procalcitonin is a biomarker of bacteria infection that has correlation with clinical scoring system CURB-65 and PCT level to determine 30-day mortality. PCT can be use to determine the prognosis in CAP at early admission.

Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, procalcitonin,


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi diseluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria) dan 28/100.000 penduduk (pada wanita) (SKRT, 2001). Hardiyanto, dkk melaporkan dari 325 pasien yang dirawat di RS. Hasan Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita pneumonia komunitas (PK) (Dahlan Z, 2000). Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3 juta orang per tahun (De Frances CJ dkk, 2008; Mikaeilli H dkk, 2009; Mira JP dkk, 2008)dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak akibat infeksi. Tingginya angka kejadian dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada PK berat (Mikaeilli H dkk, 2009; Mira JP dkk, 2008).

Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru, dengan karakteristik adanya konsolidasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang diluar rumah sakit atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas (PK) dan tidak memenuhi kriteria Health-Care Associated Pneumonia (HCAP) (Abidin A, 2010).

Pada penderita PK, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan tatalaksana selanjutnya (Mira JP dkk, 2008; Capelastegui A, 2006). Hal inilah yang mendorong skor prognostik CURB-65 (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age > 65 years) dengan segala modifikasinya maupun PSI (Pneumonia Severity Index). Sistem scoring tersebut digunakan sebagai alat prognostik yang dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya kematian 30 hari ataupun kebutuhan untuk mendapatkan perawatan dengan ventilator atau penggunaan ionotropik. PSI dapat memprediksi terjadinya kematian 30 hari pada PK dengan


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.2.1 Struktur Procalcitonin... 5 Gambar 2.3.1 Manfaat Procalcitonin Pada Infeksi Saluran Nafas


(24)

area under curve (AUC) sebesar 0,74-0,83. Temuan ini dapat dibandingkan dengan CURB-65 (AUC: 0,73-0,83); CRB-65 (AUC: 0,69-0,78) (Mira JP dkk, 2008; Crain MC dkk, 2010; Muller B dkk,2007) dan penelitian akan petanda inflamasi dan infeksi seperti procalcitonin, CRP (C-Reactive Protein), TNF-alpha (tumour necrosis factor alpha), dan lain-lain (Mira JP dkk, 2008; Singanayagam A dkk, 2009). Saat ini procalcitonin (PCT) dikenal sebagai SMART biomarker untuk sepsis dan infeksi. Hal ini dibuktikan dengan memenuhi beberapa kriteria, antara lain : 1. Memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi, 2. Dapat diukur (measureable), 3. Tersedia di sarana kesehatan seperti rumah sakit (affordable) 4. Responsible dan reproducible, 5. Memiliki waktu paruh 24 jam dan dapat diperiksa berulang kali (timely fashion) (Summah H dkk, 2009; Cairns C, 2010). Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, mendapatkan bahwa kadar PCT < 0,1 ng/ml memiliki risiko kematian 30 hari akibat PK yang rendah.

Muller dkk, melaporkan bahwa kadar procalcitonin lebih akurat dibanding kadar CRP maupun jumlah leukosit total dalam membedakan PK dengan kondisi medik lain (Mira JP dkk, 2008; Muller B dkk, 2007). Pada penelitian Christ-Crain dkk, nilai PCT (dengan cut-off ≥ 0,25 ng/ml) dipakai

untuk memutuskan pemberian antibiotik. Hasilnya didapatkan pengurangan 50% penggunaan antibiotik pada pasien dengan infeksi saluran nafas bagian bawah. Hal ini ditegaskan kembali oleh peneliti yang sama dimana kurangnya hari rawatan dari 12 hari menjadi 5 hari dengan durasi penggunaan antibiotik berkurang hingga 65% tanpa merubah dampak klinis penderita PK (Crain MC dkk, 2006; Crain MC dkk, 2008).

Pada studi lain, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II), PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakterial dibanding non bakterial. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI, kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding diagnostic (Huang DT dkk, 2008; Mira JP dkk, 2008; Capelastegui A dkk, 2006). Kruger dkk, dalam suatu studi yang melibatkan 1671 pasien PK melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CURB-65. Pada studi


(25)

ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Meskipun pada studi ini didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml memiliki resiko kematian yang rendah akibat PK, sayangnya pada hasil penelitian ini tidak dilaporkan bagaimana hubungan antara PCT maupun skor CURB-65 terhadap etiologi penyebab (Kruger S dkk, 2008). Temuan ini amat penting untuk mengenali derajat keparahan dan karakteristik PK pada saat awal masuk sehingga dapat direncanakan tatalaksana dini yang lebih baik terutama memberi keyakinan kepada klinisi untuk memulai antibiotika empirik sehingga angka kematian 30 hari pada PK dapat dikurangi. Oleh karena itu, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan antara kadar PCT terhadap kematian 30 hari pada awal pasien datang ke rumah sakit. Selain itu, hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan kadar procalcitonin pada saat awal pasien pneumonia komunitas masuk ke rumah sakit dengan kematian 30 hari?

1.3. Hipotesa

Semakin tinggi kadar procalcitonin pada saat awal penderita pneumonia komunitas datang ke rumah sakit semakin tinggi jumlah kematian 30 hari.

1.4. Tujuan Penelitian

Diketahuinya hubungan kadar procalcitonin terhadap kematian 30 hari pada saat awal pasien dengan pneumonia komunitas datang ke rumah sakit.

1.5. Manfaat Penelitian

• Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi hubungan derajat keparahan pneumonia dengan petanda inflamasi sehingga dapat menentukan tatalaksana pasien pneumonia komunitas sejak dini.

• Membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan untuk pemberian antibiotika sejak awal.

• Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, memberi pemahaman akan penggunaan petanda inflamasi pada PK di Medan, sehingga bermanfaat dalam prediktor dan menurunkan angka mortalitas.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomarker pada Pneumonia

Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas) dan tanda ( infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS, 2009). Sebagai penyakit infeksi yang terjadi di parenkim paru, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).

Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui A dkk, 2006). Dalam suatu analisis receiving operating characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai akurasi diagnostik dalam membedakan PK dengan kondisi medik lainnya, didapatkan kelemahan gambaran klinik (demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan area under cover (AUC) sebesar 0,79 (Mira JP dkk, 2008). Temuan ini dapat dibandingkan dengan jumlah total leukosit (AUC: 0,69), C-Reactive Protein (AUC: 0,76) dan PCT (AUC: 0,88).

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk, 2006).

Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa biomarker seperti CRP, terutama PCT dapat berperan banyak dalam diagnosis PK (Mira JP dkk, 2008; Muller B dkk, 2007; Crain MC dkk, 2010).

Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering receptor expressed on myeloid cell-1 (TREM-1). Beberapa biomarker lain yang masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain:


(27)

copeptin, kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Crain MC dkk, 2010; Chalmers JD dkk, 2009). Saat ini, PCT dikenal sebagai biomarker yang manfaatnya menjanjikan. Konsentrasi PCT yang hanya meningkat pada infeksi bakteri dan tetap rendah pada infeksi virus membuat biomarker ini banyak digunakan untuk penyakit seperti sepsis, meningitis dan pneumonia. Tampaknya PCT dapat sebagai faktor prognosis pada keadaan sepsis dan pneumonia (Hendlund J dkk, 2000; Masia M dkk, 2005).

2.2. Procalcitonin

Procalcitonin adalah prohormon calcitonin, berupa peptida yang terdiri atas 116 asam amino (Gambar 2.1.1) yang dilepaskan oleh sel C tiroid dalam keadaan normal dan konsentrasinya sangat rendah (<0,05 ng/ml) (Cairns C, 2010), dengan alat yang paling sensitif didapatkan nilai: 0,033± 0,003 (Kosanke R dkk, 2008). Pada infeksi mikroba akan terjadi peningkatan ekspresi gen CALC-I yang menyebabkan lepasnya PCT dari seluruh sel parenkim dan sel-sel yang terdiferensiasi di hati maupun sel-sel mononuclear (Summah H dkk, 2009; Chastre J dkk, 2006). Pelepasan mediator inflamasi PCT dapat diinduksi melalui 2 proses, antara lain (Cairns C, 2010) :

1. Terlepasnya toksin yang ada di dalam mikroba (endotoksin)

2. Respon immunitas selluler yang diperantarai oleh sitokin pro inflamasi seperti: Interleukin 1b, Interleukin 6 dan TNF-alpha.

Sumber : Tannafos, 2008


(28)

PCT merupakan molekul yang dianggap sebagai bentuk primitif dari pertahanan bakterial yang bekerja sebelum sistem immun yang lebih efektif bekerja (Cairns C, 2010). Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa keadaan seperti trauma, pembedahan, syok kardiogenik, luka bakar, sindroma distress pernapasan, infeksi, nekrosis setelah pankreatitis akut dan reaksi penolakan jaringan pada transplantasi dapat meningkatkan kadar PCT (Summah H dkk, 2009; Maier M dkk, 2009; Jung DY dkk, 2008).

PCT akan meningkat setelah 2-3 jam induksi dari endotoksin. Kadarnya kemudian terus naik secara cepat hingga menjadi ratusan nanogram per ml pada sepsis berat dan syok sepsis, mencapai plateau pada 6 – 12 jam. PCT akan terus meningkat dan menetap dalam 48 jam lalu turun ke nilai normal dalam 2 hari jika pengobatan berhasil dan ini menunjukkan prognosis yang baik. Jika kadar PCT terus meningkat dan tidak turun menunjukkan kegagalan terapi. Waktu paruh dari PCT sekitar 20 – 24 jam. Namun dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Pada gangguan ginjal waktu paruh dapat memanjang hingga 35 jam (Cairns C, 2010).

Rendahnya kadar PCT tidak selalu meniadakan infeksi bakteri. Keadaan false negative ini dapat disebabkan oleh, antara lain: tahap awal infeksi, infeksi terlokalisir, endokarditis infeksi subakut, infeksi oleh kuman atipikal (terutama kuman intraselluler) (Cairns C, 2010).

Peningkatan kadar PCT pada infeksi bakteri lebih tinggi dibanding infeksi parasit (cth: Plasmodiumsp), beberapa jenis jamur meskipun mikroorganisme ini juga merangsang makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi. Berbagai studi telah menyimpulkan bahwa PCT jarang sekali meningkat pada keadaan murni infeksi virus. Keadaan ini diakibatkan oleh rangsangan virus terhadap makrofag akan menghasilkan interferon gamma (IFN-gamma) yang kemudian akan menghambat sintesa tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha). TNF-alpha merupakan salah satu mediator inflamasi yang merangsang pelepasan PCT. Studi oleh Moulin dkk dan Holm A dkk mendapatkan peningkatan kadar PCT pada pasien pneumonia dengan kuman Streptococcus pneumonia dan Hemophilus Influenzae baik pada anak-anak maupun dewasa. Ingram dkk mendapatkan kenaikan PCT yang tidak tinggi pada pasien yang terinfeksi H1N1 (Gilbert DN dkk, 2010; Aabenhus R dkk, 2011).


(29)

Telah dikenal beberapa jenis pemeriksaan komersil PCT, seperti ILMA (immunoluminometric assay/ LIA; sensitifitas 0,3 ng/ml)

Dengan bervariasinya teknik maupun alat dalam mengukur PCT maka penting untuk mengetahui uji apa yang digunakan sebelum interpretasi hasil dilakukan. Penggunaan PCT-Q, dengan nilai ambang terendah 0,5 ng/ml, angka ini masih 10 kali lipat dari nilai normal PCT dan cukup banyak pasien dengan infeksi ringan yang tidak terdeteksi. Demikian juga dengan PCT-ILMA/ LIA, hasilnya tidak dapat dipercaya jika nilai billirubin dan trigliserida sangat tinggi. Saat ini, VIDAS PCT dengan mampu mendeteksi nilai PCT terendah 0,09 ng/ml dan PCT KRYPTOR dan Elecsys merupakan uji yang paling sensitif dan akurat (Schuetz P dkk, 2011).

(Cairns C, 2010), BRAHMS PCT-Q (sensitifitas 0,5 ng/ml) (Muller B dkk, 2007; Schuetz P dkk, 2011), VIDAS BRAHMS PCT (sensitifitas 0,09) (Cairns C, 2010; Schuetz P dkk, 2011), BRAHMS PCT KRYPTOR (rentang 0,02 – 5000 ng/ml) (Muller B dkk, 2007; Irwin AD dkk, 2011), Elecsys BRAHMS PCT (rentang 0,02–100 ng/ml) (Irwin AD dkk, 2011) yang menggunakan alat berbeda-beda namun dengan metode deteksi yang sama sandwich principle. Pada pemeriksaan ini, antibodi pertama akan berikatan secara spesifik dengan katalcin dan terikat di suatu coated tube (tabung yang dilapisi) sedangkan antibodi kedua akan berikatan dengan terminal dari molekul calcitonin. Antibodi kedua ini akan dilabel dengan

luminescent tracer dan akan berikatan dengan tabung yang sudah mengikat CCP-I (calcitonin peptide-I). Pengukuran kadar PCT selanjutnya dilakukan dengan luminometer yang akan menerima signal dari antibodi yang terikat

luminescent tracer. Teknik pengukuran yang berlapis ini disebut metode sandwich

(Schuetz P dkk, 2011).

Sebelum memilih alat uji perlu diperhitungkan kondisi klinis yang dihadapi seperti :

a. Fokus infeksi

Infeksi saluran nafas, meningitis, infeksi intra abdomen, pankreatitis, dll. Setiap fokus infeksi memiliki perbedaan nilai PCT yang diharapkan. Infeksi yang sifatnya terlokalisir umumnya juga menghasilkan nilai PCT yang lebih rendah (Cairns C, 2010; Schuetz P dkk, 2011).


(30)

b. Immunosupresi

Infeksi bakterial pada penderita HIV akan meningkatkan kadar PCT, namun nilainya tidak akan meningkat tajam dibanding pasien dengan HIV negative (Cairns C, 2010; Schuetz P dkk, 2011). Penggunaan steroid tampaknya tidak mempengaruhi PCT (Cairns C, 2010).

c. Usia

Pada periode neonatus kadar PCT akan sangat tinggi. Pada anak-anak batasan kadar PCT belum jelas. Terdapat beberapa bukti bahwa kadar PCT rendah pada usia lanjut (Cairns C, 2010; Schuetz P dkk, 2011).

2.3. Peran PCT dalam Diagnostik

Dalam hal diagnostik, peran PCT sudah sangat jelas. Studi yang membandingkan PCT dengan CRP dalam membedakan proses infeksi dan inflamasi menunjukkan keunggulan PCT dengan sensitivitas (85% Vs 78%) dan spesifisitas (83% Vs 60%). PCT juga lebih sensitif dalam membedakan infeksi bakteri dengan infeksi virus (Crain MC dkk, 2010). Simon dkk, dalam studinya secara tegas menyimpulkan bahwa dengan nilai cut off PCT < 0,25 ng/ml maka PK berat sudah dapat disingkirkan (Crain MC dkk, 2006; Crain MC dkk, 2010; Simon L dkk, 2004).

Sejak Pasteur dan Sternberg berhasil mengkultur pneumococcus dari darah pada tahun 1881 dan Christian Gram berhasil mewarnainya 5 tahun kemudian, dalam diagnosis pneumonia juga dibutuhkan pembuktian kuman sehingga pengobatan dapat berdasarkan kuman penyebab (Gilbert DN, 2010). Hingga saat ini, meskipun fasilitas identifikasi kuman yang sudah maju, sebanyak 70 % pasien yang terdiagnosis pneumonia komunitas dari radiologik tidak dijumpai kuman penyebab. Keadaan ini selanjutnya akan mempersulit keputusan klinisi untuk memulai antibiotik. Dalam keadaan ini studi oleh Christ Crain dkk memberi batasan kadar PCT ≥ 0,25 ng/ml mengindikasikan penyebab bakterial dan dapat dimulai pemberian antimikroba (Summah H dkk, 2009; Gilbert DN, 2010) (gambar 2.3.1.).


(31)

Bagaimana interpretasi kadar PCT dihubungkan dengan mikrobiologi klinik dapat dilihat pada tabel 2.4.1. Studi ini menggunakan kultur darah/sputum, pemeriksaan antigen Streptococcus pneumonia dan Legionella pneumophila

hingga multiple reverse transcription-Polymerese Chain Reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi etiologi kuman. Pada tabel ini terdapat 7 kemungkinan dengan interpretasinya. Kemungkinan kedua (baris ke-2) menunjukkan kenaikan kadar PCT tanpa dijumpai adanya kuman. Kondisi ini menunjukkan adanya respon immunitas innate terhadap patogen yang tidak dapat dideteksi oleh modalitas yang ada. Sedangkan adanya meskipun bakteri didapatkan belum dapat dipastikan bahwa kuman itu bersifat patogen atau invasif karena PCT akan meningkat dalam keadaan rangsangan immun yang tidak dipicu oleh kuman komensal/ tidak bersifat pathogen (Gilbert DN, 2010).

Tabel 2.3.1. Aplikasi Kadar PCT Dalam Interpretasi Kuman pada Pasien Infeksi Saluran Nafas Bagian Bawah

Tampaknya penelitian ini tidak memperhitungkan kemungkinan adanya kuman-kuman yang tidak akan meningkatkan kadar PCT seperti mycoplasma pneumonia yang bisa saja tidak terdeteksi dengan uji mikrobiologi (Aabenhus R dkk, 2011).

Sumber : Journal of Clinical Microbiology, 2010

Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006


(32)

2.4. PCT dalam Menentukan Prognostik

Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic, dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT dengan nilai skor PSI (Lim WS dkk, 2009). Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, melibatkan 2.000 penderita PK yang diketahui dari klinis dan radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama. Juga dilakukan stratifikasi derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index dan CURB-65. Hasilnya, didapatkan juga kadar PCT< 0,1 ng/ml memiliki angka kematian hari ke-30 dan ke-90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada grup IV atau V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65 ≥ 3. Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik, kadar PCT lebih baik dibandingkan daripada PSI dan CURB-65 (clinical scoring systems) (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007).

Pada studi Jean dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah (PSI, kelas I-II), PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakterial dibanding non-bakterial. Pada penderita dengan PSI tinggi (PSI, kelas III-IV) PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding diagnostik (Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007; Querol-Ribeller JM dkk, 2004). Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan antara PCT dengan skor prognostik seperti PSI dan CURB-65 mendorong Kruger dkk, melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CRB-65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di sarana kesehatan primer. Pada studi ini didapati kadar PCT ≤ 0,228 ng/ml pada awal pasien masuk memiliki risiko kematian yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh Christ Crains dkk (≤ 0,25 ng/ml) (Querol-Ribelles JM dkk, 2004). Dalam suatu studi retrospektif mendapatkan


(33)

kadar PCT > 1,5 ng/ml pada pasien PK yang terinfeksi Legionella memiliki risiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU yang tinggi (Schuetz P dkk, 2009).

Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, lekosit dengan PCT dalam menilai risiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang selama, tidak dijumpai rentang (range) yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar (Schuetz P dkk, 2009).

Peran PCT sebagai prognostik tidak hanya pada PK. Di Indonesia, C. Martin Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan

Lipopolysaccharide-Binding Protein (LBP) sebagai prognostik pasien dengan

ventilator associated pneumonia (VAP) yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT lebih sensitif dibanding LBP (80 – 81,3 % Vs 60 – 73 %) dalam menentukan kematian pasien VAP, akan tetapi keduanya memiliki spesifisitas yang rendah (25 – 30 %). Disimpulkan bahwa peningkatan PCT dapat menjadi petunjuk adanya respon tubuh terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan oleh sel alveoli tipe 2 lebih menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5–96,3 % dengan spesifisitas 53,2– 66,7 % untuk menentukan prognostik pasien VAP (Rumende CM dkk, 2006).

2.5. Skor Klinis Pneumonia

Meskipun sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko kematian pada PK telah ada dan dipakai secara luas seperti PSI, PORT sistem CURB 65, namun sistem tersebut terlalu rumit untuk digunakan dalam praktek sehari-hari sehingga diperlukan biomarker yang potensial dapat memberikan informasi mengenai prognosis yang setara dengan sistem skoring yang telah ada (Mikaeilli H dkk, 2009; Crain MC dkk, 2010).

Penilaian derajat keparahan pneumonia merupakan komponen penting dalam tatalaksana PK. Hal ini membuat munculnya berbagai sistem skoring PSI, CURB-65, modified ATS (m-ATS) dsb. Beberapa studi di Amerika Serikat dan Inggris telah mengeksplorasi berbagai faktor yang dapat memprediksi kematian


(34)

pada pasien rawat inap dengan PK, skor CURB-65 dan PSI adalah sistem penilaian yang paling umum digunakan untuk memprediksi mortalitas (Mandell LA dkk, 2007).

2.6. Skor CURB-65

CURB-65, juga dikenal sebagai CURB kriteria, merupakan aturan prediksi klinis yang telah divalidasi untuk memprediksi kematian pada pneumonia komunitas (Lim WS dkk,2009). Skor CURB-65 (Tabel 2.6.1.) diperkenal oleh

British Thoracic Society (BTS) pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan risiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori skor kematian rendah dimana skor 0= 0,7% dan skor 1= 3,2%. Skor 2= 13% masuk kategori risiko kematian sedang dan skor >3 masuk dalam skor kematian tinggi (3= 17%, 4= 41,5% dan 5= 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan CURB-65 (Singanayagam A dkk, 2009; Mandell LA dkk, 2007).

Tabel 2.6.1. Skor CURB-65

Clinical Factor Points

C Confusion 1

U Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dl 1

R Respiratory rate > or = 30 breaths/ min 1

B Systolic BP < 90 mm Hg or Diastolic < or = 60 mm Hg 1

65 Age > or 65 1

Total Score

Mortality %

Risk Level Suggested Site-of-Care

0 0,6% Low Outpatient

1 2,7% Low Outpatient

2 6,8% Moderate Short inpatient / supervised outpatient

3 14,0% Moderate to High Inpatient

4 or 5 27,8% High Inpatient / ICU


(35)

Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor CRB-65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69 – 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayagam A dkk, 2009; Bont J dkk, 2008).

2.7. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas

Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10% dari penderita harus dirawat di ICU (intensive care unit). Pada PK yang dirawat jalan mortalitas sebesar diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Nayak SB dkk, 2010).

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ. (Purba DB, 2010).

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsisdibawah ini:

- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah positif.


(36)

- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan berikut :

1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC

2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)

3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau netrofil batang > 10%

- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.

- Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.

- Syok sepsis : Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.

- Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan darah normal pasien.

- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis (Purba, 2010; Carol dkk, 2003).

Dremsizov, dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang didapat antara lain bahwa 50 % dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ (Rosner MH dkk, 2009).

Dalam Infectious Disease Society of American (IDSA) dan American Thoracic Society Guidlines (ATS, 2007) menunjukkan bahwa penyebab PK terbanyak disebabkan bakteri Gram positif oleh kuman Streptococcus Pneumonia. Sedangkan kuman patogen penyebab PK lainnya mencakup Hemophilus Influenza, Mycoplasma Pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae, Staphylococcus


(37)

Aureus, Streptococcus Pyogenes, Neisseria Meningitides, Moraxella Catarrhalis, Klebsiella Pneumoniae, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya.

Menurut British Thoracic Society Guidlines (BTS, 2009) menyatakan bahwa kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus Pneumonia dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma Pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara,

Streptococcus Pneumonia juga paling sering ditemukan kemudian diikuti

Chlamydia Pneumoniae dan bakteri gram negatif (Wattanathum dkk, 2003).

Di Cina kuman patogen Streptococcus Pneumoniae paling banyak ditemukan lalu kuman-kuman lainnya seperti Mycoplasma Pneumoniae dan H Influenza (Huang HH dkk, 2006). Begitu juga di Jepang, Streptococcus Pneumonia paling umum ditemukan dan diikuti oleh H Influenza (Saito A dkk, 2006). Penelitian PK rawat inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan Streptococcus Pneumoniae sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella Pneumoniae (Dahlan Z, 2009)

2.9. Kultur Darah

Kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai. Jika diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK ringan tanpa komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur darah dapat membantu untuk mengidentifikasi bakteremia dan patogen resisten, dimana kuman Streptococcus Pneumoniae menjadi patogen yang paling umum yang diidentifikasi (BTS, 2009).

ATS dan IDSA merekomendasikan indikasi kuat untuk kultur darah pada PK berat. Pasien dengan PK berat lebih mungkin terinfeksi dengan kuman patogen selain Streptococcus Pneumoniaee,termasuk Staphylococcus Aureus, PseudomonasAeruginosa, dan gram-negatif lainnya. Kultur darah yang positif pada Pneumonia hanya pada 5-16% kasus.Dimana kuman patogen yang paling umum ditemukan adalah Streptococcus Pneumoniae (ATS, 2007).


(38)

Christ-Crain M dkk (2006) medapatkan bahwa adanya bakteri patogen di dalam darah (bloodstream infection/ BSI) erat kaitannya terhadap tingginya mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini disebabkan terlambatnya pemberian antibiotik yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk. Umumnya antibiotik diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata (demam dan leukositosis), yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika harus menunggu hasil kultur akan memperpanjang masa penundaan pemberian antibiotik.


(39)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum timbulnya gejala ataupun dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Dahlan Z dkk, 2009).

3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di tingkat primer maupun sekunder (Singanayagam dkk, 2009).

3.2.3. Procalcitonin adalah suatu precursor calcitonin yang mengandung 116 asam amino dan dihasilkan oleh sel C dari kelenjar tiroid dengan kadar kosentrasi yang sangat rendah pada orang sehat ( <0,1ng/ml) (Kosanke R dkk, 2008).

Penderita Pneumonia Komunitas

Derajat Keparahan Pneumonia Pada Awal Masuk Rumah Sakit

Procalcitonin

Jumlah Kematian 30

Hari

Hubungan (?)


(40)

3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor CURB- 65 menurut acuan BTS (British Thoracic Society) 2009, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini (Lim WS dkk, 2009) :

1. Konfusio/Confusion : gangguan kesadaran yang baru terjadi atau adanya abnormalitas skor mental.

2. Urea : > 7 mmol/l ; > 20 mg/dl.

3. Laju pernapasan/Respiratory rate : ≥ 30x/menit.

4. Tekanan darah/ Blood Pressure: adanya tekanan darah rendah (sistolik ≤ 90 mmHg dan atau diastolik ≤ 60 mmHg) 5. Umur/Age≥ 65 tahun.

Rentang nilai pada skor di atas adalah 0- 5 dimana setiap kriteria bernilai satu.

Untuk penilaian konfusio dapat dibantu dengan skor mental yang telah disesuaikan dengan pengetahuan di Indonesia.

Skor Mental (disesuaikan) 1. Berapa usia anda?

2. Kapan tanggal lahir anda?

3. Jam berapa saat ini?( tidak perlu menitnya) 4. Tahun berapa saat ini?

5. Apa nama Rumah Sakit yang anda datangi ini ?

6. Mengenal 2 orang ( contoh: dokter, perawat, anggota keluarga)

7. Alamat rumah saudara?

8. Menghitung mundur angka 20 sampai 1 9. Siapa nama Presiden Indonesia saat ini? 10.Tahun berapa Indonesia merdeka?

Setiap pertanyaan bernilai 1 dan jika nilai yang didapat ≤ 8, maka dapat ditegakkan adanya konfusio pada penderita PK.


(41)

BAB IV

BAHAN DAN METODE

4.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah cohort study yang bersifat prospektif.

4.2. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011 s/d Maret 2013 di Instalasi Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap dan Poliklinik Pulmonologi dan Alergi Immunologi RS H. Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan.

4.3. Subjek Penelitian

Penderita Pneumonia Komunitas yang dirawat inap maupun rawat jalan di Rumah Sakit H. Adam Malik .

4.4. Kriteria Inklusi

1. Usia di atas 18 tahun

2. Gambaran klinis dan radiologik sesuai dengan diagnosis pneumonia.

3. Bersedia mengikuti penelitian.

4.5. Kriteria Eksklusi

1. Pasien pindahan dari rumah sakit lain.

2. Baru pulang dari rumah sakit 10 hari yang lalu. 3. Menderita pneumonia dalam 30 hari terakhir. 4. Menggunakan ventilasi mekanik.

5. Pasien dengan fibrosis kistik paru maupun tuberkulosis paru yang aktif.

6. Pasien HIV, alkoholisme dan adanya kerusakan organ lanjut ( end-organ damage)


(42)

4.6. Besar Sampel

Studi ini menggunakan sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu populasi.

Dan perkiraan besar sampel : (Zα√P0Q0 + Zβ√PaQa)2 = ( Po – Pa)

1,96√0,198 x 0,802 + 1,036√0,398x 0,602 2

(0,2) = 51,4≈ 52 orang.

2

Dimana: Zα: deviat baku untuk α = 0,05 : 1,96 Zβ : deviat baku untuk β= 0,10: 1,036 Pa: Proporsi sekarang : 0,398

Qa= 1 – Pa= 1- 0,398= 0,602 Po: Proposi terdahulu : 0,198 *

Qo= 1- Po = 1- 0,198= 0,802 Keterangan: *Christ Crain dkk, 2006 (13)

4.7. Cara Kerja

a. Seluruh pasien yang didiagnosis menderita pneumonia komunitas dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi. Setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, ureum, creatinin, procalcitonin , kultur sputum dan kultur darah.

b. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor CURB-65. Jika subjek memiliki skor 0-2 maka disebut ringan

-sedang dan jika berada pada skor 3-5 disebut berat.

c. Kadar procalcitonin diukur menggunakan metode

electrochemiluminescence immunoassay (ECLIA) dengan reagen kit Elecsys BRAHMS PCT dan dengan alat cobas 6000.


(43)

4.7.1. Pengambilan sampel darah

• Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan dispossible syringe 10 cc yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk pemeriksaan PCT Pengambilan sampel darah dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel darahnya dalam waktu 24 jam. Dan pada saat pengambilan sampel darah , pasien dalam posisi berbaring.

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan alat Cell Dyne 3700 dan morfologi darah tepi diidentifikasi dari blood film dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan Laju Endap Darah dilakukan dengan cara Westergren.

4.7.2. Teknik Pemeriksaan PCT

Prinsip tes : Sandwich principle. Total durasi pemeriksaan: 18 menit.

 Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30uL), suatu antibody spesifik PCT

biotinylated monoclonal dan suatu antibody spesifik monoklonal yang di label dengan kompleks ruthenium dan bereaksi membentuk kompleks sandwich.

 Inkubasi 2 : Setelah penambahan mikropartikel yang dilapisi streptavidin, kompleks akan menjadi berikatan ke solid phase melalui interaksi dari biotin dan streptavidin

 Campuran reaksi diaspirasi kedalam masuring cell dimana mikropartikel ditangkap secara magnetic ke permukaan elektroda. Substansi yang tidak berikatan kemudian dipindahkan dengan Procell. Aplikasi voltase terhadap elektroda akan menginduksi emisi


(44)

 Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan instrument spesifik oleh 2-point calibration dan suatu kurva master yang disediakan melalui barcode reagen.

 Berdasarkan kadar procalcitonin subjek penelitian akan dibagi menjadi 4 kelas yaitu:

Klas I : PCT < 0,1 ng/ml Klas II : 0,1≤ PCT <0,25 ng/ml Klas III: 0,25≤ PCT <0,5 ng/ml Klas IV: PCT ≥ 0,5 ng/ml

Selanjutnya akan dicari hubungan kadar PCT dengan jumlah kematian 30 hari menggunakan Chi-Square test

4.7.3. Kultur Darah dan GAL dengan BACTEC 9050

Prinsip Pemeriksaan: Membiakkan dan menginokulasikan bakteri yang terdapat pada sampel darah pada media agar. Jika terdapat pertumbuhan koloni bakteri, dilakukan identifikasi dan selanjutnya dilakukan uji kepekaan.

Metode: Kultur : Sampel

 Jenis : Darah

 Volum : 8-10 ml (untuk pasien dewasa), 1-3 ml (untuk pasien anak)

 Stabilitas: 24 Jam pada suhu ruang pada media Bactec plus Aerobic

Langkah Kerja • Persiapan • Prosedur Kerja Penanganan Sampel

- Disinfeksi penutup botol dengan kapas alkohol 70%

- Dengan menggunakan spuilt, masukkan 8-10 ml (untuk pasien dewasa) darah ke dalam botol Bactec Plus Aerobic atau 1-3 ml (untuk pasien anak) darah ke dalam botol Bactec Peds Plus.

- Masukkan botol ke alat Bactec 9050 - Inkubasi botol fan aerobic selama 5 hari - Keluarkan botol dari alat Bactec 9050


(45)

Inokulasi Sampel

- Dengan menggunakan spuit, ambil 1 ml sampel dari botol yang menunjukan hasil positif kemudian ratakan dengan ose (dilakukan secara aseptis) pada permukaan media agar.

- Inkubasi pada suhu 37o

- Lakukan pewarnaan Gram, identifikasi dan atau uji kepekaan terhadap koloni tersangka

C selama 18-24 jam.

Catatan : untuk kultur Gal, lakukan konfirmasi dengan test serologi anti sera terhadap salmonela.

4.7.4. Kultur sputum

o Satu ose bahan sputum ditanam ke media padat blood agar dan Mc Conkey, masukkan ke inkubator 37 C selama 24 jam.

o Dibaca dan dilihat pertumbuhan bakterinya, jika tumbuh dibuat direct smear dan dilakukan pengecatan gram.

o Bahan yang tumbuh di Mc Conkey agar, dilanjutkan ke reaksi biokimia untuk dimasukkan lagi ke inkubator selama 24 jam dan dibaca serta ditentukan jenis kumannya.

o Kalau hanya tumbuh pada blood agar, langsung dibaca dan ditentukan jenis kumannya.

d. Selanjutnya skor CURB-65 yang didapat akan dicari hubungannya dengan kadar PCT.

4.8. Analisa Data

 Untuk melihat gambaran karasteristik dan kadar PCT pada subjek PK disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

 Untuk melihat hubungan kadar PCT berdasarkan tingkatannya terhadap derajat keparahan PK dengan skor CURB-65 digunakan uji Chi square, jika tidak memenuhi syarat maka digunakan

Kolmogorov smirnov dan jika tidak memenuhi digunakan korelasi

spearman.

 Untuk melihat hubungan kadar procalcitonin terhadap variabel lain digunakan digunakan korelasi pearson untuk data yang


(46)

berdistribusi normal, sedangkan untuk data distribusi tidak normal digunakan korelasi spearman

 Untuk menilai perbedaan rerata pada dua kelompok digunakan uji t independent atau Uji Mann-Whitney.

 Untuk menilai hubungan PCT dengan jumlah lekosit digunakan

Fischer exact test.

 Analisa data menggunakan program SPSS 15 for windows

 Untuk semua uji statistik p < 0,05 dianggap bermakna dalam statistik.

4.9. Ethical Clearence dan informed consent

Ethical clearence (izin untuk melakukan penelitian) diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP (K) pada tanggal 1 Juli 2011 dengan nomor 102/KOMET/FK USU/2011.

Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang bersedia untuk ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.

4.10. Kerangka Operasional

Penderita Pneumonia komunitas

Kriteria Inklusi

Kriteria Eksklusi

• Nama • Umur • Jenis

Kelamin

• Darah lengkap

• Ureum, creatinin

• Kultur sputum

• Kultur darah

Jumlah Kematian Dalam 30 Hari Skor CURB-65 Kadar


(47)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Selama periode penelitian (Juli 2011 s/d Maret 2013) di Instalasi gawat darurat dan ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik dan RS Pirngadi Medan, diperoleh 57 subjek penelitian dengan pneumonia komunitas yang memenuhi kriteria penelitian. Subjek penelitian terdiri dari 32 orang wanita (56.1%) dan 25 orang pria (43.9%) dengan rerata umur (±SD) yaitu 52.39 ± 14.09 tahun. Rerata tanda vital yaitu TDS 110.88 ± 18.06 dan TDD 70.53 ± 11.09 mmHg. Untuk hasil laboratorium didapatkan rerata nilai hemoglobin (Hb) yaitu 9.99 ± 2.63 gr/dl, rerata leukosit 14387.06 ± 5081.71/mm3

Rerata PCT 8.78 ± 17.87 ng/dl, yang terdiri dari 12 subjek (21.1%) memiliki kadar PCT < 0.1 ng/ml, 4 subjek (7.0%) dengan kadar 0,1ng/ml ≤ PCT < 0,25 ng/ml, 1 subjek (1.8%) 0,25 ng/ml ≤ PCT < 0,5 ng/ml dan 40 subjek (70.2%) ≥ 0,5 ng/ml. Untuk Skor CURB-65 didapatkan rerata 1.95 ± 1.54 yang terdiri dari 11 subjek (19.3%) dengan skor 0, 18 subjek (31.6%) dengan skor 1, 6 subjek (10.5%) dengan skor 2, 9 subjek (15.8%) dengan skor 3, 11 subjek (19.3%) dengan skor 4 dan 2 subjek (3.5%) dengan skor 5.

dan rerata ureum 47.88 ± 54.18 mg/dl.

Dari 31 subjek (54.3%) dengan kultur sputum yang positif, dijumpai 20 subjek (64.5%) dengan Klebsiela pneumonia, 9 subjek (29.03%) dengan

Streptococcus pneumonia, 2 subjek (6.45%) dengan Streptococcus viridans,

sedangkan dari 20 subjek (35.08%) yang dilakukan kultur darah, hanya 3 subjek (5.3%) yang kultur darahnya positif dengan kuman yang terdeteksi

Pseudomonas sp, Staphylococcus epidermidis dan Klebsiella pneumonia.

Dari ketiga kuman yang terdeteksi dalam kultur darah hanya satu kuman yang sesuai dengan kultur sputum yang diperoleh. Dari 57 subjek yang diikuti selama 30 hari didapatkan sebanyak 20 subjek (35.1%) yang meninggal dan 37 subjek (64.9%) yang hidup (Tabel 5.1.1).


(48)

Tabel 5.1.1 Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas Variabel Pneumonia Komunitas Jenis Kelamin (n);(%)

- Pria

- Wanita

25 (43.9%) 32 (56.1%) Umur (tahun) (± SD) 52.39 ± 14.09 Tanda Vital (± SD)

- Tekanan darah sistolik(mmHg)

- Tekanan darah diastolik(mmHg)

- HR (kali/menit)

- RR (kali/menit)

- Temperatur ( Celcius)

110.88 ± 18.06 70.53 ± 11.09 95.04 ± 10.32 28.02 ± 3.98 37.26 ± 0.82 Laboratorium

- Hemoglobin (gr/dl) (± SD)

- Leukosit ( /mm3)

- Ureum (mg/dl) (± SD) (± SD)

- PCT n (%)

- I (<0,1ng/ml)

- II (0,1ng/ml≤PCT<0,25ng/ml)

- III (0,25ng/ml≤PCT<0,5ng/ml)

- IV (PCT≥ 0,5 ng/ml)

9.99 ± 2.63 14387.06 ± 5081.71

47.88 ± 54.18 12 (21.1 %)

4 (7.0%) 1 (1.8%) 40 (70.2%) Skor CURB-65 n : (%)

0 1 2 3 4 5 11 (19.3%) 18 (31.6%) 6 (10.5%) 9 (15.8%) 11 (19.3%) 2 (3.5%) Kultur dahak Positif Negatif Kultur darah Positif Negatif 31(54.3%) 26(45.7%) 3(5.3%) 17(29.8%)

Kematian 30 hari n : (%) Hidup Mati

37 (64.9%) 20 (35.1%)


(49)

Tabel 5.1.2. Hubungan Procalcitonin terhadap skor CURB-65*

Procalcitonin

ng/ml Jumlah

Skor CURB-65

Total

0-2 (ringan-sedang) N (%)

3-5 (berat) N(%)

< 0,1 12 12(34.3%) 0(0%) 12(21.1%)

0,1 - 0,25 4 4(11.4%) 0(0%) 4(7.0%)

0,25 - 0,5 1 1(2.9%) 0(0%) 1(1.8%)

≥ 0,5 40 18(31.6%) 22(38.6%) 40(70.2%)

Total 57 35(61.4%) 22(38.6%) 57(100%)

*Korelasi Pearson p=0,002

Dari tabel diatas terlihat, jika dihubungkan kadar PCT dengan CURB-65 maka didapati pada kadar PCT < 0.1 ng/ml, dijumpai 12 subjek (34.3%) dengan skor CURB-65 ringan-sedang dan tidak ada subjek dengan skor CURB-65 yang berat, demikian juga pada kadar PCT 0.1 – 0.24 ng/ml dijumpai 4 subjek (11.4%) dengan skor CURB-65 ringan-sedang, kadar 0.25 – 0.49 ng/ml dijumpai 1 subjek (2.9%) dengan skor CURB-65 ringan-sedang, dan pada kedua kelompok tersebut juga tidak ada subjek dengan skor CURB-65 yang berat. Sedangkan pada kadar PCT > 0.5 ng/ml dijumpai 40 subjek (70.2%), dimana 18 subjek (31.6%) pada skor CURB-65 ringan-sedang dan 22 subjek (38.6%) dengan skor CURB-65 yang berat. Semakin berat skor CURB-65 maka kadar PCT juga semakin tinggi dan berbeda signifikan secara statistik (Tabel 5.1.2).


(50)

Tabel 5.1.3. Hubungan procalcitonin terhadap skor CURB-65 dengan *kematian 30 hari

PCT (ng/ml)

Skor CURB-65

Total 0-2 (ringan-sedang)

n (%)

3-5 (berat) n (%) PCT < 0,25

Hidup 15 (93.8 %) - 15(93.8 %) Mati 1(6.3%) - 1(6.3%) PCT ≥ 0,25

Hidup 17 (41.5%) 5(12.2%) 22(53.7%) Mati 2(4.9%) 17(41.9%) 19(46.3%) Total 35 (61.4%) 22(38.6) 57(100%)

*Chi-Square Test p=0,0001

Jika di hubungkan kadar PCT dan CURB-65 dengan kematian 30 hari dimana pada kadar PCT0.25 ng/ml, dijumpai 2 subjek (4.9%) yang meninggal dengan skor CURB-65 ringan-sedang dan 17 subjek (46.3%) yang meninggal pada skor CURB-65 berat. Sedangkan pada kadar PCT < 0.25 ng/ml, dijumpai 1 subjek (6.3%) yang meninggal dengan skor CURB-65 ringan-sedang dan tidak ada subjek yang masuk pada skor CURB-65 yang berat.

Semakin tinggi kadar PCT maka semakin tinggi skor CURB-65, yang diikuti oleh jumlah angka kematian yang meningkat dengan total jumlah kematian 30 hari sebanyak 20 subjek penelitian (47.5%) dan berbeda signifikan secara statistik (Tabel 5.1.3).


(51)

Tabel 5.1.4. Korelasi antara nadi, laju pernafasan, ureum dan leukosit dengan Procalcitonin

Variabel PCT

Nadi r = 0.247

p< 0.06

Laju Pernafasan r = 0.482** p< 0.001

Ureum r = 0.346**

p< 0,008

Lekosit r = 0.033

p< 0.805 * Korelasi spearman p = 0.001

Tidak semua variabel yang diukur memiliki distribusi data yang normal seperti variabel tekanan darah diastolik, leukosit, ureum, creatinin dan PCT. Setelah dilakukan uji spearman (tabel 5.1.4) diperoleh korelasi antara nadi, laju pernafasan dan kadar ureum dengan kadar PCT (p < 0,05) dan tidak dijumpai hubungan kadar PCT dengan jumlah leukosit (Tabel 5.1.4).

5.2. Pembahasan

Penilaian derajat keparahan penyakit merupakan salah satu langkah awal dalam menentukan rencana manajemen setelah menegakkan diagnosis. Kunci manajemen PK yang aman dan efesien adalah kemampuan untuk memprediksi pasien yang akan membaik atau justru akan mengalami perburukan (Huang DT dkk, 2008). Dalam hal ini, telah banyak sistem skoring klinis yang diuji manfaatnya, antara lain seperti skor CURB-65 (AUC: 0,73-0,83) maupun CRB-65 (AUC:0,69-0,78) telah tervalidasi untuk memprediksi kematian dalam 30 hari dan cukup sederhana untuk diterapkan (Singanayagam A dkk, 2009).Hubungan antara biomarker terhadap derajat keparahan penyakit dalam beberapa studi masih kontroversi. Kadar PCT normal adalah indikator bahwa risiko mortalitas rendah pada penderita PK meskipun skor klinis berada pada tingkat PK berat (Huang DT dkk, 2008; Mira JP dkk, 2008).


(52)

Pada studi ini kami mencari hubungan PCT dengan skor CURB-65 saat awal pasien masuk rumah sakit terhadap jumlah kematian 30 hari. Ditemukan pertambahan proporsi subjek dengan kadar PCT tinggi yang sejalan dengan memberatnya skor CURB-65 dan pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kadar PCT pada saat awal masuk pada pasien PK dengan kematian 30 hari, dimana semakin tinggi kadar PCT maka skor CURB-65 juga semakin berat dan jumlah kematian 30 hari semakin tinggi serta dapat memprediksi tingkat keparahan dan outcome dari PK dengan akurasi yang sama dengan skor CURB-65. Selain itu, semakin buruk prognosis penderita PK maka semakin tinggi kadar PCT yang diperoleh dan keadaan ini sudah dapat diperkirakan sejak awal pasien dirawat. Pada hasil penelitian ini untuk kematian 30 hari pada kadar PCT ≥ 0,25 ng/ml dengan skor CURB-65 ringan-sedang sebanyak 2 subjek (4.9%) dan pada skor CURB-65 yang berat sebanyak 17 subjek (41.9%). Sedangkan pada kadar PCT < 0.25 ng/ml dengan skor CURB-65 ringan-sedang sebanyak 1 subjek (6.3%) dan tidak ada subjek yang masuk kedalam kriteria skor CURB-65 yang berat.

Dan studi ini sejalan dengan studi yang di lakukan oleh Kruger dkk bahwasanya PCT dapat memprediksikan resiko kematian dari CAP terhadap semua kelompok CRB-65 dengan hasil kadar PCT dapat memprediksikan keparahan CAP dengan akurasi prognostik yang sama dengan CRB-65 serta memiliki akurasi prognostik yang lebih tinggi dibandingkan dengan CRP dan hitung leukosit, sehingga bisa dijadikan panduan terbaru untuk penanganan CAP berdasarkan tingkat keparahan pneumonia sebagai point awal terhadap pengambilan keputusan pengobatan yang penting seperti perawatan dan pilihan pemberian antimikroba (Kruger S dkk, 2008).

Pada penelitian ini, analisa dilakukan pada 57 subjek dan keseluruhan jumlah kematian 30 hari adalah 20 subjek (35.1%). Dan pada studi ini juga di dapatkan rerata kadar PCT dengan jumlah kematian 30 hari, dimana kadar rerata PCT pada subjek yang hidup adalah 3.11 ± 7.85 ng/ml, sedangkan pada subjek yang meninggal 19.26 ± 25.42 ng/ml (p=0.001). Studi ini merupakan penegasan dari studi Kruger, dkk yang mendapatkan hubungan antara PCT dengan skor CRB-65 saat pasien awal pasien PK masuk rumah sakit dengan jumlah kematian


(53)

28 hari (Kruger S dkk, 2008). Penelitian ini juga mempertegas hasil dari penelitian sebelumnya, bahwasanya PCT merupakan prediktor yang baik terhadap tingkat keparahan PK, dimana pasien dengan skor CURB-65 yang lebih tinggi mempunyai kadar PCT yang lebih tinggi, yang berbeda hanyalah bahwa jumlah hitung leukosit tidak berkorelasi terhadap parahnya penyakit.

Pada studi ini didapatkan kuat hubungan sesungguhnya antara PCT dan skor CURB-65, dimana kuat hubungan sesungguhnya antar PCT dan SKOR curb-65 sebesar 35.8% dengan R linear 0.358. Pada studi ini juga didapati sebanyak 27 orang (47.4%) subjek dengan sepsis. Peningkatan kadar PCT pada subjek penderita PK yang sepsis (13.0563 ± 23.2255 ng/dl) dibanding non sepsis (4.9360 ± 10.0363 ng/dl), hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata kadar PCT pada pasien sepsis dengan non sepsis.

Penelitian oleh Purba, dkk yang bertujuan mencari hubungan PCT terhadap sepsis dan derajatnya, menyimpulkan adanya perbedaan rerata PCT yang signifikan antara penderita sepsis dan non-sepsis (18,44 ± 27,60 Vs 1,33±1,50) dengan p=0,007. Temuan pada studi ini juga membandingkan rerata kadar PCT antara subjek dengan critical ill (sepsis) dan non-sepsis. Terlihat bahwa nilai dasar PCT yang berbeda antara kedua kondisi ini yang artinya parameter klinis yang digunakan dalam mendiagnosis sepsis ada hubungannya dengan naik turunnya kadar PCT. Meskipun perbedaan kedua rerata ini tidak signifikan (p=0,067), beberapa parameter sepsis seperti lekosit (r=0,288), nadi (r=0,307) dan laju pernafasan (r=0,382) memiliki korelasi yang signifikan dengan kadar PCT. Kondisi ini memberi keyakinan bahwa kadar PCT akan meningkat sesuai dengan keparahan PK dan meskipun sederhana, parameter klinis dapat digunakan dalam menilai perbaikan dan perburukan PK (Purba DB dkk, 2010).

Dikenal beberapa kondisi yang membuat nilai PCT positif palsu, seperti infeksi jamur yang invasif, plasmodium, tumor paru sel kecil, dan lain-lain (Cairns C, 2010). Oleh karena itu pada penelitian ini juga menelusuri kultur sputum dan kultur darah untuk mendapatkan kuman penyebab. Hanya 31 subjek (54.3%) dari 57 subjek berhasil didapatkan kultur sputum dengan 3 kuman yang terdeteksi yaitu Klebsiella pneumonia, Streptococcus pneumonia dan


(1)

VII. KARYA ILMIAH DI DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

1. Junita, E.N.Keliat, Alwinsyah Abidin. In Oral Presentation. Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Skor CURB-65. National Congresss-XII of Indonesian Respirology Society in conjunction with Makassar Respiratory Scientific Meeting-III, Grand Clarion Hotel Makassar, 25 -27 Mei 2012. Pemenang kedua presentasi oral.

2. Junita, Elias Tarigan, Leonardo B Dairi, Lukman Hakim Zain. Melanosis

Colli. Laporan Kasus. Kongres Nasional XV Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XV) Medan 2012, Hotel Grand Aston, 12 - 15 Desember 2012.

VIII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta Simposium “Achieving Ambitious Glycaemic Target in Diabetes : Stepwise Intensification of Insulin Treatment from Basal to Basal Plus/ Bolus). Medan, 12 Juli 2009.

2. Peserta Simposium “Early Insulin inisiation, how, when and what insulin according to daily practice need. Medan, 21 November 2009.

3. Peserta Simposium “Update On Wound Management”, Hotel JW Mariott, Medan, 16 Oktober 2010.

4. Peserta Simposium “Update on Diabetes Management and Medical Nutrition Therapy”, Hotel Grand Aston, 17 April 2010.

5. Peserta Workshop Hepatitis Kronik, Gastroentero-Hepatologi Update VIII 2010, Convention Hall Hotel Danau Toba Medan, 21 Oktober 2010

6. Peserta Workshop Perdarahan Saluran Cerna, Gastroentero-Hepatologi Update VIII 2010, Convention Hall Hotel Danau Toba Medan, 21 Oktober 2010.

7. Peserta Workshop Ascites, Gastroentero-Hepatologi Update VIII 2010, Convention Hall Hotel Danau Toba Medan, 21 Oktober 2010.

8. Peserta Seminar “Current Management in Internal Medicine” dan Workshop Ultrasonography. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XI 2010.


(2)

9. Peserta Simposium “ New Advance in Treatment of Type 2 Diabetes”. Medan, 18 Juli 2010.

10. Panitia Simposium “Clinical Rheumatology in Daily Practice”, Rheumatology Update 2010. Medan, 31 Juli - 01Agustus 2010.

11. Peserta Simposium “Clinical Rheumatology in Daily Practice”, Rheumatology Update 2010. Medan, 31 Juli - 01Agustus 2010.

12.Peserta Simposium “Hiperglicemia of patients with diabetes mellitus in clinical practice”. Medan, 28 November 2010.

13.Peserta Pelatihan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan FK USU Seminar “New Trends in Vaccination And Infection Control”. Ruang Seminar FK USU, 15 Januari 2011

14.Peserta Pelatihan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan FK USU Workshop Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Ruang Seminar FK USU, 15 Januari 2011.

15.Peserta Seminar Hepatitis Update. Ruang Seminar FK USU, 23 Februari 2011.

16.Peserta Pelatihan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan Ultrasonografi Tahap Pertama bagi Spesialis dan PPDS Penyakit Dalam. Departemen Penyakit Dalam FK USU dan PUSKI. Medan, 21-24 Maret 2011.

17.Panitia Simposium dan Workshop PIT XII 2011 Penyakit Dalam, Pertemuan Ilmiah Nasional PERPARI. Medan 28-30 April 2011.

18.Peserta Simposium PIT XII 2011 Penyakit Dalam, Pertemuan Ilmiah Nasional PERPARI. Medan 28-30 April 2011.

19.Peserta Workshop “Nutritional Problems in Critical Ill Patients”. PIT XII 2011 Penyakit Dalam, Pertemuan Ilmiah Nasional PERPARI. Medan 28-30 April 2011.

20.Peserta Workshop “Insulin In Daily Practice”. PIT XII 2011 Penyakit Dalam, Pertemuan Ilmiah Nasional PERPARI. Medan 28-30 April 2011. 21.Peserta Simposium “ The Future Management Cardiovascular


(3)

22.Peserta Workshop “Management Acute Coronary Syndrome”. The 6th

23.Peserta Workshop “Management Acute and Chronic Heart Failure”. The 6

NTCM. Medan 23-25 Juni 2011.

th

24.Peserta Simposium “The Future Management Cardiovascular Management”. The 6

NTCM. Medan 23-25 Juni 2011.

th

25.Peserta Simposium “Achieving Ambitious Glycaemic Target in Diabetes : Stepwise Treatment From Sulfonilurea to Insulin Initiation & Intensification (Basal and Basal Plus). Perkeni Sumut. Medan, 3 Juli 2011.

New Trend in Cardiovascular Management (NTCM). Departemen Kardiologi dan Vaskular Medicine. Medan, 23 – 25 Juni 2011.

26.Peserta Workshop Penyuntikan Intraartikuler. Rheumatology Update 2011. Medan, 07 Juli 2011.

27.Panitia Rheumatologi Update Departemen Penyakit Dalam FK USU, Medan 9-10 juli 2011.

28.Peserta Seminar Sehari Lymphoma Update : Deteksi Dini dan Penatalaksanaan. Medan, 16 Juli 2011.

29.Peserta Seminar Update. Gedung Abdul Hakim, HUT FK USU ke 59, Sabtu, 30 Juli 2011.

30.Peserta Seminar Update. HUT FK USU Ke-59. Medan, 30 Juli 2011. 31.Peserta Workshop “Course Cum Workshop on Hypertension for Clinical

Practice”. Medan 10 September 2011.

32.Peserta Roadshow “Medskup Cardio-Workshop Gastroentero-Hepatology & Infection-Immunology”, Grand Aston City Hall Medan, 8 Oktober 2011.

33.Peserta Workshop Ascites Gastroentero-hepatologi Update IX 2011, PPHI-PGI-PEGI- Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 03-05 November 2011.

34.Peserta Workshop Hepatitis B dan C Gastroentero-hepatologi Update IX 2011, PPHI-PGI-PEGI- Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 03-05 November 2011


(4)

35.Peserta Workshop Ensefalopati Hepatik Gastroentero-hepatologi Update IX 2011, PPHI-PGI-PEGI- Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 03-05 November 2011.

36.Peserta Simposium Perdarahan Saluran Cerna, Gastroentero-Hepatologi Update IX 2010, Convention Hall Hotel Danau Toba Medan, 4-5 November 2011.

37.Panitia Pelatihan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan Ultrasonografi Tahap kedua bagi Spesialis dan PPDS Penyakit Dalam. Departemen Penyakit Dalam FK USU dan PUSKI. Medan, 8-10 November 2011.

38.Peserta Mini Symposium “Patophysiology and Recent Management of Chronic Constipation and Acute Diarrhea”. Medan, 13 November 2011. 39.Peserta Simposium “ Pathogenesis, Prevention and Management Diabetic

Vascular Complications”. Medan, 20 Nopember 2011.

40.Peserta Round Table Discussion “Modifikasi Penggunaan Ekstrak Bahan Alami untuk Pengobatan Tukak Lambung”. Hotel JW Marriot Medan, 3 Desember 2011.

41.Peserta Simposium dan Workshop Head CT Scan “Clinical and Radiology Approach of Stroke and Head Injury”. Gedung Abdul Hakim FK USU Medan, 17 Desember 2011.

42.Peserta Simposium dan “The Management of Stroke Prevention: Current Updates”. IDI Wilayah Medan, 5 Februari 2012.

43.Peserta Simposium “Cancer Pain Management”. Hotel Grand Aston Medan, 10 Maret 2012.

44.Panitia Simposium dan Workshop “Diabetes Update for Excellent”. Hotel JW Marriot Medan, 17 Maret 2012.

45.Peserta Simposium “Diabetes Update for Excellent”. Hotel JW Marriot Medan, 17 Maret 2012.

46.Peserta Workshop “Diabetes Update for Excellent”. Hotel JW Marriot Medan, 17 Maret 2012.


(5)

47.Peserta Pelatihan Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan FK USU Seminar “Management of Diagnostic Approach of Malaria”. Gedung Abdul Hakim FK USU, 3 Maret 2012.

48.Peserta Seminar dan Workshop on Managing Metabolic Syndrome “ Good Doctor for The Perfect Metabolism”. Santika Dyandra Hotel, 14 April 2012.

49.Pembicara Makalah Hasil Penelitian pada Kongres Nasional PERPARI XII di Makassar 25-27 Mei 2012. ( Juara 2 Presentasi Oral)

50.Peserta Workshop Infection Update V Diagnostik dan Manajemen Terkini di Bidang Penyakit Dalam, Fokus Pada Infeksi. Medan, 6-8 Juni 2012. 51.Peserta Simposium Infection Update V Diagnostik dan Manajemen

Terkini di Bidang Penyakit Dalam, Fokus Pada Infeksi . Medan, 6-8 Juni 2012.

52.Peserta dan Presenter Poster Kongres Nasional XV Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XV) Medan, 12 - 15 Desember 2012.

53.Peserta Workshop Terapi Insulin Kongres Nasional XV Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI XV) Medan, 12 - 15 Desember 2012.

54.Peserta Simposium The 5th Endocrinology & Diabetes of Sumatera Region (FEDS-5) Theme : “The Endocrine-Metabolic Disease : Present and Future”. Hotel JW Marriot Medan, 22-23 Februari 2013.


(6)