Persepsi Lelaki Seks Lelaki (LSL) tentang HIV AIDS dan VCT dalam Peningkatan Demand pada Pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Need terhadap Pelayanan Kesehatan
Need (kebutuhan) adalah keinginan masyarakat untuk memperoleh dan
mengkonsumsi barang dan jasa yang dibedakan menjadi keinginan yang disertai
kemampuan untuk membeli barang dan jasa dan keinginan yang tidak disertai
kemampuan untuk membeli barang dan jasa (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).
Kebutuhan seseorang terhadap pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang
subjektif, karena merupakan wujud dari masalah-masalah kesehatan yang ada di
masyarakat yang tercermin dari gambaran pola penyakit. Dengan demikian untuk
menentukan perkembangan need terhadap pelayanan kesehatan dapat mengacu
pada perkembangan pola penyakit di masyarakat.
Need terhadap pelayanan kesehatan dapat didasari kepada pengertian
tentang merit goods. Margolis (1982) dalam Tjiptoherijanto dan Soesetyo (2008)
mengatakan merit goods ini adalah setiap bentuk pengeluaran masyarakat yang
nampaknya secara umum dapat dipahami akan tetapi sulit untuk diperhitungkan
dengan menggunakan teori permintaan yang biasa. Diargumentasikan bahwa need
terhadap pelayanan kesehatan merupakan fungsi dari need terhadap kesehatannya
sendiri, dengan didasari oleh pengalaman masa lalunya.
Pembahasan mengenai need yang perlu digaris bawahi adalah bahwa tidak
seluruh need akan dapat dipenuhi, dengan demikian akan terdapat sebuah ranking
need dalam pengertian ceteris paribus. Kita akan lebih memilih satu need untuk
dipenuhi dibanding need yang lain, bila need yang dipilih tadi akan memberikan
manfaat yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dipilih tetapi
Universitas Sumatera Utara
14
15
kemungkinan untuk memenuhi suatu need merupakan fungsi dari biaya dan
manfaat yang terkandung dibelakangnya.
Need bukan merupakan sesuatu yang absolut maupun terbatas. Need
adalah sesuatu yang dinamis dan cenderung untuk terus tumbuh bersama dengan
berjalannya waktu dan dalam kasus ini pertumbuhan need tersebut akan bisa
dilihat merupakan sebagian dari perkembangan penawaran fasilitas pelayanan
kesehatan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).
Konsep need merangkum beberapa penilaian efektifitas, potensi untuk
mempertimbangkan berbagai cara untuk memenuhi need (dengan segala akibat
yang ditimbulkannya) dan pengakuan akan adanya keterbatasan sumber daya serta
dapat juga merupakan bentuk dasar bagi alokasi sumber daya.
Pada umumnya akan lebih baik untuk memasukkan sekaligus need ketika
melakukan pengujian beroperasinya suatu pelayanan kesehatan tertentu.
Mengingat need dapat memberikan dasar yang cukup bagi pengambilan
keputusan yang tepat. Alokasi sumber daya sektor kesehatan tetap kurang efisien
tanpa adanya beberapa koreksi yang menyangkut, pertama penyatuan kesepakatan
tentang benefits value yang sering masih berbeda antara satu orang dan yang
kedua menyangkut informasi yang benar tentang segi biayanya.
Bidang social policy pada umumnya dan pelayanan kesehatan khususnya,
masyarakat sering dikatakan berada dalam keadaan membutuhkan ( in need),
namun seringkali apa yang dimaksud dengan need tidak jelas. Bradshaw
mengatakan ada empat definisi yang berbeda mengenai need yang lazim
digunakan oleh peneliti dan praktisi social policy, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
16
a. Normative Need terjadi manakala masyarakat memiliki standar pelayanan
kesehatan yang berada di bawah definisi desirable oleh para ahli. (standar
desirable disini bisa saja bervariasi antara satu ahli dengan yang lain).
Kebutuhan ini dipengaruhi faktor nilai, lingkungan sosial, dan hukum.
b. Felt/Perceived Need terjadi manakala masyarakat menghendaki pelayanan
kesehatan (sesuai kebutuhan yang dirasakan), hal ini berkaitan dengan persepsi
perorangan tentang pelayanan kesehatan, sehingga dengan jelas akan berbeda
dengan persepsi orang lainnya.
c. Expressed Need adalah need yang dirasakan tadi kemudian dikonversikan ke
dalam permintaan pelayanan. Misalnya mencari pelayanan kesehatan ke dokter
puskesmas (permintaan disini tidak harus selalu seperti apa yang didefinisikan
oleh para ekonom yang mencakup persoalan wiilingness to pay dan ability to
pay terhadap pelayanan kesehatan). Expressed Need biasanya disebut Demand
atau permintaan yang efektif.
d. Comparative Need terjadi manakala satu kelompok orang di masyarakat
dengan status kesehatan tertentu tidak mendapatkan pelayanan kesehatan
sedangkan kelompok yang lain dengan status kesehatan yang identik itu
ternyata mendapatkan pelayanan kesehatan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo,
2008).
2.2 Demand (Permintaan)
2.2.1 Demand Kesehatan
Dalam membahas konsep demand sektor kesehatan perlu ada pembedaan
mengenai demand for health dan demand for health care . Hal ini penting
Universitas Sumatera Utara
17
mengingat terdapat berbagai hal dalam sektor kesehatan yang berbeda dengan
sektor lainnya.
Dalam pemikiran rasional, semua orang ingin menjadi sehat. Kesehatan
merupakan modal untuk bekerja dan hidup mengembangkan keturunan, sehingga
timbul keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup manusia. Demand untuk
menjadi sehat tidak sama antar manusia. Seseorang yang kebutuhan hidupnya
sangat tergantung pada kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih
tinggi akan status kesehatannya.
Pendekatan ekonomi menekankan bahwa kesehatan merupakan suatu
modal untuk bekerja. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu input dalam
proses menghasilkan hari-hari sehat. Dengan berbasis pada konsep produksi,
pelayanan kesehatan merupakan salah satu input yang digunakan untuk proses
produksi yang akan menghasilkan kesehatan. Demand terhadap pelayanan
kesehatan tergantung terhadap demand akan kesehatan (Trisnantoro, 2009).
Grossman (1972) menggunakan teori modal manusia (human capital)
untuk menggambarkan demand untuk kesehatan dan demand untuk pelayanan
kesehatan. Dalam teori ini disebutkan bahwa seseorang melakukan investasi untuk
bekerja dan menghasilkan uang melalui pendidikan, pelatihan dan kesehatan.
Grossman menguraikan demand untuk kesehatan memiliki beberapa hal yang
membedakan dengan pendekatan tradisional demand dalam sektor lain
(Trisnantoro, 2009) :
Universitas Sumatera Utara
18
1. Yang diinginkan masyarakat atau konsumen adalah kesehatan bukan pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan derived demand sebagai input
untuk menghasilkan kesehatan.
2. Masyarakat tidak membeli kesehatan dari pasar secara pasif. Masyarakat
menghasilkannya, menggunakan waktu untuk mengusahakan peningkatan
kesehatan, disamping menggunakan pelayanan kesehatan.
3. Kesehatan dapat dianggap sebagai bahan investasi karena tahan lama dan tidak
terdepresiasi dengan segera.
4. Kesehatan dapat dianggap sebagai bahan konsumsi sekaligus sebagai bahan
investasi.
Untuk lebih memahami demand terhadap kesehatan
dapat dilakukan
dengan memahami pengertian tentang keinginan ( wants), permintaan (demand)
dan kebutuhan (needs), sebagaimana digambarkan model dari Cooper yang
dikutip oleh Trisnantoro (2009) di bawah ini :
Keinginan seseorang untuk menjadi lebih sehat dalam
hidup.
Keinginan ini didasarkan pada penilaian diri terhadap status
Keinginan
(Wants)
Keinginan untuk lebih sehat diwujudkan dalam perilaku
mencari pertolongan tenaga kedokteran
Permintaan
(Demands)
Keadaan kesehatan yang oleh tenaga kedokteran dinyatakan
harus mendapatkan penanganan medis
Kebutuhan
(Needs)
Gambar 2.1 Konsep Keinginan (Wants), Permintaan (Demand), dan
Kebutuhan (Needs)
Secara umum keadaan demand dan need pelayanan kesehatan dapat
dilukiskan sebagai fenomena gunung es, dimana demand yang benar merupakan
bagian dari need. Need akan pelayanan kesehatan berwujud sebagai gunung es,
Universitas Sumatera Utara
19
yang sedikit puncaknya terlihat sebagai demand. Sedikit tersebut bersifat variatif.
Pada negara maju, puncak gunung es akan terlihat lebih besar dibanding negara
yang miskin (Trisnantoro, 2009).
2.2.2 Demand Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan pendapat Grossman yang dikutip oleh Tjiptoherijanto dan
Soesetyo (2008) bahwa konsumen sebenarnya mempunyai cukup informasi yang
memungkinkannya melakukan pemilihan kondisi kesehatannya secara rasional
baik pada masa sekarang maupun mendatang. Teorinya mendasar kepada
argumentasi bahwa permintaan seseorang akan pelayanan kesehatan diderivasikan
dari persepsinya akan tingkat (Level) kesehatannya sendiri yang optimal.
Menurut Tjiptoherijanto dan Soesetyo (2008) menyatakan bahwa terdapat
dua pendekatan yang digunakan untuk membahas permintaan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan, yaitu:
a. The Agency Relationship atau Supplier Induced Demand Model.
Pendekatan ini mengatakan bahwa peranan pasien sangat kecil dibanding
petugas kesehatan dalam membentuk permintaan pelayanan kesehatan. Salah satu
cara untuk melakukan penggabungan permintaan dan kebutuhan ialah dengan
menggunakan pendekatan agency relationship (hubungan keagenan), dimana
dalam pendekatan ini dokter bertindak sebagai agen bagi pasien yang kurang
mempunyai informasi tentang segala sesuatu yang menyangkut pelayanan
kesehatan. Kejadian ini disebabkan oleh sifat komoditi pelayanan kesehatan yang
akhirnya mengacu kepada situasi dimana dokterlah yang secara aktif bertindak
untuk melakukan permintaan.
Universitas Sumatera Utara
20
Untuk menunjang hubungan tersebut secara efisien menurut Artells dalam
Tjiptoherijanto dan Soesetyo (2008), diperlukan tiga kelompok informasi, yakni:
pengetahuan dasar medis untuk melakukan penilaian status kesehatan dan
perawatan yang tersedia, keterangan tentang keadaan pasien (symptom dan
keadaan lingkungan), serta informasi tentang penilaian pasien mengenai penyakit
yang dideritanya.
b. Investment Model oleh Grossman (1972)
Model Grossman mengatakan bahwa pasien memiliki informasi dan
kebebasan dalam menentukan permintaannya terhadap pelayanan kesehatan.
Model ini mengasumsikan bahwa masing-masing individu melakukan penilaian
manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan dalam rangka memutuskan status
kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan
dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Dalam hal ini pasien diasumsikan
mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya, sehingga permintaan akan
pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh pasien itu sendiri (Tjiptoherijanto dan
Soesetyo, 2008).
2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Demand Pelayanan Kesehatan
Hakekat dasar penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah untuk
memenuhi kebutuhan dan permintaan para pemakai jasa pelayanan kesehatan
terhadap kesehatan sedemikian rupa sehingga kesehatan para pemakai jasa
pelayanan kesehatan tersebut tetap terpelihara. Pelayanan kesehatan dapat
dikategorikan sempurna bila memenuhi kebutuhan dan tuntutan setiap konsumen
Universitas Sumatera Utara
21
yang terkait dengan timbulnya rasa puas terhadap pelayanan kesehatan (Azwar,
1996).
Menurut Fuchs (1998), Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Trisnantoro
(2009), faktor-faktor di bawah ini memengaruhi demand pelayanan kesehatan
antara lain:
1) Kebutuhuan berbasis Fisiologis
Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis, menekankan pentingnya
keputusan
petugas
medis
yang
menentukan
perlu
tidaknya
seseorang
mendapatkan pelayanan medis. Keputusan ini akan memengaruhi penilaian
seseorang akan status kesehatannya. Berdasarkan situasi ini, demand terhadap
pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi.
2) Penilaian Pribadi akan Status Kesehatan
Secara sosio-antropologis, penilaian pribadi akan status kesehatan
dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di masyarakat.
Disamping itu, masalah persepsi mengenai resiko sakit merupakan hal penting
sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat sangat memperhatikan status
kesehatannya, sebagian lain, tidak memperhatikannya.
3) Variabel-variabel Ekonomi
Hubungan tarif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan adalah
negatif. Semakin tinggi tarif, maka demand akan semakin rendah. Pada keadaan
yang membutuhkan penanganan medis segera, faktor tarif, mungkin tidak
berperan dalam memengaruhi demand, sehingga elastisitas harga bersifat
Universitas Sumatera Utara
22
inelastis. Sebagai contoh: operasi segera akibat kecelakaan lalu lintas, apabila
tidak ditolong segera, korban dapat meninggal dunia atau cacat seumur hidup.
4) Penghasilan Masyarakat
Kenaikan penghasilan keluarga akan meningkatkan demand untuk
pelayanan kesehatan. Untuk pelayanan kesehatan yang bersifat barang inferior,
adanya kenaikan penghasilan masyarakat, akan menyebabkan penurunan
konsumsi. Hal ini terjadi pada rumah sakit/puskesmas di berbagai kota/kabupaten.
5) Asuransi Kesehatan dan Jaminan Kesehatan
Adanya asuransi dan jaminan kesehatan dapat meningkatkan demand
terhadap pelayanan kesehatan. Asuransi kesehatan bersifat mengurangi efek faktor
tarif sebagai hambatan. Semakin banyak penduduk yang tercakup oleh asuransi,
maka demand akan pelayanan kesehatan semakin tinggi. Peningkatan demand ini
dipengaruhi pula oleh faktor moral hazard . Seseorang yang tercakup oleh asuransi
kesehatan akan terdorong menggunakan pelayanan sebanyak-banyaknya.
6) Variabel-variabel Demografis dan Umur
Faktor umur sangat memengaruhi demand terhadap pelayanan preventif
dan kuratif. Semakin tua seseorang, akan meningkatkan demandnya terhadap
pelayanan kuratif, sementara demand terhadap pelayanan kesehatan preventif
akan menurun.
7) Jenis Kelamin
Demand wanita terhadap pelayanan kesehatan lebih tinggi dibanding laki-
laki. Kondisi ini karena dua hal. Pertama, wanita mempunyai insidensi penyakit
yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Kedua, karena angka kerja wanita lebih
Universitas Sumatera Utara
23
rendah, sehingga kesediaan untuk meluangkan waktu untuk pelayanan kesehatan
lebih besar dibanding laki-laki. Pada kasus darurat, perbedaan ini tidak nyata.
8) Pendidikan
Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang
lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran
status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan.
9) Faktor-faktor lain
Berbagai faktor lain yang memengaruhi demand pelayanan kesehatan
yaitu pengiklanan, tersedianya dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta
inflasi. Iklan merupakan faktor yang sangat lazim digunakan dalam bisnis
komoditas ekonomi untuk meningkatkan demand. Pelayanan kesehatan tradisional
seperti para tabib, dukun dan pengobatan alternatif sudah lazim melakukan iklan
di surat kabar dan majalah. Berbagai rumah sakit di Indonesia, telah
memperhatikan faktor pengiklanan sebagai salah satu cara peningkatan demand.
Tersedianya dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan merupakan faktor lain yang
meningkatkan demand. Efek inflasi terhadap demand terjadi melalui perubahanperubahan pada tarif pelayanan rumah sakit, jumlah relatif pendapatan keluarga
dan asuransi kesehatan (Trisnantoro, 2009).
Menurut Notoatmodjo (2003), beberapa faktor yang memengaruhi tingkat
permintaan pelayanan kesehatan seperti pendapat yang dikemukakan Andersen
menyimpulkan bahwa ada delapan kategori model penggunaan pelayanan
kesehatan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
24
1) Model Demografi (Kependudukan)
Dalam model ini tipe variabel-variabel yang dipakai adalah umur, jenis
kelamin, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga. Asumsi penggunaan
pelayanan kesehatan sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel demografi
tersebut. Karakteristik demografi ini juga mencerminkan atau berhubungan
dengan karakteristik tipe dan ciri sosial
2) Model Struktur Sosial (Sosial Structur Models)
Pemanfaatan pelayanan model ini didominasi oleh faktor pendidikan,
pekerjaan dan kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan sosial
dan individu atau keluarga di dalam masyarakat. Mereka mengingatkan akan
berbagai gaya kehidupan yang diperlihatkan dari kedudukan sosial tertentu
(Notoatmodjo, 2009). Penggunaan pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek
dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik dan psikologis.
Pendekatan struktur sosial didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dengan
latar belakang struktur sosial yang bertentangan akan menggunakan pelayanan
kesehatan dengan cara yang tertentu pula.
3) Model Sosial Psikologis (Psychological Models)
Tipe variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan
individu. Variabel-variabel sosiopsikologis pada umumnya terdiri dari empat
kategori, yaitu: pengertian kerentanan terhadap penyakit, pengertian keseluruhan
dari penyakit, keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan dalam
menghadapi penyakit, serta kesiapan tindakan individu.
Universitas Sumatera Utara
25
4) Model Sumber Keluarga (Family Resouce Models)
Variabel yang dipakai adalah pendapatan keluarga, cakupan asuransi
keluarga, dan pihak yang membiayai pelayanan kesehatan keluarga dan
sebagainya. Karakteristik ini untuk mengukur kesanggupan dari individu atau
keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan mereka.
5) Model Sumber Daya Masyarakat
Tipe yang digunakan adalah penyediaan pelayanan kesehatan dan sumbersumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan kesehatan yang
tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model ini memindahkan
pelayanan kesehatan dari tingkat individu atau keluarga ke tingkat masyarakat.
6) Model Organisasi
Variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk
sistem pelayanan kesehatan, seperti : gaya praktik pengobatan (sendiri, rekanan
atau grup), Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak),
letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik), petugas kesehatan
yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat, asisten dokter).
7) Model Kepercayaan Kesehatan (The Health Belief Models)
Model ini sebagai suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis.
Munculnya model ini didasarkan pada problem-problem kesehatan ditandai oleh
kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha pencegahan
dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini
akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behavior ) oleh Becker (1974) yang dikembangkan dari teori
Universitas Sumatera Utara
26
Lewin (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjadi model kepercayaan kesehatan
(health belief model).
Ada empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan seseorang
apabila bertindak melawan atau mengobati penyakitnya, yaitu :
a. Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia
harus merasakan bahwa ia rentan (suceptible) terhadap penyakit tersebut.
b. Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness)
Tindakan seseorang untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan
didorong pula oleh persepsi keseriusan atau beratnya penyakit tersebut.
c. Manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefits and baririers )
Apabila seseorang merasa dirinya rentan terhadap penyakit-penyakit yang
dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan
tersebut tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang
ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat
tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin
ditemukan di dalam tindakan tersebut. persepsi manfaat ini juga berhubungan
dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan tersebut mungkin
dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari
kelompoknya. Persepsi rintangan berupa persepsi aspek negatif seperti biaya
dan pengalaman tidak menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
27
d. Isyarat atau tanda-tanda (Cues)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,
kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang
berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut misalnya, pesan-pesan
media massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain
dari si sakit, dan sebagainya.
8) Model Sistem Kesehatan (Health System Model)
Anderson menggambarkan model sistem kesehatan berupa model
kepercayaan kesehatan. Dalam model ini terdapat tiga kategori utama dalam
pelayanan kesehatan, yaitu:
a. Karakteristik predisposisi (Predisposing characterictics)
Masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan
karakteristik pasien yag telah ada sebelum timbulnya episode sakit. Karakteristik
ini meliputi: ciri demografi (umur, jenis kelamin), struktur sosial (pendidikan,
pekerjaan, suku, ras), dan kepercayaan tentang kesehatan (sikap dan kemampuan
petugas, fasilitas kesehatan, pengetahuan dan nilai terhadap penyakit).
b. Karakteristik pendukung (Enabling characterisrics)
Faktor yang menunjukkan kemampuan individu dalam menggunakan
pelayanan kesehatan, yang ditunjukkan oleh variabel sumber pendapatan dan
asuransi kesehatan keluarga, serta aksesibilitas sarana pelayanan kesehatan. Bila
faktor ini terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada pada saat sakit.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Karakteristik Kebutuhan (Need characteristics)
Faktor yang menunjukkan kemampuan individu untuk menggunakan
pelayanan kesehatan yang ditunjukkan dengan adanya kebutuhan karena alasan
yang kuat seperti penyakit yang dirasakan serta adanya jawaban atas penyakit
tersebut dengan cara mencari pelayanan kesehatan. Kebutuhan merupakan dasar
stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat
predisposing dan enabling itu ada.
Kebutuhan diukur dengan perceived need (kebutuhan yang dirasakan) dan
”evaluated need (kebutuhan dari diagnisis klinis) melalui jumlah hari individu
tidak bisa bekerja, gejala yang dialaminya, penilaian individu tentang status
kesehatannya.
Menurut Fauriza (2014), salah satu faktor dalam karakteristik predisposisi
yang menentukan perilaku dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah
kepercayaan tentang kesehatan (health beliefs model ). Kepercayaan tentang
kesehatan terkait dengan aspek persepsi, sikap dan pengetahuan tentang penyakit
dan pelayanan kesehatan. Intinya, perilaku pada saat mengalami gejala penyakit
dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit
dan keyakinannya terhadap nilai manfaat dari suatu tindakan kesehatan.
2.3 Persepsi
2.3.1 Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan salah satu faktor psikologis yang memengaruhi
konsumen dalam pembelian suatu barang/jasa. Menurut Wiratno dalam Trimurthy
(2008) menyatakan persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami
Universitas Sumatera Utara
29
oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungan baik lewat
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk
memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan
penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar
terhadap situasi.
Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses yang ditempuh individu untuk
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera yang dimiliki agar
memberikan makna bagi lingkungan (Robbins, 2001).
Persepsi dinyatakan sebagai proses menafsir sensasi-sensasi dan
memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas masingmasing orang memandang realitas dari sudut perspektif yang berbeda. Persepsi
dapat diartikan juga sebagai proses seorang individu memilih, mengorganisasi dan
menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambar
yang bermakna tentang dunia.
Menurut Rakhmat (2012), pengorganisasian stimuli dengan cara melihat
konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima tidak lengkap dapat pula diisi
dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsikan.
Persepsi dapat terjadi dengan dimulainya proses pengamatan, sedangkan
pengamatan dapat dilaksanakan apabila muncul suatu stimuli. Pada tahap stimuli
maka proses seleksi dan pengorganisasian akan berinteraksi dengan interpretasi
dan closure.
Universitas Sumatera Utara
30
2.3.2 Reaksi Persepsi terhadap Stimulus
Menurut Sudjana dalam Bukit (2010), reaksi persepsi terhadap suatu
stimulus (ransangan) dapat terjadi dalam bentuk :
1. Reciving/attending, yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dari luar
dalam bentuk masalah, situasi, gejala. Dalam tipe ini termasuk kesadaran
keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala atau ransangan
luar.
2. Responding (Jawaban), yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap
stimulus yang datang dari luar, hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan,
keputusan dalam menjawab stimulus dari luar dirinya.
3. Valuing (Penilaian), yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap
gejala atau stimulus yang diterima, termasuk kesediaan menerima nilai, latar
belakang atau pengalaman untuk menerima nilai kesepakatan nilai tersebut.
4. Organisasi, yaitu pengembangan dan nilai ke dalam suatu sistem organisasi,
termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai
yang dimilikinya termasuk konsep tentang nilai dan organisasi sistem nilai.
5. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yaitu keterpaduan semua sistem yang
dimiliki seseorang yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya,
termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.
2.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi
Rakhmat (2012) menyatakan persepsi yang berbeda-beda timbul karena
beberapa faktor seperti ketidaktahuan, informasi yang salah, penilaian prematur,
Universitas Sumatera Utara
31
dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Rakhmat mengklasifikasikan ada dua
faktor yang memengaruhi persepsi :
1. Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lainlain yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut.
2. Faktor Struktural
Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efekefek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Jika kita
mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan,
ketikapun kita tidak melihatnya tidak secara keseluruhan maka kita yang akan
mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita
persepsi.
Sedangkat menurut pendapat Robbins (2001) menyatakan ada tiga faktor
yang memengaruhi terjadinya suatu persepsi, yaitu :
1. Pelaku persepsi
Jika seorang individu melihat suatu objek dan mencoba menafsirkan apa
yang dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi
dari pelaku persepsi individu tersebut. Adapun karakteristik pribadi yang lebih
relevan memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat,
pengalaman masa lalu dan pengharapan.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Target/Objek
Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat
memengaruhi apa yang dipersepsikan. Apa yang kita lihat bergantung bagaimana
kita memisahkan suatu bentuk dari dalam latar belakangnya yang umum. Objekobjek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersamasama, bukan secara terpisah. Faktor target mencakup hal yang baru yaitu gerakan,
bunyi, latar belakang dan kedekatan.
3. Situasi
Dalam melihat objek atau peristiwa, unsur-unsur lingkungan sekitar juga
memengaruhi persepsi. Waktu, keadaan atau tempat kerja, dan keadaan sosial
objek yang dilihat dapat memengaruhi persepsi.
Menurut Robbins (2001), faktor yang memengaruhi terjadinya suatu
persepsi secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi
2.4 HIV/AIDS
Menurut Murtiastutik (2008), AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrom) ialah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi HIV ( Human
Universitas Sumatera Utara
33
Immunodeficiency Virus). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi dua jenis
HIV: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 menyumbang sebagian besar infeksi di dunia dan
memiliki setidaknya 10 subtipe genetik. HIV-2 ditemukan terutama di Afrika
Barat, tampaknya sulit menular dan berkembang lebih lambat untuk AIDS
daripada HIV-1 (Lamptey, 2004).
HIV hanya ditularkan dari satu orang kepada yang lainnya melalui
pertukaran cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu.
Virus HIV menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4+ sehingga kekebalan
penderita rusak dan rentan terhadap berbagai infeksi. (Murtiastutik, 2008).
Ketika infeksi HIV berkembang dan menyebabkan menurunnya sistem
kekebalan tubuh si penderita, ia akan lebih rentan terkena Infeksi Opportunistik,
seperti: TB, IMS lain, Septicemia , Pneumocystis carinii, Infeksi jamur di mulut
dan tenggorokan, Meningitis, serta Sarkoma Kaposi (Lamptey, 2004).
Orang yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan gejala apapun dalam
jangka waktu yang relatif lama. Bisa terjadi 5 sampai 10 tahun setelah orang
tersebut tertular HIV, baru terlihat adanya gejala pada penderita. Masa periode
inilah disebut sebagai masa inkubasi. Selama kurun waktu tersebut, orang tertular
HIV masih tampak kelihatan sehat baik sadar maupun tidak, mereka berpotensi
sebagai sumber yang dapat menularkan HIV kepada orang lain. Oleh karena itu,
untuk mengetahui adanya HIV dalam darah seseorang, perlu dilakukan tes HIV.
Tes HIV yang paling sering dipakai adalah tes Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dengan mengambil sampel darah penderita. Tes
ELISA ini bisa mendeteksi adanya antibodi yang dihasilkan tubuh. Namun
Universitas Sumatera Utara
34
antibodi HIV sebenarnya baru muncul 2-3 bulan setelah orang tersebut terinfeksi
HIV. Jangka waktu terbentuknya antibodi ini disebut periode jendela, dan dalam
masa ini tes ELISA belum tentu menghasilkan hasil positif. Terapi untuk
pengidap HIV bisa dilakukan dengan pendampingan obat Antiretroviral Virus
(ARV) (Yatim, 2006).
Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah seseorang didiagnosis
mengidap HIV adalah penolakan dan terkejut/syok atau tidak percaya. Pasien
beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi sepanjang hidup mereka.
Apabila secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya,
jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien
terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS bahkan meningkatkan
kematian (Nursalam dan Kurniawati, 2009).
2.5 Konseling dan Test HIV (KTHIV) dan AIDS Sukarela (KTS/VCT)
2.5.1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela (KTS/VCT)
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak
terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan
HIV, memberi dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada
ODHA, keluarga, dan lingkungannya (Nursalam dan Kurniawati, 2009).
Menurut Kemenkes RI (2013), Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS)
adalah layanan tes HIV secara pasif. Pada layanan tersebut klien datang sendiri
untuk meminta dilakukan tes HIV atas berbagai alasan baik ke fasilitas kesehatan
atau layanan KTS HIV mandiri di luar institusi kesehatan yang berbasis
komunitas. Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV
Universitas Sumatera Utara
35
dari klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan
klien untuk menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV.
Landi dan Bokhari (2001) berpendapat bahwa VCT sebagai titik kunci
masuk untuk pencegahan, perawatan dan dukungan layanan untuk orang yang
hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Ini termasuk akses ke intervensi untuk
mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi; intervensi untuk mencegah Infeksi
Oportunistik (misalnya Tuberkulosis dan Profilaksis untuk infeksi lain); layanan
medis dan pendukung lainnya, serta mengurangi stigma dan diskriminasi yang
dapat membantu orang HIV positif untuk hidup lebih lama dan sehat.
KPA Sumut (2007) mendefinisikan Voluntary Counseling Test (VCT)
yaitu proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara
sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang
mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang
HIV & manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan
atas issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang
untuk mengerti & menerima status (HIV +) dan merujuk pada layanan dukungan.
Menurut Lamptey (2004), konseling HIV merupakan dialog rahasia antara
klien dan konselor bertujuan memungkinkan klien untuk mengatasi stres,
membuat keputusan pribadi dan menjadi bertanggung jawab atas tindakannya
sendiri terkait dengan HIV/AIDS. Zein (2006) mengatakan bahwa dalam proses
konseling termasuk evaluasi resiko personal penularan HIV, fasilitas pencegahan
perilaku, dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes HIV +.
Universitas Sumatera Utara
36
Konseling dan Tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
2004, yaitu dengan pendekatan atas inisiatif klien (konseling dan tes HIV sukarela
/KTS). Konseling dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Kualitas konseling perlu
dipantau dengan mentoring dan pembinaan teratur (Permenkes No.74 tahun
2014).
VCT telah menjadi alat paling penting dengan biaya efektif untuk
mencegah dan mengendalikan HIV/AIDS di berbagai negara (Landi dan Bokhari,
2001).
2.5.2 Peran Konseling dalam Tes HIV/AIDS
Menurut Kemenkes RI (2013), Layanan konseling pada tes HIV dilakukan
berdasarkan kepentingan klien/pasien baik kepada mereka yang HIV positif
maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan psikologis dan akses
untuk terapi. KTHIV harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi yang efektif. Konselor terlatih membantu klien/pasien
dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, memelajari status
dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk mengurangi perilaku berisiko serta
mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan
meningkatkan perilaku sehat.
Universitas Sumatera Utara
37
Menurut Permenkes No.74 tahun 2014, peran konseling dalam tes HIV
secara
skematis
dapat
dilihat
pada
bagan
berikut
ini.
Gambar 2.3 Bagan Peran Konseling dalam Tes HIV
Lamptey (2004) menyatakan bahwa konseling HIV memainkan dua peran
penting yaitu mencegah infeksi HIV dengan mempromosikan perubahan perilaku,
dan memberikan dukungan psikososial kepada orang-orang yang terinfeksi dan
terkena HIV.
2.5.3 Prinsip Dasar KTHIV dan AIDS
Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses
universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting to zero , yaitu zero
new HIV infection, zero discrimination , dan zero AIDS related death .
Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed
consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections to, care,
treatment and prevention services ).
a. Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan
laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah
Universitas Sumatera Utara
38
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh
petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
b. Confidentiality adalah semua isi informasi atau konseling antara klien dan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien. Menurut
UNAIDS (2002), apabila klien ingin mengijinkan mitra kerja, wakil relativitas,
teman, atau orang lain di dalam proses konseling haruslah menjadi kerahasiaan
bersama.
c. Counselling yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling
pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
d. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti
standar
pemeriksaan
HIV
nasional
yang
berlaku.
Hasil
tes
harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus
dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
Universitas Sumatera Utara
39
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan
terpantau.
Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling
dan Tes HIV (Permenkes No.74 tahun 2014).
Prinsip dasar Konseling dan Tes HIV menurut Lamptey (2004), tes HIV
harus bersifat sukarela (tes yang bersifat wajib tidak efektif dan tidak etis);
kerahasiaan harus dilindungi; Informed consent harus diperoleh meskipun
mungkin bervariasi dalam konteks dan pengaturan yang berbeda; serta dukungan
post-test dan layanan yang diperlukan bagi klien.
2.5.4 Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV
Layanan Konseling dan Tes HIV (KTHIV) diselenggarakan di fasilitas
pelayanan kesehatan. KTHIV didahului dengan dialog antara klien/pasien dan
konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang
HIV/AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan
dengan tes HIV (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Permenkes RI No.74 tahun 2014, Layanan KTHIV untuk
menegakkan diagnosis HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes
HIV secara Sukarela (KTS) dan atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan (KTIP).
Adapun alur KTS di fasilitas layanan kesehatan tergambar pada bagan berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
40
Gambar 2.4 Bagan Alur KTS di Fasilitas Kesehatan
Alur VCT menurut KPA Sumut (2007) yaitu: konseling individual pra
testing - periksa darah dengan Rapid Testing - terima hasil & konseling pasca tes konseling dukungan dan rujukan pelayanan kesehatan & manajemen kasus rujukan untuk dukungan proses yang sedang berjalan, termasuk support group.
Layanan TKHIV di fasilitas pelayanan kesehatan dapat diberikan di
berbagai tatanan di komunitas, baik dengan cara menjangkau klien potensial dan
mendorong mereka datang ke layanan, atau dengan menyelenggarakan layanan ke
tempat mereka berada (bergerak/mobile). Model layanan bergerak ini dapat
bersifat sementara tetapi dilaksanakan secara berkala/reguler di tempat komunitas
berada (Kemenkes, 2013).
Penyelenggaraan KTHIV di fasilitas kesehatan harus terintegrasi antara
lain dengan pelayanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, kesehatan remaja, IMS,
Universitas Sumatera Utara
41
TB, Hepatitis, napza dan rehabilitasi di wilayah epidemi rendah atau
terkonsentrasi. Sedangkan untuk wilayah dengan epidemi meluas, KTHIV
terintegrasi dengan seluruh layanan di fasilitas layanan kesehatan (Permenkes
No.74 tahun 2014).
Menurut Landi dan Bokhari (2001), tempat yang tepat untuk menawarkan
layanan VCT bisa dalam bentuk situs VCT yang berdiri bebas, tempat
diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer seperti ANC, tempat
diintegrasikan ke dalam layanan pemerintah dan non-pemerintah berbasis rumah
sakit dan klinik, klinik kerja, layanan kesehatan sekolah, layanan transfusi darah.
Pelayanan KTHIV secara terintegrasi maupun mandiri, dilaksanakan di
setiap fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan di
lingkungan TNI/POLRI, lapas/rutan, tempat kerja, dan yang ditujukan untuk
tenaga kerja migran (Calon TKI). Hal ini karena ada kaitannya dengan pekerjaan
atau mobilisasi dan kondisi keberadaan kelompoknya yang memiliki risiko relatif
lebih besar untuk tertular HIV (Permenkes No.74 tahun 2014).
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS
Secara Sukarela, Lokasi layanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang
jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Nama klinik
cukup mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana
pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi.
Keberadaan layanan VCT yang baik secara langsung berkaitan dengan
keberadaan sistem rujukan yang baik. Sistem rujukan harus dikembangkan dalam
konsultasi dengan LSM, organisasi berbasis masyarakat, manajemen rumah sakit,
Universitas Sumatera Utara
42
serta dengan jaringan ODHA. Sebuah sistem rujukan yang efisien akan
memungkinkan pusat VCT untuk merujuk klien yang membutuhkan perawatan
medis ke rumah sakit dan klinik. Pusat VCT juga harus merujuk klien saat
konseling HIV/AIDS berlangsung, bimbingan pangan dan gizi, perawatan di
rumah, dan dukungan sosial (Landi dan Bokhari, 2001).
2.5.5 Sasaran Penerima Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela (VCT)
Masyarakat yang datang dan mencari pelayanan VCT disebut dengan
klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan
dimana klien akan berperan aktif didalam proses konseling. Tanggung jawab klien
dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan
informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV
dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif (Depkes RI,
2006).
Menurut Lamptey (2004), konseling HIV/AIDS sering ditujukan pada
segmen yang lebih luas dari populasi seperti pada pasangan dan individu
"kelompok berisiko tinggi" misalnya: pengguna narkoba, laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, pekerja seks komersial, supir truk, dan
populasi migran. Konseling HIV juga sangat cocok untuk orang-orang yang
sedang diuji untuk IMS lain atau TB (apakah mereka terinfeksi HIV).
Klien pelayanan VCT termasuk juga pada orang yang ingin mengetahui
status HIV mereka (termasuk keluarga ODHA), pasien yang dirujuk oleh dokter
untuk diagnosis klinis, donor darah dan organ tubuh, untuk visa, asuransi atau
tujuan lain (Landi dan Bokhari, 2001). Layanan tes HIV untuk kelompok tatanan
Universitas Sumatera Utara
43
khusus juga diperlukan, seperti: di kalangan TNI/POLRI; layanan bagi WBP di
lapas/ rutan; layanan di tempat kerja (Kemenkes RI, 2013). Selain itu menurut
Zein (2006), orang yang merasa memiliki perilaku beresiko untuk tertular HIV
dan petugas kesehatan yang dalam pekerjaannya memiliki resiko untuk tertular
HIV termasuk ke dalam orang yang memerlukan VCT.
2.5.6 Sumber Daya Manusia VCT
Layanan VCT harus mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih
dan kompeten. Petugas pelayanan VCT terdiri dari: (a) Kepala klinik VCT; (b)
Dua orang konselor VCT terlatih sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai
dengan kebutuhan; (c) Petugas manajemen kasus; (d) Seorang petugas
laboratorium dan atau seorang petugas pengambil darah yang berlatarbelakang
perawat; (e) Seorang dokter yang bertanggungjawab secara medis dalam
penyelenggaraan layanan VCT; (f) Petugas administrasi untuk data entry yang
sudah mengenal ruang lingkup pelayanan VCT; (g) Petugas jasa kantor atau
pekarya kantor; (h) Petugas keamanan yang sudah mengenal ruang lingkup
pelayanan VCT; (i) Tenaga lain sesuai kebutuhan, misalnya relawan.
Menurut pendapat Lamptey (2004), orang yang memainkan peran dalam
memberikan pelayanan konseling HIV meliputi: perawat, dokter, tenaga
kesehatan lainnya, pekerja sosial, penyedia perawatan lainnya yang telah dilatih
khusus dalam konseling HIV, pengelola program, konselor penuh waktu
(termasuk psikiater, psikolog, dan terapis keluarga) yang telah dilatih dalam
konseling HIV, pekerja berbasis masyarakat secara konsisten, dan ODHA.
Universitas Sumatera Utara
44
Orang yang termasuk dalam konselor HIV menurut KPA Sumut (2007)
yaitu konselor penuh waktu yang berlatar belakang psikologi & ilmuwan
psikologi (psychiatrists, family therapist, psikologi terapan) yang sudah mengikuti
pelatihan VCT dengan standart WHO; kalangan profesional dari perawat, pekerja
sosial, & dokter; serta pemberdayaan masyarakat dan ODHA yang sudah terlatih.
Semua petugas layanan VCT bertanggung jawab atas konfidensialitas
klien. Klien akan menandatangani dokumen konfidensialitas terlebih dahulu yang
memuat perlindungan dan kerahasiaan klien. Pendokumentasian data harus
dipersiapkan secara tepat dan cepat agar memudahkan pelayanan dan rujukan.
2.5.7 Proses Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS/VCT)
Menurut Landi dan Bokhari (2001), tahapan VCT secara sederhana ada
tiga jenis utama dari konseling: konseling pre-test, konseling post-test, dan
konseling tindak lanjut. Berikut ini bagan yang menggambarkan proses konseling
pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
45
Gejala yang mendorong klien
untuk permintaan tes HIV
Konseling pra-tes meliputi penilaian perilaku berisiko, kondisi
psikososial, dan penyediaan informasi lisan dan tertulis
Beri waktu untuk mempertimbangkan tes
Penundaan tes darah
Pengambilan sampel tes darah
Hasil tes HIV-negatif
Konseling Post-Test:
Mendorong mengubah perilaku
berisiko ke arah perilaku yang
tepat untuk menghindari infeksi.
Hasil tes HIV-positif
Konseling Post-Test:
Sampaikan berita hasil tes
tersebut; Penilaian kapasitas
klien mengatasi hasil tes;
Penyediaan
waktu
diskusi;
Membantu untuk beradaptasi
dengan kondisi dan membuat
rencana.
Tindak lanjut konseling:
untuk
memantau
dan
mendukung perubahan perilaku;
Dorongan dari dukungan sebaya;
Penyediaan informasi lebih
lanjut.
Tindak lanjut konseling dengan
keluarga atau teman-teman jika
memungkinkan; Bantuan dalam
memobilisasi
keluarga/
masyarakat/pendukung lainnya;
Promosi perubahan perilaku
yang
bertanggung
jawab;
Mengidentifikasi
layanan
rujukan.
Gambar 2.5 Bagan Tahapan VCT
2.5.7.1 Konseling Pra Tes
Konseling pra-tes merupakan konseling yang dijalani klien sebelum
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status HIVnya (Zein,
2006). Dalam konseling pra-tes harus seimbang antara pemberian informasi,
penilaian risiko dan respon kebutuhan emosi klien. Masalah emosi yang menonjol
Universitas Sumatera Utara
46
adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk
ketidaksiapan menerima hasil tes, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat
dan keluarga.
Ruang lingkup konseling pra-tes pada KTS adalah: (a) Alasan kunjungan,
informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV;
(b) Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko; (c)
Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HIV; (d) Memberikan pengetahuan tentang
implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara menyesuaikan diri dengan
status HIV; (e) Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi
kejiwaan jika diperlukan; (f) Meminta informed consent sebelum dilakukan tes
HIV; dan (g) Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan
pencegahan, pengobatan dan perawatan (Permenkes No.74 tahun 2014).
Konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien untuk
mengikuti konseling HIV dan memfasilitasi kebutuhan agar proses tes HIV dapat
memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat dan produktif serta
melakukan komunikasi perubahan perilaku.
Komunikasi perubahan perilaku adalah unsur penting dalam konseling pra
tes yang tidak boleh dihilangkan. Unsur penting tersebut meliputi: (a) Penilaian
risiko dan kerentanan; (b) Penjelasan dan praktik keterampilan perilaku aman; (c)
Membuat rencana; (d) Penguatan dan komitmen; (e) Lingkungan mendukung.
Menurut Landi dan Bokhari (2001), manfaat konseling pra-tes dalam
kasus tes positif, ada manfaat yang cukup besar bagi klien dalam ambil bagian
dari konseling pra-tes, yang meliputi:
Universitas Sumatera Utara
47
a) Peningkatan penerimaan status HIV dan kemampuan untuk mengatasinya.
b) Pemberdayaan, termasuk keterlibatan yang lebih besar dalam perawatan dan
dukungan kepada ODHA.
c) Probabilitas yang lebih tinggi dari perubahan perilaku.
d) Mengurangi risiko penularan ibu ke anak.
e) Manajemen awal infeksi oportunistik dan informasi perilaku seks aman dan
penggunaan alat kontrasepsi.
f) Penyediaan dukungan sosial dan peer awal.
g) Normalisasi dan mengurangi stigma HIV/AIDS.
h) Menanamkan harapan dan mengatasi masalah kualitas hidup bagi ODHA.
i) Merencanakan
perawatan
masa
depan,
membuat
surat
wasiat
mempertimbangkan anaknya di masa depan.
Setiap konselor harus memiliki bentuk checklist untuk setiap klien untuk
memastikan bahwa semua isu yang relevan telah dibahas. Menurut Lamptey
(2004), tahap akhir dalam konseling pra-tes untuk menentukan apakah ia ingin di
tes antibodi terhadap HIV sambil mengatur tanggal dan waktu untuk wawancara
tindak lanjut atau konseling pasca tes.
2.5.7.2 Deteksi HIV Melalui Pemeriksaan Laboratorium/Tes HIV
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Caranya adalah dengan cara
mendeteksi ada tidaknya antibodi HIV dalam sampel darahnya. (Nursalam dan
Kurniawati, 2009). Tes HIV berupa pemeriksaan terhadap rangsangan antibodi
yang terbentuk untuk melawan masuknya HIV (sebagai antigen) ke dalam tubuh,
Universitas Sumatera Utara
48
atau pemeriksaan antigen (penggunaan metode Polymerase Chain Reaction ) yang
mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan Permenkes RI No.21/2013 Pasal 25 Ayat 1-3 menyatakan
bahwa tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh Tenaga Medis dan/atau Teknisi
Laboratorium yang terlatih. Jika salah satu atau kedua tenaga tersebut tidak ada,
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV. Tes HIV dilakukan dengan
metode Rapid Diagnostic Test (RDT) atau Enzyme Immuno Assay (EIA).
Lamptey (2004) membedakan ada dua jenis utama dari tes HIV: tes
antibodi (misalnya: tes ELISA, sederhana/cepat, air liur dan urin, serta Western
Blot) dan tes virologi (misalnya: tes antigen HIV, Polymerase Chain Reaction ,
dan kultur virus).
Tes antibodi yang paling umum digunakan adalah enzim uji kekebalan
tubuh atau ELISA, termasuk tes HIV cepat (hasil tes hanya 5-30 menit).
Penggunaan metode Tes Cepat HIV/Rapid Diagnostic Test memungkinkan klien
mendapatkan hasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Need terhadap Pelayanan Kesehatan
Need (kebutuhan) adalah keinginan masyarakat untuk memperoleh dan
mengkonsumsi barang dan jasa yang dibedakan menjadi keinginan yang disertai
kemampuan untuk membeli barang dan jasa dan keinginan yang tidak disertai
kemampuan untuk membeli barang dan jasa (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).
Kebutuhan seseorang terhadap pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang
subjektif, karena merupakan wujud dari masalah-masalah kesehatan yang ada di
masyarakat yang tercermin dari gambaran pola penyakit. Dengan demikian untuk
menentukan perkembangan need terhadap pelayanan kesehatan dapat mengacu
pada perkembangan pola penyakit di masyarakat.
Need terhadap pelayanan kesehatan dapat didasari kepada pengertian
tentang merit goods. Margolis (1982) dalam Tjiptoherijanto dan Soesetyo (2008)
mengatakan merit goods ini adalah setiap bentuk pengeluaran masyarakat yang
nampaknya secara umum dapat dipahami akan tetapi sulit untuk diperhitungkan
dengan menggunakan teori permintaan yang biasa. Diargumentasikan bahwa need
terhadap pelayanan kesehatan merupakan fungsi dari need terhadap kesehatannya
sendiri, dengan didasari oleh pengalaman masa lalunya.
Pembahasan mengenai need yang perlu digaris bawahi adalah bahwa tidak
seluruh need akan dapat dipenuhi, dengan demikian akan terdapat sebuah ranking
need dalam pengertian ceteris paribus. Kita akan lebih memilih satu need untuk
dipenuhi dibanding need yang lain, bila need yang dipilih tadi akan memberikan
manfaat yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dipilih tetapi
Universitas Sumatera Utara
14
15
kemungkinan untuk memenuhi suatu need merupakan fungsi dari biaya dan
manfaat yang terkandung dibelakangnya.
Need bukan merupakan sesuatu yang absolut maupun terbatas. Need
adalah sesuatu yang dinamis dan cenderung untuk terus tumbuh bersama dengan
berjalannya waktu dan dalam kasus ini pertumbuhan need tersebut akan bisa
dilihat merupakan sebagian dari perkembangan penawaran fasilitas pelayanan
kesehatan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008).
Konsep need merangkum beberapa penilaian efektifitas, potensi untuk
mempertimbangkan berbagai cara untuk memenuhi need (dengan segala akibat
yang ditimbulkannya) dan pengakuan akan adanya keterbatasan sumber daya serta
dapat juga merupakan bentuk dasar bagi alokasi sumber daya.
Pada umumnya akan lebih baik untuk memasukkan sekaligus need ketika
melakukan pengujian beroperasinya suatu pelayanan kesehatan tertentu.
Mengingat need dapat memberikan dasar yang cukup bagi pengambilan
keputusan yang tepat. Alokasi sumber daya sektor kesehatan tetap kurang efisien
tanpa adanya beberapa koreksi yang menyangkut, pertama penyatuan kesepakatan
tentang benefits value yang sering masih berbeda antara satu orang dan yang
kedua menyangkut informasi yang benar tentang segi biayanya.
Bidang social policy pada umumnya dan pelayanan kesehatan khususnya,
masyarakat sering dikatakan berada dalam keadaan membutuhkan ( in need),
namun seringkali apa yang dimaksud dengan need tidak jelas. Bradshaw
mengatakan ada empat definisi yang berbeda mengenai need yang lazim
digunakan oleh peneliti dan praktisi social policy, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
16
a. Normative Need terjadi manakala masyarakat memiliki standar pelayanan
kesehatan yang berada di bawah definisi desirable oleh para ahli. (standar
desirable disini bisa saja bervariasi antara satu ahli dengan yang lain).
Kebutuhan ini dipengaruhi faktor nilai, lingkungan sosial, dan hukum.
b. Felt/Perceived Need terjadi manakala masyarakat menghendaki pelayanan
kesehatan (sesuai kebutuhan yang dirasakan), hal ini berkaitan dengan persepsi
perorangan tentang pelayanan kesehatan, sehingga dengan jelas akan berbeda
dengan persepsi orang lainnya.
c. Expressed Need adalah need yang dirasakan tadi kemudian dikonversikan ke
dalam permintaan pelayanan. Misalnya mencari pelayanan kesehatan ke dokter
puskesmas (permintaan disini tidak harus selalu seperti apa yang didefinisikan
oleh para ekonom yang mencakup persoalan wiilingness to pay dan ability to
pay terhadap pelayanan kesehatan). Expressed Need biasanya disebut Demand
atau permintaan yang efektif.
d. Comparative Need terjadi manakala satu kelompok orang di masyarakat
dengan status kesehatan tertentu tidak mendapatkan pelayanan kesehatan
sedangkan kelompok yang lain dengan status kesehatan yang identik itu
ternyata mendapatkan pelayanan kesehatan (Tjiptoherijanto dan Soesetyo,
2008).
2.2 Demand (Permintaan)
2.2.1 Demand Kesehatan
Dalam membahas konsep demand sektor kesehatan perlu ada pembedaan
mengenai demand for health dan demand for health care . Hal ini penting
Universitas Sumatera Utara
17
mengingat terdapat berbagai hal dalam sektor kesehatan yang berbeda dengan
sektor lainnya.
Dalam pemikiran rasional, semua orang ingin menjadi sehat. Kesehatan
merupakan modal untuk bekerja dan hidup mengembangkan keturunan, sehingga
timbul keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup manusia. Demand untuk
menjadi sehat tidak sama antar manusia. Seseorang yang kebutuhan hidupnya
sangat tergantung pada kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih
tinggi akan status kesehatannya.
Pendekatan ekonomi menekankan bahwa kesehatan merupakan suatu
modal untuk bekerja. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu input dalam
proses menghasilkan hari-hari sehat. Dengan berbasis pada konsep produksi,
pelayanan kesehatan merupakan salah satu input yang digunakan untuk proses
produksi yang akan menghasilkan kesehatan. Demand terhadap pelayanan
kesehatan tergantung terhadap demand akan kesehatan (Trisnantoro, 2009).
Grossman (1972) menggunakan teori modal manusia (human capital)
untuk menggambarkan demand untuk kesehatan dan demand untuk pelayanan
kesehatan. Dalam teori ini disebutkan bahwa seseorang melakukan investasi untuk
bekerja dan menghasilkan uang melalui pendidikan, pelatihan dan kesehatan.
Grossman menguraikan demand untuk kesehatan memiliki beberapa hal yang
membedakan dengan pendekatan tradisional demand dalam sektor lain
(Trisnantoro, 2009) :
Universitas Sumatera Utara
18
1. Yang diinginkan masyarakat atau konsumen adalah kesehatan bukan pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan derived demand sebagai input
untuk menghasilkan kesehatan.
2. Masyarakat tidak membeli kesehatan dari pasar secara pasif. Masyarakat
menghasilkannya, menggunakan waktu untuk mengusahakan peningkatan
kesehatan, disamping menggunakan pelayanan kesehatan.
3. Kesehatan dapat dianggap sebagai bahan investasi karena tahan lama dan tidak
terdepresiasi dengan segera.
4. Kesehatan dapat dianggap sebagai bahan konsumsi sekaligus sebagai bahan
investasi.
Untuk lebih memahami demand terhadap kesehatan
dapat dilakukan
dengan memahami pengertian tentang keinginan ( wants), permintaan (demand)
dan kebutuhan (needs), sebagaimana digambarkan model dari Cooper yang
dikutip oleh Trisnantoro (2009) di bawah ini :
Keinginan seseorang untuk menjadi lebih sehat dalam
hidup.
Keinginan ini didasarkan pada penilaian diri terhadap status
Keinginan
(Wants)
Keinginan untuk lebih sehat diwujudkan dalam perilaku
mencari pertolongan tenaga kedokteran
Permintaan
(Demands)
Keadaan kesehatan yang oleh tenaga kedokteran dinyatakan
harus mendapatkan penanganan medis
Kebutuhan
(Needs)
Gambar 2.1 Konsep Keinginan (Wants), Permintaan (Demand), dan
Kebutuhan (Needs)
Secara umum keadaan demand dan need pelayanan kesehatan dapat
dilukiskan sebagai fenomena gunung es, dimana demand yang benar merupakan
bagian dari need. Need akan pelayanan kesehatan berwujud sebagai gunung es,
Universitas Sumatera Utara
19
yang sedikit puncaknya terlihat sebagai demand. Sedikit tersebut bersifat variatif.
Pada negara maju, puncak gunung es akan terlihat lebih besar dibanding negara
yang miskin (Trisnantoro, 2009).
2.2.2 Demand Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan pendapat Grossman yang dikutip oleh Tjiptoherijanto dan
Soesetyo (2008) bahwa konsumen sebenarnya mempunyai cukup informasi yang
memungkinkannya melakukan pemilihan kondisi kesehatannya secara rasional
baik pada masa sekarang maupun mendatang. Teorinya mendasar kepada
argumentasi bahwa permintaan seseorang akan pelayanan kesehatan diderivasikan
dari persepsinya akan tingkat (Level) kesehatannya sendiri yang optimal.
Menurut Tjiptoherijanto dan Soesetyo (2008) menyatakan bahwa terdapat
dua pendekatan yang digunakan untuk membahas permintaan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan, yaitu:
a. The Agency Relationship atau Supplier Induced Demand Model.
Pendekatan ini mengatakan bahwa peranan pasien sangat kecil dibanding
petugas kesehatan dalam membentuk permintaan pelayanan kesehatan. Salah satu
cara untuk melakukan penggabungan permintaan dan kebutuhan ialah dengan
menggunakan pendekatan agency relationship (hubungan keagenan), dimana
dalam pendekatan ini dokter bertindak sebagai agen bagi pasien yang kurang
mempunyai informasi tentang segala sesuatu yang menyangkut pelayanan
kesehatan. Kejadian ini disebabkan oleh sifat komoditi pelayanan kesehatan yang
akhirnya mengacu kepada situasi dimana dokterlah yang secara aktif bertindak
untuk melakukan permintaan.
Universitas Sumatera Utara
20
Untuk menunjang hubungan tersebut secara efisien menurut Artells dalam
Tjiptoherijanto dan Soesetyo (2008), diperlukan tiga kelompok informasi, yakni:
pengetahuan dasar medis untuk melakukan penilaian status kesehatan dan
perawatan yang tersedia, keterangan tentang keadaan pasien (symptom dan
keadaan lingkungan), serta informasi tentang penilaian pasien mengenai penyakit
yang dideritanya.
b. Investment Model oleh Grossman (1972)
Model Grossman mengatakan bahwa pasien memiliki informasi dan
kebebasan dalam menentukan permintaannya terhadap pelayanan kesehatan.
Model ini mengasumsikan bahwa masing-masing individu melakukan penilaian
manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan dalam rangka memutuskan status
kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan
dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Dalam hal ini pasien diasumsikan
mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya, sehingga permintaan akan
pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh pasien itu sendiri (Tjiptoherijanto dan
Soesetyo, 2008).
2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Demand Pelayanan Kesehatan
Hakekat dasar penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah untuk
memenuhi kebutuhan dan permintaan para pemakai jasa pelayanan kesehatan
terhadap kesehatan sedemikian rupa sehingga kesehatan para pemakai jasa
pelayanan kesehatan tersebut tetap terpelihara. Pelayanan kesehatan dapat
dikategorikan sempurna bila memenuhi kebutuhan dan tuntutan setiap konsumen
Universitas Sumatera Utara
21
yang terkait dengan timbulnya rasa puas terhadap pelayanan kesehatan (Azwar,
1996).
Menurut Fuchs (1998), Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Trisnantoro
(2009), faktor-faktor di bawah ini memengaruhi demand pelayanan kesehatan
antara lain:
1) Kebutuhuan berbasis Fisiologis
Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis, menekankan pentingnya
keputusan
petugas
medis
yang
menentukan
perlu
tidaknya
seseorang
mendapatkan pelayanan medis. Keputusan ini akan memengaruhi penilaian
seseorang akan status kesehatannya. Berdasarkan situasi ini, demand terhadap
pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi.
2) Penilaian Pribadi akan Status Kesehatan
Secara sosio-antropologis, penilaian pribadi akan status kesehatan
dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di masyarakat.
Disamping itu, masalah persepsi mengenai resiko sakit merupakan hal penting
sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat sangat memperhatikan status
kesehatannya, sebagian lain, tidak memperhatikannya.
3) Variabel-variabel Ekonomi
Hubungan tarif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan adalah
negatif. Semakin tinggi tarif, maka demand akan semakin rendah. Pada keadaan
yang membutuhkan penanganan medis segera, faktor tarif, mungkin tidak
berperan dalam memengaruhi demand, sehingga elastisitas harga bersifat
Universitas Sumatera Utara
22
inelastis. Sebagai contoh: operasi segera akibat kecelakaan lalu lintas, apabila
tidak ditolong segera, korban dapat meninggal dunia atau cacat seumur hidup.
4) Penghasilan Masyarakat
Kenaikan penghasilan keluarga akan meningkatkan demand untuk
pelayanan kesehatan. Untuk pelayanan kesehatan yang bersifat barang inferior,
adanya kenaikan penghasilan masyarakat, akan menyebabkan penurunan
konsumsi. Hal ini terjadi pada rumah sakit/puskesmas di berbagai kota/kabupaten.
5) Asuransi Kesehatan dan Jaminan Kesehatan
Adanya asuransi dan jaminan kesehatan dapat meningkatkan demand
terhadap pelayanan kesehatan. Asuransi kesehatan bersifat mengurangi efek faktor
tarif sebagai hambatan. Semakin banyak penduduk yang tercakup oleh asuransi,
maka demand akan pelayanan kesehatan semakin tinggi. Peningkatan demand ini
dipengaruhi pula oleh faktor moral hazard . Seseorang yang tercakup oleh asuransi
kesehatan akan terdorong menggunakan pelayanan sebanyak-banyaknya.
6) Variabel-variabel Demografis dan Umur
Faktor umur sangat memengaruhi demand terhadap pelayanan preventif
dan kuratif. Semakin tua seseorang, akan meningkatkan demandnya terhadap
pelayanan kuratif, sementara demand terhadap pelayanan kesehatan preventif
akan menurun.
7) Jenis Kelamin
Demand wanita terhadap pelayanan kesehatan lebih tinggi dibanding laki-
laki. Kondisi ini karena dua hal. Pertama, wanita mempunyai insidensi penyakit
yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Kedua, karena angka kerja wanita lebih
Universitas Sumatera Utara
23
rendah, sehingga kesediaan untuk meluangkan waktu untuk pelayanan kesehatan
lebih besar dibanding laki-laki. Pada kasus darurat, perbedaan ini tidak nyata.
8) Pendidikan
Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang
lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran
status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan.
9) Faktor-faktor lain
Berbagai faktor lain yang memengaruhi demand pelayanan kesehatan
yaitu pengiklanan, tersedianya dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta
inflasi. Iklan merupakan faktor yang sangat lazim digunakan dalam bisnis
komoditas ekonomi untuk meningkatkan demand. Pelayanan kesehatan tradisional
seperti para tabib, dukun dan pengobatan alternatif sudah lazim melakukan iklan
di surat kabar dan majalah. Berbagai rumah sakit di Indonesia, telah
memperhatikan faktor pengiklanan sebagai salah satu cara peningkatan demand.
Tersedianya dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan merupakan faktor lain yang
meningkatkan demand. Efek inflasi terhadap demand terjadi melalui perubahanperubahan pada tarif pelayanan rumah sakit, jumlah relatif pendapatan keluarga
dan asuransi kesehatan (Trisnantoro, 2009).
Menurut Notoatmodjo (2003), beberapa faktor yang memengaruhi tingkat
permintaan pelayanan kesehatan seperti pendapat yang dikemukakan Andersen
menyimpulkan bahwa ada delapan kategori model penggunaan pelayanan
kesehatan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
24
1) Model Demografi (Kependudukan)
Dalam model ini tipe variabel-variabel yang dipakai adalah umur, jenis
kelamin, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga. Asumsi penggunaan
pelayanan kesehatan sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel demografi
tersebut. Karakteristik demografi ini juga mencerminkan atau berhubungan
dengan karakteristik tipe dan ciri sosial
2) Model Struktur Sosial (Sosial Structur Models)
Pemanfaatan pelayanan model ini didominasi oleh faktor pendidikan,
pekerjaan dan kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan sosial
dan individu atau keluarga di dalam masyarakat. Mereka mengingatkan akan
berbagai gaya kehidupan yang diperlihatkan dari kedudukan sosial tertentu
(Notoatmodjo, 2009). Penggunaan pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek
dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik dan psikologis.
Pendekatan struktur sosial didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dengan
latar belakang struktur sosial yang bertentangan akan menggunakan pelayanan
kesehatan dengan cara yang tertentu pula.
3) Model Sosial Psikologis (Psychological Models)
Tipe variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan
individu. Variabel-variabel sosiopsikologis pada umumnya terdiri dari empat
kategori, yaitu: pengertian kerentanan terhadap penyakit, pengertian keseluruhan
dari penyakit, keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan dalam
menghadapi penyakit, serta kesiapan tindakan individu.
Universitas Sumatera Utara
25
4) Model Sumber Keluarga (Family Resouce Models)
Variabel yang dipakai adalah pendapatan keluarga, cakupan asuransi
keluarga, dan pihak yang membiayai pelayanan kesehatan keluarga dan
sebagainya. Karakteristik ini untuk mengukur kesanggupan dari individu atau
keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan mereka.
5) Model Sumber Daya Masyarakat
Tipe yang digunakan adalah penyediaan pelayanan kesehatan dan sumbersumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan kesehatan yang
tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model ini memindahkan
pelayanan kesehatan dari tingkat individu atau keluarga ke tingkat masyarakat.
6) Model Organisasi
Variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk
sistem pelayanan kesehatan, seperti : gaya praktik pengobatan (sendiri, rekanan
atau grup), Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak),
letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik), petugas kesehatan
yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat, asisten dokter).
7) Model Kepercayaan Kesehatan (The Health Belief Models)
Model ini sebagai suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis.
Munculnya model ini didasarkan pada problem-problem kesehatan ditandai oleh
kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha pencegahan
dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini
akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventive health behavior ) oleh Becker (1974) yang dikembangkan dari teori
Universitas Sumatera Utara
26
Lewin (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjadi model kepercayaan kesehatan
(health belief model).
Ada empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan seseorang
apabila bertindak melawan atau mengobati penyakitnya, yaitu :
a. Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia
harus merasakan bahwa ia rentan (suceptible) terhadap penyakit tersebut.
b. Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness)
Tindakan seseorang untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan
didorong pula oleh persepsi keseriusan atau beratnya penyakit tersebut.
c. Manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefits and baririers )
Apabila seseorang merasa dirinya rentan terhadap penyakit-penyakit yang
dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan
tersebut tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang
ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat
tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin
ditemukan di dalam tindakan tersebut. persepsi manfaat ini juga berhubungan
dengan ketersediaan sumber daya sehingga tindakan tersebut mungkin
dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari
kelompoknya. Persepsi rintangan berupa persepsi aspek negatif seperti biaya
dan pengalaman tidak menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
27
d. Isyarat atau tanda-tanda (Cues)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,
kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang
berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut misalnya, pesan-pesan
media massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain
dari si sakit, dan sebagainya.
8) Model Sistem Kesehatan (Health System Model)
Anderson menggambarkan model sistem kesehatan berupa model
kepercayaan kesehatan. Dalam model ini terdapat tiga kategori utama dalam
pelayanan kesehatan, yaitu:
a. Karakteristik predisposisi (Predisposing characterictics)
Masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan
karakteristik pasien yag telah ada sebelum timbulnya episode sakit. Karakteristik
ini meliputi: ciri demografi (umur, jenis kelamin), struktur sosial (pendidikan,
pekerjaan, suku, ras), dan kepercayaan tentang kesehatan (sikap dan kemampuan
petugas, fasilitas kesehatan, pengetahuan dan nilai terhadap penyakit).
b. Karakteristik pendukung (Enabling characterisrics)
Faktor yang menunjukkan kemampuan individu dalam menggunakan
pelayanan kesehatan, yang ditunjukkan oleh variabel sumber pendapatan dan
asuransi kesehatan keluarga, serta aksesibilitas sarana pelayanan kesehatan. Bila
faktor ini terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada pada saat sakit.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Karakteristik Kebutuhan (Need characteristics)
Faktor yang menunjukkan kemampuan individu untuk menggunakan
pelayanan kesehatan yang ditunjukkan dengan adanya kebutuhan karena alasan
yang kuat seperti penyakit yang dirasakan serta adanya jawaban atas penyakit
tersebut dengan cara mencari pelayanan kesehatan. Kebutuhan merupakan dasar
stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat
predisposing dan enabling itu ada.
Kebutuhan diukur dengan perceived need (kebutuhan yang dirasakan) dan
”evaluated need (kebutuhan dari diagnisis klinis) melalui jumlah hari individu
tidak bisa bekerja, gejala yang dialaminya, penilaian individu tentang status
kesehatannya.
Menurut Fauriza (2014), salah satu faktor dalam karakteristik predisposisi
yang menentukan perilaku dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah
kepercayaan tentang kesehatan (health beliefs model ). Kepercayaan tentang
kesehatan terkait dengan aspek persepsi, sikap dan pengetahuan tentang penyakit
dan pelayanan kesehatan. Intinya, perilaku pada saat mengalami gejala penyakit
dipengaruhi secara langsung oleh persepsi individu mengenai ancaman penyakit
dan keyakinannya terhadap nilai manfaat dari suatu tindakan kesehatan.
2.3 Persepsi
2.3.1 Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan salah satu faktor psikologis yang memengaruhi
konsumen dalam pembelian suatu barang/jasa. Menurut Wiratno dalam Trimurthy
(2008) menyatakan persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami
Universitas Sumatera Utara
29
oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungan baik lewat
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk
memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan
penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar
terhadap situasi.
Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses yang ditempuh individu untuk
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera yang dimiliki agar
memberikan makna bagi lingkungan (Robbins, 2001).
Persepsi dinyatakan sebagai proses menafsir sensasi-sensasi dan
memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas masingmasing orang memandang realitas dari sudut perspektif yang berbeda. Persepsi
dapat diartikan juga sebagai proses seorang individu memilih, mengorganisasi dan
menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambar
yang bermakna tentang dunia.
Menurut Rakhmat (2012), pengorganisasian stimuli dengan cara melihat
konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima tidak lengkap dapat pula diisi
dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsikan.
Persepsi dapat terjadi dengan dimulainya proses pengamatan, sedangkan
pengamatan dapat dilaksanakan apabila muncul suatu stimuli. Pada tahap stimuli
maka proses seleksi dan pengorganisasian akan berinteraksi dengan interpretasi
dan closure.
Universitas Sumatera Utara
30
2.3.2 Reaksi Persepsi terhadap Stimulus
Menurut Sudjana dalam Bukit (2010), reaksi persepsi terhadap suatu
stimulus (ransangan) dapat terjadi dalam bentuk :
1. Reciving/attending, yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dari luar
dalam bentuk masalah, situasi, gejala. Dalam tipe ini termasuk kesadaran
keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala atau ransangan
luar.
2. Responding (Jawaban), yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap
stimulus yang datang dari luar, hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan,
keputusan dalam menjawab stimulus dari luar dirinya.
3. Valuing (Penilaian), yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap
gejala atau stimulus yang diterima, termasuk kesediaan menerima nilai, latar
belakang atau pengalaman untuk menerima nilai kesepakatan nilai tersebut.
4. Organisasi, yaitu pengembangan dan nilai ke dalam suatu sistem organisasi,
termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai
yang dimilikinya termasuk konsep tentang nilai dan organisasi sistem nilai.
5. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yaitu keterpaduan semua sistem yang
dimiliki seseorang yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya,
termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.
2.3.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi
Rakhmat (2012) menyatakan persepsi yang berbeda-beda timbul karena
beberapa faktor seperti ketidaktahuan, informasi yang salah, penilaian prematur,
Universitas Sumatera Utara
31
dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Rakhmat mengklasifikasikan ada dua
faktor yang memengaruhi persepsi :
1. Faktor Fungsional
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan lainlain yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal. Yang
menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk rangsangan, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut.
2. Faktor Struktural
Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat rangsangan fisik dan efekefek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Jika kita
mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan,
ketikapun kita tidak melihatnya tidak secara keseluruhan maka kita yang akan
mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita
persepsi.
Sedangkat menurut pendapat Robbins (2001) menyatakan ada tiga faktor
yang memengaruhi terjadinya suatu persepsi, yaitu :
1. Pelaku persepsi
Jika seorang individu melihat suatu objek dan mencoba menafsirkan apa
yang dilihatnya, penafsiran itu dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi
dari pelaku persepsi individu tersebut. Adapun karakteristik pribadi yang lebih
relevan memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat,
pengalaman masa lalu dan pengharapan.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Target/Objek
Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat
memengaruhi apa yang dipersepsikan. Apa yang kita lihat bergantung bagaimana
kita memisahkan suatu bentuk dari dalam latar belakangnya yang umum. Objekobjek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersamasama, bukan secara terpisah. Faktor target mencakup hal yang baru yaitu gerakan,
bunyi, latar belakang dan kedekatan.
3. Situasi
Dalam melihat objek atau peristiwa, unsur-unsur lingkungan sekitar juga
memengaruhi persepsi. Waktu, keadaan atau tempat kerja, dan keadaan sosial
objek yang dilihat dapat memengaruhi persepsi.
Menurut Robbins (2001), faktor yang memengaruhi terjadinya suatu
persepsi secara skematis dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi
2.4 HIV/AIDS
Menurut Murtiastutik (2008), AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrom) ialah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi HIV ( Human
Universitas Sumatera Utara
33
Immunodeficiency Virus). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi dua jenis
HIV: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 menyumbang sebagian besar infeksi di dunia dan
memiliki setidaknya 10 subtipe genetik. HIV-2 ditemukan terutama di Afrika
Barat, tampaknya sulit menular dan berkembang lebih lambat untuk AIDS
daripada HIV-1 (Lamptey, 2004).
HIV hanya ditularkan dari satu orang kepada yang lainnya melalui
pertukaran cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu.
Virus HIV menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4+ sehingga kekebalan
penderita rusak dan rentan terhadap berbagai infeksi. (Murtiastutik, 2008).
Ketika infeksi HIV berkembang dan menyebabkan menurunnya sistem
kekebalan tubuh si penderita, ia akan lebih rentan terkena Infeksi Opportunistik,
seperti: TB, IMS lain, Septicemia , Pneumocystis carinii, Infeksi jamur di mulut
dan tenggorokan, Meningitis, serta Sarkoma Kaposi (Lamptey, 2004).
Orang yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan gejala apapun dalam
jangka waktu yang relatif lama. Bisa terjadi 5 sampai 10 tahun setelah orang
tersebut tertular HIV, baru terlihat adanya gejala pada penderita. Masa periode
inilah disebut sebagai masa inkubasi. Selama kurun waktu tersebut, orang tertular
HIV masih tampak kelihatan sehat baik sadar maupun tidak, mereka berpotensi
sebagai sumber yang dapat menularkan HIV kepada orang lain. Oleh karena itu,
untuk mengetahui adanya HIV dalam darah seseorang, perlu dilakukan tes HIV.
Tes HIV yang paling sering dipakai adalah tes Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dengan mengambil sampel darah penderita. Tes
ELISA ini bisa mendeteksi adanya antibodi yang dihasilkan tubuh. Namun
Universitas Sumatera Utara
34
antibodi HIV sebenarnya baru muncul 2-3 bulan setelah orang tersebut terinfeksi
HIV. Jangka waktu terbentuknya antibodi ini disebut periode jendela, dan dalam
masa ini tes ELISA belum tentu menghasilkan hasil positif. Terapi untuk
pengidap HIV bisa dilakukan dengan pendampingan obat Antiretroviral Virus
(ARV) (Yatim, 2006).
Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah seseorang didiagnosis
mengidap HIV adalah penolakan dan terkejut/syok atau tidak percaya. Pasien
beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi sepanjang hidup mereka.
Apabila secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya,
jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien
terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS bahkan meningkatkan
kematian (Nursalam dan Kurniawati, 2009).
2.5 Konseling dan Test HIV (KTHIV) dan AIDS Sukarela (KTS/VCT)
2.5.1 Pengertian KTHIV dan AIDS Sukarela (KTS/VCT)
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak
terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan
HIV, memberi dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada
ODHA, keluarga, dan lingkungannya (Nursalam dan Kurniawati, 2009).
Menurut Kemenkes RI (2013), Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS)
adalah layanan tes HIV secara pasif. Pada layanan tersebut klien datang sendiri
untuk meminta dilakukan tes HIV atas berbagai alasan baik ke fasilitas kesehatan
atau layanan KTS HIV mandiri di luar institusi kesehatan yang berbasis
komunitas. Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV
Universitas Sumatera Utara
35
dari klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan
klien untuk menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV.
Landi dan Bokhari (2001) berpendapat bahwa VCT sebagai titik kunci
masuk untuk pencegahan, perawatan dan dukungan layanan untuk orang yang
hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Ini termasuk akses ke intervensi untuk
mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi; intervensi untuk mencegah Infeksi
Oportunistik (misalnya Tuberkulosis dan Profilaksis untuk infeksi lain); layanan
medis dan pendukung lainnya, serta mengurangi stigma dan diskriminasi yang
dapat membantu orang HIV positif untuk hidup lebih lama dan sehat.
KPA Sumut (2007) mendefinisikan Voluntary Counseling Test (VCT)
yaitu proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara
sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang
mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang
HIV & manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan
atas issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang
untuk mengerti & menerima status (HIV +) dan merujuk pada layanan dukungan.
Menurut Lamptey (2004), konseling HIV merupakan dialog rahasia antara
klien dan konselor bertujuan memungkinkan klien untuk mengatasi stres,
membuat keputusan pribadi dan menjadi bertanggung jawab atas tindakannya
sendiri terkait dengan HIV/AIDS. Zein (2006) mengatakan bahwa dalam proses
konseling termasuk evaluasi resiko personal penularan HIV, fasilitas pencegahan
perilaku, dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes HIV +.
Universitas Sumatera Utara
36
Konseling dan Tes HIV telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
2004, yaitu dengan pendekatan atas inisiatif klien (konseling dan tes HIV sukarela
/KTS). Konseling dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Kualitas konseling perlu
dipantau dengan mentoring dan pembinaan teratur (Permenkes No.74 tahun
2014).
VCT telah menjadi alat paling penting dengan biaya efektif untuk
mencegah dan mengendalikan HIV/AIDS di berbagai negara (Landi dan Bokhari,
2001).
2.5.2 Peran Konseling dalam Tes HIV/AIDS
Menurut Kemenkes RI (2013), Layanan konseling pada tes HIV dilakukan
berdasarkan kepentingan klien/pasien baik kepada mereka yang HIV positif
maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan psikologis dan akses
untuk terapi. KTHIV harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi yang efektif. Konselor terlatih membantu klien/pasien
dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, memelajari status
dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk mengurangi perilaku berisiko serta
mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan
meningkatkan perilaku sehat.
Universitas Sumatera Utara
37
Menurut Permenkes No.74 tahun 2014, peran konseling dalam tes HIV
secara
skematis
dapat
dilihat
pada
bagan
berikut
ini.
Gambar 2.3 Bagan Peran Konseling dalam Tes HIV
Lamptey (2004) menyatakan bahwa konseling HIV memainkan dua peran
penting yaitu mencegah infeksi HIV dengan mempromosikan perubahan perilaku,
dan memberikan dukungan psikososial kepada orang-orang yang terinfeksi dan
terkena HIV.
2.5.3 Prinsip Dasar KTHIV dan AIDS
Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses
universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting to zero , yaitu zero
new HIV infection, zero discrimination , dan zero AIDS related death .
Dalam pelaksanaanya, tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed
consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections to, care,
treatment and prevention services ).
a. Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan
laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah
Universitas Sumatera Utara
38
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh
petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
b. Confidentiality adalah semua isi informasi atau konseling antara klien dan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien. Menurut
UNAIDS (2002), apabila klien ingin mengijinkan mitra kerja, wakil relativitas,
teman, atau orang lain di dalam proses konseling haruslah menjadi kerahasiaan
bersama.
c. Counselling yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, konseling
pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
d. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti
standar
pemeriksaan
HIV
nasional
yang
berlaku.
Hasil
tes
harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus
dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
Universitas Sumatera Utara
39
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan
terpantau.
Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling
dan Tes HIV (Permenkes No.74 tahun 2014).
Prinsip dasar Konseling dan Tes HIV menurut Lamptey (2004), tes HIV
harus bersifat sukarela (tes yang bersifat wajib tidak efektif dan tidak etis);
kerahasiaan harus dilindungi; Informed consent harus diperoleh meskipun
mungkin bervariasi dalam konteks dan pengaturan yang berbeda; serta dukungan
post-test dan layanan yang diperlukan bagi klien.
2.5.4 Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV
Layanan Konseling dan Tes HIV (KTHIV) diselenggarakan di fasilitas
pelayanan kesehatan. KTHIV didahului dengan dialog antara klien/pasien dan
konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang
HIV/AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan
dengan tes HIV (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Permenkes RI No.74 tahun 2014, Layanan KTHIV untuk
menegakkan diagnosis HIV dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes
HIV secara Sukarela (KTS) dan atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan (KTIP).
Adapun alur KTS di fasilitas layanan kesehatan tergambar pada bagan berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
40
Gambar 2.4 Bagan Alur KTS di Fasilitas Kesehatan
Alur VCT menurut KPA Sumut (2007) yaitu: konseling individual pra
testing - periksa darah dengan Rapid Testing - terima hasil & konseling pasca tes konseling dukungan dan rujukan pelayanan kesehatan & manajemen kasus rujukan untuk dukungan proses yang sedang berjalan, termasuk support group.
Layanan TKHIV di fasilitas pelayanan kesehatan dapat diberikan di
berbagai tatanan di komunitas, baik dengan cara menjangkau klien potensial dan
mendorong mereka datang ke layanan, atau dengan menyelenggarakan layanan ke
tempat mereka berada (bergerak/mobile). Model layanan bergerak ini dapat
bersifat sementara tetapi dilaksanakan secara berkala/reguler di tempat komunitas
berada (Kemenkes, 2013).
Penyelenggaraan KTHIV di fasilitas kesehatan harus terintegrasi antara
lain dengan pelayanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, kesehatan remaja, IMS,
Universitas Sumatera Utara
41
TB, Hepatitis, napza dan rehabilitasi di wilayah epidemi rendah atau
terkonsentrasi. Sedangkan untuk wilayah dengan epidemi meluas, KTHIV
terintegrasi dengan seluruh layanan di fasilitas layanan kesehatan (Permenkes
No.74 tahun 2014).
Menurut Landi dan Bokhari (2001), tempat yang tepat untuk menawarkan
layanan VCT bisa dalam bentuk situs VCT yang berdiri bebas, tempat
diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer seperti ANC, tempat
diintegrasikan ke dalam layanan pemerintah dan non-pemerintah berbasis rumah
sakit dan klinik, klinik kerja, layanan kesehatan sekolah, layanan transfusi darah.
Pelayanan KTHIV secara terintegrasi maupun mandiri, dilaksanakan di
setiap fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan di
lingkungan TNI/POLRI, lapas/rutan, tempat kerja, dan yang ditujukan untuk
tenaga kerja migran (Calon TKI). Hal ini karena ada kaitannya dengan pekerjaan
atau mobilisasi dan kondisi keberadaan kelompoknya yang memiliki risiko relatif
lebih besar untuk tertular HIV (Permenkes No.74 tahun 2014).
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS
Secara Sukarela, Lokasi layanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang
jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Nama klinik
cukup mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana
pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi.
Keberadaan layanan VCT yang baik secara langsung berkaitan dengan
keberadaan sistem rujukan yang baik. Sistem rujukan harus dikembangkan dalam
konsultasi dengan LSM, organisasi berbasis masyarakat, manajemen rumah sakit,
Universitas Sumatera Utara
42
serta dengan jaringan ODHA. Sebuah sistem rujukan yang efisien akan
memungkinkan pusat VCT untuk merujuk klien yang membutuhkan perawatan
medis ke rumah sakit dan klinik. Pusat VCT juga harus merujuk klien saat
konseling HIV/AIDS berlangsung, bimbingan pangan dan gizi, perawatan di
rumah, dan dukungan sosial (Landi dan Bokhari, 2001).
2.5.5 Sasaran Penerima Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela (VCT)
Masyarakat yang datang dan mencari pelayanan VCT disebut dengan
klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan
dimana klien akan berperan aktif didalam proses konseling. Tanggung jawab klien
dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan
informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV
dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif (Depkes RI,
2006).
Menurut Lamptey (2004), konseling HIV/AIDS sering ditujukan pada
segmen yang lebih luas dari populasi seperti pada pasangan dan individu
"kelompok berisiko tinggi" misalnya: pengguna narkoba, laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, pekerja seks komersial, supir truk, dan
populasi migran. Konseling HIV juga sangat cocok untuk orang-orang yang
sedang diuji untuk IMS lain atau TB (apakah mereka terinfeksi HIV).
Klien pelayanan VCT termasuk juga pada orang yang ingin mengetahui
status HIV mereka (termasuk keluarga ODHA), pasien yang dirujuk oleh dokter
untuk diagnosis klinis, donor darah dan organ tubuh, untuk visa, asuransi atau
tujuan lain (Landi dan Bokhari, 2001). Layanan tes HIV untuk kelompok tatanan
Universitas Sumatera Utara
43
khusus juga diperlukan, seperti: di kalangan TNI/POLRI; layanan bagi WBP di
lapas/ rutan; layanan di tempat kerja (Kemenkes RI, 2013). Selain itu menurut
Zein (2006), orang yang merasa memiliki perilaku beresiko untuk tertular HIV
dan petugas kesehatan yang dalam pekerjaannya memiliki resiko untuk tertular
HIV termasuk ke dalam orang yang memerlukan VCT.
2.5.6 Sumber Daya Manusia VCT
Layanan VCT harus mempunyai sumber daya manusia yang sudah terlatih
dan kompeten. Petugas pelayanan VCT terdiri dari: (a) Kepala klinik VCT; (b)
Dua orang konselor VCT terlatih sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai
dengan kebutuhan; (c) Petugas manajemen kasus; (d) Seorang petugas
laboratorium dan atau seorang petugas pengambil darah yang berlatarbelakang
perawat; (e) Seorang dokter yang bertanggungjawab secara medis dalam
penyelenggaraan layanan VCT; (f) Petugas administrasi untuk data entry yang
sudah mengenal ruang lingkup pelayanan VCT; (g) Petugas jasa kantor atau
pekarya kantor; (h) Petugas keamanan yang sudah mengenal ruang lingkup
pelayanan VCT; (i) Tenaga lain sesuai kebutuhan, misalnya relawan.
Menurut pendapat Lamptey (2004), orang yang memainkan peran dalam
memberikan pelayanan konseling HIV meliputi: perawat, dokter, tenaga
kesehatan lainnya, pekerja sosial, penyedia perawatan lainnya yang telah dilatih
khusus dalam konseling HIV, pengelola program, konselor penuh waktu
(termasuk psikiater, psikolog, dan terapis keluarga) yang telah dilatih dalam
konseling HIV, pekerja berbasis masyarakat secara konsisten, dan ODHA.
Universitas Sumatera Utara
44
Orang yang termasuk dalam konselor HIV menurut KPA Sumut (2007)
yaitu konselor penuh waktu yang berlatar belakang psikologi & ilmuwan
psikologi (psychiatrists, family therapist, psikologi terapan) yang sudah mengikuti
pelatihan VCT dengan standart WHO; kalangan profesional dari perawat, pekerja
sosial, & dokter; serta pemberdayaan masyarakat dan ODHA yang sudah terlatih.
Semua petugas layanan VCT bertanggung jawab atas konfidensialitas
klien. Klien akan menandatangani dokumen konfidensialitas terlebih dahulu yang
memuat perlindungan dan kerahasiaan klien. Pendokumentasian data harus
dipersiapkan secara tepat dan cepat agar memudahkan pelayanan dan rujukan.
2.5.7 Proses Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS/VCT)
Menurut Landi dan Bokhari (2001), tahapan VCT secara sederhana ada
tiga jenis utama dari konseling: konseling pre-test, konseling post-test, dan
konseling tindak lanjut. Berikut ini bagan yang menggambarkan proses konseling
pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
45
Gejala yang mendorong klien
untuk permintaan tes HIV
Konseling pra-tes meliputi penilaian perilaku berisiko, kondisi
psikososial, dan penyediaan informasi lisan dan tertulis
Beri waktu untuk mempertimbangkan tes
Penundaan tes darah
Pengambilan sampel tes darah
Hasil tes HIV-negatif
Konseling Post-Test:
Mendorong mengubah perilaku
berisiko ke arah perilaku yang
tepat untuk menghindari infeksi.
Hasil tes HIV-positif
Konseling Post-Test:
Sampaikan berita hasil tes
tersebut; Penilaian kapasitas
klien mengatasi hasil tes;
Penyediaan
waktu
diskusi;
Membantu untuk beradaptasi
dengan kondisi dan membuat
rencana.
Tindak lanjut konseling:
untuk
memantau
dan
mendukung perubahan perilaku;
Dorongan dari dukungan sebaya;
Penyediaan informasi lebih
lanjut.
Tindak lanjut konseling dengan
keluarga atau teman-teman jika
memungkinkan; Bantuan dalam
memobilisasi
keluarga/
masyarakat/pendukung lainnya;
Promosi perubahan perilaku
yang
bertanggung
jawab;
Mengidentifikasi
layanan
rujukan.
Gambar 2.5 Bagan Tahapan VCT
2.5.7.1 Konseling Pra Tes
Konseling pra-tes merupakan konseling yang dijalani klien sebelum
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status HIVnya (Zein,
2006). Dalam konseling pra-tes harus seimbang antara pemberian informasi,
penilaian risiko dan respon kebutuhan emosi klien. Masalah emosi yang menonjol
Universitas Sumatera Utara
46
adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk
ketidaksiapan menerima hasil tes, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat
dan keluarga.
Ruang lingkup konseling pra-tes pada KTS adalah: (a) Alasan kunjungan,
informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV;
(b) Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko; (c)
Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HIV; (d) Memberikan pengetahuan tentang
implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara menyesuaikan diri dengan
status HIV; (e) Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi
kejiwaan jika diperlukan; (f) Meminta informed consent sebelum dilakukan tes
HIV; dan (g) Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan
pencegahan, pengobatan dan perawatan (Permenkes No.74 tahun 2014).
Konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien untuk
mengikuti konseling HIV dan memfasilitasi kebutuhan agar proses tes HIV dapat
memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat dan produktif serta
melakukan komunikasi perubahan perilaku.
Komunikasi perubahan perilaku adalah unsur penting dalam konseling pra
tes yang tidak boleh dihilangkan. Unsur penting tersebut meliputi: (a) Penilaian
risiko dan kerentanan; (b) Penjelasan dan praktik keterampilan perilaku aman; (c)
Membuat rencana; (d) Penguatan dan komitmen; (e) Lingkungan mendukung.
Menurut Landi dan Bokhari (2001), manfaat konseling pra-tes dalam
kasus tes positif, ada manfaat yang cukup besar bagi klien dalam ambil bagian
dari konseling pra-tes, yang meliputi:
Universitas Sumatera Utara
47
a) Peningkatan penerimaan status HIV dan kemampuan untuk mengatasinya.
b) Pemberdayaan, termasuk keterlibatan yang lebih besar dalam perawatan dan
dukungan kepada ODHA.
c) Probabilitas yang lebih tinggi dari perubahan perilaku.
d) Mengurangi risiko penularan ibu ke anak.
e) Manajemen awal infeksi oportunistik dan informasi perilaku seks aman dan
penggunaan alat kontrasepsi.
f) Penyediaan dukungan sosial dan peer awal.
g) Normalisasi dan mengurangi stigma HIV/AIDS.
h) Menanamkan harapan dan mengatasi masalah kualitas hidup bagi ODHA.
i) Merencanakan
perawatan
masa
depan,
membuat
surat
wasiat
mempertimbangkan anaknya di masa depan.
Setiap konselor harus memiliki bentuk checklist untuk setiap klien untuk
memastikan bahwa semua isu yang relevan telah dibahas. Menurut Lamptey
(2004), tahap akhir dalam konseling pra-tes untuk menentukan apakah ia ingin di
tes antibodi terhadap HIV sambil mengatur tanggal dan waktu untuk wawancara
tindak lanjut atau konseling pasca tes.
2.5.7.2 Deteksi HIV Melalui Pemeriksaan Laboratorium/Tes HIV
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Caranya adalah dengan cara
mendeteksi ada tidaknya antibodi HIV dalam sampel darahnya. (Nursalam dan
Kurniawati, 2009). Tes HIV berupa pemeriksaan terhadap rangsangan antibodi
yang terbentuk untuk melawan masuknya HIV (sebagai antigen) ke dalam tubuh,
Universitas Sumatera Utara
48
atau pemeriksaan antigen (penggunaan metode Polymerase Chain Reaction ) yang
mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan Permenkes RI No.21/2013 Pasal 25 Ayat 1-3 menyatakan
bahwa tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh Tenaga Medis dan/atau Teknisi
Laboratorium yang terlatih. Jika salah satu atau kedua tenaga tersebut tidak ada,
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV. Tes HIV dilakukan dengan
metode Rapid Diagnostic Test (RDT) atau Enzyme Immuno Assay (EIA).
Lamptey (2004) membedakan ada dua jenis utama dari tes HIV: tes
antibodi (misalnya: tes ELISA, sederhana/cepat, air liur dan urin, serta Western
Blot) dan tes virologi (misalnya: tes antigen HIV, Polymerase Chain Reaction ,
dan kultur virus).
Tes antibodi yang paling umum digunakan adalah enzim uji kekebalan
tubuh atau ELISA, termasuk tes HIV cepat (hasil tes hanya 5-30 menit).
Penggunaan metode Tes Cepat HIV/Rapid Diagnostic Test memungkinkan klien
mendapatkan hasi