Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan
DETERMINAN PENYAKIT SIFILIS PADA KELOMPOK LELAKI SUKA LELAKI (LSL) DI KLINIK INFEKSI MENULAR
SEKSUAL-VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (IMS-VCT) VETERAN
KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
YULIA MARYANI 127032216/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
THE DETERMINANT OF SYPHILIS IN LSL (HOMOSEXUALS) IN IMS-VCT (SEXUAL INFECTION –COUNSELING AND TESTING)
VETERAN, MEDAN
THESIS
By
YULIA MARYANI 127032216/IKM
MAGISTRATE IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
DETERMINAN PENYAKIT SIFILIS PADA KELOMPOK LELAKI SUKA LELAKI (LSL) DI KLINIK INFEKSI MENULAR
SEKSUAL-VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (IMS-VCT) VETERAN
KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
YULIA MARYANI 127032216/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
Judul Tesis : DETERMINAN PENYAKIT SIFILIS PADA KELOMPOK LELAKI SUKA LELAKI (LSL) DI KLINIK INFEKSI MENULAR
SEKSUAL-VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (IMS-VCT) VETERAN KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Yulia Maryani
Nomor Induk Mahasiswa : 127032216
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D)
Ketua Anggota
(dr. Taufik Ashar, M.K.M)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(5)
Telah Diuji
pada Tanggal : 23 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.K.M
2. drh. Rasmaliah, M.Kes 3. drh. Hiswani, M.Kes
(6)
PERNYATAAN
DETERMINAN PENYAKIT SIFILIS PADA KELOMPOK LELAKI SUKA LELAKI (LSL) DI KLINIK INFEKSI MENULAR
SEKSUAL-VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (IMS-VCT) VETERAN
KOTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuaan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2014
Yulia Maryani 127032216/IKM
(7)
ABSTRAK
Penyakit Menular Sifilis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Perilaku homoseksualitas, berganti-ganti pasangan serta berpindah tempat memperbesar terjadinya risiko penularan Sifilis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan Tahun 2013.
Desain penelitian ini kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 100 terdiri dari 50 kasus dan 50 kontrol. Tehnik pengambilan sampel menggunakan penentuan besar sampel minimal yang diambil dari penelitian terdahulu berdasarkan variabel pemakaian kondom (OR : 3,632 dan P2
Berdasarkan analisis bivariat variable yang berpengaruh terhadap penyakit Sifilis yaitu penggunaan kondom (OR=10,92; 95% CI= 4,07-29,26), penggunaan Napza suntik (OR=4,13; 95% CI= 1,85-4,11), dan konsumsi alcohol (OR=7,52; 95% CI=7,35-49,73. Berdasarkan uji Regresi logistic berganda, variabel yang berpengaruh terhadap penyakit sifilis yaitu penggunaan kondom (OR=9,68; 95% CI= 2,87-32,56) dan konsumsi alcohol (OR=51,30; 95% CI= 5,91- 44,89). Berdasarkan analisis multivariat, variabel yang paling dominan mempengaruhi penyakit sifilis adalah konsumsi alkohol.
: 0,54). Pengolahan data dilakukan dengan cara analisis univariat, analisis bivariat dengan uji chi-square, Fisher’s exact dan analisis multivariate dengan uji regresi logistik berganda.
Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan, supaya dapat memberikan masukan untuk pengembangan program intervensi kesehatan termasuk saran evaluasi terhadap program intervensi yang saat ini sedang berjalan. Bagi klinik IMS-VCT Veteran untuk lebih meningkatkan penyuluhan, pengobatan dan pencegahan terjadinya infeksi sifilis terhadap populasi lelaki suka lelaki yang datang ke klinik IMS-VCT Veteran.
(8)
ABSTRACT
Up to the present time, syphilis as a contagious disease has still been a public health problem. Homosexual behavior, sexual promiscuity, and migration from one place to another can be potential to be transmitted by syphilis. The objective of the research was to find out the determinant of syphilis in homosexuals in IMS-VCT Veteran Clinic in Medan, in 2013.
The research used case control design with 100 respondents as the samples; they consisted of 50 cases and 50 controls. The data were analyzed by using univatriate analysis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests.
Based on the result of bivatriate analysis, it was found that some variables which influenced the incidence of syphilis were the use of condoms (OR = 10.92; 95% CI = 4.07-29.26), the use of Napza injection (OR = 4.13; 95% CI = 1.85-4.11), and consuming alcohol (OR = 7.52; 95% CI = 7.35-49.73). Based on multiple logistic regression tests, it was found that the variables which influenced the incidence of syphilis were the use of condoms (OR = 9.68; 95% CI = 2.87-32.56) and consuming alcohol (OR = 51.30; 95% CI = 5.91-44.89). Based on the result of multivatriate analysis, it was found that the variable which had the most dominant influence on the incidence of syphilis was consuming alcohol.
It is recommended that the Health Service of Medan give input for developing health intervention program, including the evaluation on intervention program today. The management of IMS-VCT Veteran Clinic should increase KIE counseling, medication, and prevention from the incidence of syphilis for the homosexuals who visit IMS-VCT Veteran Clinic.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahuwata’ala yang
telah memberi rahmat dan hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual- Voluntary Counseling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat
terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material
dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
(10)
4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D dan dr. Taufik Ashar, M.K.M selaku dosen
pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk membimbing penulis
sehingga penulisan tesis ini selesai.
5. Drh. Rasmaliah, M.Kes dan drh. Hiswani, M.Kes selaku dosen penguji yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan
tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu sangat selama penulis mengikuti pendidikan.
7. dr. R.R Suryantini M.Kes Selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera
Utara yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan
tesis ini.
8. H. Sukarni, M.Kes selaku Kepala Seksi Bimdal P2 yang telah memberi izin
untuk melakukan penelitian dan seluruh staf Klinik IMS-VCT Veteran yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.
9. Kedua orang tua tercinta ayahanda Drs. H. M. Syarief Isa dan Almh. Hj. Cut
Fatma serta Abang, Kakak dan Adik tercinta yang senantiasa memberi perhatian,
dukungan baik moril maupun materil serta doa selama penulis menyelesaikan
pendidikan Progran Pasca Sarjana IKM – FKM USU.
10. Terkhusus untuk suamiku dr. Ahmad Aswar Siregar dan anak-anakku Haura
(11)
penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan, dan doa serta rasa cinta yang dalam,
setia menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril maupun materil
selama penulis menyelesaikan pendidikan program Pasca Sarjana IKM – FKM
USU.
11. Teman-teman LSM yang telah banyak membantu dalam penelitian dan
memberikan dukungannya selama penulis menyelesaikan pendidikan program
Pasca Sarjana IKM – FKM USU.
12. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarkat Universitas Sumatera Utara Khusunya Minat Studi Administrasi
Kesehatan Komunitas / Epidemiologi.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan bantuan, Penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat-Nya.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat
bermanfaat.
Medan, September 2014 Penulis
Yulia Maryani 127032216/IKM
(12)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Yulia Maryani, dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 27
Juli 1974, anak Kelima dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. H. M.
Syarief Isa dan Ibunda Almh. Hj. Cut Fatma.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SD Negeri No. 82
Banda Aceh pada tahun 1981-1987, sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTs
Negeri 1 Banda Aceh pada tahun 1987-1990, Sekolah Menengah Atas di SMA
Mugayatsyah Banda Aceh pada tahun 1990-1993 dan melanjutkan pendidikan di
Fakultas Kedokteran UISU pada tahun 1994-2002.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyrakat Minat Studi AKKm/Epidemiologi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Permasalahan ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Hipotesis ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Penyakit Sifilis ... 7
2.1.1. Sejarah ... 7
2.1.2. Etiologi ... 8
2.1.3. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 9
2.1.4. Klasifikasi ... 15
2.1.5. Diagnosis ... 15
2.1.6. Penularan ... 22
2.1.7. Pencegahan ... 23
2.2 Lelaki Suka Lelaki (LSL) ... 27
2.2.1. Penyebab terjadinya Homoseksual ... 28
2.2.2. Ciri-ciri Lelaki Suka Lelaki (LSL) ... 29
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Sifilis pada Lelaki Suka Lelaki ... 29
2.3.1. Umur ... 29
2.3.2. Tingkat Pendidikan ... 30
2.3.3. Status HIV ... 31
2.3.4. Penggunaan Kondom... 31
2.3.5. Konsumsi Alkohol ... 32
2.3.6. Konsumsi Napza Suntik ... 32
2.3.7. Datang ke Layanan Klinik IMS ... 33
2.4 Landasan Teori ... 35
(14)
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Jenis Penelitian ... 37
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
3.3 Populasi dan Sampel... 37
3.4 Pengumpulan Data... 41
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 41
3.6 Metode Analisis Data ... 43
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 46
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 46
4.2 Analisis Univariat ... 48
4.2.1 Karakteristik Responden ... 48
4.2.2 Determinan Penderita Sifilis... 49
4.3 Analisis Bivariat ... 50
4.3.1 Pengaruh Umur dengan Penyakit Sifilis pada Kelompok LSL .. 50
4.3.2 Pengaruh Pendidikan dengan Penyakit Sifilis pada Kelompok LSL ... 51
4.3.3 Pengaruh Status HIV dengan Penyakit Sifilis ... 51
4.3.4 Pengaruh Penggunaan Kondom dengan Penyakit Sifilis ... 52
4.3.5 Pengaruh Penggunaan Napza Suntik dengan Penyakit Sifilis ... 53
4.3.6 Pengaruh Konsumsi Alkohol dengan Penyakit Sifilis ... 53
4.4 Analisis Multivariat ... 54
4.4.1 Variabel Penting Uji Regresi Logistik Berganda ... 54
4.4.2 Penentuan Variabel yang Dominan ... 54
4.4.3 Perhitungan Persamaan Regresi ... 55
4.4.4 Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 56
BAB 5. PEMBAHASANPENELITIAN ... 57
5.1 Pengaruh Umur dengan Penyakit Sifilis... 57
5.2 Pengaruh Pendidikan dengan Penyakit Sifilis ... 57
5.3 Pengaruh Status HIV dengan Penyakit Sifilis ... 58
5.4 Pengaruh Penggunaan Kondom dengan Penyakit Sifilis ... 59
5.5 Pengaruh Penggunaan Napza Suntik dengan Penyakit Sifilis ... 61
5.6 Pengaruh Konsumsi Alkohol dengan Penyakit Sifilis ... 61
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
6.1 Kesimpulan ... 63
6.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN
(15)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1. Jumlah Sampel untuk Variabel Perbandingan Satu Kasus dan Satu Kontrol ... 38
3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 42
4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 48
4.2. Distribusi Frekuensi Determinan Penderita Sifilis di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 49
4.3. Pengaruh Umur dengan Penyakit Sifilis pada Kelompok LSL di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 50
4.4. Pengaruh Pendidikan dengan Penyakit Sifilis pada Kelompok LSL di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 51
4.5. PengaruhStatus HIV dengan Penyakit Sifilis di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 51
4.6. Pengaruh Penggunaan Kondom dengan Penyakit Sifilis di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 52
4.7. Pengaruh Penggunaan Napza Suntik dengan Penyakit Sifilis di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 53
4.8. Pengaruh Konsumsi Alkohol dengan Penyakit Sifilis di Klinik IMS – VCT Veteran Kota Medan Tahun 2014 ... 53
4.9. Hasil Analisis Bivariat yang Masuk dalam Uji Regresi Logistik Berganda ... 54
(16)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Kerangka Teori... 35
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 68
2. Master Tabel Penelitian ... 70
3. Hasil Analisis Data ... 74
6. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 94
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
permasalahan kesehatan secara global, karena pola penyakitnya hampir terjadi di
semua negara. Insidens PMS di berbagai negara di seluruh dunia mengalami
peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens PMS dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti perubahan demografik, fasilitas kesehatan yang tersedia kurang
memadai, pendidikan kesehatan khususnya pendidikan seksual dan belum adanya
perubahan sikap dan perilaku (WHO, 2011).
Penyakit Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum (CDC,
2010). Penularan penyakit sifilis dapat terjadi melalui kontak langsung ataupun tidak
langsung. Penularan sifilis secara langsung melalui perpindahan bakteri Treponema
Pallidum yang terdapat pada lesi di area genital dan kulit luar area genital. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa Treponema pallidum di kulit manusia dan membran
mukosa memiliki kecenderungan untuk masuk menembus kulit normal dan membran
mukosa. Penularan sifilis secara tidak langsung dapat terjadi seperti melalui
penggunaan barang yang bersifat pribadi seperti handuk, pisau cukur, alas tidur dan
tinggal dalam kamar yang sama ataupun menggunakan fasilitas toilet secara bersama
(19)
WHOmencatat jumlah kasus baru sifilis secara global pada tahun 1999 adalah
sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan Karibia pertambahan jumlah kasus baru
diperkirakan 3 juta jiwa (WHO 2001). Di Pasifik Barat diketahui tingkat prevalensi
sifilis relatif ditemukan tinggi di Kamboja (4%), Papua New Guinea (3,5%) dan
Pasifik Selatan (8%) (WHO, 1999). Seropositif Sifilis diantara kelompok lelaki suka
lelaki (LSL) yang tidak menunjukkan gejala diperkirakan jumlahnya sekitar 9,3% di
Boston (Mimiaga et al, 2003) dan 11% di Peru (Snowden, 2010). Kemudian Larsen
(1995) menyatakan bahwa tes RPR (Rapid Plasma Reagen) sifilis yaitu sebesar 86%
sensitif pada infeksi awal dan 98% sensitif dan 98% spesifik pada stadium sekunder
dan laten. Sementara di Indonesia jumlah kasus Sifilis rata-rata adalah sebesar 6%
dari 7 populasi kunci.
Di Asia Timur dan Pasifik, cara penularan penyakit sifilis adalah melalui
Pengaruh seks dengan pekerja seks, dimana pada tahun 2005 prevalensinya lebih dari
57% (Chin, 2006). Lebih lanjut, Brown dan Soroker (2007) melaporkan bahwa
prevalensi sifilis pada kalangan homoseksual di beberapa kota besar Asia cukup
tinggi, sekitar 50% dari jumlah kasus baru sifilis pada tahun 2020 di Asia akan
disebabkan oleh kaum homoseksual. Keadaan ini memperlihatkan bahwa perilaku
seks berisiko di kalangan homoseksual mempunyai peran penting dalam proses
penularan sifilis.
Diskriminasi sosial terhadap kelompok homoseksual atau LSL mempengaruhi
tingginya tingkat depresi, kecemasan, merokok, penggunaan alkohol, penyalahgunaan
(20)
kelompok ini serta pemutusan akses terhadap berbagai jasa pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan. Hal ini menjadi sorotan dan perhatian Badan Kesehatan Dunia, sehingga
pada tahun 2011 WHO mengeluarkan panduan pencegahan dan pengobatan penyakit
HIV dan IMS khusus ditujukan bagi kelompok LSL dan LSL di negara miskin dan
berkembang.
Selain itu perilaku homoseksualitas, berganti-ganti pasangan serta berpindah
tempat memperbesar terjadinya risiko penularan (re-infeksi). Lesi sifilis terbuka juga
dapat meningkatkan risiko penularan HIV dan transmisi (CDC, 2009). Ada korelasi
yang kuat antara penyebaran PMS konvensional dan Penularan HIV dan pada kedua
IMS ulseratif dan non-ulseratif telah ditemukan meningkatkan risiko penularan HIV
secara seksual (Chin, 2006).
Penelitian di Amerika Latin tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi sifilis
pada kelompok LSL adalah sebesar 42,3 % sementara pada kelompok non LSL
sebesar 18.1% (Toibaro J,2009). Sementara Ruan Y et.al (2007) dalam penelitiannya
tentang korelasi HIV dan Sifilis pada LSL di Cina menyebutkan bahwa Infeksi HIV
secara bermakna dikaitkan dengan seropositif sifilis (OR 3,8, 95% CI, 1,3-10,8).
Beberapa faktor lain yang mungkin dapat meningkatkan risiko penyakit sifilis adalah
konsumsi alkohol dan napza. Pada sebuah studi dikemukakan bahwa penggunaan
kondom secara konsisten mampu mengurangi transmisi HIV sebesar 64% dan STI
sebesar 43% (CDC, 2009). Pada Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2007
faktor risiko yang diukur adalah penggunaan kondom dan pelicin, tingkat
(21)
Pengembangan Manajemen Klinik IMS termasuk diagnosis dan
penatalaksanaan pengobatan bagi penderita sifilis, Penyediaan suplai dan pemberian
kemudahan akses terhadap kondom, Intervensi Perubahan perilaku, kegiatan KIE
(Komunikasi Informasi dan Edukasi) sudah termasuk dalam kegiatan berbasis
intervensi tersebut.
Peninjauan maupun evaluasi terhadap bentuk program intervensi ada baiknya
perlu untuk dilakukan termasuk peninjauan terhadap potensial faktor risiko baru yang
berpengaruhdengan infeksi sifilis, dan pada kelompok LSL.Walaupun kelompok LSL
memiliki pemahaman akan pentingnya berpengaruh seks dengan aman, namun pada
kenyataannya tetap saja terjadi kejadian penyakit sifilis. Hal ini disebabkan oleh
karena faktor pencapaian seks dengan sesama jenis, kepuasan batin, ketidaknyamanan
dan stigma terhadap kondom sebagai salah satu alat pencegahan.
Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan salah satu dari beberapa tempat
yang memberi layanan tes IMS dan HIV di Indonesia. Klinik IMS dan VCT Veteran
berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Dalam
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, perlu dilakukan cara pemutusan alur
penularan penyakit, antara lain dengan mengetahui determinan penyakit.Berdasarkan
data penyakit sifilispada kelompok LSL jumlah penderita sebanyak 496 orang yang
melakukan kunjungan di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan dari bulan
Januari-Desember2013. Sebanyak 200 orang pengunjung melakukan tes sifilisdan sebanyak
(22)
masyarakat bagi kelompok LSL. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan
dan penularan penyakit sifilis pada kelompok LSL di Kota Medan.
1.2 Permasalahan
Belum diketahui determinan penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka
Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahuideterminan penyakit sifilis pada
kelompok Lelaki Suka Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan Tahun 2013.
1.4 Hipotesis
a. Ada pengaruh umur dengan penyakit sifilis.
b. Ada pengaruh tingkat pendidikan dengan penyakit sifilis.
c. Ada pengaruh status HIV dengan penyakit sifilis.
d. Ada pengaruh penggunaan kondom dengan penyakit sifilis.
e. Ada pengaruh penggunaan NAPZA suntik dengan penyakit sifilis
f. Ada pengaruh konsumsi alkohol dengan penyakit sifilis.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, memberikan masukan untuk pengembangan
program intervensi kesehatan termasuk saran evaluasi terhadap program
(23)
b. Bagi klinik IMS-VCT Veteran untuk dapat meningkatkan penyuluhan
KIE,pengobatan dan pencegahan terjadinya infeksi sifilis terhadap populasi lelaki
suka lelaki yang datang ke klinik IMS-VCT veteran.
c. Bagi populasi Lelaki Suka Lelaki, memberikan pengetahuan terhadap
pencegahan, diagnosis serta pengobatan penyakit sifilis.
d. Bagi Peneliti,mengetahui gambaran karakteristik populasi Lelaki Suka Lelaki
(LSL) dan mengetahui faktor risiko dan penatalaksanaan penyakit sifilis pada
(24)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi
permasalahan kesehatan secara global, karena pola penyakitnya hampir terjadi di
semua negara. Insidens PMS di berbagai negara di seluruh dunia mengalami
peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens PMS dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti perubahan demografik, fasilitas kesehatan yang tersedia kurang
memadai, pendidikan kesehatan khususnya pendidikan seksual dan belum adanya
perubahan sikap dan perilaku (WHO, 2011).
Penyakit Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum (CDC,
2010). Penularan penyakit sifilis dapat terjadi melalui kontak langsung ataupun tidak
langsung. Penularan sifilis secara langsung melalui perpindahan bakteri Treponema
Pallidum yang terdapat pada lesi di area genital dan kulit luar area genital. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa Treponema pallidum di kulit manusia dan membran
mukosa memiliki kecenderungan untuk masuk menembus kulit normal dan membran
mukosa. Penularan sifilis secara tidak langsung dapat terjadi seperti melalui
penggunaan barang yang bersifat pribadi seperti handuk, pisau cukur, alas tidur dan
tinggal dalam kamar yang sama ataupun menggunakan fasilitas toilet secara bersama
(25)
WHOmencatat jumlah kasus baru sifilis secara global pada tahun 1999 adalah
sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan Karibia pertambahan jumlah kasus baru
diperkirakan 3 juta jiwa (WHO 2001). Di Pasifik Barat diketahui tingkat prevalensi
sifilis relatif ditemukan tinggi di Kamboja (4%), Papua New Guinea (3,5%) dan
Pasifik Selatan (8%) (WHO, 1999). Seropositif Sifilis diantara kelompok lelaki suka
lelaki (LSL) yang tidak menunjukkan gejala diperkirakan jumlahnya sekitar 9,3% di
Boston (Mimiaga et al, 2003) dan 11% di Peru (Snowden, 2010). Kemudian Larsen
(1995) menyatakan bahwa tes RPR (Rapid Plasma Reagen) sifilis yaitu sebesar 86%
sensitif pada infeksi awal dan 98% sensitif dan 98% spesifik pada stadium sekunder
dan laten. Sementara di Indonesia jumlah kasus Sifilis rata-rata adalah sebesar 6%
dari 7 populasi kunci.
Di Asia Timur dan Pasifik, cara penularan penyakit sifilis adalah melalui
Pengaruh seks dengan pekerja seks, dimana pada tahun 2005 prevalensinya lebih dari
57% (Chin, 2006). Lebih lanjut, Brown dan Soroker (2007) melaporkan bahwa
prevalensi sifilis pada kalangan homoseksual di beberapa kota besar Asia cukup
tinggi, sekitar 50% dari jumlah kasus baru sifilis pada tahun 2020 di Asia akan
disebabkan oleh kaum homoseksual. Keadaan ini memperlihatkan bahwa perilaku
seks berisiko di kalangan homoseksual mempunyai peran penting dalam proses
penularan sifilis.
Diskriminasi sosial terhadap kelompok homoseksual atau LSL mempengaruhi
tingginya tingkat depresi, kecemasan, merokok, penggunaan alkohol, penyalahgunaan
(26)
kelompok ini serta pemutusan akses terhadap berbagai jasa pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan. Hal ini menjadi sorotan dan perhatian Badan Kesehatan Dunia, sehingga
pada tahun 2011 WHO mengeluarkan panduan pencegahan dan pengobatan penyakit
HIV dan IMS khusus ditujukan bagi kelompok LSL dan LSL di negara miskin dan
berkembang.
Selain itu perilaku homoseksualitas, berganti-ganti pasangan serta berpindah
tempat memperbesar terjadinya risiko penularan (re-infeksi). Lesi sifilis terbuka juga
dapat meningkatkan risiko penularan HIV dan transmisi (CDC, 2009). Ada korelasi
yang kuat antara penyebaran PMS konvensional dan Penularan HIV dan pada kedua
IMS ulseratif dan non-ulseratif telah ditemukan meningkatkan risiko penularan HIV
secara seksual (Chin, 2006).
Penelitian di Amerika Latin tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi sifilis
pada kelompok LSL adalah sebesar 42,3 % sementara pada kelompok non LSL
sebesar 18.1% (Toibaro J,2009). Sementara Ruan Y et.al (2007) dalam penelitiannya
tentang korelasi HIV dan Sifilis pada LSL di Cina menyebutkan bahwa Infeksi HIV
secara bermakna dikaitkan dengan seropositif sifilis (OR 3,8, 95% CI, 1,3-10,8).
Beberapa faktor lain yang mungkin dapat meningkatkan risiko penyakit sifilis adalah
konsumsi alkohol dan napza. Pada sebuah studi dikemukakan bahwa penggunaan
kondom secara konsisten mampu mengurangi transmisi HIV sebesar 64% dan STI
sebesar 43% (CDC, 2009). Pada Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2007
faktor risiko yang diukur adalah penggunaan kondom dan pelicin, tingkat
(27)
Pengembangan Manajemen Klinik IMS termasuk diagnosis dan
penatalaksanaan pengobatan bagi penderita sifilis, Penyediaan suplai dan pemberian
kemudahan akses terhadap kondom, Intervensi Perubahan perilaku, kegiatan KIE
(Komunikasi Informasi dan Edukasi) sudah termasuk dalam kegiatan berbasis
intervensi tersebut.
Peninjauan maupun evaluasi terhadap bentuk program intervensi ada baiknya
perlu untuk dilakukan termasuk peninjauan terhadap potensial faktor risiko baru yang
berpengaruhdengan infeksi sifilis, dan pada kelompok LSL.Walaupun kelompok LSL
memiliki pemahaman akan pentingnya berpengaruh seks dengan aman, namun pada
kenyataannya tetap saja terjadi kejadian penyakit sifilis. Hal ini disebabkan oleh
karena faktor pencapaian seks dengan sesama jenis, kepuasan batin, ketidaknyamanan
dan stigma terhadap kondom sebagai salah satu alat pencegahan.
Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan salah satu dari beberapa tempat
yang memberi layanan tes IMS dan HIV di Indonesia. Klinik IMS dan VCT Veteran
berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Dalam
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, perlu dilakukan cara pemutusan alur
penularan penyakit, antara lain dengan mengetahui determinan penyakit.Berdasarkan
data penyakit sifilispada kelompok LSL jumlah penderita sebanyak 496 orang yang
melakukan kunjungan di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan dari bulan
Januari-Desember2013. Sebanyak 200 orang pengunjung melakukan tes sifilisdan sebanyak
(28)
masyarakat bagi kelompok LSL. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan
dan penularan penyakit sifilis pada kelompok LSL di Kota Medan.
1.2 Permasalahan
Belum diketahui determinan penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka
Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahuideterminan penyakit sifilis pada
kelompok Lelaki Suka Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan Tahun 2013.
1.4 Hipotesis
a. Ada pengaruh umur dengan penyakit sifilis.
b. Ada pengaruh tingkat pendidikan dengan penyakit sifilis.
c. Ada pengaruh status HIV dengan penyakit sifilis.
d. Ada pengaruh penggunaan kondom dengan penyakit sifilis.
e. Ada pengaruh penggunaan NAPZA suntik dengan penyakit sifilis
f. Ada pengaruh konsumsi alkohol dengan penyakit sifilis.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, memberikan masukan untuk pengembangan
program intervensi kesehatan termasuk saran evaluasi terhadap program
(29)
b. Bagi klinik IMS-VCT Veteran untuk dapat meningkatkan penyuluhan
KIE,pengobatan dan pencegahan terjadinya infeksi sifilis terhadap populasi lelaki
suka lelaki yang datang ke klinik IMS-VCT veteran.
c. Bagi populasi Lelaki Suka Lelaki, memberikan pengetahuan terhadap
pencegahan, diagnosis serta pengobatan penyakit sifilis.
d. Bagi Peneliti,mengetahui gambaran karakteristik populasi Lelaki Suka Lelaki
(LSL) dan mengetahui faktor risiko dan penatalaksanaan penyakit sifilis pada
(30)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Sifilis
Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema
pallidum yang bersifat akut dan kronis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan
erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir kemudian masuk ke dalam periode laten
diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem saraf pusat
dan sistem kardiovaskuler.
Menurut Centre of Disease Conrol (CDC) pada tahun 2010 mendefinisikan
sifilis sebagai penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum.
Berdasarkan temuan klinis, penyakit dibagi ke dalam serangkaian kumpulan staging
yang digunakan untuk membantu dalampanduan pengobatan dan tindak lanjut.
2.1.1. Sejarah
Terdapat banyak pendapat dan spekulasi tentang asal usul penyakit sifilis
ini.Salah satu yang memiliki dukungan bukti yang cukup kuat adalah Teori
Columbian atau New World Theory. Sesuai dengan teori ini, penyakit ini belum
dikenal di Eropa sebelum Tahun 1942.Pada tahun ini Christopher Colombus
melakukan suatu pelayaran bersejarah dengan melintasi lautan Atlantik. Para
pelautnya dikatakan telah dijangkiti penyakit sifilis oleh wanita-wanita setempat di
pulau Hispaniola di Hindia Barat. Pada pelayaran kembali ke Eropa penyakit ini terus
(31)
setiap penderita yang disebut sebagai Indian Measles.Sesudah Tahun 1943 timbulah
epidemi penyakit ini di seluruh Eropa.
Riset yang dilakukan oleh Harper dkk (2008) dengan menggunakan genetika
molekular menyatakan bahwa subspesies kuman treponema (non-seksual) muncul
lebih awal di dunia lama. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa yaws adalah
sebuah infeksi purba pada manusia sementara sifilis venereal muncul relatif baru.
2.1.2. Etiologi
Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo
Spirochaetales dan Genus Treponema spesiesTreponema pallidum. Pada Tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema pallidum.
Treponema berupa spiral halus, panjang 5-15 mikron dan diameter 0,009-0,5 mikron,
setiap lekukan gelombang berjarak 1 mikron dan rata-rata setiap bakteriterdiri dari
8-14 gelombang dan bergerak secara aktif, karena spiralnya sangat halus maka hanya
dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap dengan menggunakan teknik
immunofluoresensi. Kuman ini bersifat anaerob dan diantaranya bersifat patogen
pada manusia (CDC, 2010).
Ada tiga macam antigen Treponema pallidum yaitu protein tidak tahan panas,
polisakarida, dan antigen lipoid. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25°C, Treponema
pallidum dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari dalam
perbenihan cair yang mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat, sistein,
ultrafiltrat serum sapi. Kuman ini sukar diwarnaidengan zat warna lilin tetapi dapat
(32)
sel kuman. Kuman berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Waktu
pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam (J Todd et.al, 2001).
2.1.3. Patogenesis dan Gejala Klinis
Treponema dapat masuk (porte d’entrée) ke tubuh calon penderita melalui selaput lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran darah
dari semua organ dalam tubuh.Penularan terjadi setelah kontak langsung dengan lesi
yang mengandung treponema.3–4 minggu terjadi infeksi, pada tempat masuk
Treponema pallidum timbul lesi primer (chancre primer) yang bertahan 1–5 minggu dan sembuh sendiri.
Tes serologik klasik positif setelah 1–4 minggu. Kurang lebih 6 minggu (2– 6
minggu) setelah lesi primer terdapat kelainan selaput lendir dan kulit yang pada
awalnya menyeluruh kemudian mengadakan konfluensi dan berbentuk khas.
Penyembuhan sendiri biasanya terjadi dalam 2–6 minggu. Keadaan tidak
timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik sifilis positif disebut Sifilis
Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan relaps. Penderita tanpa pengobatan akan
mengalami sifilis lanjut (Sifilis III 17%, kordiovaskular 10%, Neurosifilis 8%).
Banyak orang terinfeksi sifilis tidak memiliki gejala selama bertahun- tahun,
namun tetap berisiko untuk terjadinya komplikasi akhir jika tidak dirawat.
Gejala-gejala yang timbul jika terkena penyakit ini adalah benjolan-benjolan di sekitar alat
kelamin. Timbulnya benjolan sering pula disertai pusing-pusing dan rasa nyeri pada
tulang, mirip seperti gejala flu. Anehnya, gejala-gejala yang timbul ini dapat
(33)
Sifilis dapat dikatakan sebagai musuh dalam selimut karena selama jangka
waktu 2-3 tahun pertama tidak akan menampakkan gejala mengkhawatirkan. Namun,
setelah 5-10 tahun sifilis baru akan memperlihatkan keganasannya dengan menyerang
sistem saraf, pembuluh darah, dan jantung.
Gejala klinis penyakit sifilis menurut klasifikasi WHO sebagai berikut (CDC,
2010) :
a. Sifilis Dini
1. Sifilis Primer
Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90 hari setelah terjadi infeksi. Lesi
pertama berupa makula atau papula merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre),
dengan pinggir keras, dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi.
Sering disertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokalisasi
chancre sering pada genitalia tetapi bisa juga ditempat lain seperti bibir, ujung lidah, tonsil, jari tangan dan puting susu.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre
serta ditemuiTreponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan
mikroskop lapangan gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan sediaan
langsung negatif, pemeriksaan harus diulangi lagi selama tiga hari berturut-turut dan
bila tetap negatif, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan serologis.
Selamadalam pemeriksaan sebaiknya ulkus dibersihkan atau dikompres dengan
(34)
2. Sifilis Sekunder (S II)
Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada beberapa kasus keadaan S II ini
sering masih disertai S I. Pada S II dimulai dengan gejala konsistensi seperti
anoreksia, demam, athralgia, angina. Pada stasium ini kelainan pada kulit, rambut,
selaput lendir mulut dan genitalia, kelenjar getah bening dan alat dalam. Kelainan
pada kulit yang kita jumpai pada S II ini hampir menyerupai penyakit kulit yang lain,
bisa berupa roseola, papel-papel, papulo skuamosa, papulokrustosa dan pustula. Pada
SII yang dini biasanya kelainan kulit yang khas pada telapak tangan dan kaki.
Kelainan selaput lendir berupa plakula atau plak merah (mucous patch) yang disertai
perasaan sakit pada tenggorokan (angina sifilitica eritematosa). Pada genitalia sering
kita jumpai adanya papul atau plak yang datar dan basah yang disebut kondilomata
lata. Kelainan rambut berupa kerontokan rambut setempat disebut alopesia areata. Kelainan kuku berupa onikia sifilitaka, kuku rapuh berwarna putih, suram ataupun
terjadi peradangan (paronikia sifilitaka). Kelainanmata berupa uveitis
anterior.Kelainan pada hati bisa terjadi hepatitis dengan pembesaran hati dan ikterus
ringan. Kelainan selaput otak berupa meningitis dengan keluhan sakit kepala, muntah
dan pada pemeriksaan cairan serebro spinalis didapati peninggian jumlah sel dan
protein. Untuk menegakkan diagnosis, disamping kelainan fisik juga diperlukan
pemeriksaan serologis.
3. Sifilis Laten Dini
Gejala klinis tidak tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis
(35)
b. Sifilis Lanjut (CDC, 2010)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sikatrik bekas S I pada genitalia atau
makula atrofi bekas papul-papul S II. Pemeriksaan tes serologi sifilis positif.
1. Sifilis Tersier (S III)
Lesi pertama timbul 3-10 tahun setelah S I berupa gumma yang sirkumskrip.
Gumma sering perlunakan dan mengeluarkan cairan seropurulen dan kadang-kadang
disertai jaringan nekrotik sehingga terbentuk ulkus. Gumma ditemukan pada kulit,
mukosa mulut, dan organ dalam terutama hati. Dapat pula dijumpai kelainan pada
tulang dengan keluhan, nyeri pada malam hari. Pada pemeriksaan radiologi terlihat
kelainan pada tibia, fibula, humerus, dan tengkorak berupa periostitis atau osteitis
gummatosa. Pemeriksaan TSS positif.
2. Sifilis Kardiovaskuler
Timbul 10-40 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada sekitar 10%
kasus lanjut dan 40% dapat bersama neurosifilis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
berdasar gejala klinis, foto sinar X dan pemerikasaan pembantu lainnya. Sifilis
kardiovaskuler dapat dibagi dalam 3 tipe: Sifilis pada jantung, pada pembuluh darah,
pada pembuluh darah sedang. Sifilis pada jantung jarang ditemukan dan dapat
menimbulkan miokarditis difus atau guma pada jantung. Pada pembuluh darah besar,
lesi dapat timbul di aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah besar yang berasal
dari aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens, selain itu juga pada
aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh darah sedang, misalnya aorta serebralis
(36)
femoralis juga dapat diserang (J Todd, 2001).
3. Sifilis Kongenital Dini
Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervarasi, dan menyerupai sifilis
stadium II.Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai
kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul
setelah beberapa minggu, tetapi dapat pulakelainan sejak lahir.
Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa (Saravanamurthy, 2010):
a. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat
b. Kelainan membra mukosa: mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut,
farings, larings dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan
gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer kemudian
menjadi bertambah pekat, purulen dan hemoragik.
c. Kelainan kulit: makula, papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak
lahir, tersebar secara simetris, terutama pada telapak tangan dan kaki, makula,
papula atau papuloskuamosa tersebar secara generalisata dan simetris.
d. Kelainan tulang: osteokondritis, periostitis dan osteitis pada tulang- tulang
panjang merupakan gambaran yang khas.
e. Kelenjar getah bening: limfadenitis generalisata.
f. Alat-alat dalam.
g. Mata : koreoretinitis, galukoma dan uveitis.
(37)
4.Sifilis Kongenital Lanjut
Kelainan umumnya timbul setelah 7–20 tahun. Kelainan yang timbul :
a. Keratitis interstisial
b. Gumma
c. Neurosifilis
d. Kelainan sendi: yaitu artralgia difusa dan hidatrosis bilateral (clutton’s joint).
5. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dapat meninggalkan sisa, berupa jaringan parut dan
deformitas yang karakteristik yaitu (Saravanamurthy, 2009) :
1. Muka: saddle nose terjadi akibat gangguan pertumbuhan septum nasi dan
tulang-tulang hidung. Buldog jawakibat maksila tidak berkembang secara normal
sedangkan mandibula tidak terkena.
2. Gigi: pada gigi seri bagian tengah lebih pendek dari pada bagian tepi dan jarak
antara gigi lebih besar (Hutchinson’s teeth).
3. Regade: terdapat disekitar mulut
4. Tulang: osteoperiostitis yang menyembuh akan menimbulkan kelainan klinis dan
radiologis, pada tibia berupa sabre tibia dan pada daerah frontal berupa frontal
bossing.
5. Tuli: kerusakan N.VIII akibat labirintitis progresif
(38)
2.1.4. Klasifikasi
Pembagian penyakit Sifilis menurut WHO terdiri dari sifilis dini dan sifilis
lanjut dengan waktu diantaranya 2-4 tahun.Sifilis Dini dapat menularkan penyakit
karena terdapat Treponema pallidum pada lesi kulitnya, sedangkan Sifilis Lanjut
tidak dapat menular karena Treponema pallidum tidak ada.
Sifilis Dini dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Sifilis primer (Stadium I)
b. Sifilis sekunder (Stadium II)
c. Sifilis laten dini
Sifilis Lanjut dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
a. Sifilis laten lanjut
b. Sifilis tertier (Stadium III)
c. Sifilis kardiovaskuler
d. Neurosifilis
Secara klinis ada beberapa stadium sifilis yaitu stadium primer, sekunder,
laten dan tersier. Stadium primer dan sekunder termasuk dalam sifilis early sementara
stadium tersier termasuk dalam sifilis laten atau stadium late latent (CDC, 2010).
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis terhadap penyakit sifilis sangat penting untuk dilakukan karena
penyakit ini merupakan penyakit yang menular.Studi menyebutkan bahwa diagnosis
dini dapat membantu pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Pada umumnya
(39)
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan mewawancarai pasien dengan menanyakan
keluhan dan gejala pasien.
b. Pemeriksaan secara Klinis
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada
penderita yang dikenal dengan pemeriksaan sindromik. Penggunaan manajemen
sindromik ini terutama dirancang untuk keterbatasan sumber daya dan telah
terbukti layak diterima di beberapa negara (Lambert et al, 2005, Brown et al, 2010).
STI skrining antara MSM juga layak dan dapat diterima dan dapat menjangkau
kelompok yang sering memiliki akses terbatas dalam mendapatkan pemeriksaan IMS
yang teratur dan konseling di pelayanan kesehatan formal.Namun demikian
pemeriksaan ini tetap harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium untuk
hasil yang lebih akurat.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium penyakit sifilis pada umumnya dilakukan melalui
pemeriksaan mikroskopik langsung maupun pemeriksaan serologik.
d. Pemeriksaan Mikroskopik
Dalam sediaan segar tanpa pewarnaan, gerak kuman Treponema dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan Treponema secara
mikroskopik dilihat dengan teknik imunnofluoresensi dengan membuat usapan cairan
jaringan atau eksudat pada kaca objek kemudian difiksasi dan diwarnai dengan serum
(40)
terlihat fluoresensi yang khas dari kuman Treponema (CDC, 2010).
e. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan Serologis Tes darah adalah cara lain untuk menentukan apakah
seseorang memiliki sifilis. Tak lama setelah infeksi terjadi, tubuh memproduksi
antibodi sifilis yang dapat dideteksi oleh tes darah.
Pemeriksaan Serologis Sifilis penting untuk diagnosis dan pengamatan hasil
pengobatan. Pemeriksaan ini dapat diklasifikasikan :
1. Tes Non Treponema : kardiolipin, lesitin dan kolesterol
2. Tes Treponema : Treponema pallidum hidup / mati
Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan :
1. Sensitivitas : % individu yang terinfeksi yangmemberi hasil positif
2. Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi yang memberikan hasilnegatif
Menurut Irwin, et. al., (2003) Pemeriksaan kuantitatif Serologi Sifilis
memungkinkan dokter untuk :
1. Mengevaluasi efektivitas pengobatan
2. Menemukan potensi kambuh (relaps) sebelum menjadi menular
3. Membedakan antara kambuh dan infeksi ulang
4. Melihat adanya reaksi sebagai jenis seroresistant
(41)
Secara garis besar ada 2 macam Tes Serologi Sifilis yaitu :
a. Non Treponemal Test atau Reagin Test
Tes Reagin terdiri dari antibodi Ig M dan Ig A yang ditujukan terhadap
beberapa antigen yang tersebar luas dalam jaringan normal. Dapat ditemukan pada
serum penderita sifilis yang belum mendapat pengobatan , 2-3 minggu setelah infeksi.
Contohnya adalah Tes Flokulasi dan Tes Fiksasi Komplemen. Kedua tes ini dapat
memberikan hasil secara kuantitatif yaitu dengan menentukan kadar reagin dalam
serum yang secara berturut-turut diencerkan 2 kali. Pengenceran tertinggi yang masih
menunjukkan hasil positif merupakan titer serum yang bersangkutan. Positif palsu
dapat terjadi pada infeksi lain seperti Malaria, Lepra, Morbili, Mononukleosis
infeksiosa, vaksinasi dan penyakit kolagen SLE (Systemic Lupus Erythematosus, Polyarteritis Nodosa).
Tes Flokulasi
Tes ini didasarkan atas kenyataan bahwa partikel antigen yang berupa lipid
mengalami flokulasi dalam beberapa menit setelah dikocok dengan reagin. Tes
flokulasi yang positif dapat menjadi negatif pada 6- 24 bulan setelah pengobatan yang
efektif pada sifilis early. Contoh tes flokulasi adalah VDRL (Venereal Disease
Research Laboratory test) dan RPR (Rapid Plama Reagin Test).
Tes Fiksasi Komplemen
Didasarkan pada kenyataan bahwa serum yang mengandung reagin dapat
mengikat komplemen bila ada cardiolipin pada antigen.Jika serum yang diperiksa
(42)
Wassermann, dimana digunakan eritrosit domba sebagai indikator dan hasil tes positif jika tidak terjadi hemolisis dan negatif bila ada hemolisis.
b. Treponemal Antibodi Test
Pada Tes digunakan antigen yang berasal dari kuman Treponemal yang
masih hidup maupun yang sudah dimatikan atau salah satu fraksi dari kuman
treponema sehingga diperoleh hasil tes yang spesifik. Yang termasuk dalam tes ini
adalah Tes Fluoresensi Antibodi Treponema (FTA Abs), TPHA (Treponemal
pallidum Passive Hemagglutination Assay), Tes Imobilisasi Treponema pallidum (TPI) dan Tes Pengikatan Komplemen Treponema pallidum atau RPCF (Reiter
Protein Complement Fixation Test).
Tes Fluoresensi Antibodi Treponema (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test) Merupakan tes imunnofluoresensi indirect yang sangat spesifik dan sensitif terhadap antibodi Treponema.Serum penderita diabsorpsi terlebih dahulu
dengan antigen Reiter yang telah diolah dengan getaran frekuensi tinggi
(sonifikasi).Kuman Treponema yang telah dimatikan direaksikan dengan serum
penderita dan gamma globulin yang telah dilabel. Kuman akan berfluoresens jika
terkena sinar violet. Hasil tes ini positif pada sifilis early dan tetap positif sampai
beberapa tahun setelah pengobatan yang efektif sehingga hasil tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai pengobatan.Pada bayi baru lahir, adanya Ig M FTA
merupakan bukti adanya infeksi intrauteri (kongenital sifilis) namun demikian bisa
(43)
Tes Hemaglutinasi Pasif Treponemal Pallidum (Treponemal pallidum Passive Hemagglutination Assay )
Tes ini menggunakan eritrosit domba yang telah diolah dengan kuman
Treponema pallidum. Hasil test positif jika terjadi aglutinasi dari eritrosit domba tersebut. TPHA memberikan hasil secara kuantitatif dan sangat spesifik.
Tes Imobilisasi Treponema Pallidum (TPI)
Tes ini menggunakan kuman Treponema pallidum yang masih aktif sebagai
antigen. Dalam serum penderita sifilis yang telah ditambahkan komplemen, kuman
yang semula masih dapat bergerak aktif akan mengalami imobilisasi. Waktu yang
dibutuhkan adalah 18 jam. Antibodi imobilisasi timbul pada minggu ketiga setelah
infeksi. Antibodi ini berbeda dari reagin, TPI memerlukan biaya mahal, reagensia
murni dan tenaga yang terlatih.
Tes Pengikatan Komplemen Treponema Pallidum atau RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test)
Tes ini menggunakan antigen yang berasal dari fraksi protein kuman
Treponema pallidum strain Reiter. Antibodi yang bereaksi dalam tes ini tidak sama dengan antibodi imobilisasi ataupun reagin. Hasil positif palsu dapat terjadi bila
fraksi protein tersebut kurang murni misal mengandung lipopolisakarida.
f. Penilaian terhadap Tes Serologi
Apabila kedua tes Treponemal dan Non Treponemal memberikan hasil positif
maka dilakukan penilaian secara kuantitatif, jika hanya satu yang memberikan hasil
(44)
Pada Tes Serologis Non Treponema:
a. Hasil Tes Serologis Non Treponema menjadi negatif (-) dalam 3-8 bulan
setelah pengobatanadekuat.
b. Penilaian : kualitatif & kuantitatif
c. Hasilnya menjadi positif (+) dalam 2 minggu I setelah ulkusdurum positif
(+)Titer pada berbagai stadium :
Menurut CDC (2010) hasil positif palsu pada tes non treponemal dapat
dikaitkan dengan beberapa kondisi medik yang tidak terkait dengan sifiis termasuk
keadaaan autoimun , usia lanjut, injection drug use, oleh karena itu harus dilakukan
tes antibodi treponemal. Tes non treponemal biasanya berkaitan dengan perjalanan
penyakit. Antibodi sifilis dalam kadar rendah mungkin akan tinggal dalam darah
selama berbulan- bulan atau bertahun-tahun bahkan setelah penyakit telah berhasil
diobati. Fenomena ini dikenal dengan istilah “serofast reaction”.
Pada penderita HIV, tes serologi sifilis akurat dan dapat diandalkan. Namun
bila hasil tes serologi yang didapatkan tidak berkoresponden dengan temuan klinis
pengunaan metode lain seperti pemeriksaan biopsi dan mikroskop lapang pandang
gelap perlu dipertimbangkan (CDC, 2010). Kemudian pada penderita sifilis baru yang
diberikan pengobatan dalam masa laten maka hasil serologik menjadi sukar dinilai.
Pada beberapa kasus titer reagin dapat menurun bahkan menjadi negatif (Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran : 1994).
Menurut Guidelines WHO (2003) Hasil positif dari Tes RPR dapat terkait
(45)
dipertimbangkan untuk pengobatan selanjutnya.
Tes treponemal TPHA dapat digunakan untuk mengkonfirmasihasil RPR jika
tersedia. Tes RPR kuantitatif dapat membantu membedakan antara sifilis laten dan
infeksi lama (titer tinggi ≥ 1:8) serta membantu mengevaluasi respon terhadap pengobatan.
2.1.6. Penularan
Secara umum periode masa inkubasi dari 10 hari sampai 3 (tiga) minggu dari
biasanya. WHO menyatakan ada perbedaan waktu antara sifilis dini dan sifilis laten
yakni selama 2-4 tahun. Sifilis primer terjadi antara 9 sampai 10 hari setelah
terinfeksi dan gejalanya timbul berupa luka nyeri pada alat kelamin. Penularan Sifilis
diketahui dapat terjadi melalui (WHO, 1999) :
a. Penularan secara langsung yaitu melalui kontak seksual, kebanyakan 95%- 98%
infeksi terjadi melalui jalur ini, penularan terjadi melalui lesi penderita sifilis.
b. Penularan tidak langsung kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal bersama
penderita sifilis. Kontak terjadi melalui penggunaan barang pribadi secara
bersama-sama seperti handuk, selimut, pisau cukur, bak mandi, toilet yang
terkontaminasi oleh kuman Treponema pallidum.
c. Melalui Kongenital yaitu penularan pada wanita hamil penderita sifilis yang tidak
diobati dimana kuman treponema dalam tubuh ibu hamil akan masuk ke dalam
(46)
d. Melalui darah yaitu penularan terjadi melalui transfusi darah dari penderita sifilis
laten pada donor darah pasien, namun demikian penularan melalui darah ini sangat
jarang terjadi.
2.1.7. Pencegahan
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan sifilis melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Adapun bentuk
pencegahan yang dapa dilakukan sebagai berikut :
a. Pencegahan Primer
Sasaran pencegahan terutama ditujukan kepada kelompok orang yang
memiliki resiko tinggi tertular sifilis. Bentuk pencegahan primer yang dilakukan
adalah dengan prinsip ABC yaitu :
1. A (Abstinensia), tidak melakukan Pengaruh seks secara bebas dan
berganti-ganti pasangan.
2. B (Be Faithful), bersikap saling setia dengan pasangan dalam Pengaruh
perkawinan atau Pengaruh perkawinan atau Pengaruh jangka panjang tetap.
3. C (Condom), cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk
orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B.
4. D (Drug), tidak menggunakan narkoba/napza.
5. E (Education), pemberian informasi kepada kelompok yang memiliki resiko
(47)
b. Pencegahan Sekunder
Sasaran pencegahan terutama ditujukan pada mereka yang menderita
(dianggap suspect) atau terancam akan menderita. Diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat dapat dilakukan dengan cara mencari penderita sifilis, meningkatkan usaha
surveilans, dan melakukan pemeriksaan berkala kepada kelompok orang yang
memilik resiko untuk terinfeksi sifilis. Bentuk pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan cara :
1. Melakukan cek darah untuk mengetahui infeksi sifilis.
2. Pengobatan injeksi antibiotik benzatin benzil penicilin untuk menyembuhkan
infeksi sifilis.
c. Pencegahan Tersier
Sasaran tingkat ketiga ditujukan kepada penderita tertentu dengan tujuan
mencegah jangan sampai mengalami cacat/kelainan permanen, mencegah agar jangan
bertambah parah/ mencegah kematian karena penyakit tersebut. Bentuk pencegahan
tersier yang dapat dilakukan adalah :
1. Melakukan pengobatan (injeksi antibiotik) yang bertujuan untuk menurunkan
kadar titer sifilis dalam darah.
2. Melakukan tes HIVuntuk mengetahui status kemungkinan terkena HIV.
Cara paling pasti untuk menghindari penularan penyakit menular seksual,
termasuk sifilis, adalah untuk menjauhkan diri dari kontak seksual atau berada dalam
Pengaruh jangka panjang yang saling monogami dengan pasangan yang telah diuji
(48)
membantu mencegah penularan sifilis karena kegiatan ini dapat menyebabkan
perilaku seksual berisiko. Adalah penting bahwa pasangan seks berbicara satu sama
lain tentang status HIV mereka dan sejarah PMS lainnya sehingga tindakan
pencegahan dapat diambil.
Dalam Guidelines pengobatan CDC (2010) salah satu cara yang dilakukan
untuk upaya pencegahan dan pengobatan adalah melalui suatu program yang disebut
“Management of Sex Partners” atau dikenal dengan istilah “Manajemen Mitra Seks”.
Penularan Treponema pallidum diperkirakan terjadi hanya ketika lesi sifilis
mukokutan yang hadir. Meskipun manifestasi tersebut jarang terjadi setelah tahun
pertama infeksi, orang yang terkena seksual kepada pasien yang memiliki sifilis pada
setiap tahap harus dievaluasi klinis dan serologis dan diobati dengan rejimen yang
disarankan, sesuai dengan rekomendasi berikut:
a. Orang yang terpapar dalam waktu 90 hari sebelumdiagnosis primer, sifilis
laten sekunder, atau awal pasanganseks mungkin terinfeksi bahkan jika
seronegatif, karena itu, orangtersebut harus dianggap sebagai suspect.
b. Orang yang terkena lebih dari 90 hari sebelum diagnosis primer, sekunder sifilis
laten, atau pagi-pasangan seks harus diperlakukan sebagai suspect apabila hasil
tes serologis tidak tersedia segera dan kesempatan untuk tindak lanjut
c. Sebagai informasi bagi mitra dan pengobatan terhadap suspect atau dugaan dari
pasangan seks yang diduga memiliki risiko, pasien dengan sifilis yang tidak
diketahui statusnya dan dengan disertai uji serologi nontreponemal dengan titer
(49)
Namun demikian untuk tujuan menentukan rejimen pengobatan, titer serologi
hendaknya tidak boleh digunakan untuk membedakan sifilis awal dari sifilis laten
melainkan membutuhkan uji serologis lain yaitu pemeriksaan antibodi treponemal.
d. Pasangan seks jangka panjang dari pasien dengan sifilis latenharus dievaluasi
secara klinis dan serologis segera untuk diobati berdasarkan temuan evaluasi.
e. Pasangan seksual dari pasien yang terinfeksi harus dipertimbangkan telah
memiliki risiko dan segera diberikan pengobatan jika mereka memiliki kontak
seksual dengan pasien dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk pasien
yang didiagnosis dengan sifilis primer, durasi 6 bulan plus gejala bagi mereka
dengan sifilis sekunder dan 1 tahun untuk pasien dengan sifilis laten dini serta
dalam waktu 3 bulan plus durasi gejala untuk pasien yang didiagnosis dengan
sifilis primer.
Penyakit ulkus kelamin, seperti sifilis, dapat terjadi di kedua daerah kelamin
laki-laki dan perempuan yang ditutupi atau dilindungi oleh kondom lateks.
Penggunaan kondom lateks dapat mengurangi risiko sifilis, serta herpes genital dan
chancroid, hanya bila daerah yang terinfeksi atau situs paparan potensi dilindungi.
WHO (2011) juga menyebutkan bahwa konsistensi penggunaan kondom dapat
mengurangi transmisi HIV sebesar 64% dan IMS sebesar 42%.
Penyakit Sifilis hampir seperempatnya akan kambuh bila tidak di obati, pada
sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kegagalan terapi
sebanyak 5% pada SI dan SII. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah
(50)
Menurut CDC STD Treatment Guidelines (2011) disebutkan bahwa Benzatin
penisilin G, Bicillin adalah obat pilihan terbaik untuk pengobatan semua tahap sifilis
dan merupakan satu-satunya pengobatan dengan keberhasilan yang digunakan untuk
sifilis pada masa kehamilan.Penisilin memang tetap merupakan obat pilihan utama
karena murah dan efektif. Berbeda dengan gonokokus, belum ditemukan resistensi
treponema terhadap penisilin. Konsentrasi dalam serum sejumlah 0,03 UI/ml sudah
bersifat treponemasidal namun menetap dalam darah selama 10-14 hari pada sifilis
menular, 21 hari pada semua sifilis lanjut dan laten.
Pada penderita sifilis yang alergis terhadap penisilin dapat diberikan pada
sifilis S.I dan S.II: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 15 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg per oral selama 15 hari. Pada Late sifilis (> 1 tahun) sama seperti dosis diatas
selama 4 minggu: Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg per oral selama 30 hari
2.2. Lelaki Suka Lelaki (LSL)
Lelaki Suka Lelaki atau Gay merupakan kelompok “Homoseksual”. Kata
Homoseksual berasal dari dua kata, yang pertama adalah berasal dari kata “homo”
yang berarti sama, yang kedua “seksual” berarti mengacu pada Pengaruh kelamin,
Pengaruh seksual. Sehingga homoseksual adalah aktivitas seksual dimana dilakukan
oleh pasangan yang sejenis (sama) kelaminnya.
Sedangkan pengertian lain dari homoseksual adalah rasa tertarik secara
(51)
lebih menonjol (predominan) atau semata-mata (eksklusif), terhadap orang-orang
yang berjenis kelamin sama dengan atau tanpa Pengaruh fisik (jasmaniah). Istilah gay
menunjukkan pada homophile laki-laki.Gay berarti orang yang meriah. Istilah ini
muncul ketika lahir gerakan emansipasi kaum homoseks (laki-laki maupun
perempuan) yang dipicu oleh peristiwa Stonewall dari New York pad tahun 60-an.
(Oetomo, 2001).
Lelaki Suka Lelaki atau sering disebut juga Gay adalah istilah laki-laki yang
mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama laki-laki atau disebut juga laki-laki
yang mencintai laki-laki secara fisik, seksual, emosional ataupun secara
spiritual.Secara psikologis, gay adalah seorang laki-laki yang penuh kasih.Mereka
juga rata-rata mempedulikan penampilan, dan sangat memperhatikan apa-apa saja
yang terjadi pada pasangannya.
2.2.1. Penyebab terjadinya Homoseksual
Menurut Kartono (1989), Homoseksualitas adalah relasi seks dengan jenis
kelamin yang sama atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Banyak
teori-teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksualitas diantaranya adalah :
a. Faktor herediter berupa tidak seimbangnya hormon-hormon seks
b. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi
perkembangan kematangan seksual yang normal
c. Seseorang yang mencari kepuasan relasi homoseks, karena pengalaman
(52)
d. Pengalaman traumatis dengan ibunya sehingga timbul kebencian atau
antisipasiterhadap ibunya dan semua wanita.
2.2.2. Ciri-ciri Lelaki Suka Lelaki (LSL)
Adapun ciri-ciri seorang LSL adalah sebagai berikut :
a. Laki-laki yang secara eksklusif berpengaruh seks dengan laki-laki lain.
b. Laki-laki yang berpengaruh seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya
berpengaruh dengan perempuan.
c. Laki-laki yang berpengaruh seks dengan laki-laki maupun perempuan tanpa ada
perbedaan kesenangan.
d. Laki-laki yang berpengaruh seks dengan laki-laki lain dikarenakan mereka tidak
mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan,
dan lain-lain.
2.3. Faktor –faktor yang Berpengaruh dengan Sifilis pada Lelaki Suka Lelaki
Melihat tingginya angka prevalensi sifilis pada Lelaki Suka Lelaki,
identifikasi terhadap faktor-faktor terkait yang berpengaruh perlu dilakukan.
Beberapa faktor risiko yang diduga menjadi penyebab meningkatkan jumlah
prevalensi penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka Lelaki dan yang berpengaruh
meningkatkan risiko penularan sifilis antara lain :
2.3.1. Umur
Umur merupakan salah satu variabel yang penting dalam mempengaruhi
(53)
lebih dewasa memiliki pertimbangan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang
yang belum dewasa (Azwar, 1985). Penelitian tentang Pengaruh antara umur dengan
kejadian sifilis pada populasi LSL belum banyak ditemukan. Namun literatur kaitan
umur yang lebih tua sebagai faktor risiko sifilis beberapa sudah tercatat. Sebuah
penelitian tentang sifilis kongenital mencatat bahwa usia wanita yang lebih tua (di
atas 30 tahun) merupakan risiko untuk terkena sifilis di Tanzania (Yususi: 2010)
sementara J Todd et al (2001) menyebutkan sebanyak 20% sifilis positif pada pria
berusia 35- 44 tahun.
Penelitan Sarah Thomas (2011) menyebutkan pada kalangan Non-MSM
termasuk populasi LSL didapatkan sifilis pada usia 30-49 thn (OR 3,36 ,95% CI
1,347-8,225) dan pada usia 50 ke atas (OR 4,76 95 % CI 1,522- 14,853). Sementara
itu penelitian yang dilakukan oleh Thomas E dkk (2011) di Thailand pada kelompok
LSL, umur yang lebih tua menjadi faktor risiko infeksi HIV.
2.3.2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang diduga dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
dalam kegiatan apa saja. Tingkat pendidikan kesehatan tidak dapat segera membawa
manfaat bagi masyarakat dan yang mudah dilihat dan diukur. Karena pendidikan
adalah “Behavior Investment” jangka panjang dan hasilnya dapat dilihat beberapa
tahun kemudian (Soekidjo N. 2007).
Penelitian lain memyebutkan bahwa pada orang yang tidak mengenyam
pendidikan tingkat dasar (no primary education) berpengaruh dengan risiko
(54)
kelompok LSL didapatkan tingkat pendidikan rendah berpengaruh dengan HIV (OR
=2,08 95% CI 1,17-3,68). Walaupun demikian pada penelitian Thomas E (2012) pada
kelompok LSL di Thailand menyebutkan bahwa sebanyak 79,2% dari LSL yang
direkrut dalam penelitian tersebut sudah menyelesaikan pendidikan di tingkat
menengah keatas ataupun sekolah kejuruan.
2.3.3. Status HIV
Perhatian khusus harus diberikan kepada pemeriksaan dan pengobatan sifilis
pada Waria karena Sifilis adalah ko-faktor risiko untuk penularan HIV (Kemenkes
RI, STBP 2007).
Ada korelasi yang kuat antara penyebaran PMS konvensional dan Penularan
HIV dan pada kedua IMS ulseratif dan non-ulseratif telah ditemukan meningkatkan
risiko penularan HIV secara seksual (Chin, 2006). Sebuah penelitian di Amerika
Latin tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi sifilis pada kelompok LSL adalah
sebesar 42,3 % sementara pada kelompok non LSL sebesar 18.1% (Toibaro J,2009).
Sementara Ruan Y et.al (2007) dalam penelitiannya tentang korelasi HIV
dan Sifilis pada LSL di Cina menyebutkan bahwa Infeksi HIV secara bermakna
dikaitkan dengan seropositif sifilis (OR 3,8, 95% CI, 1,3-10,8).
2.3.4. Penggunaan Kondom
Pemakaian kondom yang benar dan konsisten selama ini telah banyak diyakini
dapat mengurangi risiko penularan Penyakit Menular. Menurut guidelines WHO
(2011) mengenai pencegahan dan pengobatan IMS pada Lelaki Suka Lelaki
(55)
transmisi HIV sebesar 64% dan STI sebesar 43%.
Namun di Indonesia pemakaian kondom masih jarang. Studi yang dilakukan
tahun 2008 menunjukkan bahwa di antara 745 waria dari berbagai kota di Indonesia,
54% melaporkan seks anal tanpa kondom dengan pasangan seksual mereka (Riono, P
et al, 2008). Data dari STBP tahun 2007 mengindikasikan bahwa dikalangan LSL
penggunaan kondom pada seks anal terakhir menurun dari 56,5 % pada tahun
2004-2005 menjadi 39,3% pada 2007 (National AIDS Commission (NAC), 2008).
2.3.5. Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol dan napza dinilai telah memberikan kontribusi dalam
peningkatan risiko IMS dan HIV terutama meningkatkan risiko terhadap perilaku
seks yang tidak aman. Pada hasil penelitian menurut data STBP Kemenkes Tahun
2011 pada 7 populasiKunci, LSL yang mengkonsumsi Alkohol memiliki risiko 0,86
kali lebih besaruntuk terkena infeksi sifilis dibandingkan dengan LSL yang
tidakmengkonsumsi Alkohol (PR=0,86 95% CI 0,70-1,07). Diketahui banyak LSL
dan transgender mengalami masalah dengan alkohol dan zat adiktif yang
meningkatkan risiko untuk HIV karena menghilangkan rasa malu. (Miller et.al,
2011).
2.3.6. Konsumsi Napza Suntik
Konsumsi alkohol dan napza dinilai telah memberikan kontribusi dalam
peningkatan risiko IMS dan HIV terutama meningkatkan risiko terhadap perilaku seks
yang tidak aman. Hal ini disampaikan dalam Studi HIV/AIDS di populasi LSL dan Waria
(56)
Diketahui banyak LSL dan LSL mengalami masalah dengan alkohol dan zat
addiktif yang meningkatkan risiko untuk HIV karena menghilangkan rasa malu.
beberapa diketahui melakukan transaksi seks untuk mendapatkan supply obat
(WHO,2011).
2.3.7. Datang ke Layanan Klinik IMS
Penyediaan layanan pemeriksaan yang mudah diakses, bisa diterima dan
efektif adalah penting bagi pengendalian IMS. Di banyak negara perawatan yang
IMS kebanyakan diperoleh di luar sektor kesehatan publik. Sebuah program yang
seimbang dan komprehensif mungkin memerlukan penguatan semua penyedia
layanan kesehatan penyedia layanan IMS.
Adanya pendapat bahwa perawatan yang berkualitas tinggi IMS harus
disampaikan oleh spesialis klinis maupun staf di klinik IMS. Namun demikian
kesulitan dalam hal akses, penerimaan informasi dan keterbatasan sumber daya
manusia dan ekonomi yang dibutuhkan menyebabkan sulit diterapkan sehingga
dibuat metode yang lebih praktis dalam penyediaan jasa bagi masyarakat umum.
Pada 5 studi intervensi perubahan perilaku yang dilakukan pada tingkat
komunitas LSL dan Waria diketahui menurunkan faktor risiko sebesar 25% (WHO,
2011). IMS secara otomatis menerima konseling pra tes HIV dan kesempatan untuk
dites HIV. Lebih dari 90% LSL yang pernah dites HIV, pernah dites setahun terakhir.
Hali ini menunjukkan adanya perluasan ketersediaan layanan, peningkatan
penerimaan VCT pada LSL, atau kedua-duanya. Kemudahan memperoleh akses
(57)
status juga dikaitkan untuk upaya pencegahan penularan oleh LSL yang telah
berstatus terinfeksi kepada mitra maupun pasangan seks komersilnya (Kemenkes RI,
STBP 2007).
Pada daerah dengan prevalensi sifilis yang tinggi, hasil tes serologis yang
positif kemungkinan menggambarkan adanya infeksi yang pernah terjadi sebelumnya
dan memberikan gambaran kondisi pasien yang mungkin bukan sebenarnya.Pada
hasil tes serologi yang negatif hendaknya tidak mengecualikan adanya ulkus sifilis
primer di awal fase.Tes Serologi non treponemal seperti RPR mungkin memberikan
hasil negatif namun tidak boleh cepat-cepat disimpulkan sebagai tidak adanya infeksi
sifilis (WHO, HIV & STI Prevention & Treatment Guidelines for MSM and LSL
Person 2011: 63).Oleh karena itu interpretasi terhadap hasil diagnosis tes serologi
dan sindromik sangat penting untuk diperhatikan.Tingginya kasus IMS rektal pada
waria harus ditangani dengan pemberian pengobatan berkala (Predictive Presumptive
Treatment) serta penapisan IMS yang lebih teratur bagi waria dan pasangan tetapnya
(mitra).PPT harus diperluas ke kalangan Waria dan pasangan tetapnya karena
penapisan dan pengobatan IMS rutin belum berhasil mengurangi prevalensi IMS
(58)
2.4. Landasan Teori
Determinanpenyakit Sifilis pada kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) dengan
modifikasi Teori yang dianggap paling cocok yaitu modifikasi Teori dari WHO
(2006) yang telah dipaparkan di atas digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Teori (Dimodifikasi dari Teori Konsep Penularan Penyakit Menular “R. Beaglehole”, Bonita et al (2006) dalam Basic
Epidemiology.)
Penggunaan Kondom
Status HIV
Konsumsi Alkohol
Umur
Penggunaan Napza Suntik
Datang Ke Klinik IMS
Tingkat Pendidikan
Susceptible
Host Infection Syphilis
Kontak dengan kuman Treponema
Pallidum
Invasi ke tubuh melalui permukaan
kulit utuh dan masuk ke darah
(59)
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dibuat berdasarkan latar belakang dan landasan teori, yaitu
sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
1. Umur
2. Tingkat Pendidikan 3. Status HIV
4. Penggunaan Kondom 5. Penggunaan Napza Suntik 6. Konsumsi Alkohol
Penyakit Sifilis Pada Lelaki Suka Lelaki
Variabel Independen
(60)
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan kasus kontrol. Studi analitik ini adalah riset epidemiologi yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan tentang determinan penyakit sifilis.
Sedangkan pendekatan pada kasus kontrol (case control) yaitu mengidentifikasi kasus terlebih dahulu, disusul dengan mengidentifikasi kontrol. Setelah itu, diselidiki beberapa faktor risiko disangka sebagai penyebab penyakit sifilis.
Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif atau menelusur ke belakang
yang mengalami sifilis, membandingkan antara kejadian pada kelompok kasus (penderita sifilis) dan kelompok kontrol (tidak mengalami sifilis) berdasarkan status paparan faktor risikonya.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary
Counseling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan dan waktu penelitian dimulai pada bulan April 2014 sampai dengan bulan Juni 2014.
3.7 Populasi dan Sampel 3.7.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua lelaki suka lelaki (LSL) yang
(61)
Untuk menentukan populasi penelitian, terlebih dahulu dilakukan penentuan
besar sampel minimal pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rumus
Lameshow (1997) :
Keterangan:
n : Besar sampel minimal α : Taraf kemaknaan 5% Z1-α/2
Z
: Nilai distribusi baku normal pada α = 5% sebesar 1,96 1-β :
P
Nilai distribusi baku normal pada 1-β = 80% sebesar 0,842 1
P
* : Proporsi paparan pada kasus
2
Dari persamaan di atas dan didasarkan pada perhitungan P * : Proporsi paparan pada kontrol
2
Tabel 3.1 Jumlah Sampel untuk Variabel Perbandingan Satu Kasus
dan OR hasil
penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu, dimana jumlah sampel setiap variabel dengan α = 0,05 perbandingan 1 kasus dan 1 kontrol dapat dihitung besar sampel minimal seperti tabel berikut :
dan Satu Kontrol
Peneliti Variabel P1 P2 OR
P. Riono et al., (2008) Indonesia
Pemakaian Kondom 0,81 0,54 3,632
Z. Ahmed et al., (2011) Pakistan
(62)
50 = n 178 , 50 = n 073 , 0 663 , 3 = n
(
)
2 2 ) 54 , 0 81 , 0 ( 54 , 0 1 ( 54 , 0 ) 81 , 0 1 ( 81 , 0 842 , 0 ) 54 , 0 1 ( 08 , 1 96 , 1 − − + − + − = n(
)
2 2 ) 27 , 0 ( 402 , 0 842 , 0 497 , 0 96 , 1 + = n(
)
2 2 ) 27 , 0 ( 533 , 0 381 , 1 + = n( )
) 2 1 ( 2 ) ( 2 1 P P OR P OR P − + =(
)
) 54 , 0 1 ( 54 , 0 ) 632 , 3 ( 54 , 0 632 , 3 1 − + = P 46 , 0 961 , 1 961 , 1 1 + = P 809 , 0 1= PPerhitungan besar sampel berdasarkan variabel pemakaian Kondom dengan
OR : 3,632 dan P2 : 0,54 diambil dari penelitian terdahulu (P. Riono et. al., 2008),
sehingga didapat P1 :
Dari perhitungan diatas jumlah sampel minimal kasus sebanyak 50 orang.
Pada penelitian ini, perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1 dengan besar sampel
kasus sebanyak 50 orang dan kontrol sebanyak 50 orang, total keseluruhan sampel
(63)
3.3.2. Sampel Kasus dan Kontrol a. Kasus
Kasus adalah seluruh penderita sifilis pada kelompok LSL yang berobatdi
Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan tahun 2013.
Kriteria inklusi kasus :
- Bersedia sebagai responden dalam penelitian ini
- Bertempat tinggal di Kota Medan
Kriteria eklusi kasus :
- Tidak bersedia menjadi responden
- Tidak bertempat tinggal di Kota Medan
b. Kontrol
Kontrol adalah kelompok LSL yang tidak menderita sifilis yang datang
berobat di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan tahun 2013.
Kriteria inklusi kontrol :
- Pernah minimal sekali berkunjung di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan
yang dinyatakan negatif sifilis dari hasil laboratorium.
- Bertempat tinggal di Kota Medan
Kriteria eklusi kontrol :
- Tidak pernah berkunjung di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan.
(64)
3.8 Pengumpulan Data 3.8.1 Data Primer
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada
responden menggunakan kuesioner (data primer), dan melakukan observasi untuk
melihat paparan faktor risiko pada penderita sifilis.
Pada waktu pengumpulan data peneliti bekerja sama dengan tenaga kesehatan
yang bertugas di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan. Peneliti juga menggunakan
1 orang tenaga enumerator yang telah dilatih terlebih dahulu oleh peneliti yaitu
petugas kesehatan lulusan keperawatan yang berstatus sebagai tenaga medis di tempat
penelitian tersebut.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari profil kesehatan Indonesia,
profil Dinas Kesehatan Kota Medan dan bahan bacaan yang relevan dengan tujuan
penelitian.
3.9 Variabel dan Definisi Operasional 3.9.1 Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas (independent variabel) dan
variabel terikat (dependent variabel). Dalam variabel bebas meliputi umur, tingkat
pendidikan, status HIV, penggunaan kondom, penggunaan NAPZA suntik, konsumsi
alkohol, dan datang ke layanan klinik IMS, sedangkan variabel terikat adalah
(1)
Chi-Square Tests Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 33.532a 1 .000
Continuity Correctionb 31.002 1 .000
Likelihood Ratio 39.792 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 33.196 1 .000
N of Valid Casesb 100
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Konsumsi
Alkohol (Ya / Tidak) 57.522 7.357 449.733 For cohort Penyakit Sifilis =
Positif 3.019 2.139 4.261
For cohort Penyakit Sifilis =
Negatif .052 .008 .362
(2)
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Penyakit_Sifilis
/METHOD=ENTER Pemakaian_Kondom Napza_Suntik Konsumsi_Alkohol /PRINT=GOODFIT CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).
Logistic Regression
[DataSet1] D:\AA PROJECT
PENELITIAN\THESIS-THESIS\YULIA MARYANI\Tesis_dr Yulia Maryani\Complete_Tesis_dr Yulia Maryani\Master Data Penelitian.sav
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 100 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 100 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 100 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable
Encoding Original
Value Internal Value
Positif 0
Negatif 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted Penyakit Sifilis
Percentage Correct Positif Negatif
Step 0 Penyakit Sifilis Positif 0 50 .0
Negatif 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
(3)
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Pemakaian_Kondom 26.272 1 .000
Napza_Suntik 6.383 1 .012
Konsumsi_Alkohol 33.532 1 .000
Overall Statistics 47.140 3 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 61.000 3 .000
Block 61.000 3 .000
Model 61.000 3 .000
Model Summary Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 77.629a .457 .609
a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .870 3 .833
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Penyakit Sifilis = Positif Penyakit Sifilis = Negatif
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 6 6.000 0 .000 6
2 21 20.577 0 .423 21
3 3 3.423 1 .577 4
4 16 16.423 18 17.577 34
(4)
Classification Tablea
Observed
Predicted Penyakit Sifilis
Percentage Correct Positif Negatif
Step 1 Penyakit Sifilis Positif 30 20 60.0
Negatif 1 49 98.0
Overall Percentage 79.0
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a Pemakaian_Kondom 2.105 .626 11.324 1 .001 8.207 2.408 27.969
Napza_Suntik 20.311 1.423E4 .000 1 .999 6.624E8 .000 . Konsumsi_Alkohol 3.953 1.102 12.862 1 .000 52.090 6.005 451.840 Constant -50.566 2.845E4 .000 1 .999 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Pemakaian_Kondom, Napza_Suntik, Konsumsi_Alkohol.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Penyakit_Sifilis
/METHOD=ENTER Pemakaian_Kondom Konsumsi_Alkohol /PRINT=GOODFIT CI(95)
(5)
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted Penyakit Sifilis
Percentage Correct Positif Negatif
Step 0 Penyakit Sifilis Positif 0 50 .0
Negatif 0 50 100.0
Overall Percentage 50.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant .000 .200 .000 1 1.000 1.000
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Pemakaian_Kondom 26.272 1 .000
Konsumsi_Alkohol 33.532 1 .000
Overall Statistics 45.599 2 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 56.780 2 .000
Block 56.780 2 .000
Model 56.780 2 .000
Model Summary Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
(6)
Model Summary Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 81.849a .433 .578
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .844 2 .656
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Penyakit Sifilis = Positif Penyakit Sifilis = Negatif
Total Observed Expected Observed Expected
Step 1 1 24 23.584 0 .416 24
2 3 3.416 1 .584 4
3 19 19.416 18 17.584 37
4 4 3.584 31 31.416 35
Classification Tablea
Observed
Predicted Penyakit Sifilis
Percentage Correct Positif Negatif
Step 1 Penyakit Sifilis Positif 46 4 92.0
Negatif 19 31 62.0
Overall Percentage 77.0
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a Pemakaian_Kondom 2.270 .619 13.450 1 .000 9.680 2.877 32.566
Konsumsi_Alkohol 3.938 1.102 12.767 1 .000 51.306 5.917 444.896 Constant -10.245 2.405 18.143 1 .000 .000