Hubungan Antara Kadar Magnesium Dan Ferritin Serum Dengan Frekuensi, Durasi Dan Intensitas Migren

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

MIGREN

II.1.1. Definisi Migren
Migren telah diderita umat manusia selama berabad-abad. Diskripsi
serangan migren akut muncul pada awal abad kedua Masehi pada tulisan
Aretaeus of Cappadocia. Istilah migren berasal dari kata Yunani kuno
hemikranios yang berarti “half head” (Boes dkk, 2004).
Migren adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan
selama 4-72 jam, yang bersifat unilateral, berdenyut, intensitas sedang
atau berat, dimana nyeri akan bertambah berat dengan aktifitas fisik yang
rutin dan diikuti dengan nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia. Keluhan
nyeri kepala dapat didahului dengan gejala aura (Sjahrir dkk, 2013).
Migren merupakan nyeri kepala episodik dengan perubahan
neurologis, gastrointestinal dan otonom. Faktor genetik penting pada
migren, namun pola pewarisan spesifik belum ditetapkan (Adams, 2008).


II.1.2 Epidemiologi Migren
Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 28 juta penderita migren,
dimana dua pertiga diantaranya adalah wanita. Berdasarkan kepustakaan
negara barat bahwa prevalensi migren pada orang dewasa adalah sekitar

Universitas Sumatera Utara

10-20% setahun, pria 6% dan wanita 15-18%, dimana migren dengan
aura 4% sedangkan migren tanpa aura 6% (Sjahrir,2008).
Sedangkan di Indonesia, dari hasil penelitian berbasis rumah sakit
pada 5 rumah sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita
migren tanpa aura 10%, dan migren dengan aura 1,8% dari seluruh nyeri
kepala primer (Sjahrir, 2004).
Prevalensi tertinggi penderita migren terjadi antara usia 25 dan 55
tahun. Prevalensi tertinggi pada wanita dibanding pria dengan rasio
bervariasi antara 2:1 saat 15 tahun, meningkat menjadi 3.5:1 pada usia 39
tahun, dan menurun menjadi 2.5:1 pada usia 70 tahun. Sekitar 57% pria
dan 76% wanita mengalami satu atau lebih serangan migren perbulan
(O’sullivan dkk, 2006).


II.1.3 Klasifikasi Migren
Migren berdasarkan The International Classification of Headache
Disorders, 2nd Edition termasuk dalam kelompok nyeri kepala primer (The
International Headache Society, 2004).
Berdasarkan

The

International

Classification

of

Headache

Disorders, 2nd Edition (2004), klasifikasi migren adalah sebagai berikut:
1. Migren tanpa aura
2. Migren dengan aura
2.1.


Nyeri kepala migren dengan aura tipikal

2.2.

Nyeri kepala non-migren dengan aura tipikal

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Aura tipikal tanpa nyeri kepala

2.4.

Familial hemiplegik migren

2.5.

Sporadik hemiplegik migren


2.6.

Migren tipe basiler

3. Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor
migren
3.1.

Cyclical vomiting

3.2.

Migren abdominal

3.3.

Benigna paroksismal vertigo pada anak

4. Migren Retinal

5. Komplikasi migren
5.1.

Migren kronik

5.2.

Status migrenosus

5.3.

Aura persisten tanpa infark

5.4.

Migrenous infark

5.5.

Migraine-triggered seizure


6. Probable migren
6.1.

Probable migren tanpa aura

6.2.

Probable migren dengan aura

6.3.

Probable migren kronik

Universitas Sumatera Utara

II.1.4. Patofisiologi Migren
Patogenesis migren masih belum sempurna dipahami, namun
terdapat lima faktor penyumbang yang telah teridentifikasi, yaitu: 1)
abnormalitas genetik, 2) perubahan endokrin dan ketidakseimbangan

elektrolit, 3) hipereksitabilitas neuronal pada neuron korteks serebral,
secara sementara atau kronik, khususnya pada regio oksipital, 4) cortical
spreading depression,dan 5) aktivasi nervus trigeminal, baik perifer atau
sentral, sebagai suatu pemicu untuk induksi serangan migren. Faktor
tersebut diatas sendiri maupun kombinasi dipercaya menjadi indeks kunci
formasi migren (O’Sullivan dkk, 2006).
Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway dari
sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang
kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan
aktivasi protein kinase seperti 5-HT (histamin), bradikinin, prostaglandin
dan juga mengaktivasi enzim NOS (Sjahrir 2008, Vukovic dkk, 2009).
Adanya aktivasi nervus trigeminal akan melepaskan CGRP dan
peptida lain yang menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi.
Mediator ini meningkatkan CGRP synthase lebih lanjut dan dilepaskan
dalam waktu beberapa jam sampai hari sesuai dengan frekuensi waktu 472 jam serangan migren. Peningkatan sintesa dan pelepasan CGRP
dimediasi oleh pengaktifan dari jaras protein mitogen-activated kinase
(MapK) (Sjahrir, 2008, Vukovic dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Cortical

spreading

depression

adalah

suatu

gelombang

depolarisasi pada substansia grisea serebral yang menyebarluaskan
sepanjang otak pada keadaan kecepatan lambat, 2 hingga 5 mm/min.
Selama proses CSD, peningkatan kalium (K+) ekstraseluler sampai 30
hingga 60 mmol/L, sedangkan kalsium (Ca2+) menurun dari -1.2 menjadi
0.1 hingga 0.2 mmol/L, klorida (Cl-) menurun dari 120 menjadi 50 hingga
70 mmol/L, dan natrium (Na+) menurun dari 150 menjadi 50 hingga 70
mmol/L. Secara stimultan, pH menurun dari 7.3 menjadi -6.9 dan ukuran
ruang ekstraseluler berkurang hingga kira-kira setengah nilai normal

akibat perpindahan air kedalam neuron. Asupan air kedalam dendrit
menyebabkan pembengkakan neuron reversibel sementara volume
astrosit tetap konstan. Mekanisme yang menginisasi CSD masih belum
dipahami sepenuhnya. Namun, peningkatan sedikit kadar K+ dan
transmiter cukup untuk mencetuskan penyebaran CSD. Lebih lanjut,
depolarisasi neuron sebagai konsekuensi transmisi sinaps diharapkan
untuk memindahkan blok voltage-sensitive Mg2+ reseptor NMDA, dan
sensitisasi reseptor untuk peningkatan kecil glutamat interstitial. Interaksi
glutamat dengan reseptor NMDA mencetuskan pelepasan K+ dan
glutamat

dan

selanjutnya

depolarisasi

neuronal

yang


akan

mempropaganda regio sekitarnya dan memulai proses dari awal lagi.
(Lauritzen dkk, 2011, Haerter dkk, 2012, Vukovic dkk, 2009, Yablon dkk,
2011).

Universitas Sumatera Utara

Pemahaman tentang migren berjalan dinamis sepanjang setengah
abad terakhir ini, mulai dari gangguan vaskular secara primer ke
gangguan neurovaskular dan sekarang menjadi gangguan otak, gangguan
primer neuron dibanding pembuluh darah. Tidak ada model tunggal yang
dapat menjelaskan semua gejala migren. Kini, migren dikarakteristikan
sebagai suatu abnormalitas pada sirkuit modulasi nyeri di batang otak.
Periaqueductal gray (PAG) tampaknya mempunyai peranan penting pada
genesis migren dan telah dilabel sebagai ‘generator migren’ (gambar 1).
Studi neuroimajing migren terkini memperoleh bahwa adanya gangguan
fungsional konektivitas antara sirkuit modulasi nyeri batang otak dan pusat
kortikal (limbik). Pengaruh antara batang otak dan pusat kortikal adalah

hubungan dua arah, refleksi interaksi dua arah nyeri dan mood. Disfungsi
neurolimbik mungkin meningkat sebagai migren menjadi lebih kronik atau
refraktori. Model neurolimbik perluasan model migren sebagai suatu
disfungsi nukleus batang otak (Maizels dkk, 2012, Yablon dkk, 2011).
Pemahaman terbaik migren adalah sebagai gangguan primer otak
dan bukan pembuluh darah. Setelah bukti neuroimajing aktivasi batang
otak selama serangan spontan migren, menjadikan migren dideskripsikan
sebagai disfungsi kanal ion pada nukleus aminegik batang otak yang
secara normal memodulasi masukan sensorik dan memberikan pengaruh
neural

pada pembuluh kranial

atau gangguan sistem

modulator

subkortikal. Nukleus batang otak yang paling sering dikutip adalah PAG,
regio kritikal terlibat pada modulasi nyeri desending, nukleus raphe

Universitas Sumatera Utara

dorsalis (nukleus utama serotonergik), dan locus ceruleus (nukleus utama
noradrenergik). Nosiseptor di daerah ganglion trigeminal (transmisi firstorder)

menjadi

peka,

menyebabkan

sensitisasi

nukleus

kaudatus

trigeminal (transmisi second-order), menyebabkan sensitisasi nukleus
batang otak dan talamus (third order). Proyeksi jaringan thalamokortikal,
sebagai jaringan utama neuron trigeminovascular-sensitive dari talamus
ke wilayah luas korteks adalah memainkan peranan penting dalam
transmisi sinyal nosiseptik dari meningen ke korteks (Maizels dkk, 2012).

Gambar 1. Jalur neurolimbik migren, PAG sebagai generator migren.
Dikutip dari: Maizels, M., Aurora, S., Heinricher, M. 2012. Beyond neurovascular:
Migraine as a dysfunctional neurolimbic pain network. Headache;52:1553-1565

Universitas Sumatera Utara

Functional brain mapping dengan PET menunjukkan adanya
aktivasi midbrain dorsalis, termasuk periakuaduktus grisea (PAG), dekat
locus coeruleus pada studi selama mgren tanpa aura. Aktivasi pons
dorsolateralis tampak dengan PET pada migren episodik spontan dan
kronik. Besi berlebihan yang tercatat pada PAG pasien dengan migren
episodik dan kronik (Goadsby, 2012).

II.1.5. Manifestasi Klinis Migren
Terdapat lima fase migren, yaitu: 1) premonitory, 2) aura, 3) nyeri
kepala, 4) resolusi nyeri kepala, 5) postdromal. Fase premonitory
mengenai 40% hingga 60% pasien penderita migren dan termasuk
behavior, emosional, autonom dan gangguan pokok lain yang muncul satu
atau dua hari sebelum nyeri kepala. Gangguan ini mungkin seperti
gangguan tidur, keinginan makan, kelelahan, menguap, depresi dan
euforia. Pencetus migren tanpa aura kemungkinan komponen fase
premonitory tersebut diatas (Adams, 2008).
Biasanya aura mendahului nyeri kepala tetapi dapat menyertainya.
Keluhan aura reversibel dan berkembang selama 5 menit atau lebih tetapi
berlangsung tidak lebih dari 60 menit. Nyeri kepala migren biasanya
unilateral tetapi dapat juga bilateral pada hampir 40% pasien. Banyak
keluhan yang dapat menyertai fase nyeri kepala, seperti mual, muntah,
dan gangguan visual. Keluhan otonom termasuk hipertensi, hipotensi,
hidung tersumbat, vasokontriksi perifer, takikardia, dan bradikardia.

Universitas Sumatera Utara

Keluhan lain, yaitu fatigue, perubahan emosional, abnormalitas sensorik,
dan retensi cairan. Jangka waktu untuk fase nyeri kepala bervariasi antara
4 hingga 72 jam. Keluhan fase postdromal biasanya adalah keluhan
kelelahan dan kebingungan mental yang dapat berlangsung untuk satu
atau dua hari (Adams, 2008).
Fase klinis migren dari literatur lain dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
fase pre-nyeri kepala, fase nyeri kepala dan fase resolusi. Fase pre-nyeri
kepala termasuk fase premonitory dan aura migren, yang mendahului fase
nyeri kepala yang berlangsung beberapa jam hingga hari. Gejala fase
premonitory dominan fisik dan somatik sedangkan manifestasi fase aura
lebih gejala neurologis. Sedangkan fase resolusi atau postdromal
terkadang disebut sebagai “migraine hangover”. Walaupun ketiga fase ini
mengkarakteristikan stadium migren, banyak pasien tidak mengalami
model khas ini, terkadang mereka mengalami hanya beberapa gejala
klinis. Dan, kriteria diagnosis migren menurut the International Headache
Classification membutuhkan dua dari empat karakteristik nyeri dan hanya
satu dari dua keluhan yang menyertainya (DeMaagd, 2008).

ii.1.6. Diagnosis Migren
Diagnosis migren berdasarkan kriteria International Headache
Society, yaitu pasien harus mengalami setidaknya lima serangan migren
yang berlangsung 4-72 jam dan karakteristik nyeri kepala harus memiliki
setidaknya dua dari kriteria dibawah ini, yaitu: (Sjahrir dkk, 2013)

Universitas Sumatera Utara



Lokasi unilateral



Nyeri kepala berdenyut



Intensitas nyeri sedang hingga berat



Nyeri makin berat bila aktifitas fisik ( berjalan atau menaiki tangga)

Dan tambahan, selama nyeri kepala, pasien harus memiliki gejala
setidaknya satu dari kriteria dibawah ini, yaitu:


Mual dan/atau muntah



Photofobia dan phonofobia.

II.2. MAGNESIUM
Magnesium merupakan elemen penting yang mengkontrol fungsi
adenosine triphosphate normal, metabolisme glukosa dan beragam fungsi
seluler lain. Elemen ini juga terlibat dalam fungsi otot skeletal dan kardiak
dan kontraksi sitokeleton (Mauskop dkk, 2012).
Dari total magnesium tubuh, 67% ditemukan di tulang dan 31%
berlokasi di intraseluler, hanya sisa 2% yang terukur di ruang
ekstraseluler. Sehingga, kadar yang terukur pada pemeriksaan rutin darah
tidak

sepenuhnya

Hypomagnesium

mengambarkan

merupakan

cadangan

defisiensi

magnesium

magnesium

paling

tubuh.
umum.

Defisiensi magnesium sering ditemukan pada penyakit kronis dan
biasanya terjadi rangkaian dengan abnormalitas elektrolit lainnya.
Beberapa obat yang mungkin dapat menyebabkan hipomagnesium, yaitu
diuretik,

digoksin,

aminoglikosida,

amfoterisin,

dan

cisplatin.

Universitas Sumatera Utara

Hipomagnesium adalah umum, terjadi sekitar 14,5% pada populasi umum
(Mauskop dkk, 2012).
Magnesium diserap dalam saluran pencernaan, melalui saluran
epitel usus di ileum serta oleh sistem ginjal di tubulus distal dan lengkung
Henle nefron. Absorbsi ion Mg dan Ca diregulasi oleh kelenjar paratiroid.
Penyerapan magnesium dipengaruhi oleh asupan protein serta fosfat dan
lemak. Magnesium diet dikeluarkan melalui urin, namun secara iatrogenik,
pemberian magnesium oral dapat dieksresikan melalui feses (Yablon dkk,
2011).
Sulit untuk mengukur kadar magnesium secara akurat, oleh karena
magnesium pada peredaran darah hanya mewakili 2% magnesium total
tubuh. Pengukuran magnesium terionisasi atau kadar magnesium sel
darah merah dianggap kemungkinan lebih akurat, namun pemeriksaan
laboratorium ini lebih sulit dan membutuhkan biaya lebih mahal (Tepper,
2013).
Cytosolic free magnesium (cytosolic [Mg2+]) mempunyai fungsi
sebagai isi energi sel otak dan bioenergetic seluler. Bila respirasi
mitokondria tidak sempurna maka dapat terjadi kekacauan homeostasis
cytosolic [Mg2+]. Kadar cytosolic [Mg2+] di otak manusia adalah kira-kira
setengah dari kadar terukur pada otot skeletal. Hasil ini kemungkinan
terkait pada konsentrasi ATP jaringan otak lebih rendah. Konsentrasi
cytosolic [Mg2+] dapat dinilai dengan phosphorus magnetic resonance
spectroscopy (pMRS) (Lotti dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Fosfat anorganik (inorganic phosphate/PI), phosphocreatine (PCr)
dan ATP adalah ligan pokok Mg2+ diantara molekul terfosforilasi yang
hadir pada sel sitosol (gambar 2). Namun, pada matriks sitosol,
magnesium berikatan primer pada ATP membentuk MgATP2-, yang
merupakan jenis aktif pada ikatan enzim serta menghasilkan energi dalam
bentuk transportasi aktif dan kontraksi muskular (Lotti dkk, 2011).
Dari hasil penelitian kohort diperoleh bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan cytosolic [Mg2+] pada usia dan jenis kelamin. Kini,
setelah pengukuran cytosolic [Mg2+] dapat dilakukan membuka peluang
penelitian untuk mempelajari keterlibatan magnesium pada patologi
neurologik

yang

berbeda-beda.

Terutama

yang

menarik

adalah

mitochondria cytopathies dan migren, dimana produksi energi mitokondria
rusak adalah masing-masing penyebab utama atau diduga faktor
patogenetik (Lotti dkk, 2011).
Pengukuran Mg2+ total seluler dengan berbagai teknik secara
konsisten menunjukkan bahwa konsentrasi total Mg2+ berkisar antara 17
hingga 20mM pada mayoritas tipe sel. Sedangkan kadar cytosolic [Mg2+]
bebas antara 0.5 – 1mM atau kurang dari 5% Mg2+ total intraseluler.
Dengan mempertimbangan distribusi seluler dan asumsi konsentrasi Mg2+
plasma dan cairan ekstraseluler adalah 1.2 – 1.4mM, dimana sepertiga
magnesium tersebut berikatan dengan protein ekstraseluler (misalnya
albumin) dan gugus biokimia lainnya (Romani, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Skema molekul utama terfosforilasi pada sel sitosol otak.
Dikutip dari: Lotti, S., Malucelli, E. 2011. Free magnesium concentration in the human
brain. In: Vink, R., Nechifor, M. Eds. Magnesium in the central nervous system. South
Australia. University of Adelaine Press. p3-10

Kadar magnesium serum adalah 0.7- 1.0 mmol/L (1.8 – 2.4 mEq/L).
Kadar magnesium serum mungkin tampak normal bahkan pada kasus
defisiensi

intraseluler,

dan hipomagnesemia sejati

adalah

umum,

kemungkinan karena kekurangan asupan atau absorbsi, ekskresi
berlebihan melalui urin atau diare atau faktor genetik (Yablon dkk, 2011).

II.3. FERRITIN
Besi essensial karena terlibat dalam protein pembawa oksigen,
penyimpanan dan aktivasi, transportasi elektron dan pada beberapa
enzim metabolik. Hingga 25% konsumsi total oksigen tubuh adalah oleh

Universitas Sumatera Utara

proses metabolik otak, yang berimplikasi pada pemakaian besi relatif
tinggi. Besi non-heme secara primer disimpan dalam protein ferritin nontoksik, namun dapat juga hadir dalam bentuk larut tidak terlindung. Besi ini
dapat menjadi toksik karena ia dapat mengkatalisasi pembentukan radikal
bebas, yang dapat menuju ke kerusakan DNA, protein dan sel neuron
(Kruit dkk, 2009; Zecca dkk, 2004).
Homeostasis global besi diregulasi pada tingkat penyerapan besi
dari traktus gastrointestinal, dimana sebanyak 1-2 mg besi diserap per
hari, dan jumlah yang sama dieksresikan. Protein penting yang terlibat
dalam regulasi besi adalah Haemochromatosis gene (HFE), transferrin
(Tf), iron regulatory protein (IRPs) dan transferrin receptor (TfR), dimana
HFE, Tf dan TfR saling berinteraksi satu sama lain sedangkan IRPs
berinteraksi dengan dengan mRNA ferritin dan TfR (Zecca dkk, 2004).
Kebanyakan sel mengambil besi dari diferric transferrin (Tf-Fe2)
melalui

TfR

dan

transferrin-to-cell

cycle.

Setelah

berikatan

dan

internalisasi kompleks Tf-Fe2 – TfR, besi dilepaskan dari transferrin dalam
keadaan asam, kompartemen endosomal, dan ditransportasi melewati
membran endosomal kedalam sitosol oleh divalent cation transporter
DCT1 (gambar 3). Kemudian masuk menuju ke mitokondria, untuk
menyuplai besi untuk keperluan biosintesis haem dan iron-sulphur cluster
atau besi tersebut disimpan di cytosolic iron-storage protein ferritin. Besi
bebas transferrin (apotransferrin) ditransportasi dan berikatan pada TfR,

Universitas Sumatera Utara

kembali ke membran plasma, dimana ia kemudian dilepaskan kedalam
sirkulasi (Zecca dkk, 2004).

Gambar 3. Siklus Transferrin
Dikutip dari: Zecca, L., Youdim, M.B.H., Riederer, P., Connor, J.R., Crichton, R.R. 2004.
Iron, Brain ageing and neurodegenerattive disorders. Neuroscince;5:863-874

Penyimpanan besi dalam tubuh terdapat dalam dua bentuk, yaitu
ferritin dan hemosiderin. Molekul ferritin adalah suatu protein kerangka
berongga intraseluler berongga yang terdiri dari 24 subunit disekitar inti

Universitas Sumatera Utara

besi yang mungkin berisi sebanyak 4000-4500 atom. Ferritin sebagai
penyimpanan utama besi bersifat non-toksik dan larut namun bentuk
bioavailable yang esensial sebagai mineral fase ferrhydrite. Di dalam
tubuh, sejumlah kecil ferritin disekresikan ke dalam plasma darah.
Konsentrasi

ferritin plasma ini (atau serum) berkorelasi positif dengan

ukuran total penyimpanan total besi tubuh tanpa adanya inflamasi. Nilai
ferritin serum yang rendah mencerminkan penyimpanan besi telah habis
(Zecca dkk, 2004; WHO, 2011).
Konsentrasi ferritin yang normal bervariasi menurut usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi tinggi saat lahir, meningkat selama dua bulan
pertama kehidupan, dan kemudian turun selama masa bayi. Pada sekitar
usia satu tahun, konsentrasi mulai naik kembali dan terus meningkat
hingga dewasa. Dimulai pada masa remaja, bagaimanapun, pria memiliki
nilai yang lebih tinggi daripada wanita, sebuah tren yang berlanjut hingga
usia lanjut. Kadar puncak diantara pria antara usia 30-39 tahun dan
kemudian cenderung untuk tetap konstan sampai usia sekitar 70 tahun.
Diantara wanita, nilai ferritin serum relatif tetap rendah sampai usia
menopause dan kemudian meningkat. Kadar ferritin tubuh, berbeda
dengan hemoglobin, tidak terpengaruhi oleh elevasi tempat tinggal di atas
permukaan laut atau perilaku merokok (WHO, 2011).
Ferritin manusia terdiri dari dua tipe rantai polipeptida, yaitu heavy
(H) dan light (L). Subunit ferritin mempunyai perbedaan fungsi dan dikode
oleh kromosom yang berbeda. Rantai H mempunyai sentral ferroxidase,

Universitas Sumatera Utara

yang dapat mengkatalisasikan oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan cepat,
sementara rantai L dianggap berfungsi dalam nucleation mineral inti
dalam kerangka protein. Ferritin yang kaya dengan rantai L berhubungan
dengan penyimpanan besi, sedangkan ferritin rantai H berhubungan
dengan respon terhadap stress (Zecca dkk, 2004).
Pada otak, semua tipe sel otak mempunyai kapasitas untuk
menyimpan besi namun dengan jumlah yang berbeda-beda. Sel neuron
mengekspresikan kebanyakan H-ferritin, sedangkan L-ferritin lebih banyak
diekspresikan oleh mikroglial dan oligodendrosit mengeskpresikan kedua
subunit dengan jumlah yang sama. Secara keseluruhan, kadar H- dan Lferritin pada neuron jauh lebih rendah dibandingkan pada oligodendrosit.
Sementara astrosit hanya mengekspresikan sejumlah kecil ferritin. Tiga
protein yang dapat mentransportasikan besi tampak berikatan di otak.
Transferritin reseptor (TfR) tampak predominan pada neuron, ikatan
transferritin (Tf) kelihatan eksklusif pada substansia grisea dan ikatan
ferritin tampak pada traktus substansia alba (Zecca dkk, 2004).

II.4. HUBUNGAN MAGNESIUM DENGAN MIGREN
Mereka yang penderita migren mungkin mengekskresi jumlah
magnesium yang berlebihan berhubungan dengan adanya stres, yang
mengakibatkan defisiensi magnesium. Migren juga mempunyai hubungan
dengan kadar rendah magnesium di otak secara interiktal sama seperti
pada pada cairan serebrospinalis. Kadar rendah magnesium pada

Universitas Sumatera Utara

konsentrasi seluler dapat menjadi indikator kadar rendah di serebral, yang
menambah terhadap penurunan ambang untuk nyeri kepala migren.
Penderita migren mungkin menjadi defisiensi magnesium berhubungan
pada

ketidakmampuan

pembuangan

magnesium

genetik
renal

untuk
yang

mengabsorbsi
diturunkan,

magnesium,

ekskresi

jumlah

magnesium berlebihan oleh adanya stress, asupan nutrisi rendah.
Defisiensi magnesium mungkin terjadi hampir setengah penderita migren
(Mauskop dkk, 2012).
Faktor genetik secara jelas mempunyai peranan dalam kerentanan
terhadap nyeri kepala migren, yaitu DRD2. Absorbsi dan ekskresi
magnesium juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Ada kemungkinan
bahwa terdapat suatu hal yang saling melengkapi antara genetik, migren
dan metabolisme magnesium (Mauskop dkk, 2012).
Kadar rendah magnesium bebas (Mg2+) mungkin berkontribusi
pada defisit bioenergetik pada pasien nyeri kepala sebagai magnesium
adalah esensial untuk stabilitas membran mitokondria dan kopling
fosforilasi oksidatif. Migren adalah fitur umum pada pasien dengan
mitochondrial

encephalomyopathies

dimana

kekurangan

oksidasi

mitokondria otak adalah karena mutasi DNA mitokondria. Kadar cytosolic
[Mg2+] rendah telah ditemukan pada otak penderita migren dengan atau
tanpa aura selama serangan maupun pada fase antara serangan pada
pasien migren dengan aura usia muda (Lotti dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Bukti terkuat efektivitas terapi magnesium (400-500 mg/hari) pada
pasien migren dengan aura adalah pencegahan gelombang sinyal otak
CSD

yang menghasilkan perubahan visual

dan sensorik

(aura).

Mekanisme lainnya adalah meningkatkan fungsi platelet dan menurunkan
pelepasan atau memblok kimiawi transmisi nyeri di otak seperti substansi
P dan glutamat. Magnesium juga mencegah vasokontriksi pembuluh
darah otak akibat oleh neurotransmiter serotonin (Tepper, 2013).
Nitric oxide (NO) berperan sebagai modulator sinaptik, yang
mempengaruhi pengolahan nosiseptik selain keterlibatannya dalam
pengaturan pembuluh darah baik intrakranial maupun ekstrakranial. Hal ini
menambah bangkitan arus oleh reseptor NMDA, sehingga menfasilitasi
transmisi glutaminergik yang dapat dihambat oleh magnesium. Produksi
NO dapat dihambat oleh kadar magnesium menurun (Yablon dkk, 2011).
Penelitian Cojocaru dkk tentang hubungan antara konsentrasi
magnesium dengan migren dengan aura, yang dibandingkan dengan
kelompok kontrol, diperoleh konsentrasi Mg serum penderita migren lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol orang sehat. Konsentrasi Mg serum
penderita migren adalah 47.4% dibawah rentang referensi normal. Alasan
defisiensi Mg pada serangan migren masih belum sepenuhnya dimengerti.
Kadar Mg rendah mungkin mempotensiasi sensitivitas reseptor NMDA
terhadap asam glutamat (Glu), suatu asam amino neuroeksitatorik di otak
(Cojocaru dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian kasus kontrol Samaie dkk menentukan kadar total
magnesium serum pada saat serangan migren dan diantara serangan
migren pada 50 penderita migren dibandingkan dengan kelompok orang
sehat. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan kadar total Mg serum dalam dan di antara serangan migren
(1.86±0.41 mg/dl versus 1.95±0.35 mg/dl, p = 0.224). Namun, kadar total
Mg serum penderita migren lebih rendah dibandingkan pada kelompok
kontrol (Samaie dkk, 2012).
Defisensi magnesium berhubungan dengan CSD, pelepasan
neurotransmiter, agregasi platelet, dan vasokonstriksi. Substansi P
dilepaskan sebagai akibat defisiensi magnesium. Magnesium eksternal
mungkin

membantu

untuk

meniadakan

beragam

aspek

inflamasi

neurogenik. Hal ini terlibat dalam mengkontrol reseptor glutamat NMDA,
yang memainkan peranan penting dalam transmisi nyeri dalam sistem
saraf, dan dalam regulasi aliran darah serebral. Sementara, reseptor
NMDA mempunyai peranan dalam inisiasi dan penyebaran CSD. Hasil
dari suatu studi memperoleh bahwa Mg2+ dapat memblok CSD yang
diinduksi oleh glutamat. (Penderita migren mungkin menjadi defisiensi
magnesium

berhubungan

pada

ketidakmampuan

genetik

untuk

mengabsorbsi magnesium, ekskresi jumlah magnesium berlebihan oleh
adanya stress, asupan nutrisi rendah. Defisiensi magnesium mungkin
terjadi hingga setengah penderita migren (Haerter dkk, 2012, Mauskop
dkk, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Transmisi

sinaps

yang

terjadi

pada

CSD

menyebabkan

pemindahkan blok voltage-sensitive Mg2+ reseptor NMDA, dan sensitisasi
reseptor untuk sedikit meningkatkan glutamat interstitial. Adanya interaksi
glutamat dengan reseptor NMDA akan mencetuskan proses CSD dari
awal kembali (Lauritzen dkk, 2011).
Nitric oxide merupakan molekul signaling yang terlibat dalam
regulasi aliran darah serebral dan ekstraserebral dan diameter arteri, serta
memainkan peranan sebagai modulator sinaptik dan terlibat pada proses
nosiseptik. Oleh karena ini, NO dianggap merupakan molekul kunci dalam
perkembangan migren. Selain patogenesis vaskular, blokade NO mungkin
menghambat ekspresi kompleks treigemino-servikalis. Produksi NO dapat
dimodulasi oleh perubahan kadar magnesium, dimana dalam tingkat
rendah diperkirakan akan menghambat produksi NO (Mauskop dkk,
2012).
Molekul kunci lain dalam patogensis migren adalah serotonin,
merupakan molekul vasokonstriksi kuat yang dilepaskan dari platetet
selama serangan, juga mencetuskan mual dan muntah pada migren.
Penurunan

kadar

magnesium

terionisasi

serum

meningkatkan

kemungkinan untuk tempat reseptor serotonin otot vaskular serebral,
mempotensiasi vasokontriksi serebral oleh induksi serotonin, dan
memudahkan pelepasan serotonin dari tempat penyimpanan neuronal.
Vasokontriksi akibat dari serotonin dapat di blok dengan pre-terapi
menggunakan magnesium (Mauskop dkk, 2012).

Universitas Sumatera Utara

II.5. HUBUNGAN FERRITIN DENGAN MIGREN
Konsentrasi ferritin meningkat di putamen, korteks motorik, korteks
prefrontal, korteks sensorik dan talamus selama 30-35 tahun pertama
kehidupan. Seiring dengan penambahan usia, terjadi akumulasi besi
diseluruh otak, dan pola distribusinya tidaklah sama. Akumulasi besi yang
berlebihan dapat secara langsung menyebabkan disfungsi talamus, basal
ganglia, misalnya dengan merusak sinaptik atau modulasi sintesis protein,
menyebabkan
neurotransmiter.

baik

kenaikan

Secara

tidak

maupun
langsung,

penurunan
mekanisme

kadar

lokal

peningkatan

konsentrasi besi menjadikan otak menjadi lebih rentan terhadap stres
oksidatif (Zecca dkk, 2004; Kruit dkk, 2009).
Peningkatan konsentrasi besi pada PAG dianggap sebagai hasil
dari kerusakan homeostasis besi, kemungkinan berhubungan terhadap
cedera radikal bebas yang dikatalisasi besi selama episode berulang
hyperoxia selama serangan migren, dan sehingga sebagai akibatnya
menjadi beban serangan migren. Nukleus merah, PAG dan nukleus
lentiformis merupakan area yang terlibat pada jaringan normal, kompleks
nosiseptik sentral. Selain konsentrasi besi meningkat di PAG, terjadi juga
pada multipel nuklei deep brain yang terlibat pada proses nyeri sentral
pada pasien migren dengan atau tanpa aura dan konsentrasi besi lebih
tinggi pada pasien migren dibanding kontrol dengan usia yang sama.
(Kruit dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Besi mempunyai kemampuan untuk memberikan elektron kepada
oksigen, Kadar besi yang berlebihan pada sitosol atau intralisosom dapat
menuju kepada pembentukan radikal hydroxyl dan anion hydroxyl melalui
reaksi Fenton, yaitu Fe2+ + H2O2

Fe3+ + OH* + OH- (gambar 4).

Peningkatan kadar besi juga membangkitkan radikal peroxyl/alkoxyl
sebagai akibat Fe2+ terhadap peroksidasi lipid. Reactive-oxygen species
(ROS) ini dapat menyebabkan kerusakan seluler (Mills dkk, 2010).
Produksi ROS tersebut dapat terakumulasi pada mitokondria yang
dapat menyebabkan kerusakan DNA mitokondria (mtDNA) sehingga
terjadi disfungsi mitokondria (Mills dkk, 2010; Pieczenik dkk, 2007).
Mitokondria merupakan rumah-kekuatan sel manusia, yang
bertanggung jawab membangkitkan energi sebagai suatu ATP dan panas
dan terlibat dalam jalur signaling apoptosis. Struktur sub-seluler yang
mengandung DNA hanyalah nukleus sel dan mitokondria. Namun tidak
seperti DNA nukleus yang diproteksi oleh histone, yang membungkus
sekeliling DNA nukleus sehingga secara fisik melindungi DNA dari
kerusakan radikal bebas dan juga diperlukan untuk memperbaiki
pemutusan untai ganda DNA. Sedangkan mtDNA tidak diproteksi oleh
histone, sehingga mereka cukup rentan terhadap kerusakan (Pieczenik
dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Pembentukan ROS
Dikutip dari: Mills, E., Dong, X.P., Wang, F., Xu, H. 2010. Mechanisms of brian iron
transport: Insight into neurodegeneration and CNS disorders. Future Med
Chem;2(1):51-73

Nitric oxide diproduksi dalam mitokondria oleh mitochondrial nitric
oxide synthase (mtNOS) dan juga berdifusi secara bebas kedalam
mitokondria dari sitosol (gambar 5). Reaksi NO dengan O-2 menghasilkan
radikal lainnya, yaitu peroxynitrite (ONOO-). Radikal bebas ini bersamasama dengan radikal hydroxyl (OH*), yang berasal dari Fe2+, yang
keduanya mampu menyebabkan kerusakan hebat pada mitokondria
(Pieczenik dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5. Kerusakan oksidatif pada mitokondria.
Dikutip dari: Pieczenik, S.R., Neustadt, J. 2007. Mitochondrial dysfunction and
molecular pathways of disease. Experimental and Molecular Pathology;83:84-92

Kerusakan mitokondria akibat paparan ROS akan menyebabkkan
abnormalitas fosforilasi oksidatif mitokondria sehingga terjadi gangguan
metabolisme energi otak dan berujung pada gangguan sirkulasi kortikal.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian pada pasien migren, dimana
dilakukan MRS phosphorus-31 pada fase diantara serangan migren dan
diperoleh hasil penurunan kadar phosphocreatine dan potensial fosforilasi
dan peningkatan kadar adenosine diphosphate di lobus oksipital. Ketika

Universitas Sumatera Utara

MRS phosphorus-31 dilakukan saat fase serangan migren menunjukkan
menipisnya fosfat berenergi tinggi tanpa disertai perubahan pada PH
intraseluler, yang mengindikasikan bahwa kegagalan energi akibat dari
kecacatan metabolisme aerobik daripada vasospasme dengan iskemik
(Boes dkk, 2004).
Disfungsi

mitokondria

akan

menyebabkan

pemburukkan

metabolisme energi sehingga terjadi hipometabolisme berkepanjangan.
Keadaan hipometabolisme akan mengakibatkan peningkatan eksitabilitas
neuronal dan kerentanan terhadap depolarisasi spontan (Boes dkk, 2004).
Fungsi mitokondria yang abnormal diterjemahkan kepada penetrasi
Ca2+ intraseluler yang tinggi, produksi radikal bebas yang berlebihan, dan
fosforilasi

oksidatif

yang

tidak

mencukupi,

yang

pada

akhirnya

menyebabkan kegagalan energi di neuron dan astrosit, sehingga memicu
mekanisme migren (Yorns dkk, 2013).

Universitas Sumatera Utara

II.6.

KERANGKA TEORI

Universitas Sumatera Utara

II.7.

KERANGKA KONSEPSIONAL

MIGREN

Kadar Magnesium serum
Kadar Ferritin serum

Frekuensi Migren

Durasi Migren

Intensitas Migren

Universitas Sumatera Utara