T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Kritik Sosial pada Film Warkop DKI Reborn: Menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough T1 BAB III

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Dalam menyelesaikan persoalan penelitian dibutuhkan metode sebagai proses yang
harus ditempuh oleh peneliti. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu (Sugiyono 2009, p.2). Secara umum data
yang diperoleh dari penelitian dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan
mengatasi masalah.
Metode yang digunakan untuk menganalisis kritik sosial yang terkandung dalam
film “Warkop DKI Reborn” adalah metode Analisis Wacana Kritis. Metode analisis
wacana kritis adalah metode analisis yang melihat aspek kebahasaan sebagai faktor penting
untuk melihat apa yang sedang terjadi di lingkungan sosial masyarakat.

3.1 PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode
analisis wacana kritis. Kualitatif yaitu jenis pendekatan yang temuan-temuanya tidak
diperoleh melalui prosedur statik atau bentuk hubungan lainnya. Pendekatan kualitatif
menekankan pada interpretatif dan menekankan makna atas kebenaran yang ditangkap
secara objektif.
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksplanatif. Penelitian Eksplanatif
merupakan penelitian yang bertujuan untuk menerangkan, menguji hipotesis dan variabelvariabel penelitian. Fokus penelitian ini adalah analisis hubungan-hubungan antara

variabel (Singarimbun, 1981).
Dalam penelitian ini, jenis penelitian eksplanatif digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara variabel secara mendalam menggunakan bahasa (tulisan, percakapan,
konteks, visual) tertentu dalam film Warkop DKI Reborn.

3.2 UNIT ANALISA DAN UNIT PENGAMATAN
Satuan Analisis adalah suatu keberadaan atau populasi yang tentangnya dibuat
kesimpulan atau kerampatan empiris (Ihalauw, 1985:29). Pada penelitian ini yang menjadi
unit amatan adalah film “Warkop DKI Reborn” yang berdurasi 90 menit dalam bentuk soft
21

file. Sedangkan yang menjadi unit analisa pada penelitian ini adalah keseluruhan adegan
yang ada pada film “Warkop DKI Reborn” yang mengandung didalamnya sarat akan kritik
sosial.

3.3 JENIS SUMBER DATA
Jenis sumber data yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua,
diantaranya yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan kanan

pertama di lapangan (Rakhmat, 1984:43). Sumber data primer dari penelitian ini adalah
soft file film “Warkop DKI Reborn”
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua (Rakhmat, 1984:44).
Sehingga yang menjadi data sekunder pada penelitian ini adalah bahan-bahan
tambahan yang berasal dari sumber tertulis seperti artikel, majalah, website, dan
sumber-sumber lainnya.

3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah :
1. Peneliti memilih film berdasarkan fenomena yang ada saat ini atau yang sedang
berkembang pada saat ini.
2. Setelah memilih film, peneliti kemudian menonton film tersebut hingga selesai.
3. Berdasarkan hasil dari menonton film, peneliti mendapatkan gambaran mengenai
teori-teori apa saja yang akan digunakan yang kemudian peneliti pun membuat
kerangka teori.
4. Peneliti mengumpulkan data menggunakan software edit video dengan cara
memotong adegan-adegan yang didalmnya terkandung pesan kritik sosial. Selain
memotong setiap adegan, peneliti juga mencatat durasi dari setiap adegan.
5. Menganalisis lebih dalam teks, adegan-adegan, dan bentuk-bentuk pesan lainnya

sebagai sumber data menggunakan metode analisis kritis model Fairclough.

22

3.5 TEKNIK ANALISA DATA
Secara teknis data yang telah terkumpul perlu dianalisis untuk disajikan menjadi
suatu hasil penelitian. Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah, karena dengan analisis data, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna
dalam memecahkan masalah penelitian (Nazir, 1985:405). Pada penelitian ini analisis data
dilakukan secara kualitatif. Analisis digunakan untuk memahami hubungan dan konsep data
sehingga hipotesis dapat dikembangkan dan dievaluasi.
Pada penelitian ini menggunakan metode Analisis Wacana Kritis model Norman
Fairclough. Konsep Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu text,
discourse practice, dan socialcultural practice.

3.6 ANALISIS WACANA KRITIS (Critical Discourse Analysis)
3.6.1 Analisis Wacana
Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan
dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok
dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang

diinginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya
kepentingan. Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya kita sadari telah dipengaruhi
oleh si penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu
terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Wacana adalah proses pengembangan

dari komunikasi, yang menggunakan

symbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam
system kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi,
seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, eksistensinya ditentukan oleh
orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi
masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain.
Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam sebuah penelitian adalah sebagai
upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek (penulis) yang mengemukakan
suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang
penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribus dan
produksi ideology yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui.
23


Pemahaman mendasar analisis wacana adalah wacana tidak dipahami semata-mata
sebagai obyek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak
dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis
selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu termasuk praktik ideologi. (Eriyanto, 2009 : 8).
Wacana (discourse) dapat berarti:1
a. Komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi, ide-ide atau gagasan-gagasan,
konversasi, atau percakapan.
b. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu objek studi atau pokok
telaah.
c. Risalat tulis, disertasi formal, kuliah, ceramah, khotbah.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa wacana adalah pemakaian bahasa
dalam komunikasi, baik disampaikan secara lisan (percakapan, ceramah, dll) maupun
secara tertulis (bahasa yang dipakai dalam tulisan ilmiah, surat, dll). Alex Sobur
memberikan pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang
mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu
kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun non segmental bahasa. 2
Sedangkan analisis wacana dirumuskan sebagai studi tentang struktur pesan dalam
komunikasi.3
Dalam analisis wacana, bahasa menjadi unit pengamatan utama. Bahasa menurut

Deddy Mulyana didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas.4 Mohammad A.S Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas dengan baik
perbedaan paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Menurutnya paling tidak ada
tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana.5
Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivism-empiris. Oleh penganut aliran
ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Salah satu

1

Dr. Sumarlan, Teori dan Praktek: Analisis Wacana, Surakarta, Pustaka Cakra, 2003, hal. 3.
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, hal. 11.
3
Ibid, hal 48
4
Deddy, op cit, hal. 237
5
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKiS, 2001, hal 4.

2


24

ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Konsekuensi logis
dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai
yang mendadsari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu
dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu tata
bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivisme-empiris tentang
wacana, wacana lantas diatur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut
sintaksis dan semantik).
Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini dipengaruhi oleh
pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak empirisme/positivism yang memisahkan
subjek dan objek bahasa. Disini bahasa dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objek
belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Aliran ini justru
menganggap subjek sebagai faktor sentral. Subjek memiliki kemampuan melakukan
kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam
paradigm ini, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap
pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan
diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana
dimaksudkan untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu yang

dilakukan dengan cara menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran
mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini mengoreksi
pandangan konttruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi
makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti yang ditulis oleh A. S
Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam
membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisa wacana disini
tidak dipusatkan pada kebenaran atau tidak kebenaran struktur tata bahasa atau proses
penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisa pada paradigma ini menekankan
pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa
disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa
dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk
subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya. Oleh
25

karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam proses
bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti
dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat
bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek,

dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai
perspektif kritis, analisa kategori yang ketiga ini juga disebut sebagai analisa wacana kritis
(critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisa wacana dalam kategori
yang pertama atau yang kedua.

3.6.2 KARAKTERISTIK ANALISIS WACANA KRITIS

Dalam analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA), memandang bahwa
wacana disini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa tetapi juga sebagai kritik atas
konteks sosial yang telah tejadi. Pada akhirnya nanti, analisis wacana menggunakan bahasa
dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis disnini agak berbeda dengan studi
bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan menggambarkan
semata aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Sementara konteks
disini dapat dilihat sebagai latar, situasi, peristiwa, dan kondisi dimana wacana itu muncul.
Kemudian dilihat pula konteks komunikasinya, seperti siapa mengkomunikasikan apa,
dengan siapa mereka berbicara, dan mengapa hal bisa terjadi, dengan jenis khalayak yang
dihadapi seperti apa dan dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi, melalui media
yang bagaimana, bagaimana perkembangan komunikasi yang ada, dan hubungannya
dengan masing-masing pihak.
Menurut Guy Cook ada tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks,

konteks, dan wacana.6 Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, foto,
ilustrasi/gambar, layout, grafik, musik, efek suara, citra, dan sebagainya. Sementara
pengertian wacana disini dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.

1.
6

Tindakan

Ibid, hal.8-9

26

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman
semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Dengan pemahaman
semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama
wacana dipandang sebagi sesuatu yang betujuan apakah untuk mempengaruhi,
mendebat, membujuk, menyangga, beraksi, dan sebagainya.
Prinsip Kedua, wacana dipahami sebagi sesuatu yang diekspresikan secara sadar,

terkontrol. Sebagi contoh di dalam diskusi terjadi terjadi proses debat yang dilakukan
secara terkontrol.
2.

Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar
situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana disini di pandang diproduksi, dimengerti, dan
dianalisis pada suatu konteks tertentu. Bahasa disini dipahami dalam konteks secara
keseluruhan. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks
tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebaginya.
Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang konstan, terjadi di mana saja dan
dalam situasi apa saja. Wacana dibentuk sehingga harus ditafisrkan dalam kondisi dan
situasi yang khusus. Tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang
relevan dan berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan ke dalam
analisis. Ada beberapa konteks yang penting karena bepengaruh terhadap produksi
wacana. Pertama , jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnik, agama, dalam
banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Kedua , setting sosial tertentu,
seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah
konteks yang berguna untuk mengeti suatu wacana. Setting, seperti tempat privat atau
publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruangan tertentu akan
memberikan wacana tertentu pula.
Sebagi contoh berbicara diruang pengadilan berbeda dengan berbicara di
pasar, atau berbicara di rumah berbeda dengan berbicara diruang kelas,karena situasi

27

sosial dan aturan yang melingkupinya berbeda, menyebabkan partisipan komunikasi
harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada.
3. Historis
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan
konteks yang mneyertainya. Salah satu aspek penting untuk bias mengerti teks
adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya,
kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang Soeharto.
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bias
memberikan konteks historis dimana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi social
politik, suasana pada saat itu.
4. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power)
dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks,
percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagi sesuatu yang alamiah, wajar, dan
netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah
salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Seperti, percakapan
antara buruh dengan majikan bukanlah peercakapan yang alamiah, karena disana
terdapat dominasi kekuasaan majikan terhadap buruh tersebut.
Kekuasaan, hubungannya dengan wacana ialah sebagai suatu kontrol. Satu
orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain melalui wacana. Kontrol
yang dimaksud dalam konteks ini tidak harus selalu dalam bentuk fisik dan
langsung, tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok yang dominan
mungkin membuat kelompok lain bertindak sesuai dengan yang diinginkannya.
Kelompok dominan lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, dan
pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan. Bentuk kontrol
terhadap wacana tersebut dapat bermacam-macam, dapat berupa kontrol atas

28

konteks yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah yang boleh dan harus
berbicara, sementara siapa pula yang hanya bisa mendengar dan mengiyakan.
5. Ideologi
Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis.
Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktk ideologi atau
percerminan dari ideologi tertentu. Wacana dalam pendekatan semacam ini
dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi
dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang
mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Dalam teks berita misalnya, dapat
dianalisis apakah teks yang muncul tersebut percerminan dari ideologi seseorang,
apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebagainya.
3.7 ANALISIS WACANA KRITIS MODEL NORMAN FAIRCLOUGH
Seperti Van Dijk, analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar,
bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro.
Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi
dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengombinasikan tradisi analisis tekstual
yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih
luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan
(Eriyanto, 2003:285). Dalam analisis wacananya, Fairclogh memusatkan perhatian pada
bahasa. Pemakaian bahasa dalam suatu wacana dipandangnya sebagai sebuah praktik
sosial. Model analisis wacana kritis Fairclough berfokus pada bagaimana bahasa dalam
suatu wacana terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu
(Fairclough, 1995).
Dalam model Fairclough analisis wacana dibagi dalam tiga dimensi, yaitu teks
(text), praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Teks dianalisis secara linguistic dengan
melihat kosakata, semantik, tata kalimat, koherensi, dan kohesivitas. Analisis linguistik
tersebut dilakukan untuk melihat tiga unsur dalam teks, yaitu representasi, relasi, dan
identitas. Yang ingin dilihat dalam elemen representasi adalah bagaimana orang, peristiwa,

29

kelompok, atau apapun ditampilkan dan digambarkan di dalam teks. Representasi dapat
dilihat dari 5 hal, yaitu:
1. Representasi dalam anak kalimat
Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, dan
kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa yang dipakai. Menurut
Fairclough, ketika sesuatu ditampilkan, pada dasarya pemakai bahasa
dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, pada tingkatan kosakata yang
digunakan:

kosakata

apa

yang

dipakai

untuk

menampilkan

dan

menggambarkan sesuatu, yang menunjukan bagaimana sesuatu tersebut di
masukkan dalam satu set kategori (Eriyanto, 2001: 290). Kedua pilihan yang
didasarkan pada tingkatan tata bahasa. Terutama pada perbedaan diantara
tindakan

dan sebuah peristiwa. Dalam hal ini bukan semata mengenai

ketatabahasaan, karena realitas yang dihadirkan dari pemakaian tata bahasa ini
berbeda. Pemakai bahasa dapat memilih, apakah seorang, kelompok, atau
kegiatan tertentu hendak ditampilkan dalam sebuah tindakan ataukah sebagai
sebuah peristiwa (Eriyanto, 2001: 209). Bentuk tindakan menggambarkan
bagaimana actor melakukan tindakan tertentu kepada seseorang yang kemudian
menyebabkan sesuatu. Bentuk tindakan umumnya, mempunyai anak kalimat
intransif (subjek + kata kerja). Bentuk tindakan menunjuk pada sesuatu yang
telah terjadi. Bentuk lainnya adalah proses mental, menampilkan sebuah
fenomena, gejala umum yang membentuk kesadaran khalayak, tanpa menunjuk
subjek/pelaku, dan korban secara spesifik (Eriyanto, 2001:292-293)

2. Representasi dalam kombinasi anak kalimat
Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabungkan
sehingga membentuk sebuah pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya,
realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat
dengan anak kalimat lain. Gabungan antar kalimat ini akan membentuk
koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu
dengan anak kalimat lain. Koherensi ini pada titik tertentu menunjukkan
ideologi dari pemakai bahasa. Koherensi antar anak kalimat ini mempunyai
30

beberapa bentuk. Pertama elaborasi, anak kalimat yang satu menjadi penjelas
dari anak kalimat yang lain. Kedua perpanjangan dimana anak kalimat satu
merupakan perpanjangan dari kalimat lain. Perpanjangan ini bisa berupa
tambahan atau berupa kontras antara satu anak kalimat dengan anak kalimat
lain. Ketiga, mempertinggi anak kalimat yang satu posisinya lebih besar
daripada anak kalimat yang lain.

3. Representasi dalam rangkaian antar kalimat
Aspek ini berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan
di rangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat
yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian lain. Salah satu aspek penting
adalah apakah partisipan dianggap mandiri atau memberikan tanggapan/reaksi
terhadap pesan yang disampaikan.

4. Relasi
Relasi berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media berhubungan
dan ditampilkan dalam teks. Media dalam konteks ini dipandang sebagai suatu
arena sosial, dimana kelompok dan golongan yang hidup di dalam masyarakat
saling berhubungan. Relasi dikonstruksikan di antara khalayak dan kekuatan
sosial yang mendominasi kehidupan ekonomi, politik, dan budaya (Eriyanto,
2001:300).

5. Identitas
Fairclough memandang aspek identitas untuk melihat bagaimana identitas
komunikator ditampilkan dan di konstruksikan dalam teks pemberitaan atau
dalam pesan yang disampaikan.

Terdapat pula analisis relasi yang melihat bagaimana hubungan antara pencipta teks
dengan partisipan. Kemudian analisis identitas yang melihat bagaimana pencipta teks
menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang
terlibat. Lalu interseksualitas, yaitu saling terkaitnya antar teks. Bagi Fairclough sebuah
31

teks dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya. Artinya tidak ada teks yang benar-benar
baru. Setiap teks tercipta selalu mengandung teks yang lain yang pernah ada sebelumya
baik secara interisit ataupun eksplisit.
Dimensi kedua, praktik wacana, merupakan dimensi yang berhubungan dengan
proses produksi yang dilakukan penulis dengan berbagai nilai ideologis yang mendasarinya
hingga menghasilkan sebuah teks dan proses konsumsi yang dilakukan pembaca secara
personal ketika mengonsumsi sebuah teks.
Dimensi yang terakhir adalah praktik sosiokultural, merupakan dimensi yang
berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini berupa praktik institusi pembuat
teks, yaitu media, yang dipengaruhi masyarakat, budaya, atau politik tertentu. Dengan kata
lain ideologi yang dipegang oleh media tertentu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini
konteks dapat dilihat dari ideologi dari Homicide juga kondisi-kondisi yang
melatarbelakangi lahirnya teks. Fairclough kemudian membuat tiga level analisis dalam
aspek aspek praktik sosiokultural, sebagai berikut:

1. Situasional
Teks pada dasarnya dihasilkan dalam suatu kondisi atau susasana yang khas,
unik, sehingga sebuah teks dapat menjadi berbeda. Jika sebuah wacana
dipahami sebagai tindakan, maka tindakan tersebut adalah upaya untuk
merespon situasi atau konteks sosial tertentu.

2. Institusional
Aspek institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam
praktek produksi wacana. Institusi yang dimaksud bisa juga berasal dari
masyarakat, yang memiliki arti ideologi yang berada dalam masyarakat menjadi
faktor berpengaruh dalam praktik wacana.

3. Sosial

32

Dalam aspek sosial, budaya masyarakat turut menentukan perkembangan dari
wacana yang dibentuk. Berbeda dengan aspek situasional, aspek sosial lebih
melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem
budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem menentukan siapa yang
berkuasa dan nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat, serta bagaimana
nilai dan kelompok yang berkuasa itu mempengaruhi sebuah praktik wacana.

33

Dokumen yang terkait

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22