Aplikasi Hukum Islam Pada Bisnis Syariah

Aplikasi Hukum Islam Pada Bisnis Syariah di Indonesia[1]
Dr. Drs. H. Dadan Muttaqien, SH. M Hum[2]

A. Pendahuluan
Maraknya praktik ekonomi syari’ah di Indonesia selama ini telah direspon positif
oleh pemerintah dengan melahirkan berbagai undang-undang, antara lain:
1. Bidang Perbankan
a. Undang Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
b. Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah
2. Bidang Peradilan
Undang Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Perubahan yang substansial dari Undang Undang No. 3 Tahun 2006 adalah:
a. Pada Pasal 2 dinyatakan, bahwa Peradilan Agama adalah salahsatu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan[3] yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu.
b. Pada Pasal 49 dinyatakan, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang untuk;
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan b. waris, c. wasiat, d.
hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infak, h. shadakah, dan e. ekonomi syari’ah.

Berdasarkan penjelasan undang undang tersebut, bahwa yang dimaksud
dengan:
1. Antara orang-orang yang beragama Islam’ adalah ‘orang (persoonlijk) atau badan
hukum (persoonrecht) yang dengan sendirinya menundukkan dirinya dengan
sukarela kepada hukum Islam.
2. Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: a.bank syari’ah;
b.lembaga keuangan mikro syari’ah. c.asuransi syari’ah; d.reasuransi syari’ah;
e.reksa dana syari’ah; f.obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah
syari’ah; g.sekuritas syari’ah; h.pembiayaan syari’ah; i.pegadaian syari’ah; j.dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k.bisnis syari’ah.[4]
B. Politik Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah
Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi syari’ah di Indonesia, yang di
dalamnya terangkum lembaga keuangan syari’ah, memiliki dasar hukum yang sangat
kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya mengandung 3
makna, yaitu:
1. Negara tidak boleh membuat petaturan perundang-undangan atau melakukan
kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan

Yang Maha Esa.
2. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau kebijakankebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya.
3. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang
siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham atheisme).
Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa, negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata ‘menjamin’
tersebut bersifat ‘imperatif’,. Artinya berkewajiban secara aktif melakukan ipayaupaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.[5]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka keinginan umat Islam untuk dibuatnya
undang-undang tentang peradilan agama dan perbankan syari’ah adalah suatu sikap
yang proporsional yang berlandaskan konstitusi, yaitu UUD 1945.

C. Hukum Islam yang Telah Diaplikasikan pada Bisnis Syariah di Indonesia
Wilayah kajian ekonomi Islam terdapat dalam fikih Mu`amalat, yaitu hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain yang berkenaan dengan
harta (al-amwal), hak, dan pengelolaan harta (al-tasharruf) dengan cara transaksi
(akad) dan lainnya. Secara ringkas ekonomi Islam meliputi: (1) benda dan
kepemilikan, (2) persoalan hak dan hal-hal yang berhubungan dengannya, (3)

perikatan atau akad yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.[6]
Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan hukum syari`ah untuk
mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumbersumber material dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia dan
melakukannya sebagai kewajiban kepada Allah dan masyarakat. Menurut M.
Nejatullah Siddiqi, Ekonomi Islam adalah hasil pemikiran muslim yang merespon
terhadap tantangan ekonomi pada masanya. Dalam hal ini mereka dibimbing dengan
al Qur`an dan Sunnah beserta akal dan pengalaman. Rumusan menurut Syed Nawab
Heider Naqvi, Ekonomi Islam merupakan representasi perilaku Muslim dalam suatu
masyarakat Muslim tertentu. Sedangkan menurut M.A. Manan, Ekonomi Islam
merupakan suatu studi sosial yang mempelajari masalah ekonomi manusia
berdasarkan nilai-nilai Islam. Adapun defenisi lain yang lebih lengkap bahwa Ekonomi
Islam adalah ilmu, teori, model, kebijakan serta praktik ekonomi yang bersendi dan
berlandaskan ajaran Islam, dengan Al Qur`an dan Al Hadits sebagai rujukan utama
serta ijtihad sebagai rujukan tambahan.[7]
Landasan filosofis ekonomi Islam menurut Adiwarman Karim, terbagi atas
empat hal, yaitu: Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan
kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah SWT dalam mengatur segala sesuatunya,
termasuk mekanisme perolehan rezeki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk
ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT
secara total. Kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar


kesejahteraan manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi harus senantiasa
berada dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Ketiga adalah kebebasan. Hal ini
berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan berbagai
aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya.
Keempat adalah pertanggungjawaban. Artinya bahwa manusia harus memikul
seluruh tanggungjawab atas segala keputusan yang telah diambilnya.
Berbagai karakteristik dan landasan filosofis di atas memberikan panduan
kepada kita dalam proses implementasi ekonomi Islam. Hal ini memberikan
keyakinan kepada kita bahwa sistem ekonomi Islam ini merupakan solusi, karena
mengandung nilai dan filosofi yang sejalan dengan fitrah dan kebutuhan hidup
manusia, tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun atribut-atribut keduniaan
lainnya. Sistem ekonomi Islam ini tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin
saja, tetapi juga memberikan dampak positif kepada kalangan non muslim lainnya.
[8]
Berbagai macam bentuk akad muamalah terdapat dalam Ekonomi Syariah
guna membangun sebuah usaha, yakni antara lain:

1. Musyarakah
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk

umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan
pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan
dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang
mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.[9]
Menurut ulama Hanafiyah syirkah adalah Perjanjian antara dua pihak yang
bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya.[10]
Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah izin untuk berbuat hukum bagi
kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum
terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya
hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.[11]
Menurut Hanabilah Syirkah adalah berkumpul dalam berhak dan berbuat
hukum. Sedangkan menurut Syafi`iyah adalah tetapnya hak tentang sesuatu
terhadap dua pihak atau lebih secara merata.[12]
Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis musyarakah adalah kemitraan
dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja
mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang
sama.[13]
Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk., al-musyarakah atau syirkah

adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal
untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan
dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[14]
Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional
berbeda, namun dapat difahami intinya bahwa syirkah adalah perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan
atau usaha untuk memperoleh keuntungan bersama.

Dasar hukum musyarakah antara lain firman Allah pada Surat An-Nisa ayat
12 yang artinya: Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka
bersyarikat pada yang sepertiga itu.[15]
2. Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana
pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama
dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari
pengelola. Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal
dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan
tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan

untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang
optimal.[16]
Ulama Hijaz menamakan mudharabah, qiradh. Menurut Jumhur,
mudharabah adalah bagian dari musyarakah. Dalam merumuskan pengertian
mudharabah, Wahbah Az-Zuhaily mengemukakan bahwa pemilik modal
menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan
pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahwa kerugian
ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian
sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhannya.[17]
Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat
didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana
satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan
sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu
aktivitas atau usaha.[18]
Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk.,
syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah
perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik
modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/
pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa
keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai

dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan syara.
bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak dibebankan
sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.[19]
Dasar hukum mudharabah antara lain Firman Allah pada Surat Al-Muzammil
ayat 20, Al-Jumu’ah ayat 10 dan Al-Baqarah ayat 198.
Mudharabah ada dua macam : [20]
a. Mudaharabah muthlaq, yakni mudharabah yang tidak terikat kepada syaratsyarat tertentu seputar materi usaha;
b. Mudharabah muqayyad, yakni mudharabah yang terikat kepada syarat-syarat
tertentu mengenai materi usaha.
3. Murabahah
Secara etimologis, murabahah berasal dari mashdar yang berarti
"keuntungan, laba, faedah"[21]. Wahbah az-Zuhaili memberikan definisi
murabahah, yaitu : "Jual beli dengan harga awal ditambah keuntungan".[22]

Ibnu Rusyid mendefinisikan murabahah sebagai berikut:[23] Murabahah
tidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari al-Quran maupun Sunnah,
yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli
murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i
mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah
Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas

dari Hadis.[24]
Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa
para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah
pada awal abad ke-2 H. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam alQuran atau dalam Hadis yang diterima umum, maka para ahli hukum harus
membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung
faliditasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata
"Penduduk Medinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli
pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya
tambahan keuntungan yang telah disepakati.[25] Imam Syafi'i menyatakan
pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada
seseorang dan berkata: "Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu
keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya,
maka transaksi demikian ini adalah sah.[26]
4. Salam
Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna
dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang
secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di
muka. [27]
Istilah ba’i as-salam, jual-beli pesanan, kadang diungkapkan dengan
menggunakan istilah ba’i as-salaf. Keduanya mempunyai pemahaman arti yang

sama, yaitu jual-beli pesanan. Bagi Imam al-Mawardi, penyebutan kata salam
adalah bahasa penduduk Hijaz, sedangkan penyebutan kata salaf adalah bahasa
penduduk Irak. Sebagian lagi mengatakan bahwa pada jual-beli sistem salaf harga
diserahkan terlebih dahulu, sedangkan dalam sistem salam harga diserahkan saat
transaksi. Dari sisi ini, maka pengertian salaf lebih luas. Adapun salam menurut
syariat adalah jual-beli sesuatu yang berada dalam tanggungan (dzimmah).
Secara terminologis, para ulama fiqh mendefinisikannya dengan: ba’iu ajalin
bi’ajilin, aw ba’iu syai’in maushufin fidz dzimmah ay annahu yataqaddamu fihi
ra’sul mal wa yataakhkharu al-mutsminu li ajalin, menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan
pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian. Lain
halnya dengan Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanabilah, mendefinisikannya dengan;
“akad yang disepakati untuk sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar
harganya dahulu, sedangkan barangnya diserahkan (kepada pembeli) kemudian
hari”. [28]
Dasar hukum dari pelaksanaan transaksi jual-beli salam, berdasar-kan
firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282 yang artinya: “Wahai orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....”
Ibnu Abbas r.a, sahabat Rasulullah Saw, menyatakan bahwa ayat ini

mengandung hukum jual beli pesanan yang ketentuan waktunya harus jelas. Dalil
lain yang menjadi dasar praktek ba’i as-salam dapat dirujukkan pada sabda
Rasulullah Saw, yang artinya: “Jika kamu melakukan jual-beli salam, maka

lakukanlah dalam ukuran tertentu, timbangan tertentu, dan waktu tertentu (HR. AlBukhari-Muslim-Abu Daud-an-Nasa’i-at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas)
5. Qiradh[29]
Qard al-hasan merupakan produk perbankan syariah yang mengacu pada
prinsip pinjam-meminjam. Dalil tentang praktek qard al-hasan dapat dilacak dalam
QS. Al-Hadid [57]: (11) dan hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin
Mas’ud: Nabi Saw. Berkata: “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan
muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah” (HR.
Ibnu Majah).
Secara konseptual, transaksi yang mengacu pada prinsip pinjam meminjam
tidak dibolehkan adanya tambahan sebesar apapun. Jika dalam prakteknya ada
tambahan (ziyadah) maka transaksi tersebut sudah termasuk dalam kategori riba
nasi’ah. Secara harfiyah, qardl al-hasan difahami sebagai pinjaman kebajikan yang
tidak ada imbalan atau tambahan di dalamnya. Sebagai ilustrasi, jika seseorang
meminjam 100 ribu maka kewajiban bagi debitur untuk mengembalikan uang
sebesar 100 ribu juga.
6. Wadiah[30]
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a
yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang
maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih
berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum
yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini
meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Menurut Syafii Antonio (1999) wadi`ah adalah titipan murni dari satu pihak
kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara
pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
barang/uang.
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam QS.
An-Nisa` : 58 dan Al Baqarah : 283. Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu dari Abu
Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah
(titipan) kepada yang berhak menerimanya ….” (H.R. Abu Daud dan Tirmizi).
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu Ijma` ialah para tokoh
ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap
legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini[31].
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan
bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip
Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan
berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan
yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan
Wadi’ah.
7. Ijarah

Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar
suatu manfaat dengan imbalan jasa.[32]
Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.[33] Dengan demikian pada hakikatnya ijarah
adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada
perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.

D. Peraturan Perundangan yang mengatur tentang Ekonomi Syari’ah
Saat ini telah banyak peraturan perundangan yang terkait dengan aplikasi
ekonomi syari’ah, antara lain:
1.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat

2.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

3.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia

4.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

5.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

6.

Undang-Undang Republik Indonesia
Berharga Syariah Negara

7.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah

Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat

E. Peraturan Perundangan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Ekonomi
Syaria’h yang perlu segera dilakukan perubahan:
Di samping peraturan perundangan yang telah disebutkan di muka, masih
banyak peraturan perundangan yang harus segera dilakukan penyesuaian, karena
undang-undang tersebut terkait secara langsung dengan ekonomi syari’ah, Baik
dalam hal mekanisme operasional maupun terkait dengan penyelesaian sengketa,
antara laian:
1. Undang-Undang Kepailitan
2. Undang-Undang Fiducia
3. Undang-Undang Arbitrase
4. Undang-Undang Hak Tanggungan

5. Undang-Undang SUN (Surat Utang Negara)
6. Undang-Undang PT (Perseroan Terbatas)
7. Undang-Undang Jabatan Notaris
8. Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan.
9. Undang-Undang PPh
10. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
11. Undang-Undang Bank Indonesia
12. Undang-Undang Perbankan Syari’ah
13. Undang-Undang Perdagangan
14. Undang-Undang Wakaf
15. Undang-UndangPengelolaan Zakat
16. Undang-UndangDokumen Perusahaan
17. Undang-Undang Resi Gudang
18. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
19. Undang-Undang Persaingan Usaha
20. Undang-UndangAsuransi
21. Undang-Undang Pasar Modal
22. Undang-Undang Koperasi
23. Undang-Undang Money Loundring
24. Undang-Undang PPn
25. Peraturan Pemerintah tentang Pegadaian.
Mengingat masih banyak piranti pendukung terhadap eksisnya ekonomi
syari’ah yang harus dilengkapi, maka stakeholder ekonomi syariah, ekonom maupun
politisi muslim, serta sarjana syari’ah masih harus berfikir keras untuk secara
bertahap dapat menyempurnakan piranti hukum tersebut.

F. Tantangan dan Hambatan
Tantangan yang paling dominan terhadap terlaksananya ekonomi syari’ah ini
adalah ketidak tahuan (al Jahalah) sebagian masyarakat muslim. Sehingga perlu
adanya upaya sosialisasi yang kontinyu. Hal ini tidak dapat hanya dibebankan kepada

para praktisi ekonomi syari’ah saja, tetapi diperlukan sinergi dari setiap kalangan
umat Islam.
Hambatan yang paling berat terhadap terlaksananya ekonomi syari’ah ini
adalah dari kalangan umat Muslim sendiri. Yaitu mereka yang belum mengetahui
tentang apa dan bagaimana ekonomi syaria’ah, tetapi sudah menjustifikasi terhadap
sesuatu yang sebenarnya belum dia ketahui. Demikian juga mental penikmat riba
yang telah mendarah daging di kalangan umat muslim berkat penenaman kolonial
Belanda dengan sistem perbankan konvensionalnya.

G. Penutup.
Secara juridis normatif, ekonomi syari’ah yang lahir bersamaan dengan kelahiran
Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 saat ini tidak ada masalah. Demikian juga
ketangguhan ekonomi syari’ah dalam menghadapi krisis ekonomi tidak diragukan.
sebagai bukti para tahun 1988 semua bank konvensional mengalami kolaps sehingga
menjadi pasie BLBI, sementara Bank Muamalat tetap eksis tanpa satu senpun bantuan
BLBI.
Piranti hukum sebagai pendukung, lambat tapi pasti telah tersedia, meskipun
masih perlu dilengkapi.
Tantangan yang paling berat, adalah melawan hati yang masih cinta riba,
sehingga memilih yang konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Amin, Hasan. al Wada`i al Masharifah an Maqdiyah wa Istitsmariha fi al Islam.

Algaoud, Latifa M. dan Mervyn K. Lewis, 2005. Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktik dan
Prospek, (Terjemahan Burhan Wirasubrata), , Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani,

Departemen Agama RI., Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1995

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65