T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Aktor Pangadangu Mahamu dalam Upaya Adat Kematian di Desa Ramukabupaten Sumba Timur T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan multidimensional
yang berkaitan dengan aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Persoalan
kemiskinan merupakan prioritas utama dalam pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya, persoalan
kemiskinan belum dapat diatasi sepenuhnya, oleh karena itu diperlukan berbagai
upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut tanpa mengabaikan
pertumbuhan ekonomi. Menurut Chambers, hidup dalam kemiskinan bukan hanya
hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak
hal lain, seperti tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam
hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan
menghadapi kekuasaan dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya
sendiri (Nasikun, 2001).
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang
memiliki jumlah penduduk miskin cukup tinggi di Indonesi yaitu berkisar 23%
sampai 30% disetiap kabupaten yang ada di provinsi NTT. Persoalan gizi buruk,
angka putus sekolah, angka pengangguran, rawan pangan dan rendahnya curah
hujan dan juga karena faktor kultural (budaya) menempatkan provinsi NTT
sebagai salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi1.

Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten yang memiliki penduduk miskin
yang cukup tinggi di provinsi NTT. Jumlah Penduduk miskin di kabupaten Sumba
Timur pada tiga tahun terakhir antara lain pada tahun 2013 berjumlah 68.080 jiwa
atau 28,58% kemudian pada tahun 2014 berjumlah 67.040 jiwa aatau 27,13% dan
pada tahun 2015 berjumlah 77.095 jiwa atau 31,21% (ntt.bps.go.id)2. Mengamati
data tersebut menujukkan bahwa jumlah penduduk miskin berfluktuasi setiap
tahunnya, pada tahun 2014 mengalami penurunan dari tahun 2013 tetapi pada
tahun 2015 meningkat lagi hal menunjukkan bahwa kemiskinan belum bisa
1

Persoalan kemiskinan di provinsi NTT dapat dilihat di http://m.beritasatu.com/ekonomi/358133
ntt-jadi-fokus-perhatian-kementerian-desa.html
2
Diakses dari http://ntt.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/12

1

teratasi dan menjadi perhatian serius dari pemerintah. Tingginya penduduk miskin
di Sumba Timur berimplikasi pada rendahnya pembangunan ekonomi, pendidikan
maupun kesehatan.

Rendahnya IPM (indeks pembangunan manusia) merefleksikan rendahnya
kualitas pendidikan, kesehatan maupun perekonomian masyarakat yang
merupakan komposit pembentuk IPM dimana pada tahun 2013 berkisar 61.44%
tahun 2014 berkisar 62.04% dan pada tahun 2015 sebesar 62.54% (ntt.bps.go.id)3.
Data tersebut menunjukkan bahwa IPM Sumba Timur sangat rendah, hal ini
terlihat dari peningkatan IPM setiap tahun tidak mengalami peningkatan yang
signifikan. Rendahnya IPM ini dipengaruhi oleh bebarapa faktor antara lain yaitu
rendahnya pembangunan di bidang ekonomi, pendidikan maupun kesehatan.
Selain itu juga berdasarkan penelitian dan temuan beberapa pihak bahwa
rendahnya IPM ini disebabkan karena ketidakmerataan pendapatan ekonomi
(adanya stratifikasi sosial4) dan juga karena faktor budaya5
Rendahnya tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi pembangunan
manusia baik itu dari kualitas maupun kuantitas. Hal ini dapat dilihat dari
pendidikan rata-rata harapan lama sekolah dimana pada tahun 2013 baru
mencapai 11,74% tahun 2014 baru mencapai 12,02% dan pada tahun 2015 baru
mencapai 12,04% (http://ntt.bps.go.id). Sedangkan jika dilihat dari Rata-rata
Lamanya Sekolah pada tahun 2013 mencapai 5,98% pada tahun 2014 mencapai
6,14% dan tahun 2015 mencapai 6,31%. Mengamati data tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan di Sumba Timur cukup rendah hal ini dapat dilihat dari
persentasi pendidikan rata-rata harapan lama sekolah dan rata-rata lamanya

sekolah. Buruknya pendidikan (kualitas dan kuantitas) juga berakibat pada
keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam mengolah sumberdaya alam yang
3

Diakses dari http://ntt.bps.go.id/linktabledinamis/view/id/69
Lihat Marumata (2013).Gereja Dan Perubahan Sosial (Peran GKS Tanalingu dalam
Memperjuangkan Hak Kaum Ata/Hamba)
5
Ahmad Arief dalam kompas tentang Kisah Hamba dan Tuan Dari Sumba mengemukakan bahwa
keberadaan Hamba menyebabkan stratifikasi sosial dan juga merupakan akar persoalan rendahnya
IPM. Norlina Rambu J K (Rektor Universitas Wira Wacana Sumba) juga mengemukakan bahwa
stratifikasi sosial sebagai salah satu faktor persoalan rendahnya IPM. diakses di
http://regional.kompas.com/read/2016/08/16/11274471/kisah.hamba.dan.tuan.dari.sumba?Page=al
l
4

2

dimiliki/dikuasai baik dalam sektor pertanian maupun non pertanian. Pada sektor
kesehatan dapat dilihat dari usia harapan hidup dimana pada tahun 2013 berkisar

63,45% pada tahun 2014 berkisar 63.48% pada tahun 2015 berkisar 63.88%
sementara rata-rata di provinsi Nusa Tanggara Timur (NTT) telah mencapai
65,96% (http://ntt.bps.go.id). Data tersebut menunjukkan bahwa usia harapan
hidup masih rendah di Sumba Timur menunjukkan bahwa tingkat kesehatan
sangat rendah hal ini terlihat bahwa belum mampu mencapai kriteria Provinsi.
Pertumbuhan ekonomi Sumba Timur pada tahun 2012 berkisar sebesar
4,88% pada tahun 2013 meningkat menjadi 5,04% dan pada tahun 2014 berkisar
menjadi 5,03% (waingapu.com6). Data tersebut menunjukkan rendahnya
pertumbuhan ekonomi merefleksikan kualitas kinerja pembangunan daerah baik
itu pembangunan fisik maupun non fisik yang berarti bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak stabil. Pada umumnya masalah kemiskinan ini sangat erat
kaitannya dengan sektor pertanian atau informal sebagai lapangan kerja utama
masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena mereka yang bekerja di sektor
tersebut memiliki produktivitas yang rendah oleh karena rendahnya tingkat
pendidikan, ketrampilan dan terbatasnya akses modal dan infrastruktur ke
pedesaan. Selain itu ketahanan pangan dan kelaparan juga merupakan persoalan
yang sering dihadapi oleh masyarakat Sumba Timur.
Selain persoalan kemiskinan yang paparkan di atas, beberapa lembaga
(LSM) menempuh pendekatan alternatif dengan melihat persoalan budaya adat
kematian merupakan salah satu yang menghambat masyarakat untuk berkembang

hal ini yang berdampak pada persoalan ekonomi, pendidikan maupun kesehatan.
Biaya tinggi yang digunakan dalam adat kematian memberi dampak ekonomi
yang memberatkan masyarakat misalnya adanya hutang parmanen yang
membelenggu di masyarakat. Saat seseorang meninggal dunia, walaupun keluarga
secara ekonomi kurang mampu, namun dalam ketidak mampuan ekonomi itu
mereka tetap melakukan upacara adat kematian yang menuntut banyak
pengeluaran. Mengingat banyaknya keluarga yang diundang pada saat kematian
Rendahnya pertumbuhan ekonomi sumba timur: “catatan kritis dari debat calon bupati sumba
timur 2015-2020 oleh Stepanus Makambombu.

6

3

juga membutuhkan biaya yang banyak. Selain itu banyaknya hewan yang di
potong berdampak pada ekonomi masyarakat terutama pada masyarakat ekonomi
kurang mampu yang berakibat pada hutang. Biaya tinggi yang dikeluarkan untuk
upacara adat kematian tidak hanya membuat orang di Sumba Timur jatuh miskin
tetapi juga terlilit hutang secara turun temurun yang berdampak pada bidang
ekonomi dan pendidikan. Bidang ekonomi bahwa tuntutan adat kematian yang

menghabiskan biaya tinggi dan juga hutang menyebabkan beban ekonomi
masyarakat. Hal ini juga berdampak pada bidang pendidikan yaitu anak-anak
tidak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi sebagaimana seharusnya.
Tingginya hutang menyebabkan keluarga tidak lagi melihat pendidikan, yaitu
banyak anak-anak tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
karena uang atau modal di gunakan untuk menutup hutang keluarga. Persoalan
yang di hadapi oleh masyarakat adalah beban moral yaitu bagaimana mereka
harus berusaha membayar kembali hutang pada saat adat kematian7.
Upacara adat kematian merupakan acara yang paling besar di Sumba
Timur karena berkaitan dengan ajaran keprcayaan Marapu. Kematian dipahami
sebagai suatu peralihan dari kehidupan yang fana di dunia ini ke suatu dunia
kehidupan lebih baik, makmur dan damai sejahtera. Alam kehidupan ini disebut
negeri leluhur (Paraingu Marapu). Masuk tidaknya si mati ke dalam paraingu
marapu sangat ditentukan oleh upacara kematian dan penguburan (Wellem, 2004:

79). Upacara kematian merupakan acara paling utama bagi masyarakat Sumba
Timur, kematian dilihat dari transisi antara hidup duniawi dan akhirat dan
merupakan peristiwa penting dalam perjalanan seseorang menuju kebahagiaan
sejati. Oleh karenanya penguburan harus dilaksanakan dengan upacara khusus
agar arwah manusia layak masuk dalam Prai marapu (Surga). Pelaksanaan

upacara ini sangat menentukkan perjalanan arwah si mati untuk tiba di dunia
persekutuan nenek moyang yaitu paraingu marapu. Oleh karena itu upacara ini
baru dilaksanakan apabila persiapan telah lengkap. Apabila persiapan belum siap
maka diadakan penguburan sementara. Upacara adat kematian bertujuan untuk,
7

Kesimpulan hasil observasi dan wawancara dengan bapak Paulus, Marius dan Umbu Reku pada
tanggal 21, 22 dan 27 januari 2016

4

menjaga hubungan yang baik dengan leluhur dan juga bertujuan membangun
komunikasi dengan arwah nenek moyang sehingga terjadi keseimbangan antara
dunia manusia dengan dunia roh. Selain itu juga bertujuan untuk memperbaiki
hubungan yang telah rusak karena terdapat anggota kabihu yang melanggar adat
istiadat (Djawa, 2014). Dalam upacara adat kematian biasanya disiapkan hewanhewan untuk kurban seperti kuda, kerbau, sapi, babi dan ayam. Orang Sumba
percaya bahwa yang meninggal harus dihormati dan diupacarai dengan berbagai
pengurbanan agar arwahnya bisa sampai ke Parai Marapu. Oleh sebab itu,
kerabat/keluarga yang masih hidup perlu untuk memberikan “bekal kubur” dan
menyelenggarakan upacara kematian bagi sanak saudara yang meninggal.

Seiring perkembangan zaman, kehadiran agama Kristen di Sumba Timur
mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam berperilaku maupun dalam
berinteraksi. Hal ini mendapat perdebatan dalam kalangan masyarakat sendiri
terutama dilihat dari segi agama karena ada dualisme. Sebagai contoh orang yang
menganut Marapu melaksanakan adat kematian sebagai wujud ketaatan mereka
terhadap leluhur Marapu sedangkan orang yang beragama Kristen melaksanakan
adat kematian sebagai warisan budaya. Namun sering kali ditemui bahwa masih
ada masyarakat yang mendua dalam melaksanakan upacara adat kematian yaitu
walaupun sudah Kristen tetapi masih melakukan upacara adat kematian dengan
tata cara budaya Marapu hal inilah yang bertentangan. Orang sumba yang sudah
beragama Kristen memiliki kebiasaan8 tersendiri terutama kaum bangsawan
memiliki pandangan dalam memperlakukan orang mati menurut mereka bahwa
penguburan yang cepat, tidak memotong banyak hewan dan penguburan jenasah
dalam kuburan tanah dipandang sebagai sikap yang tidak hormat dan tidak luhur
terhadap orang yang mati (Wellem, 2004: 339-3450). Penguburan seperti itu
dipandang memperlakukan orang mati sama dengan binatang untuk itulah
mengapa orang Sumba menyimpan mayat yang relatif lama. Pada zaman dulu

8


Kebiasaan dalam memperlakukan orang mati yaitu menyimpan mayat yang cukup lama, hal ini
terjadi karena dualisme budaya bahwa disatu sisi budaya marapu,disatu sisi agama kristen. Selain
itu juga adanya pemahaman masyarakat tentang stratifikasi sosial yang sudah di tereduksi pada
kepentingan ekonomi dan politik yaitu ketika adat kematian di maknai dalam modal ekonomi dan
prestice sosial (simbolik).

5

upacara adat kematian dan penguburan dilakukan secara sederhana sesuai dengan
kemampuan ekonomi keluarga. Namun dalam perkembangan zaman, pelaksanaan
adat kematian di Sumba Timur terjadi pergeseran terutama dalam hal
menguburkan orang yang mati yaitu kebiasaan menyimpan mayat yang relatif
lama, Pakameting, mengundang dan cara membalas pemberian Yera Anakawini.
Pergeseran ini terjadi karena upacara adat kematian sudah di reduksi pada
kepentingan ekonomi semata yaitu banyak oknum-oknum tertentu menjadikan
momen ini untuk mencari status sosial (prestice) dan juga memperoleh
keuntungan. Selain itu gengsi sosial masyarakat ini dapat menyembabkan
persaingan ekonomi yaitu berlomba-lomba untuk memperoleh pengakuan atau
status sosial. Hal ini terjadi karena adanya stratifikasi sosial pada masyarakat
Sumba Timur yang menyebabkan persaingan secara ekonomi yaitu ketika modal

budaya di reduksi menjadi modal ekonomi dan simbolik9.
Berangkat pada persoalan di atas, pada tahun 2013

muncul wacana

kebijakan penyederhanaan adat kematian oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat
maupun LSM, karena melihat adat kematian sebagai salah satu faktor pemicu
kemiskinan sehingga beranggapan bahwa pelaksanaan adat kematian Sumba
Timur perlu di sederhanakan kembali sesuai dengan tuntutan adat-istiadat yang
sebenarnya. Untuk itu Forum Peduli Adat Pangadangu mahamu dan lembaga
Wahana Visi Indonesia (WVI) melakukan pendekatan dan sosialisasi di
masyarakat untuk membahas persoalan adat kematian. Sosialisai penyederhanaan
adat kematian, di antaranya yaitu membatasi penyemayaman mayat maksimal
delapan hari dan minimal tiga hari, bentuk Pakameting, Pakametingu merupakan
salah satu tahapan ritual adat kematian untuk menjamu dengan makan dan minum
kepada kerabat-kerabat yang punya hubungan baik karena faktor genealogis
(hubungan darah) maupun karena faktor hubungan perkawinan, aspek pembawaan
para yera dan anakawini dan cara membalasnya serta mengenai yubuhu sebagai
kain kafan mayat (Berkas FPA: 2013).
Lembaga Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu bersama dengan

lembaga WVI melakukan sosialisasi penyederhanaan adat ke tingkat desa dengan
9

Hasil observasi dan wawancara bapak paulus dan Marius pada tanggal 21 dan 22 januari 2016

6

tujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang penyederhanaan adat
kematian tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya. Beberapa desa yang sudah
dilakukan sosialisasi penyederhanaan adat kematian di Sumba Timur, salah
satunya Desa Ramuk. Dalam pelaksanaan sosialisasi penyederhanaan adat
kematian di Desa Ramuk pada tahun 2013 terjadi pro dan kontra terhadap
penyederhanaan adat kematian. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
pandangan masyarakat tentang penyederhanaan adat kematian, pihak “pro”
beranggapan bahwa ada perlunya penyederhanaan adat karena dapat membantu
mengurangi pengeluaran biaya yang di keluarkan pada saat pesta adat kematian.
Selain itu juga, menurut mereka bahwa praktek upacara adat kematian sudah
terjadi pergeseran makna dan nilai yaitu pergeseran nilai-nilai budaya yang asli.
Sedangkan pihak “kontra” beranggapan bahwa penyederhanaan adat ini dapat
menghilangkan nilai-nilai budaya adat yang sudah ada. Selain itu bahwa pihak
yang “kontra” ini secara tidak langsung mereka takut kedudukan dan posisi
mereka menurun di masyarakat jika di lakukan penyederhanaan adat kematian
(prestice sosial)10.
Menyikapi pro dan kontra dalam praktek penyederhanaan adat kematian di
Desa Ramuk tidak terlepas dari peran aktor yaitu tokoh-tokoh Forum peduli Adat
yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk melakukan penyederhanaan adat
kematian baik itu melalui sosialisasi maupun deklarasi penyederhanaan adat
kematian. Aktor-aktor forum ini mempunyai pengaruh terhadap masyarakat yaitu
bagaimana mereka dapat meyakinkan, mengajak, memberikan pemahaman
kepada masyarakat untuk melakukan penyederhanaan adat kematian dengan
modal dan habitus yang dimiliki setiap aktor. Forum ini juga berperan membuat
dan merancang konsep penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk. Pada
kondisi sebelumnya masyarakat masih melakukan pesta adat kematian yang
sifatnya mewah dan mengeluarkan biaya tinggi untuk upacara adat kematian tanpa
melihat kondisi ekonominya.

10

Hasil observasi saat mengikuti sosialisai penyederhanaan adat tahun 2013 dan wawancara pada
saat penelitian tahun 2016

7

Dalam konteks Pierre Bourdieu terjadi pertarungan modal-modal di dalam
arena. Arena dalam konteks ini adalah Desa Ramuk dan penyederhanaan adat
kematian menjadi tempat perjuangan aktor-aktor. Sehingga dengan demikian
penyederhanaan adat tersebut sangat tergantung pada sejauh mana aktor-aktor ini
berperan dalam masyarakat dan sejauh mana aktor ini mempengaruhi masyarakat.
Dalam pendekatan sosiologi, Pierre Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003; 8)
mengemukakan bahwa fenomena social apa pun merupakan produk dari tindakantindakan individual, oleh karena itu, logika tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi
rasionalitas pelakunya. Pierre Bourdieu juga mengemukakan bahwa praktik
(secara sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan
representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik. Dalam praktek
terdapat rasionalitas tindakan antar aktor dalam forum adat tersebut (untuk
bertindak) dalam sebuah struktur obyektif, yaitu penyadaran masyarakat tentang
adat kematian.
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang dipaparkan diatas, maka rumusan
masalah yang akan menjadi fokus penelitian, adalah :
1) Bagaimana Praktek adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba
Timur?
2) Bagaimana Peran aktor dalam mereproduksi habitus penyederhanaan adat
kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur?
3) Bagaimana peran aktor Pangadangu Mahamu dalam upaya praktek
penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan Praktek adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten
Sumba Timur
2. Menggambarkan Peran aktor dalam mereproduksi habitus penyederhanaan
adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur
3. Menggambarkan peran aktor Pangadangu Mahamu dalam upaya praktek
penyederhanaan adat kematian di Desa Ramuk, Kabupaten Sumba Timur

8

1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian dan kajian ini dapat berguna sebagai tambahan
referensi dan memperkaya khazanah penelitian dalam kajian di bidang sosiologi,
antropologi dan psikologi. Bidang sosiologi yaitu tentang peran aktor (praktek
sosial) dalam konteks Pierre Bourdieu. Dalam bidang antropoligi yaitu
memperkaya pengetahuan tentang kebudayaan dan masyarakat. Sedangkan dari
segi psikologi yaitu untuk memperkaya alam pikir orang sumba tentang upacara
adat kematian. Kajian penelitian ini juga dapat memperluas segi-segi teoritis
sehingga dapat menunjang penelitian yang serupa di masa yang akan datang
Sedangkan secara praktis, penelitian dan kajian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepada pemerintah setempat sebagai pengambil kebijakan
untuk bagaimana bertindak dalam melihat persoalan budaya adat kematian di
Sumba Timur. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam memperkaya wawasan konsep praktek sosial terutama tentang
peran aktor Pierre Bourdieu.

9