Keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Idealnya, terjadi atau tidak terjadi sengketa dalam suatu perjanjian bisnis,
masing-masing pihak tentunya menginginkan keuntungan-keuntungan tertentu bagi
perjanjian yang telah mereka buat. Manakala terjadi sengketa, keuntungan yang
diharapkan akan hilang atau dengan kata lain justru akan menimbulkan kerugian, oleh
karena itu para pelaku bisnis akan segera melakukan berbagai cara agar keuntungan
yang diharapkan tidak lenyap atau kerugian yang diderita dapat tergantikan.
Dalam praktek di Indonesia, cara yang umumnya dilakukan oleh para pelaku
bisnis yang menderita kerugian akibat sengketa yang timbul adalah dengan membawa
persengketaan tersebut ke lembaga peradilan. Diharapkan melalui lembaga peradilan
ini mereka dapat memperoleh hak-hak mereka kembali atau setidaknya mendapatkan
suatu ganti kerugian.
Dalam perkembangannya, lembaga peradilan ini banyak mendapat kritik dari
masyarakat. Kritik yang muncul terhadap lembaga peradilan tidak hanya terjadi di
Indonesia, melainkan juga terjadi diseluruh dunia termasuk di negara-negara industri
maju dimana kritik ini terutama terlontar dari kalangan ekonom. Beberapa kritik
terpenting terhadap lembaga peradilan ini diantaranya adalah bahwa penyelesaian
sengketa berjalan lambat, biaya perkara tergolong mahal, peradilan tidak tanggap


1

2

(unresponsive), putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, dan kemampuan
para hakim bersifat generalis.1
Faktor utama penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan karena:
”Sistem peradilan yang terlampau formal dan teknis, yang mana hal ini
mengakibatkan penyelesaian sengketa membutuhkan waktu yang lama padahal
masyarakat menghendaki penyelesaian yang cepat dan biaya murah. Sengketa
bisnis sendiri menuntut penyelesaian yang bersifat informal procedure, karena
penyelesaian sengketa yang lambat dalam bisnis mengakibatkan timbulnya
biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi dan sumber daya perusahaan
yang bersangkutan”.2
Berangkat dari kondisi tersebut, para pelaku bisnis pun mulai memikirkan
cara lain untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka di luar lembaga peradilan.
Cara ini yang kemudian akan dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution
(ADR). Karena itu saat ini dikenal dua cara penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian

sengketa melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau di
dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR
ini merupakan pilihan penyelesaian sengketa alternatif dikarenakan keperluan bisnis
modern menghendaki penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat iklim
bisnis.3 Kata alternatif ini mempunyai maksud bahwa para pihak yang mempunyai
sengketa tersebut bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara

1

Suyud Margono, ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase, Proses Pelembagaan
& Aspek Hukum, cet. 1, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 65-67
2
Ibid.
3
Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia, dalam
Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 37

3

apa yang terdapat dalam alternatif penyelesaian sengketa dan akan diterapkan kepada

penyelesaian sengketanya.4
Setiap cara yang dipakai, untuk penyelesaian suatu sengketa tertentu jelas
memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat
dalam arti seluas-luasnya. Demikian juga halnya dalam penyelesaian sengketa
arbitrase, yang merupakan sebuah prosedur hukum, menyangkut proses gugatan di
hadapan pihak ketiga sebagai pembuat keputusan, yang sekaligus bertindak selaku
pihak yang akan memeriksa gugatan tersebut. Pada konteks ini terlihat bahwa
arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan
berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar
perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat
sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut
merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang
mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya.
Hakim-hakim tersebut dikenal juga dengan nama wasit (menurut Rv) atau
arbiter. Melalui pengertian yang diberikan ini, tampak bahwa arbitrase tidak lain
merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan yang
mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka dilakukan
lewat pranata arbitrase tersebut.

4

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT.
Fikahati Aneska, 2000), hal. 12.

4

Pada proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, para pihak harus dengan
jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja yang akan
mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, tata cara
apa yang harus ditempuh, bagaimana cara (para) arbiter menyelesaikan sengketa
tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan, serta bagaimana sifat
dari putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter tersebut.
Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan : “Adalah diperkenankan kepada siapa
saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam
kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa
tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”. 5
Selanjutnya ayat (3) pasal 615 Rv ditentukan “Bahkan adalah diperkenankan
mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin
timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit”.
Arbitrase tersebut memiliki beberapa jenis yaitu arbitrase Ad Hoc dan

arbitrase institusional.6 Arbitrase Ad Hoc merupakan suatu arbitrase yang dibentuk
untuk menyelesaikan dan memutus suatu sengketa. Dalam hal ini arbitrase ini tidak
ada badannya, tetapi hanya penunjukan orang-orang secara bebas oleh para pihak

5

Gunawan Widjaja, dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, Seri Hukum Bisnis, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001), hal.17.
6
M.Yahya Harahap, Arbitrase, Ed.2, Cet.4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.104-106

5

sesuai kesepakatan para pihak, dengan memberlakukan aturan tertentu. Arbitrase ini
akan berakhir jika sengketa yang ditanganinya telah selesai.
Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen. Arbitrase institusional ini merupakan badan arbitrase yang sengaja
didirikan dan bertujuan untuk menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian sengketa di luar pengadilan.7 Arbitrase institusional
tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu arbitrase institusional yang bersifat nasional

dan internasional. Arbitrase insititusional yang bersifat nasional adalah arbitrase di
mana para pihak yang bersengketa berada di satu negara.8 Arbitrase institusional yang
bersifat nasional yang berada di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional
Indonesia.
Berbagai macam alasan mengapa orang-orang memilih forum arbitrase
sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat di antaranya dapat diketahui sebagai
berikut:9
1. Kebebasan, Kepercayaan, dan Keamanan; arbitrase pada umumnya menarik
bagi para pengusaha, pedagangan, dan investor sebab arbitrase memberikan
kebebasan dan otonomi yang sangat luas pada mereka.
2. Keahlian (expertise); para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan yang
lebih besar pada keahlian arbitrator mengenai persoalan yang disengketakan
dibandingkan dengan kepada pengadilan.
3. Cepat dan Hemat biaya; sebagai suatu proses, arbitrase tidak terlalu formal
sehingga mekanismenya lebih fleksibel dibandingkan dengan proses litigasi di
7

Ibid.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Menata Bisnis Modern di Era Global), (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 311-312

9
Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1995), hal.19-22
8

6

4.

5.

6.

7.

pengadilan. Dengan demikian arbitrase proses pengambilan keputusannya
lebih cepat sehingga biaya penyelesaian sengketa relatif lebih murah daripada
litigasi, sebab untuk putusan arbitrase tidak ada kemungkinan upaya hukum
banding.
Pertimbangan

putusan
arbitrase
lebih
bersifat
privat;
dalam
mempertimbangkan penyelesaian sengketa privat, pengadilan dan arbitrase
sangat berbeda. Pengadilan adalah lembaga publik, sehingga ketika
menyelesaikan sengketa privat pun seringkali memanfaatkan momentum
penyelesaian sengketa privat untuk mengutamakan kepentingan umum,
sementara kepentingan privat menjadi pertimbangan kedua. Sebaliknya,
forum arbitrase merupakan lembaga privat, oleh sebab itu para arbitrator
dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa yang ditanganinya juga
lebih bersifat privat daripada bersifat publik/umum.
Kecenderungan yang modern; dalam dunia perdagangan internasional,
kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan/undang-undang
arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian
sengketa dagang melalui peradilan umum.
Putusan Arbitrase Final dan Mengikat; Sesuai dengan kehendak dan niat dari
para pihak pelaku bisnis yang menghendaki putusan penyelesaian sengketa

pada forum arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua
belah pihak. Sedangkan putusan pengadilan masih terbuka berbagai upaya
hukum, sehingga untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap
memerlukan waktu yang cukup lama.
Bersifat rahasia; oleh karena arbitrase lebih bersifat privat dan tertutup
dibandingkan pengadilan, pemeriksaan sengketa di dalam forum arbitrase
bersifat rahasia. Sifat itu melindungi para pihak dari publisitas yang
merugikan serta segala akibatnya, seperti kehilangan reputasi bisnis.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bersifat rahasia. Sementara itu,

publisitas dalam penyelesaian sengketa di pengadilan negeri sulit dihindarkan karena
pengadilan negeri terikat asas sifat terbukanya persidangan, yang memungkinkan
setiap orang dapat hadir dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan.10 Di
samping itu, pengadilan terdiri atas berbagai instansi atau tingkatan. Diperolehnya
putusan pada tingkat pertama, belum berarti sengketa tersebut selesai, karena pihak

10

Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia cet. 4, (Jakarta: IND-HILL-CO, 2003), hal. 68


7

yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih dapat melakukan upaya
hukum banding ke pengadilan tinggi. Bahkan bila masih belum merasa puas dengan
putusan banding, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung. Tak ada jaminan dari pihak mana pun bahwa penyelesaian
sengketa pada setiap tingkatan pengadilan itu akan berlangsung cepat.
Apabila semua tingkatan pengadilan itu dapat selesai ditempuh dalam jangka
waktu satu tahun enam bulan (yang berarti satu instansi enam bulan), maka itu sudah
dapat dikatakan sangat cepat. Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti)
perkara-perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin
lamban.
karena itu biasanya dalam perjanjian kredit yang dibuat antara debitor dan
kreditor terkait masalah utang piutang, terdapat klausula untuk penyelesaian sengketa
apabila terjadi perselisihan antara para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian
tersebut. Pada umumnya para pihak memilih menyelesaikan melalui lembaga
Arbitrase.
Dalam

dua


dekade

terakhir

penggunaan

lembaga

arbitrase

dalam

menyelesaikan sengketa dagang diseluruh dunia mengalami peningkatan yang luar
biasa. Alasan utama dalam peningkatan tersebut, adalah semakin bertambahnya
transaksi perdagangan lintas negara. Menurut pandangan para pengusaha, salah satu
keunggulan yang cukup diperhitungkan untuk menyelesaikan sengketa melalui

8

arbitrase dibandingkan dengan pengadilan adalah sifat final dan mengikat dari
putusan arbitrase tersebut.11
Para pengusaha menganggap bahwa jika menggunakan arbitrase sebagai
penyelesaian sengketa maka sengketa tersebut dapat lebih cepat diselesaikan karena
dalam arbitrase tidak terdapat upaya hukum banding atau upaya hukum lainnya
sebagaimana dalam pengadilan.
Namun pada kenyataannya, sifat final dari putusan arbitrase tidak serta merta
dapat diterapkan. Peraturan perundangan-undangan khususnya Undang-undang
Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Undang-undang Arbitrase) telah mengatur mengenai tata cara pelaksanaan putusan
arbitrase, dalam ketentuan Undang-undang Arbitrase juga diatur apabila para pihak
merasa tidak puas terhadap putusan arbitrase maka para pihak dapat memintakan
pembatalan terhadap putusan tersebut. Pemberlakuan terhadap peraturan pelaksanaan
putusan arbitrase maupun pembatalan tersebut, berlaku baik terhadap putusan
arbitrase nasional maupun putusan arbitrase internasional yang berasal dari arbitrase
lembaga maupun adhoc.12
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut
juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
11

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),

hal.52
12
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 9

9

tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Terkait kewenangan dalam penyelesaian
sengketa ini, dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya kewenangan diantaranya
adalah:13
1. Wewenang mutlak ( absolute competentie )
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan
peradilan di mana terdapat berbagai macam pengadilan yang menyangkut
pemberian kekuasaan untuk mengadili.
2. Wewenang relatif ( relative competentie )
Wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan
yang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat.
Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase memiliki kewenangan mutlak
dalam hal terjadinya pailit dan penundaan pembayaran utang. Pengadilan Niaga yang
merupakan suatu bagian dari peradilan umum, mempunyai kompetensi untuk
memeriksa yaitu:
1. Perkara kepailitan dan penundaan pembayaran, dan
2. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.14
Adanya kewenangan mutlak dalam arbitrase dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat
(1) dan (2) Undang-undang Arbitrase, yaitu :
13

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal.11
14
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hal.18

10

(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 Undangundang Arbitrase, agar suatu putusan dapat dilaksanakan maka putusan tersebut harus
diserahkan

dan

didaftarkan

pada

kepaniteraan

pengadilan

negeri

dengan

mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera Pengadilan Negeri, dalam waktu 30
(tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Tidak dipenuhinya ketentuan
pendaftaran sebelum 30 (tiga puluh) hari tersebut, dapat membuat putusan arbiter
tidak dapat dilaksanakan.
Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Dalam
hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah
satu pihak yang bersengketa. Perintah sebagaimana dimaksud diberikan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri. Sebelum perintah pelaksanaan dikeluarkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri harus memeriksa terlebih dahulu apakah
putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor

11

30 tahun 1999,15 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Bila hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa putusan arbitrase tidak
memenuhi kriteria yang dimaksud maka Ketua Pengadilan Negeri berhak menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional, Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Hal ini
dikarenakan putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap).
Dengan demikian pengadilan tetap mempunyai peranan yang sangat besar
dalam penyelesaian sengketa antar para pihak dalam mengembangkan terjadinya
proses arbitrase tersebut ataupun dengan jalan mengesampingkan adanya klausula

15

Pasal 4 berbunyi:
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan
dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk
pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana
komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Pasal 5 berbunyi:
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat di diadakan perdamaian.

12

arbitrase dalam perjanjian. Pengadilan tetap mempunyai peranan penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, walaupun para pihak telah sepakat untuk
menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui Badan Arbitrase.16
Sehingga dalam kenyataannya, sifat final dari putusan arbitrase tidak serta
merta dapat diterapkan, karena selain peraturan Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur mengenai tata
cara pelaksanaan putusan arbitrase, juga masih dimungkinkan para pihak yang tidak
puas terhadap putusan arbitrase dapat memintakan pembatalan terhadap putusan
tersebut. Tidak finalnya putusan arbitrase ini lebih tampak dalam dualisme
penyelesaian sengketa bisnis melalui kepailitan dan arbitrase. Adanya dualisme
penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi juga berdampak pada perkara
kepailitan, karena sifatnya masih mencakup dalam wilayah hukum dagang dan
perdata. Hal ini yang memberikan konflik kewenangan yang sama-sama mengatur
mekanisme penyelesaian.
Pada perjanjian yang memuat klausul arbitrase sebagai solusi penyelesaian
apabila terjadi sengketa, penyelesaiannya seharusnya non-litigasi, akan tetapi dalam
prakteknya, oleh karena kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase tersebut, para pihak akhirnya melanjutkan perkaranya melalui Pengadilan
Niaga (litigasi). Hal ini akan bertolak belakang pada asas pacta sunt servanda yang

16
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama,
2000), hal.15

13

mana kesepakatan dari para pihak yang bersengketa yang bersifat tertulis atau
dituangkan dalam perjanjian.
Salah satu contoh perkara arbitrase yang pada akhirnya diselesaikan melalui
Pengadilan Niaga adalah kasus sengketa antara PT. Atmindo dengan PT.
Palmechandra Abadi, dengan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Perwakilan Medan Nomor 01/IV/ARB/BANI-Mdn/2006 tertanggal 27 Januari 2007.
Dalam putusannya BANI Perwakilan Medan memutuskan menghukum PT.
Palmechandra Abadi untuk membayar sisa pembayaran biaya penggantian spare part
pada pengadaan peralatan mesin boiler pabrik kelapa sawit (PKS) di Palembang
sebesar Rp. 650.979.463,- dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan arbitrase
diucapkan. Namun dalam pelaksanaannya PT. Palmechandra Abadi tidak bisa
memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam putusan arbitrase tersebut,
sehingga PT. Palmechandra Abadi yang juga memiliki kewajiban atau hutang yang
belum dilunasinya terhadap beberapa kreditor lain akhirnya digugat pailit. Dalam
perkara kepailitan Nomor 03/Pailit/2007/PN.Niaga.Mdn, PT. Atmindo beserta PT.
Krida Pujimulyo Lestari dan PT. Bank Bukopin Cabang Medan bersama-sama
menjadi para kreditor PT. Palmechandra Abadi dalam perkara kepailitan tersebut. hal
itu menunjukkan bahwa walaupun putusan BANI telah memiliki kekuatan hukum
tetap untuk dilaksanakan, namun para prakteknya masih juga terkendala dalam
pelaksanaan putusan BANI menyangkut pembayaran kewajiban hutang piutang.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai penyelesaian sengketa utang piutang melalui Badan Arbitrase Nasional

14

Indonesia yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Keberadaan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang”.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:
1. Bagaimana keberadaan BANI dalam penyelesaian sengketa hutang piutang?
2. Bagaimana hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusan arbitrase
dalam penyelesaian hutang piutang?
3. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan BANI dalam mengatasi hambatanhambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusannya?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keberadaan BANI dalam menyelesaikan sengketa utang
piutang antara kreditor dan debitor.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusan
arbitrase dalam penyelesaian hutang piutang.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan BANI dalam mengatasi
hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusannya.

15

D. Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur
mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang
piutang, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi
penelitian pada bidang yang sama.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan keberadaan BANI sebagai pilihan
penyelesaian sengketa hutang piutang.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang
ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum
ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Keberadaan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang”. Akan tetapi ada
beberapa penelitian yang menyangkut arbitrase antara lain penelitian yang dilakukan
oleh:
1. Dedi Harianto (Nim. 992105108), Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, dengan judul penelitian “Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan

16

Forum Arbitrase Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Di Kota
Medan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Lembaga arbitrase asing apakah yang selalu dipergunakan oleh para investor
di Kota Medan?
b. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong pilihan terhadap lembaga
arbitrase asing?
c. Hal-hal apakah yang merupakan penghambat berkaitan dengan pilihan
lembaga arbitrase asing tersebut?
2. Novran Harisa (Nim. 027005020), Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, dengan judul penelitian “Kewenangan Pengadilan Membatalkan Putusan
Arbitrase Internasional (Suatu Tinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Dalam Perkara PT. Pertamina Melawan Karaha Bodas Company)”.
3. Nur Ervianti Meliala (Nim. 04701105), Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan
Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Perkara No. 167/Pdt.P/2000/PNJak.Sel)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah :
a. Mengapa Pengadilan Negeri dapat membatalkan putusan arbitrase?
b. Bagaimana kewenangan Pengadilan Negeri untuk membatalkan putusan
arbitrase?
c. Bagaimana pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap putusan arbitrase di
Indonesia, secara sukarela atau melalui eksekusi?

17

Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan
demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari
permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
terjadi.17 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.18
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan
sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Dalam
pengertian teori kepastian hukum yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya
kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.19 Dengan demikian

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hal. 122
18
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal.80.
19
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hal.158

18

kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Menurut Radbruch, hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu
diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam
Negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau
juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian yakni bilamana
pertentangan antara isi tata hukum dengan keadilan begitu besar, sehingga tata hukum
itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.20
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan
akhirnya timbulnya keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian
hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan
menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi, peraturannya adalah demikian dan
harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat ”Lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam,
tetapi demikianlah bunyinya).21

20
21

hal. 58

Theo Huijbers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 163
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988),

19

Prinsip kepastian hukum sebenarnya tampak dari adanya ketentuan mengenai
acara arbitrase yang harus ditentukan oleh para pihak secara bebas dan tegas secara
tertulis dalam perjanjian arbitrase, akan tetapi apabila acara arbitrase tidak ditentukan
oleh para pihak maka berlaku ketentuan dalam Pasal 12, 13, dan 14 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999, yaitu Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis
arbitrase.22 Di dalam perjanjian arbitrase juga harus tercantum kesepakatan jangka
waktu dan tempat diselenggarakannya arbitrase dan apabila tidak, arbiter atau majelis
arbitrase yang akan menentukannya. Setelah dilaluinya acara pemeriksaan sengketa
yang timbul oleh arbiter atau majelis arbiter maka tahap selanjutnya adalah
penjatuhan putusan.
Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Bahkan Pengadilan Negeri wajib menolak dan
tidak campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
kepailitan. Dalam praktek, terdapat kasus-kasus pengingkaran legalitas klausul
arbitrase yang telah dipilih pada saat putusan arbitrase itu merugikan salah satu pihak
yang kemudian mengajukannya ke PN dan cenderung mendudukkan diri sebagai
institusi pemberi keadilan yang paling benar dan sering mencurigai atau menolak

22
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 13 ayat (1)

20

nilai kebenaran dan keadilan yang sebenarnya telah dipertimbangkan oleh arbiter
ataupun majelis arbitrase dalam putusannya.
Adanya dualisme hukum terjadi terjadi karena akibat perbenturan hukum dari
Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 (Undang-Undang Kepailitan)
dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 (UU Arbitrase). Hal lini
terjadi karena dari kedua undang-undang ini masing-masing memiliki kewenangan
hukum, dalam hal ini UUK PKPU sebagai lembaga hukum peradilan extra ordinary
dan UU Arbitrase sebagai lembaga peradilan extra judicial. Sedangkan persoalan
yang mengatur sengketa kewenangan ini belum ada aturan hukumnya yang
mengakibatkan terjadinya bias hukum sehingga kasus-kasus yang ada diselesaikan
dengan model rechvinding yang menjadi yurisprudensi bagi hakim selanjutnya.
Selain itu permasalahan dasar kewenangan penyelesaian sengketa tampak
ketika adanya konflik/suatu sengketa yang berkaitan dengan kepailitan sementara di
dalam kontrak atau perjanjian itu juga memuat adanya janji atau klausul arbitrase
yang mengatur bila ada atau timbul sengketa kelak di kemudian hari para pihak
memilih penyelesaiannya secara arbitrase. Bila kita merujuk pada berlakunya asas
perundangan lex specialis derograt lex generalis, maka yang mana peraturan khusus
dapat mengesampingkan peraturan yang umum. Dalam Undang-Undang Kepailitan
dan Arbitrase sama-sama mempunyai wewenang untuk menyelesaikan karena
memang belum ada aturan atau ketentuan bagaimana penyelesaian konflik ini.
Pada perjanjian yang memuat klausul arbitrase maka penyelesaiannya
seharusnya non-litigasi, akan tetapi para pihak berperkara melalui Pengadilan Niaga

21

(litigasi). Hal ini akan bertolak belakang pada asas pacta sunt servanda yang mana
kesepakatan dari para pihak yang bersengketa yang bersifat tertulis atau dituangkan
dalam perjanjian, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dengan prinsip asas
kebebasan berkontrak yang bersifat mengikat para pihak dan 1320 KUH Perdata
dengan asas konsensualismenya.
Hal ini yang akan menimbulkan dua sengketa kewenangan akibat dari
penyimpangan asas-asas tersebut. Pertama adalah kewenangan dari wilayah absolut
Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan sebagai extra ordinary Pengadilan. Kedua
adalanya klausul arbitrase yang mana dengan menganut asas-asas yang berlaku,
seharusnya perkara tersebut diselesaikan pada lembaga arbitrase sebagai extra
judicial akibat dari klausul arbitrase yang disepakati bersama para pihak yang
bersengketa dengan prinsip pacta sunt servanda.
Dalam memutuskan suatu perkara, hakim seharusnya menelaah dengan
cermat dan tepat antara kekuasaan mana antara kepentingan dari lembaga arbitrase
sebagai lembaga peradilan extra judicial dengan lembaga peradilan niaga sebagai
lembaga peradilan extra ordinary. Pada satu sisi peraturan yang mengatur
kewenangan dari kedua model peradilan tersebut tidak ada dan selama ini hakim sulit
untuk melakukan rechvinding pada masalah tersebut. Hal ini memang tergantung dari
pemikiran para hakim dalam memutuskan kewenangan dari kedua lembaga

22

penyelesaian sengketa tersebut, karena akan mengkaji banyak pertimbangan dari
berbagai sisi fundamen dasar ilmu hukum, yaitu asas-asas ilmu hukum. 23
Akan tetapi, keadilan yang dicari masyarakat kita adalah berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi serta domisili mereka
antara satu dan yang lain juga berbeda. Jadi tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan masalah baru yang membutuhkan bantuan seorang yuris untuk peka
terhadap perkembangan jaman ini. Hal ini muncul karena hukum itu sebenarnya
kontrol terhadap sosial meskipun adanya hukum diawali dengan adanya masalah
yang berkembang dalam masyarakat yang digeneralisir dan dijadikan patokan bagi
masyarakat luas.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.24
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.25

23

Rahayu Hartini, “Resolusi Konflik Dualisme Hukum Kepailitan dan Arbitrase di
Indonesia”,
http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/12/24/resolusi-konflik-dualisme-hukumkepailitan-dan-arbitrase-di-indonesia-bagian-v/, terakhir diakses pada tanggal 26 Maret 2014
24
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hal.31
25
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal.19

23

Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Arbitrase adalah bentuk penyelesaian sengketa atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan
tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim
yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.26
b. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.27
c. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa.28
d. Arbiter adalah orang perseorangan yang netral yang ditunjuk untuk memberikan
putusan atas persengketaan para pihak.
e. Para Pihak adalah baik perorangan maupun badan hukum.
f. Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau
pemahaman antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah
hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan

26

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.1
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10
28
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 3
27

24

atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan/ atau tuntutan terhadap
kewajiban atau tanggungjawab.29
g. Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau Undang-Undang.30
h. Sengketa

hutang

piutang

adalah

sengketa

yang

timbul

karena

tidak

dilaksanakannya suatu prestasi dalam suatu perjanjian.
i. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah suatu badan yang dibentuk
oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia dalam
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor
perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk
alternatif penyelesaian sengketa lainnya.31
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif
analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci
dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan
29

Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) , “Arbitrase”,
http://www.bakti-arb.org/ arbitrase.html, terakhir diakses 27 Desember 2013
30
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalilitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 6
31
Wikipedia, “Badan Arbitrase Nasional”, http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Arbitrase_
Nasional_Indonesia, terakhir diakses tanggal 24 Desember 2013.

25

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
untuk menjawab permasalahan.32
Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan,
menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan
peraturan perundang-undangan mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan
penyelesaian sengketa, sehingga dapat diperoleh penjelasan bagaimana keberadaan
BANI dalam menyelesaikan sengketa utang piutang antara kreditor dan debitor dan
faktor apakah yang menjadi pertimbangan para pihak memilih BANI sebagai forum
penyelesaian sengketa hutang piutang serta faktor-faktor apa saja yang menjadi
hambatan bagi BANI dalam menyelesaikan sengketa hutang piutang, dan sebagai
hasilnya dapat menjelaskan mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian
sengketa hutang piutang tersebut.
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode
pendekatan yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan
penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi
dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan hukum yang lain.33 Meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum,
sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah

32

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994) hal. 101
33
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996),
hal.13

26

serta dapat menganalisis permasalahan yang dibahas,34 serta menjawab pertanyaan
sesuai permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai
keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang.
2. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan
melalui studi kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk
mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil
pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.
b. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
pengumpulan data dilakukan melalui :
1) Studi Dokumen.
Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini, dengan tujuan untuk mengumpulkan data
sekunder, yang terdiri dari:

34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13

27

a) Bahan hukum primer.
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan
utama yang dipakai dalam rangka penelitian35 ini di antaranya adalah UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa beserta peraturan pelaksanaannya, dan peraturan-peraturan lain yang
berkaitan dengan keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang
piutang.
b) Bahan hukum sekunder.
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer,36 seperti
hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta
dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan keberadaan BANI sebagai pilihan
penyelesaian sengketa hutang piutang.
c) Bahan hukum tertier.
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder37 seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang
berkaitan dengan objek penelitian.

35

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hal.53
36
Ibid.
37
Ibid.

28

2) Wawancara.
Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang
dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak yang telah ditentukan sebagai
informan yang dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan
keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang, yaitu pihak
Sekretaris Badan Arbitrase Nasional Indonesia Perwakilan Medan.
Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman
wawancara sehingga data yang diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih
mendalam sehingga dapat dijadikan bahan guna menjawab permasalahan dalam tesis
ini.
3. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan
menganalisis data berdasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
(library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field
research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran
secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah keberadaan
BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang. Selanjutnya ditarik
kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif-induktif, yaitu cara

29

berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal
yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti
teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk
menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, 38 guna menjawab
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

38
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.109