Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aluminium

2.1.1 Sejarah Aluminium

Aluminium diambil dari bahasa Latin: alumen, alum. Orang-orang Yunani dan Romawi kuno menggunakan alum sebagai cairan penutup pori-pori dan bahan penajam proses pewarnaan. Tahun 1787, Lavoisier menebak bahwa unsur ini adalah Oksida logam yang belum ditemukan. Pada tahun 1761, de Morveau mengajukan nama alumine untuk basa alum. Pada tahun 1827, Wohler disebut sebagai ilmuwan yang berhasil mengisolasi logam ini. Pada tahun 1807, Davy memberikan untuk menamakan logam ini Aluminum, walau pada akhirnya setuju untuk menggantinya dengan Aluminium. Nama yang terakhir ini sama

dengan nama banyak unsur lainnya yang berakhir dengan “ium”.

C.M. Hall seorang berkebangsaan Amerika bersama Paul Heroult berkebangsaan Prancis, pada tahun 1886 mengolah Alumina menjadi Aluminium dengan cara elektrolisa dari garam yang terfusi. Selain itu Karl Josep Bayer berkebangsaan Jerman yang merupakan seorang ahli kimia mengembangkan proses yang dikenal dengan nama proses Bayer untuk mendapat Aluminium murni.

Proses Bayer pada Aluminium dilakukan dengan cara memasukkan bauksit halus yang sudah dikeringkan kedalam pencampur lalu diolah dengan NaOH dengan suhu diatas titik didih dan dibawah pengaruh tekanan. NaOH akan bereaksi dengan bauksit menghasilkan Aluminat Natrium yang terlarut. Selanjutnya tekanan dikurangi dengan ampas yang terdiri dari Silicon,oksida besi, Titanium dan kotoran-kotoran lainnya dipisahkan. Kemudian Alumina Natrium tersebut dipompa ke tangki pengendapan dan ditambahkan kristal hidroksida Alumina sehingga kristal tersebut menjadi inti kristal. Inti kristal dipanaskan diatas suhu 980°C dan menghasilkan Alumina dan dielektrosida


(2)

sehingga oksigen dan Aluminium murni menjadi terpisah. Pada setiap 1 kilogram Aluminium diperlukan 2 kilogram Alumina dan 4 kilogram bauksit, 0,6 kilogram karbon, criolit dan bahan-bahan lainnya. Penggunaan Aluminium saat ini menduduki urutan kedua setelah besi dan baja dan tertinggi pada logam bukan besi untuk kehidupan industri.

Secara historis, Perkembangan proses pengecoran untuk Aluminium dan paduannya merupakan prestasi yang relatif baru. Paduan Aluminium tidak tersedia dalam jumlah yang substansial untuk pengecoran tujuan hingga lama. Setelah penemuan pada tahun 1886 dari proses elektrolitik pengurangan Aluminium oksida oleh Charles Martin Hall di Amerika Serikat dan Paul Heroult di Perancis. Meskipun penemuan Hall menghasilkan Aluminium dengan biaya sangat kecil, nilai penuh dari Aluminium sebagai bahan pengecoran tidak dilanjutkan sampai paduan cocok untuk proses pengecoran yang sedang berkembang. Aluminium dasar paduan secara umum akan ditandai sebagai sistem eutektik yang mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase berlebih. Karena kelarutan relatif rendah sebagian besar elemen paduan dalam Aluminium dan paduan kompleksitas yang dihasilkan dapat berisi beberapa fasa logam, yang terkadang cukup kompleks dalam komposisi. Fasa ini biasanya lebih larut dekat suhu eutektik dari pada suhu kamar, sehingga memungkinkan untuk panas-mengobati beberapa dari paduan oleh solusi dan penuaan panas-perawatan (Purnomo,2004).

Pengecoran Aluminium akan berakibat penurunan sifat mekanis (tarik dan impak) dari logam, yang terjadi akibat peningkatan porositas (Purnomo,2004). Porositas yang terjadi pada saat pengecoran Aluminium dapat dieleminir dengan mengontrol gas/oksigen dan variabel pengecoran lainnya seperti, temperatur, laju pembekuan, laju pendinginan (Melo,M.L.N.M.,etl., 2005) yang dapat dilakukan dengan tersedianya dapur peleburan yang memadai.

Parameter pembekuan sangat dipengaruhi laju pendinginan, keadaan temperatur pada berbagai fasa berubah dengan peningkataan laju pendinginan, peningkatan laju pendinginan secara signifikan meningkatkan temperatur pengintian Aluminium (Dobrzanski, dkk, 2006).


(3)

2.1.2 Kandungan Atom/Unsur dan Ikatan

Aluminium disimbolkan dengan Al, dengan nomor atom 13 dalam tabel periodik unsur. Bauksit, bahan baku aluminium memiliki kandungan aluminium dalam jumlah yang bervariasi, namun pada umumnya di atas 40% dalam berat. Senyawa aluminium yang terdapat di bauksit diantaranya Al2O3, Al(OH)3, γ

-AlO(OH), dan α -AlO(OH). Bauksit dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bauksit (Dobrzanski, dkk, 2006)

Isotop aluminium yang terdapat di alam adalah isotop 27Al, dengan persentase sebesar 99,9%. Isotop 26Al juga terdapat di alam meski dalam jumlah yang sangat kecil. Isotop26Al merupakan radioaktif dengan waktu paruh sebesar 720000 tahun. Isotop aluminium yang sudah ditemui saat ini adalah aluminium dengan berat atom relatif antara 23 hingga 30, dengan isotop 27Al merupakan isotop yang paling stabil.

2.1.3 Mikrostruktur Aluminium

Gambar 2.2 memperlihatkan struktur mikro aluminium murni. Aluminium murni 100% tidak memiliki kandungan unsur apapun selain aluminium itu sendiri.


(4)

Gambar 2.3 Struktur mikro dari paduan aluminium-silikon (Akroma,B.H., 2011)

Gambar 2.3 (a) merupakan paduan Al-Si tanpa perlakuan khusus. Gambar 2.3 (b) merupakan paduan Al-Si dengan perlakuan termal. Gambar 2.3 (c) adalah paduan Al-Si dengan perlakuan termal dan penempaan. Jika diperhatikan bahwa semakin ke kanan, struktur mikro semakin baik (Voort,1984).

2.1.4 Sifat-Sifat Aluminium

Aluminium telah merupakan salah satu logam industri yang paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor utama industri seperti konstruksi, listrik, angkutan, peti kemas dan kemasan, peralatan mekanis serta alat rumah tangga.

Adapun sifat-sifat mekanik Aluminium antara lain sebagai berikut: a. Ringan

Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja, atau tembaga dan banyak digunakan dalam industri transportasi seperti angkutan udara.

b. Tahan terhadap korosi

Sifatnya durabel sehingga baik dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik di ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut.


(5)

c. Kuat

Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu dengan logam lain. Digunakan untuk pembuatan komponen yang memerlukan kekuatan tinggi seperti: pesawat terbang, kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain.

d. Mudah dibentuk

Proses pengerjaan Aluminium mudah dibentuk karena dapat disambung dengan logam/material lainnya dengan pengelasan, brazing, solder, adhesive

bonding, sambungan mekanis, atau dengan teknik penyambungan lainnya.

e. Konduktor listrik

Aluminium dapat menghantarkan arus listrik dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan tembaga. Karena Aluminium tidak mahal dan ringan, maka Aluminium sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun bawah tanah

f. Konduktor panas

Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada mesin-mesin/alat-alat pemindah panas sehingga dapat memberikan penghematan energi.

g. Memantulkan sinar dan panas

Aluminium dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan pantul yang tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan pantul sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan Aluminium sangat baik untuk peralatan penahan radiasi panas.

h. Non magnetik

Aluminium sangat baik untuk penggunaan pada peralatan elektronik, pemancar radio/TV dan lain-lain. Dimana diperlukan faktor magnetisasi negative untuk menaikkan sifat–sifat mekaniknya, maka secara umum aluminium biasanya dipadu dengan menambahkan Si, Fe, Cu, Mn, Mg, dan Zn. Si dan Mg ditambahkan untuk menambah daya tahan terhadap korosi, Fe untuk mencegah teerjadinya penyusutan, Cu untuk menambah kekuatan dan Mn untuk memperbaiki mampu bentuk. Elemn-elemen tersebut ditambahkan


(6)

baik secara satu persatu atau bersama-sam. Penggunaan dari aluminium dan paduannya antara lain untuk peralatan rumah tangga, kemasan makanan dan minuman, pesawat terbang, mobil, kappa laut, konstruksi bangunan rumah, dan lain-lain. Adapun sifat-sifat aluminium murni ditunjukkan pada Tabel 2.1 (Surdia,1992).

Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik Aluminium (Surdia dan Shinroku, 1992)

Sifat-sifat Kemurnian Al (%)

99,996 >99,0

Massa jenis (20oC) 2,6989 2,71

Titik Cair 660,2 653-657

Panas Jenis (cal/g.oC)(100oC) 0,2226 0,2297

Hantaran Listrik (%) 64,94 59 (dianil)

Tahanan Listrik Koefisien temperature (/oC)

0,00429 0,0115

Koefisien Pemuaian (20-100oC) 23,86 x 10-6 23,5 x 10-6

Jenis Kristal, konstanta kisi FCC,a = 4,013 A FCC,a = $,04 A

2.2 Paduan Aluminium

Aluminium dipakai sebagai paduan berbagai logam murni, sebab tidak kehilangan sifat ringan dan sifat – sifat mekanisnya dan mampu cornya diperbaiki dengan menambah unsur–unsur lain. Paduan Al diklasifikasikan dalam berbagai standar oleh berbagai Negara di dunia. Saat ini klasifikasi yang sangat tekenal dan sempurna adalah standar Alumunium Association di Amerika yang didasarkan atas dasar standar terdahulu dari Alcoa (Alumunium Company of

America),(Surdia dan Saito, 2005). Sesuai dengan Aluminium Assosiation

paduan Al terdiri-dari produk wrought dan cor, klasifikasi produk Wrought ditunjukan pada Tabel 2.3

Tabel 2.2 Paduan Al Untuk Produk Wrought (ASM Vol. 2, 1992)

Unsur Paduan Utama Seri

Aluminium minimal 99.00% 1xxx


(7)

Mangan (Mn) 3xxx

Silikon (Si) 4xxx

Magnesium (Mg) 5xxx

Magnesium dan Silikon 6xxx

Seng (Zn) Unsur Lainnya

7xxx 8xxx 9xxx

Aluminium tempa, seri 1xxx digunakan untuk Aluminium murni. Digit kedua dari seri tersebut menunjukkan komposisi Aluminium dengan limit pengotor alamiahnya, sedangkan dua digit terakhir menunjukkan persentasi minimum dari Aluminium tsb. Digit pertama pada seri 2xxx sampai 7xxx menunjukkan kelompok paduannya berdasarkan unsur yang memiliki persentase komposisi terbesar dalam paduan.Sedangkan paduan Al yang digunakan untuk pengecoran sesuai dengan Aluminium association.

2.2.1 Paduan Al-Si

Paduan Al-Si ditemukan oleh A. Pacz tahun 1921. paduan Al-Si yang telah diperlakukan panas dinamakan Silumin. Sifat – sifat silumin sangat diperbaiki oleh perlakuan panas dan sedikit diperbaiki oleh unsur paduan. Paduan Al-Si umumnya dipakai dengan 0,15% – 0,4%Mn dan 0,5 % Mg. Paduan Al-Si yang memerlukan perlakuan panas ditambah dengan Mg juga Cu serta Ni untuk memberikan kekerasan pada saat panas. Bahan paduan ini biasa dipakai untuk torak motor (Surdia dan Saito., 2005).


(8)

2.2.2 Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg

Paduan Al-Cu-Mg adalah paduan yang mengandung 4% Cu dan 0,5% Mg serta dapat mengeras dalam beberapa hari oleh penuaan, dalam temperatur biasa atau natural aging setalah solution heat treatment dan quenching. Studi tentang logam paduan ini telah banyak dilakukan salah satunya adalah Nishimura yang telah berhasil dalam menemukan senyawa terner yang berada dalam keseimbangan dengan Al, yang kemudian dinamakan senyawa S dan T. Ternyata senyawa S (AL2CuMg) mempunyai kemampuan penuaan pada temperatur biasa. Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg dipakai sebagai bahan dalam industri pesawat terbang (Surdia dan Saito., 2005)

2.2.3 Paduan Al-Mn

Mangan (Mn) adalah unsur yang memperkuat Alumunium tanpa mengurangi ketahanan korosi dan dipakai untuk membuat paduan yang tahan terhadap korosi. Paduan Al-Mn dalam penamaan standar AA adalah paduan Al 3003 dan Al 3004. Komposisi standar dari paduan Al 3003 adalah Al, 1,2 % Mn, sedangkan komposisi standar Al 3004 adalah Al, 1,2 % Mn, 1,0 % Mg. Paduan Al 3003 dan Al 3004 digunakan sebagai paduan tahan korosi tanpa perlakuan panas (Surdia dan Saito,1992).

2.2.4 Paduan Al-Mg

Paduan dengan 2 – 3 % Mg dapat mudah ditempa, dirol dan diekstrusi, paduan Al 5052 adalah paduan yang biasa dipakai sebagai bahan tempaan. Paduan Al 5052 adalah paduan yang paling kuat dalam sistem ini, dipakai setelah dikeraskan oleh pengerasan regangan apabila diperlukan kekerasan tinggi. Paduan Al 5083 yang dianil adalah paduan antara ( 4,5 % Mg ) kuat dan mudah dilas oleh karena itu sekarang dipakai sebagai bahan untuk tangki LNG (Surdia dan Saito.1992).

2.2.5 Paduan Al-Mg-Si

Paduan Al-Mg-Si dalam sistem klasifikasi AA dapat diperoleh paduan Al 6063 dan Al 6061. Paduan dalam sistem ini mempunyai kekuatan kurang sebagai bahan tempaan dibandingkan dengan paduan –paduan lainnya, tetapi sangat liat,


(9)

sangat baik mampu bentuknya untuk penempaan, ekstrusi dan sebagainya. Paduan 6063 dipergunakan untuk rangka – rangka konstruksi , karena paduan dalam sistem ini mempunyai kekuatan yang cukup baik tanpa mengurangi hantaran listrik, maka selain dipergunakan untuk rangka konstruksi juga digunakan untuk kabel tenaga (Surdia dan Saito, 1992)

2.2.6 Paduan Al-MnZn

Jepang pada awal tahun 1940 Iragashi dan kawan-kawan mengadakan studi dan berhasil dalam pengembangan suatu paduan dengan penambahan kira–

kira 0,3 % Mn atau Cr dimana butir kristal padat diperhalus dan mengubah bentuk presipitasi serta retakan korosi tegangan tidak terjadi. Pada saat itu paduan tersebut dinamakan ESD atau duralumin super ekstra. Selama perang dunia ke dua di Amerika serikat dengan maksud yang hampir sama telah dikembangkan pula suatu paduan yaitu suatu paduan yang terdiri dari: Al, 5,5 % Zn, 2,5 % Mn, 1,5% Cu, 0,3 % Cr, 0,2 % Mn sekarang dinamakan paduan Al- 7075. Paduan ini mempunyai kekuatan tertinggi diantara paduan-paduan lainnya. Pengggunaan paduan ini paling besar adalah untuk bahan konstruksi pesawat udara, disamping itu juga digunakan dalam bidang konstruksi (Surdia dan Saito,1992).

2.3 Magnesium

Magnesium adalah unsur kedelapan yang paling berlimpah dan merupakan sekitar2% dari berat kerak bumi dan merupakan unsur yang paling banyak ketiga terlarut dalam air laut. Magnesium sangat melimpah di alam dan ditemukan dalam bentuk mineral penting didalam bebatuan , seperti dolomit, magnetit, dan olivin. Ini juga ditemukan dalam air laut, air asin bawah tanah dan lapisan asin. Ini adalah logam struktural ketiga yang paling melimpah dikerak bumi, hanya dilampaui oleh aluminium dan besi. Amerika Serikat secara umum menjadi pemasok utama dunia logam ini. Amerika Serikat memasok 45% dari produksi dunia, bahkan pada tahun 1995 Dolomit dan magnesit ditambang sampai sebatas 10 juta ton per tahun, di negara-negara seperti Cina, Turki, Korea Utara, Slowakia, Austria, Rusia dan Yunani (Kausar,dkk.,2014).


(10)

Penggunaan Mg dalam pembuatan komposit adalah sebagai wetting agent, yaitu untuk meningkatkan pembasahan antara matriks dan penguat dengan cara menurunkan tegangan permukaan antara keduanya (Samuel,Y., 2012). 2.4 Fly Ash

Fly ash atau abu terbang merupakan salah satu produk sisa dari proses

pembakaran diruang bakar suatu pembangkit, fly ash ini biasanya berbentuk partikel-partikel halus yang keberadaannya dapat membahayakan kesehatan manusia jika tidak ditangani dengan benar. Seiring dengan kemajuan teknologi maka saat ini keberadaan fly ash tidak hanya sebagai limbah tidak bermanfaat tetapi telah dipergunakan untuk campuran beragam jenis produk seperti semen, bata tahan api dan metal matrix composite (Yasman,F.,2014)

2.4.1 Fly Ash Batubara

Fly ash batubara adalah material yang memiliki ukuran butiran yang

halus berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara (Wardani,2008). Pada pembakaran batubara dalam PLTU, terdapat limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Partikel abu yang terbawa gas buang disebut fly ash, sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah tungku disebut bottom ash. Di Indonesia, produksi limbah abu dasar dan abu layang dari tahun ke tahun meningkat sebanding dengan konsumsi penggunaan batubara sebagai bahan baku pada industri PLTU (Harijono,D., 2006).

Abu terbang batubara umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk begitu saja di dalam area industri. Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam:


(11)

1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan 2. Penimbun lahan bekas pertambangan

3. Recovery magnetic, cenosphere, dan karbon

4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori 5. Bahan penggosok (polisher)

6. Filler aspal, plastik, dan kertas 7. Pengganti dan bahan baku semen

8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization) 9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben

Konversi abu terbang batubara menjadi zeolit dan adsorben merupakan contoh pemanfaatan efektif dari abu terbang batubara. Keuntungan adsorben berbahan baku fly ash batubara adalah biayanya murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair (Marinda,P.,2008)

2.4.1.1 Sifat Kimia dan Sifat Fisika Fly Ash Batubara

Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika ( SiO2 ), alumina, ( Al2O3 ), besi oksida ( Fe2O3 ), kalsium ( CaO ) dan sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah yang sedikit.

Tabel 2.3. Komposisi Kimia Salah Satu Jenis Abu Terbang Batubara (Wardani,2008)

Komponen Bituminus Sub Bituminous( % ) Lignit

SiO2 20-60 40-60 15-45

Al2O3 5-35 20-30 20-25

Fe2O3 10-40 04-10 3-15

CaO 1-12 5-30 15-40

MgO 0-5 1-6 3-10

SO3 0-4 0-2 0-10

Na2O 0-4 0-2 0-6


(12)

2.4.2 Palm Oil Fly Ash (POFA)

Hasil proses pembuatan Crude Palm Oil (CPO) maka akan dihasilkan limbah padat diantaranya serabut buah dan cangkang kelapa sawit itu sendiri, namun ini tidak menjadi masalah bagi Pabrik Kelapa sawit (PKS) karena limbah ini akan menjadi bahan bakar daripada boiler. Limbah padat berupa cangkang dan serat digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk menghasilkan energi mekanik dan panas. Uap dari boiler dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik dan untuk merebus TBS sebelum diolah di dalam pabrik. Diagram alir pembentukan pofa dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Diagram Alir Palm Oil Fly Ash

Cangkang dan serat buah sawit yang sudah terbakar, akan menghasilkan sisa- sisa pembakaran yang nantinya akan menjadi limbah daripada boiler atau furnance (tungku pembakaran) berupa abu terbang. Abu Terbang (Fly ash) , yakni abu yang berada dibawah tungku tepatnya ditempat pengumpulan abu. Abu terbang terlihat pada gambar 2.6

(a) (b)

Gambar 2.6 (a)Abu Terbang (Palm Oil Fly Ash), (b)Bottom ash sesudah di grinding (Yasman,F.,2014)

Buah Sawit Produksi

Cangkang sawit

(bahan bakar) Boiler

bak penampungan Palm Oil Fly Ash

Udara

Partikel Ash Ringan CPO

Pertikel Ash berat


(13)

Masalah yang kemudian timbul adalah sisa dari pembakaran pada boiler yang berupa abu dengan jumlah yang terus meningkat sepanjang tahun yang sampai sekarang masih belum termanfaatkan. Ternyata limbah abu sawit banyak mengandung unsur silika (SiO2) yang merupakan bahan pozzolanic. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Graille dkk (1985) ternyata limbah abu sawit banyak mengandung unsur silika (SiO2) yang merupakan bahan pozzolanic (Yasman,F.,2014).

Hayward (1995) dalam Utama dan Saputra (2005) menyatakan dalam bahan pozzolan ada dua senyawa utama yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan semen yaitu senyawa SiO2 dan Al2O3 yang dimana abu Sawit merupakan bahan pozzolanic, yaitu material yang tidak mengikat seperti semen, namun mengandung senyawa silika oksida (SiO2) aktif yang apabila bereaksi dengan kapur bebas atau Kalsium Hidroksida (Ca(OH2)) dan air akan membentuk material seperti semen yaitu Kalsium Silikat Hidrat. Unsur penyusun

fly ash sangatlah beragam tergantung dari sumber bahan bakarnya, tetapi pada

umumnya fly ash mengandung SiO2,CaO,

2.5 Komposit Matrik Logam (Metal Matrix Composite)

Material komposit adalah material yang terdiri dari gabungan dua atau lebih fasa yang berbeda baik secara fisika ataupun kimia dan memiliki karakteristik lebih unggul dari masing - masing komponen penyusunnya. Material komposit terdiri dari dua fasa, satu disebut sebagai matriks dengan masa

continuous dan penguat dengan fasa discontinuous. Dalam komposit logam,

kombinasi yang terjadi berupa material fasa logam (yang harus bersifat ulet) dengan material penguat berupa keramik (senyawa oksida, karbida dan nitrida) yang biasanya terbentuk partikulat dengan kadar antara 10-60% fraksi volum. Pada penelitian ini penulis hanya membahas tetntang metal matrix composite (MMC) atau yang lebih spesifik lagi yaitu komposit matriks aluminium (AMC). Terdapat 5 faktor umum dari penguat yang mempengaruhi sifat dari material komposit yaitu konsentrasi, ukuran, bentuk, distribusi, dan orientasi. Dimana dapat dilihat pada gambar 2.7


(14)

Gambar 2.7 Penguat dalam material komposit a). konsentrasi, b). Ukuran, c) bentuk, d). Distribusi, dan e) orientasi (Calister, 2003).

Kombinasi yang terjadi pada logam komposit berupa material fasa logam (yang harus bersifat ulet) dengan material penguat berupa keramik (senyawa oksida, karbida dan nitrida) yang biasanya terbentuk partikulat dengan kadar antara 10-60% fraksi volum.

Metal matrix composite memiliki keunggulan dibandingkan dengan

logam tunggalnya karena metal matrix composite dapat memiliki sifat yang diinginkan, seperti peningkatan kekuatan dengan berat yang lebih rendah. Beberapa keunggulan metal matrix composite dibandingkan dengan logam tunggalnya, yaitu:

1. Kombinasi kekuatan dan modulus yang baik. 2. Berat jenis jenderung lebih rendah.

3. Rasio kekerasan dengan berat dan modulus dengan berat lebih baik dari logam.

4. Nilai koefisien muai panasnya lebih rendah dibandingkan logam 5. Kekuatan fatik cukup baik.

2.6 Proses Pengecoran Logam

Pengecoran atau penuangan (casting) merupakan salah satu proses pembentukan bahan baku/bahan benda kerja yang relatif mahal dimana pengendalian kualitas benda kerja dimulai sejak bahan masih dalam keadaan


(15)

mentah. Komposisi unsur serta kadarnya dianalisis agar diperoleh suatu sifat bahan sesuai dengan kebutuhan sifat produk yang direncanakan namun dengan komposisi yang homogen serta larut dalam keadaan padat. (Sudjana,H.,2008)

Produk pengecoran logam mempunyai bentuk dan dimensi yang khas, karena pembuatannya dilakukan dengan mengubah logam dari fasa cair menjadi padat. Pembentukan benda dilakukan sekaligus dan tidak dilakukan dengan perakitan bagian-bagian benda.

Keuntungan proses pengecoran logam adalah: 1. Dapat membuat bentuk yang rumit

2. Dapat menghemat waktu dan pengerjaan produk missal

3. Dapat menggunakan bahan yang tidak dapat dikerjakan dengan proses pemesinan

4. Ukuran Produk tidak terbatas 5. Bahan dapat dilebur ulang

Kekurangan proses pengecoran logam adalah:

1. Kurang ekonomis untuk produksi dalam jumlah sedikit

2. Permukaan secara umum lebih kasar dibanding proses pemesinan 3. Toleransi kepresisian ukuran harus lebih besar dibanding produk

pemesinan

2.6.1 Centrifugal Casting

Proses penuangan (pengecoran) dengan metode sentripugal dilakukan pada pengecoran dengan menggunakan cetakan logam (die casting), tidak semua bentuk benda tuangan dapat dibuat atau dicetak dengan menggunakan metode ini karena hanya benda-benda bulat silinder dan simetris sesuai dengan konstruksinya dapat di cor dengan metode sentripugal ini. Pengecoran sentripugal dilakukan dengan menuangkan logam cair ke dalam cetakan yang berputar. Akibat pengaruh gaya sentripugal logam cair akan terdistribusi ke dinding rongga cetak dan kemudian membeku (Sudjana,H.,2008)


(16)

2.6.2 JenisJenis Pengecoran Sentrifugal

Ada beberapa jenis pengecoran sentrifugal, yaitu : 1. Pengecoran sentritugal sejati

Dalam pengecoran sentrifugal sejati, logam cair dituangkan ke dalam cetakan yang berputar untuk menghasilkan benda cor bentuk tabular, seperti pipa, tabung, bushing, cincin, dan lain-lainnya. Proses pengecoran logam sejati dapat dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Proses pengecoran sentrifugal sejati (Budi,T.K.,2010)

Berdasarkan gambar 2.8 diatas ditunjukkan logam cair dituangkan ke dalam cetakan horisontal yang sedang berputar melalui cawan tuang (pouring basin) yang terletak pada salah satu ujung cetakan. Pada beberapa mesin, cetakan baru diputar setelah logam cair dituangkan. Kecepatan putar yang sangat tinggi menghasilkan gaya sentrifugal sehingga logam akan terbentuk sesuai dengan bentuk dinding cetakan. Jadi, bentuk luar dari benda cor bisa bulat, oktagonal, heksagonal, atau bentuk-bentuk yang lain, tetapi sebelah dalamnya akan berbentuk bulatan, karena adanya gaya radial yang simetri.

Karakteristik benda cor hasil pengecoran sentrifugal sejati:

a. Memiliki densitas (kepadatan) yang tinggi terutama pada bagian luar coran,

b. Tidak terjadi penyusutan pembekuan pada bagian luar benda cork karena adanya gaya sentrifugal yang bekerja secara kontinu selama pembekuan c. Cenderung ada impuritas pada dinding sebelah dalam coran dan hal ini


(17)

2. Pengecoran semi sentritugal

Proses pengecoran ini cetakan diisi penuh oleh logam cair dan biasanya diputar pada sumbu vertikal. Bila diperlukan dapat digunakan inti untuk menghasilkan produk cor yang berongga. Bagian tengah dari cetakan biasanya padat, akan tetapi strukturnya kurang padat dan memungkinkan adanya cacat inklusi. Coran yang sulit dihasilkan melalui cara statis dapat dilakukan dengan metode ini, karena gaya centrifugal memasukan logam cair di bawah tekanan yang lebih tinggi jika dibandingkan pada pengecoran statis. Hal ini meningkatkan hasil coran secara menonjol (85-95%), benar-benar memenuhi lubang cetakan, dan menghasilkan coran berkualitas tinggi, bebas rongga dan porositas. Bagian coran yang lebih tipis dapat dibuat dengan metode ini dibanding dengan pengecoran statis. Aplikasi dari pengecoran semicentrifugal adalah untuk membuat gear blanks, pulley, roda, impelers dan rotor motor listrik (Akuan,A.,2009). Pengecoran semi sentrifugal terlihat pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Pengecoran semi sentritugal (Budi,T.K.,2010)

Densitas logam dalam akhir pengecoran lebih besar pada bagian luar dibandingkan dengan bagian dalam coran yaitu bagian yang dekat dengan pusat rotasi. Kondisi ini dimanfaatkan untuk membuat benda dengan lubang ditengah, seperti roda, puli. Bagian tengah yang memiliki densitas rendah mudah dikerjakan dengan pemesinan.


(18)

3. Pengecoran sentrifuge

Centrifuging (pressure) memiliki aplikasi yang paling luas. Pada metode ini,

lubang coran disusun disekitar pusat sumbu putaran seperti jari-jari roda, sehingga memungkinkan produksi coran lebih dari satu. Gaya centrifugal memberikan tekanan yang diperlukan logam cair seperti yang terdapat pada pengecoran semicentrifugal. Metode pengecoran ini khususnya digunakan untuk memproduksi valve bodies, bonnet,plugs, yokes, brackets dan banyak lagi pada industri pengecoran lainnya (Akuan,A.,2009)

Dalam pengecoran sentrifuge cetakan dirancang dengan beberapa rongga cetak yang diletakkan disebelah luar dari pusat rotasi sedemikian rupa sehingga logam cair yang dituangkan ke dalam cetakan akan didistribusikan kesetiap rongga cetak dengan gaya sentrifugal, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.10 .

Gambar 2.10 Pengecoran sentrifuge (Budi,T.K.,2010)

2.7 Heat Treatment

Perlakuan panas atau heat treatment adalah salah satu proses untuk mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan spesimen pada electric terance (tungku) pada temperatur rekristalisasi selama periode tertentu kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, air faram, oli dan solar yang masing-masing mempunyai kerapatan pendinginan yang berbeda-beda. Sifat-sifat logam terutama sifat mekanik yang sangat dipengaruhi oleh struktur mikro logam


(19)

disamping posisi kimianya, contoh suatu logam atau paduan akan mempunyai sifat mekanis yang berbeda-beda struktur mikronya diubah. Dengan adanya pemanasan atau pendinginan dengan kecepatan tertentu maka bahan-bahan logam dan paduan memperlihatkan perubahan strukturnya (Abdillah,F., 2010). Tidak semua paduan aluminium dapat di heat treatment. Paduan yang dapat dilakukan proses heat treatment hanya dari kelompok 2XX.X, 3XX.X dan 7XX.X (di mana elemen paduan utama adalah tembaga, magnesium dan seng). Paduan Al dari kelompok lain dapat ditingkatkan hanya dengan pekerjaan dingin karena proses pengerasan presipitasi tidak terjadi di dalamnya (Paryono dan AP. Bayuseno, 2011).

Beberapa jenis proses perlakuan panas yang biasa dilakukan pada paduan aluminium yang mampu diberi perlakuan panas, yang biasanya diawali dengan penandaan huruf W dan T. penandaan W biasanya menyatakan kondisi tidak stabil dan tidak umum digunakan. Penandaan T yan diikuti angka 1 sampai 10 menyatakan proses yang diberikan pada logam coran paduan (Eifelson,2008). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.5 dibawah ini:

Tabel 2.4 Penandaan Temper Pengerasan Penuaan Paduan Allumunium (Eifelson,2008)

Temper Keterangan

T1 Didinginkan dari suhu yang ditinggikan dan diaging secara alami T2 Didinginkan dari suhu yang ditinggikan, pengerjaan dingin dan

diaging secara alami

T3 Perlakuan larutan, pengerjaan dingin, dan diaging secara alami T4 Perlakuan larutan, dan diaging secara alami

T5 Didinginkan dari suhu yang ditinggikan dan diaging secara artifisial T6 Perlakuan larutan, dan diaging secara artificial

T7 Perlakuan larutan dan distabilkan dengan overaging

T8 Perlakuan larutan, pengerjaan dingin, dan diaging secara artifisial T9 Perlakuan larutan, diaging secara artifisial, dan pengerjaan dingin T10 Didinginkan dari suhu yang ditinggikan, pengerjaan dingin dan


(20)

Salah satu cara perlakuan panas pada logam paduan aluminium adalah dengan Penuaan Keras (Age Hardening). Melalui penuaan keras (Age

hardening), logam paduan aluminium akan memperoleh kekuatan dan kekerasan

yang lebih baik. Dahulu orang menyebut penuaan keras (age hardening) dengan sebutan pemuliaan atau penemperan keras. Penamaan tersebut kemudian dibakukan menjadi penuaan keras (age hardening) karena penemperan keras pada logam paduan aluminium berbeda dengan penemperan keras yang berlangsung pada penemperan keras baja. Penuaan keras (age hardening) berlangsung dalam tiga tahap yaitu:

a. Tahap perlakuan panas pelarutan ( Solution heat treatment )

Solution heat treatment adalah pemanasan logam aluminium dalam dapur

pemanas dengan temperatur kurang dari 5480C dan dilakukan penahanan atau holding time sesuai dengan jenis dan ukuran benda kerja, pada tahap ini terjadi pelarutan fasa-fasa yang ada, menjadi larutan padat. Tujuan dari proses ini yaitu untuk mendapatkan larutan padat yang mendekati homogen (Paryono dan Bayuseno, 2011).

b. Tahap Pengejutan / pendinginan ( Quenching )

Quenching merupakan tahap yang paling kritis dalm proses perlakuan

panas. Quenching dilakukan dengan cara mendinginkan logam yang telah dipanaskan dalam dapur pemanas kedalam media pendingin. Dalam proses age

hardening logam yang di quenching adalah logam paduan aluminium yang telah

dipanaskan dalam dapur pemanas kedalam media pendingin air. Dipilihnya air sebagai media pendingin pada proses quenching karena air merupakan media pendingin yang cocok untuk logam-logam yang memiliki tingkat kekerasan atau

hardenability yang relatif rendah seperti logam paduan aluminium.

Pendingin dilakukan secara cepat, dari temperatur pemanas ( 525oC) ke temperatur yang lebih rendah, pada umumnya mendekati temperatur ruang. Tujuan dilakukan quenching adalah agar larutan padat homogen yang terbentuk pada solution heat treatment dan kekosongan atom dalam keseimbangan termal pada temperatur tinggi tetap pada tempatnya.


(21)

Tahap quenching akan menghasilkan larutan padat lewat jenuh (Super

Saturated Solid Solution) yang merupakan fasa tidak stabil pada temperatur biasa

atau temperatur ruang. Proses quenching tidak hanya menyebabkan atom terlarut tetap ada dalam larutan, namun juga menyebabkan jumlah kekosongan atom tetap besar. Adanya kekosongan atom dalam jumlah besar dapat membantu proses difusi atom pada temperatur ruang untuk membentuk zona Guinier –

Preston (Zona GP). Zona Guinier - Preston ( Zona GP) adalah kondisi didalam paduan dimana terdapat agregasi atom padat atau pengelompokan atom padat. (Surdia dan Saito, 1992).

c. Tahap Penuaan ( Aging )

Setelah solution heat treatment dan quenching tahap selanjutnya dalam proses age hardening adalah aging atau penuaan. Perubahan sifat-sifat dengan berjalanya waktu pada umumnya dinamakan aging atau penuaan. Aging atau penuaan pada paduan aluminium dibedakan menjadi dua, yaitu penuaan alami (

natural aging ) dan penuaan buatan (artificial aging ).

Penuaan alami ( natural Aging ) adalah penuaan untuk paduan aluminium yang di age hardening dalam keadaan dingin. Natural aging berlangsung pada temperatur ruang antara 15oC - 25oC dan dengan waktu penahanan 5 sampai 8 hari. Penuaan buatan ( artifical aging ) adalah penuaan untuk paduan aluminium yang di age hardening dalam keadaan panas. Artifical aging berlangsung pada temperatur antara 100oC -200oC dan dengan lamanya waktu penahanan antara 1 sampai 24 jam. ( Schonmetz, 1990).

Pengambilan temperatur artificial aging pada temperatur antara 1000C -2000C akan berpengaruh pada tingkat kekerasan sebab pada proses artificial

aging akan terjadi perubahan-perubahan fasa atau struktur. Perubahan fasa

tersebut akan memberikan sumbangan terhadap pengerasan. Urut-urutan perubahan fasa dalam proses artificial aging adalah sebagai berikut:


(22)

a. Larutan Padat Lewat Jenuh

Setelah paduan alumunium melawati tahap solution heat treatment dan

quenching maka akan didapatkan larutan padat lewat jenuh pada temperatur

kamar. Pada kondisi ini secara simultan kekosongan atom dalam keseimbangan termal pada temperatur tinggi tetap pada tempatnya. Setelah pendinginan atau

quenching, maka logam paduan alumunium menjadi lunak jika dibandingkan

dengan kondisi awalnya. b. Zona [GP 1]

Zona [GP 1] adalah zona presipitasi yang terbentuk oleh temperatur penuaan atau aging yang rendah dan dibentuk oleh segregasi atom Cu dalam larutan padat lewat jenuh atau super saturated solid solution ( Smith, 1995)

Zona [GP 1] akan muncul pada tahap mula atau awal dari proses artificial

aging. Zona ini terbentuk ketika temperatur artificial aging dibawah 1000C atau mulai temperatur ruang hingga temperatur 1000C dan Zona [GP 1] tidak akan terbentuk pada temperatur artificial aging yang terlalu tinggi. Terbentuknya Zona [GP 1] akan mulai dapat meningkatkan kekerasan logam paduan alumunium. ( Smith, 995). Jika artificial aging ditetapkan pada temperatur 1000C, maka tahap perubahan fasa hanya sampai terbentuknya zona [GP 1] saja. Proses pengerasan dari larutan padat lewat jenuh sampai terbentuknya zona [GP 1] biasa disebut dengan pengerasan tahap pertama.

c. Zona [GP 2] atau Fasaθ ”

Setelah temperatur artificial aging melewati 1000C ke atas, maka akan mulai muncul fasa θ ” atau zona [GP 2]. Pada temperatur 1300C akan terbentuk zona [GP2] dan apabila waktu penahanan artificial agingnya terpenuhi maka akan didapatkan tingkat kekerasan yang optimal (Smith, 1995). Biasanya proses

artificial aging berhenti ketika sampai terbentuknya zona [GP 2] dan

terbentuknya fasa antara yang halus (presipitasiθ ”), karena setelah melewati zona

[GP 2] maka paduan akan kembali menjadi lunak kembali. Jika proses artificial

aging berlangsung sampai terbentuknya fasa θ ” atau zona [GP 2], maka disebut


(23)

d. Fasaθ ’

Kalau paduan alumunium dinaikan temperatur aging atau waktu aging diperpanjang tetapi temperaturnya tetap, maka akan terbentuk presipitasi dengan struktur kristal yang teratur yang berbeda dengan fasaθ ’. Fasa ini dinamakan fasa antara atau fasaθ ’. Terbentuknya fasa θ ’ ini masih dapat memberikan sumbangan

terhadap peningkatan kekerasan pada paduan alumunium. Peningkatan kekerasan yang terjadi pada fasaθ ’ ini berjalan sangat lambat.

e. Fasaθ

Apabila temperatur dinaikan atau waktu penuaan diperpanjang, maka fasa

θ ’ berubah menjadi fasa θ . Jika fasaθ terbentuk maka akan menyebabkan paduan aluminium kembali menjadi lunak. Sementara waktu penahanan dalam artificial aging merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi hasil dari proses age hardening secara keseluruhan. Seperti halnya temperatur, waktu penahanan pada tahap artificial aging akan mempengaruhi perubahan struktur atau perubahan fasa paduan

2.8 Pengujian Komposisi Kimia

Uji komposisi merupakan pengujian yang berfungsi untuk mengetahui seberapa besar atau seberapa banyak jumlah suatu kandungan yang terdapat pada suatu logam, baik logam ferro maupun logam non ferro. Uji komposisi biasanya dilakukan ditempat pabrik-pabrik atau perusahaan logam yang jumlah produksinya besar, ataupun juga terdapat di Instititut pendidikan yang khusus mempelajari tentang logam. Proses pengujian komposisi berlangsung dengan pembakaran bahan menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu rekristalisasi terjadi penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya. Sedangkan untuk Penentuan kadar berdasar sensor perbedaan warna. Proses pembakaran elektroda ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian komposisi dapat dilakukan untuk menentukan jenis bahan yang digunakan dengan melihat persentase unsur yang ada.


(24)

2.9 Pengujian Kekerasan

Kekerasan aluminium dapat didefinisikan sebagai ketahanan logam terhadap indentasi. Nilai kekerasan berkaitan dengan kekuatan luluh logam karena selama identasi logam mengalami deformasi plastis. Luluh merupakan proses slip, luncur tau kembaran. Pada proses slip, struktur kisi antara daerah slip dan daerah tanpa slip terdislokasi. Batas antara daerah slip dan daerah tanpa slip disebut garis lokasi (solechan, 2010)

Kekerasan Ketahanan bahan terhadapindentasi secara kualitatif menunjukan kekuatannya (Shackelford,2009). Skala yang lazim dalam pengujian kekerasan antara lain skala Brinell, Vickers, Rockwell dan Knop. Skala kekerasan brinell (BHN) cenderung menunjukkan korelasi yang cukup linier terhadap bahan tertentu, termasuk paduan aluminium terlihat pada Tabel 2.6 merupakan sifat dari logam yang sering dipergunakan dalam pengecoran, dimanadalam Tabel tersebut terdapat sifat paduan aluminium seperti kekerasan (Amstead, 1997).

Tabel 2.6 Sifat-sifat dari logam (Amstead,1997)

Jenis Logam Kekuatan Tarik (Mpa) Keuletan (%) Kekerasan (BHN) Besi dan Baja

Besi cor kelabu Besi cor putih Baja 110-207 310 276-2070 0-1 0-1 12-15 100-150 450 110-500 Bukan Besi Aluminium Tembaga Magnesium Seng Titan Nikel 83-310 345-689 83-345 48-90 552-1034 414-1103 10-35 5-10 9-15 2-10 -15-40 20-100 50-100 30-60 80-100 158-266 90-250

Skema pengujian kekerasan Brinell ditunjukkan Gambar 2.11. Kekerasan Brinell dihitung berdasarkan persamaan :


(25)

= . .( . (Kg/mm2) Dimana :

P: beban yang digunakan (Kgf) D : Diameter indentor (mm) D : diameter indentasi (mm)

Gambar 2.11. Skema pengujian brinell (Amstead,1997)

2.10 Uji Mikrostruktur

Pengujian Mikrostruktur digunakan untuk mengetahui bentuk dan ukuran dari suatu logam pada umumnya pengujian dilakukan dengan reflek pemendaran (sinar), pada pemolesan atau etsa, tergantung pada permukaan logam uji polis, dan diperiksa langsung di bawah mikroskop atau dietsa lebih dulu, baru diperiksa di bawah mikroskop. Seperti terlihat pada Gambar 2.12


(26)

2.11 Pengujian SEM (Scanning Electron Microscope)

SEM (Scanning Electron Microscope) adalah salah satu jenis mikroscop electron yang menggunakan berkas electron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas electron yang dipantulkan dengan energy tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena berkas electron akan memantulkan kembali berkas electron atau dinamakan berkas electron sekunder ke segala arah. Tetapi dari semua berkas electron yang dipantulkan terdapat satu berkas electron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detector yang terdapat di dalam SEM akan mendeteksi berkas electron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh benda atau material yang dianalisis. Selain itu juga dapat menentukan lokasi berkas electron yang berintensitas tertinggi itu.

Ketika dilakukan pengamatan terhadap material, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron yang ber intensitas tertinggi di – scan keseluruh permukaan material pengamatan. Karena luasnya daerah pengamatan kita dapat membatasi lokasi pengamatan yang kita lakukan dengan melakukan zoon – in atau zoon – out. Dengan memanfaatkan berkas pantulan dari benda tersebut maka informasi dapat di ketahui dengan menggunakan program pengolahan citra yang terdapat dalam computer.

SEM (Scanning Electron Microscope) memiliki resolusi yang lebih tinggi dari pada mikroskop optic. Hal ini di sebabkan oleh panjang gelombang de Broglie yang memiliki electron lebih pendek daripada gelombang optic. Karena makin kecil panjang gelombang yang digunakan maka makin tinggi resolusi mikroskop.

Prinsip kerja SEM (Scanning Electron Microscope)

1. Electron gun menghasilkan electron beam dari filamen. Pada umumnya

electron gun banyak yang digunakan adalah tungsten hairpin gun dengan

filamen berupa lilitan tungsten yang berfungsi sebagai katoda. Tegangan yang diberikan kepada lilitan mengakibatkan terjadinya pemanasan. Anoda


(27)

kemudian akan membentuk gaya yang dapat menarik elektron melaju menuju ke anoda.

2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju suatu titik pada permukaan sampel.

3. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai.

4. Ketika electron mengenai sampel, maka akan terjadi hamburan elektron, baik

Secondary Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dari permukaan

sampel dan akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan dalam bentuk gambar pada monitor CRT. Berikut ini merupakan Gambar 2.15. Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dan secara lengkap skema SEM diterangkan oleh Gambar 2.13. dibawah ini:

Gambar 2.13 Mekanisme SEM (Scanning Electron Microscope)

(Sanjoto,A.,2014)

2.12 Pengujian EDS (Electron Dispersive Spectroscopy)

Energi-dispersif spektroskopi sinar-X (EDS atau EDAX) adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk elemen analisis atau karakterisasi kimia sampel. Ini adalah salah satu varian dari fluoresensi sinar-X spektroskopi yang bergantung pada penyelidikan sampel melalui interaksi antara radiasi elektromagnetik dan materi, menganalisis sinar-X yang dipancarkan oleh materi dalam menanggapi pukulan dengan partikel bermuatan.


(28)

Hampir sama dengan SEM hanya saja pada SEM EDX merupakan dua perangkat analisis yang digabungkan menjadi satu panel analitis sehingga mempermudah proses analitis dan lebih efisien. Pada dasarnya SEM EDX merupakan pengembangan SEM. Analisa SEM EDX dilakukan untuk memproleh gambaran permukaan atau fitur material dengan resolusi yang sangat tinggi hingga memperoleh suatu tampilan dari permukaan sampel yang kemudian di komputasikan dengan software untuk menganalisis komponen materialnya baik dari kuantitatif mau pun dari kualitalitatifnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.14 dibawah ini

Gambar 2.14 Teknik EDS (Proses Kontras Hasil EDS)

(Sanjoto,A.,2014)

Pengujian EDS kita juga bisa membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda–beda dari masing–masing elemen di permukaan bahan. EDS bisa digunakan untuk menganalisa secara kunatitatif dari persentase masing–masing elemen. Contoh dari aplikasi EDS pada Gambar 2.15 dibawah ini.


(1)

d. Fasaθ ’

Kalau paduan alumunium dinaikan temperatur aging atau waktu aging diperpanjang tetapi temperaturnya tetap, maka akan terbentuk presipitasi dengan struktur kristal yang teratur yang berbeda dengan fasaθ ’. Fasa ini dinamakan fasa antara atau fasaθ ’. Terbentuknya fasa θ ’ ini masih dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan kekerasan pada paduan alumunium. Peningkatan kekerasan yang terjadi pada fasaθ ’ ini berjalan sangat lambat.

e. Fasaθ

Apabila temperatur dinaikan atau waktu penuaan diperpanjang, maka fasa θ ’ berubah menjadi fasa θ . Jika fasaθ terbentuk maka akan menyebabkan paduan aluminium kembali menjadi lunak. Sementara waktu penahanan dalam artificial aging merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi hasil dari proses age hardening secara keseluruhan. Seperti halnya temperatur, waktu penahanan pada tahap artificial aging akan mempengaruhi perubahan struktur atau perubahan fasa paduan

2.8 Pengujian Komposisi Kimia

Uji komposisi merupakan pengujian yang berfungsi untuk mengetahui seberapa besar atau seberapa banyak jumlah suatu kandungan yang terdapat pada suatu logam, baik logam ferro maupun logam non ferro. Uji komposisi biasanya dilakukan ditempat pabrik-pabrik atau perusahaan logam yang jumlah produksinya besar, ataupun juga terdapat di Instititut pendidikan yang khusus mempelajari tentang logam. Proses pengujian komposisi berlangsung dengan pembakaran bahan menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu rekristalisasi terjadi penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya. Sedangkan untuk Penentuan kadar berdasar sensor perbedaan warna. Proses pembakaran elektroda ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian komposisi dapat dilakukan untuk menentukan jenis bahan yang digunakan dengan melihat persentase unsur yang ada.


(2)

2.9 Pengujian Kekerasan

Kekerasan aluminium dapat didefinisikan sebagai ketahanan logam terhadap indentasi. Nilai kekerasan berkaitan dengan kekuatan luluh logam karena selama identasi logam mengalami deformasi plastis. Luluh merupakan proses slip, luncur tau kembaran. Pada proses slip, struktur kisi antara daerah slip dan daerah tanpa slip terdislokasi. Batas antara daerah slip dan daerah tanpa slip disebut garis lokasi (solechan, 2010)

Kekerasan Ketahanan bahan terhadapindentasi secara kualitatif menunjukan kekuatannya (Shackelford,2009). Skala yang lazim dalam pengujian kekerasan antara lain skala Brinell, Vickers, Rockwell dan Knop. Skala kekerasan brinell (BHN) cenderung menunjukkan korelasi yang cukup linier terhadap bahan tertentu, termasuk paduan aluminium terlihat pada Tabel 2.6 merupakan sifat dari logam yang sering dipergunakan dalam pengecoran, dimanadalam Tabel tersebut terdapat sifat paduan aluminium seperti kekerasan (Amstead, 1997).

Tabel 2.6 Sifat-sifat dari logam (Amstead,1997)

Jenis Logam Kekuatan Tarik (Mpa) Keuletan (%) Kekerasan (BHN) Besi dan Baja

Besi cor kelabu Besi cor putih Baja 110-207 310 276-2070 0-1 0-1 12-15 100-150 450 110-500 Bukan Besi Aluminium Tembaga Magnesium Seng Titan Nikel 83-310 345-689 83-345 48-90 552-1034 414-1103 10-35 5-10 9-15 2-10 -15-40 20-100 50-100 30-60 80-100 158-266 90-250

Skema pengujian kekerasan Brinell ditunjukkan Gambar 2.11. Kekerasan Brinell dihitung berdasarkan persamaan :


(3)

= . .( . (Kg/mm2) Dimana :

P: beban yang digunakan (Kgf) D : Diameter indentor (mm) D : diameter indentasi (mm)

Gambar 2.11. Skema pengujian brinell (Amstead,1997)

2.10 Uji Mikrostruktur

Pengujian Mikrostruktur digunakan untuk mengetahui bentuk dan ukuran dari suatu logam pada umumnya pengujian dilakukan dengan reflek pemendaran (sinar), pada pemolesan atau etsa, tergantung pada permukaan logam uji polis, dan diperiksa langsung di bawah mikroskop atau dietsa lebih dulu, baru diperiksa di bawah mikroskop. Seperti terlihat pada Gambar 2.12


(4)

2.11 Pengujian SEM (Scanning Electron Microscope)

SEM (Scanning Electron Microscope) adalah salah satu jenis mikroscop electron yang menggunakan berkas electron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis. Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda atau material dengan berkas electron yang dipantulkan dengan energy tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena berkas electron akan memantulkan kembali berkas electron atau dinamakan berkas electron sekunder ke segala arah. Tetapi dari semua berkas electron yang dipantulkan terdapat satu berkas electron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detector yang terdapat di dalam SEM akan mendeteksi berkas electron berintensitas tertinggi yang dipantulkan oleh benda atau material yang dianalisis. Selain itu juga dapat menentukan lokasi berkas electron yang berintensitas tertinggi itu.

Ketika dilakukan pengamatan terhadap material, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron yang ber intensitas tertinggi di – scan keseluruh permukaan material pengamatan. Karena luasnya daerah pengamatan kita dapat membatasi lokasi pengamatan yang kita lakukan dengan melakukan zoon – in atau zoon – out. Dengan memanfaatkan berkas pantulan dari benda tersebut maka informasi dapat di ketahui dengan menggunakan program pengolahan citra yang terdapat dalam computer.

SEM (Scanning Electron Microscope) memiliki resolusi yang lebih tinggi dari pada mikroskop optic. Hal ini di sebabkan oleh panjang gelombang de Broglie yang memiliki electron lebih pendek daripada gelombang optic. Karena makin kecil panjang gelombang yang digunakan maka makin tinggi resolusi mikroskop.

Prinsip kerja SEM (Scanning Electron Microscope)

1. Electron gun menghasilkan electron beam dari filamen. Pada umumnya electron gun banyak yang digunakan adalah tungsten hairpin gun dengan filamen berupa lilitan tungsten yang berfungsi sebagai katoda. Tegangan yang diberikan kepada lilitan mengakibatkan terjadinya pemanasan. Anoda


(5)

kemudian akan membentuk gaya yang dapat menarik elektron melaju menuju ke anoda.

2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju suatu titik pada permukaan sampel.

3. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh koil pemindai.

4. Ketika electron mengenai sampel, maka akan terjadi hamburan elektron, baik Secondary Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dari permukaan sampel dan akan dideteksi oleh detektor dan dimunculkan dalam bentuk gambar pada monitor CRT. Berikut ini merupakan Gambar 2.15. Electron (SE) atau Back Scattered Electron (BSE) dan secara lengkap skema SEM diterangkan oleh Gambar 2.13. dibawah ini:

Gambar 2.13 Mekanisme SEM (Scanning Electron Microscope) (Sanjoto,A.,2014)

2.12 Pengujian EDS (Electron Dispersive Spectroscopy)

Energi-dispersif spektroskopi sinar-X (EDS atau EDAX) adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk elemen analisis atau karakterisasi kimia sampel. Ini adalah salah satu varian dari fluoresensi sinar-X spektroskopi yang bergantung pada penyelidikan sampel melalui interaksi antara radiasi elektromagnetik dan materi, menganalisis sinar-X yang dipancarkan oleh materi dalam menanggapi pukulan dengan partikel bermuatan.


(6)

Hampir sama dengan SEM hanya saja pada SEM EDX merupakan dua perangkat analisis yang digabungkan menjadi satu panel analitis sehingga mempermudah proses analitis dan lebih efisien. Pada dasarnya SEM EDX merupakan pengembangan SEM. Analisa SEM EDX dilakukan untuk memproleh gambaran permukaan atau fitur material dengan resolusi yang sangat tinggi hingga memperoleh suatu tampilan dari permukaan sampel yang kemudian di komputasikan dengan software untuk menganalisis komponen materialnya baik dari kuantitatif mau pun dari kualitalitatifnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.14 dibawah ini

Gambar 2.14 Teknik EDS (Proses Kontras Hasil EDS) (Sanjoto,A.,2014)

Pengujian EDS kita juga bisa membuat elemental mapping (pemetaan elemen) dengan memberikan warna berbeda–beda dari masing–masing elemen di permukaan bahan. EDS bisa digunakan untuk menganalisa secara kunatitatif dari persentase masing–masing elemen. Contoh dari aplikasi EDS pada Gambar 2.15 dibawah ini.


Dokumen yang terkait

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

1 44 106

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

1 40 105

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 21

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 6

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 3

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 11

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 21

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 2

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 21

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 3