Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

(1)

METAL MATRIX

ASH MENGGU

Sk Sy

DE

UNIV

RIX COMPOSITE ALUMINIUM –PAL

GGUNAKAN METODE CETRIFUGAL

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

DISUSUN OLEH :

CHANDRA ANDRIKA 100401025

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

IVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

ALM OIL FLY

AL CASTING


(2)

METAL

MATRIX

COMPOSITE

ALAMINIUM

_PALM OIL

FLY

ASH ME NGGUNAKAN METODE,

CE TRI FU

GAL CASTING

CHANDRA ANDRIKA

100401025

Telah Diperbaiki/Diperiksa dari Ilasil Seminar Skripsi

Periode Ke824, Pada Tanggal30 September 2015

Telah dise ujui oleh Pembi bing

Ir. Tugiman. MT.


(3)

METAL

fufr4TRIX COMPOSTTE

ALUMINIUM

-PALM

OTL

FLY

ASH ME

N GGUNAKAIT

MBTODE.

CE TRI

FUGAL

CAS

TING

CHANDRA ANDRIKA

10040102s

Telah DiperbaikilDiperiksa dari Hasil Seminar Skripsi Periode Ke824, Pada Tanggal30 September 2015

Penguji

II

ffilus*r

Suprianto. ST.MT

NIP. 197909082008 121001


(4)

METAL

MATMX

COMPOSITE

AL(|MINIL\M

-PALh{

OIL

FLl'

J

Sff M

E

N

G

G(iN""lfi

{I/

1\{ ETO D

E

C E TRI F U GAL -

CA^9Ili\rG

CHANDRA ANDRIKA

NrM.1fi)40102s

Diketahui / Disahkan :

Departemen Teknik Mesin

Fakultas teknikusu

Ketua,

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing,

Lr

Ir. Tusiman MT.

Fl-rP. 19570412 I 98503 1004 12241992fi

lml


(5)

,1,

KANDIDAT I

NamaA.IIM 'Iugas Sarjana

Judul Tugas Sarjana

Dosea Peifibitnbirrg

Dosen Pembandirrg

#Av,

iA

zuwlD*-

ffi

Wtffi:,tu-ffi

Penilaian Terhada.p seminar slaipsi.Mahasiswa tersebut adalah : i,CATATAN HA;SIL SEMINAR.

1. Judul

2. Sistematika 3. Bahasp/'Iulisan

4. Materi yang dikoreksi

-

lolw,bn

drlrqt-:

flor'[rt]6;r'."""

"'

:Wd'^yfu

5,Gambar

_

C,rq*_

II.SETELAH SE}'dINAR DIDISIKUSIKAN DAN EVALUASI ANTARA DoSEN PEMBA}IDING

DAN DOSEN IPEMBIMBINCi, MAKA HASILSEMINAR ADALA}I :

1,

Dapat langsung mengikuti Sidang Slcipsi.

(Zleenu

perba:ikarr sebagian catetan semmar dan akan dibimbiag

oleh Dosen pembanding sebelum

\-/

Sidang Skripsi,

3'

Periu perbajrkan yang menrlasar dan akan dibimbing oleh Dosen Pembandinl; setelah terlebih

dahulu melnlui bimbingan ulan6; dari Dosen pembimbing.

illM*i

/ Perlu Per.baikan *) lvlemenuhi / .Ps*l*+sbaikan *)

lv[ememr:hii Perlu Perbaikan *)

Mean;/E?&llr

Teknik Mesin,

hfii,,{fwt?t:

/i or^h )trar.1sr y1' . ",.r,',..tl"i.l.r}.


(6)

:,k

tfitr.*r.il/,(.

KANDIDAT: NamaNIM Tugas Sarjana Judul T\rgas Sa{an*

Dosea Peiribimbing

Dqsen Pembandirrg

2.

Sistematika

: Vflemenuhi / Ferlu Per.baikan *) 3.

Bahasa/'Iutrisan

; lv[emenuhi / Perlu Perbaikan *)

4' Materi vang

dlkoreksi

,

.,,..[*l*

..Lil-.llu..n

,2,.[tth/-lxlri:fltr*

;

t,,,

&. or+*,/:?ri/r4.

-I

. . Sp

?lt

[,

H}l|Jl.,'4*.'.

llq

5,Gambar

II.SETELAH SE}yIINAR DIDISIKUSIKAN DAN EVALUASI ANTARA DOSEN PEMBANDING

DAN DOSEN IPEMBIMBING, MAKA FI,ASILSEMINAR ADALAH :

1.

Dapat langsung mengikuti Sidang Skripsi.

4@

Perlu perba:lkan sebagian catatan seminar dan akan dibimbing oleh Dosen Pembanding sebelum Sidang Skripsi.

Perlu perbaikan yang msnJasar dan akan dibimbing oleh Dosen Pemban{in1; setelah terlebih

dalrulu melalui bimbingan ulang dari Dosen Pe,mbimbing. J.

D'sen*{Lr'*'

l,rrfrZ,nr.

Teknik Mesin,

0l

d.,t

a

h,lr;4"

/

n

dyo,/osy

ftT:

Penilaian Terhadap Seminar Slaipsi,Mahasiswa tersebut adalah :


(7)

DEPARTEMEN

TEKNIK

MESIN FT

USU

PERIODE

HAWTANGGAL

NAIvIA NIM

:824

: Rabu / 30 September 2015

: Chandra Andrika

: 100401025

NO NAMA MAIIASISWA / NIM TANDA TANGAN

\y

fu%

MaLrr

,&Uu\

ff+rr &r{,

f

voaowgc

'fl.!!#

Lv

4.,*"

\Aox

fuionj

q,,,+

3y

B tU

a

ft(hrlontca

@-4-u

l-tercLV

9uuan&z^

F?+

Iv

\^ uun,nL A+vrarf

Meflan, 30 September 201 5

r"dr\u Seminar,

V,r

Ir. Tugiman. MT


(8)

NAMA

NIM

MATA PELAJARAN

SPESIFIKASI

DIBERIKAN TANGGAL

SELESAI TANGGAL

KETUA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN,

TUGAS SARJANA

: CHANDRA ANDRIKA

: 100401025

: PENGECORAN LOGAM

: Lakukan studi eksperimental untuk menganalisa pengaruh heat treatment terbadap sifat mekanis dan

mikrostruktur pada pembuatan metal matrix

c o mp o s i t e menggunakan metode c e nt r ifu ga I c a s t ing.

Untuk itu :

1.

Sebelurnnya lakukan pengujian komposisi raw

Material, kekerasan, impak, mikrostruktur, SEM

dan EDS sebelum dilakukannya heat treatment

2.

Lakukan pengujian heat trealment dengan standar

T6

3. Lakukan

pengujian kekerasan,

impak

dan

mikrostruktur setelah di heat treatment

15 Juli 2015

18 September 2015

MEDAN, 15 Juli 2015.

Dos$l.r PEMBTMBTNG,

n

W,/

Ir. Tusiman

MT.

NIP. 195704121985031004


(9)

KARTTT BIMBINGAN

TT'GAS

SARJANA MAHASISWA

No:2260lTSl2Al5

Sub. Program Studi tsidang Tugas Judul Tugas

Diberikan tanggal Dosen Pembimbing

Proses Produksi Pengecoran Logam

ANALISA PE\GARTH HEAT TREATMENT TERTL{DAP

STFAT }IE

II{]{IK

DAN }IIKROSTRUKTUR }LdTERIAL

METAL MATRD( COMPOSNE ALL'YD|IL'IT _PALM OIL

FLY ASH

MENGGL1\:4K4.\'

}IETODE

CETRIFL'GAL

CASTIA'G

: 15 Juli20l5 :Ir.Tugimman,MT

Selesai

Tgl

: l8Sept 2015

Nama

Mhs ;

Chandra Andrika

NIM

. 100401025

No Tanggal Kegiatan Asistensi Bimbingan Tanda Tangan Dosen^Pembimbins l5-07-201s Menerima Spesifi kasi Tugas

w-47-2015 Studi Literatur dan Pencarian Referensi

i;

)-l-07-2ats Asistensi Bab I dan Bab II

(Yl"

z

4 27-07-2015 Asistensi Perbaikan Bab I dan Bab

il

I I 5 13-08-201s Asistensi Bab

Ill

) l4-08-201 s Asistensi Perbaikan Bab III

t-7 19-08-201 5 Hasil Pengujian Impak, kekerasan, SEM dan

EDS sebelum di ,rctlution treiltment

tr

8 2 I -08-2015 Hasil Pengujian lrnpak, kekerasan dan

mikrostruktur setelah di solution treatment

,:p

) 24-08-20 5 Asistensi Bab IV

l0 t-08-20 5 Asistensi Perbaikan Bab IV

I

il

07-09-20 5 Asistensi Bab V dan Daftar Pustaka

t7 0-09-20 5 Asistensi perbaikan Bab V dan Daftar Pustaka

l-r'/

t3 8-09-20 5 Asistensi keseluruhan dan ACC Seminar It

CATATAN:

l. Kartu ini harus diperlihatkan kepada Dosen Pembrmbing setiap Asistensi 2. Kartu ini harus dijaga bersih dan rapi 3. Kartu ini harus dikembalikan ke Departemen, bila kegiatan Asistensi Telah selesai.

KETTJA

Diketahui,


(10)

ABSTRAK

Perkembangan teknologi saat ini diharapkan menggunakan kekayaan alam dengan hemat tetapi tetap dapat menghasilkan sebuah produk dengan kualitas baik. Salah satu teknologi pembentukan logam yang dikembangkan saat ini yaitu metal matrix

composite. Metal matrix composite ini merupakan kombinasi antara logam

sebagai penyusun utama ( matrix ) dengan material lainnya sebagai penguat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penambahan palm oil fly ash dengan variasi persentase berat 2,5%, 5%, 7,5%, 10% dan 12,5% dan serta pengaruh heat treatment T6 terhadap sifat mekanik dan mikrostrukturnya. Metode pengecoran yang digunakan adalah metode centrifugal casting yang mana pada metode ini aluminium cair dituangkan kedalam cetakan bersamaan dengan penambahan palm oil fly ash kemudian diputar sampai aluminium tersebut membeku didalam cetakan. Hasil penelitian menunjukkan penambahan palm oil

fly ash dan perlakuan heat treatment T6 dapat meningkatkan nilai kekerasan

namun menurunkan nilai impak. Nilai kekerasan meningkat sebesar 93%, nilai kekerasan tertinggi didapat pada penambahan palm oil fly ash 7,5% pada kondisi

as-cast dan heat treatment T6 yaitu 58,434 BHN kondisi as-cast dan 112,618

BHN pada kondisi setelah heat treatment T6. Untuk nilai impak tertinggi didapat pada raw material yaitu sebesar 0,241 joule/mm2 dan nilai impak terendah diperoleh pada penambahan palm oil fly ash 12,5% yaitu sebesar 0,206 joule/mm2 pada kondisi as-cast dan 0,202 joule/mm2 pada kondisi heat treatment T6. Hasil mikrostruktur menunjukkan terjadinya perubahan bentuk butiran dan distribusi persipitat yang merata pada matrix aluminium setelah dilakukannya heat

treatment T6. Hasil pengujian Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan terbentuknya morfologi chinese script. Hasil pengujian Electron

Dispersive Spectroscopy EDS menunjukan bahwasannya unsur Si merupakan

unsur terbanyak di dalam palm oil fly ash dibandingkan unsur lainnya dimana Si yang terkandung didalam metal matrix composite aluminum - palm oil fly ash dengan persentase berat 41,35 % pada penembakan spektrum 1 dan 28,77 % pada penembakan 2.


(11)

ABSTRACT

The current technological developments are expected to use natural resources sparingly but still able to produce a product with good quality. One of the metal forming technology developed in this time is MMC. Metal Matrix composite is a combination of metal as the main constituent (matrix) with other materials as reinforcement. This study aimed to analyze the effect of palm oil fly ash content with a variation of 2.5%, 5%, 7.5%, 10% and 12.5%, and the effect of T6 heat treatment on mechanical properties and microstructure of Al-POFA. Casting method used is the centrifugal casting method in which this method molten aluminum is poured into the mold simultaneously with the addition of palm oil fly ash is then rotated until the aluminum solidifies in the mold. The results showed the addition of palm oil fly ash and treatment T6 heat treatment can increase the hardness but lower the impact value. The hardness value increased by 93%, the highest hardness value obtained on the addition of palm oil fly ash 7.5% in the as-cast condition and the T6 heat treatment is 58.434 BHN as-as-cast condition and 112.618 BHN condition after T6 heat treatment. The highest value obtained for the impact on the raw material that is equal to 0.241 joules / mm2 and low impact value obtainable on the addition of palm oil fly ash of 12.5% in the amount of 0.206 joules / mm2 in the as-cast condition and 0.202 joules / mm2 on condition T6 heat treatment. Results showed microstructural changes granules and equitable distribution of precipitates in the aluminum matrix, subsequent to T6 heat treatment. Hasil pengujian Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan terbentuknya morfologi chinese script. The test results showed EDS Electron Dispersive Spectroscopy bahwasannya Si element is the highest element in the palm oil fly ash than other elements where Si is contained within the metal matrix composite aluminum - palm oil fly ash with heavy percentage of 41.35% in the shooting spectrum of 1 and 28, 77% in the second shooting.


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tiada daya dan kekuatan selain dari-Nya. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW. Alhamdulillah, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk dapat lulus menjadi Sarjana Teknik di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi yang dipilih diambil dari mata kuliah Pengecoran Logam, yaitu “ANALISA PENGARUH HEAT TREATMENT TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN MIKROSTRUKTUR MATERIAL METAL

MATRIX COMPOSITE ALUMINIUM PALM OIL FLY ASH

MENGGUNAKAN METODE CETRIFUGAL CASTING”.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, motivasi, pengetahuan, dan lain-lain dalam penyelesaian skripsi ini.Penulis telah berupaya dengan segala kemampuan pembahasan dan penyajian, baik dengan disiplin ilmu yang diperoleh dari perkuliahan, menggunakan literatur, serta bimbingan dan arahan dari Bapak Ir. Tugiman, MT sebagai Dosen Pembimbing.

Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Marwanto, dan Ibunda Tumirah atas doa, kasih sayang, pengorbanan, tanggung jawab yang selalu menyertai penulis, dan memberikan penulis semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Tugiman, MT sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang banyak memberi arahan, bimbingan, motivasi, nasehat, dan pelajaran yang sangat berharga selama proses penyelesaian Skripsi ini.

3. Bapak Suprianto, ST. MT yang banyak memberi arahan, bimbingan, motivasi, nasehat, dan pelajaran yang sangat berharga selama proses penyelesaian Skripsi ini.

4. Bapak Dr.-Ing.Ir.Ikhwansyah Isranuri dan Ir.Syahril Gultom, MT selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik USU.


(13)

5. Seluruh Staf Pengajar DTM FT USU yang telah memberikan bekal pengetahuan kepada penulis hingga akhir studi selesai, dan seluruh pegawai administrasi DTM FT USU, juga kepada staf Fakultas Teknik.

6. Teman satu tim (Nursuci Adek, Rama Sanjaya, Abdul Rahman dan Aji Fajar Prastia) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam penyelesaian tugas sarjana ini.

7. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin stambuk 2010 yang banyak memberi motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu yang didapat selama dibangku kuliah. Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan serta bahasa yang tidak tepat dalam skripsi ini sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan yang membacanya. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Oktober 2015 Penulis,

Chandra Andrika NIM : 100401025


(14)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR NOTASI... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Batasan Masalah... 4

1.5 Manfaat ... 5

1.6 Metode Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Aluminium ... 7

2.1.1 Sejarah Aluminium ... 7

2.1.2 Kandungan Atom/Unsur dan Ikatan ... 9

2.1.3 Mikrostruktur Aluminium... 9

2.1.4 Sifat-Sifat Aluminium... 10

2.2 Paduan Aluminium ... 12

2.2.1 Paduan Al-Si ... 13

2.2.2 Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg ... 14

2.2.3 Paduan Al-Mn ... 14

2.2.4 Paduan Al-Mg ... 14

2.2.5 Paduan Al-Mg-Si ... 14


(15)

2.3 Magnesium... 15

2.4 Fly Ash ... 16

2.4.1 Fly Ash Batubara ... 16

2.4.1.1 Sifat Kimia dan Sifat Fisika Fly Ash Batubara ... 17

2.4.2 Palm Oil Fly Ash (POFA) ... 18

2.5 Komposit Matrik Logam (Metal Matrix Composite)... 19

2.6 Proses Pengecoran Logam ... 20

2.6.1 Centrifugal Casting... 21

2.6.2 Jenis–Jenis Pengecoran Sentrifugal ... 22

2.7 Heat Treatment ... 24

2.8 Pengujian Komposisi Kimia ... 29

2.9 Pengujian Kekerasan... 30

2.10 Uji Mikrostruktur ... 31

2.11 Pengujian SEM (Scanning Electron Microscope) ... 32

2.12 Pengujian EDS (Electron Dispersive Spectroscopy) ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1 Tempat dan Waktu ... 35

3.2 Bahan, Peralatan dan Metode... 36

3.2.1 Bahan ... 36

3.2.2 Peralatan ... 39

3.3 Metode ... 44

3.3.1 Karakteristik Awal Bahan ... 44

3.3.2 Proses Pembuatan MMC dan Spesimen ... 44

3.3.3 Perlakuan Panas Metal Matrix Composite ... 46

3.4 Metode pengujian ... 47

3.4.1 Uji Kekerasan... 47

3.4.2 Uji Mikrostruktur (Metallograpy) ... 48

3.4.3 Pengujian Impak... 48

3.4.4 Pengujian SEM (Scanning Electron Microscope) dan Pengujian EDS (Electron Dispersive Spectroscopy) ... 49

3.5 Diagram Alir Penelitian ... 50


(16)

4.1 Hasil Pengujian ... 53

4.1.1 Hasil Pengujian Kekerasan Metal Matrix Composite Al-Pofa ... 53

4.1.2 Hasil Pengujian Impak ... 56

4.1.3 Hasil Pengujian Foto Mikrostruktur Metal Matrix Composite Al-Pofa... 61

4.1.4 Hasil Pengujian SEM ... 64

4.1.5 Hasil Pengujian EDS (Electron Dispersive Spectroscopy) ... 65

4.2 Hasil Pembuatan Spesimen dari Hasil Pengecoran... 67

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 68

5.1 Kesimpulan ... 68

5.2 Saran... 69

DARTAR PUSTAKA ... 70


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik Aluminium... 12

Tabel 2.2 Paduan Al untuk Produk Wrought ... 12

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Salah Satu Jenis Abu Terbang Batubara ... 17

Tabel 2.4 Penandaan Temper Pengerasan Penuaan Paduan Allumunium .... 25

Tabel 2.6 Sifat-sifat dari logam ... 30

Tabel 3.1 Tempat dan waktu penelitian ... 35

Tabel 3.2 Komposisi Aluminium A356 ... 36

Tabel 3.3 Chemical composition of Palm Oil Fly Ash ... 37

Tabel 3.4 Spesifikasi Mesin Ion Sputter JFC-1600... 50

Tabel 4.1 Hasil uji kekerasan Aluminium-Palm oil fly ash (as-cast) ... 54

Tabel 4.2 Hasil uji kekeraan Aluminium-Palm oil fly ash (heat treatment) ... 54

Tabel 4.3 Hasil pengujian impak sampel as-cast ... 57

Tabel 4.4 Hasil pengujian impak sampel heat treatment T6 ... 58

Tabel 4.5 Kandungan unsur metal matrix composit al-pofa penembakan 1 ... 67

Tabel 4.6 Kandungan unsur metal matrix composit al-pofa penembakan 2 ... 67


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bauksit ... 9

Gambar 2.2 Struktur mikro dari aluminium murni... 9

Gambar 2.3 Struktur mikro dari paduan Aluminium-Silikon ... 10

Gambar 2.4 Diagram fasa Al-Si ... 13

Gambar 2.5 Diagram Alir Palm Oil Fly Ash ... 18

Gambar 2.6 (a) Abu Terbang (Palm Oil Fly Ash) ... 18

Gambar 2.6 (b) Bottom ash sesudah di grinding ... 18

Gambar 2.7 Penguat dalam material komposit ... 20

Gambar 2.8 Proses pengecoran sentrifugal sejati... 22

Gambar 2.9 Pengecoran semi sentritugal ... 23

Gambar 2.10 Pengecoran sentrifuge... 24

Gambar 2.11 Skema pengujian brinell ... 31

Gambar 2.12 Strukturmikro paduan Al-Si ... 31

Gambar 2.13 Mekanisme SEM (Scanning Electron Microscope) ... 33

Gambar 2.14 Teknik EDS (Proses Kontras Hasil EDS)... 34

Gambar 2.15 Contoh dari aplikasi EDS ... 34

Gambar 3.1 Aluminium seri A356 ... 36

Gambar 3.2 Magnesium ... 36

Gambar 3.3 Palm oil fly ash ... 37

Gambar 3.4 Cover fluks ... 38

Gambar 3.5 Arang kayu laut... 38

Gambar 3.6 Dapur peleburan... 39

Gambar 3.7 krusibel ... 40

Gambar 3.8 Centrifugal casting ... 40

Gambar 3.9 Furnace chamber... 41

Gambar 3.10 Microskop optic ... 41

Gambar 3.11 Hardness tester ... 42

Gambar 3.12 termokopel ... 42

Gambar 3.13 Impact tester ... 43


(19)

Gambar 3.15 Pengujian Kekerasan ... 47

Gambar 3.16 Pengujian foto mikrostruktur... 48

Gambar 3.17 Pengujian impak ... 49

Gambar 3.18 Mesin Ion Sputter JFC-1600... 50

Gambar 3.19 Mesin SEM JEOL JSM-6390A ... 51

Gambar 3.20 Diagram alir penelitian ... 52

Gambar 4.1 Grafik hubungan persentase berat palm oil fly ash terhadap nilai kekerasan ... 55

Gambar 4.2 (a) sebelum heat treatment ... 56

Gambar 4.2 (b) sesudah heat treatment... 56

Gambar 4.3 Grafik hubungan persentase berat palm oil fly ash terhadap energi yang diserap ... 59

Gambar 4.4 Grafik hubungan persentase berati palm oil fly ash terhadap nilai impak ... 60

Gambar 4.5 (a) Sampel Raw material as-cast ... 61

Gambar 4.5 (b) Sampel Raw material heat treatment T6... 61

Gambar 4.6 (a) Sampel, 2,5% Pofa as-cast ... 61

Gambar 4.6 (b) Sampel , 2,5% Pofa heat treatment T6 ... 61

Gambar 4.7 (a) Sampel 5% Pofa as-cast ... 62

Gambar 4.7 (b) Sampel 5% Pofa heat treatment T6... 62

Gambar 4.8 (a) Sampel 7,5% Pofa as-cast ... 62

Gambar 4.8 (b) Sampel 7,5% Pofa heat treatment T6 ... 62

Gambar 4.9 (a) Sampel 10% Pofa as-cast ... 62

Gambar 4.9 (b) Sampel 10% Pofa heat treatment T6... 62

Gambar 4.10 (a) Sampel 12,5% Pofa as-cast ... 63

Gambar 4.10 (b) Sampel 12,5% Pofa heat treatment T6 ... 63

Gambar 4.11 Pengujian SEM pada pembesaran 500 kali ... 64

Gambar 4.12 Hasil Pengujian SEM pembesaran 2000 kali... 65

Gambar 4.13 Hasil pengamatan SEM pada MMC Aluminium Palm oil fly ash pembesaran 500 kali ... 66

Gambar 4.14 Hasil uji EDS metal matrix composit Aluminium Palm oil fly ash penembakan 1... 66


(20)

Gambar 4.15 Hasil uji EDS metal matrix composit Aluminium

Palm oil fly ash penembakan 2... 67

Gambar 4.16 Hasil pengecoran Metal matrix composite aluminum


(21)

DAFTAR NOTASI

Simbol Arti Satuan

A Luas Penampang cm2

D Diameter cm

E energi joule

P Beban kgf

ρ massa jenis gr/cm

3

R jari–jari mm

t tinggi mm


(22)

ABSTRAK

Perkembangan teknologi saat ini diharapkan menggunakan kekayaan alam dengan hemat tetapi tetap dapat menghasilkan sebuah produk dengan kualitas baik. Salah satu teknologi pembentukan logam yang dikembangkan saat ini yaitu metal matrix

composite. Metal matrix composite ini merupakan kombinasi antara logam

sebagai penyusun utama ( matrix ) dengan material lainnya sebagai penguat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penambahan palm oil fly ash dengan variasi persentase berat 2,5%, 5%, 7,5%, 10% dan 12,5% dan serta pengaruh heat treatment T6 terhadap sifat mekanik dan mikrostrukturnya. Metode pengecoran yang digunakan adalah metode centrifugal casting yang mana pada metode ini aluminium cair dituangkan kedalam cetakan bersamaan dengan penambahan palm oil fly ash kemudian diputar sampai aluminium tersebut membeku didalam cetakan. Hasil penelitian menunjukkan penambahan palm oil

fly ash dan perlakuan heat treatment T6 dapat meningkatkan nilai kekerasan

namun menurunkan nilai impak. Nilai kekerasan meningkat sebesar 93%, nilai kekerasan tertinggi didapat pada penambahan palm oil fly ash 7,5% pada kondisi

as-cast dan heat treatment T6 yaitu 58,434 BHN kondisi as-cast dan 112,618

BHN pada kondisi setelah heat treatment T6. Untuk nilai impak tertinggi didapat pada raw material yaitu sebesar 0,241 joule/mm2 dan nilai impak terendah diperoleh pada penambahan palm oil fly ash 12,5% yaitu sebesar 0,206 joule/mm2 pada kondisi as-cast dan 0,202 joule/mm2 pada kondisi heat treatment T6. Hasil mikrostruktur menunjukkan terjadinya perubahan bentuk butiran dan distribusi persipitat yang merata pada matrix aluminium setelah dilakukannya heat

treatment T6. Hasil pengujian Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan terbentuknya morfologi chinese script. Hasil pengujian Electron

Dispersive Spectroscopy EDS menunjukan bahwasannya unsur Si merupakan

unsur terbanyak di dalam palm oil fly ash dibandingkan unsur lainnya dimana Si yang terkandung didalam metal matrix composite aluminum - palm oil fly ash dengan persentase berat 41,35 % pada penembakan spektrum 1 dan 28,77 % pada penembakan 2.


(23)

ABSTRACT

The current technological developments are expected to use natural resources sparingly but still able to produce a product with good quality. One of the metal forming technology developed in this time is MMC. Metal Matrix composite is a combination of metal as the main constituent (matrix) with other materials as reinforcement. This study aimed to analyze the effect of palm oil fly ash content with a variation of 2.5%, 5%, 7.5%, 10% and 12.5%, and the effect of T6 heat treatment on mechanical properties and microstructure of Al-POFA. Casting method used is the centrifugal casting method in which this method molten aluminum is poured into the mold simultaneously with the addition of palm oil fly ash is then rotated until the aluminum solidifies in the mold. The results showed the addition of palm oil fly ash and treatment T6 heat treatment can increase the hardness but lower the impact value. The hardness value increased by 93%, the highest hardness value obtained on the addition of palm oil fly ash 7.5% in the as-cast condition and the T6 heat treatment is 58.434 BHN as-as-cast condition and 112.618 BHN condition after T6 heat treatment. The highest value obtained for the impact on the raw material that is equal to 0.241 joules / mm2 and low impact value obtainable on the addition of palm oil fly ash of 12.5% in the amount of 0.206 joules / mm2 in the as-cast condition and 0.202 joules / mm2 on condition T6 heat treatment. Results showed microstructural changes granules and equitable distribution of precipitates in the aluminum matrix, subsequent to T6 heat treatment. Hasil pengujian Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan terbentuknya morfologi chinese script. The test results showed EDS Electron Dispersive Spectroscopy bahwasannya Si element is the highest element in the palm oil fly ash than other elements where Si is contained within the metal matrix composite aluminum - palm oil fly ash with heavy percentage of 41.35% in the shooting spectrum of 1 and 28, 77% in the second shooting.


(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini semakin pesat, hal ini sejalan dengan kemajuan industri yang semakin banyak dan kompleks. Perkembangan teknologi saat ini diharapkan menggunakan kekayaan alam dengan hemat tetapi tetap dapat menghasilkan sebuah produk dengan kualitas baik. Baik buruknya kualitas produk salah satunya ditentukan oleh material penyusunnya, usaha untuk mendapatkan material yang baik dapat dilakukan dengan cara pengembangan. Di bidang material banyak dilakukan pengembangan-pengembangan untuk mendapatkan material dengan sifat yang diinginkan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan sifat mekanik dari suatu bahan yaitu dengan membentuk material Metal Matrix composite . Material jenis ini merupakan kombinasi antara logam sebagai penyusun utama ( matrix ) dengan material lainnya sebagai penguat. Aluminium merupakan salah satu dari beberapa jenis material yang sering dijadikan bahan utama pembentukan metal matrix

composite hal ini dikarenakan aluminium banyak dipergunakan dalam bidang

keteknikan sebab aluminium memiliki sifat yang ringan dan tahan korosi tetapi aluminium memiliki kelemahan yaknik kekerasan yang rendah sehingga tidak tahan terhadap gesekan (Yasman,F.2014)

Aluminium yang dikenal sebagai logam yang memiliki tahan korosi, sifat ringan, penghantar listrik yang baik digunakan sebagai matriks sedangkan palm oil fly ash berfungsi sebagai penguat. Penggunaan palm oil fly ash sebagai penguat untuk menghasilkan aluminium komposit dengan sifat mekanik yang baik dan biaya murah yang dapat bersaing dengan komposit sejenis lainnya

Metal matrix composite adalah material yang terdiri dari gabungan dua

atau lebih fasa yang berbeda baik secara fisika ataupun kimia dan memiliki karakteristik yang lebih unggul dari masing – masing komponen penyusunnya. Material komposit terdiri dari dua fasa, satu disebut sebagai matriks dengan masa


(25)

continuous dan penguat dengan fasa discontinuous. Terdapat 5 faktor umum dari

penguat yang mempengaruhi sifat dari material komposit yaitu konsentrasi, ukuran, bentuk, distribusi, dan orientasi. Metal Matrix Composite rmemiliki keunggulan dibandingkan dengan logam tunggalnya karena Metal Matrix

Composite dapat memiliki sifat yang diinginkan, seperti peningkatan kekuatan

dengan berat yang lebih rendah.

Perlakuan panas merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk merubah fasa bahan komposit sehingga dapat menambah kekuatan dari sifat mekanis logam tersebut. Perlakuan panas yang terjadi pada logam dapat mengubah struktur mikro dari logam sehingga akan berpengaruh terhadap sifat mekanisnya. Pada peningkatan sifat mekanik paduan Aluminium A356 dengan heat treatment T6 diperoleh hasil bahwa sifat mekanik paduan naik akibat adanya heat treatment T6, yaitu terjadi perubahan bentuk butiran dari lonjong menjadi bulat, sehingga terjadi kenaikan UTS dan kekerasan yang signifikan (Anzip dkk., 2006). Berdasarkan penelitian yang pemah dilakukan tentang paduan aluminium yaitu Penelitian perlakuan pada alumunium diantaranya Fauad Abdillah (2010). Meneliti alumuinim pada piston bekas Hijet 1000 dengan menambah beberapa fariasi persentase ADC12 yang dicor kembali dipilih perbandingan komposisi matrial piston bekas dengan ADC12 yang paling efisien yaitu 50 % PB dan 50 % kemudian diteruskan dengan perlakuan panas dengan fariasi temperature penungan 7000C, 7500C, 8000C dan temperatur artificial aging 1000C, 1500C, 2000C serta penahanan waktu holding time 2 jam, 4 jam, 5 jam pada proses age hardening setelah mendapat perlakuan panas terjadi peningkatan nilai kekerasan, nilai kekerasan yang paling bagus pada temperatur penuangan 700oC dan temperatur artificial aging 200oC dengan waktu penahanan aging 5 jam , sebesar 80,5 HRB ( Abdillah F., 2010).

Paryono dkk (2011) melakukan proses perlakuan panas pada alumunium ADC12 hasil proses high pressure die casting (HPDC). Solution treatment untuk semua variasi ditetapkan 4900C selama 15 menit didalam muffle furnace, kemudian dilakukan pendinginan dalam air, selanjutnya dilakukan tempering T6 (pemanasan artificial) 1600C, 1800C, 2000C, dan 2200C, ditahan selama: 1 jam, 3


(26)

jam, 5 jam, 7 jam, dan 10 jam. Hasil dari pengujian kekerasan, kekerasan benda meningkat seiring dengan bertambahnya waktu aging dengan waktu tertentuakan turun kembali jika waktu aging ditambah. Aging dengan temperatur 2000C, memberikan nilai kekerasan yang paling bagus yaitu 71,5 dengan wakrtu aging selama 7 jam.(Paryono dkk, 2011).

Proses heat treatment pada sebuah aluminium umumnya merupakan sebuah perlakuan panas untuk precipitation hardening. Tahapan proses heat

treatment awalnya material dipanaskan dan selanjutnya dilakukan pendinginan

cepat (quenching). Setelah dilakukan quenching, pada struktur aluminium terbentuk Super Saturated Solid Solution (SSSS). Setelah itu proses berlanjut dengan penuaan (aging), yaitu pemberian panas yang tidak terlalu tinggi yang berguna untuk membuat SSSS semakin mengeras dan membentuk presipitat yang tujuannya menghalangi dislokasi. Dengan terhambatnya dislokasi, maka kekerasan dari aluminium akan semakin meningkat (Callister, 2007).

Berdasarkan penelitian – penelitian diatas sudah terdapat beberapa penelitian tentang bagaimana heat treatment terhadap material MMC khususnya aluminium paduan. Maka, tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh laju pendinginan pada proses solution treatment terhadap kekerasan dan mikrostruktur material metal matrik composite berbahan aluminium sebagai matrik dan Palm Oil Fly Ash sebagai penguatnya.

1.2 Perumusan Masalah

Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan sifat mekanik paduan metal

matrix composite salah satunya adalah Heat Treatment yang bertujuan melarutkan

fase-fase unsur terlarut untuk memperkaya larutan padat α -aluminium, untuk memperoleh larutan padat super jenuh, menempatkan sejumlah atom pengeras semaksimalnya, sehingga nantinya akan diperoleh peningkatan kekuatan mekanik. Oleh karena itu dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pengaruh heat treatment terhadap struktur mikro dan sifat mekanik coran metal matrix composte.


(27)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk membuat metal matrix composite dari bahan coran aluminium tipe A356 yang diperkuat palm oil fly ash dengan metode

centrifugal casting dan meningkatkan sifat mekanik metal matrix composite aluminium–palm oil fly ash dengan menggunakan metode heat treatment.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara terperinci , penelitian ini memiliki tujuan khusus yang terdiri atas beberapa poin yaitu :

1. Mengetahui proses heat treatment pada material metal matriks composite aluminium - palm oil fly ash.

2. Mengetahui pengaruh heat treatment terhadap sifat mekanik material metal

matriks composite aluminium-palm oil fly ash.

3. Mengetahui pengaruh heat treatment terhadap mikrostruktur dari material

metal matrix composite aluminiumpalm oil fly ash. 1.4 Batasan Masalah

Adapun penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut :

1. Bahan yang digunakan adalah aluminium A 356 dalam bentuk ingot sebagai matrik, dan palm oil fly ash sebagai penguat. Bahan di cor menggunakan metode centrifugal casting dengan menvariasikan penambahan persentase berat palm oil fly ash yaitu 2.5, 5%, 7.5%, 10%, dan 12.5%. proses pengecoran dilakukan di laboratorium Foundy Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara.

2. Proses perlakuan panas (heat treatment) yang dilakukan adalah heat treatment T6 dengan temperatur 540oC dengan holding time 4 jam, quenching selama 20 detik dan artificial aging dengan temperatur 155oC holding time 2 jam. Media pendingin yang digunakan adalah air.

3. Pengujian yang dilakukan adalah uji kekerasan (hardness test), Uji foto struktur mikro (metallography), uji impak, dan uji SEM -EDS.


(28)

1.5 Manfaat

Manfaat penilitian ini:

1. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang metalurgi logam.

2. Bagi akademik, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan untuk penelitian tentang metal matrix composite.

3. Bagi industri dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam pembuatan

bahan metal matrix composite. Dengan memanfaatkan palm oil fly ash sehingga dapat mengurangi biaya produksi sekaligus meningkatkan kualitas produk khususnya sifat mekanisnya.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini dijadikan dalam bentuk laporan hasil penelitian skripsi yang dibagi atas lima bab, yang masing–masing bab terdiri dari sub bab, yaitu :

Bab 1 : Pendahuluan

Berisi tentang Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 : Tinjauan Pustaka

Berisi tentang literatur dan referensi yang diperlukan berkenaan dengan bahan aluminium, metal matrix composite, palm oil fly ash, centrifugal casting dan heat

treatment

Bab 3 : Metodologi Penelitian

Berisi tentang urutan dan tata cara yang dilakukan. Dimulai dari waktu dan tempat, persediaan alat bahan, prosedur penelitian dan proses yang dilaksanakan. Bab 4 : Analisa Data dan Pembahasan

Berisi tentang menampilkan data yang diperoleh dari penelitian dan hasil pengujian berupa tabel maupun hasil pengamatan mikro dan makro.


(29)

Bab 5 : Kesimpulan dan Saran

Berisi tentang penutup yang terdiri dari : kesimpulan dan saran. Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan yang merupakan resume dari bab - bab sebelumnya. Terutama jawaban atas permasalahan yang diajukan, selanjutnya diberikan saran berkaitan dengan hasil penelitian.

Daftar Pustaka Lampiran


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aluminium

2.1.1 Sejarah Aluminium

Aluminium diambil dari bahasa Latin: alumen, alum. Orang-orang Yunani dan Romawi kuno menggunakan alum sebagai cairan penutup pori-pori dan bahan penajam proses pewarnaan. Tahun 1787, Lavoisier menebak bahwa unsur ini adalah Oksida logam yang belum ditemukan. Pada tahun 1761, de Morveau mengajukan nama alumine untuk basa alum. Pada tahun 1827, Wohler disebut sebagai ilmuwan yang berhasil mengisolasi logam ini. Pada tahun 1807, Davy memberikan untuk menamakan logam ini Aluminum, walau pada akhirnya setuju untuk menggantinya dengan Aluminium. Nama yang terakhir ini sama

dengan nama banyak unsur lainnya yang berakhir dengan “ium”.

C.M. Hall seorang berkebangsaan Amerika bersama Paul Heroult berkebangsaan Prancis, pada tahun 1886 mengolah Alumina menjadi Aluminium dengan cara elektrolisa dari garam yang terfusi. Selain itu Karl Josep Bayer berkebangsaan Jerman yang merupakan seorang ahli kimia mengembangkan proses yang dikenal dengan nama proses Bayer untuk mendapat Aluminium murni.

Proses Bayer pada Aluminium dilakukan dengan cara memasukkan bauksit halus yang sudah dikeringkan kedalam pencampur lalu diolah dengan NaOH dengan suhu diatas titik didih dan dibawah pengaruh tekanan. NaOH akan bereaksi dengan bauksit menghasilkan Aluminat Natrium yang terlarut. Selanjutnya tekanan dikurangi dengan ampas yang terdiri dari Silicon,oksida besi, Titanium dan kotoran-kotoran lainnya dipisahkan. Kemudian Alumina Natrium tersebut dipompa ke tangki pengendapan dan ditambahkan kristal hidroksida Alumina sehingga kristal tersebut menjadi inti kristal. Inti kristal dipanaskan diatas suhu 980°C dan menghasilkan Alumina dan dielektrosida


(31)

sehingga oksigen dan Aluminium murni menjadi terpisah. Pada setiap 1 kilogram Aluminium diperlukan 2 kilogram Alumina dan 4 kilogram bauksit, 0,6 kilogram karbon, criolit dan bahan-bahan lainnya. Penggunaan Aluminium saat ini menduduki urutan kedua setelah besi dan baja dan tertinggi pada logam bukan besi untuk kehidupan industri.

Secara historis, Perkembangan proses pengecoran untuk Aluminium dan paduannya merupakan prestasi yang relatif baru. Paduan Aluminium tidak tersedia dalam jumlah yang substansial untuk pengecoran tujuan hingga lama. Setelah penemuan pada tahun 1886 dari proses elektrolitik pengurangan Aluminium oksida oleh Charles Martin Hall di Amerika Serikat dan Paul Heroult di Perancis. Meskipun penemuan Hall menghasilkan Aluminium dengan biaya sangat kecil, nilai penuh dari Aluminium sebagai bahan pengecoran tidak dilanjutkan sampai paduan cocok untuk proses pengecoran yang sedang berkembang. Aluminium dasar paduan secara umum akan ditandai sebagai sistem eutektik yang mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase berlebih. Karena kelarutan relatif rendah sebagian besar elemen paduan dalam Aluminium dan paduan kompleksitas yang dihasilkan dapat berisi beberapa fasa logam, yang terkadang cukup kompleks dalam komposisi. Fasa ini biasanya lebih larut dekat suhu eutektik dari pada suhu kamar, sehingga memungkinkan untuk panas-mengobati beberapa dari paduan oleh solusi dan penuaan panas-perawatan (Purnomo,2004).

Pengecoran Aluminium akan berakibat penurunan sifat mekanis (tarik dan impak) dari logam, yang terjadi akibat peningkatan porositas (Purnomo,2004). Porositas yang terjadi pada saat pengecoran Aluminium dapat dieleminir dengan mengontrol gas/oksigen dan variabel pengecoran lainnya seperti, temperatur, laju pembekuan, laju pendinginan (Melo,M.L.N.M.,etl., 2005) yang dapat dilakukan dengan tersedianya dapur peleburan yang memadai.

Parameter pembekuan sangat dipengaruhi laju pendinginan, keadaan temperatur pada berbagai fasa berubah dengan peningkataan laju pendinginan, peningkatan laju pendinginan secara signifikan meningkatkan temperatur pengintian Aluminium (Dobrzanski, dkk, 2006).


(32)

2.1.2 Kandungan Atom/Unsur dan Ikatan

Aluminium disimbolkan dengan Al, dengan nomor atom 13 dalam tabel periodik unsur. Bauksit, bahan baku aluminium memiliki kandungan aluminium dalam jumlah yang bervariasi, namun pada umumnya di atas 40% dalam berat. Senyawa aluminium yang terdapat di bauksit diantaranya Al2O3, Al(OH)3, γ

-AlO(OH), dan α -AlO(OH). Bauksit dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bauksit (Dobrzanski, dkk, 2006)

Isotop aluminium yang terdapat di alam adalah isotop 27Al, dengan persentase sebesar 99,9%. Isotop 26Al juga terdapat di alam meski dalam jumlah yang sangat kecil. Isotop26Al merupakan radioaktif dengan waktu paruh sebesar 720000 tahun. Isotop aluminium yang sudah ditemui saat ini adalah aluminium dengan berat atom relatif antara 23 hingga 30, dengan isotop 27Al merupakan isotop yang paling stabil.

2.1.3 Mikrostruktur Aluminium

Gambar 2.2 memperlihatkan struktur mikro aluminium murni. Aluminium murni 100% tidak memiliki kandungan unsur apapun selain aluminium itu sendiri.


(33)

Gambar 2.3 Struktur mikro dari paduan aluminium-silikon (Akroma,B.H., 2011)

Gambar 2.3 (a) merupakan paduan Al-Si tanpa perlakuan khusus. Gambar 2.3 (b) merupakan paduan Al-Si dengan perlakuan termal. Gambar 2.3 (c) adalah paduan Al-Si dengan perlakuan termal dan penempaan. Jika diperhatikan bahwa semakin ke kanan, struktur mikro semakin baik (Voort,1984).

2.1.4 Sifat-Sifat Aluminium

Aluminium telah merupakan salah satu logam industri yang paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor utama industri seperti konstruksi, listrik, angkutan, peti kemas dan kemasan, peralatan mekanis serta alat rumah tangga.

Adapun sifat-sifat mekanik Aluminium antara lain sebagai berikut: a. Ringan

Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja, atau tembaga dan banyak digunakan dalam industri transportasi seperti angkutan udara.

b. Tahan terhadap korosi

Sifatnya durabel sehingga baik dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik di ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut.


(34)

c. Kuat

Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu dengan logam lain. Digunakan untuk pembuatan komponen yang memerlukan kekuatan tinggi seperti: pesawat terbang, kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain.

d. Mudah dibentuk

Proses pengerjaan Aluminium mudah dibentuk karena dapat disambung dengan logam/material lainnya dengan pengelasan, brazing, solder, adhesive

bonding, sambungan mekanis, atau dengan teknik penyambungan lainnya.

e. Konduktor listrik

Aluminium dapat menghantarkan arus listrik dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan tembaga. Karena Aluminium tidak mahal dan ringan, maka Aluminium sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun bawah tanah

f. Konduktor panas

Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada mesin-mesin/alat-alat pemindah panas sehingga dapat memberikan penghematan energi.

g. Memantulkan sinar dan panas

Aluminium dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan pantul yang tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan pantul sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan Aluminium sangat baik untuk peralatan penahan radiasi panas.

h. Non magnetik

Aluminium sangat baik untuk penggunaan pada peralatan elektronik, pemancar radio/TV dan lain-lain. Dimana diperlukan faktor magnetisasi negative untuk menaikkan sifat–sifat mekaniknya, maka secara umum aluminium biasanya dipadu dengan menambahkan Si, Fe, Cu, Mn, Mg, dan Zn. Si dan Mg ditambahkan untuk menambah daya tahan terhadap korosi, Fe untuk mencegah teerjadinya penyusutan, Cu untuk menambah kekuatan dan Mn untuk memperbaiki mampu bentuk. Elemn-elemen tersebut ditambahkan


(35)

baik secara satu persatu atau bersama-sam. Penggunaan dari aluminium dan paduannya antara lain untuk peralatan rumah tangga, kemasan makanan dan minuman, pesawat terbang, mobil, kappa laut, konstruksi bangunan rumah, dan lain-lain. Adapun sifat-sifat aluminium murni ditunjukkan pada Tabel 2.1 (Surdia,1992).

Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik Aluminium (Surdia dan Shinroku, 1992)

Sifat-sifat Kemurnian Al (%)

99,996 >99,0

Massa jenis (20oC) 2,6989 2,71

Titik Cair 660,2 653-657

Panas Jenis (cal/g.oC)(100oC) 0,2226 0,2297

Hantaran Listrik (%) 64,94 59 (dianil)

Tahanan Listrik Koefisien temperature (/oC)

0,00429 0,0115

Koefisien Pemuaian (20-100oC) 23,86 x 10-6 23,5 x 10-6

Jenis Kristal, konstanta kisi FCC,a = 4,013 A FCC,a = $,04 A

2.2 Paduan Aluminium

Aluminium dipakai sebagai paduan berbagai logam murni, sebab tidak kehilangan sifat ringan dan sifat – sifat mekanisnya dan mampu cornya diperbaiki dengan menambah unsur–unsur lain. Paduan Al diklasifikasikan dalam berbagai standar oleh berbagai Negara di dunia. Saat ini klasifikasi yang sangat tekenal dan sempurna adalah standar Alumunium Association di Amerika yang didasarkan atas dasar standar terdahulu dari Alcoa (Alumunium Company of

America),(Surdia dan Saito, 2005). Sesuai dengan Aluminium Assosiation

paduan Al terdiri-dari produk wrought dan cor, klasifikasi produk Wrought ditunjukan pada Tabel 2.3

Tabel 2.2 Paduan Al Untuk Produk Wrought (ASM Vol. 2, 1992)

Unsur Paduan Utama Seri

Aluminium minimal 99.00% 1xxx


(36)

Mangan (Mn) 3xxx

Silikon (Si) 4xxx

Magnesium (Mg) 5xxx

Magnesium dan Silikon 6xxx

Seng (Zn) Unsur Lainnya

7xxx 8xxx 9xxx

Aluminium tempa, seri 1xxx digunakan untuk Aluminium murni. Digit kedua dari seri tersebut menunjukkan komposisi Aluminium dengan limit pengotor alamiahnya, sedangkan dua digit terakhir menunjukkan persentasi minimum dari Aluminium tsb. Digit pertama pada seri 2xxx sampai 7xxx menunjukkan kelompok paduannya berdasarkan unsur yang memiliki persentase komposisi terbesar dalam paduan.Sedangkan paduan Al yang digunakan untuk pengecoran sesuai dengan Aluminium association.

2.2.1 Paduan Al-Si

Paduan Al-Si ditemukan oleh A. Pacz tahun 1921. paduan Al-Si yang telah diperlakukan panas dinamakan Silumin. Sifat – sifat silumin sangat diperbaiki oleh perlakuan panas dan sedikit diperbaiki oleh unsur paduan. Paduan Al-Si umumnya dipakai dengan 0,15% – 0,4%Mn dan 0,5 % Mg. Paduan Al-Si yang memerlukan perlakuan panas ditambah dengan Mg juga Cu serta Ni untuk memberikan kekerasan pada saat panas. Bahan paduan ini biasa dipakai untuk torak motor (Surdia dan Saito., 2005).


(37)

2.2.2 Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg

Paduan Al-Cu-Mg adalah paduan yang mengandung 4% Cu dan 0,5% Mg serta dapat mengeras dalam beberapa hari oleh penuaan, dalam temperatur biasa atau natural aging setalah solution heat treatment dan quenching. Studi tentang logam paduan ini telah banyak dilakukan salah satunya adalah Nishimura yang telah berhasil dalam menemukan senyawa terner yang berada dalam keseimbangan dengan Al, yang kemudian dinamakan senyawa S dan T. Ternyata senyawa S (AL2CuMg) mempunyai kemampuan penuaan pada temperatur biasa. Paduan Al-Cu dan Al-Cu-Mg dipakai sebagai bahan dalam industri pesawat terbang (Surdia dan Saito., 2005)

2.2.3 Paduan Al-Mn

Mangan (Mn) adalah unsur yang memperkuat Alumunium tanpa mengurangi ketahanan korosi dan dipakai untuk membuat paduan yang tahan terhadap korosi. Paduan Al-Mn dalam penamaan standar AA adalah paduan Al 3003 dan Al 3004. Komposisi standar dari paduan Al 3003 adalah Al, 1,2 % Mn, sedangkan komposisi standar Al 3004 adalah Al, 1,2 % Mn, 1,0 % Mg. Paduan Al 3003 dan Al 3004 digunakan sebagai paduan tahan korosi tanpa perlakuan panas (Surdia dan Saito,1992).

2.2.4 Paduan Al-Mg

Paduan dengan 2 – 3 % Mg dapat mudah ditempa, dirol dan diekstrusi, paduan Al 5052 adalah paduan yang biasa dipakai sebagai bahan tempaan. Paduan Al 5052 adalah paduan yang paling kuat dalam sistem ini, dipakai setelah dikeraskan oleh pengerasan regangan apabila diperlukan kekerasan tinggi. Paduan Al 5083 yang dianil adalah paduan antara ( 4,5 % Mg ) kuat dan mudah dilas oleh karena itu sekarang dipakai sebagai bahan untuk tangki LNG (Surdia dan Saito.1992).

2.2.5 Paduan Al-Mg-Si

Paduan Al-Mg-Si dalam sistem klasifikasi AA dapat diperoleh paduan Al 6063 dan Al 6061. Paduan dalam sistem ini mempunyai kekuatan kurang sebagai bahan tempaan dibandingkan dengan paduan –paduan lainnya, tetapi sangat liat,


(38)

sangat baik mampu bentuknya untuk penempaan, ekstrusi dan sebagainya. Paduan 6063 dipergunakan untuk rangka – rangka konstruksi , karena paduan dalam sistem ini mempunyai kekuatan yang cukup baik tanpa mengurangi hantaran listrik, maka selain dipergunakan untuk rangka konstruksi juga digunakan untuk kabel tenaga (Surdia dan Saito, 1992)

2.2.6 Paduan Al-MnZn

Jepang pada awal tahun 1940 Iragashi dan kawan-kawan mengadakan studi dan berhasil dalam pengembangan suatu paduan dengan penambahan kira–

kira 0,3 % Mn atau Cr dimana butir kristal padat diperhalus dan mengubah bentuk presipitasi serta retakan korosi tegangan tidak terjadi. Pada saat itu paduan tersebut dinamakan ESD atau duralumin super ekstra. Selama perang dunia ke dua di Amerika serikat dengan maksud yang hampir sama telah dikembangkan pula suatu paduan yaitu suatu paduan yang terdiri dari: Al, 5,5 % Zn, 2,5 % Mn, 1,5% Cu, 0,3 % Cr, 0,2 % Mn sekarang dinamakan paduan Al- 7075. Paduan ini mempunyai kekuatan tertinggi diantara paduan-paduan lainnya. Pengggunaan paduan ini paling besar adalah untuk bahan konstruksi pesawat udara, disamping itu juga digunakan dalam bidang konstruksi (Surdia dan Saito,1992).

2.3 Magnesium

Magnesium adalah unsur kedelapan yang paling berlimpah dan merupakan sekitar2% dari berat kerak bumi dan merupakan unsur yang paling banyak ketiga terlarut dalam air laut. Magnesium sangat melimpah di alam dan ditemukan dalam bentuk mineral penting didalam bebatuan , seperti dolomit, magnetit, dan olivin. Ini juga ditemukan dalam air laut, air asin bawah tanah dan lapisan asin. Ini adalah logam struktural ketiga yang paling melimpah dikerak bumi, hanya dilampaui oleh aluminium dan besi. Amerika Serikat secara umum menjadi pemasok utama dunia logam ini. Amerika Serikat memasok 45% dari produksi dunia, bahkan pada tahun 1995 Dolomit dan magnesit ditambang sampai sebatas 10 juta ton per tahun, di negara-negara seperti Cina, Turki, Korea Utara, Slowakia, Austria, Rusia dan Yunani (Kausar,dkk.,2014).


(39)

Penggunaan Mg dalam pembuatan komposit adalah sebagai wetting agent, yaitu untuk meningkatkan pembasahan antara matriks dan penguat dengan cara menurunkan tegangan permukaan antara keduanya (Samuel,Y., 2012).

2.4 Fly Ash

Fly ash atau abu terbang merupakan salah satu produk sisa dari proses

pembakaran diruang bakar suatu pembangkit, fly ash ini biasanya berbentuk partikel-partikel halus yang keberadaannya dapat membahayakan kesehatan manusia jika tidak ditangani dengan benar. Seiring dengan kemajuan teknologi maka saat ini keberadaan fly ash tidak hanya sebagai limbah tidak bermanfaat tetapi telah dipergunakan untuk campuran beragam jenis produk seperti semen, bata tahan api dan metal matrix composite (Yasman,F.,2014)

2.4.1 Fly Ash Batubara

Fly ash batubara adalah material yang memiliki ukuran butiran yang

halus berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara (Wardani,2008). Pada pembakaran batubara dalam PLTU, terdapat limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Partikel abu yang terbawa gas buang disebut fly ash, sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah tungku disebut bottom ash. Di Indonesia, produksi limbah abu dasar dan abu layang dari tahun ke tahun meningkat sebanding dengan konsumsi penggunaan batubara sebagai bahan baku pada industri PLTU (Harijono,D., 2006).

Abu terbang batubara umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk begitu saja di dalam area industri. Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam:


(40)

1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan 2. Penimbun lahan bekas pertambangan

3. Recovery magnetic, cenosphere, dan karbon

4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori 5. Bahan penggosok (polisher)

6. Filler aspal, plastik, dan kertas 7. Pengganti dan bahan baku semen

8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization) 9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben

Konversi abu terbang batubara menjadi zeolit dan adsorben merupakan contoh pemanfaatan efektif dari abu terbang batubara. Keuntungan adsorben berbahan baku fly ash batubara adalah biayanya murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair (Marinda,P.,2008)

2.4.1.1 Sifat Kimia dan Sifat Fisika Fly Ash Batubara

Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika ( SiO2 ), alumina, ( Al2O3 ), besi oksida ( Fe2O3 ), kalsium ( CaO ) dan sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah yang sedikit.

Tabel 2.3. Komposisi Kimia Salah Satu Jenis Abu Terbang Batubara (Wardani,2008)

Komponen Bituminus Sub Bituminous( % ) Lignit

SiO2 20-60 40-60 15-45

Al2O3 5-35 20-30 20-25

Fe2O3 10-40 04-10 3-15

CaO 1-12 5-30 15-40

MgO 0-5 1-6 3-10

SO3 0-4 0-2 0-10

Na2O 0-4 0-2 0-6


(41)

2.4.2 Palm Oil Fly Ash (POFA)

Hasil proses pembuatan Crude Palm Oil (CPO) maka akan dihasilkan limbah padat diantaranya serabut buah dan cangkang kelapa sawit itu sendiri, namun ini tidak menjadi masalah bagi Pabrik Kelapa sawit (PKS) karena limbah ini akan menjadi bahan bakar daripada boiler. Limbah padat berupa cangkang dan serat digunakan sebagai bahan bakar ketel (boiler) untuk menghasilkan energi mekanik dan panas. Uap dari boiler dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik dan untuk merebus TBS sebelum diolah di dalam pabrik. Diagram alir pembentukan pofa dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Diagram Alir Palm Oil Fly Ash

Cangkang dan serat buah sawit yang sudah terbakar, akan menghasilkan sisa- sisa pembakaran yang nantinya akan menjadi limbah daripada boiler atau furnance (tungku pembakaran) berupa abu terbang. Abu Terbang (Fly ash) , yakni abu yang berada dibawah tungku tepatnya ditempat pengumpulan abu. Abu terbang terlihat pada gambar 2.6

(a) (b)

Gambar 2.6 (a)Abu Terbang (Palm Oil Fly Ash), (b)Bottom ash sesudah di grinding (Yasman,F.,2014)

Buah Sawit Produksi

Cangkang sawit

(bahan bakar) Boiler

bak penampungan Palm Oil Fly Ash

Udara

Partikel Ash Ringan

CPO

Pertikel Ash berat


(42)

Masalah yang kemudian timbul adalah sisa dari pembakaran pada boiler yang berupa abu dengan jumlah yang terus meningkat sepanjang tahun yang sampai sekarang masih belum termanfaatkan. Ternyata limbah abu sawit banyak mengandung unsur silika (SiO2) yang merupakan bahan pozzolanic. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Graille dkk (1985) ternyata limbah abu sawit banyak mengandung unsur silika (SiO2) yang merupakan bahan pozzolanic (Yasman,F.,2014).

Hayward (1995) dalam Utama dan Saputra (2005) menyatakan dalam bahan pozzolan ada dua senyawa utama yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan semen yaitu senyawa SiO2 dan Al2O3 yang dimana abu Sawit merupakan bahan pozzolanic, yaitu material yang tidak mengikat seperti semen, namun mengandung senyawa silika oksida (SiO2) aktif yang apabila bereaksi dengan kapur bebas atau Kalsium Hidroksida (Ca(OH2)) dan air akan membentuk material seperti semen yaitu Kalsium Silikat Hidrat. Unsur penyusun

fly ash sangatlah beragam tergantung dari sumber bahan bakarnya, tetapi pada

umumnya fly ash mengandung SiO2,CaO,

2.5 Komposit Matrik Logam (Metal Matrix Composite)

Material komposit adalah material yang terdiri dari gabungan dua atau lebih fasa yang berbeda baik secara fisika ataupun kimia dan memiliki karakteristik lebih unggul dari masing - masing komponen penyusunnya. Material komposit terdiri dari dua fasa, satu disebut sebagai matriks dengan masa

continuous dan penguat dengan fasa discontinuous. Dalam komposit logam,

kombinasi yang terjadi berupa material fasa logam (yang harus bersifat ulet) dengan material penguat berupa keramik (senyawa oksida, karbida dan nitrida) yang biasanya terbentuk partikulat dengan kadar antara 10-60% fraksi volum. Pada penelitian ini penulis hanya membahas tetntang metal matrix composite (MMC) atau yang lebih spesifik lagi yaitu komposit matriks aluminium (AMC). Terdapat 5 faktor umum dari penguat yang mempengaruhi sifat dari material komposit yaitu konsentrasi, ukuran, bentuk, distribusi, dan orientasi. Dimana dapat dilihat pada gambar 2.7


(43)

Gambar 2.7 Penguat dalam material komposit a). konsentrasi, b). Ukuran, c) bentuk, d). Distribusi, dan e) orientasi (Calister, 2003).

Kombinasi yang terjadi pada logam komposit berupa material fasa logam (yang harus bersifat ulet) dengan material penguat berupa keramik (senyawa oksida, karbida dan nitrida) yang biasanya terbentuk partikulat dengan kadar antara 10-60% fraksi volum.

Metal matrix composite memiliki keunggulan dibandingkan dengan

logam tunggalnya karena metal matrix composite dapat memiliki sifat yang diinginkan, seperti peningkatan kekuatan dengan berat yang lebih rendah. Beberapa keunggulan metal matrix composite dibandingkan dengan logam tunggalnya, yaitu:

1. Kombinasi kekuatan dan modulus yang baik. 2. Berat jenis jenderung lebih rendah.

3. Rasio kekerasan dengan berat dan modulus dengan berat lebih baik dari logam.

4. Nilai koefisien muai panasnya lebih rendah dibandingkan logam 5. Kekuatan fatik cukup baik.

2.6 Proses Pengecoran Logam

Pengecoran atau penuangan (casting) merupakan salah satu proses pembentukan bahan baku/bahan benda kerja yang relatif mahal dimana pengendalian kualitas benda kerja dimulai sejak bahan masih dalam keadaan


(44)

mentah. Komposisi unsur serta kadarnya dianalisis agar diperoleh suatu sifat bahan sesuai dengan kebutuhan sifat produk yang direncanakan namun dengan komposisi yang homogen serta larut dalam keadaan padat. (Sudjana,H.,2008)

Produk pengecoran logam mempunyai bentuk dan dimensi yang khas, karena pembuatannya dilakukan dengan mengubah logam dari fasa cair menjadi padat. Pembentukan benda dilakukan sekaligus dan tidak dilakukan dengan perakitan bagian-bagian benda.

Keuntungan proses pengecoran logam adalah: 1. Dapat membuat bentuk yang rumit

2. Dapat menghemat waktu dan pengerjaan produk missal

3. Dapat menggunakan bahan yang tidak dapat dikerjakan dengan proses pemesinan

4. Ukuran Produk tidak terbatas 5. Bahan dapat dilebur ulang

Kekurangan proses pengecoran logam adalah:

1. Kurang ekonomis untuk produksi dalam jumlah sedikit

2. Permukaan secara umum lebih kasar dibanding proses pemesinan 3. Toleransi kepresisian ukuran harus lebih besar dibanding produk

pemesinan

2.6.1 Centrifugal Casting

Proses penuangan (pengecoran) dengan metode sentripugal dilakukan pada pengecoran dengan menggunakan cetakan logam (die casting), tidak semua bentuk benda tuangan dapat dibuat atau dicetak dengan menggunakan metode ini karena hanya benda-benda bulat silinder dan simetris sesuai dengan konstruksinya dapat di cor dengan metode sentripugal ini. Pengecoran sentripugal dilakukan dengan menuangkan logam cair ke dalam cetakan yang berputar. Akibat pengaruh gaya sentripugal logam cair akan terdistribusi ke dinding rongga cetak dan kemudian membeku (Sudjana,H.,2008)


(1)

5.2.2 A new temperature survey shall be made after any modification, repair, adjustment (for example, to power con- trols, or baffles), or rebuild which may have altered the temperature uniformity characteristics of the furnace and

reduced the effectiveness of the heat treatment. 5.3 Batch Furnace Surveys:

5.3.1 The initial temperature survey shall be made at the maximum and minimum temperature of solution heat treat- ments and precipitation heat treatments for which each furnace is to be used. There shall be at least one test location for each

25 ft3 [0.70 m3] of air furnace volume up to a maximum of 40 test locations, with a minimum of nine test locations, one in each corner and one in the center.

5.3.2 After the initial survey, each furnace shall be surveyed monthly, except as provided in 5.3.7. The monthly survey shall be at one operating temperature for solution heat treatment and one for precipitation heat treatment.

5.3.3 There shall be at least one test location for each 40 ft3 [1 m3] of load volume, with a minimum of nine test locations, one in each corner and one in the center.

5.3.4 The surveys shall reflect the normal operating charac- teristics of the furnace. If the furnace is normally charged after being stabilized at the correct operating temperature, the temperature-sensing elements shall be similarly charged. If the furnace is normally charged cold, the temperature-sensing elements shall be charged cold. After insertion of the temperature-sensing elements, readings should be taken fre- quently enough to determine when the temperature of the hottest region of the furnace approaches the bottom of the temperature range being surveyed. From that time until thermal equilibrium is reached, the temperature of all test locations should be determined at 2-min intervals in order to detect any over-shooting. After thermal equilibrium is reached, readings should be taken at 5-min intervals for sufficient time to determine the recurrent temperature pattern, but for not less than 30 min. Before thermal equilibrium is reached, none of the temperature readings should exceed the maximum temperature of the range being surveyed. After thermal equilibrium is reached, the maximum temperature variation of all elements (both load and furnace thermocouples) shall not

exceed 20°F [10°C] and shall not vary outside the range being surveyed.

5.3.5 For furnaces of 10 ft3 [0.25 m3] or less the temperature survey may be made with a minimum of three thermocouples located at front, center, and rear or at top, center, and bottom of the furnace.

5.3.6 For furnaces used only for precipitation treatment, after the initial temperature-uniformity survey, as outlined in 5.3.7, surveys need not be made more often than at each

6-month interval provided that (a) test specimens from each lot are tested and meet applicable material specifications require-ments, (b) the furnace is equipped with a multipoint recorder, or (c) one or more separate load thermocouples are employed to measure and record actual metal temperatures. 5.3.7 Monthly surveys for batch furnaces are not necessary when the furnace or bath is equipped with a permanent multipoint recording system with at least two sensing thermo- couples in each zone or when one or more separate load thermocouples are employed to measure actual metal tempera-ture, providing that uniformity surveys show a history of satisfactory performance for a period of at least 6 months. The sensing thermocouples shall be installed so as to record the temperature of the heated media (air, lead, etc.) or actual metal temperatures. However, periodic surveys shall also be made at

6-month intervals in accordance with the procedures outlined for the monthly survey. 5.4 Continuous Furnace Surveys:

5.4.1 For continuous heat-treating furnaces, the type of survey and the procedures for performing the survey should be established for each particular furnace involved. The types of continuous heat-treating furnaces may vary considerably, de- pending upon the product and sizes involved. For some types and sizes of furnaces, the only practical way to survey the furnace is to perform an extensive mechanical property survey of the limiting product sizes to verify conformance with the specified mechanical properties for such items. When the type and size of the furnace makes this practical, monthly surveys should be made, using a minimum of two load thermocouples attached to the material. The surveys should reflect the normal operating characteristics of the furnace. The results of these surveys shall indicate that the metal temperature never exceeds the allowable maximum metal temperature specified for


(2)

solu- tion heat treatment (Tables 1-4 as appropriate) after all load thermocouples have reached the minimum metal temperature specified.

5.4.2 Furnace control temperature-measuring instruments shall not be used to read the temperature of the test temperature sensing elements.

5.5 Monitoring of Quench—A monitoring plan shall be developed and utilized for all modes of quenching for all products covered by this practice. The plan should incorporate

conductivity or hardness checking, or both, to determine the uniformity of the quench. Areas having substantially higher conductivity or lower hardness than other areas of similar thickness in the lot shall be investigated to ensure that the requirements of the material specification are met.

5.6 Temperature-Measuring System Check— The accuracy of the temperature-measuring system shall be checked under operating conditions weekly. Check should be made by insert- ing a calibrated test temperature-sensing element adjacent to the furnace

temperature-sensing element and reading the test temperature-sensing element with a calibrated test potentiom- eter. When the furnace is equipped with dual potentiometer measuring systems which are checked daily against each other, the above checks may be conducted every 3 months rather than every week. The test temperature-sensing element,

potentiom- eter, and cold junction

compensation combination shall have been calibrated against National Institute of Standards and Technology primary or secondary certified temperature- sensing elements, within the previous 3 months, to an accuracy of 6 2°F [6 1°C].

5.6.1 If the difference between the two readings in 5.6 exceeds 6 10°F [6 6°C], the cause of the difference shall be determined and corrected before commencing additional ther-mal processing. The responsible quality organization shall be notified and appropriate corrective action shall be taken and documented including an evaluation of the possible effects of the deviation on castings processed since the last successful test.

TABLE 4 Recommended Heat Treatment for Permanent Mold Type Alloys [SI Units]

Solution Heat TreatmentB,C Precipitation Heat

TreatmentD

AlloyA Final TemperA

Metal Temperature,

6

Time at Temperature, h

Metal Temperature,

65°C

Time at Temperature, h

201.0 T6 515 2 room temperature 12 to 24

then 525 14 to 20 then 155 20

T7 515 2 room temperature 12 to 24

then 525 14 to 20 then 190 5

A201.0 T7 515 2 room temperature 12 to 24

then 530 14 to 20 then 190 5

203.0 T6 515 2 room temperature 12 to 24

then 545 5 then 220 16

204.0 T4 520 10 room temperature 5 daysE

A206.0 T4 510 2 room temperature 5 days

then 530 14 to 20

TT 510 2 room temperature 12 to 24

then 530 14 to 20 then 160 0.5 to 1

then 530 14 to 20 then 155 20

T7 510 2 room temperature 12 to 24

then 530 14 to 20 then 190 5

208.0 T6 505 4 to 12 155 2 to 5

222.0 T551 ... ... 170 16 to 22

T65 510 4 to 12 170 7 to 9

242.0 T571 ... ... 170 22 to 26

or 205 7 to 9

T61 515 4 to 12 205 3 to 5

296.0 T6 510 8 155 1 to 8

319.0 T4 505 4 to 10 ... ...

T6 505 4 to 12 155 2 to 5

332.0 T5 ... ... 205 7 to 9

336.0 T551 ... ... 205 7 to 9

T65 515 8 205 7 to 9

333.0 T5 ... ... 205 7 to 9

T6 505 6 to 12 155 2 to 5

T7 505 6 to 12 260 4 to 6

354.0 T61 525 10 to 12 room temperature 8


(3)

T62 525 10 to 12 room temperature 8

then 170 6 to 10

355.0 T51 ... ... 255 7 to 9

T6 525 4 to 12 155 2 to 5

T62 525 4 to 12 170 14 to 18

T7 525 4 to 12 225 7 to 9

T71 525 4 to 12 245 3 to 6

C355.0G T61 525 6 to 12 room temperature 8

then 155 10 to 12

356.0 T51 ... ... 225 7 to 9

T6 540 4 to 12 155 2 to 5

A356.0G T6 540 4 to 12 155 2 to 5

T61 540 4 to 12 room temperature 8

then 155 6 to 12

T7 540 4 to 12 225 8

T71 540 4 to 12 245 3 to 6

357.0 T6 540H 8 165 6 to 12

A357.0G T61 540H 10 room temperature 8

then 155 8

359.0G T61 540 10 to 14 room temperature 8

then 155 10 to 12

T62 540 10 to 14 room temperature 8

then 170 6 to 10

A444.0 T4 540 8 to 12 ... ...

705.0 T1 ... ... room temperature 21 days

T5 100 10

707.0 T1 ... ... room temperature 21 days

T7 530 8 to 16 175 4 to 10

711.0 T1 ... ... room temperature 21 days

713.0 T1 ... ... room temperature 21 days

T5 120 16

850.0 T5 ... ... 220 7 to 9

851.0 T5 ... ... 220 7 to 9

T6 510 6 220 4

852.0 T5 ... .

. 220 7 to 9

ADesignations conform to ANSI H35.1 and to Practice B 275. BQuench in water at 65 to 100°C except as noted.

CTime at solution temperature may be increased for section thickness over 25 mm. DNo quenching required. Cool in still air outside the furnace.

EIn order to expedite testing, alloy 204.0 test specimens may be precipitation heat treated after quenching by holding at

125°C for 2 h.

FThis alloy is stress corrosion crack prone when in the T6 temper and should not be used in the T6 temper for applications

in which even mildly corrosive environments may be encountered.

GStress relieve for dimensional stability in the following manner: (1) Hold at 415615°C for 5 h. Then (2) Furnace cool to

345°C for 2 or more h. Then (3) Furnace cool

to 230°C for not more than34h. Then (4) Furnace cool to 120°C for approximately 2 h. Then (5) Cool to room temperature

in still air outside the furnace.

HSolution treatment temperature of 545°C may be used (to obtain higher solubility) provided no portion of the heat treat

oven exceeds 550°C.

6. Preparation for Heat Treatment 6.1 Furnace Loading:

6.1.1 Aluminum alloy castings shall be supported and spaced in the furnace racks so as to permit uniform heating to the final heat-treat temperature.

6.1.2 Racking and spacing procedures shall be documented.

6.1.3 Racking and spacing procedures shall allow free circulation of the quench media throughout the workload so that all product surfaces receive an adequate quench to meet the requirements of the material specification. 6.1.4 Batch furnace loading of small parts in baskets to be water quenched shall be controlled by limiting the depth of parts in

each layer and the minimum spacing between layers to preclude steam generated in any portion of the load from degrading the quench in another part of the load. Random packing of castings 1 in. [25 mm] or less in thickness should be limited to a maximum layer thickness of 3 in. [75 mm] with a minimum spacing of 3 in. [75 mm] between layers.

NOTE 3—Quenching by dumping small parts into water ensures access of the quenching media to all surfaces of each part.


(4)

7.1 Solution Heat TreatingRecommended

solution heat- treatment times and

temperatures for various heat-treatable aluminum castings appear in Tables 1 and 2 for sand and investment castings, and in Tables 3 and 4 for permanent mold-castings.

7.2 Soak Time—The solution heat-treatment temperature specified in the tables is the temperature of the metal being treated. In the absence of a suitable metal temperature measur- ing device, the soaking times appearing in Tables 1-4 as applicable, may be used. Note that the time ranges quoted are, in most cases quite wide. Typically, structurally modified castings that are solidified rapidly require heat treat soak times close to the low end of each range. Examples include thin permanent mold castings and sand castings in which a fine microstructure is produced due to a rapid rate of cooling. Unmodified castings and those with thick sections will require soak times closer to the high end of the appropriate range. In any situation, the times chosen must result in castings which meet the required physical and mechanical properties. 7.3 Quench—During quenching it is important that cooling proceeds rapidly through the 750 to 500°F [400 to 260°C] range in order to avoid the type of premature precipitation detrimental to tensile properties and corrosion resistance. For casting alloys the quench delay should not exceed 45 s. Reduced quench delay time may be necessary to attain the tensile

requirements shown in the product

specifications for C355.0 and A356.0 sand-castings or investment-sand-castings and

354.0, A356.0, A357.0, and A444.0 permanent mold castings.

7.4 Precipitation Heat Treatment (Artificial Aging):

7.4.1 Recommended times and temperature ranges for pre- cipitation heat-treating various heat-treatable aluminum alloys appear in Tables 1 and 2 for sand castings, and Tables 3 and 4 for permanent mold castings.

7.4.2 Selection of the correct aging time involves knowl- edge of the aging curve for the alloy in question. As a casting precipitation hardens, there is a natural tradeoff of ductility

for strength. In choosing an aging time this must be kept in mind as it relates to the application under consideration. Times towards the minimum times in the precipitation hardening ranges in the tables will generate more ductility at a sacrifice in strength. Conversely, the long end of the range may well generate higher strength and hardness but a lower ductility.

7.4.3 At completion of precipitation time at temperature, the work shall be allowed to cool normally to room temperature.

8. Quality Assurance

8.1 Responsibility for Inspection and Tests— Unless other- wise specified in the contract, the heat treater is responsible for the performance of all inspection and test requirements speci-fied herein.

8.1.1 The heat treater may use his own or any other suitable facilities for the performance of inspection and test require- ments specified herein.

8.2 RecordsRecords shall be maintained for each furnace to show compliance with this standard. These records shall include the following: furnace number or description; size; temperature range of usage; whether used for solution heat treatment, precipitation heat treatment, or both; temperature(s) at which uniformity was surveyed; dates of each survey, number and locations of thermocouples used; and dates of major repairs or alterations (see 5.2.2).

8.2.1 The heat treater shall maintain records of all tests required by this practice and make them available for exami- nation at the heat treaters facility.

8.3 Tests and Verification of Equipment: 8.3.1 Surveillance Test Requirements:

8.3.1.1 Heat-treating equipment operated in accordance with documented procedures, shall have a demonstrated capa- bility of producing material and components meeting the tensile and physical properties specified for each alloy heat- treated. Surveillance tests are required to verify the continued acceptability of the heat treatment.

8.3.1.2 Frequency of TestsTests shall be made once each month or more frequently as


(5)

may be required. Testing one load per furnace per month shall constitute conformance with the requirements of this paragraph.

8.3.1.3 Use of Production Test ResultsIn all cases, the results of tests made to determine conformance of heat-treated material to the requirements of the respective material speci-fications are acceptable as evidence of the properties being obtained with the equipment and procedure employed.

8.3.1.4 When frequent testing is desired, that is, per batch or daily, the use of separately cast tensile bars or cast-on coupons as a surveillance test for heat treatment is highly recom- mended. Separately cast bars shall be cast as per the recom- mendations of Specifications B 26/B 26M, B 108, or B 618 as appropriate to sand, permanent mold, or investment castings respectively. The bars shall be processed through the heat treatment equipment together with the related castings. In the case of high strength castings in which cast-on coupons are

used, these shall be processed as outlined in Specification

B 686.

8.4 Surveillance Test Methods:

8.4.1 Tensile PropertiesTensile properties specified for the alloy involved shall be established by tension testing in accordance with Test Methods B 557 [B 557M].

8.4.2 When allowed by the casting specification, separately cast tensile bars may be used for both furnace surveillance and production tensile testing. Note that these bars shall meet a pass/fail material specification established for the given alloy and temper, as separately cast bars. The separately cast bars may differ from those machined from the castings, particularly with respect to ductility; a property very sensitive to section thickness and solidification rate. In any case, the required tests for casting properties shall

conform to the respective casting

specifications and any mechanical property requirements called out on the drawings. In the case of cast-on coupons the test results shall meet the highest strength requirements of the

casting in accordance with Specification B 686.

8.4.3 Periodic Physical Property Testing—The following physical property tests may be specified as part of the reaction or FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) for dealing with failure to meet mechanical properties. They may also be specified as part of regular testing under circumstances in which the combination of alloy, temper, and service environ- ment makes this advisable. 8.4.3.1 Eutectic Melting and Porosity Resulting from Solu- tion Heat Treatment Specimens from heat-treated product or samples shall be sectioned and the sections polished to appropriate fineness. The unetched surface shall be examined at 500 diameters magnification with a metallurgical micro-scope to detect evidence of porosity resulting from solution heat treatment. The sections may then be mildly etched (approximately 2 s) in an etchant and examined at 500 diameters magnification to detect evidence of eutectic melting.

8.4.3.2 Intergranular Corrosion Test Intergranular Corro- sion tests shall be conducted in accordance with the procedure outlined in Practice G 110.

8.4.3.3 Metallographic Examination of Eutectic SiIn the case of structurally modified 3xx.0 and 4xx.0 alloys, which exhibit large amounts of Al-Si eutectic, the coarseness of the eutectic gives evidence of solution heat treatment. Sections taken from product or test specimens shall be compared to suitable known specimens in both the F temper and the T4, T6, or T7 tempers. The fine fibrous eutectic Si seen in structurally modified 3xx.0 castings in the F temper will have undergone ripening and spheroidization if properly solution heat treated. This test shall only be applied to structurally modified Al-Si based foundry alloys. A comparison pair of micrographs is reproduced in Fig. 1 as an example of the difference to be expected in Al-Si eutectic microstructure before and after solution heat treatment.


(6)

8.5.1 Test specimens prepared in accordance with 8.3, and treated in accordance with the applicable parts of Section 7 shall meet the requirements specified below. Failure to meet

the specified mechanical or physical requirements is reason to disqualify the heat-treating equipment and associated process

corrective action completed.

8.5.2 Tensile Properties—Heat-treated test samples or

sepa- rately cast test bars shall exhibit tensile strength, yield strength, and elongation properties not less than those specified in applicable procurement specifications or detail drawings.

8.5.3 Eutectic Melting—Specimens shall be free from

eu-tectic melting as evidenced by rosettes or eueu-tectic structure at grain boundary triple points.

8.5.4 Intergranular Corrosion—There shall be no evidence

of excessive intergranular corrosion. Consideration shall be given to size and thickness of the material in deciding whether the intergranular corrosion is excessive Degree of susceptibil- ity to intergranular corrosion shall be not greater than normally experienced when following this practice.

8.5.5 Metallographic Examination of Eutectic Si—The

mor- phology of the Al-Si eutectic must be consistent with the heat treatment. Solution heat treating shall be deemed to have failed if the eutectic morphology is consistent with the F-temper.

8.5.6 Rejection and Reheat Treatment—Materials heat

treated in the furnace since the time of the previous satisfactory tests and found unsatisfactory shall be rejected or reheat treated (beginning with the solution heat treatment) in an acceptable furnace, depending on the character of the failed tests. Mate- rials in which eutectic melting resulting from solution heat treatment is found shall be rejected and no reheat treatment permitted. Materials that fail for reasons other than those enumerated above may be re-heat treated.

9. Precision and Bias

9.1 No information is presented about either precision or bias of metallurgical testing for evaluation of eutectic melting and heat treat induced porosity (8.4.3.1), or intergranular corrosion (8.4.3.2), since the test results are non-quantitative.

10. Keywords

10.1 aluminum alloys; investment casting; permanent mold casting; precipitation heat treatment; sand casting; solution heat treatment .

This is a new specification based on the casting heat treating provisions of Practice B 597; however, organization and content have been significantly revised to reflect current industry practices and material requirements. The large number of differences precludes a listing of each change.

(1) References and instructions regarding the heat treatment of wrought aluminum products have been removed from this document and used to write a new ASTM heat treat specifica- tion for wrought aluminum.

(2) The standard has been expanded to include both inch-pound units and SI units.

(3) References to other ASTM standards specific to aluminum castings have been added.

The American Society for Testing and Materials takes no position respecting the validity of any patent rights asserted in connection with any item mentioned in this standard. Users of this standard are expressly advised that determination of the validity of any such patent rights, and the risk of infringement of such rights, are entirely their own responsibility.

This standard is subject to revision at any time by the responsible technical committee and must be reviewed every five years and if not revised, either reapproved or withdrawn. Your comments are invited either for revision of this standard or for additional standards and should be addressed to ASTM Headquarters. Your comments will receive careful consideration at a meeting of the responsible technical committee, which you may attend. If you feel that your comments have not received a fair hearing you should make your views known to the ASTM Committee on Standards, at the address shown below.

This standard is copyrighted by ASTM, 100 Barr Harbor Drive, PO Box C700, West Conshohocken, PA 19428-2959, United States. Individual reprints (single or multiple copies) of this standard may be obtained by contacting ASTM at the above address or at

610-832-9585 (phone), 610-832-9555 (fax), or service@astm.org (e-mail); or through the ASTM website(www.astm.org).


Dokumen yang terkait

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

1 40 105

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 21

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 6

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 28

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 3

Analisa Pengaruh Heat Treatment Terhadap Sifat Mekanik Dan Mikrostruktur Material Metal Matrix Composite Aluminium – Palm Oil Fly Ash Menggunakan Metode Cetrifugal Casting

0 0 11

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 21

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 2

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 21

Studi Eksperimental Pengaruh Persentase Palm Oil Fly Ash ( POFA ) Terhadap Kekerasan Dan Mikrostruktur Metal Matrix Composite ( MMC ) Menggunakan Metode Centrifugal Casting

0 0 3