hina_kelana. 3085KB Mar 29 2010 05:00:13 AM

___________________________________________________________________________

Cerita silat karya Jin Yong, dengan judul asli: Siau-go-kangouw, atau dalam Bahasa Inggris:
Smiling Proud Wanderers. Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Gan KL, dengan judul: Hina
Kelana, cetakan tahun 1967, terdiri dari 144 bab.

Bab 1________
Di depan sebuah gedung megah yang dibangun di jalan raya pintu gerbang barat kota Hokciu
di provinsi Hokkian terdapat dua altar batu di kanan-kiri, di atas altar-altar batu itu masingmasing menjulang tinggi sebuah tiang bendera, dua helai bendera hijau tampak berkibar-kibar
tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan seekor singa jantan yang garang, bendera
yang lain bersulamkan empat huruf yang berbunyi “Hok-wi-piaukiok”, huruf-huruf yang
indah dan kuat itu terang ditulis oleh kaum ahli yang ternama.

Pintu gerbang gedung itu bercat merah dengan hiasan paku-paku tembaga yang besar dan
digosok mengilat. Di atas pintu terdapat sebuah papan merek berdasar hitam dan berhuruf
kuning emas yang tertulis “Hok-wi-piaukiok” (perusahaan pengawalan Hok-wi), di bawah
huruf-huruf besar itu terlintang pula dua huruf lebih kecil yang berbunyi “Kantor Pusat”.
Di dalam pintu terdapat dua baris bangku panjang di sebelah kanan dan kiri, tampak berduduk
di situ delapan laki-laki yang berdandan kencang ringkas, semuanya gagah-gagah dan sedang
mengobrol dan bersenda gurau.
Sekonyong-konyong dari pekarangan belakang terdengar suara derapan kuda, kedelapan lakilaki itu serentak berbangkit terus lari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung itu

tertampak menerjang keluar lima penunggang kuda untuk kemudian berhenti di depan pintu
gerbang tadi.
Kuda yang paling depan ternyata putih mulus, tepian pelana kuda itu seluruhnya terbuat dari
sepuhan perak. Penunggangnya adalah seorang pemuda berpakaian perlente berusia antara 1819 tahun. Di atas pundak pemuda itu tampak hinggap seekor burung elang pemburu, pedang

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

1

bergantungan di pinggangnya, gendewa dan panah juga terbawa di punggungnya, sedangkan
tangan kirinya memegang pecut kuda.
Keempat penunggang kuda yang mengikut dari belakang itu semuanya berbaju warna kuning
cekak. Dari gaya tunggangan mereka jelas sekali kepandaian menunggang kuda mereka
teramat tinggi.
Setiba kelima orang itu di depan pintu besar Piaukiok, tiga di antara kedelapan laki-laki tadi
lantas berseru, “Siaupiauthau (pemimpin muda) hendak pergi berburu lagi!”
Pemuda perlente itu hanya mengakak tawa saja, “Tarrrr”, pecutnya dibunyikan di udara, kuda
putih tunggangannya mendadak berdiri sambil meringkik, habis itu terus membedal ke depan
secepat terbang.
Seorang laki-laki lantas berseru pula, “Su-piauthau, hendaklah nanti membawa pulang seekor

babi hutan lagi supaya kita bisa menggayangnya dengan sepuas-puasnya.”
“Sudah tentu, paling sedikit kau akan kebagian ekornya!” jawab seorang laki-laki setengah
umur yang mengikut di belakang pemuda perlente tadi.
Maka di tengah gelak tertawa orang-orang itu kelima penunggang kuda itu pun sudah pergi
jauh.
Perusahaan pengawalan “Hok-wi” (rezeki dan wibawa) itu adalah suatu Piaukiok terbesar di
daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), Congpiauthau (pemimpin umum, pemilik) she
Lim bernama Cin-lam. Piaukiok itu adalah perusahaan warisan leluhur keluarga Lim, sampai
di tangan Lin Cin-lam sudah turun-temurun tiga angkatan.
Kakek Lim Cin-lam bernama Lim Wan-tho dan terkenal karena ilmu pedang “Pi-sia-kiamhoat” yang meliputi 72 gerakan, ilmu pukulan “Hoan-thian-ciang” yang meliputi pula 108
gerakan, serta 18 batang panah “Gin-ih-cian”, sejak kakeknya itu membuka Piaukiok di
kampung halamannya sendiri, yakni kota Hokciu, hanya dalam waktu 10 tahun saja nama
Hok-wi-piaukiok sudah termasyhur dan berkembang dengan subur.
Semula ada juga kawanan bandit yang mengganggu barang kawalannya, tapi menghadapi
ilmu pedang, ilmu pukulan dan senjata rahasia panah Lim Wan-tho yang lihai itu, kalau tidak
binasa tentu juga akan terluka parah dan cacat. Maka sejak itu perjalanan antara Hokkian,
menuju ke Hangciu, terus ke Kangsoh, Soatang, Hopak sampai di Kwantang, beberapa
provinsi di pantai timur itu boleh dikata merupakan wilayah pengaruhnya. Asalkan di atas
kereta barang terpancang panji pertandaan “Hok-wi-piaukiok”, asalkan petugas pengawal
berteriak “Hok-wi-peng-an” (selamat Hok-wi), maka kawanan penjahat sekali-kali tidak

berani lagi mengincar barang-barang kawalannya biar pentolan bandit betapa pun lihainya.
Sampai hari ulang tahun 70 barulah Lim Wan-tho mencuci tangan dan mewariskan
perusahaan pengawalannya kepada putranya yang kedua, Lim Tiong-hiong. Putra sulungnya
bernama Lim Pek-hun dan menjadi Buciang (perwira setingkat kolonel). Karena hubungan
itulah, maka usaha Piaukiok mereka tambah maju, terutama langganan-langganan dari
kalangan pembesar negeri.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

2

Lim Tiong-hiong itu suka bergaul dan bersahabat, maka siang malam di rumahnya selalu
penuh dengan handai taulan sehingga makan minum melampaui batas. Akhirnya dia
meninggal dalam usia yang masih muda. Lantaran itu Hok-wi-piaukiok lantas di bawah
pimpinan putranya, Lim Cin-lam.
Ilmu silat Lim Cin-lam adalah ajaran langsung dari sang kakek. Pada waktu ulang tahun 70, di
tengah perjamuan yang ramai itu Lim Wan-tho telah menyuruh cucunya itu berdemonstrasi di
depan orang banyak.
Waktu itu usia Cin-lam baru 16 tahun, tapi kepandaiannya seperti pukulan sebelah tangan
memadamkan api lilin, mengincar Hiat-to dengan sambitan panah, semuanya ini sangat

mengagumkan para jago silat yang hadir. Semuanya memuji rezeki Lim-loenghiong sangat
besar sehingga mempunyai keturunan jago muda sehebat itu, untuk selanjutnya Hok-wipiaukiok pasti akan berkembang lebih pesat dan lebih jaya.
Dan benar juga. Lim Cin-lam memang tidak mengecewakan harapan orang banyak.
Setelah menggantikan ayahnya, bukan saja Hok-wi-piaukiok telah membuka kantor cabang di
provinsi-provinsi pantai timur sebagaimana tersebut di atas, sampai-sampai provinsi Kwitang,
Kangsay, Oulam, Oupak, Kwisay juga terdapat kantor cabangnya. Bila mendengar nama Hokwi-piaukiok, setiap orang Kangouw tentu akan mengacungkan jari jempolnya dan berkata,
“Ya, Hok-wi-piaukiok memang punya rezeki dan berwibawa pula!”
Selain kantor pusat di kota Hokciu, ditambah pula sebelas kantor cabang di berbagai daerah,
modal kerja Hok-wi-piaukiok menjadi sangat besar, pengaruhnya juga tidak kecil, maka tidak
sedikit tokoh-tokoh persilatan yang bekerja padanya. Selama 20-an tahun perusahaan berjalan
lancar, walaupun pernah juga menghadapi beberapa persoalan sulit, tapi bila jago-jago dari
ke-12 kantor pengawalan itu serentak keluar semua, urusan betapa pun sulitnya juga lantas
terpecahkan.
Istri Lim Cin-lam she Ong, juga berasal dari keluarga persilatan. Walaupun ilmu silat nyonya
Lim sendiri tidak terlalu tinggi, tapi ayahnya Ong Goan-pa berjuluk Kim-to-bu-tek (si golok
emas tanpa tanding) adalah ketua Kim-to-bun di kota Lokyang dan sangat banyak anak
muridnya. Dengan hubungan keluarga dan saling membantu itu, maka Hok-wi-piaukiok
menjadi lebih kuat.
Lim Cin-lam hanya mempunyai seorang putra tunggal bernama Peng-ci. Sejak kecil Lim
Peng-ci sudah mendapat didikan yang keras dan ikut belajar ketiga macam kepandaian

tunggal sang kakek. Terkadang ia suka mengusik sang ibu agar mengajarkan ilmu golok dari
Kim-to-bun pula. Selain itu Cin-lam juga mengundang seorang sastrawan untuk mengajarkan
ilmu sastra kepada putranya itu.
Sebaliknya Lim Peng-ci ternyata kurang menaruh minat untuk belajar ilmu sastra, dalam tiga
hari sering kali ada dua hari suka membolos. Tahun ini dia sudah berusia 18, tapi sejilid kitab
Su-si saja belum selesai dipelajari. Untungnya Lim Cin-lam juga tidak menaruh harapan agar
putranya mengikuti ujian kenegaraan untuk memperoleh pangkat segala, asalkan Peng-ci
tekun belajar silat, maka bolehlah.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

3

Hari ini Peng-ci membawa serta dua orang Piauthau (pemimpin pengawal) she Su dan The,
serta dua pengiring bernama Pek Ji dan Tan Jit, beramai-ramai mereka pergi memburu ke
hutan di barat kota.
Kuda putih tunggangannya itu adalah hadiah nenek luarnya ketika Peng-ci berulang tahun ke17. Kuda putih itu adalah kuda pilihan yang dibeli sang nenek dari daerah Se-ek (negerinegeri wilayah barat), maka Peng-ci sangat sayang kepada binatang itu.
Begitulah mereka berlima dalam sekejap saja sudah keluar pintu gerbang kota, segera Peng-ci
mengempit kencang kedua kakinya, kuda putih itu terus membedal ke depan secepat terbang.
Hanya dalam waktu singkat saja keempat pengiringnya sudah jauh tertinggal di belakang.

Setiba di atas tanjakan bukit, elang pemburunya lantas dilepaskan. Tak lama kemudian
sepasang kelinci telah digebah keluar dari dalam hutan oleh elang pemburu itu. Cepat Peng-ci
menyiapkan panah di atas gendewa, “serrr”, kontan seekor kelinci yang sedang berlari-lari itu
roboh terkena panah. Waktu dia hendak mengincar pula, kelinci yang lain ternyata sudah
menghilang ke dalam semak-semak rumput-rumput.
Waktu The-piauthau menyusul tiba dan melihat hasil buruan itu, dengan tertawa ia memuji,
“Kepandaian panah yang hebat, Siaupiauthau!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pek Ji sedang berseru di dalam hutan sebelah kiri sana,
“Siaupiauthau, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!”
Segera Peng-ci mengeprak kudanya ke sana. Baru saja tiba, sekonyong-konyong dari dalam
hutan melayang keluar seekor ayam hutan berbulu indah dan berekor panjang. “Sret,” kontan
Peng-ci melepaskan panahnya, tapi ayam hutan itu justru melayang ke atas kepalanya
sehingga panah mengenai tempat kosong. Peng-ci tidak kekurangan akal, cepat pecutnya
menyabat ke atas. “Plok,” tanpa ampun lagi ayam hutan itu tersabat jatuh ke bawah, bulunya
yang berwarna-warni bertebaran di udara.
Kelima orang sama-sama bergelak tertawa puas. “Sabatan pecut Siaupiauthau ini jangankan
cuma seekor ayam hutan, sekalipun burung rajawali yang besar juga akan jatuh terpukul,” ujar
Su-piauthau.
Mereka berlima lantas menyusur kian kemari di tengah hutan. Karena ingin menyenangkan
hati Lim Peng-ci, maka kedua Piauthau dan kedua pengiring itu selalu menggebah binatang

yang mereka temukan ke jurusan Peng-ci agar tuan muda mereka yang membinasakan sasaran
buruan itu.
Satu jam lebih lamanya kembali Peng-ci memperoleh dua ekor kelinci, dua ekor ayam hutan,
cuma belum mendapatkan babi hutan atau rusa dan binatang lain yang agak besaran. Rupanya
Peng-ci masih belum puas, segera katanya, “Marilah kita mencari pula ke depan sana.”
Diam-diam Su-piauthau pikir kalau menuruti hasrat majikan muda mereka itu, boleh jadi
sampai hari gelap juga belum tentu mau pulang dan tentu para pengiring mereka inilah akan
diomeli lagi oleh nyonya majikan. Maka ia menjawab, “Hari sudah hampir gelap, jalan
pegunungan banyak batunya dan sukar dilalui, jangan-jangan kuda putih akan terpeleset.
Mumpung hari masih terang, lebih baik kita pulang saja, besok kita dapat berangkat lebih
siangan dan tentu akan mendapatkan binatang yang lebih besaran.”

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

4

Ia tahu dengan alasan apa pun susah mencegah kemauan sang majikan muda yang keras itu
kecuali mengatakan kemungkinan kuda putih kesayangannya itu akan jatuh terluka atau
pincang.
Benar juga, Peng-ci lantas tepuk-tepuk leher kudanya sambil berkata, “Naga putih ini sih

sangat cerdik dan pintar, tidak nanti dia kesandung atau terpeleset. Justru kuda-kuda
tunggangan kalian yang mungkin tidak tahan. Baiklah, marilah kita pulang saja, janganjangan pantat si Tan Jit nanti akan terbanting pecah.”
Begitulah di tengah gelak tawa kelima orang itu, mereka lantas putar kuda ke arah semula.
Tapi sampai di tengah jalan mendadak Peng-ci membelokkan kudanya ke jurusan utara.
Sesudah melarikan kudanya sekian lamanya dan merasa puas, kemudian ia lambatkan
kudanya dengan berjalan perlahan-lahan. Maka tertampaklah di tepi jalan di depan sana
terpancang sehelai panji penjual arak.
“Siaupiauthau,” seru The-piauthau, “marilah kita minum secawan dahulu! Daging kelinci dan
ayam hutan kebetulan cocok sekali untuk digoreng sebagai teman arak.”
Peng-ci menyahut dengan tertawa, “Sebenarnya kau cuma pura-pura mengikut berburu
padaku, tapi sesungguhnya kau ingin keluar minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir kau
minum arak, besok tentu kau akan malas ikut keluar lagi.”
Habis berkata ia congklang kudanya pula ke depan, setiba di depan warung arak ia lantas
melompat turun dan memasuki warung arak itu.
Biasanya bilamana warung arak itu kedatangan Lim Peng-ci, maka sebelum pemuda itu
masuk warungnya, si Lo Coa, pemilik warung arak, tentu sudah lantas memapak keluar untuk
menambatkan kudanya sambil mengucapkan kata-kata sanjung hormat.
Tapi hari ini ternyata tidak sama, Lo Coa tidak tampak muncul, keadaan warung itu pun sepi.
Hanya di samping anglo ada seorang gadis muda berbaju hijau dan berkonde dua sedang
asyik memasak arak.

“Hai, Lo Coa, mengapa tidak lekas keluar menuntun kuda Siaupiauthau!” seru The-piauthau.
Pek Ji dan Tan Jit lantas menarik bangku panjang di samping meja, ia kebut debu di atas
bangku itu dan silakan Peng-ci duduk dengan diiringi Su dan The-piauthau, sedangkan Pek Ji
dan Tan Jit sendiri mengambil tempat duduk pada meja yang lain.
Maka terdengarlah suara orang terbatuk-batuk, dari dalam warung arak itu muncul seorang
tua beruban, katanya, “Silakan duduk, tuan-tuan! Apakah mau minum arak?”
Dari logatnya teranglah dia bukan orang setempat.
“Masuk warung arak tidak minum arak, habis apakah minum teh?” sahut The-piauthau.
“Bawakan dahulu tiga kati Tiok-yap-jing (nama arak tersohor). Pergi ke manakah si Lo Coa?
Apakah barangkali warung arak ini sudah berganti juragan?”

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

5

“Baik, baik! Wan-ji, lekas bawakan tiga kati Tiok-yap-jing,” demikian orang tua itu
menjawab. “Untuk bicara terus terang saja, orang tua she Sat, asalnya memang penduduk
setempat, cuma sejak kecil telah berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Putra dan anak
menantuku sudah meninggal semua, orang tua pikir manusia akhirnya toh mesti pulang ke
asalnya. Maka dari itu bersama cucu perempuanku ini kami telah pulang kampung halaman.

Siapa duga selama 50-an tahun meninggalkan kampung, seluruh sanak kadang sudah tak
tertinggal seorang pun. Untunglah si Lo Coa pemilik warung arak ini merasa bosan
meneruskan usahanya, maka dengan harga 30 tahil perak warung ini telah dioperkan padaku.
Ai, akhirnya dapatlah pulang di kampung leluhur, alangkah nikmatnya dapat mendengarkan
logat bahasa kampung halamannya sendiri.”
Dalam pada itu si gadis baju hijau tadi telah datang membawakan sebuah nampan kayu
dengan kepala menunduk. Ia menaruh cawan dan sumpit di depan Peng-ci bertiga dengan tiga
poci arak pula. Habis itu dengan tunduk kepala, ia menyingkir pergi, selama itu tak sekejap
pun dia memandang tetamunya.
Peng-ci dapat melihat perawakan nona itu langsing menggiurkan, tapi kulit badannya sangat
kasap dan hitam, mukanya juga berpenyakit cacar. Mungkin karena baru melakukan
pekerjaan menjual arak, maka gerak-geriknya masih kaku, hal ini pun tidak diperhatikan oleh
Peng-ci.
Sedangkan Su-piauthau telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada si
kakek Sat, katanya, “Boleh disembelih dan gorenglah menjadi dua piring!”
“Baik, baik!” sahut si kakek Sat dengan hormat. “Untuk teman arak silakan tuan-tuan
menikmati dahulu sedikit daging rebus dan kacang goreng.”
Mendengar itu, tanpa menunggu perintah sang kakek, si gadis yang dipanggil Wan-ji tadi
segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng yang dimaksud.
“Tuan muda ini adalah Lim-kongcu, Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, seorang kesatria

muda yang budiman dan murah hati,” kata The-piauthau. “Asalkan kedua piring gorenganmu
nanti mencocoki seleranya, maka ke-30 tahil perak modal yang telah kau keluarkan itu
rasanya takkan seberapa hari tentu akan dapat dipulihkan kembali.”
“Ya, ya! Terima kasih, terima kasih!” sahut si kakek Sat dengan rendah hati sambil berjalan
pergi dengan membawa ayam hutan dan kelinci.
Segera The-piauthau menuangkan arak bagi Peng-ci, Su-piauthau dan dirinya sendiri, sekali
tenggak ia menghabiskan isi cawan, sambil berkecap-kecap ia berkata, “Warung ini sudah
ganti juragan, tapi rasa araknya tidaklah berubah.”
Lalu ia menuang secawan lagi dan baru saja hendak ditenggak pula, tiba-tiba terdengar suara
derapan kuda yang riuh, dua penunggang kuda sedang mendatangi dari jalan raya sebelah
utara sana.
Cepat sekali datangnya kuda-kuda itu, hanya sekejap saja sudah sampai di luar warung arak.
Terdengar seorang di antaranya telah berseru, “Di sini ada warung arak, marilah kita minum
satu cawan dahulu!”

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

6

Su-piauthau sudah berpengalaman, dari logat suara orang itu ia menduga mereka adalah orang
Sucwan barat. Ia coba berpaling ke luar, tertampaklah dua laki-laki memakai topi
berpinggiran lebar seperti caping, berjubah hijau. Setelah menambat kuda di bawah pohon
karet di depan warung arak, mereka menanggalkan topi, lalu masuk ke dalam warung arak.
Sekilas mereka memandang ke arah Peng-ci bertiga, habis itu lantas berduduk dengan lagak
tuan besar.
Selain berjubah hijau, kedua orang itu memakai ubel-ubel kain putih pula, tampaknya
dandanan mereka agak halus, tapi kedua kaki mereka ternyata telanjang, tanpa kaus, hanya
memakai sandal tali rami bertali.
Su-piauthau tahu orang Sucwan kebanyakan berdandan demikian. Sebabnya memakai ikat
kain putih di atas kepala adalah kebiasaan mereka. Karena wafatnya Cukat Liang atau Khong
Beng di zaman Sam Kok, orang Sucwan telah ikut berkabung untuk memperingati jasa
negarawan yang sangat mereka cintai itu. Sebab itulah maka ikat kain putih turun-temurun
masih melekat pada diri orang-orang Sucwan.
Sebaliknya Lim Peng-ci merasa heran, pikirnya, “Dandanan kedua orang ini halus tidak kasar
pun tidak, potongan mereka benar-benar agak aneh.”
“Araknya mana? Hayo, bawakan arak ke sini!” demikian seorang di antaranya yang lebih
muda lantas berseru. “Persetan, pegunungan di wilayah Hokkian ini benar-benar sangat
banyak, sampai kuda pun kepayahan.”
Dengan kepala menunduk Wan-ji si gadis penjual arak mendekati kedua tamunya yang baru
itu, tanyanya dengan suara lirih, “Minta arak apa?”
Walaupun suaranya sangat perlahan, tapi terdengar sangat nyaring dan merdu. Lelaki muda
tadi melengak, sekonyong-konyong ia terbahak-bahak sambil menjulurkan tangan kanan
untuk menyanggah dagu Wan-ji agar muka si nona mendongak ke atas. Lalu serunya dengan
tertawa, “Wah, sayang, sayang!”
Keruan Wan-ji terkejut dan cepat melangkah mundur.
Segera laki-laki yang lain juga lantas berkata dengan tertawa, “Buset! Potongan badan nona
belang ini sih boleh juga, cuma sayang mukanya demikian kasap seperti kertas amril!”
Begitulah mereka menggoda dan mengolok-olok si nona penjual arak itu dalam logat bahasa
daerah mereka, habis itu kedua orang lantas terbahak-bahak pula.
Peng-ci menjadi naik darah. Ia gebrak meja sambil berteriak, “Huh, macam apa! Dua ekor
anjing buta berani main gila ke kota Hokciu kita ini!”
“He, Keh-loji, ada orang sedang mencaci maki, kau kira anak kelinci ini lagi memaki siapa!”
demikian lelaki muda she Ih tadi berkata pula dengan tertawa kepada kawannya.
Dasar roman Lim Peng-ci memang mirip ibunya, putih cakap seperti wanita. Biasanya kalau
ada orang berani main gila padanya kontan tentu ditempeleng olehnya. Sekarang mendengar
orang menyebutnya sebagai “anak kelinci” (putih bagus maksudnya), keruan ia tidak tahan

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

7

lagi. Sebuah poci arak buatan timah yang terletak di atas meja terus disambarnya dan
ditimpukkan ke sana.
Namun orang she Ih itu sempat berkelit sehingga poci timah itu terbanting keluar warung,
arak pun berceceran.
Serentak Su-piauthau dan The-piauthau lantas berbangkit dan menyerobot maju ke samping
kedua orang itu.
Tapi orang she Ih itu masih tertawa dan berkata, “Kalau bocah ini naik panggung untuk
berjoget mungkin lebih menarik, suruh dia berkelahi teranglah tidak jadi!”
“Ini adalah Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, besar amat nyalimu, berani tepuk lalat di
atas kepala harimau?” bentak Su-piauthau segera, berbareng kepalan kiri terus menonjok ke
muka orang.
Namun sekali bergerak, tahu-tahu tangan The-piauthau malah kena dipegang orang she Ih itu,
sekali ditarik pula, tubuh The-piauthau lantas menyelonong ke depan dan menumbuk meja.
“Brakkk,” kaki meja itu sampai patah. Badan The-piauthau juga lantas menungging karena
pergelangan tangannya masih tergenggam. Waktu sikut si orang she Ih bekerja, dengan tepat
kuduk The-piauthau kena disikut sehingga jatuh terduduk dan tak sanggup berdiri lagi untuk
sekian lamanya.
Meski The-piauthau itu bukan jago pilihan di antara orang Hok-wi-piaukiok, tapi juga bukan
kaum lemah. Tapi sekarang hanya sekali gebrak saja sudah keok, hal ini menandakan pihak
lawan itu pastilah bukan tokoh sembarangan. Segera Su-piauthau bertanya, “Siapakah saudara
ini? Kalau sesama kaum persilatan, apakah benar-benar tidak memandang sebelah mata
kepada Hok-wi-piaukiok?”
“Hok-wi-piaukiok? Hehe, selamanya tak pernah dengar! Apa kerjanya?” jengek laki-laki she
Ih itu.
“Kerjanya tukang menghajar anjing!” bentak Lim Peng-ci sambil melompat maju, tangan kiri
terus menghantam, sampai di tengah jalan tangan kanan lantas menyusul memukul dari
bawah. Ini adalah jurus “In-li-kian-kun” (jagat di balik mega) yang merupakan ilmu pukulan
lihai warisan leluhur.
“Hah, boleh juga anak kelinci ini!” orang she Ih itu mengolok-olok pula sambil menangkis
serangan Peng-ci, bahkan tangan kanan terus meraih maju buat mencengkeram pundak
pemuda itu.
Cepat Peng-ci mendak ke bawah, berbareng telapak tangan kiri menghantam pula. Tapi orang
she Ih itu pun sempat miringkan kepala untuk berkelit. Tak terduga ilmu pukulan “Hoanthian-ciang” yang meliputi 108 gaya itu memang sangat aneh perubahannya, tampaknya
orang she Ih memang seperti sudah dapat menghindarkan pukulan Peng-ci tadi, siapa tahu
mendadak tangan pemuda itu lantas menampar balik dengan jurus “Bu-li-gan-hoa”
(memandang bunga dari balik kabut), “plok,” dengan tepat orang she Ih kena ditempeleng
satu kali.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

8

Keruan orang she Ih menjadi murka, kakinya lantas menendang. Namun Peng-ci sempat
mengegos ke samping, menyusul ia pun balas mendepak ....
Dalam pada itu Su-piauthau juga sudah bergebrak dengan orang she Keh. Sedangkan Pek Ji
telah membangunkan The-piauthau yang masih meringis kesakitan itu. Sambil mencaci maki
The-piauthau lantas menerjang maju pula untuk mengerubut si orang she Ih.
“Kau boleh membantu Su-piauthau saja, keparat ini biar kubereskan sendiri,” kata Peng-ci.
The-piauthau tahu Peng-ci suka unggul dan tidak mau dibantu orang lain, maka ia lantas
jemput sebatang kaki meja yang patah, dengan senjata itu ia terus pentung ke atas kepala si
orang she Keh.
Tan Jit dan Pek Ji lantas lari keluar, seorang mengambilkan pedang Peng-ci, yang lain
membawa tombak pemburu, mereka masuk kembali dan mencaci maki kepada orang she Ih.
Dalam hal ilmu silat kedua pegawai Piaukiok itu sih rendah saja, tapi dalam hal mulut,
mereka sudah biasa berteriak dan menggembor di waktu mengawal barang, maka caci maki
mereka menjadi sangat lantang. Apalagi yang mereka lontarkan adalah makian bahasa daerah
Hokciu, dengan sendirinya kedua orang Sucwan sama sekali tidak paham, yang pasti ucapan
mereka itu tentu bukan kata-kata baik.
Dalam pada itu si kakek Sat juga sudah berlari keluar dari dapur, sambil bersandar pada bahu
kakeknya, Wan-ji tampak sangat takut.
Semakin lama Peng-ci menjadi makin bersemangat, ia telah depak meja kursi warung arak itu
ke pinggir, ia keluarkan 108 jurus “Hoan-thian-ciang” ajaran ayahnya untuk melabrak musuh.
Sejak berumur enam Peng-ci sudah berlatih silat, sampai sekarang sudah ada 12 tahun
lamanya, Hoan-thian-ciang itu pun dilatihnya setiap hari sehingga sedikitnya telah ribuan kali
diulanginya, dengan sendirinya ilmu pukulan itu sudah sangat hafal baginya.

Biasanya kalau dia berlatih melawan para Piauthau dalam perusahaan, tiada seorang pun yang
dapat menandinginya, hal ini dapat dimengerti, pertama karena ilmu pukulannya itu memang
hebat, kedua, para Piauthau dengan sendirinya lebih suka mengalah daripada bergebrak
sungguh-sungguh. Sebab itulah walaupun pengalaman di tengah gelanggang sudah banyak,
tapi pertarungan yang sungguh-sungguh jarang dialami oleh Peng-ci.
Sekali ini dia telah ketemukan lawan orang she Ih dari Sucwan, hanya belasan gebrak saja
segera rasa congkak Peng-ci mulai lenyap. Ternyata orang she Ih itu sambil bertempur masih
sempat membuka mulut untuk mengolok-oloknya. “Eh, saudara cilik, kulihat kau lebih mirip
seorang nona cantik dalam penyamaran sebagai lelaki, mukamu putih lagi cantik. Ehmm,
bolehkah kucium sekali saja, marilah kita berkawan dan pesiar ke sana.”
Mendengar ucapan yang tidak senonoh itu dan tingkahnya yang mempermainkan, keruan
Peng-ci sangat gusar. Ia coba melirik Su dan The-piauthau, ternyata kedua orang yang
mengeroyok orang she Keh itu toh tidak lebih unggul dari lawannya, bahkan hidung Thepiauthau tampak matang biru terkena bogem orang she Keh dan keluar kecapnya.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

9

Pada suatu kesempatan, dengan gerakan kilat sekonyong-konyong orang she Ih kena
ditempeleng sekali lagi oleh Peng-ci. Tamparan yang lebih keras ini membuat orang she Ih
menjadi murka, bentaknya, “Anak kelinci yang tidak kenal selatan, karena kulihat mukamu
manis, maka aku ingin memeluk kau, sebaliknya kau malah menghajar kekasihmu ini ya?”
Mendadak ilmu pukulannya lantas berubah, ia balas menyerang dengan gencar, kepalan
bekerja naik turun menghantam.
Pertarungan kedua orang yang berlangsung dengan seru itu akhirnya sampai berpindah ke luar
warung arak itu.
Ketika orang she Ih mendadak memukul ke depan, tiba-tiba Peng-ci teringat kepada ajaran
ayahnya, dengan gaya dorong, ia tangkis dan mendorong tenaga pukulan lawan ke samping.
Tak terduga tenaga orang she Ih itu ternyata sangat kuat, dorongan itu ternyata tidak mempan,
“bluk,” malah dada Peng-ci kena terhantam. Dalam keadaan sempoyongan tahu-tahu Peng-ci
merasa baju lehernya telah kena dicengkeram tangan kiri lawan. Ketika orang itu menekan
sekuatnya ke bawah, setengah badan Peng-ci sampai membungkuk ke bawah. Menyusul
dengan gaya “Tiat-bun-kam” (palang pintu besi), dengan melintangkan telapak tangan, orang
itu mengancam di atas kuduk Peng-ci sambil mengejek, “Hahaha! Anak kura-kura, sekarang
kau boleh menjura tiga kali dan panggil tiga kali paman yang baik padaku barulah akan
kulepaskan kau.”
Melihat majikan muda mereka kena dibekuk musuh, keruan Su dan The-piauthau terperanjat,
serentak mereka meninggalkan lawan yang sedang dihadapi untuk menolong Peng-ci. Akan
tetapi orang she Keh itu segera menghantam dan menendang sehingga mereka sukar
menyingkir.
Pek Ji lekas-lekas angkat tombaknya dan menusuk ke punggung orang she Ih sambil
berteriak, “Kau mau lepas tangan tidak? Apakah kau ingin mampus ....”
Belum habis ucapannya, tanpa menoleh mendadak orang she Ih menyepak ke belakang
dengan kaki kiri sehingga tombak itu mencelat beberapa meter jauhnya, bahkan kaki kanan
juga lantas mendepak sehingga Pek Ji terguling-guling beberapa kali dan meringis kesakitan
tak sanggup berdiri untuk sekian lamanya.
“Anak jadah, bangsat keparat! Terkutuklah kakek moyangmu tujuh belas turunan!” demikian
Tan Jit ikut mencaci maki, tapi bukannya menerjang maju, sebaliknya ia mundur-mundur
ketakutan.
“Nah, nona manis, kau mau menjura padaku atau tidak?” tanya pula si orang she Ih dengan
tertawa. Ketika ia tambahi tenaga pada tangan yang melintang di atas kuduk sehingga kepala
Peng-ci ikut tertahan ke bawah, makin tahan makin rendah sampai batok kepalanya hampirhampir menyentuh tanah.
Peng-ci mengayun kepalan dengan maksud hendak menggenjot perut lawan, tapi selalu
kurang beberapa senti dan tak dapat mencapai sasarannya. Sebaliknya tulang tengkuk terasa
kesakitan seakan-akan patah, mata pun berkunang-kunang dan telinga mendenging.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

10

Dalam keadaan kepepet, kedua tangan Peng-ci menghantam dan mencakar serabutan,
sekonyong-konyong tangannya tersentuh sesuatu benda yang terselip di betisnya, tanpa pikir
lagi benda itu terus disambarnya dan segera ditubleskan ke depan sehingga menancap di perut
orang she Ih.
Kontan orang she Ih itu menjerit dan mengendurkan kedua tangannya sambil mundur dua-tiga
langkah, air mukanya tampak menampilkan rasa takut dan ngeri. Ternyata di atas perutnya
telah menancap sebilah belati warna emas, mulut orang she Ih kelihatan terpentang, seperti
ingin menjerit atau bicara, tapi tak keluar suaranya. Tangan tampak hendak mencabut belati
yang menancap di perutnya sendiri itu, tapi juga tidak berani.
Walaupun berhasil melukai lawannya, namun Peng-ci juga berdebar-debar ketakutan, ia pun
melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara itu orang she Keh dan kedua Piauthau juga sudah berhenti bertempur, mereka
ternganga kaget memandangi orang she Ih. Tertampaklah orang she Ih itu mulai terhuyunghuyung, tiba-tiba tangan kanan memegang gagang belati terus dicabut sekuatnya, seketika
darah segar memuncrat keluar sampai dua-tiga meter jauhnya. Beberapa orang yang
menyaksikan itu sampai menjerit kaget.
“Keh ... Keh-loji ... ka ... katakanlah ke ... kepada ayah supaya balaskan sakit hatiku,” seru
orang she Ih dengan terputus-putus sambil melemparkan belati warna kuning gemerlapan itu
ke depan.
Cepat orang she Keh sambar belati yang melayang ke arahnya itu sambil berseru, “Ih-hiante,
Ih-hiante!” Berbareng ia terus memburu maju.
Namun si orang she Ih sudah lantas roboh tersungkur, setelah berkelojotan beberapa kali lalu
tidak bergerak lagi.
“Ambil senjata!” seru Su-piauthau dengan suara tertahan kepada kawannya. Segera ia
mendahului berlari ke samping kudanya dan menyiapkan senjatanya. Sebagai seorang
Kangouw kawakan ia tahu sesudah terjadinya korban jiwa, tentu orang she Keh itu akan
melabrak mereka dengan mati-matian.
Tapi orang she Keh itu ternyata tidak menerjang maju lagi, ia sadar dalam keadaan sendirian
tentu sukar mengalahkan jumlah lawan yang lebih banyak, jangan-jangan dia akan ikut
terbinasa sehingga sakit hati mereka tentu takkan terbalas lagi. Ia pikir jalan paling selamat
ialah kabur saja.
Begitulah, mendadak ia lompat ke samping kudanya, sekali cemplak ia sudah berada di atas
pelana, “sret,” ia potong tali kendali kuda yang tertambat itu terus melarikan kudanya secepat
terbang ke arah utara.
Bab 2________
Tan Jit coba mendekati mayat orang she Ih itu dan menendangnya sekali sehingga mayat itu
terbalik ke atas. Darah tampak masih mengucur keluar dari luka di bagian perut. "Inilah
ganjaranmu, mungkin kau memang sudah bosan hidup, maka kau berani mengusik
Siaupiauthau kami?!"

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

11

Baru pertama kali inilah Peng-ci membunuh orang, keruan air mukanya pucat saking
takutnya. Katanya dengan gemetar, "Su ... Su-piauthau ... bagai ... bagaimana baiknya ini!
Sesungguhnya aku ... aku tidak bermaksud membunuh dia!"
Su-piauthau mengerut kening, katanya kemudian, "Lekas kita menyeret mayat itu ke dalam
warung, di sini dekat jalan raya, jangan-jangan nanti dilihat orang?"
Untunglah waktu itu sudah dekat magrib, jalanan sudah sepi. Cepat Pek Ji dan Tan Jit lantas
menggotong jenazah itu ke dalam warung.
"Siaupiauthau, apakah engkau membawa uang?" bisik Su-piauthau kepada majikan muda itu.
"Ada, ada!" cepat Peng-ci menjawab sambil mengeluarkan seluruh isi kantongnya yang
berjumlah 20-an tahil perak.
Sesudah menerima uang perak itu, Su-piauthau lantas masuk ke dalam warung, ia taruh semua
uang itu di atas meja, lalu berkata kepada si kakek, "Sat-lothau, kau sendiri telah
menyaksikan, orang dari daerah lain ini tadi telah menggoda cucu perempuanmu, karena
membela kebenaran, Siaupiauthau kami terpaksa telah membunuhnya. Urusan ini timbul dari
diri kalian, kalau sampai meluas tentu kalian pun takkan terlepas dari persoalan ini. Beberapa
tahil uang perak ini boleh kau gunakan dahulu, marilah kita kubur jenazah ini, kemudian kita
dapat berunding cara bagaimana untuk menutupi peristiwa ini."
"Ya, ya, ya!" cepat si kakek Sat menyetujui.
"Hok-wi-piaukiok kami sudah biasa berkelana di luaran, kalau cuma membunuh beberapa
orang penjahat saja adalah soal terlalu kecil," The-piauthau ikut bicara. "Kedua tikus Sucwan
ini datang-datang lantas celingukan seperti maling, kalau bukan kaum bandit tentu juga
penjahat yang biasa merusak kaum wanita, besar kemungkinan kedatangan mereka ke Hokciu
sini adalah untuk melakukan kejahatan, keamanan kota Hokciu tentu akan terganggu, jasa
Siaupiauthau kami ini sebenarnya cukup besar. Cuma beliau tidak suka banyak urusan, lebih
baik persoalan ini dianggap tidak ada saja. Maka hendaklah engkau tutup mulut yang rapat,
kalau urusan ini sampai bocor, tentu kalian akan celaka sendiri. Masakan kalian baru saja
membuka warung arak ini lantas kedatangan kedua bandit dari luar daerah, terang kalian telah
bersekongkol dengan mereka, kalau tidak, masakah sedemikian kebetulan?"
Terpaksa Sat-lothau hanya mengiakan saja dan menyatakan akan tutup mulut.
Lalu Su-piauthau memimpin Pek Ji dan Tan Jit mengubur jenazah itu di kebun sayur di
belakang warung arak. Noda darah di depan warung lantas dipaculi pula sehingga lenyap.
Kemudian Su-piauthau berkata lagi kepada Sat-lothau, "Dalam sepuluh hari kalau tidak
terjadi apa-apa, tentu kami akan mengantar 50 tahil perak lagi kepadamu. Tapi kalau kau
sembarangan mengoceh di luaran, hm-hm, biasanya Hok-wi-piaukiok juga sudah banyak
membinasakan kawanan bangsat, kalau tidak ada seribu juga sudah ada delapan ratus, jika
ditambah lagi kalian berdua tua dan muda ini paling-paling kebun sayurmu itu yang akan
bertambah dengan dua kerangka tengkorak saja."

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

12

"Terima kasih, terima kasih! Pasti takkan kukatakan kepada siapa pun juga," sahut Sat-lothau
dengan takut-takut.
Selesai mengatur seperlunya, sementara itu hari pun sudah gelap. Perasaan Peng-ci menjadi
rada lega. Kemudian pulanglah dia dengan hati kurang tenteram.
Waktu memasuki ruangan depan, dilihatnya sang ayah duduk di atas kursi malas dan sedang
memejamkan mata, entah apa yang sedang direnungkan.
"Ayah!" dengan sikap agak kaku Peng-ci menyapa.
Padahal Hok-wi-piaukiok sudah tiga turunan menjalankan pekerjaan pengawalan, dalam hal
berkelahi dan membunuh orang sudah tentu sukar dihindarkan, cuma yang dibunuh semuanya
adalah orang-orang dari golongan jahat, apalagi peristiwa demikian itu biasanya terjadi di
pegunungan atau rimba yang sepi, bila jatuh korban lantas dikubur saja di situ dan habis
perkara.
Tapi orang yang dibunuhnya sekali ini terang bukan kaum garong atau sebangsanya, tempat
kejadian berdekatan pula dengan kota, perkara jiwa bukanlah soal kecil, jangankan cuma
putra pengusaha Piaukiok, sekalipun putra gubernur atau menteri, jika membunuh orang juga
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Karena itulah sepanjang jalan benak Peng-ci terus bekerja, ia ragu apakah kejadian itu harus
dilaporkan kepada ayahnya atau tidak? Siapa duga begitu masuk rumah lantas kepergok sang
ayah dan terpaksa ia menyapa.
Tak tersangka air muka Lim Cin-lam ternyata sangat riang, ia malah bertanya, "Apa pulang
dari berburu? Apa hasilnya? Mendapatkan babi hutan atau tidak?"
"Tidak," jawab Peng-ci.
Sekonyong-konyong Cin-lam mengangkat Honcoe (pipa cangklong, pipa tembakau yang
panjang) terus menghantam ke pundak Peng-ci sambil membentak dengan tertawa, "Awas!"
Jika dalam keadaan biasa, karena tahu sang ayah sering kali secara mendadak menjajal
kepandaiannya, maka begitu melihat ayahnya mengeluarkan jurus ke-26 dari "Pi-sia-kiamhoat" yang disebut "Lin-sing-hui-tui" (cirit bintang jatuh melayang), tentu secara spontan dia
akan menangkis dengan gerakan "Hoa-khay-kian-hud" (bunga mekar menghadapi Buddha).
Tapi sekarang karena perasaannya tidak tenteram, disangkanya kejadian di warung arak itu
telah diketahui sehingga sang ayah hendak menghajarnya dengan pipa cangklong itu, maka ia
tidak berani berkelit dan hanya berseru saja, "Ayah!"
"He, ada apakah?" tegur Cin-lam sambil menahan cangklongnya ketika hampir mengetok
pundak putranya, hanya tinggal beberapa senti saja jaraknya. "Sedemikian lamban
gerakanmu, kalau ketemukan musuh tangguh tentu sebelah bahumu ini sudah berpisah dengan
badanmu."
Walaupun nadanya mengomel, tapi wajahnya tetap tersenyum simpul.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

13

Peng-ci mengiakan dan segera mendak ke bawah, dengan cepat ia memutar ke belakang sang
ayah, sekalian ia sambar kemoceng (bulu ayam) yang terletak di atas meja teh dan segera ia
tusukkan punggung ayahnya. Gerakan ini tepat adalah jurus Hoa-khay-kian-hud.
"Cara beginilah baru betul," ujar Cin-lam dengan tertawa. Berbareng cangklongnya lantas
menangkis, menyusul ia balas menyerang lagi dalam jurus "Kang-siang-long-tek" (meniup
seruling di tengah sungai).
Dengan semangat Peng-ci juga lantas patahkan serangan sang ayah dengan jurus "Ci-gi-tonglay" (pelangi melintang dari timur).
Setelah 50-an jurus mereka bergebrak, mendadak cangklong Cin-lam menutuk cepat ke
depan, dengan perlahan dada kiri Peng-ci tertutuk sekali, karena tak sempat menangkis,
seketika pemuda itu merasakan lengan kanan kaku kesemutan sehingga kemoceng yang
dipegangnya terlepas dari cekalan.
"Bagus, bagus! Selama sebulan ini sudah ada kemajuanmu, hari ini kau lebih banyak
menangkis empat jurus seranganku!" kata Cin-lam dengan tersenyum sambil bersandar
kembali pada kursi malasnya. Sesudah mengisi tembakau pada pipanya, lalu katanya pula,
"Anak Peng, akan kuberi tahukan bahwa hari ini kita telah menerima suatu berita baik."
Cepat Peng-ci mengambil batu api dan mengetik api untuk menyalakan tembakau di pipa
ayahnya, lalu bertanya, "Barangkali ayah telah menerima suatu partai barang kawalan yang
besar?"
"Bukan soal perusahaan," sahut Cin-lam. "Asalkan kekuatan kita cukup, masakan khawatir
tiada barang kawalan yang datang sendiri. Yang kita khawatirkan justru ada barang kawalan
yang disodorkan kepada kita, tapi kita tidak sanggup menerimanya."
Setelah mengembuskan asap tembakaunya, lalu sambungnya pula, "Yang kumaksudkan berita
baik adalah pulangnya Li-piauthau dari Kangsay, ia telah bawa kembali berita tentang barangbarang sumbangan yang kita kirim telah diterima dengan baik oleh Ih-koancu di Siong-hongkoan, itu tokoh utama Jing-sia-pay di Sucwan Barat."
Mendengar kata-kata "Ih-koancu" di "Sucwan Barat" itu, hati Peng-ci lantas berdebur keras.
Cepat ia menegas, "Barang-barang sumbangan kita itu telah diterima?"
"Ya," sahut Cin-lam. "Tentang urusan perusahaan memang jarang kubicarakan padamu
sehingga kau pun kurang jelas. Cuma kau sudah mulai dewasa, lambat laun beban yang
kupikul selama ini harus kupindahkan juga ke atas bahumu, maka selanjutnya kau harus lebih
banyak ikut memerhatikan dan mempelajari pekerjaan perusahaan kita. Nak, sudah tiga
turunan kita melakukan pekerjaan mengawal, adanya kemajuan-kemajuan yang diperoleh
perusahaan kita selama ini adalah pertama, berkat nama kebesaran kakek-besarmu dahulu,
kedua, memang kepandaian yang diturunkan leluhur kita pun bukan dari golongan lemah
sehingga dapat mencapai kejayaan seperti sekarang ini. Akan tetapi urusan dunia Kangouw
tidaklah begitu sederhana, nama memang juga penting, tapi hanya mengambil dua bagian
saja, kepandaian orangnya juga mengambil tempat dua bagian, keenam bagian sisanya
sesungguhnya adalah berkat kerja sama di antara kawan-kawan baik dari kalangan Pek-to
(kaum kesatria yang baik) maupun Hek-to (golongan penjahat). Coba kau pikir sendiri, kereta
barang Hok-wi-piaukiok kita sudah menjelajahi 12 provinsi, jika setiap kali perjalanan harus

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

14

bertempur dan bertanding dengan orang, dari mana kita mempunyai nyawa sedemikian
banyak untuk bertempur? Padahal biarpun menang, pihak kita sendiri juga tidak terhindar dari
korban, dan untuk ganti kerugian dan uang pensiun para petugas kita yang gugur itu pun
diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, bukan mustahil kita harus tambal dari kas sendiri
karena honorarium pengawalan yang kita terima tidak mencukupi."
Peng-ci hanya mengiakan saja. Dalam benaknya sudah terbayang-bayang kata-kata "Ihkoancu" dari "Sucwan Barat" tadi sehingga apa yang diuraikan ayahnya tiada separuh yang
masuk ke dalam telinganya.
Dalam pada itu, Cin-lam telah menyambung, "Maka dari itu, kita yang hidup dari usaha
pengawalan ini harus mengutamakan persahabatan, tangan juga harus terbuka. Hal-hal ini
jauh lebih penting daripada main senjata ataupun mengandalkan kepandaian sejati."
Kalau di hari-hari biasa, bilamana Peng-ci mendengar sang ayah bicara tentang usaha Hokwi-piaukiok yang lambat laun akan dibebankan ke atas bahunya, tentulah Peng-ci akan
terbangkit semangat dan mengadakan pembicaraan lebih mendalam dengan ayahnya. Tapi
sekarang hatinya berdebur-debur keras sehingga ucapan ayahnya tidak menimbulkan
hasratnya untuk bicara.
Cin-lam ketok-ketok pipa cangklongnya di atas lantai untuk mengeluarkan abu tembakau, lalu
berkata pula, "Ilmu silat ayah sudah tentu tak bisa melebihi kakek-besarmu, juga belum dapat
memadai eyangmu. Akan tetapi kemajuan perusahaan pengawalan ini dapat kubanggakan
telah berkembang lebih banyak daripada leluhurmu itu. Apa rahasia sukses ayahmu ini? Haha,
tidak lain adalah 'banyak bersahabat sedikit bermusuhan', hanya ini saja. Haha, haha!"
Peng-ci ikut tertawa beberapa kali, tapi sedikit pun tiada mengandung rasa gembira yang
sesungguhnya.
Rupanya Cin-lam tidak mengetahui sikap putranya yang gelisah itu, katanya pula, "Usaha
Piaukiok kita telah mencapai provinsi Oupak, lalu berhenti. Maka aku pikir mengapa kita
tidak meneruskannya sehingga ke wilayah Sucwan. Provinsi Sucwan adalah daerah yang
paling subur dan makmur, jika kita dapat menembus daerah ini sehingga ke utara akan sampai
di Siamsay, ke selatan akan mencapai Hunlam dan Kuiciu, dengan demikian perusahaan kita
sedikitnya akan tambah besar tiga bagian. Cuma daerah Sucwan adalah tempat yang terkenal
banyak orang-orang kosen, kalau kereta barang Hok-wi-piaukiok ingin melalui Sucwan,
sedikitnya harus berhubungan baik dengan Jing-sia dan Go-bi-pay.
"Sejak tiga tahun yang lalu, tiap-tiap tahun baru selalu aku mengirimkan hadiah-hadiah
berharga dan khusus mengutus orang mengantarkan ke Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay
dan Kim-teng-si di Go-bi-san. Akan tetapi kedua Ciangbunjin Jing-sia-pay dan Go-bi-pay itu
belum pernah menerima hadiah-hadiah kita. Kim-kong Siangjin dari Go-bi-pay masih
mendingan, dia masih mau menemui dan mengucapkan terima kasih serta menjamunya, habis
itu hadiah yang kita kirim itu diretur kembali tanpa disentuh sedikit pun.
"Sedangkan Ih-koancu Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay itu benar-benar sangat aneh, baru
saja utusan kita sampai di lamping gunungnya sudah lantas dicegah, katanya Ih-koancu
sedang tirakat dan semadi, sementara ini tidak menerima tamu. Segala barang di dalam kuil
mereka cukup tersedia, maka tidak mau terima hadiah dari luar. Dalam keadaan begitu
jangankan menemui Ih-koancu mereka, sampai-sampai menghadap ke arah mana pintu kuil

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

15

mereka juga tidak tahu. Sepulangnya para Piauthau yang kita kirim setiap tahun itu tentu
maki-maki, katanya kalau tidak mengingat pesanku yang melarang mereka umbar kemarahan
biarpun pihak sana memperlakukan apa pun kepada mereka, mungkin mereka sudah lantas
ajak berkelahi pada orang-orang yang tak kenal kebaikan itu."
Sampai di sini Cin-lam lantas berbangkit, dengan gembira ia menyambung pula, "Dan sekali
ini ternyata Ih-koancu mau terima hadiah yang kukirim, bahkan mengatakan telah mengirim
empat orang anak muridnya balas berkunjung ke Hokkian sini ...."
"Empat orang? Bukan dua orang?" mendadak Peng-ci menyela.
"Benar, empat orang muridnya," sahut Cin-lam. "Coba pikir, sedemikian Ih-koancu
memandang penting urusan ini, bukankah ini suatu penghargaan bagi Hok-wi-piaukiok kita?
Sebab itulah sore tadi aku sudah mengirim orang secara kilat pergi memberi tahu pada kantorkantor cabang di Kangsay, Oulam dan Oupak agar sepanjang jalan memberi sambutan sebaikbaiknya kepada keempat tamu agung dari Jing-sia-pay itu."
"Ayah, apakah orang Sucwan kalau bicara suka menyebut orang lain sebagai 'anak kura-kura'
dan 'anak kelinci' segala?" tanya Peng-ci tiba-tiba.
"Ah, itu kan ucapan orang kasar," ujar Cin-lam dengan tertawa. "Orang kasar di mana-mana
pun ada dan ucapan mereka sudah tentu kasar pula. Seperti pegawai-pegawai kita sebangsa
tukang kawal, tukang kereta, di kala berjudi dan minum arak bukankah mereka pun suka
mengumpat maki yang bahkan jauh lebih kasar dan kotor daripada orang Sucwan. Ada apa sih
kau menanyakan hal demikian?"
"Tidak apa-apa," sahut Peng-ci.
Maka Cin-lam memberi pesan pula, "Nanti kalau keempat murid Jing-sia-pay itu sudah
datang, kau harus lebih berdekatan dengan mereka, belajarlah sedikit gaya murid dari
golongan ternama. Rasanya akan sangat berfaedah bagimu bilamana dapat bersahabat dengan
kawan-kawan seperti itu ...."
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara orang ribut di luar, menyusul beberapa
orang tampak berlari masuk dengan gugup.
Cin-lam mengerut kening dan anggap orang-orang itu benar-benar tidak tahu aturan. Kiranya
yang datang itu adalah tiga tukang kawal, satu di antaranya segera berkata dengan suara
tergagap-gagap karena napasnya tersengal-sengal, "Cong ... Congpiauthau ...."

"Ada urusan apa, koh ribut-ribut begini?" potong Cin-lam.
"Pek ... Pek Ji sudah mati," sambung seorang tukang kawal yang lain.
Baru sekarang Cin-lam terkejut. Tanyanya cepat, "Siapa yang membunuh dia? Kalian berjudi
dan berkelahi bukan?"
Diam-diam ia mendongkol terhadap anak buahnya yang kasar itu, sedikit-sedikit lantas
berkelahi, sekarang telah terjadi perkara jiwa, tentu akan banyak mendatangkan kesukaran.

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

16

"Bukan, bukan! Tadi waktu Siau Li pergi ke kakus, mendadak dilihatnya Pek Ji sudah
menggeletak di kebun sayur di samping kakus," demikian timbrung Tan Jit yang entah sejak
kapan sudah masuk juga. "Anehnya tiada terdapat tanda-tanda luka di atas badan Pek Ji, entah
apa yang menyebabkan kematiannya. Mungkin ... mungkin terkena penyakit maut sehingga
mati mendadak."
"Coba kupergi melihatnya," kata Cin-lam. Segera ia menuju ke kebun sayur dengan diikuti
Peng-ci dari belakang.
Sampai di tengah kebun sayur, tertampak beberapa orang berkerumun di situ. Melihat
pemimpin mereka sudah datang, segera mereka memberi jalan.
Cin-lam melihat pakaian Pek Ji sudah dibuka orang, tapi di atas badannya tiada noda darah
sedikit pun. Segera ia tanya Ciok-piauthau yang berdiri di sebelahnya, "Apakah tiada tandatanda terluka?"
"Sudah kuperiksa dengan teliti dan ternyata sekujur badannya tiada tanda luka sedikit pun,
tampaknya juga bukan keracunan," sahut Ciok-piausu.
Muka Pek Ji ternyata biasa saja, sedikit pun tiada tanda-tanda matang biru keracunan, ujung
mulutnya malah mengulum senyum.
Tiada jalan lain Cin-lam hanya mengangguk saja dan berkata, "Beri tahukan kepada Tangsiansing, suruh dia mengurus penguburan Pek Ji dan kirimkan 100 tahil perak kepada
keluarganya."
Kiranya sejak Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok sudah ada peraturan tentang
jaminan sosial bagi para petugas yang gugur atau cacat dalam melakukan tugas, juga sakit dan
kematian mendapat pensiun dalam jumlah uang tertentu. Ketika Lim Cin-lam memimpin
Piaukiok, jaminan sosial itu sudah diperbaiki pula dan ditambah dua kali.
Bahwasanya cuma kematian seorang tukang kawal saja sudah tentu tidak terlalu dipikirkan
oleh Cin-lam. Setelah memberi perintah seperlunya lalu ia kembali ke ruangan tengah.
Katanya kepada putranya, "Apakah tadi Pek Ji tidak ikut pergi berburu?"
"Ikut," sahut Peng-ci. "Waktu pulang tadi masih segar bugar, siapa duga mendadak diserang
penyakit dan meninggal."
"Ya, semua ini benar-benar terlalu mendadak," ujar Cin-lam. "Sudah lama aku ingin buka
jalan ke daerah Sucwan dan selalu gagal, siapa duga Ih-koancu mendadak terbuka pikirannya
dan mau menerima hadiahku, bahkan mengirimkan empat orang muridnya untuk mengadakan
kunjungan balasan padaku."
Tiba-Peng-ci berkata, "Ayah, meski Jing-sia-pay adalah golongan terkemuka di dunia
persilatan, tetapi nama ayah dan Hok-wi-piaukiok kita toh tidak lemah di mata orang-orang
Kangouw. Kita sudah mengirimkan oleh-oleh setiap tahunnya, kalau sekarang Ih-koancu
mengirim orangnya kemari, bukankah ini pun merupakan kehormatan timbal balik saja?"

Hina Kelana > karya Jin Yong > disadur oleh Gan K.L. > published by buyankaba.com

17

"Kau tahu apa?" sahut Cin-lam dengan tertawa. "Jing-sia dan Go-bi-pay di daerah Sucwan itu
sama-sama terkenal seperti Siau-lim dan Bu-tong-pay. Sejarah mereka pun sudah beberapa
ratus tahun lamanya, tidak sedikit terdapat bibit-bibit baru di antara anak muridnya, mereka
benar-benar sangat hebat. Sebaliknya ilmu silat keluarga Lim kita walaupun tidak lemah,
namun sama sekali kita tidak membuka pintu dan menerima murid, pada angkatanku ini
hanya melulu aku seorang, pada angkatanmu juga cuma kau sendirian, dari mana kita dapat
dibandingkan denga