Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Kebonbimo dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948 - 1949 T1 152010013 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah sekian lama berada dalam belenggu penjajahan, tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Proklamasi kemerdekaan yang disampaikan oleh
Soekarno dan Muhammad Hatta, sebagai wakil dari bangsa Indonesia
(Garda Maeswara, 2010:3).
Dengan proklamasi bukan berarti bahwa perjuangan bangsa
Indonesia telah selesai, tetapi proklamasi itu harus mendapatkan
pengakuan dari dunia internasional. Di samping itu juga harus berusaha
untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Selama lima tahun yaitu
dari 1945-1949, bangsa Indonesia telah berjuang dengan sekuat tenaga,
baik dengan melalui secara fisik maupun secara diplomasi untuk berusaha
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman bangsa asing, terutama
Belanda yang masih merasa berkuasa di Indonesia dan tidak mengakui
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sementara bangsa Indonesia
merasa bahwa dengan proklamasi kemerdekaan telah menjadi negara yang
merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan. Dari dua persepsi yang
berbeda antara Belanda dan Indonesia tersebut, maka timbullah
pertentangan antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tahun
1945-1949 yang dikenal dengan periode perang kemerdekaan Indonesia
(Subaryana, 2004:5-6).
1
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan serangan secara
serentak di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera. Di
Sumatera pasukan Belanda berangkat dari Medan menuju ke Palembang,
Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Barat. Sedangkan di Jawa pasukan
Belanda bergerak dari berbagai arah untuk menuju Kota Yogyakarta, yang
pada waktu itu menjadi Ibukota dari Republik Indonesia. Serangan secara
serentak yang dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dinamakan dengan
Agresi Militer Belanda I yang telah melanggar perjanjian Linggarjati
dengan menyerang beberapa wilayah RI. Sementara dipihak Belanda
menyebut serangan tersebut dengan istilah aksi Polisionil, Karena seluruh
wilayah Indonesia dianggap masih menjadi kekuasaannya (Subaryana,
2004:36). Tujuan utama dari Belanda melancarkan Agresi Militer I yaitu
untuk memperluas wilayah kekuasaannya di Jawa, Madura dan Sumatera.
Sehingga kekuatan Republik Indonesia akan menjadi lemah dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) akan terdesak dalam daerah sempit (C.S.T.
Kansil dan Julianto, 1984:50).
Akibat Agresi Militer Belanda I maka diadakan perundingan damai
Renville.
Perjuangan
diplomasi
melalui
persetujuan
Renville
menimbulkan perpecahan dikalangan politisi dan kekecewaan di kalangan
para pejuang karena setelah ditandatanganinya perjanjian Renville pada
tanggal 17 Januari 1948, bagi bangsa Indonesia tidak diuntungkan.
Sehingga menimbulkan kekecewaan dan dibuktikan dengan timbulnya
2
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun (Sewan
Susanto, 1985:38).
Sejak berlakunya perjanjian Renville dan menghentikan tembak
menembak. Pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel, wakil Tinggi
Mahkota Belanda menyatakan bahwa Belanda sudah tidak terikat dengan
persetujuan Renville dan pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan
Belanda melakukan serangan umum terhadap wilayah Republik Indonesia
yang disebut dengan Agresi Militer II. Untuk menghadapi aksi yang
dilakukan pasukan Belanda maka TNI melancarkan perang rakyat semesta
dan pasukan-pasukan hijrah untuk dikirim kembali kedaerah asal, sehingga
seluruh wilayah pendudukan Belanda dijadikan medan gerilya (Wiyono
dkk, 1991:105).
Pada tanggal 19 Desember 1948, jam 05.30 WIB pasukan Belanda
secara mendadak melakukan serangan melalui udara ke pangkalan udara
Maguwo di Yogyakarta. Dalam waktu yang bersamaan, diberbagai front
kesatuan pelopor Belanda bergerak serentak menerobos garis demarkasi.
Selain dengan serangan udara, pasukan Belanda menggunakan serangan
tembakan artileri. Melalui sebelah Barat pasukan Belanda Brigade “W”
menerobos front Gombong yang terus bergerak ke Purworejo sampai
Magelang. Dari arah Utara, pasukan Belanda Brigade V yang
berkedudukan di Salatiga mendobrak garis pertahanan TNI yang terus
bergerak ke Boyolali dan menuju arah Solo. Setelah sampai di Kartasura
pasukan Belanda sebagian masuk kota Solo dan sebagian pasukan lainnya
3
bergerak ke arah Yogyakarta yang bergabung dengan Corps pasukan
khusus yang diterjunkan di Maguwo (Moehkardi, 1983:173-175).
Pasukan militer Belanda berhasil menduduki Solo pada tanggal 22
Desember 1948. Karena serangan Belanda secara mendadak sehingga
pasukan Tentara Pelajar yang berada di Solo mengundurkan diri ke luar
kota, disertai dengan mengadakan konsolidasi dan menyusun persiapan
perang gerilya menghadapi pasukan Belanda (Sewan Susanto, 1985:81).
Dalam mengundurkan diri ke luar kota Solo selama masa Agresi Militer
Belanda II, seperti kesatuan dari pasukan Tentara Pelajar Strum
Abteilung/Corps Sukarela Angkatan (SA/CSA), yang bertugas di wilayah
Kabupaten Boyolali salah satunya sampai di Desa Kebonbimo.
Desa Kebonbimo terletak disebelah Utara Kota Boyolali, kurang
lebih 4 KM arah Utara dari Kota Boyolali. Pada masa Agresi Militer
Belanda II, jumlah masyarakat di Desa Kebonbimo belum padat. Desa
Kebonbimo adalah desa yang belum ramai dengan letaknya yang strategis,
dekat dengan jalan raya Salatiga-Solo, berada di antara jalan SimoBoyolali Kota, terletak diantara dua sungai yaitu Kali Pepe di sebelah
Utara Desa Kebonbimo yang sekaligus berbatasan langsung dengan Desa
Pager (wilayah Kab. Semarang) dan Kali Tlatar di sebelah Selatan Desa
Kebonbimo yang berbatasan dengan Desa Mudal.
Dari faktor tempat yang strategis itulah dan adanya Umbul (sumber
mata air), Desa Kebonbimo menjadi salah satu basis gerilyawan dari
kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA. Meskipun suasana pedesaan masih
4
terlihat, hal tersebut tidak mengurangi rasa nasionalisme dan patriotisme
bagi masyarakat Desa Kebonbimo untuk mendukung Tentara Pelajar
SA/CSA
yang
rela
mengorbankan
jiwa,
raga
dan
harta
demi
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1948-1949.
Para eks Tentara Pelajar SA/CSA menyadari bahwa langkah yang
harus ditempuh setelah dapat mengusir Belanda dari wilayah Republik
Indonesia adalah harus membangun bangsa dan Negara. Dasar untuk
membangun dan mencerdaskan bangsa adalah melalui pendidikan, sebagai
salah satu sarana memupuk rasa kebangsaan. Melalui landasan inilah eks
Tentara Pelajar SA/CSA membangun sekolah di tengah-tengah masyarakat
pedesaan yang pada waktu perang gerilya melawan tentara Belanda
digunakan sebagai basis (Eks Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:2).
Sebagai tanda bukti ucapan terima kasih kepada masyarakat Dukuh
Tlatar dan sekitarnya yang sudah membantu pada masa gerilya dari para
eks Tentara Pelajar SA/CSA yang dahulu berjuang di daerah Tlatar dan
sekitarnya ditambah dengan adanya usulan serta masukan Pamong Desa
dari 9 kelurahan yaitu Kebonbimo, Mudal, Pager, Kener, Udanuwuh,
Kradenan, Siwal, Dlingo, dan Ngargosari, mendirikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di Tlatar. Selain mendirikan sekolah (SMA), juga
membangun monumen perjuangan masyarakat bersama Pelajar Pejuang
(Tentara Pelajar SA/CSA) tepatnya di halaman depan sekolah SMA N 2
Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo dimana lebih dikenal
masyarakat dengan Patung Pruputan yang diresmikan pada tanggal 19 Juli
5
1982 (Ex Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:3-6). Berdasarkan latar belakang
di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang Peran Masyarakat
Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada
Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana peran masyarakat
Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada
Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949 ?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang Peran masyarakat
Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada
Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949, melalui Bidang Perjuangan
Fisik, Bidang Logistik, Bidang Komunikasi, dan Bidang Kesehatan.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai bahan
masukan untuk:
1. Memperkaya pengetahuan tentang bagaimana peran masyarakat
Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara Pelajar
SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
6
2. Memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan sejarah pada
khususnya yaitu mengenai materi sejarah lokal.
b. Manfaat Praktis
1. Sarana menanamkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme pada
masyarakat Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten
Boyolali pada umumnya dan generasi muda pada khususnya.
2. Memberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan peran
masyarakat Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara
Pelajar SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
7
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah sekian lama berada dalam belenggu penjajahan, tanggal 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Proklamasi kemerdekaan yang disampaikan oleh
Soekarno dan Muhammad Hatta, sebagai wakil dari bangsa Indonesia
(Garda Maeswara, 2010:3).
Dengan proklamasi bukan berarti bahwa perjuangan bangsa
Indonesia telah selesai, tetapi proklamasi itu harus mendapatkan
pengakuan dari dunia internasional. Di samping itu juga harus berusaha
untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Selama lima tahun yaitu
dari 1945-1949, bangsa Indonesia telah berjuang dengan sekuat tenaga,
baik dengan melalui secara fisik maupun secara diplomasi untuk berusaha
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman bangsa asing, terutama
Belanda yang masih merasa berkuasa di Indonesia dan tidak mengakui
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sementara bangsa Indonesia
merasa bahwa dengan proklamasi kemerdekaan telah menjadi negara yang
merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan. Dari dua persepsi yang
berbeda antara Belanda dan Indonesia tersebut, maka timbullah
pertentangan antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tahun
1945-1949 yang dikenal dengan periode perang kemerdekaan Indonesia
(Subaryana, 2004:5-6).
1
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengadakan serangan secara
serentak di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera. Di
Sumatera pasukan Belanda berangkat dari Medan menuju ke Palembang,
Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Barat. Sedangkan di Jawa pasukan
Belanda bergerak dari berbagai arah untuk menuju Kota Yogyakarta, yang
pada waktu itu menjadi Ibukota dari Republik Indonesia. Serangan secara
serentak yang dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dinamakan dengan
Agresi Militer Belanda I yang telah melanggar perjanjian Linggarjati
dengan menyerang beberapa wilayah RI. Sementara dipihak Belanda
menyebut serangan tersebut dengan istilah aksi Polisionil, Karena seluruh
wilayah Indonesia dianggap masih menjadi kekuasaannya (Subaryana,
2004:36). Tujuan utama dari Belanda melancarkan Agresi Militer I yaitu
untuk memperluas wilayah kekuasaannya di Jawa, Madura dan Sumatera.
Sehingga kekuatan Republik Indonesia akan menjadi lemah dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) akan terdesak dalam daerah sempit (C.S.T.
Kansil dan Julianto, 1984:50).
Akibat Agresi Militer Belanda I maka diadakan perundingan damai
Renville.
Perjuangan
diplomasi
melalui
persetujuan
Renville
menimbulkan perpecahan dikalangan politisi dan kekecewaan di kalangan
para pejuang karena setelah ditandatanganinya perjanjian Renville pada
tanggal 17 Januari 1948, bagi bangsa Indonesia tidak diuntungkan.
Sehingga menimbulkan kekecewaan dan dibuktikan dengan timbulnya
2
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun (Sewan
Susanto, 1985:38).
Sejak berlakunya perjanjian Renville dan menghentikan tembak
menembak. Pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel, wakil Tinggi
Mahkota Belanda menyatakan bahwa Belanda sudah tidak terikat dengan
persetujuan Renville dan pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan
Belanda melakukan serangan umum terhadap wilayah Republik Indonesia
yang disebut dengan Agresi Militer II. Untuk menghadapi aksi yang
dilakukan pasukan Belanda maka TNI melancarkan perang rakyat semesta
dan pasukan-pasukan hijrah untuk dikirim kembali kedaerah asal, sehingga
seluruh wilayah pendudukan Belanda dijadikan medan gerilya (Wiyono
dkk, 1991:105).
Pada tanggal 19 Desember 1948, jam 05.30 WIB pasukan Belanda
secara mendadak melakukan serangan melalui udara ke pangkalan udara
Maguwo di Yogyakarta. Dalam waktu yang bersamaan, diberbagai front
kesatuan pelopor Belanda bergerak serentak menerobos garis demarkasi.
Selain dengan serangan udara, pasukan Belanda menggunakan serangan
tembakan artileri. Melalui sebelah Barat pasukan Belanda Brigade “W”
menerobos front Gombong yang terus bergerak ke Purworejo sampai
Magelang. Dari arah Utara, pasukan Belanda Brigade V yang
berkedudukan di Salatiga mendobrak garis pertahanan TNI yang terus
bergerak ke Boyolali dan menuju arah Solo. Setelah sampai di Kartasura
pasukan Belanda sebagian masuk kota Solo dan sebagian pasukan lainnya
3
bergerak ke arah Yogyakarta yang bergabung dengan Corps pasukan
khusus yang diterjunkan di Maguwo (Moehkardi, 1983:173-175).
Pasukan militer Belanda berhasil menduduki Solo pada tanggal 22
Desember 1948. Karena serangan Belanda secara mendadak sehingga
pasukan Tentara Pelajar yang berada di Solo mengundurkan diri ke luar
kota, disertai dengan mengadakan konsolidasi dan menyusun persiapan
perang gerilya menghadapi pasukan Belanda (Sewan Susanto, 1985:81).
Dalam mengundurkan diri ke luar kota Solo selama masa Agresi Militer
Belanda II, seperti kesatuan dari pasukan Tentara Pelajar Strum
Abteilung/Corps Sukarela Angkatan (SA/CSA), yang bertugas di wilayah
Kabupaten Boyolali salah satunya sampai di Desa Kebonbimo.
Desa Kebonbimo terletak disebelah Utara Kota Boyolali, kurang
lebih 4 KM arah Utara dari Kota Boyolali. Pada masa Agresi Militer
Belanda II, jumlah masyarakat di Desa Kebonbimo belum padat. Desa
Kebonbimo adalah desa yang belum ramai dengan letaknya yang strategis,
dekat dengan jalan raya Salatiga-Solo, berada di antara jalan SimoBoyolali Kota, terletak diantara dua sungai yaitu Kali Pepe di sebelah
Utara Desa Kebonbimo yang sekaligus berbatasan langsung dengan Desa
Pager (wilayah Kab. Semarang) dan Kali Tlatar di sebelah Selatan Desa
Kebonbimo yang berbatasan dengan Desa Mudal.
Dari faktor tempat yang strategis itulah dan adanya Umbul (sumber
mata air), Desa Kebonbimo menjadi salah satu basis gerilyawan dari
kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA. Meskipun suasana pedesaan masih
4
terlihat, hal tersebut tidak mengurangi rasa nasionalisme dan patriotisme
bagi masyarakat Desa Kebonbimo untuk mendukung Tentara Pelajar
SA/CSA
yang
rela
mengorbankan
jiwa,
raga
dan
harta
demi
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1948-1949.
Para eks Tentara Pelajar SA/CSA menyadari bahwa langkah yang
harus ditempuh setelah dapat mengusir Belanda dari wilayah Republik
Indonesia adalah harus membangun bangsa dan Negara. Dasar untuk
membangun dan mencerdaskan bangsa adalah melalui pendidikan, sebagai
salah satu sarana memupuk rasa kebangsaan. Melalui landasan inilah eks
Tentara Pelajar SA/CSA membangun sekolah di tengah-tengah masyarakat
pedesaan yang pada waktu perang gerilya melawan tentara Belanda
digunakan sebagai basis (Eks Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:2).
Sebagai tanda bukti ucapan terima kasih kepada masyarakat Dukuh
Tlatar dan sekitarnya yang sudah membantu pada masa gerilya dari para
eks Tentara Pelajar SA/CSA yang dahulu berjuang di daerah Tlatar dan
sekitarnya ditambah dengan adanya usulan serta masukan Pamong Desa
dari 9 kelurahan yaitu Kebonbimo, Mudal, Pager, Kener, Udanuwuh,
Kradenan, Siwal, Dlingo, dan Ngargosari, mendirikan Sekolah Menengah
Atas (SMA) di Tlatar. Selain mendirikan sekolah (SMA), juga
membangun monumen perjuangan masyarakat bersama Pelajar Pejuang
(Tentara Pelajar SA/CSA) tepatnya di halaman depan sekolah SMA N 2
Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo dimana lebih dikenal
masyarakat dengan Patung Pruputan yang diresmikan pada tanggal 19 Juli
5
1982 (Ex Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:3-6). Berdasarkan latar belakang
di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang Peran Masyarakat
Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada
Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana peran masyarakat
Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada
Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949 ?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang Peran masyarakat
Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada
Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949, melalui Bidang Perjuangan
Fisik, Bidang Logistik, Bidang Komunikasi, dan Bidang Kesehatan.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai bahan
masukan untuk:
1. Memperkaya pengetahuan tentang bagaimana peran masyarakat
Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara Pelajar
SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
6
2. Memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan sejarah pada
khususnya yaitu mengenai materi sejarah lokal.
b. Manfaat Praktis
1. Sarana menanamkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme pada
masyarakat Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten
Boyolali pada umumnya dan generasi muda pada khususnya.
2. Memberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan peran
masyarakat Kebonbimo dalam mendukung Perjuangan Tentara
Pelajar SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
7