STUDI KOMPARASI ANTARA MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HANAFI TERHADAP PENETAPAN HAKIM NO: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda TENTANG PERKAWINAN JANDA YANG WALINYA ‘ADAL.
STUDI KOMPARASI ANTARA MAZHAB SYĀFI’I DAN
MAZHAB HANAFI TERHADAP PENETAPAN HAKIM NO:
126/Pdt.P/2015/PA.Sda TENTANG PERKAWINAN JANDA YANG
WALINYA ‘AD{AL
SKRIPSI
Oleh:
A. Afrudi Hidayatulloh
NIM: C01212001
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
2016
1
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Antara Mazhab Sya>fi’i dan Mazhab
Hanafi Terhadap Penetapan Hakim No;126/Pdt.P/2015/PA.Sda Tentang Perkawinan
Janda Yang Walinya ‘Ad{al” ini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan
untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertimbangan hakim terhadap
penetapan No: 126/Pdt.P/2015/PA. Sda, serta bagaimana persamaan dan perbedaan
antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi dalam penetapan hakim No:
126/Pdt.P/2015/PA. Sda. Skripsi ini membahas tentang kesesuain dasar dan
pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan mengenai ‘ad{alnya wali. Serta
membahas tentang persamaan dan perbedaan pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab
Hanafi terkait dengan wali ‘ad{al seorang janda dalam perkara No:
126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
Data penelitian ini dihimpun dengan menggunakan teknik deskriptif
komparatif. Deskriptif komparatif
yaitu metode analisa dengan cara
mendeskripsikan atau memaparkan dan menjelaskan pandangan mazhab Syafii dan
mazhab Hanafi, serta membandingkannya untuk mencari persamaan dan perbedaan
dalam melihat putusan No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang perkawinan janda yang
walinya ‘ad{al melalui teknik dokumentasi.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pertimbangan-pertimbangan hakim
dalam mengabulkan permohonan wali ‘ad{al telah sesuai dengan ketentuanketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Persamaan antara pandangan
mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi yang ditemukan dalam Penentapan
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda adalah ketika walinya‘ad{al maka wali hakim yang
menjadi penggantinya. Adapun Perbedaan antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab
Hanafi pertama terkait dengan wali nikah janda. Kedua terkait dengan wali mujbir
(ijba>r)
Sejalan dengan paparan di atas, penulis menyampaikan saran bahwa dalam
memahami masalah tentang wali ‘ad{al janda ini, seharusnya sebagai wali nikah
(kakak kandung) janda lebih memikirkan kebahagiaan dan kesejahteraan adik
kandungnya. karena kebahagian dan kesejahteraan adik kandungnya adalah yang
lebih utama. Karena apabila pernikahan mereka ditunda dan dipersulit maka
dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, misalnya
mereka melakukan perzinaan dan hamil di luar nikah, kawin lari karena merasa
haknya diabaikan. Karena “Menghindari yang mengandung kerusakan lebih
diutamakan hanya sekedar mendatangkan maslahat atau manfaat”
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ........ ....................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................
ii
PENGESAHAN……………………………………………………………..... .
iii
PERSEMBAHAN ...............................................................................................
iv
MOTTO………………………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI......... .............................................................................................. ix
DAFTAR TRANSLITERASI ............................................................................ xiii
BAB I
:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .........................................
7
C. Rumusan Masalah .................................................................
8
D. Kajian Pustaka ......................................................................
9
E. Tujuan Penelitian .................................................................. 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian.................................................... 11
G. Definisi Operasional ............................................................. 12
H. Metode Penelitian ................................................................. 13
I. Sistematika Pembahasan ...................................................... 17
i
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
:
GAMBARAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN
WALI NIKAH MENURUT MAZHAB SYĀFI’I DAN
MAZHAB HANAFI
A. Pengertian Pernikahan Menurut Mazhab Sya>fi’i ……….. 18
1. Pengertian Pernikahan………………………………..
18
2. Wali Nikah ……………………………………..........
19
3. Wali Mujbir …………………………………………
22
4. Wali ‘Ad{al……………………………………………. 25
B. Pengertian Pernikahan Menurut Mazhab Hanafi………… 28
1.
Pengertian Pernikahan………………………………
28
2.
Wali Nikah………………………………………….
29
3.
Wali Mujbir…………………………………………. 32
4.
Wali Ad{al………………………………..................... 36
C. Syarat-Syarat Wali Nikah………………………………… 37
BAB III :
DESKRIPSI
PENETAPAN
PERKARA
NO:126/PDT.P/2015/PA.SDA TENTANG PERKAWINAN
JANDA YANG WALINYA ‘AD{AL DI PENGADILAN
AGAMA SIDOARJO
A. Profil Singkat Pengadilan Agama Sidoarjo ......................... 40
B. Penetapan Wali ‘Ad{al oleh Pengadilan Agama Sidoarjo
Perkara No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda .................................... 43
1. Identitas Para Pihak ....................................................... 43
2. Duduk Perkara ................................................................ 44
3. Petitum ........................................................................... 46
4. Pembuktian..................................................................... 47
C. Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Perkara Wali
‘Adal....................................................................................... 47
D. Putusan Hakim Dalam Pentepan Perkara Wali ‘Adal ......... 51
ii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB IV
:KOMPARASI ANTARA MAZHAB SYĀFI’I DAN MAZHAB
HANAFI DALAM PENETAPAN PERKAWINAN JANDA
YANG WALINYA ‘AD{AL NO:126/Pdt.P/2015/PA.Sda
A. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Permohonan Wali
‘Ad{al
Dalam
Perkawinan
Janda
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda……………………………. 53
B. Persamaan dan Perbedaan Antara Mazhab Sya>fi’i dan
Mazhab
Hanafi
Dalam
Penentapan
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda…… ………………………. 56
BAB V
:
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 62
B. Saran ...................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 71
iii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, dalam proses berlangsungnya hidup
membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini
membuktikan bahwa manusia diciptakan selain sebagai individu, manusia juga
diciptakan untuk berkelompok atau berpasang-pasangan.1 Sebagaimana firman
Allah SWT QS. Yasin ayat 36:
Ÿω $£ϑÏΒuρ óΟÎγÅ¡à Ρr& ôÏΒuρ ÞÚö‘F {$# àMÎ7/Ψè? $£ϑÏΒ $yγ¯=à2 yl≡uρø—F{$# t,n=y{ “Ï%©!$# z
àt ≈ysö6ß™
tβθßϑn=ôètƒ
Artinya: “Maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.2
Perkawinan merupakan sunnatulláh yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya,
baik
pada
manusia,
hewan,
maupun
tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan adalah cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan makhlukmakhlukNya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.3
1
J. Dwi Narkodan Bagong SuyantoSosiologi, Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana 2007),
229.
2
Kementrian Agama RI, Al-QuranTerjemahan dan Tajwidnya, (Bandung: Sygama Examedia, 2010),
440.
3
M.A. Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Yogyakarta:
Rajawali Pers 2009), 6.
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
Pernikahan secara bahasa adalah terjemahan dari kata nakah{a dan zawaja.
Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok dalam Alquran untuk menjelaskan
atau untuk makna perkawinan. Istilah kata
زوج
berarti “pasangan”, dan
ﻧﻜﺢ
berarti “berhimpun”. Dengan demikian arti sisi bahasa, pernikahan berarti
berkumpulnya dua insan semula berpisah dan berdiri sendiri menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bermitra.4
Pernikahan harus dilangsungkan berdasarkan ketentuan yang berlaku,
baik dalam ketentuan fikih maupun hal lain yang mengatur tentang pernikahan,
seperti di Indonesia tidak cukup dengan ketentuan fiqih saja tapi juga harus
sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-Undang Nasional
(hukum positif).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa
pernikahan menurut hukum Islam adalah perjanjian yang sangat kuat atau
mitha>qan ghaliz{a>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
merupakan ibadah.5 Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang pernikahan pasal 1 yang menjelaskan bahwa pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri
4
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan, 1 dilengkapi perbandingan UU Muslim Kontemporer, ed,
Revisi, (Yogyakarta: Academiia+Tazzafa), 17.
5
Tim Redaksi Nuansa Aulia et al, Kompilasi Hukum Islam cet ke-4 (Bandung: Nuansa Aulia 2012),
2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dinyatakan sah bila sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun
nikah. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
suatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara pernikahan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti tidak sah apabila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun adalah suatu hal yang harus ada saat proses pernikahan itu dilaksanakan,
dan merupakan bagian atau unsur yang harus ada dalam pelaksanakan pernikahan
tersebut, sedangkan syarat adalah suatu hal yang berada di luar pernikahan
tersebut, dalam artian bukan merupakan unsur dalam pernikahan itu.6
Unsur pokok atau yang harus, yang biasa disebut dengan rukun tersebut
dalam suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan calon mempelai yang
akan melakukan pernikahan, akad pernikahan itu sendiri yang merupakan ijab
dari pihak perempuan dan kabul dari pihak laki-laki, wali yang melakukan akad
dengan calon mempelai laki-laki dan dua orang saksi yang menyaksikan proses
akad pernikahan tersebut, Jadi kesimpulannya rukun pernikahan adalah:7
1. Calon mempelai laki-laki.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), 59.
7
Ibid., 61.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
2. Calon mempelai perempuan.
3. Wali dari calon mempelai perempuan.
4. Dua orang saksi.
5. Ijab dari wali dan kabul dari calon mempelai laki-laki.
Menurut hukum Islam, pengertian pernikahan itu adalah akad atau
persetujuan calon suami dan calon istri karenanya berlangsungnya harus melalui
ijab dan kabul atau serah terima.8 Adapun hal yang perlu digaris bawahi adalah
terdapat pada kata persetujuan. Dalam Islam, telah dijelaskan tentang konsep
perwalian, yang apabila dikaitkan dengan kata persetujuan diatas, maka dapat
ditarik sebuah garis yang akan mengantarkan kepada sebuah pembahasan tentang
hukum dan kedudukan wali dalam pernikahan.
Sementara itu dalam ranah kajian pandangan empat mazhab tentang
konsep wali nikah sebagai rukun dalam pernikahan, terdapat perbedaan (ikhtila>f)
dalam menafsirkan baik itu yang terdapat dalam nas{-nas{ Alquran maupun dalam
teks-teks hadis, sehingga menarik untuk dibahas. Perbedaan (ikhtila>f) yang
paling terlihat adalah pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi terkait
hukum dan kedudukan wali dalam pernikahan.
Dalam pandangan Mazhab Sya>fi’i wali adalah rukun dalam suatu
pernikahan. Tanpa adanya wali maka pernikahan yang dilaksanakan tidak sah.
Imam Syafii berpendapat bahwa setiap akad nikah harus dilakukan oleh wali,
8
Nashruddin Thoha, Pedoman Perkawinan Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang 1967), 10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
baik perempuan itu dewasa, masih kecil, janda atau perawan, sehat akalnya
ataupun tidak.9
Adapun menurut Mazhab Hanafi wali bukan merupakan syarat yang
harus dipenuhi dalam suatu pernikahan. Bahwa sesungguhnya perempuan yang
sudah dewasa dan berakal sehat berhak menikahkan dirinya, baik ia gadis atau
janda. Meskipun demikian, Menurutnya “Dia lebih baik memberi kekuasaan
kepada walinya ketika melaksanakan akad”.10
Firman Allah SWT Surat al- Baqarah ayat 232:
#sŒÎ) £ßγy_≡uρø—r& zósÅ3Ζtƒ βr& £èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £ßγn=y_r& zøón=t6sù u!$|¡ÏiΨ9$# ãΛäø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ
ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ ßÏΒ÷σムöΝä3ΖÏΒ tβ%x. tΒ ÏµÎ/ àátãθムy7Ï9≡sŒ 3 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ (#öθ|Ê≡ts?
tβθßϑn=÷ès? Ÿω ÷ΛäΡr&uρ ãΝn=÷ètƒ ª!$#uρ 3 ãyγôÛr&uρ ö/ä3s9 4’s1ø—r& ö/ä3Ï9≡sŒ 3 ÌÅzFψ$#
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddah
nya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih
baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”.11
Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan suaminya (janda)
dan kemudian akan nikah lagi, baik nikah dengan dengan mantan suaminya atau
dengan laki-laki lain. Terdapat perbedaan (ikhtila>f) di kalangan ulama dalam
menanggapi ayat tersebut, bahwa larangan dalam ayat ini ditunjukkan kepada
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 91.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al Fikr, 1992), 6-8.
11
Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010), 29.
9
10
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
wali. Sebab sebab turunnya ayat ini (asba>b al-nuzul) adalah riwayat Ma’qil Ibn
Yasar yang tidak dapat menghalang-halangi pernikahan saudara perempuannya,
andaikata dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkannya atau andaikata
kekuasaan itu ada pada diri saudara perempuannya.12
Di Pengadilan Agama Sidoarjo terdapat perkara atau kasus mengenai
wali‘ad{al yang telah ditetapkan Majelis Hakim dalam penetapan perkara
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda. dalam perkara ini wali pemohon (kakak kandung)
keberatan menikahkan adik kandungnya yang sudah berstatus janda umur 47
tahun dan akan menikah dengan seorang duda berumur 46 tahun, dengan tidak
menyertakan alasan yang jelas dan sesuai syar’i, yaitu dengan alasan bahwa
tingkat ekonomi calon suami tidak sekufu’ dengan keluarga pemohon.
Ukuran kafa’ah bukanlah merupakan suatu hal yang mutlaq melainkan
satu hal yang harus diperhatikan guna ntuk mencapai tujuan pernikahan yang
bahagia dan abadi. Pada prinsipnya Islam memandang bahwa semua umat
manusia sama kedudukannya, hanya yang membedakan ketaqwaannya seseorang.
Bobot yang paling utama dalam kafa’ah atau kufu’ ini adalah agama dan akhlak.
Adapun selain itu adalah pelengkap.13
Dari pemaparan di atas terdapat persepsi perbedaan pandangan antara
mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi tentang wali nikah, yaitu menurut mazhab
Sya>fi’i tidak sah
12
13
pernikahan tanpa wali baik gadis atau janda, sementara
Qamaruddin Saleh, Asbababun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1984), 78.
Djama’an Nur, Fikih Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), 76-77.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
menurut mazhab Hanafi wali bukan merupakan syarat dan rukun nikah, baik
gadis atau janda berhak menikahkan dirinya bila sudah dewasa dan berakal sehat.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian ini, karena ada perbedaan (ikhtila>f) antara mazhab Sya>fi’i
dan mazhab Hanafi tentang kedudukan wali dalam pernikahan seorang janda.
Dan untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penetapan nomor: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang permohonan penetapan wali
‘ad{al janda.
Maka dengan itu penulis ingin membahasnya melalui skripsi yang
fi’i dan Mazhab Hanafi Terhadap
berjudul “Studi Komparasi Antara Mazhab Sya>fi’i
Penetapan Hakim No: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda Tentang Perkawinan Janda Yang
Walinya‘Ad{al,
l”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi masalahmasalah yang dapat diteliti sebagai berikut:
1. Pengertian Pernikahan Menurut Islam.
2. Rukun dan syarat pernikahan menurut Islam.
3. Wali nikah bagi seorang janda menurut mazhab Sya>fi’i.
4. Wali nikah bagi seorang janda menurut mazhab Hanafi.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
5. Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan wali
‘ad{al janda.
6. Persamaan dan Perbedaan pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi
terhadap pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan wali ad{al
janda.
Supaya lebih terarah dan lebih jelas, maka perlu diberikan batasan
masalah pada persoalan yang akan diteliti. Pada penelitian ini dibatasi hanya
pada bahasan bagaimana pertimbangan-pertimbangan hakim dan bagaimana
persamaan dan perbedaan pandangan antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi
dalam melihat penetapan No: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang perkawinan janda
yang walinya ‘ad{al.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah yang dipaparkan penulis di
atas, maka penulis merumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
pertimbangan
hakim
terhadap
penetapan
No:
126/Pdt.P/2015/PA. Sda?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab
Hanafi dalam penetapan hakim No: 126/Pdt.P/2015/PA. Sda?
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
D. Kajian Pustaka
Kajian pusatka ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
penelitian yang sejenis sebelumnya, sehingga tidak menimbulkan pengulangan
penelitian dan juga menghindari plagiasi terhadap suatu karya tulis ilmiah.
Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan pembahasan wali ‘ad{al,
diantaranya adalah:
1. Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan
Agama Surabaya No : 573/Pdt.P/2011/PA.Sby Tentang Permohonan
Wali‘Ad{al yang tidak Melalui Prosedur Administrasi”. Ditulis oleh M. Dwi
Hendra Mufaizin, Tahun 2013, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
Skripsi tersebut menjelaskan sesuai Pasal 21 undang-undang no. 1 tahun
1974 tentang perkawinan mewajibkan seseorang untuk melakukan prosedur
penolakan
perkawinan
jika
terdapat
larangan
dalam
melaksanakan
perkawinan yang kemudian diajukan ke Pengadilan Agama dalam bentuk
permohonan. Namun larangan yang dimaksud dalam pasal 21 undang-undang
no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan larangan perkawinan pada
pasal sebelumnya dan wali ‘ad{al tidak tersebut dalam pasal larangan
perkawinan, maka terhadap wali ‘ad{al prosedur administrasi hanya bersifat
fakultatif. Dalam kasus ini pemohon dalam mengajukan permohonannya di
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
Pengadilan Agama Surabaya tanpa melalui salah satu prosedur administrasi
pengajuan wali ‘ad{al yaitu prosedur penolakan perkawinan.14
2. Skirpsi yang berjudul ”Analisis Putusan Hakim Terhadap Wali ‘Ad{al di
Pengadilan Agama Yogyakarta (Studi Putusan No:0052/Pdt.P/2015/PA.
YK).” Skripsi ini ditulis oleh Jauharatul Asykuria, mahasiswi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2015. Skripsi tersebut menjelaskan bahwa wali
pemohon
keberatan
menikahkan
anak
perempuannya
dengan
tidak
menyertakan alasan yang jelas dan tidak sesuai syar’i dan wali beralasan
bahwa calon suami dianggap kurang mampu dengan penghasilan dua juta
rupiah perbulannya. Perbedaan dengan penelitian penyusun adalah yang tidak
dperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan stastusnya adalah janda.15
3. Skripsi yang berjudul ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Perkara
Wali ‘Ad{al di Pengadilan Agama Yogyakarta (Studi Terhadap Penetapan No:
0018/Pdt.P/2010/PA.YK).” Skripsi ini ditulis oleh Hani Maria Zulfa,
mahasiswai UIN Sunan kalijaga Yogyakarta tahun 2010. Skripsi tersebut
menjelaskan
bahwa
wali
pemohon
keberatan
menikahkan
anak
perempuannya dengan tidak menyertakan alasan yang jelas dan tidak sesuai
14
M. Dwi Hendra Mufaizin. Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Surabaya No:
573/Pdt.P/2011/PA.Sby Tentang Permohonan Wali ‘Ad{al yang Tidak Melalui Prosedur
Administrasi, (Skripsi- - UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.
15
Jauharatul Asykuria” Analisis Putusan Hakim Terhadap Wali ‘Ad{aldi Pengadilan Agama
Yogyakarta (Studi Putusan No:0052/Pdt.P/2015/PA. YK).(Skripsi- -UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2015.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
syar’i.
perbedaan
dengan
penelitian
penyusun
adalah
yang
akan
penetapan
No:
melangsungkan pernikahan adalah janda bukan gadis.16
E. Tujuan Penelitian
1. Ingin
mengetahui
pertimbangan
hakim
terhadap
126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
2. Ingin mengetahui persamaan dan perbedaan antara mazhab Sya>fi’i dan
mazhab Hanafi terhadap penetapan hakim No: 126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Dapat memberikan informasi tentang konsep wali nikah dalam hukum
Islam dan undang-undang di Indonesia.
b. Sebagai
upaya
memberikan
khazanah
keilmuan
dalam
bidang
pembaharuan hukum Islam khususnya perkawinan.
2. Kegunaan Praktis
Hani Maria Zulfa” Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Perkara Wali ‘Ad{aldi Pengadilan
Agama Yogyakarta (Studi Terhadap Penetapan No: 0018/Pdt.P/2010/PA.YK). (Skripsi - -UIN Sunan
16
kalijaga Yogyakarta 2010.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
a. Untuk fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan
adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmiah dan
pustaka bagi penelitian selanjutnya.
b. Bagi Pengadilan Agama, dengan adanya penelitian ini diharapkan
menjadi bahan rujukan bagi hakim dalam memutuskan atau menetapkan
permohonan wali ‘ad{al.
G. Definisi Operasional
Supaya pembaca tidak terjadi kesalahpahaman dan terlebih memperoleh
gambaran mengenai judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan
beberapa maksud dari sub judul berikut ini:
Komparasi
:Perbandingan,
perbandingan
disini
yang
dimaksud adalah pandangan mazhab Sya>fi’i dan
mazhab Hanafi tentang wali nikah seorang
janda.
Penetapan
:Adalah
suatu
penetapan
tertulis
yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara
berdasarkan
peraturan
perundang-
undnagan yang berlaku, yang bersifat kongkrit,
final dan menimbulkan akibat hukum bagi
seorang atau badan hukum peradata. Penetapan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
yang
dimaksud
disini
adalah
Nomor:126/Pdt.P/2015/PA.Sda
Penetapan
tentang
permohonan wali ‘ad{al seorang janda.
Wali‘ad{al
:yang dimaksud wali ‘ad{al disini adalah kakak
kandung atau saudara laki-laki dari seorang
janda tersebut.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah
atas suatu hal sebagaimana yang disebutkan dalam rumusan masalah di atas:
1. Data yang dikumpulkan
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data yang
dihimpun untuk menjawab pertanyaaan dalam rumusan masalah yaitu:
a. Data yang pertama yaitu tentang dasar hukum dan pertimbanganpertimbangan hakim.
b. Data yang kedua yaitu data tentang perbedaan
pandangan mazhab
Sya>fi’i dan mazhab Hanafi tentang wali nikah seorang janda.
2. Sumber data
a. Sumber primer, berupa:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
1) Dokumen putusan dalam hal ini adalah penetapan dari Pengadilan
Agama Sidoarjo No. 126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
b. Sumber sekunder, berupa: buku-buku yang mempunyai relevansi dengan
pembahasan skripsi meliputi literatur-literatur mengenai pernikahan dan
wali nikah.
1) Abdurrahman Ibn Muhammad ‘Audl al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-
Mazhab al-Arba’ah.
2) Wahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al Islam wa Adillatuhu.
3) Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.
4) Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab.
5) Dan lain-lain.
3. Teknik pengumpulan data
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian
ini adalah:.
a. Dokumentasi (reading text) adalah teknik pengumpulan yang tidak
langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen.17
Maksudnya ialah data yang diperoleh untuk menjawab masalah penelitian
dicari dalam dokumen atau bahan pustaka. Teknik ini penting digunakan,
sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya
17
M.Iqbal Hasan, Metode Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui
dokumentasi untuk melengkapi data (tentang bahan-bahan yang tertulis
yang dikaitkan dengan masalah tersebut.
4. Teknik pengolahan data
Data yang diperoleh dari lapangan (Pengadilan Agama Sidoarjo)
dianalisis secara kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing, Pemeriksaan data secara cermat dari segi kelengkapan,
keterbacaan, relevansi, arti dan makna istilah-istilah atau ungkapanungkapan dari semua data yang berhasil dihimpun.
b. Coding, Usaha untuk mengkatagorikan data dan memeriksa data untuk
relevansi dengan tema.
c. Organizing, Menyusun dan mensistematiskan data yang diperoleh dalam
karangan
paparan
memperoleh
yang
bukti-bukti
telah
dari
direncanakan
gambaran
sebelumnya
secara
jelas
untuk
tentang
pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan walli
‘ad{al.
5. Teknik analisis data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif komparatif. Deskriptif komparatif yaitu metode analisa
dengan cara mendeskripsikan atau memaparkan dan menjelaskan pandangan
mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi, serta membandingkannya untuk mencari
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
persamaan dan perbedaan dalam putusan permohonan wali ‘ad{al janda
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda tersebut melalui teknik dokumentasi.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan
pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Agar dapat dipahami
permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka pembahasan ini akan
disusun oleh penulis sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, identifikasi
masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, landasan teori yang membahas tentang tinjauan umum
tentang pernikahan, syarat dan rukun nikah, wali nikah, wali mujbir dan
wali’ad{al menurut pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi.
Bab ketiga, bab ini mencakup deskripsi singkat Pengadilan Agama
Sidoarjo, kewenangan Pengadilan Agama Sidoarjo, serta menjelaskan tentang
dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang dipakai oleh para hakim di
Pengadilan Agama Sidoarjo dalam menyelesaikan dan menetapkan permohonan
perkara wali ‘ad{al.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
Bab keempat, bab ini berisi tentang analisis mengenai persamaan dan
perbedaan pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi dalam melihat
penetapan permohonan perkara No: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang perkawinan
janda yang walinya ‘ad{al.
Bab kelima, pada bab ini memuat penutup yang berisikan kesimpulan dari
hasil penelitian lapangan dan juga saran yang diberikan sesuai dengan
permasalahan yang ada.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
TINJAUAN UMUM PERNIKAHAN DAN WALI NIKAH
MENURUT MAZHAB SYAFI’
SYAFI’I DAN
MAZHAB HANAFI
HANAFI
A. Pengertian Pernikahan Menurut Mazhab Sya>fi’i
fi’i
1. Pengertian Pernikahan
Nikah
secara
bahasa
(mengumpulkan), dikatakan
berarti
اﳉﻤﻊ
ﺗﻨﺎﻛﺤﺖ اﻻﺷﺠﺎر
menghimpun),
اﻟﻀﻢ
(pohon-pohon itu saling
berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian pohon itu saling
berhimpun antara satu dengan yang lainnya. 1
Menurut Mazhab Sya>fi’i, nikah menurut arti aslinya adalah akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan,
sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh.2
Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Iqna’ juz II, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha
Putra),115.
2
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Indonesia, cet II (Jakarta:
Kencana Prenada Grup, 2012),259.
1
18
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
2. Wali Nikah
Jumhur ulama berpendapat, bahwa adanya wali adalah bersumber
pada Al-Quran dan al-Sunnah. Salah satu sumber dari al-Quran adalah surat
Al-Nur ayat 32:3
(#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ôÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ
ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóムu!#ts)èù
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.4
Secara istilah, yang dimaksud wali adalah sebagaimana pendapat
fuqaha’ yaitu seseorang yang memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
suatu perikatan (akad) tanpa harus adanya persetujuan dari orang (yang di
bawah perwaliannya). Akan tetapi, wali juga memiliki banyak arti, antara
lain:5
a. Orang yang menurut hukum diberikan amanah berkewajiban mengurus
anak yatim dan hartanya sebelum anak itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah. Dalam hal ini yaitu
melakukan janji nikah (ijab dan qabul) dengan pengantin laki-laki.
3
Bagir Al Habsyi, Fikih Praktis…, 56.
Kementrian Agama RI, Al-QuranTerjemahan dan Tajwidnya.., 354.
5
Hasan Muarif Amhary et al. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), 243.
4
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
c. Orang sholeh (suci), penyebar agama; dan
d. Kepala pemerintahan dan sebagainya.
Muhammad Jawad Mughniyah memberi pengertian wali adalah suatu
kekuasaan atau wewenang syar’i atas golongan manusia, yang dilimpahkan
kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang
dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri.6
Adapun Perwalian atau wali dalam literatur fikih Islam disebut al-
wilayah ( ) اﻟﻮﻻﻳﺔkata wali berasal dari bahasa Arab yang dalam bentuk
masdarnya adalah al-wali ( )اﻟﻮﱄdan jamaknya adalah al-awliya ()اﻻوﱄا. Kata
al-wali ( )اﻟﻮﱄmerupakan kata dalam bentuk isim fa’il (orang yang
melakukan) dan dengan ini, kata wali menurut bahasa dapat diartikan sebagai
orang yang menolong.7
Sedangkan
kaitannya
dengan
pernikahan,
mazhab
Sya>fi’i
mendefinisikan wali adalah seseorang yang berhak untuk menikahkan orang
yang berada di bawah perwaliannya.
Menurut mazhab Sya>fi’i, wali adalah rukun dalam suatu pernikahan.
Tanpa adanya wali maka pernikahan yang dilaksanakan tidak sah. Imam
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2011), 345.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2004), 134.
6
7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Sya>fi’i berpendapat jika wanita yang balig dan berakal sehat itu masih gadis,
maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka
hak itu pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa
persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya
sendiri tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali.
Akad yang diucapkan oleh wanita sama sekali, walaupun akad itu sendiri
memerlukan persetujuanya.8
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At Tirmidhi dalam karya
kitab hadisnya Sunan Tirmidhi menjelaskan:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ اﺧﱪﻧﺎ ﺷﺮﻳﻚ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻋﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق و ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ
ﻋﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﺎر ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ اﰊ زﻳﺎد ﺣﺪﺛﻨﺎ زﻳﺪ ﺑﻦ ﻋﻮاﻧﺔ
ﻗﺎ ل: ﺣﺒﺎب ﻋﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق ﻋﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق ﻋﻦ اﰊ ﺑﺮدة ﻋﻦ اﰊ ﻣﻮﺳﻲ ﻗﺎل
9
"رﺳﻮل اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ "ﻻ ﻧﻜﺎ ح اﻻ ﺑﻮﱄ
Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Ali bin Hujrin, memberi kabar
kepada kami Sharik bin Abdillah dari Abi Ishaq dan telah bercerita
kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Abu ‘Awanah
dari Abi Ishaq, dan telah bercerita kepad kami Muhammad bin Bishar,
telah bercerita kepada kami ‘Abdur Rahman bin Mahdiy dari Isra’il
dari Abi Ishaq, dan telah bercerita kepada kami Abdullah bin Abi
Ziyad, telah bercerita kepada kami Zaid bin Hubbab dari Yunus bin
Abi Ishaq dari Abi Ishaq dari Abi burdah dari Abi Musa berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali:”
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab…, 345.
Abu Isa bin Muhammad bin Isa bin Saurah a Tirmdidhi, Sunan Tirmidzi, jilid II (Beirut: Dar al
Fikri, t.p), 351.
8
9
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
Dalam hadis Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa seorang
perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti
jika tanpa wali maka nikahnya tidak sah.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻴﻨﺔ ﻋﻦ اﰊ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎن ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻋﻦ ﻋﺮوة ان
, اﳝﺎ اﻣﺮاة ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ ادن وﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ:رﺳﻮل اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل
ﺎ ﻓﻠﻬﺎ اﳌﻬﺮ ﲟﺎ اﺳﺘﺤﻞ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﻬﺎ ﻓﺎ ﻓﺎان دﺧﻞ, ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ,ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ
10
"اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎ اﻟﺴﻠﻄﺎن وﱄ ﻣﻦ ﻻ وﱄ ﻟﻪ
Artinya: telah bercerita kepada kami Abi Amar, telah bercerita
kepada kami Sufyan bin Uyanah dari Abi Juraihin, dari Sulaiman
darial Zuhriyyi dari’Urwah dari ‘Aisyah, Rasululullah saw
bersabda:”Setiap orang perempuan yang menikah tanpa walinya maka
nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika lelaki
itu telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar
(maskawin) untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya. Maka
apabila mereka bersengketa, penguasa (wali hakim) dapat menjadi
wali bagi perempuan tersebut.
3. Wali Mujbir
Kata ijba>r sendiri menurut arti bahasa adalah al-Qahru (memaksa), al-
Ilzamu (pemaksaan). Sedang menurut istilah, ijba>r yaitu hak memilih dan
menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Dalam
pengertian fikih, bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan
tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yakni: pertama, bagi
perempuan yang masih gadis. Kedua, bagi janda yang keperawanannya hilang
bukan akibat hubungan seksual. Artinya, hilangnya keperawanan itu bukan
10
Ibid., 352.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
sebab masuknya penis ke vagina, tetapi karena jatuh, memasukkan jari dan
semacamnya.11
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk
menikahkan
orang
berada
dibawah
perwaliannya
meskipun
tanpa
mendapatkan izin dari orang itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan
kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih
sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Selain mereka tidak
berhak ijba>r.12
Dasar penetapan hak ijba>r menurut Mazhab Sya>fi’i adalah tindakan
Nabi yang menikahi ‘Aisyah ketika masih berusia enam atau tujuh tahun dan
mengadakan hubungan setelah berumur sembilan tahun. Tindakan Abu Bakar
yang menikahkan anaknya yang masih belum dewasa ini, ditambah dengan
alasan bahwa semua urusan anak kecil merupakan tanggungjawab orang
tuanya, oleh mazhab Sya>fi’i dijadikan dasar untuk menetapkan adanya hak
ijba>r bapak pada anak yang belum dewasa. Dengan catatan, gadis berhak
memilih (khiya>r) kalau kelak sudah dewasa.13
Adapun pernikahan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara
bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada paham
sebaliknya (mafhum mukha>lafah) hadits yang mengatakan, "janda lebih
Aliy As’ad. Tarjamah Fathul Mu’in Jilid 3.(Yogyakarta: Menara Kudus.1979), 48.
Abdul Ghofur Anshori. Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. (Yogyakarta: UII
Press.2011), 40.
13
Hosen Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 85
11
12
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
berhak pada dirinya". Menurut mazhab Sya>fi’i, mafhum mukha>lafah hadis ini
adalah bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya.
Meskipun dianjurkan musyawarah antara kedua belah pihak (anak gadis
dewasa tersebut dengan wali atau bapak).14
Dari penjelasan mazhab Sya>fi’i di atas terlihat bahwa dalam
mengenai gadis dewasa pun hak wali (bapak) melebihi hak gadis. Menurut
mazhab Sya>fi’i izin gadis bukan lagi suatu keharusan (fard{) tetapi hanya
sekedar pilihan (ikhtiya>r). Pandangan beliau bahwa bapak (wali) boleh
mengurusi wanita dalam pernikahannya apabila pernikahan tersebut
menguntungkan bagi wanita dan tidak mendatangkan mad{ara>t (bahaya).
Sebagaimana dibolehkan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh bapak
atas nama wanita bikr (perawan/gadis) dengan tidak mendatangkan mad{arát
atasnya pada penjualan dan pembelian tersebut.
Alasan rasio bahwa gadis belum mengetahui tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pernikahan karena belum punya pengalaman. Jadi
walaupun gadis itu dewasa dalam hal ini disamakan dengan gadis yang belum
dewasa di mana bapak mempunyai hak ijba>r terhadapnya. Oleh karena itu,
yang menjadi ‘illat diperbolehkannya ijba>r adalah kegadisan. Perwalian ini
bersifat langgeng hingga wanita itu dewasa atau balig selama masih dalam
keadaan gadis.
14
Ibid, 85.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
Ulama
yang
membolehkan
wali
mujbir (ayah
dan
kakek)
menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat
sebagai berikut: 15
a. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.
b. Laki-laki pilihan wali harus sekufu’ (seimbang) dengan gadis yang akan
dinikahkan.
c. Calon suami harus mampu membayar mahar mithil.
d. Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan.
e. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya
sebagai suami yang baik dan tidak terbayang akan berbuat yang
mengakibatkan kesengsaraan istri.
4. Wali ‘Ad{al
Wali ad{al adalah wali yang enggan atau wali yang menolak.
Maksudnya adalah seorang wali yang enggan atau menolak menjadi wali
dalam pernikahan anak perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah
menjadi pilihan anaknya.16
Definisi wali ad{al cukup beragam, menurut Wahbah al Zuhailiy yang
mendefinisikan wali ad{al sebagai: “Penolakan wali untuk menikahkan anak
perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan
Sahal Mahfud, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, (Surabaya: Ampel
Suci, 2003), 10
16
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), 38.
15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
(sekufu’) atau setara dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah
meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon
mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara’
dilarang”.17
Pembahasan mengenai problema wali ‘aḍal berikut penyelesaiannya
di dalam mazhab Sya>fi’i yaitu melibatkan seorang penguasa (hakim) sebagai
pengendalinya. Maksudnya adalah dialah yang berwenang untuk memproses
dan mengusut permasalahan wali yang berkondisi ‘aḍal tersebut, berikut
mengusahakan dengan upaya apa yang mengantintisipasi dan penyelesaian
munculnya permasalahan tersebut, hal ini di lakukan penguasa atau hakim
tentunya setelah ada laporan pengajuan dari maula wali ‘aḍal tersebut
sebagai pihak yang di perlukan tidak adil atau rugikan.
Namun demikian ada kecendrungan dari kalangan mazhab Sya>fi’i
bahwa untuk menyelesaikan wali ‘aḍal tidak saja terkuasai oleh hakim
sebagai pihak yang berkewenangan untuk menggantikannya, akan tetapi juga
wali yang jauh wali ab’ad pun berkewenangan untuk menggantikannya,
dengan syarat ke ‘aḍal-Nya yang di lakukan wali aqrab telah berkali-kali,
yaitu tiga kali berturut- turut atau lebih.
17
Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Juz 9, (Dar al-Fikr, Beirut, 1997), 6720.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
Mengenai hal ini di ungkapkan oleh seorang ulama fiqih yaitu
Abdurahman al Jaziri dalam kitabnya fiqih ‘Ala Madzahib Al Arba’ah
mengungkapkan, kalangan mazhab Syafi’i berpendapat:18
“ Bahwa apabila seorang wali melakukan pencegahan terhadap perempuan di
walinya dari perkawinan, sedangkan dia menghendaki untuk di langsungkan
perkawinan tersebut, mengingat pasangannya yang telah sekufunya dan
walaupun dengan mahar kurang dari mahar mithil, dari itu ia berhak untuk
melaporkan perkaranya kepada hakim. Kemudian hakim mengawinkannya
sebagai penggantinya dari wali yang bersangkutan karena hak bagi si wali
tersebut belum gugur lantaran pencegahannya yang di lakukan baru sekali
atau dua kali saja, maka hakim lah yang menggantikannya. Akan tetapi
pencegahannya itu sampai berkali-kali (tiga kali atau lebih), maka ialah yang
menjadi fasiq dan di nyatakan telah melakukan perbuatan terlarang dengan
demikian gugurlah haknya dan pindahlah perwalian kepada wali lain yaitu
wali ab’ad”.
Dari penjelasan tadi atas, dapat di peroleh kesimpulan bahwa dalam
mazhab Sya>fi’i wali ‘aḍal akan tampak dan nyata sebagai suatu problema
dalam perwalian, manakala telah di hadapkan dan di buktikan oleh hakim
yang menanganinya mengenai ke ‘aḍal-Nya, hakim berkewajiban untuk
mengupayakan agar perkawinan maulanya bisa berlangsung, pertama dengan
intruksi untuk mencabut ke ‘aḍal-Nya yaitu dengan sanggup melangsungkan
perkawinannya, dan kalau saja dia masih mecegah atau membangkang maka
Abdurrahman Ibn Muhammad ‘Audl al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazhab al-Arba’ah, jilid 4.
(Kairo: Maktabah Dar at-Turats, 2005), 40.
18
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
kewajiban bagi hakim untuk menempuh cara kedua yaitu penggatian wali
atau memakai wali hakim.
B. Pengetian Pernikahan Menurut Mazhab Hanafi
1. Pengertian
Pengertian Pernikahan
Menurut mazhab Hanafi, nikah arti aslinya adalah setubuh dan
menurut arti majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.19
Dalam hal ini, Anwar Haryono menyatakan bahwa perkara
pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.20 Para ahli hukum memberi
beragam pengertian atau definisi pernikahan. Perbedaan itu tidaklah
menunjukkan pertentangan yang tajam, namun hanya perbedaan sudut
pandang. Menurut Sayuti Thalib perbedaan itu lebih memperlihatkan
keinginan para perumus mengenai banyaknya jumlah unsur-unsur yang
hendak dimasukkan dalam perumusan di satu pihak, sedang dilain pihak
dibatasi pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian pernikahan,
unsur yang lain dijelaskan dalam tujuan bukan perumusan.21
Dari pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu
sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditarik kesimpulan hakikat
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Indonesia, cet II..,259.
Hasan Saleh, Fikih Nabawi & Fikih Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2008), 298.
21
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Indonesia, cet kedua..,259.
19
20
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
pernikahan adalah perjanjian antara calon suami istri untuk membolehkan
bergaul sebagai suami-istri, guna membentuk suatu keluarga.22
2. Wali nikah
Secara bahasa, wali bisa berarti pelindung, bisa juga berarti
pertolongan (nusra{h), bisa juga berarti kekuasaan (sulta{n) dan kekuatan
(qudrah).23 Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong, atau orang
yang memiliki kekuasaan. Atau hak yang diberikan oleh syariat yang
membuat si wali (yakni pelaksana perwalian) mengambil dan melakukan
sesuatu, kalau perlu dipaksa, diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang
diperwalikan.24
Perwalian di dalam pernikahan menurut mazhab Hanafi termasuk ke
dalam perwalian terhadap jiwa, sedangkan perwalian dalam pernikahan
secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu:25
a. Perwalian
yang
bersifat
Ijbár/H{atmin:
Perwalian
yang
bersifat
Ijbár/H{atmin yaitu pengucapan perkataan/perbuatan yang harus dilakukan
oleh orang yang berada di dalam perwaliannya.
22
Ibid, 261.
Abdul Mudjied, et al., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 416.
24
Bagir Al Habsyi, Fikih Praktis, (Bandung: Mizan,2002), 56.
25
Kamal Al Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn himami, Sharkh Fathu Al Qadir, Juz III (BeirutLebanon: Dar al Kitab al-Ilmiah, 1995), 246.
23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
b. Perwalian yang bersifat Ikhtiya>ri (sukarela) : Perwalian yang bersifat
Ikhtiya>ri (sukarela) adalah hak wali untuk mengawinkan orang yang
berada di dalam perwaliannya berdasar pilihan dan juga kerelaan
MAZHAB HANAFI TERHADAP PENETAPAN HAKIM NO:
126/Pdt.P/2015/PA.Sda TENTANG PERKAWINAN JANDA YANG
WALINYA ‘AD{AL
SKRIPSI
Oleh:
A. Afrudi Hidayatulloh
NIM: C01212001
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
2016
1
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Antara Mazhab Sya>fi’i dan Mazhab
Hanafi Terhadap Penetapan Hakim No;126/Pdt.P/2015/PA.Sda Tentang Perkawinan
Janda Yang Walinya ‘Ad{al” ini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan
untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertimbangan hakim terhadap
penetapan No: 126/Pdt.P/2015/PA. Sda, serta bagaimana persamaan dan perbedaan
antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi dalam penetapan hakim No:
126/Pdt.P/2015/PA. Sda. Skripsi ini membahas tentang kesesuain dasar dan
pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan mengenai ‘ad{alnya wali. Serta
membahas tentang persamaan dan perbedaan pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab
Hanafi terkait dengan wali ‘ad{al seorang janda dalam perkara No:
126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
Data penelitian ini dihimpun dengan menggunakan teknik deskriptif
komparatif. Deskriptif komparatif
yaitu metode analisa dengan cara
mendeskripsikan atau memaparkan dan menjelaskan pandangan mazhab Syafii dan
mazhab Hanafi, serta membandingkannya untuk mencari persamaan dan perbedaan
dalam melihat putusan No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang perkawinan janda yang
walinya ‘ad{al melalui teknik dokumentasi.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pertimbangan-pertimbangan hakim
dalam mengabulkan permohonan wali ‘ad{al telah sesuai dengan ketentuanketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Persamaan antara pandangan
mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi yang ditemukan dalam Penentapan
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda adalah ketika walinya‘ad{al maka wali hakim yang
menjadi penggantinya. Adapun Perbedaan antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab
Hanafi pertama terkait dengan wali nikah janda. Kedua terkait dengan wali mujbir
(ijba>r)
Sejalan dengan paparan di atas, penulis menyampaikan saran bahwa dalam
memahami masalah tentang wali ‘ad{al janda ini, seharusnya sebagai wali nikah
(kakak kandung) janda lebih memikirkan kebahagiaan dan kesejahteraan adik
kandungnya. karena kebahagian dan kesejahteraan adik kandungnya adalah yang
lebih utama. Karena apabila pernikahan mereka ditunda dan dipersulit maka
dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, misalnya
mereka melakukan perzinaan dan hamil di luar nikah, kawin lari karena merasa
haknya diabaikan. Karena “Menghindari yang mengandung kerusakan lebih
diutamakan hanya sekedar mendatangkan maslahat atau manfaat”
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ........ ....................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................
ii
PENGESAHAN……………………………………………………………..... .
iii
PERSEMBAHAN ...............................................................................................
iv
MOTTO………………………………………………………………………..
v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI......... .............................................................................................. ix
DAFTAR TRANSLITERASI ............................................................................ xiii
BAB I
:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .........................................
7
C. Rumusan Masalah .................................................................
8
D. Kajian Pustaka ......................................................................
9
E. Tujuan Penelitian .................................................................. 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian.................................................... 11
G. Definisi Operasional ............................................................. 12
H. Metode Penelitian ................................................................. 13
I. Sistematika Pembahasan ...................................................... 17
i
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
:
GAMBARAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN
WALI NIKAH MENURUT MAZHAB SYĀFI’I DAN
MAZHAB HANAFI
A. Pengertian Pernikahan Menurut Mazhab Sya>fi’i ……….. 18
1. Pengertian Pernikahan………………………………..
18
2. Wali Nikah ……………………………………..........
19
3. Wali Mujbir …………………………………………
22
4. Wali ‘Ad{al……………………………………………. 25
B. Pengertian Pernikahan Menurut Mazhab Hanafi………… 28
1.
Pengertian Pernikahan………………………………
28
2.
Wali Nikah………………………………………….
29
3.
Wali Mujbir…………………………………………. 32
4.
Wali Ad{al………………………………..................... 36
C. Syarat-Syarat Wali Nikah………………………………… 37
BAB III :
DESKRIPSI
PENETAPAN
PERKARA
NO:126/PDT.P/2015/PA.SDA TENTANG PERKAWINAN
JANDA YANG WALINYA ‘AD{AL DI PENGADILAN
AGAMA SIDOARJO
A. Profil Singkat Pengadilan Agama Sidoarjo ......................... 40
B. Penetapan Wali ‘Ad{al oleh Pengadilan Agama Sidoarjo
Perkara No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda .................................... 43
1. Identitas Para Pihak ....................................................... 43
2. Duduk Perkara ................................................................ 44
3. Petitum ........................................................................... 46
4. Pembuktian..................................................................... 47
C. Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Perkara Wali
‘Adal....................................................................................... 47
D. Putusan Hakim Dalam Pentepan Perkara Wali ‘Adal ......... 51
ii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB IV
:KOMPARASI ANTARA MAZHAB SYĀFI’I DAN MAZHAB
HANAFI DALAM PENETAPAN PERKAWINAN JANDA
YANG WALINYA ‘AD{AL NO:126/Pdt.P/2015/PA.Sda
A. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Permohonan Wali
‘Ad{al
Dalam
Perkawinan
Janda
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda……………………………. 53
B. Persamaan dan Perbedaan Antara Mazhab Sya>fi’i dan
Mazhab
Hanafi
Dalam
Penentapan
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda…… ………………………. 56
BAB V
:
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 62
B. Saran ...................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 71
iii
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, dalam proses berlangsungnya hidup
membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini
membuktikan bahwa manusia diciptakan selain sebagai individu, manusia juga
diciptakan untuk berkelompok atau berpasang-pasangan.1 Sebagaimana firman
Allah SWT QS. Yasin ayat 36:
Ÿω $£ϑÏΒuρ óΟÎγÅ¡à Ρr& ôÏΒuρ ÞÚö‘F {$# àMÎ7/Ψè? $£ϑÏΒ $yγ¯=à2 yl≡uρø—F{$# t,n=y{ “Ï%©!$# z
àt ≈ysö6ß™
tβθßϑn=ôètƒ
Artinya: “Maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.2
Perkawinan merupakan sunnatulláh yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya,
baik
pada
manusia,
hewan,
maupun
tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan adalah cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan makhlukmakhlukNya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.3
1
J. Dwi Narkodan Bagong SuyantoSosiologi, Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana 2007),
229.
2
Kementrian Agama RI, Al-QuranTerjemahan dan Tajwidnya, (Bandung: Sygama Examedia, 2010),
440.
3
M.A. Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Yogyakarta:
Rajawali Pers 2009), 6.
1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
Pernikahan secara bahasa adalah terjemahan dari kata nakah{a dan zawaja.
Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok dalam Alquran untuk menjelaskan
atau untuk makna perkawinan. Istilah kata
زوج
berarti “pasangan”, dan
ﻧﻜﺢ
berarti “berhimpun”. Dengan demikian arti sisi bahasa, pernikahan berarti
berkumpulnya dua insan semula berpisah dan berdiri sendiri menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bermitra.4
Pernikahan harus dilangsungkan berdasarkan ketentuan yang berlaku,
baik dalam ketentuan fikih maupun hal lain yang mengatur tentang pernikahan,
seperti di Indonesia tidak cukup dengan ketentuan fiqih saja tapi juga harus
sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-Undang Nasional
(hukum positif).
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa
pernikahan menurut hukum Islam adalah perjanjian yang sangat kuat atau
mitha>qan ghaliz{a>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah
merupakan ibadah.5 Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang pernikahan pasal 1 yang menjelaskan bahwa pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri
4
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan, 1 dilengkapi perbandingan UU Muslim Kontemporer, ed,
Revisi, (Yogyakarta: Academiia+Tazzafa), 17.
5
Tim Redaksi Nuansa Aulia et al, Kompilasi Hukum Islam cet ke-4 (Bandung: Nuansa Aulia 2012),
2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dinyatakan sah bila sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun
nikah. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
suatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara pernikahan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti tidak sah apabila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun adalah suatu hal yang harus ada saat proses pernikahan itu dilaksanakan,
dan merupakan bagian atau unsur yang harus ada dalam pelaksanakan pernikahan
tersebut, sedangkan syarat adalah suatu hal yang berada di luar pernikahan
tersebut, dalam artian bukan merupakan unsur dalam pernikahan itu.6
Unsur pokok atau yang harus, yang biasa disebut dengan rukun tersebut
dalam suatu pernikahan adalah laki-laki dan perempuan calon mempelai yang
akan melakukan pernikahan, akad pernikahan itu sendiri yang merupakan ijab
dari pihak perempuan dan kabul dari pihak laki-laki, wali yang melakukan akad
dengan calon mempelai laki-laki dan dua orang saksi yang menyaksikan proses
akad pernikahan tersebut, Jadi kesimpulannya rukun pernikahan adalah:7
1. Calon mempelai laki-laki.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), 59.
7
Ibid., 61.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
2. Calon mempelai perempuan.
3. Wali dari calon mempelai perempuan.
4. Dua orang saksi.
5. Ijab dari wali dan kabul dari calon mempelai laki-laki.
Menurut hukum Islam, pengertian pernikahan itu adalah akad atau
persetujuan calon suami dan calon istri karenanya berlangsungnya harus melalui
ijab dan kabul atau serah terima.8 Adapun hal yang perlu digaris bawahi adalah
terdapat pada kata persetujuan. Dalam Islam, telah dijelaskan tentang konsep
perwalian, yang apabila dikaitkan dengan kata persetujuan diatas, maka dapat
ditarik sebuah garis yang akan mengantarkan kepada sebuah pembahasan tentang
hukum dan kedudukan wali dalam pernikahan.
Sementara itu dalam ranah kajian pandangan empat mazhab tentang
konsep wali nikah sebagai rukun dalam pernikahan, terdapat perbedaan (ikhtila>f)
dalam menafsirkan baik itu yang terdapat dalam nas{-nas{ Alquran maupun dalam
teks-teks hadis, sehingga menarik untuk dibahas. Perbedaan (ikhtila>f) yang
paling terlihat adalah pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi terkait
hukum dan kedudukan wali dalam pernikahan.
Dalam pandangan Mazhab Sya>fi’i wali adalah rukun dalam suatu
pernikahan. Tanpa adanya wali maka pernikahan yang dilaksanakan tidak sah.
Imam Syafii berpendapat bahwa setiap akad nikah harus dilakukan oleh wali,
8
Nashruddin Thoha, Pedoman Perkawinan Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang 1967), 10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
baik perempuan itu dewasa, masih kecil, janda atau perawan, sehat akalnya
ataupun tidak.9
Adapun menurut Mazhab Hanafi wali bukan merupakan syarat yang
harus dipenuhi dalam suatu pernikahan. Bahwa sesungguhnya perempuan yang
sudah dewasa dan berakal sehat berhak menikahkan dirinya, baik ia gadis atau
janda. Meskipun demikian, Menurutnya “Dia lebih baik memberi kekuasaan
kepada walinya ketika melaksanakan akad”.10
Firman Allah SWT Surat al- Baqarah ayat 232:
#sŒÎ) £ßγy_≡uρø—r& zósÅ3Ζtƒ βr& £èδθè=àÒ÷ès? Ÿξsù £ßγn=y_r& zøón=t6sù u!$|¡ÏiΨ9$# ãΛäø)¯=sÛ #sŒÎ)uρ
ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ ßÏΒ÷σムöΝä3ΖÏΒ tβ%x. tΒ ÏµÎ/ àátãθムy7Ï9≡sŒ 3 Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ (#öθ|Ê≡ts?
tβθßϑn=÷ès? Ÿω ÷ΛäΡr&uρ ãΝn=÷ètƒ ª!$#uρ 3 ãyγôÛr&uρ ö/ä3s9 4’s1ø—r& ö/ä3Ï9≡sŒ 3 ÌÅzFψ$#
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddah
nya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih
baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”.11
Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan suaminya (janda)
dan kemudian akan nikah lagi, baik nikah dengan dengan mantan suaminya atau
dengan laki-laki lain. Terdapat perbedaan (ikhtila>f) di kalangan ulama dalam
menanggapi ayat tersebut, bahwa larangan dalam ayat ini ditunjukkan kepada
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 91.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al Fikr, 1992), 6-8.
11
Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010), 29.
9
10
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
wali. Sebab sebab turunnya ayat ini (asba>b al-nuzul) adalah riwayat Ma’qil Ibn
Yasar yang tidak dapat menghalang-halangi pernikahan saudara perempuannya,
andaikata dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkannya atau andaikata
kekuasaan itu ada pada diri saudara perempuannya.12
Di Pengadilan Agama Sidoarjo terdapat perkara atau kasus mengenai
wali‘ad{al yang telah ditetapkan Majelis Hakim dalam penetapan perkara
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda. dalam perkara ini wali pemohon (kakak kandung)
keberatan menikahkan adik kandungnya yang sudah berstatus janda umur 47
tahun dan akan menikah dengan seorang duda berumur 46 tahun, dengan tidak
menyertakan alasan yang jelas dan sesuai syar’i, yaitu dengan alasan bahwa
tingkat ekonomi calon suami tidak sekufu’ dengan keluarga pemohon.
Ukuran kafa’ah bukanlah merupakan suatu hal yang mutlaq melainkan
satu hal yang harus diperhatikan guna ntuk mencapai tujuan pernikahan yang
bahagia dan abadi. Pada prinsipnya Islam memandang bahwa semua umat
manusia sama kedudukannya, hanya yang membedakan ketaqwaannya seseorang.
Bobot yang paling utama dalam kafa’ah atau kufu’ ini adalah agama dan akhlak.
Adapun selain itu adalah pelengkap.13
Dari pemaparan di atas terdapat persepsi perbedaan pandangan antara
mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi tentang wali nikah, yaitu menurut mazhab
Sya>fi’i tidak sah
12
13
pernikahan tanpa wali baik gadis atau janda, sementara
Qamaruddin Saleh, Asbababun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1984), 78.
Djama’an Nur, Fikih Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), 76-77.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
menurut mazhab Hanafi wali bukan merupakan syarat dan rukun nikah, baik
gadis atau janda berhak menikahkan dirinya bila sudah dewasa dan berakal sehat.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian ini, karena ada perbedaan (ikhtila>f) antara mazhab Sya>fi’i
dan mazhab Hanafi tentang kedudukan wali dalam pernikahan seorang janda.
Dan untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penetapan nomor: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang permohonan penetapan wali
‘ad{al janda.
Maka dengan itu penulis ingin membahasnya melalui skripsi yang
fi’i dan Mazhab Hanafi Terhadap
berjudul “Studi Komparasi Antara Mazhab Sya>fi’i
Penetapan Hakim No: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda Tentang Perkawinan Janda Yang
Walinya‘Ad{al,
l”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi masalahmasalah yang dapat diteliti sebagai berikut:
1. Pengertian Pernikahan Menurut Islam.
2. Rukun dan syarat pernikahan menurut Islam.
3. Wali nikah bagi seorang janda menurut mazhab Sya>fi’i.
4. Wali nikah bagi seorang janda menurut mazhab Hanafi.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
5. Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan wali
‘ad{al janda.
6. Persamaan dan Perbedaan pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi
terhadap pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan wali ad{al
janda.
Supaya lebih terarah dan lebih jelas, maka perlu diberikan batasan
masalah pada persoalan yang akan diteliti. Pada penelitian ini dibatasi hanya
pada bahasan bagaimana pertimbangan-pertimbangan hakim dan bagaimana
persamaan dan perbedaan pandangan antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi
dalam melihat penetapan No: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang perkawinan janda
yang walinya ‘ad{al.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah yang dipaparkan penulis di
atas, maka penulis merumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
pertimbangan
hakim
terhadap
penetapan
No:
126/Pdt.P/2015/PA. Sda?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara mazhab Sya>fi’i dan mazhab
Hanafi dalam penetapan hakim No: 126/Pdt.P/2015/PA. Sda?
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
D. Kajian Pustaka
Kajian pusatka ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
penelitian yang sejenis sebelumnya, sehingga tidak menimbulkan pengulangan
penelitian dan juga menghindari plagiasi terhadap suatu karya tulis ilmiah.
Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan pembahasan wali ‘ad{al,
diantaranya adalah:
1. Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan
Agama Surabaya No : 573/Pdt.P/2011/PA.Sby Tentang Permohonan
Wali‘Ad{al yang tidak Melalui Prosedur Administrasi”. Ditulis oleh M. Dwi
Hendra Mufaizin, Tahun 2013, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
Skripsi tersebut menjelaskan sesuai Pasal 21 undang-undang no. 1 tahun
1974 tentang perkawinan mewajibkan seseorang untuk melakukan prosedur
penolakan
perkawinan
jika
terdapat
larangan
dalam
melaksanakan
perkawinan yang kemudian diajukan ke Pengadilan Agama dalam bentuk
permohonan. Namun larangan yang dimaksud dalam pasal 21 undang-undang
no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan larangan perkawinan pada
pasal sebelumnya dan wali ‘ad{al tidak tersebut dalam pasal larangan
perkawinan, maka terhadap wali ‘ad{al prosedur administrasi hanya bersifat
fakultatif. Dalam kasus ini pemohon dalam mengajukan permohonannya di
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
Pengadilan Agama Surabaya tanpa melalui salah satu prosedur administrasi
pengajuan wali ‘ad{al yaitu prosedur penolakan perkawinan.14
2. Skirpsi yang berjudul ”Analisis Putusan Hakim Terhadap Wali ‘Ad{al di
Pengadilan Agama Yogyakarta (Studi Putusan No:0052/Pdt.P/2015/PA.
YK).” Skripsi ini ditulis oleh Jauharatul Asykuria, mahasiswi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2015. Skripsi tersebut menjelaskan bahwa wali
pemohon
keberatan
menikahkan
anak
perempuannya
dengan
tidak
menyertakan alasan yang jelas dan tidak sesuai syar’i dan wali beralasan
bahwa calon suami dianggap kurang mampu dengan penghasilan dua juta
rupiah perbulannya. Perbedaan dengan penelitian penyusun adalah yang tidak
dperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan stastusnya adalah janda.15
3. Skripsi yang berjudul ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Perkara
Wali ‘Ad{al di Pengadilan Agama Yogyakarta (Studi Terhadap Penetapan No:
0018/Pdt.P/2010/PA.YK).” Skripsi ini ditulis oleh Hani Maria Zulfa,
mahasiswai UIN Sunan kalijaga Yogyakarta tahun 2010. Skripsi tersebut
menjelaskan
bahwa
wali
pemohon
keberatan
menikahkan
anak
perempuannya dengan tidak menyertakan alasan yang jelas dan tidak sesuai
14
M. Dwi Hendra Mufaizin. Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Surabaya No:
573/Pdt.P/2011/PA.Sby Tentang Permohonan Wali ‘Ad{al yang Tidak Melalui Prosedur
Administrasi, (Skripsi- - UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.
15
Jauharatul Asykuria” Analisis Putusan Hakim Terhadap Wali ‘Ad{aldi Pengadilan Agama
Yogyakarta (Studi Putusan No:0052/Pdt.P/2015/PA. YK).(Skripsi- -UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2015.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
syar’i.
perbedaan
dengan
penelitian
penyusun
adalah
yang
akan
penetapan
No:
melangsungkan pernikahan adalah janda bukan gadis.16
E. Tujuan Penelitian
1. Ingin
mengetahui
pertimbangan
hakim
terhadap
126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
2. Ingin mengetahui persamaan dan perbedaan antara mazhab Sya>fi’i dan
mazhab Hanafi terhadap penetapan hakim No: 126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Dapat memberikan informasi tentang konsep wali nikah dalam hukum
Islam dan undang-undang di Indonesia.
b. Sebagai
upaya
memberikan
khazanah
keilmuan
dalam
bidang
pembaharuan hukum Islam khususnya perkawinan.
2. Kegunaan Praktis
Hani Maria Zulfa” Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Perkara Wali ‘Ad{aldi Pengadilan
Agama Yogyakarta (Studi Terhadap Penetapan No: 0018/Pdt.P/2010/PA.YK). (Skripsi - -UIN Sunan
16
kalijaga Yogyakarta 2010.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
a. Untuk fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan
adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmiah dan
pustaka bagi penelitian selanjutnya.
b. Bagi Pengadilan Agama, dengan adanya penelitian ini diharapkan
menjadi bahan rujukan bagi hakim dalam memutuskan atau menetapkan
permohonan wali ‘ad{al.
G. Definisi Operasional
Supaya pembaca tidak terjadi kesalahpahaman dan terlebih memperoleh
gambaran mengenai judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan
beberapa maksud dari sub judul berikut ini:
Komparasi
:Perbandingan,
perbandingan
disini
yang
dimaksud adalah pandangan mazhab Sya>fi’i dan
mazhab Hanafi tentang wali nikah seorang
janda.
Penetapan
:Adalah
suatu
penetapan
tertulis
yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara
berdasarkan
peraturan
perundang-
undnagan yang berlaku, yang bersifat kongkrit,
final dan menimbulkan akibat hukum bagi
seorang atau badan hukum peradata. Penetapan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
yang
dimaksud
disini
adalah
Nomor:126/Pdt.P/2015/PA.Sda
Penetapan
tentang
permohonan wali ‘ad{al seorang janda.
Wali‘ad{al
:yang dimaksud wali ‘ad{al disini adalah kakak
kandung atau saudara laki-laki dari seorang
janda tersebut.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah
atas suatu hal sebagaimana yang disebutkan dalam rumusan masalah di atas:
1. Data yang dikumpulkan
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data yang
dihimpun untuk menjawab pertanyaaan dalam rumusan masalah yaitu:
a. Data yang pertama yaitu tentang dasar hukum dan pertimbanganpertimbangan hakim.
b. Data yang kedua yaitu data tentang perbedaan
pandangan mazhab
Sya>fi’i dan mazhab Hanafi tentang wali nikah seorang janda.
2. Sumber data
a. Sumber primer, berupa:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
1) Dokumen putusan dalam hal ini adalah penetapan dari Pengadilan
Agama Sidoarjo No. 126/Pdt.P/2015/PA. Sda.
b. Sumber sekunder, berupa: buku-buku yang mempunyai relevansi dengan
pembahasan skripsi meliputi literatur-literatur mengenai pernikahan dan
wali nikah.
1) Abdurrahman Ibn Muhammad ‘Audl al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-
Mazhab al-Arba’ah.
2) Wahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al Islam wa Adillatuhu.
3) Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.
4) Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab.
5) Dan lain-lain.
3. Teknik pengumpulan data
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian
ini adalah:.
a. Dokumentasi (reading text) adalah teknik pengumpulan yang tidak
langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen.17
Maksudnya ialah data yang diperoleh untuk menjawab masalah penelitian
dicari dalam dokumen atau bahan pustaka. Teknik ini penting digunakan,
sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya
17
M.Iqbal Hasan, Metode Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 87.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui
dokumentasi untuk melengkapi data (tentang bahan-bahan yang tertulis
yang dikaitkan dengan masalah tersebut.
4. Teknik pengolahan data
Data yang diperoleh dari lapangan (Pengadilan Agama Sidoarjo)
dianalisis secara kualitatif dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing, Pemeriksaan data secara cermat dari segi kelengkapan,
keterbacaan, relevansi, arti dan makna istilah-istilah atau ungkapanungkapan dari semua data yang berhasil dihimpun.
b. Coding, Usaha untuk mengkatagorikan data dan memeriksa data untuk
relevansi dengan tema.
c. Organizing, Menyusun dan mensistematiskan data yang diperoleh dalam
karangan
paparan
memperoleh
yang
bukti-bukti
telah
dari
direncanakan
gambaran
sebelumnya
secara
jelas
untuk
tentang
pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan walli
‘ad{al.
5. Teknik analisis data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif komparatif. Deskriptif komparatif yaitu metode analisa
dengan cara mendeskripsikan atau memaparkan dan menjelaskan pandangan
mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi, serta membandingkannya untuk mencari
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
persamaan dan perbedaan dalam putusan permohonan wali ‘ad{al janda
No:126/Pdt.P/2015/PA.Sda tersebut melalui teknik dokumentasi.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan
pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Agar dapat dipahami
permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka pembahasan ini akan
disusun oleh penulis sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, identifikasi
masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, landasan teori yang membahas tentang tinjauan umum
tentang pernikahan, syarat dan rukun nikah, wali nikah, wali mujbir dan
wali’ad{al menurut pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi.
Bab ketiga, bab ini mencakup deskripsi singkat Pengadilan Agama
Sidoarjo, kewenangan Pengadilan Agama Sidoarjo, serta menjelaskan tentang
dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang dipakai oleh para hakim di
Pengadilan Agama Sidoarjo dalam menyelesaikan dan menetapkan permohonan
perkara wali ‘ad{al.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
Bab keempat, bab ini berisi tentang analisis mengenai persamaan dan
perbedaan pandangan mazhab Sya>fi’i dan mazhab Hanafi dalam melihat
penetapan permohonan perkara No: 126/Pdt.P/2015/PA.Sda tentang perkawinan
janda yang walinya ‘ad{al.
Bab kelima, pada bab ini memuat penutup yang berisikan kesimpulan dari
hasil penelitian lapangan dan juga saran yang diberikan sesuai dengan
permasalahan yang ada.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB II
TINJAUAN UMUM PERNIKAHAN DAN WALI NIKAH
MENURUT MAZHAB SYAFI’
SYAFI’I DAN
MAZHAB HANAFI
HANAFI
A. Pengertian Pernikahan Menurut Mazhab Sya>fi’i
fi’i
1. Pengertian Pernikahan
Nikah
secara
bahasa
(mengumpulkan), dikatakan
berarti
اﳉﻤﻊ
ﺗﻨﺎﻛﺤﺖ اﻻﺷﺠﺎر
menghimpun),
اﻟﻀﻢ
(pohon-pohon itu saling
berhimpun antara satu dengan yang lain) jika suatu bagian pohon itu saling
berhimpun antara satu dengan yang lainnya. 1
Menurut Mazhab Sya>fi’i, nikah menurut arti aslinya adalah akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan,
sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh.2
Syaikh Muhammad Saryani al-Khotibi, Iqna’ juz II, (Semarang: Maktabah wa Matba’ah Toha
Putra),115.
2
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Indonesia, cet II (Jakarta:
Kencana Prenada Grup, 2012),259.
1
18
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
2. Wali Nikah
Jumhur ulama berpendapat, bahwa adanya wali adalah bersumber
pada Al-Quran dan al-Sunnah. Salah satu sumber dari al-Quran adalah surat
Al-Nur ayat 32:3
(#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ôÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ
ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóムu!#ts)èù
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.4
Secara istilah, yang dimaksud wali adalah sebagaimana pendapat
fuqaha’ yaitu seseorang yang memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
suatu perikatan (akad) tanpa harus adanya persetujuan dari orang (yang di
bawah perwaliannya). Akan tetapi, wali juga memiliki banyak arti, antara
lain:5
a. Orang yang menurut hukum diberikan amanah berkewajiban mengurus
anak yatim dan hartanya sebelum anak itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah. Dalam hal ini yaitu
melakukan janji nikah (ijab dan qabul) dengan pengantin laki-laki.
3
Bagir Al Habsyi, Fikih Praktis…, 56.
Kementrian Agama RI, Al-QuranTerjemahan dan Tajwidnya.., 354.
5
Hasan Muarif Amhary et al. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), 243.
4
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
c. Orang sholeh (suci), penyebar agama; dan
d. Kepala pemerintahan dan sebagainya.
Muhammad Jawad Mughniyah memberi pengertian wali adalah suatu
kekuasaan atau wewenang syar’i atas golongan manusia, yang dilimpahkan
kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang
dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri.6
Adapun Perwalian atau wali dalam literatur fikih Islam disebut al-
wilayah ( ) اﻟﻮﻻﻳﺔkata wali berasal dari bahasa Arab yang dalam bentuk
masdarnya adalah al-wali ( )اﻟﻮﱄdan jamaknya adalah al-awliya ()اﻻوﱄا. Kata
al-wali ( )اﻟﻮﱄmerupakan kata dalam bentuk isim fa’il (orang yang
melakukan) dan dengan ini, kata wali menurut bahasa dapat diartikan sebagai
orang yang menolong.7
Sedangkan
kaitannya
dengan
pernikahan,
mazhab
Sya>fi’i
mendefinisikan wali adalah seseorang yang berhak untuk menikahkan orang
yang berada di bawah perwaliannya.
Menurut mazhab Sya>fi’i, wali adalah rukun dalam suatu pernikahan.
Tanpa adanya wali maka pernikahan yang dilaksanakan tidak sah. Imam
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2011), 345.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2004), 134.
6
7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Sya>fi’i berpendapat jika wanita yang balig dan berakal sehat itu masih gadis,
maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka
hak itu pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa
persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya
sendiri tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali.
Akad yang diucapkan oleh wanita sama sekali, walaupun akad itu sendiri
memerlukan persetujuanya.8
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At Tirmidhi dalam karya
kitab hadisnya Sunan Tirmidhi menjelaskan:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ اﺧﱪﻧﺎ ﺷﺮﻳﻚ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻋﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق و ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ
ﻋﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﺎر ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ اﰊ زﻳﺎد ﺣﺪﺛﻨﺎ زﻳﺪ ﺑﻦ ﻋﻮاﻧﺔ
ﻗﺎ ل: ﺣﺒﺎب ﻋﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق ﻋﻦ اﰊ اﺳﺤﺎق ﻋﻦ اﰊ ﺑﺮدة ﻋﻦ اﰊ ﻣﻮﺳﻲ ﻗﺎل
9
"رﺳﻮل اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ "ﻻ ﻧﻜﺎ ح اﻻ ﺑﻮﱄ
Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Ali bin Hujrin, memberi kabar
kepada kami Sharik bin Abdillah dari Abi Ishaq dan telah bercerita
kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Abu ‘Awanah
dari Abi Ishaq, dan telah bercerita kepad kami Muhammad bin Bishar,
telah bercerita kepada kami ‘Abdur Rahman bin Mahdiy dari Isra’il
dari Abi Ishaq, dan telah bercerita kepada kami Abdullah bin Abi
Ziyad, telah bercerita kepada kami Zaid bin Hubbab dari Yunus bin
Abi Ishaq dari Abi Ishaq dari Abi burdah dari Abi Musa berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan wali:”
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab…, 345.
Abu Isa bin Muhammad bin Isa bin Saurah a Tirmdidhi, Sunan Tirmidzi, jilid II (Beirut: Dar al
Fikri, t.p), 351.
8
9
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
Dalam hadis Rasulullah SAW tersebut terlihat bahwa seorang
perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti
jika tanpa wali maka nikahnya tidak sah.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻴﻨﺔ ﻋﻦ اﰊ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎن ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻋﻦ ﻋﺮوة ان
, اﳝﺎ اﻣﺮاة ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ ادن وﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ:رﺳﻮل اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل
ﺎ ﻓﻠﻬﺎ اﳌﻬﺮ ﲟﺎ اﺳﺘﺤﻞ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﻬﺎ ﻓﺎ ﻓﺎان دﺧﻞ, ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ,ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﻞ
10
"اﺷﺘﺠﺮوا ﻓﺎ اﻟﺴﻠﻄﺎن وﱄ ﻣﻦ ﻻ وﱄ ﻟﻪ
Artinya: telah bercerita kepada kami Abi Amar, telah bercerita
kepada kami Sufyan bin Uyanah dari Abi Juraihin, dari Sulaiman
darial Zuhriyyi dari’Urwah dari ‘Aisyah, Rasululullah saw
bersabda:”Setiap orang perempuan yang menikah tanpa walinya maka
nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika lelaki
itu telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar
(maskawin) untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya. Maka
apabila mereka bersengketa, penguasa (wali hakim) dapat menjadi
wali bagi perempuan tersebut.
3. Wali Mujbir
Kata ijba>r sendiri menurut arti bahasa adalah al-Qahru (memaksa), al-
Ilzamu (pemaksaan). Sedang menurut istilah, ijba>r yaitu hak memilih dan
menentukan secara sepihak atas anak gadisnya siapa bakal suaminya. Dalam
pengertian fikih, bapak atau kakek berhak menikahkan seorang perempuan
tanpa dibutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan, yakni: pertama, bagi
perempuan yang masih gadis. Kedua, bagi janda yang keperawanannya hilang
bukan akibat hubungan seksual. Artinya, hilangnya keperawanan itu bukan
10
Ibid., 352.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
sebab masuknya penis ke vagina, tetapi karena jatuh, memasukkan jari dan
semacamnya.11
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk
menikahkan
orang
berada
dibawah
perwaliannya
meskipun
tanpa
mendapatkan izin dari orang itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan
kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih
sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Selain mereka tidak
berhak ijba>r.12
Dasar penetapan hak ijba>r menurut Mazhab Sya>fi’i adalah tindakan
Nabi yang menikahi ‘Aisyah ketika masih berusia enam atau tujuh tahun dan
mengadakan hubungan setelah berumur sembilan tahun. Tindakan Abu Bakar
yang menikahkan anaknya yang masih belum dewasa ini, ditambah dengan
alasan bahwa semua urusan anak kecil merupakan tanggungjawab orang
tuanya, oleh mazhab Sya>fi’i dijadikan dasar untuk menetapkan adanya hak
ijba>r bapak pada anak yang belum dewasa. Dengan catatan, gadis berhak
memilih (khiya>r) kalau kelak sudah dewasa.13
Adapun pernikahan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara
bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada paham
sebaliknya (mafhum mukha>lafah) hadits yang mengatakan, "janda lebih
Aliy As’ad. Tarjamah Fathul Mu’in Jilid 3.(Yogyakarta: Menara Kudus.1979), 48.
Abdul Ghofur Anshori. Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. (Yogyakarta: UII
Press.2011), 40.
13
Hosen Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 85
11
12
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
berhak pada dirinya". Menurut mazhab Sya>fi’i, mafhum mukha>lafah hadis ini
adalah bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya.
Meskipun dianjurkan musyawarah antara kedua belah pihak (anak gadis
dewasa tersebut dengan wali atau bapak).14
Dari penjelasan mazhab Sya>fi’i di atas terlihat bahwa dalam
mengenai gadis dewasa pun hak wali (bapak) melebihi hak gadis. Menurut
mazhab Sya>fi’i izin gadis bukan lagi suatu keharusan (fard{) tetapi hanya
sekedar pilihan (ikhtiya>r). Pandangan beliau bahwa bapak (wali) boleh
mengurusi wanita dalam pernikahannya apabila pernikahan tersebut
menguntungkan bagi wanita dan tidak mendatangkan mad{ara>t (bahaya).
Sebagaimana dibolehkan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh bapak
atas nama wanita bikr (perawan/gadis) dengan tidak mendatangkan mad{arát
atasnya pada penjualan dan pembelian tersebut.
Alasan rasio bahwa gadis belum mengetahui tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pernikahan karena belum punya pengalaman. Jadi
walaupun gadis itu dewasa dalam hal ini disamakan dengan gadis yang belum
dewasa di mana bapak mempunyai hak ijba>r terhadapnya. Oleh karena itu,
yang menjadi ‘illat diperbolehkannya ijba>r adalah kegadisan. Perwalian ini
bersifat langgeng hingga wanita itu dewasa atau balig selama masih dalam
keadaan gadis.
14
Ibid, 85.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
Ulama
yang
membolehkan
wali
mujbir (ayah
dan
kakek)
menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat
sebagai berikut: 15
a. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.
b. Laki-laki pilihan wali harus sekufu’ (seimbang) dengan gadis yang akan
dinikahkan.
c. Calon suami harus mampu membayar mahar mithil.
d. Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan.
e. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya
sebagai suami yang baik dan tidak terbayang akan berbuat yang
mengakibatkan kesengsaraan istri.
4. Wali ‘Ad{al
Wali ad{al adalah wali yang enggan atau wali yang menolak.
Maksudnya adalah seorang wali yang enggan atau menolak menjadi wali
dalam pernikahan anak perempuannya dengan seorang laki-laki yang sudah
menjadi pilihan anaknya.16
Definisi wali ad{al cukup beragam, menurut Wahbah al Zuhailiy yang
mendefinisikan wali ad{al sebagai: “Penolakan wali untuk menikahkan anak
perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan
Sahal Mahfud, Dialog dengan Kiai Sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, (Surabaya: Ampel
Suci, 2003), 10
16
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), 38.
15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
(sekufu’) atau setara dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah
meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon
mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara’
dilarang”.17
Pembahasan mengenai problema wali ‘aḍal berikut penyelesaiannya
di dalam mazhab Sya>fi’i yaitu melibatkan seorang penguasa (hakim) sebagai
pengendalinya. Maksudnya adalah dialah yang berwenang untuk memproses
dan mengusut permasalahan wali yang berkondisi ‘aḍal tersebut, berikut
mengusahakan dengan upaya apa yang mengantintisipasi dan penyelesaian
munculnya permasalahan tersebut, hal ini di lakukan penguasa atau hakim
tentunya setelah ada laporan pengajuan dari maula wali ‘aḍal tersebut
sebagai pihak yang di perlukan tidak adil atau rugikan.
Namun demikian ada kecendrungan dari kalangan mazhab Sya>fi’i
bahwa untuk menyelesaikan wali ‘aḍal tidak saja terkuasai oleh hakim
sebagai pihak yang berkewenangan untuk menggantikannya, akan tetapi juga
wali yang jauh wali ab’ad pun berkewenangan untuk menggantikannya,
dengan syarat ke ‘aḍal-Nya yang di lakukan wali aqrab telah berkali-kali,
yaitu tiga kali berturut- turut atau lebih.
17
Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Juz 9, (Dar al-Fikr, Beirut, 1997), 6720.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
Mengenai hal ini di ungkapkan oleh seorang ulama fiqih yaitu
Abdurahman al Jaziri dalam kitabnya fiqih ‘Ala Madzahib Al Arba’ah
mengungkapkan, kalangan mazhab Syafi’i berpendapat:18
“ Bahwa apabila seorang wali melakukan pencegahan terhadap perempuan di
walinya dari perkawinan, sedangkan dia menghendaki untuk di langsungkan
perkawinan tersebut, mengingat pasangannya yang telah sekufunya dan
walaupun dengan mahar kurang dari mahar mithil, dari itu ia berhak untuk
melaporkan perkaranya kepada hakim. Kemudian hakim mengawinkannya
sebagai penggantinya dari wali yang bersangkutan karena hak bagi si wali
tersebut belum gugur lantaran pencegahannya yang di lakukan baru sekali
atau dua kali saja, maka hakim lah yang menggantikannya. Akan tetapi
pencegahannya itu sampai berkali-kali (tiga kali atau lebih), maka ialah yang
menjadi fasiq dan di nyatakan telah melakukan perbuatan terlarang dengan
demikian gugurlah haknya dan pindahlah perwalian kepada wali lain yaitu
wali ab’ad”.
Dari penjelasan tadi atas, dapat di peroleh kesimpulan bahwa dalam
mazhab Sya>fi’i wali ‘aḍal akan tampak dan nyata sebagai suatu problema
dalam perwalian, manakala telah di hadapkan dan di buktikan oleh hakim
yang menanganinya mengenai ke ‘aḍal-Nya, hakim berkewajiban untuk
mengupayakan agar perkawinan maulanya bisa berlangsung, pertama dengan
intruksi untuk mencabut ke ‘aḍal-Nya yaitu dengan sanggup melangsungkan
perkawinannya, dan kalau saja dia masih mecegah atau membangkang maka
Abdurrahman Ibn Muhammad ‘Audl al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazhab al-Arba’ah, jilid 4.
(Kairo: Maktabah Dar at-Turats, 2005), 40.
18
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
kewajiban bagi hakim untuk menempuh cara kedua yaitu penggatian wali
atau memakai wali hakim.
B. Pengetian Pernikahan Menurut Mazhab Hanafi
1. Pengertian
Pengertian Pernikahan
Menurut mazhab Hanafi, nikah arti aslinya adalah setubuh dan
menurut arti majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.19
Dalam hal ini, Anwar Haryono menyatakan bahwa perkara
pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.20 Para ahli hukum memberi
beragam pengertian atau definisi pernikahan. Perbedaan itu tidaklah
menunjukkan pertentangan yang tajam, namun hanya perbedaan sudut
pandang. Menurut Sayuti Thalib perbedaan itu lebih memperlihatkan
keinginan para perumus mengenai banyaknya jumlah unsur-unsur yang
hendak dimasukkan dalam perumusan di satu pihak, sedang dilain pihak
dibatasi pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian pernikahan,
unsur yang lain dijelaskan dalam tujuan bukan perumusan.21
Dari pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu
sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditarik kesimpulan hakikat
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Indonesia, cet II..,259.
Hasan Saleh, Fikih Nabawi & Fikih Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2008), 298.
21
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syarih dalam Hukum Indonesia, cet kedua..,259.
19
20
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
pernikahan adalah perjanjian antara calon suami istri untuk membolehkan
bergaul sebagai suami-istri, guna membentuk suatu keluarga.22
2. Wali nikah
Secara bahasa, wali bisa berarti pelindung, bisa juga berarti
pertolongan (nusra{h), bisa juga berarti kekuasaan (sulta{n) dan kekuatan
(qudrah).23 Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong, atau orang
yang memiliki kekuasaan. Atau hak yang diberikan oleh syariat yang
membuat si wali (yakni pelaksana perwalian) mengambil dan melakukan
sesuatu, kalau perlu dipaksa, diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang
diperwalikan.24
Perwalian di dalam pernikahan menurut mazhab Hanafi termasuk ke
dalam perwalian terhadap jiwa, sedangkan perwalian dalam pernikahan
secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu:25
a. Perwalian
yang
bersifat
Ijbár/H{atmin:
Perwalian
yang
bersifat
Ijbár/H{atmin yaitu pengucapan perkataan/perbuatan yang harus dilakukan
oleh orang yang berada di dalam perwaliannya.
22
Ibid, 261.
Abdul Mudjied, et al., Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 416.
24
Bagir Al Habsyi, Fikih Praktis, (Bandung: Mizan,2002), 56.
25
Kamal Al Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn himami, Sharkh Fathu Al Qadir, Juz III (BeirutLebanon: Dar al Kitab al-Ilmiah, 1995), 246.
23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
b. Perwalian yang bersifat Ikhtiya>ri (sukarela) : Perwalian yang bersifat
Ikhtiya>ri (sukarela) adalah hak wali untuk mengawinkan orang yang
berada di dalam perwaliannya berdasar pilihan dan juga kerelaan