KETAATAN KEPADA PEMIMPIN MENURUT AL QUR'AN : TELAAH PENAFSIRAN SAYYID QUTB TERHADAP SURAH AL-NISA': 58-59.
KETAATAN KEPADA PEMIMPIN MENURUT AL-
QUR’AN
(Telaah Penafsiran
Sayyid Qut}b
Terhadap Surah
al-Nisa<’
: 58-59)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
ABDURRAHMAN RIFKI NIM: E93213150
PRODI ILMU AL-
QUR’AN DAN TAFSI
R
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017
(2)
(3)
(4)
(5)
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Abdurrahman Rifki
NIM : E93213150
Fakultas/Jurusan : Ushuluddin dan Filsafat/ Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir E-mail address : abdurrahmanrifky@gmail.com
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :
Skripsi Tesis Disertasi Lain-lain (………) yang berjudul :
KETAATAN KEPADA PEMIMPIN MENURUT AL-QUR’AN (Telaah Penafsiran Sayyid Qut}b Terhadap Surah al-Nisa>’: 58-59)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.
Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 17 Pebruari 2017
Penulis
(Abdurrahman Rifki)
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERPUSTAKAAN
Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300 E-Mail: perpus@uinsby.ac.id
(6)
ABSTRAK
Nama : Abdurrahman Rifki
Nim : E93213150
Judul : Ketaatan Kepada Pemimpin Menurut Al-Qur’an (Telaah Penafsiran Sayyid
Qut}b Terhadap Surah al-Nisa>’: 58-59)
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah melihat fenomena era sekarang masih banyak pemimpin yang agaknya kurang paham terhadap amanah dan tanggungjawab. Sehingga, yang terjadi adalah lalai di dalam melaksanakan kewajiban
yang harus dijalankan. Ini yang menyebabkan, sebagian rakyat kurang mentaati
pemimpinnya sehingga muncullah penelitian ini. 1) bagaimana penafsiran Sayyid
Qut}b terhadap surah al-Nisa>’: 58-59 2) teori apa yang dipakai Sayyid Qut}b dalam
menafsirkan surah al-Nisa>’: 58-59. Adapun fokus dari penelitian ini adalah mengapa
Sayyid Qut}b dalam menafsirkan surah al-Nisa>’: 58-59 tidak menggunakan teori
“asbabun nuzul”, penelitian ini dibahas karena kebanyakan mufassir ketika
menafsirkan ayat ini menggunakan teori asbabun nuzul.
Dalam menjawab permasalah tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dan menggunakan metode tahlili dengan menggunakan teori
asbabun nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an, dan teori ini berusaha keras untuk
memaparkan, bahwa pentingnya adanya sebuah penafsiran yang di latar belakangi dengan asbabun nuzul.
Penelitian ini dilakukan karena dapat memberikan kontribusi dalam studi
al-Qur’an, dengan memberikan informasi ruang gerak yang luas terhadap pemahaman
teori ulum al-Qur’an, dan juga memberikan kontribusi terhadap memahami turunnya
ayat dengan teori asbabun nuzul. Selain, itu juga dapat menghasilkan sebuah solusi untuk dengan memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan teori asbabun nuzul.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah mengapa Sayyid Qut}b dalam menafsirkan
surah al-Nisa>’: 58-59, tidak menggunakan teori asbabun nuzul karena Sayyid Qutb
memandang asbabun nuzul terdapat hadis-hadis yang lemah untuk dipakai dalam
menafsirkan al-Qur’an, dan metode penafsirannya menggunakan metode tahlili dan ia
lebih condong dengan memakai teori kebahasaan dengan pendekatan aspek
kesusastraan dalam menafsirkan al-Qur’an.
(7)
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Tujuan Masalah ... 11
E. Manfaat Penelitian ... 11
F. Penegasan Judul ... 12
G. Telaah Pustaka ... 13
H. Metodologi Penelitian ... 14
(8)
BAB II:TEORI-TEORI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Teori Bahasa... 18
1. Hermeneutika ... 18
2. Semantik ... 19
3. Bala>ghah ... 23
B. Teori ‘Ulu>m al-Qur’a>n... 25
1. Asba>b al-Nuzu>l ... 25
2. Muna>sabah ... 45
BAB III: PENAFSIRAN SAYYID QUT{B TENTANG AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN A. Penafsiran Sayyid Qut}b Tentang Ayat-Ayat Kepemimpinan .... 50
1. Penafsiran Sayyid Qut}b Terhadap Surah al-Nisa>’: 58 ... 50
2. Penafsiran Sayyid Qut}b Terhadap Surah al-Nisa>’: 59 ... 58
B. Analisa Terhadap Penafsiran Sayyid Qut}b ... 67
BAB IV: PENUTUP A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
(9)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sayyid Qut}b salah satu tokoh politik Islam yang sangat berperan dengan
pergerakan Islam dan memiliki pengaruh yang luas terhadap Islam. Sebagai tokoh
politik Islam dan aktivis pergerakan Islam, Sayyid Qut}b juga merupakan tokoh yang
populer. Ketika Sayyid Qut}b bergabung dengan pergerakan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n
pada tahun 1953. Ia berperan sangat penting di dalam pergerakan1 tersebut untuk
memberikan sajian dan penjelasan untuk mempertegas tujuan dan cita-cita Ikhwa>n ke
dalam arah yang bisa mewujudkan sistem Islam. Sayyid Qut}b selalu mengajak
kepada umat Islam untuk melawan semua sistem yang di sebut Jahiliyah, baik yang
dalam negeri Islam maupun negeri yang lain, karena ini ia harus berhadapan dengan
sifat konspirasi yang di anggap penyimpang oleh penguasa dari negara luar dan
dalam negerinya yang tak menghendaki sistem Islam yang harus tegak di dunia.
Namun, berkali-kali ia disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara sampai akhirnya ia
di eksekusi di tiang gantungan oleh rezim penguasa Mesir pada tahun 1966.2
Dengan melihat sekilas latar belakang kehidupan seperti yang sudah dipaparkan
di atas. Sebagai pemikir Islam Sayyid Qut}b memperlihatkan komitmen yang tinggi
terhadap perjuangan dan semangat dalam menegakkan sistem Islam, baik dalam
1
M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1997), 197.
2
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekomendasi Pemikiran Dakwah
(10)
2
tatanan kehidupan yang bersifat individu maupun dalam sosial kemasyarakatan, dan
dalam karyanya yang sangat terkenal yaitu, Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n.
Karya ini merupakan rujukan terpercaya bagi para aktivis Islam. Karya tafsir
Sayyid Qut}b, agaknya unik di kalangan aktivis Islam karena di dalamnya
menjelaskan deretan kata demi kata ia jelaskan, tetapi ini sebagai saksi nyata bahwa
kehidupan mufassir sangat dalam tafsirnya antara hasil renungan dan pengalaman
seorang Sayyid Qut}b. Al-Qur’an merupakan tempat umat dapat menemukan
kebesarannya. Ia menulis tafsir Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n seperti orang yang melalang buana
selama lebih dari empat tahun dalam dunia pemikiran dan kebudayaan, yang ada
ruang gerak membaca karya manusia yang kemudian yang kembali kepada al-Qur’an
dan menemukan semua yang ia cari dalam lembaran wahyu yang selama ini ada di
sisinya.
Sayyid Qut}b menyelesaikan tafsir ini, ketika di penjara denga ikhlas selama
kurun waktu lebih dari sepuluh tahun, dan akhir dari hidupnya di tiang gantungan
sebagai syahid. Ia membayar keyakinan dengan darahnya, dan gambaran dari karya
Sayyid Qut}b sebagai lukisan keyakinananya. Maka, dalam penulisan ini ia
memberikan pemaparan tentang istilah pemimpin.
Pemimpin merupakan sosok manusia yang dipilih mampu dalam mempengaruhi
dan mampu mengatur setiap anggotanya, pemimpin sendiri juga mampu menjadikan
contoh atau teladan di dalam memimpin, seperti halnya nabi yang menjadi panutan
(11)
3
harus memiliki sifat adil dan bijaksana. Namun, kalau melihat fenomena era sekarang
masih banyak pemimpin yang agaknya kurang paham terhadap amanah dan
tanggungjawab. Sehingga, yang terjadi adalah lalai di dalam melaksanakan kewajiban
yang harus dijalankan. Seorang pemimpin adalah orang yang dipercaya Allah SWT
untuk memelihara dan menjaga. Namun, jika tidak, ia tidak akan pernah merasakan
harumnya surga, apalagi menikamti apa yang ada di dalamnya.
Sebenarnya hakikatnya seorang manusia adalah pemimpin dan setiap manusia
pun juga mempunyai tanggungjawab atas pemimpinnya. Manusia sebagai pemimpin
setidaknya ada titik minimal yang harus mampu memimpin dirinya sendiri. Dalam
lingkungan kelompok juga harus ada pemimpin yang ideal yang harus ditaati dan
disegani oleh bawahannya. Pemimpin mempunyai dua bentuk yakni: pemimpin yang
bersifat formal dan pemimpin yang bersifat informal. Kepemimpinan yang bersifat
formal terjadi apabila dilingkungan kelompok atau jabatan yang otoritas formal
dalam kelompok tersebut. Namun, disisi lain orang-orang yang ada akan sangat
dipengaruhi oleh orang lain itupun karena ada kecakapan khusus dari berbagai
sumber yang dimilikinya yang mampu memecahkan permasalahan yang ada, dan
harus memenuhi kebutuhan dari bawahannya yang bersangkutan. Setiap manusia
harus menjadi seorang pemimpin yang paling baik dan segala tingkatan tindakan
tanpa didasari oleh kepentingan politik ataupun kelompok tertentu. Akan tetapi, perlu
diperhatikan bahwa pemimpin yang adil dan berbuat sesuai dengan aspirasi
(12)
4
Maka Allah SWT berfirman di dalam surah al-Nah}l: 90 yang berbunyi:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.3
Maka sebaliknya, pemimpin yang berbuat semena-mena akan menimbulkan
rakyat semakin sengsara. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus cerdas di dalam
menciptakan keharmonisan antara dirinya dan dengan rakyat. Sehingga, ada sebuah
timbal bailk antara keduanya, itulah seorang pemimpin yang paling baik.
Semua orang adalah pemimpin maksudnya hal ini mampu memelihara dan akan
dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya, baik di dalam negara,
keluarga dan lain sebaginya. Pemimpin harus memberikan kesejahteraan di dunia dan
di akhirat karena itu merupakan jaminan bagi para pemimpin yang adil, dan tentunya
rakyat pun akan taat terhadap pemimpin karena tuntutan rakyat sudah terpenuhi
dengan sifat-sifat tersebut.4
Kedudukan dari seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama islam, sehingga
ketaatan kepada merekapun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Karena bisa dilihat dari pemikiran Sayyid Qut}b umat Islam ini harus bertekad
3
A. Hafidz Dasuki, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV. Jaya Sakti, 1984), 277.
4
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negaraan Ajaran, dan Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI
(13)
5
progesis dalam memahami kembali ajaran Islam secara kaffah atau dengan
keseluruhan, kembali kepada al-Qur’a>n dan al-Sunnah, seperti yang dicontohkan
Rasulullah SAW dan para sahabat.
Kepemimpinan yang baik, harus berorientasi pada manusia dan mampu
memberikan bimbingan yang efisien kepada pengikutnya. Pemimpin yang dikatakan
efisien sendiri adalah mampu berkordinasi terhadap pekerjaan pada semua bawahan,
dengan ini maka akan menekan pada rasa tanggungjawab secara internal dan mampu
bekerjasama dengan baik. Karena kekuatan pemimpin secara hakikat terdapat dari
rakyatnya. Secara tidak langsung, pemimpin yang mampu memenuhi kewajiban
terhadap rakyatnya, kepemimpinan seperti inilah akan ditaati tanpa ada rasa paksaan
sedikit pun, walaupun sebenarnya ada beberapa tipe pemimpin yang diluar
pemahaman tersebut. Namun, yang menjadi pegangan dari pemimpin adalah mampu
berlaku adil dan memenuhi amanah, sebab dalam Islam pemimpin yang dikatakan
baik adalah mampun menjalankan keduanya dengan rasa ikhlas dan selalu beriman
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena pemerintahan Islam ketika masa Nabi
Muhammad SAW dan al-Rasyidi>n menunjukkan bahwa sebuah perwujudan dalam
tatanan Islam yang komprehensif, konkrit, dan historis. Akan tetapi, pemimpin dunia
menjadikan Islam menjadi lemah yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
perebutan kekuasaan, kekuasaan non Arab, perpecahan sekuderisasi, ilmuan yang
taklid buta. Pada abad 13 di dunia Islam sendiri sangat buta terhadap madzab fiqh dan
(14)
6
kekuasan Mamluk, daulah Usmaniyah yang hampir berhasil. Namun, hanya selang
beberapa waktu saja karena terbendung oleh agresi Eropa di semua sektor, pada
akhirnya Islam tunduk pada kekuasaan Barat sampai pada abad 19. Awal abad 20
berbagai pembaharuan Islam muncul karena melihat dari kondisi yang ada pada
waktu itu, umat Islam bangkit dan lahirnya pelopor yang terkemuka oleh cendiawan
Islam. Di sini Islam mulai sadar bahwa, sifat kejumudan akan menimbulkan
ketertinggalan dari dunia Barat karena mereka bangkit dan berusaha merebut kembali
kejayaan dunia Islam.
Sayyid Qut}b sendiri menilai bahwa, pemerintahan Islam adalah yang bercorak
humanis, terutama dengan konsepsi sebuah persatuan dan tujuan yang dikehendaki
oleh seluruh umat manusia yang terhimpun di dalam sebuah persaudaraan dan
persamaan.
Namun, berbeda dengan pemikiran Sayyid Qut}b di dalam memaknai ketaatan
kepada pemimpin sangat di pengaruhi oleh ideologi pemerintahan pada waktu itu.
Ketika melihat paparan beliau tentang hal tersebut, yang termaktub di dalam surah al-Nisa>’: 58-59:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
(15)
7
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.5
Hai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.6
Ada beberapa prinsip keadilan yang di suguhkan. Pertama, setiap orang
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan
yang sama bagi semua orang.
Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemian rupa sehingga
dapat diharapkan memberi keuntungan kepaada semua orang dan semua jabatan yang
terbuka bagi semua orang. Prinsip kedua ini berkenaan dengan distribusi pendapatan,
masyarakat yang menerapkan prinsip dua ini membuat posisinya otoritas terbuka bagi
semua orang, sehingga tunduk dengan batasan ini, akan mengatur ketimpangan sosial
ekonomi sedemikian hingga semua orang diuntungkan.
Sebenarnya peran dari keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran atau suatu teori yang elegan dan
ekonomis, bisa ditolak atau direvisi jia ia tidak benar maka konsekuensinya juga
5
A. Hafidz Dasuki, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV. Jaya Sakti, 1984), 87.
6
(16)
8
hukum dan institusi, yang tidak perduli tapi betapapun efisien dan rapi, maka harus
direformasikan atau dihapus jika tidak adil.
Menyangkut ayat di atas, bahwa menunaikan amanah yang Allah percayakan
kepada manusia untuk mengamalkan kitab suci al-Qur’an untuk menuntun kaum
muslimin agar tergolong menjadi umat mentaati Allah dan Rasul-Nya. Karena
amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan
dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanat sendiri
lawan dari kata khianat. Ia tidak diberikan kecuali kepada orang yang menilai oleh
pemberinya dapat memelihara dengan baik dengan apa yang diberikan.
Menetapkan hukum dengan adil dalam ayat 58-59, yang mengisyaratkan bahwa
setiap manusia telah menerima amanah yang potensial sebelum kelahirannya dan
secara aktual sejak akil baligh, dan ayat tersebut juga tergambar di dalam surah
al-Ah}za>b: 72 yang berbunyi:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.7
Untuk mengelola kenegaraan dengan memiliki pemimpin yang amanat dan adil
di dalam memutuskan sebuah hukum. Keadilan yang dibicarakan dan tuntutan oleh
al-Qur’an sangat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum seperti yang
7
(17)
9
sudah disinggung. Akan tetapi, pihak yang berselisih, melainkan al-Qur’an juga
menuntut keadilan terhadap diri sendiri, maka Allah SWT berfirman dalam surah
al-An’a>m: 152 yang berbunyi:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah SWT yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.8
Maka jelas bahwa sekilas ketika membicarakan surah al-Nisa>’: 58-59, lebih
menitik beratkan pada sebuah proses mengambilan keputusan terhadap sebuah hukum
yang ditetapkan Allah SWT, tapi uniknya dalam penafsiran Sayyid Qut}b terhadap
surah 58-59 memiliki muatan yang sangat besar terhadap pemimpin yang harus di
taati. Namun, berbeda dengan para mufassir yang lain yang memiliki muatan hanya
pada kemasyarakatan. Keunikan dari pemikiran Sayyid Qut}b terhadap ayat tersebut
juga mengartikan bahwa, keputusan yang dibuat manusia sebenarnya tidak ada
gunanya, karena dalam keputusan yang dibuat manusia tidak selamanya mempunyai
muatan kebijakan terhadap pemerintahan, karena itu mangakibatkan kerusakan
tatanan nilai, dan moral.
8
(18)
10
B. Batasan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas dan keterbatasan kemampuan jangkauan
penulis untuk menganalisis pemikiran Sayyid Qut}b yang begitu luas cakupannya
dalam bebagai bidang ilmu pengetahuan dan kehidupannya, maka penulis membatasi
dan merumuskan masalah ketaatan kepada pemimpin sebagaimana yang dijelaskan
menurut al-Qur’an(Telaah Penafsiran Sayyid Qut}b Terhadap Surah al-Nisa>’: 58-59).
Membatasi dalam masalah yang diteliti yakni bagaimana penafsiran Sayyid Qut}b
terhadap ayat-ayat kepemimpinan yang di dalam surah al-Nisa>’: 58-59, kemudian
menitik beratkan pada analisa terhadap penerapan teori apa yang dipakai dalam
penafsiran Sayyid Qut}b yang akan dibahas dalam peneliti, guna mengetahui manfaat
yang di pakai oleh para mufassir.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan realita yang ada, maka di dalam pembahasan ini penulis
merumuskan ketaatan kepada pemimpin sebagaimana yang dijelaskan dalam
al-Qur’an (Telaah Penafsiran Sayyid Qut}b Terhadap Surah al-Nisa>’: 58-59) dalam suatu
rumusan:
1. Bagaimana penafsiran Sayyid Qut}b tentang ayat-ayat kepemimpinan dalam
surah al-Nisa>’: 58-59?
2. Teori apa yang dipakai Sayyid Qut}b dalam menafsirkan surah al-Nisa>’:
(19)
11
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini mendikripsikan
ketaatan kepada pemimpin menurut al-Qur’an (Telaah Penafsiran Sayyid Qut}b
Terhadap Surah al-Nisa>’: 58-59) dengan poin tujuan, yaitu:
1. Untuk memaparkan ayat-ayat tentang kepemimpinan yang ditafsirkan Sayyid
Qut}b.
2. Untuk mendiskripsikan teori apa yang dipakai Sayyid Qut}b dalam
menafsirkan al-Nisa>’: 58-59.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk dapat memberikan informasi kepada dunia akademisi, khusunya
cendekiawan ilmu al-Qur’an dan tafsir, tentang ketaatan kepada pemimpin
menurut al-Qur’an (Telaah Penafsiran Sayyid Qut}b Terhadap Surah
al-Nisa>’: 58-59).
2. Untuk menambah khazanah pengetahuan Islam kepada masyarakat dan di
kalangan pesantren.
3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang ilmu teori asba>b al-nuzu>l
dalam disiplin ‘ulu>m al-Qur’a>n.
(20)
12
Agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami penelitian yang berjudul
“Ketaatan Kepada Pemimpin Menurut Al-Qur’an (Telaah Penafsiran Sayyid Qut}b
Terhadap Surah al-Nisa>’: 58-59)”, maka akan sedikit dijelaskan ulang bahwa
pembahasan penelitian ini tertuju hanya pada Penafsiran Sayyid Qut}b tentang
ketaatan kepada pemimpin dalam Surah al-Nisa>’ ayat 58 dan 59, dengan
menggunakan pendekatan teori asba>b al-nuzu>l, teori ini nantinya akan menjadi titik
fokus dalam penelitian ini, yang mana konsekuensi penafsir yang menggunakan dan
sebaliknya. Karena, penelitian tersebut menjadi acuan terhadap bagaimana penting
teori itu di terapkan di dalam menafsirkan al-Qur’an, tentunya akan menghasilkan
tolak ukur seorang penafsir apakah itu dipahami atau tidak bisa dipahami. Sehingga
akan membuat ketidakjelaskan di dalam sebuah penafsiran yang dilakukan oleh
ulama ahli di bidang tafsir tersebut. Meskipun nantinya ada ayat-ayat pendukung.
Akan tetapi, ayat-ayat pendukung di sini hanya bersifat membantu dan mempertegas
(21)
13
G. Telaah Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada yang cendikiawan Islam yang
menulis secara khusus ketaatan kepada pemimpin dalam penafsiran Sayyid Qut}b.
Kalaupun ada ataupun karya ilmiah yang menengahkan pemikiran Sayyid Qut}b
hanya sekilas. Namun, ada juga yang membahas pemikiran Sayyid Qut}b dengan
menerapkan konsep Islam dalam tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Namun ada juga yang
membadingkan pemikiran Sayyid Qut}b dengan ulama tafsir yang lain, telaah pustaka
sebagai berikut:
1. Konsep Politik Islam Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zilal Qur’an, karya Fuad Luthfi, skripsi pada prodi politik Islam fakultas fisip uin syarif
hidayatullah Jakarta tahun 2015. Pembahasan skripsi ini lebih terfokus pada
konsep Islam yang disuguhkan oleh Sayyid Quthb sendiri serta dengan teori
pendekatan kenegaraan politik Islam, dengan konsep demokrasi dalam
Islam, dengan menambahkan teori kekhilafahan dalam Islam.
2. Studi Penafsiran Sayyid Qutub dan Ibnu Katsir Terhadap Lafadz Ulul
Albab dalam Surah Ali Imron Ayat 190-191, karya Niswah Maziyatun,
skripsi pada prodi ilmu al-Qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin dan filsafat
uin sunan ampel Surabaya tahun 2016. Pembahasan skripsi ini bagaimana
memaknai lafal ulul albab dengan mengunakan metode komparasi antara
(22)
14
yang sempurna dan cerdas. Karena akal sendiri dapat mengetahui segala
sesuatu dengan hakikatnya masing-masing.
3. Studi Analisis Perbedaan Penafsiran M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub
Terhadap Surah Al-Nisa’ 34, Siti Mawahidah, skripsi pada prodi ilmu al-Qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin dan filsafat uin sunan ampel Surabaya tahun 2016. Pembahasan skripsi ini memaparkan tentang perbedaan dan
persamaan penafsiran tentang peran seorang laki-laki dan perempuan yang
dilakukan oleh M. Quraish Shihab dan Sayyid Qutub.
Sedangkan penulis berupaya untuk mengungkapkan ketaatan kepada pemimpin
yang tertuang di dalam kitab tafsirnya yang terkenal yakni Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n dengan
menggunakan pendekatan teori asba>b al-nuzu>l. Dengan demikian, apa yang
diupayakan oleh penulis ini bukan merupakan suatu pengulangan dari apa yang telah
dipublikasikan atau ditulis oleh penulis lain.
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berbentuk penelitian dekriptif. Penelitian ini dilakukan melalui
riset kepustakaan (library research), dan kajian disajikan secara deskriptif dan
analitis.9
9
(23)
15
2. Sumber data
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh data yang mengarah pada
tujuan, maka penulis menggunakan sumber data sebagai berikut:
a. Data Primer, yaitu sumber data yang asli, yakni dalam hal ini penulis akan
mengambil tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid Qut}b.
b. Data sekunder meliputi kitab-kitab tafsir seperti, Ma’a>lim Fi> al-Thari>q karya
Sayyid Qut}b, Tafsi>r al-Misbah karya Quraish Shihab, Tafsi>r al-Azhar karya
Hamka, Tafsi>r al-Ibri>z karya K.H. Bisri Mustofa, Fikih Politik Islam karya
Farid Abdul Khaliq, Safwa>t al-Tafasi>r karya Ali> al-S}abuni>, Tafsi>r Tarjuma>n al-Mustafi>d Karya Abd Ra’uf al-Sinkili.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
adalah:10
a) Penulisan dalam berbagai literatur keperpustakaan.
b) Menelaah berbagai macam buku yang berkaitan dengan permasalahan
yang ada penulis teliti.
4. Teknik Analisis data
Data-data yang berhasil dihimpun selanjutnya dianalisis dengan metode
analisis data sebagai berikut:11
10
Sugioyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2008), 247.
11
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Bandung: Rosdakarya, 2006),
(24)
16
a) Pengelola data secara editing, yaitu pemeriksaan kembali seluruh data yang
diperoleh mengenai kejelasan data, kesesuaian data yang satu dengan yang
lainnya, relevansi keseragaman satuan atau kelompok data.
b) Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematisasi data-data yang
diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya,
sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk merumuskan suatu deskripsi.
c) Perbandingan, adalah membandingkan berbagai pengertian yang telah
penulis telusuri di dalam penelitian ini, sehingga bisa menekan kesimpulan
dari berbagai macam pngertian yang telah ditelaah oleh penulis.
I. Sistematika Pembahasan
Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka
peneliti akan menyajikan sistematika penulisan karya ini. Sehingga dengan
sistematika yang jelas, hasil penelitian proses reproduksi manusia ini lebih baik dan
terarah seperti yan diharapkan peneliti dan pembaca. Adapun sistematika karya ini
sebagai berikut:
Adapun yang penulis bahas dalam bab I adalah: Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Penegasan Judul, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika
(25)
17
Dalam bab II, penulis akan mendiskripsikan teori-teori penafsiran al-Qur’an
yang meliputi teori bahasa: hermeneutika, semantik, dan bala>ghah, dan teori ‘ulu>m
al-Qur’a>n meliputi teori asba>b al-nuzu>l, dan muna>sabah.
Dalam bab III, Penulis akan mendiskripsikan penafsiran Sayyid Qut}b dalam
surah al-Nisa>’: 58-59, dan menganalisa penafsiran Sayyid Qut}b dalam surah tersebut.
Dalam bab IV, adalah penutup, penulis akan menguraikan kesimpulan dan
(26)
BAB II
TEORI-TEORI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Untuk menafsirkan al-Qur’an diperlukan adanya teori-teori penafsiran
al-Qur’an di antaranya teori bahasa yang meliputi hermeneutika, semantik, bala>ghah,
dan teori ‘ulu>m al-Qur’a>n juga meliputi asba>b al-nuzu>l dan muna>sabah. Fokus dalam
teori ini adalah pada penerapan teori asba>b al-nuzu>l. Di bawah ini akan dibahas
teori-teori tersebut di antaranya:
A. Teori Bahasa 1. Hermeneutika
Penafsiran al-Qur’an tradisional telah mengenal istilah tafsir, ta’wil, dan al
-bayan. Tentunya hal ini tidak aneh karena hermeneutika berasal dari kosa kata
Barat berlatar belakang yang digunakan oleh beberapa pemikir Muslim
kontemporer dalam merumuskan metodologi penafsiran baru salah satunya yang
populerkan oleh, H{asan H{anafi>.
Sejarah dari hermeneutika muncul ketika abad pertengahan dari tokoh pemikir
besar yakni Thomas Aquinas, ia memiliki sebuah karya yang berjudul “Summa
Theologica” yang menekankan kepada interpretasi ke dalam wadah Bible secara literatur.
(27)
19
Sedangkan sejarah tafsir yang tertuang sangat sistematis dalam ilmu
pengetahuan Islam dan peradaban Islam sehingga dapat dikatakan kalau sejarah
tafsir yang memiliki tempat mapan dalam pradaban. Perspektif hermeneutika
dilarang dalam menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai subyek bebas nilai yang
menafikan nilai-nilai keontetikan al-Qur’an sebagai firman Tuhan, namun tidak
semua konsep-konsep yang ada dalam hermeneutika ditinggalkan, tetapi dalam
menggunakan metode hermeneutika harus tetap mempertimbangkan prinsip dasar
yang digunakan dalam memahami al-Qur’an.
2. Semantik
Semantik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani semantikos yang memiliki
arti memaknai, mengartikan, dan menandakan. Secara istilah semantik
menyelediki tentang makna, baik berkenaan dengan hubungan antar kata-kata dan
lambang.
Semantik merupakan salah satu metode yang ideal dalam mengungkapkan
makna dan pelacakan perubahan makna yang sesuai dengan maksud penyampaian
oleh Allah. Pendekatan yang paling cocok dalam mengungkap makna serta
konsep yang terkandung dalam al-Qur’an adalah semantika al-Qur’an. Jika dilihat
dari struktur kebahasaan maka semantik mirip dengan ilmu balaghah dalam
bahasa Arab. Selain itu medan persamaan antara satu dengan yang lainnya mirip
(28)
20
menjelaskan dalam surah-surah al-Ra’d: 37, al-Nah}l: 103, T{a>ha>: 113, al-Shu’ara>: 195, al-Zumar: 28, al-Fus}s}ila>t: 3, al-Shu>ra>: 7, al-Zukhruf: 3, dan al-Ah}qa>f: 12. Berdasarkan kenyataanya, maka sangat menarik dan masuk akal bila penguasaan
bahasa Arab dijadikan salah satu kriteria yang sangan penting dalam memahami
al-Qur’an. Dalam kaitan ini kiranya tidak berlebihan bila Mujahid, seorang tokoh
mufassir di kalangan tabi’in, menegaskan:
“Tidak wajar bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat
membeicarakan sesuatu tentang kandungan Kitab Allah sebelum mendalami bahasa
Arab”
Konsep pokok yang terkandung dalam makna kata-kata al-Qur’an dijelaskan
dalam beberapa langkah penelitian, yaitu:
Pertama, menentukan kata yang akan diteliti makna dan konsep yang
terkandung di dalamnya. Kemudian menjadikan kata tersebut sebagai kata fokus yang
dikelilingi oleh kata kunci yang mempengaruhi pemaknaan kata tersebut hingga
membentuk sebuah konsep dalam sebuah bidang semantik. Kata fokus adalah kata
kunci yang secara khusus menunjukkan dan membatasi bidang konseptual yang
relatif independen berbeda dalam keseluruhan kosa kata yang lebih besar dan ia
merupakan pusat konseptual dari sejumlah kata kunci tertentu. Kata kunci adalah
kata-kata yang memainkan peranan yang sangat menentukan dalam penyusunan
(29)
21
adalah wilayah atau kawasan yang dibentuk oleh beragam hubungan diantara
kata-kata dalam sebuah bahasa.1
Kedua, langkah berikutnya adalah mengungkapkan makna dasar dan makna
relasional dari kata fokus. Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu
sendiri yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna
relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna
yang sudah ada dengan meletakkan kata pada posisi khusus dalam bidang khusus,
atau dengan kata lain makna baru yang diberikan pada sebuah kata bergantung pada
kalimat dimana kata tersebut digunakan.2 Makna dasar bisa diketahui dengan
menggunakan kamus bahasa Arab yang secara khusus membahas tentang kata-kata
yang ada di dalam al-Qur’an. Sedangkan makna relasional dapat diketahui setelah
terjadinya hubungan sintagmatis antara kata fokus dengan kata kunci dalam sebuah
bidang semantik.3
Ketiga, langkah selanjutnya adalah mengungkapkan kesejarahan makna kata
atau semantik historis. Dalam pelacakan sejarah pemaknaan kata ini ada dua istilah
penting dalam semantik, yaitu diakronik dan sinkronik. Diakronik adalah pandangan
terhadap bahasa yang menitikberatkan pada unsur waktu. Sedangkan sinkronik adalah
1
J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), 27.
2
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an .terj, Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: LKiS,
2005), 19.
3
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006),
(30)
22
sudut pandang tentang masa dimana sebuah kata lahir dan mengalami perubahan
pemaknaan sejalan dengan perjalanan sejarah penggunaan kata tersebut dalam sebuah
masyarakat penggunanya untuk memperoleh suatu sistem makna yang statis. Dalam
pelacakan sejarah kata dalam al-Qur’an, secara diakronik melihat penggunaan kata
pada masyarakat Arab, baik pada masa sebelum turunnya al-Qur’an, pada masa Nabi
SAW, pada masa setelah Nabi SAW hingga era kontemporer untuk mengetahui
sejauh mana pentingnya kata tersebut dalam pembentukan visi Qur’ani. Sedangkan
secara sinkronik lebih menitikberatkan pada perubahan bahasa dan pemaknaannya
dari sejak awal kata tersebut digunakan hingga ia menjadi sebuah konsep tersendiri
dalam al-Qur’an yang memiliki makna penting dalam pembentukan visi Qur’ani.
Keempat, setelah mengungkapkan kesejarahan kata dan diketahui makna dan
konsep apa saja yang terkandung di dalam kata fokus, langkah terakhir adalah
mengungkapkan konsep-konsep apa saja yang ditawarkan al-Qur’an kepada
pembacanya agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
terbentuklah kehidupan yang berlandaskan aturan-aturan al-Qur’an (Allah), dan
mewujudkan visi Qur’ani terhadap alam semesta. Hal ini lebih terlihat pada implikasi pemahaman konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari dimana konsep yang
(31)
23
3. Bala>ghah
Al-Qur’an bukan kitab sastra dan bukan pula hasil dari karya yang
direnungkan oleh sastrawan, melainkan sebuah kitab suci yang bertujuan
membimbing umat ke jalan yang benar agar manusia hidup dengan selamat dari
dunia sampai akhirat.
Berdasarkan kenyataan yang demikian, maka untuk memahami al-Qur’an
dengan diperlukannya penguasaan ilmu balaghah atau dalam bahasa Indonesia
disebut dengan ilmu susatra atau kesusastraan.
Dari berbagai literasi ilmu dapat disimpulkan bahwa ilmu balaghah
membahasa tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kalam Arab,
khususnya berkenaan dengan pembentukan kalimat dan gaya bahasa dalam
berkomunikasi. Apabila pembahasannya difokuskan dalam bidang makna yang
dikandung oleh ungkapan atau kalimat yang disampaikan, ini disebut dengan
“Ilmu Ma’a>ni”; jika pembahasannya menyangkut penyampaian suatu maksud
dengan menggunakan berbagai pola kalimat yang bervariasai, ini bisa disebut
“Ilmu Baya>n”; dan jika yang dikaji adalah kaidah yang berhubungan dengan cara
penyusunan bahasa yang indah dan gaya estetis yang tinggi, ini disebut dengan “Ilmu Badi>’”.4
Maka ilmu balaghah ini membahas tiga bidang pokok: Ilmu
Ma’ani, atau dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan ke dalam kajian
semantik; Ilmu Bayan, antara lain membeicarakan ungkapan metaforis, kiasan,
4Ah}mad al-H{a>shimi>, Jawa>hir al-Bala>ghah fi> al-Ma’a>ni wa Badi>’
, Cet. XII (Beirut: Da>r
(32)
24
dan sebagainya; dan Ilmu Badi’, khususnya membicarakan keindahan suatu ungkapan dari sudut redaksi dan maknanya.
Bala>ghah mempunyai implikasi yang besar dalam proses menafsirkan
al-Qur’an. Dari itu, tidaklah berlebihan bila al-Dhahabi> menjadikannya sebagai
salah satu persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Ibnu
Khaldun juga sependapat dengan hal tersebut. Namun, ada beberapa ulama yang
tidak sepakat dengan kesimpulan itu, seperti Ibn Qashsh, dari kalangan ulama
Shafi>’iyah, Ibn Khuwayaz Mandad dari Makiyah, Dawud al-Zahiri>. Mereka yang
menolak ini pada umumnya berpendapat bahwa pemakaian kata-kata majaz
(kiasan) dalam pembicaraan baru digunakan dalam keadaan terpaksa. Kondisi
semacam ini mustahil bagi Tuhan; bahwa dengan sedikit berlebihan mereka
berkata: “majaz adalah saudara bohong, dan al-Qur’an suci dari kebohongan.”
Pendapat serupa ini bisa membawa kepada kesimpulan bahwa untuk
memahami dan menafsirkan al-Qur’an tidak siperlukan penguasaan “Ilmu
Balaghah” khususnya “Ilmu Baya>n”.
Mayoritas ulama menolak pendapat ini karena tidak adanya dukungan oleh
pengalaman empiris dalam proses penafsiran tersebut. Bahkan al-Zarkashi> dan
al-Suyu>t}i> menyatakan bahwa pendapat itu adalah batal. Seandainya tidak ada majaz
adalam al-Qur’an demikian al-Suyu>t}i> niscahya gugurlah sebagian keindahannya
sebab para sastrawan telah sepakat bahwa majaz jauh lebih indah dan efektif
(33)
25
B. Teori ‘Ulu>m al-Qur’a>n
1. Asba>b al-Nuzu>l
Di antara prinsip penting dalam memahami al-Qur’an dan menafsirkan al
-Qur’an adalah memperhatikan asba>b al-nuzu>l seperti diakui oleh ulama,
al-Qur’an diturunkan pada dua bagian. Bagian yang pertama adalah di turunkan
secara spontan (tanpa sebab tertentu), yaitu mayoritas isi al-Qur’an, seperti
terlihat. Bagian yang kedua adanya kejadian peristiwa tertentu atau bisa dikatakan
adanya pertanyaan. Pada sepanjang masa turunnya wahyu, yaitu dua puluh tiga
tahun.
Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia dengan wahyu yang
diturunkan-Nya melalui utusan-Nya. Petunjuk Allah sangat berlaku untuk semua
manusia di semua tempat dan zaman itu yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’an.
Al-Qur’an, yang terdiri atas ayat-ayat dan surah itu, tidaklah diturunkan
sekaligus, akan tetapi berangsur-angsur. Di antara hikmah yang diturunkan secara
bertahap ini, adalah agar manusia tidak terlalu sukar di dalam memahami al-Qur’an.
Dalam sejarahnya, ayat-ayat al-Qur’an yang turun, ada yang tanpa didahului
sebab dan ada yang didahului oleh sebab tertentu.5 Ayat yang turun hanya
didahului oleh sebab-sebab tertentu ada yang yang secara tegas secara diskriptif
5Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(34)
26
di dalam ayat dan ada pula yang tidak dinyatakan secara idzhar (jelas) di dalam
ayat yang bersangkutan. Banyak sekali yang menulis kitab yang mengfokuskan
bahasanya tentang asba>b al-nuzu>l, di antara mereka yang pertama kali adalah Ali>
bin Madini>, guru dari Imam Bukhari. Akan tetapi, kitab yang paling terkenal
tentang asba>b al-nuzu>l yakni Abu> H{asan Ali> bin Ahmad al-Wa>h}idi>, atau dikenal
dengan sebutan al-Wa>h}idi> walaupun di dalamnya sendiri terdapat banyak
kekurangan. Sebenarnya aspek asba>b al-nuzu>l terdapat ayat yang secara tegas
menyatakan sebab turunya, di antaranya yang tergambar di dalam ayat yang
memuat lafaz}-lafaz} Yas’alu>naka (mereka yang bertanya kepadamu) atau
Yastaftu>naka(mereka meminta fatwa kepadamu). Sedangkan yang tidak termuat
secara tegas maka sebab turunya, dapat dipelajari melalui hadis-hadis Nabi. Istilah sebab sebenarnya, tidak sama dengan pengertian istilah “Sebab” yang dikenal dalam hukum kausalitas. Di sini bisa dilihat bahwasanya lafal sebab
dalam hukum kausalitas adalah keharusan wujudnya untuk melahirkan siatu
akibat. Secara logika suatu akibat tentunya tidak akan terjadi tanpa adannya sebab
terlebih dahulu. Menurut al-Qur’an, walaupun di antara ayat-ayat yang turun di
dahului oleh sebab tertentu, akan tetapi sebab yang di maksud di sini adalah
secara teoritis tidak mutlak adanya, walaupun memang empiris. Namun, telah
terjadi peristiwanya adanya sebab nuzu>l al-Qur’a>n, juga merupakan salah satu
(35)
27
muculnya asba>b al-nuzu>l, tapi akan lebih tampak keabsahan al-Qur’an sebagai
petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan manusia.
Menurut al-Zarkashi>, adanya sebab turunya ayat al-Quran ada dua
kemungkinan: Pertama, adanya pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi. Kedua,
adanya peristiwa tertentu yang bukan dalam bentuk pertanyaan. Kemungkinan yang pertama adalah seperti halnya di dalam surah Isra’: 85, dan kemungkinan
yang kedua, seperti di dalam surah al-Taubah: 113. Al-Zarkashi> menyusun
pengertian asba>b a-nuzu>l al-Qur’a>nsecara lengkap sebagai berikut:6
Asba>b al-Nuzu>l ialah sesuatu, yang turun satu ayat atau beberapa ayat berbicara tentangnya (sesuatu itu) atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut.
Sedang di dalam term aya>ma wuku> ‘ihi definisi tersebut, merupakan taqyi>d (batasan waktu terjadinya suatu peristiwa), sehingga dengan demikian,
sebenarnya tidaklah termasuk ayat-ayat yang turun tanpa adanya sebab. Oleh
karena itu, menurut al-Zarkashi>, terjadinya sebuah peristiwa di zaman Nabi SAW,
bisa saja di saat sebelum atau sesudah turunya ayat.7
Adapun tolak ukur jarak waktu antara peristiwa yang mendahului turunnya
ayat, hal ini mengundang ulama yang kurang sepakat. Misalnya:
a. Sebagian ulama menyatakan, bahwa anatara peristiwa dengan ayat
yang turun, dapat dilihat bagaimana jarak waktu yang cukup lama. Antara lain
pendapat ini dikemukakan oleh al-Wa>h}idi>. Ia mengatakan di dalam surah
6Al-Zarkashi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, tahq>iq: Muhammad Abu> al-Fadhl Ibra>hi>m
, Juz I
(Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), 30-31.
7Al-Zarkashi>, al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(36)
28
Fil. Ia berpendapat, surah ini turun karena peristiwa terjadinya penyerangan
tentara gajah Ka’bah.8 Menurut sejarah yang disepakati oleh Jumhu>r ulama, di
dalam perang tersebut terjadi ketika pasukan gajah di saat itu juga nabi lahir.
Maka, jarak antara peristiwa tersebut kurang lebih sekitar 40 tahun, dengan
turunya ayat.
b. Ada sebagian ulama juga mengatakan bahwa, jarak waktu anatara
peristiwa dengan ayat turun tidak boleh terlalu lama. Kalau dilihat dari
pendapat ini, ada pengkritikan terhadap al-Wa>h}idi>, karena dengan
menyatakan bahwa kedudukan dari sebuah peristiwa penyerangan tentara
gajah sama dengan kisah-kisah kaum ‘Ad, Tsamud, pembangunan Ka’bah,
dan juga di angkatnya Nabi Ibrahim sebagai khali>l Allah, dan lain sebagainya.
Kisah-kisah tersebut bukanlah dari sebab turunya ayat, karena bisa saja waktu
dengan ayat yang turun sangat lama sekali.9 Akan tetapi, firqah ini tidak pula
menegaskan secara pasti tentang tolak ukur waktu yang ditolerir sehingga
suatu peristiwa dapat dinyatakan sebagai sebab turunya suatu ayat.
Sebagian ulama berbeda pendapat tentang bagaimana yang dinyatakan
sebagai lafal “asba>b” bagi peristiwa yang terjadinya penyusul setelah ayat yang
turun. Akan tetapi, pada umumnya banyak yang mengakui bahwa, ada ayat yang
turun lebih dahulu dari peristiwa yang terjadi. Surah al-Balad, surah ini bisa
dikatakan di dalam prihal di atas karena surat ini adalah makkiyah sedang
8Ahmad al-Wa>h}idi>, Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n
(Mesir: Da>r al-Ilm, 1968), 500.
9Al-Suyu>t}i>, Luba>b Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l
(37)
29
berdominisinya Nabi (H{illu) yang tertera di dalam surah al-Balad baru terjadi
ketika fath} (Penaklukan) kota Makkah. Ketika itu Nabi mengatakan:10 uh}ilat li
sa>’ah min naha>ri (saya telah diberi kesempatan tinggal di Makkah suatu saat di siang hari). Jarak antara waktu kejadiannya di sini, cukup lama. Akan tetapi,
kejadian tersebut masih di zaman Nabi, maka bisa dinyatakan sebagai sabab
al-nuzul, namun bisa dikatakan sebagai prediksi yang dikemukakan oleh nabi SAW
sesuatu dengan petunjuk Allah.
Istilah tentang asba>b al-nuzu>l al-Qur’a>n juga dikatakan sebagian para ulama. Akan tetapi, tampak istilah ini agaknya berbeda dalam redaksinya saja, dari istilah
tersebut. Ulama berbeda istilah dalam memaknai asba>b al-nuzu>l, misalnya yang
dikemukakan oleh:
a. Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n mengatakan: huwa ma> nuzzula qur’a>na bisya’nihi waqad waqu>lu‘ihi kama>disati ausua>li (Seba>b al-nuzu>l ialah sesuatu, yang turun al-Qur’an berkenaan dengannya pada waktu terjadinya seperti suatu peristiwa yang terjadi atau ada pertanyaan).
b. Subh}i> al-S}a>lih}, menyatakan: ma> nuzzulatil a>yatu bisababihi mutaz}amnatu lahu aumuji>batu anhu aumubayyinatu lih}ukmihi zaman wuqu>’ihi (seba>b al-nuzu>l adalah sesuatu, yang oleh karenanya turun satu ayat atau beberapa ayat mengandung peristiwa itu atau menjawab
10Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>h}is fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Surabaya: al-Hidayah, 2009), 93-94.
(38)
30
pertanyaan darinya atau pun menjelaskan hukum yang terjadi pada zamannya).11
M. Quraisy Sihab menjelaskan bahwa istilah, asba>b al-nuzu>l tersebut dengan
cara memilah peristiwanya, dan ia memaparkan apa maksud asba>b al-nuzu>l ialah:
a. Peristiwa yang menyebabkan turunya ayat, dimana yat tersebut
menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau
mengomentarinya.
b. Adanya asba>b al-nuzu>l merupakan peristiwa yang terjadi sesudah
turunya suatu ayat, dimana peristiwa tersebut dicakup pengertiannya atau
dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.12
Asba>b al-Nuzu>l berkaitan erat dengan kondisi dengan turunya ayat, seperti halnya al-Qasimi mengatakan bahwa, pengetahuan yang berkenaan dengan
keadaan dengan situasi dan kondisi ketika ayat tersebut turun.13 Maka, bisa
diketahui bahwa sebab turunya suatu ayat, terlebih dahulu harus pahami di dalam
kondisi turunya ayat.
Asba>b al-nuzu>l, yang dikemukakan berbagai ulama, tampak tidak jauh dari
yang dikemukakan oleh al-Zarqa>ni>. Bisa juga dikatakan sebagian ulama sepakat
bahwa yang dimaksud dengan asba>b al-nuzu>l itu sesuatu yang menjadikan latar
11Subh}i> al-S>}a>lih}, Maba>h}is fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Bairut: Da>r al-Ilm li> al-Mala>yi>n, 1977), 132.
12
M. Quraisy Sihab, Metode Penelitian Tafsir(Ujung pandang: IAIN ‘Alaudin, 1984), 3-4.
13Imam al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l, Juz I
(Bairut: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabi>yah, 1957),
(39)
31
belakang turunya suatu ayat baik berupa peristiwa atau dalam bentuk pertayaan
yang diajukan kepada Nabi.14
Penting di dalam mengetahui asba>b al-nuzu>l, namun ulama berbeda pendapat.
Pertama, sebagian ulama mengatakan, bahwa mengetahui hal tersebut tidak
penting karena konotasi tersebut termasuk ranah pengetahuan ilmu sejarah
al-Qur’an. Kedua, ulama berpedapat, bahwa mengetahui hal tersebut sangat di
perlukan. Bahkan, menurut al-Sha>tibi>, mengetahui asba>b al-nuzu>l merupakan
kemestian bagi orang lain yang ingin mengetahui isi kandungan al-Qur’an.
Ada beberapa kalangan ulama yang berpendapat tentang bagaimana
pentingnya mengetahui asba>b al-nuzu>l tersebut, dapat dilihat dalam
pernyataan-pernyataan ulama berikut ini:
a. Menurut al-Wa>h}idi>, tidak mungkin dapat diketahui tafsir ayat
al-Qur’an tanpa terlebih dahulu mengetahui kisah dan keterangan sebab
turunnya ayat yang bersangkutan. Di sini, secara garis besar hanya yang
memiliki asba>b al-nuzu>l.
b. Ibn Daqi>q al-‘I>d mengatakan, bahwa sebab turunnya ayat merupakan
sebuah jalan agar dapat memahami makna-makna al-Qur’an, khususnya yang
memang memiliki ayat-ayat asba>b al-nuzu>l.
14
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
(40)
32
c. Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa mengetahui sebab turunnya ayat
dapat membantu untuk memahami ayat al-Qur’an. Di karenakan, pengetahuan
tersebut akan mewariskan pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat.15
d. Imam Suyuti>, bahwa segolongan ulama telah mengalami kesulitan
untuk memahami pengertian ayat-ayat al-Qur’an dan barulah teratasi kesulitan
tersebut setelah diketahui sebab turunnya ayat yatng bersangkutan.16 Hal ini,
yang pernah dialami oleh Marwa>n bin H{akam sebagimana yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari, ia (Marwa>n bin H{akam) pernah mengalami kesulitan di
dalam memahami ayat 188 dari surah Ali Imran yang berbunyi:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari
siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.17
Kesulitan yang dialami oleh Marwa>n bin H{akam adalah bagaimana ia
mungkin orang yang gembira dengan apa yang telah diperbuatnya dan senang
dengan sesuatu yang belum rizki yang belum diberikan padanya, dan juga senang
dipuji dengan sesuatu yang belum dikerjakannya bakal tertimpa azab, pastilah
15
Ibnu Taimi>yah, Muqaddimah fi> Ushu>l al-Tafsi>r (Bairut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1971), 17.
16
Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Da>r al-Tah}ri>r, 1963), 7.
17
(41)
33
semua akan tertimpa azab pula. Karena kita semua sangat senang terhadap pujian
dengan hal yang tidak kita kerjakan.
Marwa>n bin H{akam tetapi menafsirkan ayat tersebut dengan penafsirannya
sendiri, sampai datanglah Ibnu Abbas yang menjelaskan padanya bahwa ayat tadi
diturunkan berkaitan dengan ahli kitab. Yakni saat Rasulullah SAW bertanya
kepada mereka tentang suatu hal. Akan tetapi, mereka menutup-nutupi hal
tersebut dan menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban lain. Seakan-akan
jawaban tersebut bohong itulah yang benar, dan mereka pun senang dengan dipuji
dengan jawaban bohong mereka ini. Maka turunlah ayat ini.18
Al-Dahwali> bahwa, mengetahui asba>b al-nuzu>l adalah suatu ayat yang
termasuk pekerjaan yang sulit. Bukti adanya kesulitan yakni telah timbul
perselisihan pendapat di kalangan ulama mutaqaddinmin dan ulama ulama
mutaakhkhirin tentang beberapa riwayat yang berkenaan dengan masalah asba>b
al-nuzu>l tersebut. Yang dianggap sulit. Menurut al-Dahwali>:
a. Adakalannya kalangan sahabat dan tabi’in telah mengemukakan suatu
kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Akan tetapi, mereka tidak secara tegas
menyatakan bahwa kisah itu merupakan asba>b al-nuzu>l. Padahal, setelah
diteliti kembali bahwa kisah merupakan sebab turunnya ayat tersebut.
b. Di kalangan sababat dan tabi’in juga mengemukakan suatu hukum
yang memiliki kasus, mereka mengemukakan ayat tertentu, dan kemudian
18
(42)
34
mereka menyatakan dengan kalimat nuzilat fi> kadha> seolah-olah mereka
menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunya ayat tersebut.
Padahal, bisa saja pernyataan itu hanya sekedar istinba>th hukum dari Nabi
tentang ayat yang dikemukakan tadi.19
Dalam penegasan al-Dahlawi> ini tersirat, bahwa pernyataan-pernyataan
sahabat dan tabi’in sehubungan dengan sebab turunnya suatu ayat, harus diteliti terlebih duhulu sebelum disimpulkan bahwa pernyataan tersebut berfungsi
sebagai sebab turunnya ayat. Menurut al-Wahidi, sebagaimana yang dikutip oleh
al-Suyuthi, pernyataan tentang asba>b al-nuzu>l tidak boleh diterima terkecuali
berdasarkan periwayatan atau pendengaran langsung dari orang-orang yang
menyaksikan turunnya ayat tersebut, untuk memahami pemahaman tentang asba>b
al-nuzu>l. Bahkan di kalangan sahabat sendiri tidak ada yang meriwayatkan hadis
tentang asba>b al-nuzu>l yang dapat diterima begitu saja, tanpa ada reserve.
Al-H{a>kam al-Naysa>bu>ri>, demikian juga dengan Ibnu al-Salah}, berpendapat bahwa bila hadis itu sanadnya bersambung-sambung dan sahabat periwayat hadis
itu menyaksikan turunnya wahyu, kemudian menyatakan tentang ayat tersebut
dengan lafal innaha> nuzilat fi> kadha> wa kadha> maka hadis itu berstatus sebagai
h}adi>th musnad.20 Ini berarti bahwa hadis yang dapat dijadikan sumber tentang
19Al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l
, 29-30.
20Al-H{a>kim al-Naysa>buri>, Ma’rifat} fi> ‘Ulu>m Hadi>th
(Kairo: Maktabat} al-Mutanabbi>, t.th),
(43)
35
riwayat asba>b al-nuzu>l, haruslah marfu’ dan bersambung sanadnya, namun bukan
hanya satu saja, hadis harus s}ah}ih} sanad dan matannya.
Bentuk dan susunan redaksi yang dapat memberi petunjuk secara tegas
tentang asba>b al-nuzu>l adalah:
a. Bentuk redaksi yang tegas berbunyi sababu nuzu>lil a>yati kadha>.
b. Adanya huruf al-fa>’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang
berkaitan dengan turunnya ayat seperti fanuzilatil a>yati.
c. Adanya keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasul ditanya sesuatu
kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya. Dalam hal ini,
tidak digunakan pertanyaan tertentu.21
Dalam bentuk-bentuk redaksi para ulama berbeda pendapat. Namun, pada
umumnya memaknai turunnya ayat tidak harus dibarengi dengan lafal yang
tertera di atas kecuali dengan adanya qarinah tertentu. Kalau sudah ada
qarinah-nya, baru bisa diketahui setelah diteliti keterangan yang berkenaan dengan ayat
yang bersangkutan, apakah ungkapan itu menjelaskan tentang sebab turunnya
ayat atau bukan.
Sumber yang valid untuk mengetahui asba>b al-nuzu>l al-Qur’a>n adalah
hadis-hadis Nabi yang berkualitas sahih. Akan tetapi, ada juga hadis-hadis-hadis-hadis Nabi yang
tampak berbeda tentang asba>b al-nuzu>l pada ayat-ayat tertentu, maka terhadap
hadis-hadis tersebut perlu adanya tah}qi>qdan tarji>h.
21
(44)
36
Sebenarnya kaidah yang paling kuat di dalam argumen tetang kandungan ayat
yang mengalami asba>b al-nuzu>l, sepanjang tidak ada qarinah yang menyatakan
lain, adalah al-Ibratu bi’umu>mil lafz}i la> bikhus}u>s}is sabab, dan di antara ulama
yakni Muh}ammad ‘Abduh, telah memperluas berlakunya kaidah tersebut.
Ada beberapa golongan yang menganggap bahwa fungsi pada bidang ini tidak
ada manfaatnya dalam mempelajarinya, dengan alasan bahwa ini sama halnya
dengan masalah sejarah (tarikh). Akan tetapi, pendapat ini tidak benar adanya.
Namun, ada juga ulama yang menganggap penting di dalam mengetahui asba>b
al-nuzu>l di antaranya sebagai berikut:
a. Mengetahui hikmah yang diundangkan suatu hukum dan perhatian
terhadap syara’ yang kepentingannya secara umum dalam menghadapi segala peristiwa.
b. Takhsis (Pengkhususan) suatu hukum, bagi orang-orang yang
berpendapat bahwasannya “al-Ibratu bikhu>susi al-sababi”, yakni pelajaran
atau teladan itu berdasarkan pada kekhususan suatu sebab.
c. Kadangkala lafal satu ayat itu berbentuk umum, tapi ada dalil lain
yang mengkhususan ayat tadi. Jika sebab turunnya ayat telah diketahui, maka
kekhususannya hanya terbatas pada selain bentuk keumuman lafalnya.
Sehingga keumuman suatu lafal tidak lagi dijadikan patokan karena ada sebab
yang khusus untuk hal tersebut. Hal ini bisa terjadi demikian karena sebab
(45)
37
(memisahkan) ayat dari sebab turunnya karena ijtihad dan akal kita, adalah
mamnu (dilarang). Hal ini, telah merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama, seperti telah dikatakan oleh al-Qadhi> Abu> Bakar dalam al-Taqri>b. Sehingga, kita tidak lagi menoleh pendapat lain yang syadz (menyimpang dan
kesempatan para ulama), seperti yang digambarkan dalam firmannya dalam
surah al-Nu>r: 23-25 yang berbunyi:
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,
pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala
sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).22
Ayat ini turun berkenaan dengan Aisyah secara khusus, atau dengan Aisyah
dari istri-istri Nabi lainya. Diriwayatkan dari Ibn Abbas, firman Allah
“Sesungguhnya orang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik” itu turun
berkenaan dengan Aisyah secara khusus. Dari Ibn Abbas pula dan masih
mengenai ayat tersebut. “ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi.
Allah tidak menerima tobat orang yang melakukan hal itu (menuduh mereka
22
(46)
38
berzina), dan menerima tobat orang yang menuduh seorang perenpuan di antara
perempuan-perempuan beriman selain istri-istri Nabi. Kemudian Ibn Abbas
membaca surah al-Nu>r: 23-25.
Atas argumen ini, maka penerimaan tobat orang yang menuduh zina
(sebagaimana dinyatakan dalam surah (al-Nu>r: 4-5) ini, sekaligus merupakan
pengkhususan dari keumuman firman Allah:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.23
Di dalam cakupan makna lafal yang umum itu bersifat qat’i (pasti).
d. Untuk menghindari keraguan tentang ketentuan pembatasan (al-h}ashr)
yang terdapat dalam al-Qur’an, seperti dalam ayat 145 dari surah al-An’a>m
berikut ini:
23
(1)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan dalam bab I sampai dengan bab III, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sayyid Qut}b, menafsirkan surah al-Nisa>’: 58 adalah berlaku adil merupakan syarat dari seorang pemimpin yang beriman kepada Allah SWT. Ia menafsirkan surah al-Nisa>’: 59 yakni, ketataan kepada pemimpin merupakan keharusan bagi semua umat Islam, dengan catatan seorang pemimpin itu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Ulil amri menurut Sayyid Qut}b adalah dari kalangan orang-orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syariat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat tersebut itu, yaitu pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul.
3. Sayyid Qut}b menggunakan teori kebahasaan dengan aspek kesusastraan, dengan metode Tah{li>li>, dan Sayyid Qut}b tidak menggunakan pendekatan asbabun nuzul karena ia memandang hadis-hadis dalam teori tersebut lemah.
(2)
77
B. Saran
1. Bagi para akademisi, terutama para cendekiawan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, ketika memaparkan ketaatan kepada pemimpin yang di tawarkan Sayyid Qut}b berdasarkan penafsiran terhadap al-Qur’an hendaknya dilakukan melalui pemahaman yang lebih terbuka dan luas. Dengan melakukan pendekatan teori asbabun nuzul maka, bisa dibedakan antara penafsir yang memang memasukkannya, tapi ada juga yang tidak. Namun, ini bukanlah sebuah mana yang terbaik maupun terburuk karena setiap penafsir memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam memahami al-Qur’an.
2. Hendaknya kecenderungan para akademisi dan aktivis pergerakan Islam untuk menggambarkan mutu penafsir yang berdimensi transional di dalam memahami teori-teori atau ilmu alat untuk memahami kandungan al-Qur’an. Sebagaimana yang dianjurkan dalam penafsiran Sayyid Qut}b.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI. Al-Qur’an an Terjemahnya. Jakarta.
Dhahabi> (al.), H{usain. al-Tafsi>r wa al-Munfasi>run. Beirut: Maktabah Mus}’ab bin Amr al-Islamy, 2004.
S{abuni> (al.), Muh}ammad Ali>. Tafsi>r Rawa’u al-Baya>n. Bairut: Da>r al-S}abuni>, 2007. Jauzi>yat (al.), Ibn Qayyim. al-Tibya>n fi> Aqsa>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th. Mara>ghi> (al.), Ah}mad Must}afa>. Tafsi>r al-Mara>ghi>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah,
2006.
_______. Terjemah Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar., dkk. Semarang: Toha Putra, 1989.
Mayli (al.), Muhsin. Pergulatan Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, terj. Rifyai Ka’bah. Jakarta: Paramadina, 1996.
Naysa>buri> (al.), H{a>kim. Ma’rifat} fi> ‘Ulu>m Hadi>th. Kairo: Maktabat} al-Mutanabbi>, t.th.
Qa>simi> (al.), Imam. Mah}a>sin al-Ta’wi>l. Bairut: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabi>yah, 1957.
Qardhawi (al.), Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1999.
(4)
S>}a>lih} (al.), Subh}i>. Maba>h}is fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Bairut: Da>r al-Ilm li> al-Mala>yi>n, 1977.
Sinkili> (al.), Abd. Ra’u>f, Tafsi>r Tarjuma>n al-Mustafi>d. Singapura: Maktabah al-Makbarah Sualima>n Mar’i>, t.th.
Suyu>t}i> (al.), Jala>luddi>n. al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-‘Ilm, 2012. _______. Luba>b Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Da>r al-Tah}ri>r, 1963.
Wa>h}idi> (al.), Ahmad. Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’a>n. Mesir: Da>r al-‘Ilm, 1968.
Zarkashi> (al.), al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, tahq>iq: Muhammad Abu> al-Fadhl Ibra>hi>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2011.
Baidan, Nashruddin . Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. _______. Metotologi Penafsiran Al-Qur’an.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. H{usain al-Thaba>tha>ba’i>, Muh}ammad. al-Mizan. Beirut: Dar al-Ilm, t.th.
_______. al-Qur’a>n fi> Islam. Teheran: Markaz Zikra> Khami>sah li Intishar al-Sawarat al-Isla>mi>yah, 1983.
H{usain Haikal, Muh}ammad. H{ayat Muhammad. Kairo: al-Maktabah al-Nahdah, 1968.
Ismail, A. Ilyas. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2006.
Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam, terj. Faturrahman A. Hamid. Jakarta: Amzah, 2005.
(5)
Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Surah Al -Baqarah - An-Nas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Mawardi, Imam. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Hukuk-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, terj. Fadli Bahri. Jakarta: PT Darul Falah, 2007. Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Ponpes
Krapyak al-Munawwir, 1884.
Nasir, M. Ridlwan. Memahami al-Qur’an Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya: CV. Indra Media, 2003.
Qut}b, Sayyid. Ma’a>lim fi> al-T{ari>q. Kuwait: al-Ittihad al-Islami al-‘Alami, 1947. _______. Tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Syuru>q, 2004.
Rais, M. Amin. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1997. Rasyid Ridha, Muh}ammad. Tafsi>r al-Mana>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2011. Rawls, John. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, terj. Uzair Fauzan., dkk, Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Romdhoni, Ali. Al-Qur’an Dan Literasi: Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu Keislaman. Depok: Linus, 2013.
Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negaran Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1991.
(6)
_______. Tafsi>r al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 2010.
_______. Membumikan Al-Qur’ani. Bandung: Mizan, 2013.
_______. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati, 2011.
Syaltut, Mahmud. al-Isla>m ‘Aqi>datan wa Syari>atan. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Taimi>yah, Ibn. Muqaddimah fi> Ushu>l al-Tafsi>r, Cet. I. Kuwait: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1971.