Self-compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan.

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Lailly Sofiana B77213074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... xii

ABSTRACK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Self-Compassion 1. Pengertian Self-Compassion ... 21

2. Dimensi-dimensi Self-Compassion ... 23

3. Komponen Self-Compassion ... 24

4. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Compassion ... 28

5. Dampak Self-Compassion ... 35

B. Pasangan Suami Istri 1. Definisi Keluarga ... 40

2. Ciri-ciri Keluarga ... 41

3. Bentuk Keharmonisan Keluarga ... 42

C. Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan (Infertility) 1. Pengertian Infertility... 44

2. Faktor yang Mempengaruhi Infertility ... 45

3. Resolution To Infertility ... 48


(7)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 59

B. Lokasi Penelitian ... 60

C. Sumber Data ... 60

D. Cara Pengumpulan Data ... 62

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 64

BAB |IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 68

B. Hasil Penelitian ... 73

C. Pembahasan ... 95

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 107


(8)

xii INTISARI

Fokus penelitian ini adalah: (1) gambaran self-compassion, dan (2) dampak self-compassion pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian adalah pasangan suami istri yang sudah menikah lebih dari dua tahun tapi belum memiliki anak. Penelitian ini menemukan beberapa temuan, yaitu gambaran self-compassion dari subyek penelitian adalah adanya memahami dan tidak menyakiti diri dalam menghadapi masalah, menghargai pemikiran, perasaan, dan tingkah laku orang lain yang beragam, serta pandangan pasangan dalam melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Sedangkan dampak self-compassion yang ditunjukkan ketiga pasangan adalah adanya strategi dalam mengontrol emosi, menyadari segala kekuatan dan kelemahan, namun tidak selalu terkungkung dengan hal buruk yang terjadi, dan keyakinan dan motivasi untuk mencapai hasil yang terbaik. Kata kunci: Self-Compassion, Pasangan Yang Belum Memiliki Keturunan


(9)

ABSTRACT

Focus of research is (1)image self-compassion, and (2) impact of self-compassion couples who have not had offspring. This research is a qualitative research, using triangulation as data validation. Research subjects are married couples who have been married for more than two years but have not had children. This study found some findings, namely the self-compassion image of the subject of research is to understand and not hurt themselves in the face of problems, appreciate the thoughts, feelings, and behavior of other people are diverse, and the view of the couple in seeing everything that happened in his life. While the impact of self-compassion shown by the three partners is a strategy in controlling emotions, aware of all the strengths and weaknesses, but not always confined to the bad things that happen, and the confidence and motivation to achieve the best results.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam dunia psikologi, beberapa faktor kepribadian individu menarik untuk menjadi perhatian karena bagaimanapun juga individulah yang menghadapi situasi dan diri individu tersebutlah yang bisa dikendalikan sendiri oleh yang bersangkutan. Situasi pekerjaan, situasi dalam keluarga, seringkali lebih banyak berada diluar diri individu. Dalam hal ini self compassion akan membantu individu untuk tidak cenderung melawan ketidaknyamanan emosional (Germer, 2009). Amstrong (2013) mendefinisikan self compassion

sebagai karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada posisi individu lain. Dalam posisi tersebut, individu merasakan pengalaman individu lain seolah-olah adalah pengalaman dirinya sendiri.

Self-compassion merupakan salah satu bahasan yang bisa menjelaskan bagaimana individu mampu bertahan, memahami dan menyadari makna dari sebuah kesulitan sebagai hal yang positif. Menurut Germer, self compassion merupakan kesediaaan diri untuk tersentuh dan terbuka kesadarannya saat mengalami penderitaan dan tidak menghindari penderitaan tersebut (Hidayati & Maharani, 2013). Neff (2003b) menambahkan bahwa self compassion adalah proses pemahaman tanpa kritik terhadap penderitaan, kegagalan atau ketidakmampuan diri dengan cara memahami bahwa ketiga hal tersebut merupakan bagian dari pengalaman sebagai manusia pada umumnya.


(11)

Fungsi dari self compassion adalah sebagai strategi beradaptasi untuk menata emosi dengan cara menurunkan emosi negatif serta meningkatkan emosi positif berupa kebaikan dan hubungan (Akin, 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa self compassion berhubungan secara negatif dengan self-critism, depresi, kecemasan, rumination dan thought supression dan berhubungan positif dengan hubungan sosial, emotional intelligence, self-determination, interpersonal cognition distortion dan submissive behaviour (Akin, 2010).

Self-compassion, di sisi lain, terbukti memiliki hubungan dengan fungsi adaptasi secara psikologi pada seseorang (Neff, dkk., 2007), mengurangi kecemasan dan depresi (Neff, 2009 dalam Neff., 2012), berpengaruh pada kebijaksanaan dan kecerdasan emosi (Neff, 2003; Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007 dalam Neff, 2012). Self-compassion sendiri berasal dari kata compassion

yang berarti rasa belas kasih (Echols & Shadily, 2000), rasa kasih sayang yang kita rasakan apabila melihat orang menderita, yang membuat kita akan cenderung berusaha memahami dan ikut merasakan apa yang ia rasakan, keinginan untuk membantu bukan mengasihani, akan ada sebuah kebaikan hati, kepedulian, dan memahami.

Menurut Neff (2003) self-compassion merupakan kebaikan hati dan pemahaman yang timbul dari diri individu dengan melibatkan perilaku yang sama terhadap diri sendiri ketika sedang dalam kesulitan, kegagalan, atau mengingat suatu hal yang tidak kita sukai tentang diri kita sendiri. Sedangkan menurut Hidayati dan Maharani (2013) compassion merupakan kombinasi


(12)

antara motivasi, afeksi, kognisi dan perilaku yang menunjukkan kasih sayang dalam rangka memunculkan keinginan untuk menghilangkan kesulitan dan penderitaan, dimana kasih sayang tersebut ditujukan kepada dirinya sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa self compassion berbeda dengan self pity atau mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri sebenarnya adalah sebuah kondisi dimana individu yang bersangkutan menolak penderitaan dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang dilakukannya.

Dalam hal ini, self-compassion dapat diterapkan pula terhadap pasangan yang belum memiliki keturunan. Self-compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi (Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014).

Pada penelitian awal, dengan proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap subjek penelitian, dihasilkan sebuah fakta bahwa pasangan yang belum memiliki keturunan, dapat memiliki self compassion yang sengaja dibangun dalam diri mereka, seperti memahami bahwa diri pantas mendapatkan cinta, kebahagiaan, dan kasih sayang walaupun dalam kondisi terburuk sehingga tercipta kenyamanan bagi diri pasangan tersebut. Mereka


(13)

juga mengaku bahwa apa yang mereka alami merupakan kehendak dari Allah yang juga dialami oleh beberapa pasangan yang lain, hal ini dinamakan

mindfullness merupakan dimensi pada self compassion. Meskipun di lain sisi mereka tidak dapat memungkiri jika keinginan memiliki anak begitu sangat kuat, karena beberapa hal seperti dorongan dari orang tua yang juga ingin segera menimang cucu, dan hal ini semakin memperkuat self compassion yang ada pada diri pasangan suami istri hingga dapat mencapai tahap resolution to infertility. Istilah resolution berarti seseorang sudah menerima keadaannya dan terdapat keinginan/usaha yang tepat untuk mengatasi infertilitas. Diantara keinginan/usaha yang ditempuh dapat dengan mengadopsi anak, memperoleh anak dengan jalan inseminasi buatan donor “bayi tabung”, atau membesarkan janin didalam rahim wanita lain (hasil wawancara pada bulan Desember 2015).

Kajian tentang self compassion dapat diketahui study (Neff, Beretvas, 2012) self compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap 104 pasangan di Amerika Serikat, yang dikaitkan dengan perilaku hubungan romantis yang lebih sehat, seperti bersikap lebih peduli dan mendukung daripada bersikap mengendalikan secara agresif dengan pasangannya. Hasil menunjukkan bahwa individu yang memiliki self-compassion menunjukkan perilaku hubungan yang lebih positif daripada mereka yang tidak memiliki self-compassion. Sedangkan penelitian yang berjudul “Pengaruh Self-compassion terhadap Kompetensi Emosi Remaja Akhir” pada 108 pelajar yang terdiri atas 4 remaja di jenjang SMA dan 106 remaja pada jenjang kuliah. Yang adanya pengaruh positif dari


(14)

self-compassion terhadap kompetensi emosi remaja akhir. (Ramadhani, Nurdibyanandaru, 2014).

Menurut Kertamuda (2011) bahwa keluarga merupakan bagian dari masyarakat kecil yang penting dalam membentuk kepribadian serta kakarter bagi para anggota keluarganya. Keluarga juga tempat seseorang untuk bergantung, baik secara ekonomi maupun dalam kehidupan sosial lainnya, serta berperan secara dominan dalam menentukan dan mengambil keputusan. Sedangkan menurut Mubarrak, dkk (2009) keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain.

Adapun Akbar (2001) mengemukakan tujuan dari perkawinan adalah mendapatkan kebahagian, kepuasan, cinta kasih dan keturunan. Menurut Taher (2007) biasanya sebanyak 85% pasangan yang sudah menikah selama satu setengah tahun sudah memiliki keturunan. Ini berarti sebanyak 15% pasangan yang sudah menikah selama satu setengah tahun memiliki masalah belum hadirnya seorang anak sebagai keturunannya. Sidhi (1999) mengatakan bahwa pasangan menikah yang tidak kunjung memiliki anak, padahal tidak dinyatakan mengalami gangguan organ reproduksi, biasanya akan mengalami kondisi psikologis yang sulit. Menurut Widarjono (2007) perkawinan tanpa kehadiran anak seringkali memicu persoalan tersendiri. Banyak keluarga atau pasangan suami istri yang sulit mendapatkan anak dan terus berusaha agar mempunyai keturunan. Kehadiran seorang anak juga membuat suami istri memiliki


(15)

keterkaitan dan tanggung jawab untuk membesarkan, merawat dan mencintai bersama-sama. Jadi, kehadiran anak secara tidak langsung akan semakin mendekatkan pasangan suami istri. Salah satu yang sering dianggap menjadi suatu rintangan dan masalah dalam keluarga diantaranya memang tidak atau belum memiliki keturunan. Karena stigma yang berkembang di masyarakat menyatakan bahwa sebuah keluarga yang ideal yaitu adanya suami, istri dan anak. Sebagaimana salah satu fungsi keluarga yaitu untuk melahirkan seorang anak dalam rangka menjaga keberlangsungan sebuah keturunan.

Anak memang buah hati yang selalu dinanti, permata jiwa yang senantiasa didamba kehadirannya. Rumah tangga tak lengkap tanpa kehadirannya. Karenanya, anak adalah hal yang senantiasa didamba oleh pasangan suami istri. Kehadiran anak akan menjadi sumber motivasi dan inspirasi, bagai seberkas cahaya yang akan menjadikan rumah tangga terbebas dari kehampaan dan kesepian. Hanya saja, pada kenyataannya tidak semua pasangan suami istri dikaruniai kehadiran anak. Banyak pasangan suami istri yang harus menerima kenyataan pahit, dimana mereka tidak bisa memiliki anak karena berbagai sebab. Namun kondisi tersebut tidak membuat hilangnya rasa cinta kasih maupun keharmonisan yang terjalin diantara mereka.

Taher (2007) mengatakan keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari setengah tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mempunyai anak, dalam ilmu kedokteran disebut dengan infertilitas. Walaupun masalah infertilitas tidak berpengaruh pada aktivitas fisik sehari-hari dan tidak mengancam jiwa, bagi banyak pasangan hal ini berdampak besar terhadap kehidupan berkeluarga.


(16)

Selain itu menurut Taher (2007) pasangan yang mengalami infertilitas akan memiliki tekanan secara psikologis, dimana mereka akan merasa cemas memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan keturunan.Infertilitas membawa implikasi psikologis, terutama pada perempuan. Sumber tekanan

sosio-psikologis pada perempuan berkaitan erat dengan kodrat

deterministiknya untuk mengandung dan melahirkan anak. Sementara pada laki-laki adalah perasaan sedih, kecewa, kecemasan dan kekhawatiran menghadapi masa tua. Pada masyarakat yang patriarkis Jawa laki-laki diidentitaskan sebagai mahkluk yang lebih kuat daripada perempuan. Anak merupakan sumber kejantanan, kekuatan dan kapasitas seksual laki-laki. Persepsi hasil konstruksi sosial atas identitas gendernya membuat laki-laki merasa rendah ketika tidak mempunyai anak, sehingga kesalahan dilimpahkan pada pihak perempuan (Demartoto, 2008).

Berdasarkan laporan WHO, di dunia ada sekitar 50-80 juta pasutri mempunyai problem Infertilitas dan setiap tahunnya muncul sekitar 2 juta pasangan infertil (ketidakmampuan mengandung atau menginduksi konsepsi) baru. Tidak tertutup kemungkinan jumlah itu akan terus meningkat. Berdasarkan penelitian dari setiap 100 pasangan, pada pasangan suami istri yang sudah mempunyai anak dan mereka menginginkan anak kembali seperempatnya atau 15% berada di bawah kesuburan normal. Setiap pasangan tentunya menginginkan kehidupan perkawinannya akan berlangsung lama, namun kadangkala sebuah perkawinan harus menghadapi masa-masa sulit yang tidak dapat dielakkan lagi dan akan berakhir dengan perceraian.


(17)

Infertilitas terjadi lebih dari 20% pada populasi di indonesia, dan dari kasus tersebut terdapat 40% pada wanita, 40% pada pria dan 20% pada keduanya dan ini yang menyebabkan pasangan suami istri tidak mendapat keturunan. Diperkirakan 85-90% pasangan yang sehat akan mendapat pembuahan dalam 1 tahun. (DepKes, 2006).

Menurut penelitian Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, 36% infertilas terjadi pada pria dan 64% terjadi pada wanita. Penelitian lain menunjukan di angka kejadian infertilitas wanita terjadi sekitar 15% pada usia produktif (30-34 tahun), meningkat sampai dengan 30% pada usia 35-39 tahun dan 64% pada usia 40-44 tahun. (PERSI, 2001)

World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa jumlah pasangan infertil sebanyak 36% diakibatkan adanya kelainan pada pria, sedangkan 64% berada pada wanita. Hal ini di alami oleh 17% pasangan yang sudah menikah lebih dari 2 tahun yang belum mengalami tanda-tanda kehamilan bahkan sama sekali belum pernah hamil. WHO juga memperkirakan sekitar 50-80 juta pasutri (1 dari 7 pasangan) memiliki masalah infertilitas, dan setiap tahun muncul sekitar 2 juta pasangan infertil. (WHO, 2011)

Ahli andrologi menjelaskan bahwa pada penyebab infertilitas pria 25% disebabkan oleh varikokel, 10% oleh infeksi, 5% oleh faktor imunologis dan 20% lainya termasuk kedalam kelainan endokrin, iatrogenik, trauma, dan sitemik. Kejadian infertilitas berkisar antara 15-20% dari seluruh pasangan usia subur. Menurut perkiraan WHO (World of Health Organization) akan terjadi penambahan 2 juta pasangan infertil pertahun di masa yang akan datang.


(18)

Mengacu pada angka kejadian tersebut diatas maka infertilitas perlu mendapat penanganan yang memadai. Salah satu faktor penting yang berperan dalam proses kejadian infertilitas pada pria usia reproduktif adalah gangguan produk sperma. Gangguan potensi seksual pada pria terdiri dari 4 kelompok yaitu gangguan gairah seksual, gangguan ereksi, gangguan ejakulasi, gangguan orgasme. Adapun beberapa faktor yang menjadi penyebab gangguan potensi seksual pada pria antara lain faktor psikis, fisik, dan sosiokultural.

Menurut dr.Subiyanto dari Tim Klinik Melati Rumah Sakit Harapan Kita (RSHK), angka kejadian infertilitas di Indonesia diantara 11-15 persen. Angka ini masih bisa meningkat karena perubahan pola hidup masa kini. Selain dari segi medis, faktor resiko terjadinya infertilitas juga bisa ditelisik dari segi sosiodemografi yang menggejala dalam gaya hidup masyarakat sehari-hari. Akibat efek dari globalisasi dan industrialisasi, banyak masyarakat yang terseret pada gaya hidup yang membuat mereka berisiko mengalami infertilitas. Menunda pernikahan, misalnya banyak wanita karier atau sebab yang lain jadi menunda waktu pernikahan mereka. Pada usia 30-an mereka baru sadar kalau mereka belum menikah, sedangkan di usia itu kualitas produksi sel telur tidak sebaik ketika mereka berusia 20-an. Di lain pihak, pasangan yang menikah pada “waktu yang tepat”, karena satu atau beberapa alasan, malah menunda memiliki anak dengan dengan memakai kontrasepsi. Akibatnya pun akan sama dengan kasus yang pertama. Pada kasus yang ekstrem dijumpai beberapa pasangan yang menikah dengan komitmen untuk tidak mempunyai anak. Alasannya absurd, “daripada punya anak sendiri lebih baik mengasuh saja


(19)

anak-anak tidak beruntung yang tidak diasuh orangtuanya.” Selain itu stres

akibat kerja yang padat, terlalu sering mengonsomsi junk food yang mengarah pada obesitas, juga bisa menurunkan tingkat kesuburan. Demikian juga kebiasaan buruk yang banyak ditiru dari masyarakat yang tinggal di benua lain, seperti merokok, mengonsumsi alkohol, dan narkoba juga dapat meningkatkan risiko infertilitas.

Infertilitas membawa implikasi psikologis, terutama pada perempuan. Sumber tekanan sosio-psikologis pada perempuan berkaitan erat dengan kodrat deterministiknya untuk mengandung dan melahirkan anak. Sementara pada laki-laki adalah perasaan sedih, kecewa, kecemasan dan kekhawatiran menghadapi masa tua. Pada masyarakat yang patriarkis Jawa laki-laki diidentitaskan sebagai mahkluk yang lebih kuat daripada perempuan. Anak merupakan sumber kejantanan, kekuatan dan kapasitas seksual laki-laki. Persepsi hasil konstruksi sosial atas identitas gendernya membuat laki-laki merasa rendah ketika tidak mempunyai anak, sehingga kesalahan dilimpahkan pada pihak perempuan (Demartoto, 2008).

Sedangkan definisi infertilitas menurut WHO (World Health Organization) adalah tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan intim tanpa menggunakan kontrasepsi secara teratur minimal 1-2 tahun.1 Tidak banyak orang mengetahui bahwa infertilitas adalah penyakit yang mengganggu produktivitas. Oleh karena itu infertilitas kurang mendapat perhatian terutama dari medis, akan tetapi dari segi sosial berdampak pada stigma yang dialami oleh pasangan suami istri yang mengalami infertilitas. Kondisi tanpa anak pada


(20)

pasangan suami istri akan mempengaruhi pengambilan keputusan untuk bercerai, poligami, adopsi anak, bayi tabung atau tetap hidup berdua.

Pasangan infertil digambarkan memiliki pengalaman hidup yang berat dan menjalani krisis kehidupan yang kurang membahagiakan. Harkness (1987) menjelaskan bahwa perempuan yang menghadapi infertility experience akan mengalami emosi-emosi negatif, seperti perasaan bersalah, kecewa, loss of control, dan kekesalan. Life crisis tersebut sangat umum terjadi pada pasangan infertil. Namun, bukan berarti semua pasangan infertil akan terus menjalani pengalaman infertilitas sebagai suatu krisis kehidupan.

Menning (dalam Harkness, 1987) menyatakan bahwa terdapat psychological stages of infertility yang akan dihadapi seorang pasangan infertil. Tahap pertama ialah penyangkalan (denial). Munculnya denial umumnya bersamaan dengan perasaan terkejut ketika memperoleh informasi bahwa individu mengalami infertilitas. Proses ini kemudian mengarah pada tahap kedua, yaitu kemarahan (anger) pada orang-orang yang ada di sekitar. Perasaan marah juga dapat muncul bersamaan perasaan frustasi, tidak berdaya, iri hati, dan putus asa. Tahap ketiga yang akan dialami individu yang infertil adalah periode individu mengalami perasaan duka (grief). Perasaan grief atau perasaan sedih yang amat mendalam ini muncul dalam bentuk perilaku menangis bersama pasangan atau menangisi diri sendiri, menulis diari, atau bercerita dengan orang terdekat. Tahap keempat adalah tahap penerimaan (acceptance) terhadap infertilitas. Untuk bisa masuk ke dalam tahap ini, individu harus mengatasi terlebih dulu perasaan duka yang muncul pada tahap sebelumnya. Adanya


(21)

penerimaan diri ini, yang akan membantu individu masuk ke dalam periode yang berikutnya, yaitu resolution to infertility. Istilah resolution berarti seseorang sudah menerima keadaannya dan terdapat keinginan/usaha yang tepat untuk mengatasi infertilitas. Diantara keinginan/usaha yang ditempuh dapat dengan mengadopsi anak, memperoleh anak dengan jalan inseminasi buatan donor “bayi tabung”, atau membesarkan janin didalam rahim wanita lain, tetapi hal ini memerlukan biaya yang sangat mahal (Wiknjosastro, 2005).

Psychological stages of infertility yang dikemukakan oleh Menning (dalam Harkness, 1987) memaparkan bahwa pasangan infertil pada akhirnya bisa berada pada tahap terakhir, yaitu resolution to infertility. Dengan kata lain,

infertility experience pada awalnya memang akan memberikan pengaruh buruk bagi kehidupan orang yang bersangkutan. Namun, pengaruh buruk infertilitas bagi kehidupan pasangan suami istri tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, pasangan tersebut berjuang menghadapi proses yang tidak mudah untuk bisa sampai pada resolution to infertility.

Penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana self compassion

yang dimiliki oleh pasangan yang belum memiliki keturunan, apa bentuk dari

self compassion tersebut sehingga mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga dan bagaimana self compassion tersebut dapat membuat pasangan yang belum memiliki keturunan hingga dapat mencapai tahap

resolution to infertility. Hal ini dapat pula memberi masukan bagi pasangan yang belum memiliki keturunan yang lain agar dapat menjalani hidup dan rumah tangganya dengan baik, serta memberi masukan orang sekitar agar dapat


(22)

memperlakukan dan mensupport kehidupan pasangan yang belum memiliki keturunan agar dapat mencapai kebahagiaan hidupnya.

Penelitian ini dirasa perlu untuk dilakukan agar pasangan yang belum memiliki keturunan lebih diperhatikan dari sisi psikologisnya. Hingga mampu menerima keadaan dirinya (acceptance), dan memiliki self-compassion yang tinggi.

B.Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, ada hal yang menjadi fokus penelitian dalam penelitian ini yaitu,

1. Bagaimana gambaran self-compassion pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan

2. Apa saja dampak adanya self-compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian di atas, terdapat tujuan penelitian yang menjadi pijakan pada penelitian ini yaitu,

1. Untuk mendeskripsikan gambaran self compassion pasangan yang belum memiliki keturunan

2. Untuk mengetahui dampak adanya self-compassion pada pasangan yang belum memiliki keturunan


(23)

D.Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan masukan berharga bagi

pengembangan ilmu di bidang ilmu psikologi, terutama psikologi klinis. 2. Manfaat praktis

a. Dari penelitian ini diharapkan dapat membantu bagaimana cara melakukan self compassion dengan tepat untuk menghadapi masalah, tekanan, atau tantangan, selain itu merupakan respon perilaku yang bersifat perilaku psikologis untuk mengurangi tekanan yang sifatnya dinamis.

b. Memberikan pengetahuan mengenai gambaran self compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan

E.Keaslian Penelitian

Kajian tentang self compassion dapat diketahui study (Neff, Beretvas, 2012)

self compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap 104 pasangan di Amerika Serikat, yang dikaitkan dengan perilaku hubungan romantis yang lebih sehat, seperti bersikap lebih peduli dan mendukung daripada bersikap mengendalikan secara agresif dengan pasangannya. Hasil menunjukkan bahwa individu yang memiliki self-compassion menunjukkan perilaku hubungan yang lebih positif daripada mereka yang tidak memiliki self-compassion. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Neff dan


(24)

Beretvas (2012) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu yang sudah penulis paparkan diatas menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Sedangkan penelitian yang berjudul “Pengaruh Self-compassion terhadap Kompetensi Emosi Remaja Akhir” pada 108 pelajar yang terdiri atas 4 remaja di jenjang SMA dan 106 remaja pada jenjang kuliah. Yang adanya pengaruh positif dari self-compassion terhadap kompetensi emosi remaja akhir. (Ramadhani, Nurdibyanandaru, 2014). Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani dan Nurdibyanandaru (2014) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu yang sudah penulis paparkan diatas menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Penelitian yang dilakukan oleh Akin (2010), dalam penelitiannya berjudul

self compassion dan lonelinessmembuktikan bahwa self-compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap loneliness pada mahasiswa di Turki, yang


(25)

diantaranya self-kindness, common humanity dan mindfullness. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Akin (2010) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu yang sudah penulis paparkan tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Disisi lain, self-compassion juga mucul dalam kehidupan seorang staff markas PMI Jawa Tengah yang mengalami work family conflict, bentuk dari

self-compassion self-kindness, common humanity dan mindfullness (Hidayati, 2015). Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2015) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu yang sudah penulis paparkan tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Thompson dan Walts (2008) dengan judul “Self-Compassion and PTSD Symptom Severity” pada 210 mahasiswa


(26)

pelatihan self-compassion yang mampu di integrasikan dalam perawatan trauma. Pada penelitian lain, self-compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap remaja berusia 14 tahun, yang dikaitkan dengan subjective well-being (Regina, 2012). Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Thompson dan Walts (2008) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan beberepa penelitian terdahulu yang sudah penulis paparkan tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Dalam hal ini dipaparkan pula kajian tentang pasangan yang belum memiliki keturunan yang dilakukan oleh Pandanwati dan Suprapti (2012), penelitian ini merujuk pada adaptasi positif keluarga sebagai unit. Berupa kelekatan antar anggota keluarga, komunikasi dalam keluarga, dan dukungan sosial. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pandanwati dan Suprapti (2012) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas) serta metode penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian kualitatif.


(27)

Penelitian lain juga dilakukan Rahmawati dan Astutik (2015), dengan judul “Upaya Pembentukan Keluarga Sakinah Pada Pasangan Tidak Memiliki Keturunan” pada suatu keluarga dengan menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya pembentukan keluarga sakinah, diantaranya, pondasi agama, menerima apa adanya apa yang telah digariskan Allah, menerima sebagai ujian, kesabaran, serta mensyukuri nikmat. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmawati dan Astutik (2015) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas) serta metode penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian kualitatif.

Penelitian yang dilakukan oleh Wischmann (2001), pada 564 pasangan infertil, dengan judul “Psychosocial characteristics of infertile couples: a study by the „Heidelberg Fertility Consultation Service’” menunjukkan bahwa beberapa pasangan mengalami trauma yang membutuhkan adanya konseling infertilitas. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wischmann (2001) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas) serta metode penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian kualitatif.


(28)

Penelitian lain juga dilakukan oleh Argyo Demartoto (2008) yang berjudul “Dampak Infertilitas Terhadap Perkawinan”. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa semakin kuatnya tuntutan normatif pasangan untuk memiliki keturunan memaksa pasangan infertil tidak sabar untuk melakukan pengobatan ataupun memastikan sebab dari kegagalan melahirkan keturunan. Dalam kasus pasangan infertil di Banjarsari menunjukkan adanya pasangan yang hanya berumur 10 bulan sampai 3 tahun. Padahal mereka belum mengetahui sebab-sebab ketidaksuburan itu. Kebanyakan pasangan kurang melakukan pengobatan karena malu untuk melakukan cek medis, bahkan sudah ada asumsi bahwa pihak perempuan yang mandul. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Argyo Demartoto (2008) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Serta metode penelitian yang digunakan pada penelitian terdahulu diatas menggunakan metode penelitian kuantitatif. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas).

Penelitian yang dilakukan oleh Efnita Rahmi (2014) yang berjudul “Makna Hidup Pada Pasangan Yang Belum Memiliki Keturunan”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan adalah bahwa mereka menemukan makna hidupnya dengan cara menyerahkan apa yang terjadi kepada Allah, responden sendiri menyatakan eksistensi sebagai orang tua belum tampak karena terputusnya nasab dari makna hidup tersebut kemudian memunculkan berbagai respon dari informan yaitu respon


(29)

emosi respon kognitif, dan respon behavioral. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Efnita Rahmi (2014) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas). Serta metode penelitian yang digunakan pada penelitian terdahulu diatas menggunakan metode penelitian kualitatif


(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Self-Compassion

1. Pengertian Self-Compassion

Self-compassion merupakan konsep yang diadaptasi dari filosofi budha tentang cara mengasihi diri sendiri layaknya rasa kasihan ketika melihat orang lain mengalami kesulitan (Neff dalam Hidayati, 2015: 157). Konsep

compassion kemudian menjadi konsep penelitian ilmiah yang dirintis oleh Kristin Neff. Compassion (yang merupakan unsur cinta kasih) melibatkan perasaan terbuka terhadap penderitaan diri sendiri dan orang lain, dalam cara yang non-defensif dan tidak menghakimi. Compassion juga melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan, kognisi yang terkait untuk memahami penyebab penderitaan, dan perilaku untuk bertindak dengan belas kasih. Oleh karena itu, kombinasi motif, emosi, pikiran dan perilakulah yang memunculkan compassion (Gilbert, 2005: 01).

Self compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa adanya, selain itu


(31)

juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi (Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014: 122).

Neff (dalam Hidayati F, 2015: 186) menyebutkan bahwa self compassion melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan well being, serta mendorong inisiatif untuk membuat perubahan dalam kehidupan. Individu dengan self compassion tidak mudah menyalahkan diri bila menghadapi kegagalan, memperbaiki kesalahan, mengubah perilaku yang kurang produktif dan menghadapi tantangan baru. Individu dengan self compassion termotivasi untuk melakukan sesuatu, atas dorongan yang bersifat intrinsik, bukan hanya karena berharap penerimaan lingkungan. Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang yang memiliki self compassion dapat memerlakukan seseorang dan dirinya secara baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia (Neff dalam Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014). Seseorang yang memiliki self compassion tinggi mempunyai ciri:

1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun kelemahannya

2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai suatu hal umum yang juga dialami oleh orang lain

3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala sesuatu (Hidayati, 2015).

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa self compassion adalah sikap perhatian dan baik terhadap diri serta terbuka


(32)

dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani.

2. Dimensi-Dimensi Self Compassion

Neff (dalam Germer & Siegel, 2012: 80-82) menjelaskan bahwa self compassion terdiri dari tiga komponen yaitu:

a. Self kindess

Kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa adanya serta memberikan kelembutan, tidak menyakiti atau menghakimi diri sendiri. Self kindess membuat individu menjadi hangat terhadap diri sendiri ketika menghadapi rasa sakit dan kekurangan pribadi, memahami diri sendiri dan tidak menyakiti atau mengabaikan diri dengan mengkritik dan menghakimi diri sendiri ketika menghadapi

masalah. Individu dengan self kindness dapat menghadapi

permasalahan atau situasi menekan dengan menghindari penyalahan diri sendiri, atau perasaan rendah. Selfkindnessmerupakan afirmasi bahwa individu akan menerima kebahagiaan dengan memberikan kenyamanan pada individu lain. Self kindness inilah yang mendorong individu untuk bertindak positif dan memberikan manfaat bagi individu lain (Hidayati F, 2015).

b. Common humanity

Common humanity adalah kesadaran bahwa individu memandang kesulitan, kegagalan, dan tantangan merupakan bagian dari hidup manusia dan merupakan sesuatu yang dialami oleh semua orang, bukan


(33)

hanya dialami diri sendiri. Common humanity mengaitkan kelemahan yang individu miliki dengan keadaan manusia pada umumnya, sehingga kekurangan tersebut dilihat secara menyeluruh bukan hanya pandangan subjektif yang melihat kekurangan hanyalah milik diri individu. Penting dalam hal ini untuk memahami bahwa setiap manusia mengalami kesulitan dan masalah dalam hidupnya.

c. Mindfulness

Mindfulness adalah melihat secara jelas, menerima, dan menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang terjadi di dalam suatu situasi. Mindfulness mengacu pada tindakan untuk melihat pengalaman yang dialami dengan perspektif yang objektif. Mindfulness diperlukan agar individu tidak terlalu teridenfikasi dengan pikiran atau perasaan negatif. Konsep dasar mindfullness adalah melihat segala sesuatu seperti apa adanya dalam artian tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi sehingga mampu menghasilkan respon yang benar-benar obyektif dan efektif (Neff dalam Hidayati, 2015: 158).

3. Komponen Self Compassion

Neff (2003b) mendefinisikan self compassion terdiri dari tiga komponen utama: self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-kindness mengacu pada kecenderungan untuk menjadi memelihara dan pemahaman terhadap diri sendiri daripada menghakimi diri dengan keras (self-judgment). Common humanity melibatkan mengakui bahwa semua orang memiliki masalah, membuat kesalahan, dan merasa tidak mampu


(34)

dalam beberapa cara dibanding dengan perasaan terisolasi (isolation).

Mindfulness, melibatkan menyadari pengalaman saat sekarang dengan cara yang jelas dan seimbang sehingga tidak satu pun diabaikan pada aspek menyukai diri sendiri atau hidup seseorang dibandingkan over-identification. Ketiga komponen tumpang tindih dan berinteraksi, untuk menjadi self compassion yang nyata atau sempurna. Compassion dapat diperpanjang ke arah diri ketika penderitaan terjadi karena kesalahan seseorang sendiri ketika situasi eksternal kehidupan hanya menyakitkan atau

sulit untuk menanggungnya. Self compassion relevan ketika

mempertimbangkan kekurangan pribadi, kesalahan, dan kegagalan, serta ketika berjuang dengan situasi kehidupan umum lainnya yang menyebabkan kita sakitmental, emosional, atau fisik. Kebanyakan orang mengatakan mereka kurang baik dan lebih keras dengan diri mereka sendiri daripada mereka dengan orang lain (Neff, 2003a). Cukup individu penuh kasih, bagaimanapun mengatakan bahwa mereka sama-sama baik untuk diri mereka sendiri dan orang lain. Adapun tiga komponen dari self compassion

adalah sebagai berikut:

a. Self-kindness versus Self-judgment

Self-kindness merupakan pemahaman terhadap diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, atau merasa berkekurangan di dalam diri, dengan tidak mengkritik secara berlebihan. Self-kindness

menyadarkan individu mengenai ketidaksempurnaan, kegagalan, dan kesulitan hidup yang tidak bisa dihindari, sehingga individu cenderung


(35)

ramah terhadap diri sendiri daripada marah ketika menghadapi penderitaan atau kegagalan. Ketika mereka gagal, orang yang penuh kasih cenderung memperlakukan diri dengan kebaikan yang lebih besar, perawatan,dan kasih sayang dan dengan sedikit kritik. Cukup kasih sayang juga yang terlibat menjadi meyakinkan daripada kritis terhadap diri bila ada yang salah (Gilbert, Clarke, Kemple, Miles, &isons, 2004). Di dalam perbandingannya, Neff menjelaskan bahwa

self-judgment adalah sikap merendahkan dan mengkritik diri sendiri secara berlebihan terhadap aspek aspek yang ada di dalam diri dan kegagalan yang dialami.

Individu yang memiliki self-judgment cenderung menolak perasaan mereka, pemikiran, dorongan, dan tindakan-tindakannya. Self-judgment terjadi secara natural, sehingga terkadang individu tidak menyadari bahwa dirinya memiliki self-judgment yang berasal dari rasa sakit atas kegagalan yang diderita (Brown, 1998). Secara garis besar, lebih banyak seseorang memiliki self-kindness, seseorang menjadi lebih sadar akan adanya self-judgment.

b. Common Humanity versus Isolation

Common humanity adalah individu memandang bahwa kesulitan hidup dan kegagalan adalah sesuatu hal yang akan dialami semua orang (manusiawi). Individu juga mengakui bahwa setiap pengalaman akan ada kegagalan dan juga akan ada keberhasilan, serta dengan adanya


(36)

seutuhnya yang sangat terbatas dan jauh dari kesempurnaan. (Neff, 2003) Ketika orang gagal, pengalaman kehilangan ataupenolakan, dihina, atau menghadapi peristiwa negatif lainnya, mereka sering merasa bahwa hal tersebut hanya mereka yang mengalaminya. Dalam kenyataannya, semua orang mengalami masalah dan penderitaan. Menyadari bahwa tidak sendirian dalam pengalaman mengurangi perasaan terisolasi dan mempromosikan koping yang adaptif(Neff, 2003a).

Isolation adalah individu yang merasa terpisah dari orang lain karena rasa sakit atau frustasi yang dideritanya. Individu yang mengalami

isolation merasa dirinya sendirian ketika mengalami kegagalan, dan cenderung merasa orang lain dapat mencapai sesuatu dengan lebih mudah dari dirinya. Individu yang mengalami isolation, akan melihat ketidaksempurnaan dan kegagalan adalah sesuatu yang memalukan dan sering kali bersikap menarik diri dan merasakan kesendirian untuk bertahan menghadapi kegagalan atau penderitaan.

c. Mindfulness versus Overidentification

Mindfulness adalah menerima pemikiran dan perasaan yang dirasakan saat ini, serta tidak bersifat menghakimi, membesar-besarkan, dan tidak menyangkal aspek-aspek yang tidak disukai baik dalam diri ataupun dalam kehidupannya. Dapat dikatakan sebagai keadaan menghadapi kenyataan. Konsep utama mindfulness adalah melihat sesuatu seperti apa adanya, tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi,


(37)

sehingga respon yang dihasilkan dapat efektif (Neff, 2011) Perbandingannya, over identification yang berarti kecenderungan individu untuk terpaku pada semua kesalahan dirinya, serta merenungkan secara berlebihan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya akibat kesalahan yang telah diperbuat. Individu yang mengalami kegagalan akan cenderung tidak menerima dan membesar-besarkan kegagalan yang dialaminya.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion

Faktor yang mempengaruhi self compassion sebagaimana diungkapkan oleh Neff (2003) yakni:

a. Lingkungan

Pertama kali manusia mendapat pengasuhan dari orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang tumbuh dengan orang tua yang selalu mengkritik ketika masa kecilnya akan menjadi lebih mengkritik dirinya sendiri ketika dewasa. Model dari orang tua juga dapat mempengaruhi self compassion yang dimiliki individu. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang mengkritik diri akan menjadi contoh bagi individu untuk melakukan hal tersebut saat mengalami kegagalan yang menunjukkan derajat self compassion yang rendah. Individu yang memiliki derajat self compassion yang rendah kemungkinan besar memiliki ibu yang kritis, berasal dari keluarga disfungsional, dan menampilkan kegelisahan dari pada individu yang


(38)

memiliki derajat self compassion yang tinggi (Neff & McGeehee, 2010: 228). Neff dan Mc Gehee (dalam Wei et al, 2011) menyatakan bahwa proses dalam keluarga (seperti dukungan keluarga dan sikap orang tua) akan berkontribusi dalam menumbuhkan self compassion. Ketika mengalami penderitaan, cara seseorang memperlakukan dirinya kemungkinan besar meniru dari apa yang diperlihatkan orang tuanya (modelling of parent). Jika orang tua menunjukkan sikap peduli dan perhatian, maka sang anak akan belajar untuk memperlakukan dirinya dengan self compassion. Pengalaman dini di dalam keluarga diduga sebagai faktor kunci perkembangan self compassion pada individu. Neff dan McGehee (2008) menemukan bahwa kritik dari orang tua dan hubungan orang tua yang penuh dengan masalah terbukti berkolerasi negatif dengan terbentuknya self compassion pada masa muda. Sebaliknya bagi individu yang merasa diakui diterima orang tua mereka menyatakan bahwa tingkat self compassion nya dan lebih tinggi daripada yang tidak. Maternal criticism juga mempengaruhi self compassion yang dimiliki seseorang. Schafer (1964, 1968) menyatakan bahwa empati dikembangkan melalui proses internalisasi saat masih anak-anak. Artinya, jika seseorang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung dengan orang tua mereka, serta menerima compassion dari orang tua mereka, mereka cenderung akan memiliki self compassion yang lebih tinggi.


(39)

Dalam tahap perkembangan, seorang remaja mengalami peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, masa remaja adalah periode kehidupan di mana self compassion yang terendah.

Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa self compassion terasosiasi secara signifikan dengan tingkat usia (Neff & Vonk, 2009). Latar belakang keterhubungan ini dianalisis oleh Neff berdasarkan teori perkembangan Erikson. Orang-orang yang telah mencapai tahapan integrity akan lebih menerima kondisi yang terjadi kepadanya sehingga dapat memiliki level self compassion lebih tinggi (Neff, 2011). Tahapan perkembangan integrity dicirikan dengan seseorang yang dapat melakukan penerimaan diri dengan positif. Neff dan McGahee (2010) juga melakukan penelitian pada remaja dan dewasa muda. Hasil temuannya menunjukkan bahwa self compassion

berasosiasi dengan negatif affect, seperti sifat remaja yang mudah mengalami kecemasan atau depresi.

c. Jenis Kelamin

Secara umum, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yarnell, Stafford et

al. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gender yang

mempengaruhi tingkat self compassion, dimana laki-laki ditemukan memiliki tingkat self compassion yang sedikit lebih tinggi dari pada perempuan. Temuan ini konsisten dengan temuan masa lalu yang mana


(40)

perempuan cenderung lebih kritis terhadap diri mereka sendiri dan lebih sering menggunakan self-talk negatif dibandingkan laki-laki. Hal lain yang menjelaskan perbedaan gender tersebut yaitu perempuan juga lebih sering melakukan perenungan yang berulang, mengganggu, dan merupakan cara berpikir yang tak terkendali atau yang disebut rumination. Rumination mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan rumination mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan menimbulkan kecemasan (Neff, 2003:94).

d. Budaya

Individu dari budaya kolektivis umumnya memiliki interdependent sense of self yang lebih dibandingkan individualis, maka dari itu diharapkan orang-orang Asia memiliki level self-compassion yang lebih tinggi dari orang Barat. Namun, penelitian juga telah menunjukkan bahwa orang-orang Asia cenderung lebih self-critical

dibandingkan dengan orang Barat (Kitayama & Markus, 2000; Kitayama, Markus, Matsumoto, & Norasakkunkit, 1997 dalam Neff, 2003: 96), yang mana hal ini justru menunjukkan sebaliknya, memiliki self compassion yang rendah.

e. Kepribadian

The Big Five Personality merupakan dimensi dari kepribadian (personality) yang dipakai untuk menggambarkan kepribadian. Five


(41)

lexical, yaitu mengelompokkan kata-kata atau bahasa yang digunakan di dalam kehidupan sehari-hari, untuk menggam-barkan ciri-ciri individu yang membedakannya dengan individu lain. Allport dan Odbert (dalam John, et al., 2008) berhasil mengumpulkan 18.000 istilah yang digunakan untuk membedakan perilaku seseorang dengan lainnya. Daftar ini menginspirasi Cattell menyusun model multidimensional dari kepribadian (John, 1990). Dari 18.000 ciri sifat ini, Cattell mengelompokkannya kedalam 4.500 ciri sifat, kemudian melakukan analisis faktor sehingga diperoleh 12 faktor. Karya besar Cattell ini merupakan pemicu bagi peneliti-peneliti kepribadian lainnya, baik untuk meneliti maupun menganalisis ulang data dari kalangan yang bervariasi. Data ini mulai dari anak-anak hingga dewasa. Khusus subjek dewasa, latar belakang pekerjaan mereka antara lain adalah supervisor, guru, dan klinisi yang berpengalaman. Dari sinilah diperoleh lima faktor yang sangat menonjol, yang kemudian diberi nama oleh Goldberg dengan Big Five (Goldberg, 1981; Tupes & Christal, 1992). Pemilihan nama Big Five ini bukan berarti kepribadian itu hanya ada lima melainkan pengelompokkan dari ribuan ciri ke dalam lima himpunan besar yang berikutnya disebut dimensi kepribadian. Goldberg (1981; 1992) mengemukakan bahwa kelima dimensi itu adalah:


(42)

Ditandai oleh adanya semangat dan keantusiasan. Individu

ekstraversion bersemangat dalam membangun hubungan dengan orang lain. Mereka tidak pernah sungkan berkenalan dan secara aktif mencari teman baru. Keantusiasan mereka ini tercermin di dalam pancaran emosi positif. Mereka tegas dan asertif dalam bersikap. Bila tak setuju, mereka akan menyatakan tidak sehingga mereka mampu menjadi pimpinan sebuah organisasi.

2. Agreeableness

Mempunyai ciri-ciri ketulusan dalam berbagi, kehalusan perasaan, fokus pada hal-hal positif pada orang lain. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka tampil sebagai individu yang baik hati, dapat kerjasama, dan dapat dipercaya.

3. Conscientiousness

Dengan kata lain sungguh-sungguh dalam melakukan tugas, bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan menyukai keteraturan dan kedisiplinan. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka tampil sebagai seorang yang hadir tepat waktu, berprestasi, teliti, dan suka melakukan pekerjaan hingga tuntas.

4. Neuroticism

Neuroticism sebagai lawan dari Emotional stability. Neuroticism sering disebut juga dengan ’sifat pencemas’ sedangkan emotional stability disebut dengan kestabilan emosi. Sifat neuroticism ini identik dengan kehadiran emosi negatif seperti rasa khawatir,


(43)

tegang, dan takut. Seseorang yang dominan sifat pencemasnya mudah gugup dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut orang kebanyakan hanya sepele. Mereka mudah menjadi marah bila berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Secara umum, mereka kurang mempunyai toleransi terhadap kekecewaan dan konflik.

5. Openness atau openness to experience

Dimensi ini erat kaitannya dengan keterbukaan wawasan dan orisinalitas ide. Mereka yang terbuka siap menerima berbagai stimulus yang ada dengan sudut pandang yang terbuka karena wawasan mereka hanya luas namun juga mendalam. Mereka senang dengan berbagai informasi baru, suka belajar sesuatu yang baru, dan pandai menciptakan aktivitas yang di luar kebiasaan. Dalam teori The Big Five Personality, berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI, self compassion memiliki korelasi positif dengan dimensi kepribadian yang menyenangkan/ramah (agreeableness), terbuka (extraversion), dan teliti (conscientiousness). Seseorang yang memiliki skor

agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, memaafkan, dan penyayang (McCrae & Allik, 2002). Korelasi dengan self compassion terjadi karena sifat baik, keterhubungan, dan keseimbangan secara emosional milik self compassion terasosiasi dengan kecerdasan untuk menjadi akrab dengan orang lain.


(44)

Kepribadian extraversion dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki kepribadian yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi lebih banyak dengan orang. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa self compassion berkolerasi positif secara signifikan dengan keingintahuan dan eksplorasi, aspek-aspek dalam kepribadian extraversion.

Individu dengan kepribadian conscientiousness, dideskripsikan sebagai orang yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas (McCrae & Allik, 2002). Stabilitas emosional yang muncul dalam self compassion merupakan penyebab sekaligus hasil dari keberadaan perilaku bertanggung jawab milik

conscientious. Self compassion tidak memiliki hubungan dengan openness, karena trait ini mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi yang aktif, kepekaan secara aesthetic, sehingga dimensi openness ini tidak sesuai dengan self compassion.

5. Dampak Self Compassion

Pada dasarnya self compassion tidak hanya diandalkan saat seseorang mengalami suatu masalah, tetapi juga dalam situasi dan kondisi apapun. Penelitian oleh Neff & Vonk (2009) menemukan hasil bahwa self compassion tidak hanya berfungsi saat terjadi suatu hal yang negatif pada


(45)

diri seseorang, tetapi juga berperan secara unik dalam emosi-emosi positif seperti sense of coherence dan feeling worthy dan acceptable.

Salah satu penemuan yang paling konsisten dari penelitian yaitu self compassion berhubungan dengan rendahnya kecemasan dan depresi. Salah satu kunci penting dari self compassion adalah rendahnya self-critism. Self compassion memberikan perlindungan untuk melawan kecemasan dan depresi saat berusaha untuk mengendalikan self-critism dan dampak negatif yang dihasilkan.

Individu yang memiliki self compassion tinggi juga menghasilkan kemampuan emotional coping skill yang lebih baik dan kepuasan hidup yang merupakan bagian penting dari hidup yang bermakna. Selain itu self compassion juga berhubungan dengan perasaan mandiri, mampu, dan hubungan dengan orang lain. Hal tersebut membuktikan self compassion

dapat membantu individu untuk menemukan kebutuhan psikologis dasar dari Deci dan Ryan (1995) tentang well being. Individu yang memiliki self compassion cenderung bahagia, optimis, memiliki rasa ingin tau, dan dampak-dampak positif daripada individu yang memiliki self compassion

rendah.

Dampak self compassion berdasarkan hasil penelitian-penelitian adalah sebagai berikut :

1. Emotional Resilience

Self compassion merupakan alat yang sangat ampuh saat kita menghadapi kesulitan emosi. Membebaskan kita dari siklus destruktif


(46)

atau reaktivitas emosional yang sering mempengaruhi kehidupan individu, memberikan ketahanan emosional dan meningkatkan kesejahteraan (well being). Pikiran otomatis yang muncul ketika dalam situasi negatif tereduksi ketika individu memiliki self compassion yang memadai. Mindfulness yang merupakan salah satu aspek self compassion dapat memandang emosi dan pemikiran negatif secara objektif. Self compassion tidak menggantikan emosi negatif menjadi positif secara langsung, melainkan emosi positif tersebut dihasilkan dengan cara memeluk emosi negatif yang ada.

Self compassion adalah bentuk yang kuat dari kecerdasan emosional. Individu dengan self compassion memiliki emosional yang lebih baik dalam coping skills. Mereka kurang menampilkan tanda-tanda penghindaran emosional dan lebih nyaman dalam menghadapi pikiran, perasaan, dan sensasi dari apa yang terjadi. Merasakan emosi yang menyakitkan dan menahannya dengan self compassion, cenderung tidak mengganggu kehidupan sehari-hari.

2. Opting out of the self esteem game

Meskipun self compassion menghasilkan emosi positif, itu tidak melakukannya dengan menilai diri sebagai "baik" daripada "buruk." Dengan cara ini, self compassion mempunyai perbedaan nyata dari

self esteem. Self esteem mengacu pada sejauh mana kita mengevaluasi diri positif. Ini mewakili berapa banyak kita suka atau menghargai diri


(47)

kita sendiri, dan sering didasarkan pada perbandingan dengan orang lain (Harter, 1999).

Self esteem yang terlalu tinggi dapat menyebabkan seseorang menjadi narsistic, meningkatkan konsep realistik dari kompeten, intelegensi, dan mereka merasa berhak untuk mendapatkan perlakukan khusus.

Self compassion bukan mencoba untuk menentukan layak atau bagaimana esensi diri kita, bukan pemikiran atau melabelkan diri, atau penilaian. Dalam self compassion adalah lebih kepada fakta bahwa semua manusia memiliki kekuatan dan kelemahan daripada mengelola citra diri kita sehingga selalu merasa baik. Tidak tersesat dalam pikiran menjadi atau buruk, kita menjadi sadar pengalaman saat ini, dan menyadari bahwa keadaan itu terus berubah dan tidak kekal. 3. Motivation and Personal Growth

Fungsi psikologis lainnya adalah sebagai sumber motivasi. Dukungan positif dan penuh harapan akan menghasilkan pencapaian tertinggi seseorang. Individu membutuhkan untuk merasa aman, tenang, dan percaya diri untuk melakukan usaha yang terbaik. Hal itu yang mendorong dan menumbuhkan keyakinan terhadap orang lain di sekitarnya ketika menginginkan mereka mencapai hasil yang terbaik. Begitu juga terhadap diri sendiri, self compassion dapat menguatkan

motivasi untuk mendapatkan pencapaian tertinggi (peak

performance). Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa level kepercayaan diri sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam


(48)

mencapai tujuan. Bandura (1997) mengungkapkan bahwa keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri berkolerasi kositif dengan kemampuan dan keberhasilan meraih mimpi.

Manfaat lainnya dengan self compassion yang tinggi adalah adanya orientasi yang lebih tinggi pada pengembangan diri (personal growth). Mereka akan merancang rencana spesifik untuk meraih tujuan yang ingin dicapai dan membuat hidup lebih seimbang. Self compassion

berperan dalam menumbuhkan mindset positif. Sebagai contoh, self compassion terkait dengan keterhubungan sosial dan kepuasan hidup, serta menjadi elemen penting dalam kebermaknaan hidup. Self compassion juga berasosiasi dengan kemandirian, kompetensi, dan keterkaitan, yang merupakan konsep dasar untuk atribut yang di sebut oleh Deci & Ryan (1995) sebagai well being atau kesejahteraan hidup (Neff dalam Leary &Hoyle, 2009).

Selegman & Csikzentmihalyi (dalam Neff et al, 2007) menyatakan bahwa individu dengan self compassion menunjukkan kekuatan psikologis yang terkait dengan perkembangan psikologi positif seperti kebahagian, optimisme, kebijaksanaan, keingintahuan, motivasi bereksplorasi, inisiatif pribadi, dan emosi positif. Penelitian membuktikan bahwa individu dengan self compassion termotivasi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi, tetapi bukan disebabkan oleh keinginan untuk meninggikan citra diri, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan untuk memaksimalkan potensi diri dan kesejahteraan.


(49)

B.Pasangan Suami Istri 1. Pengertian Keluarga

Menurut Kertamuda (2011) bahwa keluarga merupakan bagian dari masyarakat kecil yang penting dalam membentuk kepribadian serta kakarter bagi para anggota keluarganya. Keluarga juga tempat seseorang untuk bergantung, baik secara ekonomi maupun dalam kehidupan sosial lainnya, serta berperan secara dominan dalam menentukan dan mengambil keputusan. Sedangkan menurut Mubarrak, dkk (2009) keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain.

Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Sebagai unit pergaulan terkecil yang hidup dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu, yaitu (Soerjono, 2004: 23) :

a. Keluarga batih berperan sebagi pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.


(50)

b. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggotanya.

c. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

d. Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. 2. Ciri Ciri Keluarga

Menurut Mac Iver and Page (Khairuddin, 1985: 12) Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Adapun ciri-ciri umum keluarga yaitu:

1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah tangga walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok- kelompok keluarga.


(51)

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan, keluarga merupakan sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap dan merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.

Memilih pasangan, berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi teman hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan untuk menjadi orang tua dari anak–anak kelak (Lyken dan Tellegen, 1993). Pemilihan pasangan yang dilakukan oleh individu, biasanya didasari dengan memilih calon yang dapat melengkapi apa yang dibutuhkan dari individu tersebut dan berdasarkan suatu pemikiran bahwa seorang individu akan memilih pasangan yang dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan.

3. Bentuk Keharmonisan Keluarga

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh pasangan suami istri dalam upaya menjaga keharmonisan keluarganya yaitu:

a. Adanya saling pengertian

Dalam kehidupan berumah tangga pasangan suami istri harus saling menyadari bahwa sebagai manusia masing-masing saling memiliki kekurangan dan kelebihan. Perlu disadari juga bahwa sebagai sepasang suami istri keduanya tidak hanya berbeda jenis kelamin saja, melainkan juga memiliki perbedaan sifat, tingkah laku, dan juga perbedaan pandangan.


(52)

Disini pasangan suami istri harus bisa saling menyadari bahwa jodoh menjadi salah satu rahasia Allah yang tidak dapat dirumuskan secara matematis, artinya segala sesuatu itu tidak bisa dipastikan. Namun sebagai manusia diperintahkan untuk berikhtiar dan Allah lah yang menentukan hasilnya. Hasilnya tersebut yang harus diterima, termasuk keadaan pasangan masing-masing.

c. Memupuk rasa cinta

Kebahagiaan seseorang bersifat relatif, namun setiap orang berpendapat sama bahwa kebahagiaan adalah segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketentraman, keamanan, dan kedamaian. Untuk dapat mencapai kebahagiaan keluarga, hendaknya pasangan suami istri senantiasa berupaya saling memupuk rasa cinta dengan cara saling menyayangi, kasih mengasihi, hormat menghormati, serta saling menghargai.

d. Melaksanakan asas musyawarah

Dalam kehidupan berumah tangga sikap bermusyawarah antara suami istri merupakan sesuatu yang perlu diterapkan. Hal ini didasarkan bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan cara bermusyawarah. Dalam hal ini diperlukan sikap saling terbuka, lapang dada, jujur, mau menerima dan memberi serta sikap tidak mau menang sendiri antara suami istri.


(53)

Sikap kesediaan saling memaafkan kesalahan antar pasangan harus ada, karena tidak jarang persoalan yang kecil dan sepele dapat menjadi sebab terganggunya hubungan suami istri yang tidak jarang menjurus pada perselisihan yang panjang bahkan sampai pada perceraian.

f. Berperan serta dalam kemajuan bersama

Masing-masing suami istri harus berusaha saling membantu pada setiap usaha untuk peningkatan dan kemajuan bersama.

C.Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan (Infertility) 1. Pengertian Infertility

Infertilitas mempunyai pengertian sangat beragam. Pasangan infertil adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama satu tahun dan sudah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi tetapi belum hamil (Lashen, 2007; Sumapraja, 2008). Berdasarkan kejadiannya infertilitas dibagi menjadi dua, yaitu infertilitas primer apabila istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan, sedangkan disebut sebagai infertilitas sekunder apabila istri pernah hamil, akan tetapi kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan (Kadarusman, 2001).

Sedangkan definisi infertilitas menurut WHO (World Health Organization) adalah tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan intim tanpa menggunakan kontrasepsi secara teratur minimal


(54)

1-2 tahun. Tidak banyak orang mengetahui bahwa infertilitas adalah penyakit yang mengganggu produktivitas. Oleh karena itu infertilitas kurang mendapat perhatian terutama dari medis, akan tetapi dari segi sosial berdampak pada stigma yang dialami oleh pasangan suami istri yang mengalami infertilitas. Kondisi tanpa anak pada pasangan suami istri akan mempengaruhi pengambilan keputusan untuk bercerai, poligami, adopsi anak, bayi tabung atau tetap hidup berdua.

Pasangan infertil digambarkan memiliki pengalaman hidup yang berat dan menjalani krisis kehidupan yang kurang membahagiakan. Harkness (1987) menjelaskan bahwa perempuan yang menghadapi infertility experience akan mengalami emosi-emosi negatif, seperti perasaan bersalah, kecewa, loss of control, dan kekesalan. Life crisis tersebut sangat umum terjadi pada pasangan infertil. Namun, bukan berarti semua pasangan infertil akan terus menjalani pengalaman infertilitas sebagai suatu krisis kehidupan.

2. Faktor Terjadinya Infertility

Infertilitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor penyebab dapat berasal dari pihak istri maupun suami. Faktor yang menyebabkan infertilitas dari pihak istri di antaranya adalah usia wanita, lama waktu mencoba mengandung, masalah medis yang disebabkan oleh gangguan ovulasi, kelainan mekanis yang mengganggu pembuahan, dan kelainan anatomis. Fertilitas cukup stabil hingga seorang perempuan mencapai usia 35 tahun. Sesudah itu, terjadi penurunan fertilitas secara bertahap. Saat menginjak


(55)

usia 40 tahun, fertilitas menurun drastis. Perempuan sehat yang melakukan hubungan badan secara teratur hanya memiliki peluang gagal untuk mengalami kehamilan sebesar 20 - 40% selama siklus tertentu (Tara dan Alice, 2007).

Penyebab infertilitas wanita akibat masalah medis pada seorang wanita sebaiknya diperiksa mulai dari organ luar sampai dengan indung telur. Masalah yang dapat dialami oleh wanita dapat berupa gangguan ovulasi, misalnya gangguan ovarium dan hormonal (Lanshen, 2007). Gangguan ovarium dapat disebabkan oleh faktor usia, adanya tumor pada indung telur, dan gangguan lain yang menyebabkan sel telur tidak dapat masak. Gangguan hormonal disebabkan oleh bagian otak (hipotalamus dan hipofisis) tidak memproduksi hormon reproduksi seperti Folicel Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Lanshen, 2007; Alan dan Micah, 2010).

Kelainan mekanis yang menghambat pembuahan juga dapat

menyebabkan infertilitas, kelainan tersebut meliputi kelainan tuba, endometriosis, stenosis kanalis servikalis atau hymen, fluor albus, dan kelainan rahim. Kelainan anatomis seperti kelainan pada tuba, disebabkan adanya penyempitan, perlekatan maupun penyumbatan pada saluran tuba (Lanshen, 2007; Ursula et al., 2011). Kelainan rahim diakibatkan kelainan bawaan rahim, bentuknya yang tidak normal maupun ada penyekat, serta endometriosis berat dapat menyebabkan gangguan pada tuba, ovarium, dan peritoneum (Alan dan Micah, 2010).


(56)

Kesulitan memiliki keturunan tidak hanya disebabkan oleh pihak wanita (istri) namun juga dapat disebabkan oleh kelainan dari pihak laki-laki (suami). Infertilitas yang disebabkan oleh pihak suami dapat disebabkan oleh gangguan spermatogenesis (kerusakan pada sel-sel testis), misal: aspermia, hipospermia, nekrospermia. Kelainan mekanis juga berperan dalam menyebabkan infertilitas pada laki-laki, misalnya impotensi, ejaculatio precox, penutupan ductus deferens, hipospadia, dan phymosis. Infertilitas yang disebabkan oleh pria sekitar terjadi antara 35 - 40% kejadian. Sebab-sebab kemandulan pada pria adalah masalah gizi, kelainan metabolis, keracunan, disfungsi hipofise, kelainan traktus genetalis (vas deferens) (Lanshen, 2007).

Setiap pasangan infertil diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam pemeriksaan terhadap masalah infertilitas sehingga baik suami maupun istri keduanya harus diperiksa. Syarat-syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah:

a. Istri yang berumur antara 20 - 30 tahun diperiksa setelah berusaha untuk mendapat anak selama 12 bulan.

b. Istri yang berumur antara 31 - 35 tahun diperiksa pada kesempatan pertama pasangan tersebut datang ke dokter.

c. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36 - 40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan infertilitas apabila belum mempunyai anak dari perkawinan tersebut.


(57)

d. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang mengidap penyakit (Sumapraja, 2008).

3. Resolution To Infertility

Menning (dalam Harkness, 1987) menyatakan bahwa terdapat

psychological stages of infertility yang akan dihadapi seorang pasangan infertil. Tahap pertama ialah penyangkalan (denial). Munculnya denial umumnya bersamaan dengan perasaan terkejut ketika memperoleh informasi bahwa individu mengalami infertilitas. Proses ini kemudian mengarah pada tahap kedua, yaitu kemarahan (anger) pada orang-orang yang ada di sekitar. Perasaan marah juga dapat muncul bersamaan perasaan frustasi, tidak berdaya, iri hati, dan putus asa. Tahap ketiga yang akan dialami individu yang infertil adalah periode individu mengalami perasaan duka (grief). Perasaan grief atau perasaan sedih yang amat mendalam ini muncul dalam bentuk perilaku menangis bersama pasangan atau menangisi diri sendiri, menulis diari, atau bercerita dengan orang terdekat. Tahap keempat adalah tahap penerimaan (acceptance) terhadap infertilitas. Untuk bisa masuk ke dalam tahap ini, individu harus mengatasi terlebih dulu perasaan duka yang muncul pada tahap sebelumnya. Penerimaan diri dalam islam merupakan bagian dari kajian qona’ah. Qona’ah menurut Hamka (dalam Shunhaji, 2011) merupakan rasa menerima secara ikhlas yang berhubungan dengan hati, bukan menerima apa adanya tanpa disertai dengan usaha yang keras. Qona’ah diartikan juga menerima atau merasa cukup apa yang ada padanya (Al Ghazali, 2003). Jadi orang yang bersifat


(1)

mengkonsumsi beberapa vitamin yang memang sudah di resepkan oleh dokter. Meski terkesan santai dan tidak ambil pusing, jelas terlihat jika keduanya tetap melakukan berobat ke dokter spesialis kandungan

Begitu pula dengan pasangan ketiga LY dan FH, sang istri (FH) dalam mengontrol emosi negatif lebih memilih untuk memendamnya sendiri, hal ini karena istri merasa kasihan dengan suami yang selama ini selalu berusaha untuk menguatkan dan memberi semangat. Dengan begitu sang istri dapat mengontrol emosi dengan baik dan lebih memahami kondisi sekitar. Berbeda dengan suami saat mengontrol emosi negatif yang lebih menyadarkan diri sendiri jika emosi negatif tidak dapat menghasilkan apa-apa dan tidak merubah apa yang ada. Sama halnya dengan pasangan ketiga, LY dan FH memiliki tidak mudah terkukung dengan perasaan sedih, keduanya menjadi lebih tenang dan tetap berusaha untuk dapat memiliki keturunan. Sang istri yang awalnya menjadi pribadi yang lemah, menjadi lebih kuat setelah mendapat semangat dari suami. Sama halnya dengan pasangan ketiga, LY dan FH memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk dapat memiliki anak dan tidak mudah mengalami keputusasaan meski sudah beberapa tahun belum juga diberi keturunan. Terbukti sang istri yang selalu berusaha memiliki inisiatif untuk berobat dan menjalankan segala saran dari orang-orang terdekat. Memilih berhenti bekerja karena ingin lebih fokus dalam menjalani program hamil dan bersedia mengalami sakit saat melakukan berobat demi dapat segera hamil. Dan sang suami yang dengan siap siaga mengantar dan menemani istri berobat kemanapun dan kapanpun demi hasil yang terbaik.


(2)

Sedangkan terdapat temuan lain dalam penelitian ini yaitu adanya usaha ketiga pasangan untuk dapat memiliki anak, diantaranya dengan dengan melakukan pijat alternatif ke berbagai tempat, mengkonsumsi obat herbal,dan melakukan pemeriksaan ke beberapa dokter spesialis kandungan pula.

Selain data wawancara dan observasi, data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa dokumentasi. Adapun dokumentasi dalam penelitian ini yakni berupa akta nikah pasangan suami istri atau surat keterangan keluarga dan hasil dari rekam medis.

B.Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang diuraikan di atas maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Bagi subjek penelitian terkait hasil temuan penelitian, subjek atau pasangan suami istri diharapkan untuk mempertahankan dan meningkatkan self-compassion sehingga mampu menghadapi segala macam persoalan dalam

berkeluarga, serta tetap memperbanyak do’a dan usaha agar lekas diberi

keturunan

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengungkap lebih mendalam lagi self-compassion dari pasangan belum diberi keturunan dengan metode yang lebih baik serta rentan waktu yang lebih lama, selain itu diharapkan pula untuk menambah jumlah subjek penelitian.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ash-sha’di. (2001). Menuju Keluarga Sakinah. Jakarta : Pustaka Abadi Akin, A. (2010). Self-compassion and loneliness. International Online Journal of Educational Sciences, 2(3), 702-718

Al-Ghazali. (2003). Al-tashawuf (selalu melibatkan Allah). Jakarta : Serambi Amstrong, K. (2013). Compassion : 12 langkah menuju hidup berbelas kasih.

Mizan: Bandung

Bandura. (1997). Self-efficacy The Exercise Of Control. New York : W. H. Freeman and Company

Brown, J.D (1998) The Self. Boston : McGraw-Hill

Creswell J. W (2010) Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : PT Pustaka Pelajar

Creswell J. W (2013)

Demartoto, Argyo. (2008). Dampak Infertilitas Terhadap Perkawinan (Suatu Kajian Perspektif Gender). FIP.Universitas Sebelas Maret; Surakarta.

Echols, J. M. & Shadily, H. (2000). Kamus inggris indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Germer, C.K. (2009). The Mindfull path to self compassion : Freeing yourself from destructive thoughts and emotions. The Guilford Press: London

Germer, C. K, Sicgel. (2010) The Self Compassion inclinical practice. Journal of Clinical Psychology. New York : Guilford Publication, Inc.

Gilbert, Paul (editor). (2015). Compassion. Conceptualisations, research anduse in Psychoterapy. Uk : Francis

Goldberg, L (1981). Languange andIndividual Differences. The Search For Universal In Personality Lexicons. Review ofPersonality and social psychology, 2, 141-165. Beverly Hills, CA : Sage Publication


(4)

Goldberg, L (1992). The Develpoment of Markers for the Big-five Factor Structure. Psychological Assessment, No.04, page 26-42

Hamka. (2005). Tasawuf Moderen. Jakarta : PT. Pustaka Panji Mas

Harkness, C. (1987). The infertility book: A comprehensive medical and emotional guide. California: Tech-Art Publications

Harter, S. (1992). The Construction Of The Self. New York : Guilford Press. Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta:Salemba Hidayati, F., dan Maharani, R., (2015). Self compassion (welas asih): Sebuah

alternatif konsep transpersonal tentang sehat spiritual menuju diri yang utuh. Prosiding psikologi kesehatan. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Hutchison, L., Garcia, M., and Williams, J., (tt). What’s love got to do with it ? :

the effect of self compassion on relationships. Austin, Texas : St. Edward‟s University

H. Wiknjosastro. (2005). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Kadarusman. (2001). Agama, Relasi Gender, & Feminisme. Yogyakarta : Kreasi

Wacana

Khairuddin, H. (1985). Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Nurcahaya

Kompas, Konsultasi Kesehatan: Pria Sebagai Penyebab Sulit Punya Anak, 4 Agustus 2002.

Kusuma, S. T. (1987). Psiko Diagnostik. Yogyakarta : SGPLB Negeri Yogyakarta Lanshen. (2007). Designing and Infertility Alternative. United States : Purdue

University Calumet Library

Liputan 6, 100 Ribu Pasangan di Jawa Terindikasi Butuh Program Bayi Tabung, 24 Oktober 2016.

Lykken, G. Auke Tellegen. (1993). Is Human Dating Ventitious or Te Result of Lawful Vhoice.


(5)

McNeil, John, D. (1990). Curriculum a Comprehenshive Introduction. Glenview Illinois : Scott

Menning, B. E. 1980. The emotional needs of infertile couples. Fertilility and sterility, 34, 313-319,

Moleong, Lexy. J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya : Bandung

Mubarrak, dkk. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Salemba Medika Mz, Labib. (2001). Rahasia Ilmu Tasawuf. Surabaya : Bintang Usaha Jaya

Neff, K. D. (2003a). Self-Compassion: An Alternative Conceptualization Of A Healthy Attitude Toward One Self. Self and Identity, 2, 85-101

Neff, K. D. (2003b). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2, 223-250.

Neff, K. D. (2012). The science of self-compassion. In C. Germer & R. Siegel (Eds.), Compassion and Wisdom in Psychotherapy (pp. 79-92). New York: Guilford Press.

Neff, K. D., & McGehee, P. (2010). Self-compassion and psychological resilience among adolescent and young adults. Self and Identity, 9, 225-240

Neff, K. D., Kirkpatrick, K. & Rude, S. S. (2007). Self-compassion and its link to adaptive psychological functioning. Journal of Research in Personality, 41, 139-154.

Nurdibyanandaru, F. & Ramadhani, F. (2014). Pengaruh Self-Compassion terhadap Kompetensi Emosi Remaja Akhir. No. 3, page 120-126

Patoon, M. Q. (1998). Metode Evaluasi Kualitatif. Bandung: Pustaka Belajar Poerwandari. E. K. (2010). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Manusia.

Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran di Pendidikan Psikologi (LPS P3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Ryan, R. M, Deci, E. L. (1995) “On Happines and Human Potential : A Review of Research on Hedonic And Eudaimonic Well-Being”. Annual Reviews Psychology, 52, 141-166.


(6)

Shunhaji, M. (2011). Konsep Qona’ah Menurut Hamka dan Implikasinya

Terahdap Kesehatan Mental. Skripsi. Semarang : Fakultas Dakwah IAIN Walisongo

Soekarto, Soerjono. (2004). Sosiologi Keluarga. Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta : Rineka Cipta.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RND. Bandung : Pustaka Belajar

Sumapraja. S. (2008). Infertilitas : Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Taher, A. (2007). Pria Sebagai Penyebab Sulit Punya Anak. Bandung : Karya Cipta

Wiknjosastro. (2006). Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka