Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan

(1)

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

MEIROSE GRACE S 041301021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

Medan, Juni 2008


(3)

Meirose Grace S. : 041301021

Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan xii + 223 halaman ; 30 tabel ; Lampiran

Bibliografi 37 (1979-2007)

Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama dan mendasar pada manusia. Hasrat inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti kegiatan bekerja dan berkarya, agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga (dalam Barnes, 2000). Makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri dan dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, keadaan bahagia maupun penderitaan (dalam Bastaman, 2007). Keadaan belum memiliki keturunan adalah salah satu keadaan yang tidak menyenangkan dalam kehidupan pernikahan. Karena Patmonodewo, dkk (2001) menyatakan salah satu tujuan pernikahan yaitu mendapatkan keturunan. Selain itum ajaran agama dan suku-suku di Indonesia menyatakan tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Untuk menjawab masalah ini, secara umum digunakan teori makna hidup yang dikemukakan oleh Frankl.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana responden mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri responden. Selain itu makna hidup bersifat unik dan personal, sehingga dengan pendekatan kualitatif akan lebih diperoleh gambaran yang menyeluruh. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi selama wawancara berlangsung. Responden dalam penelitian ini adalah pasangan yang belum memiliki keturunan sebanyak 3 pasangan. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah prosedur pengambilan bola salju/berantai (snowball/chain sampling).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan 2 dan 3, serta istri pada Kasus 1 memiliki penghayatan hidup bermakna. Sedagkan suami pada Kasus 1 merasa hidupnya tidak bermakna yang dipicu oleh keadaan fisiknya.

Saran dari penelitian ini bagi pasangan yang belum memiliki keturunan adalah perlunya saling keterbukaan dengan pasangan sehingga dapat memahami perasaan masing-masing dan menghadapi masalah mereka dengan baik. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mempertimbangkan latar belakang agama, suku, dan usia pernikahan pasangan.


(4)

senantiasa mengaruniakan kekuatan, kemampuan, kesehatan, kasih, semangat dan senantiasa memelihara hidup penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini guna memenuhi persyaratan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Hanya oleh kehendak-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan”.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan proposal ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.dr. Chairul Yoel. Sp. A(K) selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses mengerjakan tugas ini. Terima kasih atas bimbingan, arahan, serta masukan- masukan yang telah ibu berikan kepada penulis.

3. Ibu Hasnida, M.Si dan Ibu Ika Sari Dewi, M.Si, selaku dosen penguji seminar penulis. Terimakasih atas bimbingan, arahan, serta masukan yang diberikan kepada penulis.


(5)

5. Kepada papa yang sudah tidak bersama penulis lagi, mama, adik-adik (Christian dan Agrifa), senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. Terima kasih untuk semua perhatian dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

6. Kepada Opung dan keluarga yang senantiasa memperhatikan penulis dan mengingatkan penulis untuk hal-hal kecil yang terlupakan oleh penulis. Kepada Bou Marlin dan Bou Ina, terima kasih karena telah membantu penulis mencari responden penelitian ini. Tanpa bantuan dari Bou, penulis tidak akan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada Yunus, terima kasih karena selalu menunggu penulis saat wawancara. Terima kasih ya, dek. Dan juga untuk Wawan, Ae, Ebi, dan Dani, terima kasih untuk dukungannya.

7. Kepada teman kelompok penulis (Kak Intan, Ichin, Juniar, dan Christy). Terima kasih buat doa-doanya yang selalu mendukung dan menyemangati penulis, serta buat setiap saran dan kritik yang telah diberikan selama ini. Begitu juga penulis ingin mengucapkan terima kasih buat adik-adik penulis (Ayeth, Irene, Sandy, dan Ve) untuk dukungan dan semangat yang telah dibagi kepada penulis.


(6)

Terima kasih juga buat doa-doanya selama ini.

9. Terima kasih kepada seluruh staf administrasi Psikologi yang telah banyak membantu saya dalam kelancaran administrasi sidang.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Tuhan, penulis berserah diri, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juni 2008


(7)

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang ... 1

I.B. Identifikasi Masalah ... 11

I.C. Tujuan Penelitian ... 11

I.D. Manfaat Penelitian ... 11

I.E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup ... 14

II.A.1.Pengertian Makna Hidup ... 14

II.A.2.Penghayatan Hidup ... 16

II.A.2.a. Penghayatan Hidup Bermakna ... 16

II.A.2.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna ... 17

II.A.2.Sumber-Sumber Makna Hidup ... 19

II.A.3.Komponen Keberhasilan Menemukan Makna Hidup ... 20

II.A.4.Metode Menemukan Makna Hidup ... 22

II.B. Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan ... 24


(8)

II.B.5.Dampak-dampak Ketidakhadiran Anak dalam Sebuah

Pernikahan ... 33

a. Dampak Positif ... 33

b. Dampak Negatif ... 34

II.C. Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan .... 36

PARADIGMA ... 38

Uraian Paradigma ... 39

BAB III METODE PENELITIAN III.A.Pendekatan Kualitatif ... 41

III.B.Metode Pengumpulan Data ... 42

III.B.1. Wawancara ... 42

III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 43

III.C.1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 44

III. C.2. Pedoman Wawancara ... 44

III. C. 3. Lembar Observasi ... 45

III. D. Responden Penelitian ... 45

III. D. 1.Karakteristik Responden Penelitian ... 45

III. D. 2.Jumlah Responden Penelitian... 46

III.D.3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 46


(9)

III.F. Metode Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN IV. A. KASUS 1 ... 53

IV.A.1. Istri ... 53

IV. A. 1. a. Deskripsi Data ... 53

IV. A. 1. b. Data Observasi ... 55

IV. A. 1. c. Data Wawancara ... 59

IV. A. 1.d. Analisis Intrapersonal pada Istri (Kasus 1) ... 70

IV.A.2. Suami ... 76

IV. A. 2. a. Deskripsi Data ... 76

IV. A. 2. b. Data Observasi ... 78

IV. A. 2. c. Data Wawancara ... 84

IV. A. 2.d. Analisis Intrapersonal pada Suami (Kasus 1) .. 98

IV. A. 3. Analisis Interpersonal Kasus 1 (Istri dan Suami) ... 103

IV. B. KASUS 2 ... 111

IV.B.1. Istri ... 111

IV. B. 1. a. Deskripsi Data ... 111

IV. B. 1. b. Data Observasi ... 114

IV. B. 1. c. Data Wawancara ... 117


(10)

IV. B. 2. c. Data Wawancara ... 136

IV. B. 2.d. Analisis Intrapersonal pada Suami (Kasus 2) 148 IV. B. 3. Analisis Interpersonal Kasus 2 (Istri dan Suami) ... 153

IV. C. KASUS 3 ... 153

IV.C.1. Istri ... 160

IV. C. 1. a. Deskripsi Data ... 160

IV. C. 1. b. Data Observasi ... 162

IV. C. 1. c. Data Wawancara ... 165

IV. C. 1.d. Analisis Intrapersonal pada Istri (Kasus 3) .... 174

IV.C.2. Suami ... 179

IV. C. 2. a. Deskripsi Data ... 179

IV. C. 2. b. Data Observasi ... 181

IV. C. 2. c. Data Wawancara ... 183

IV. C. 2.d. Analisis Intrapersonal pada Suami (Kasus 3) 194 IV. C. 3. Analisis Interpersonal Kasus 3 (Istri dan Suami) ... 197

IV. D. Analisis Antar Kasus ... 204

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V. A. Kesimpulan ... 219

V. B. Diskusi ... 220


(11)

(12)

Tabel 2 ... 53

Tabel 3 ... 55

Tabel 4 ... 76

Tabel 5 ... 78

Tabel 6 ... 104

Tabel 7 ... 105

Tabel 8 ... 106

Tabel 9 ... 110

Tabel 10 ... 111

Tabel 11 ... 114

Tabel 12 ... 130

Tabel 13 ... 132

Tabel 14 ... 153

Tabel 15 ... 155

Tabel 16 ... 156

Tabel 17 ... 159

Tabel 18 ... 160

Tabel 19 ... 162

Tabel 20 ... 179


(13)

Tabel 25 ... 203

Tabel 26 ... 205

Tabel 27 ... 207

Tabel 28 ... 209

Tabel 29 ... 214


(14)

Meirose Grace S. : 041301021

Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan xii + 223 halaman ; 30 tabel ; Lampiran

Bibliografi 37 (1979-2007)

Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama dan mendasar pada manusia. Hasrat inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti kegiatan bekerja dan berkarya, agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga (dalam Barnes, 2000). Makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri dan dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, keadaan bahagia maupun penderitaan (dalam Bastaman, 2007). Keadaan belum memiliki keturunan adalah salah satu keadaan yang tidak menyenangkan dalam kehidupan pernikahan. Karena Patmonodewo, dkk (2001) menyatakan salah satu tujuan pernikahan yaitu mendapatkan keturunan. Selain itum ajaran agama dan suku-suku di Indonesia menyatakan tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Untuk menjawab masalah ini, secara umum digunakan teori makna hidup yang dikemukakan oleh Frankl.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana responden mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri responden. Selain itu makna hidup bersifat unik dan personal, sehingga dengan pendekatan kualitatif akan lebih diperoleh gambaran yang menyeluruh. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi selama wawancara berlangsung. Responden dalam penelitian ini adalah pasangan yang belum memiliki keturunan sebanyak 3 pasangan. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah prosedur pengambilan bola salju/berantai (snowball/chain sampling).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan 2 dan 3, serta istri pada Kasus 1 memiliki penghayatan hidup bermakna. Sedagkan suami pada Kasus 1 merasa hidupnya tidak bermakna yang dipicu oleh keadaan fisiknya.

Saran dari penelitian ini bagi pasangan yang belum memiliki keturunan adalah perlunya saling keterbukaan dengan pasangan sehingga dapat memahami perasaan masing-masing dan menghadapi masalah mereka dengan baik. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mempertimbangkan latar belakang agama, suku, dan usia pernikahan pasangan.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan berharga di mata Tuhan. Ayah dan ibu selalu ingin mengasihi dan dikasihi oleh seluruh anggota keluarganya, serta mampu menjalankan dengan sebaik-baiknya fungsi mereka sebagai orangtua. Sebaliknya apabila ia seorang anak, ia ingin menjadi anak berbakti dan dikasihi serta menjadi kebanggaan kedua orangtuanya. Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Dan setiap orang juga pasti mendambakan dapat menjadi orang yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri, serta menjadi orang yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukan dan apa yang paling baik bagi dirinya dan lingkungannya (dalam Bastaman, 2007).

Manusia hidup di dunia dengan penuh makna. Setiap manusia mengalami keadaan yang tidak sempurna, sehingga dapat memberikan makna bagi kehidupannya (Adler dalam Septiani, 2007). Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Makna hidup adalah suatu proses yang dicari oleh manusia secara terus menerus, setiap harinya.


(16)

Makna hidup dapat berbeda setiap harinya, bahkan setiap jam, dan dapat berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Manusia selalu mencari sumber-sumber pemaknaan baru, apapun artinya, bagi pemaknaan hidupnya. Hal itu supaya ia merasa hidupnya berarti di dunia ini (dalam Bastaman, 2007). Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicari dan ditemukan sendiri. Orang lain hanya dapat menunjukkan hal-hal yang potensial bermakna, akan tetapi kembali pada orang itu sendiri untuk menentukan apa yang dianggapnya bermakna (dalam Budiraharjo, 1997).

Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama dan mendasar pada manusia. Hasrat inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti kegiatan bekerja dan berkarya, agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga (dalam Barnes, 2000). Hasrat untuk hidup bermakna ini sama sekali bukan sesuatu yang khayali dan diada-adakan, melainkan suatu fenomena kejiwaan yang nyata dan dirasakan pentingnya dalam kehidupan seseorang. Penelitian-penelitian di beberapa negara maju menunjukkan bahwa hasrat untuk hidup bermakna benar-benar ada dan dihayati orang atau sekurang-kurangnya diyakini perlunya dalam kehidupan. Misalnya penelitian empiris di Perancis dan Wina menunjukkan bahwa 98% dari responden sepakat perlu adanya tujuan hidup, dan 61% menyatakan adanya hal-hal yang mereka anggap bermakna dalam kehidupan mereka (dalam Bastaman, 2007).

Makna hidup, bila berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness). Dan makna hidup ternyata ada dalam kehidupan itu sendiri,


(17)

dan dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, keadaan bahagia maupun penderitaan. Dalam kehidupan seseorang, mungkin saja hasrat untuk hidup secara bermakna ini tidak terpenuhi, antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu sendiri dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup yang potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan (dalam Bastaman, 2007).

Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, dan negara, atau bahkan umat manusia. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis (dalam Bastaman, 2007).

Kebermaknaan dan ketidakbermaknaan hidup dapat pula dirasakan oleh pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan mereka. Patmonodewo, dkk (2001) menyatakan pernikahan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seorang individu, dimana pernikahan ini memiliki beberapa tujuan yaitu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan, cinta kasih, dan keturunan. Ketika pasangan telah menikah, pastilah mereka menginginkan untuk segera memiliki anak. Namun, ada juga pasangan yang sulit memiliki anak dan sedang berusaha untuk segera memiliki anak. Larasati (2006) mengungkapkan bahwa secara psikologis, kehadiran anak di dalam keluarga memang bisa semakin menyemarakkan suasana. Kerinduan untuk memiliki anak diungkapkan oleh seorang suami R berikut ini :


(18)

”Yah, terkadang iri hati juga lihat orang lain yang sudah punya anak, tapi saya belum. Awalnya, memang saya pernah mikir nanti aja punya anaknya. Belum siap sih, takut keuangannya belum cukup. Ngasuh anak kan gak murah. Tapi sekarang sudah hampir dua tahun tapi belum dikasih juga. Nyesal juga sih dulu mikir seperti itu” (Komunikasi Personal, 12 Agustus 2007).

Kehadiran seorang anak dalam sebuah pernikahan merupakan salah satu motivator seseorang untuk menikah. Bahkan dapat dikatakan kebahagiaan suatu pernikahan baru dapat terwujud manakala ada celoteh anak-anak yang hadir meramaikan kehidupan rumah tangga (Muskibin, 2005).

Jika melihat kenyataan di atas, terlihat bahwa, kehadiran anak memiliki makna tersendiri dalam kehidupan pasangan yang telah berumahtangga. Dalam Ihromi (1999) dinyatakan bahwa kehadiran anak dalam keluarga dapat memberi manfaat positif bagi pasangan suami istri dari segi psikologis, ekonomis, dan sosial. Salah satunya adalah pasangan suami istri tersebut akan memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak.

Beberapa budaya di Indonesia ternyata sangat menekankan pentingnya kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan. Misalnya saja, dalam kehidupan Budaya Tapanuli atau Suku Batak. Salah satu tujuan hidup orang Batak adalah mencapai hagabeon atau memiliki (banyak) keturunan terutama anak laki-laki. Bagi orang Batak yang tidak mempunyai anak laki-laki, tujuan tersebut diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki (Irianto, 2005).

Tidak hanya Suku Batak saja yang melihat pentingnya kehadiran anak dalam sebuah pernikahan. Masyarakat Nusa Tenggara Timur juga menyatakan bahwa salah satu tujuan pernikahan menurut adat masyarakat Nusa Tenggara


(19)

Timur adalah untuk meneruskan keturunan. Selain itu, di daerah Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat, menyatakan bahwa tujuan pernikahan menurut adat mereka adalah untuk menjaga kelangsungan keturunan. Begitu juga dengan suku-suku yang terdapat di daerah Kalimantan Timur seperti Suku Dayak Tanjung dan Suku Dayak Benuaq yang melihat bahwa tujuan terpenting dari pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan (dalam Suwondo, 1979).

Sejalan dengan budaya-budaya di atas, kehadiran anak juga memiliki makna tersendiri jika dilihat dari sudut pandang agama. Dalam agama Islam misalnya, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis yang mendasar untuk berkembang biak (dalam Doi, 1996). Hal ini ditekankan kembali oleh Suryaningsih (2006) yang menyatakan bahwa tujuan pernikahan ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Namun yang terpenting dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha untuk mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Gereja Katolik juga mengemukakan dua tujuan pokok pernikahan. Yang pertama adalah kebersamaan seumur hidup sebagai suami istri. Sedang yang kedua adalah keturunan, di mana Gereja Katolik juga berharap bahwa dua orang yang menikah sama-sama mau dan mampu menurunkan dan mendidik anak-anak (Seger, 2007). Hal yang sama juga terlihat dalam agama Kristen Protestan. Tujuan pernikahan menurut agama Kristen Protestan adalah sebagai persekutuan suami istri untuk mengusahakan dan memelihara kehidupan (Subandrijo, 2003).


(20)

Melihat betapa pentingnya kehadiran anak dalam sebuah pernikahan, maka tidaklah heran jika setiap pasangan yang telah berumahtangga berusaha untuk secepat mungkin memiliki anak. Namun, menurut catatan Fertilityfact (2007), sebuah website yang khusus membahas mengenai fertilitas, menyatakan bahwa setidaknya ada 90 juta pasangan di dunia yang sedang berusaha untuk memiliki anak. Bahkan karena sulitnya memiliki anak tersebut, dapat menimbulkan stres yang mendalam pada pasangan-pasangan tersebut (Fatia, 2005). Pada manusia, kehamilan dapat terjadi hanya ketika sperma bertemu dengan sel telur. Umumnya, sperma mempunyai kemampuan membuahi sel telur sampai 72 jam. Pasangan yang subur (fertil) yang berusaha untuk memiliki anak atau yang telah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi membutuhkan kira-kira 5,3 bulan untuk hamil (dalam Masters, 1992). Nyatanya, ada juga pasangan yang telah melakukan hubungan seksual selama lebih dari 12 bulan tanpa menggunakan alat kontrasepsi, tetapi belum juga mendapatkan anak. Keadaan tersebut disebut infertilitas (dalam Papalia & Olds, 1998). Ketidakmampuan untuk memiliki anak akan mengakibatkan beban emosional yang besar pada pasangan yang mengalami keadaan infertil. (Beckmann, et. al., 2002).

Dari sekian banyak pasangan yang sulit memiliki anak, terdapat pasangan suami istri yang telah membina rumah tangga selama tujuh tahun namun belum juga dikaruniai keturunan. Sebagai istri, R (32 tahun), merasa stres karena belum juga dikaruniai anak yang diimpikannya. Berikut kutipan pernyataannya yang dikutip dalam harian Pikiran Rakyat :


(21)

”Terkadang saya seperti orang gila. Saking stresnya, saya sering menggugat Tuhan. Kok orang begitu mudah memiliki anak, sedangkan saya sudah berusaha kesana kemari tidak juga mendapatkan. Begitu banyak orang yang menyia-nyiakan anak, saya cukup diberi satu saja sudah sangat bersyukur.”

Van Hoose & Worth (dalam Kail, 2000) menyatakan pasangan yang tak kunjung memiliki anak harus siap menghadapi kritik sosial dari masyarakat yang berorientasi pada anak, karena masyarakat tersebut tidak melihat keadaan belum memiliki anak sebagai sesuatu yang positif. Hal ini terlihat dari ungkapan hati L (31 tahun) yang tertekan terhadap pernyataan orang di sekitarnya karena di usia pernikahan yang menginjak enam tahun belum juga dikaruniai anak. Berikut kutipannya:

”Sebagai seorang istri, aku sudah merasa cukup galau karena belum juga hamil tapi pertanyaan-pertanyaan seputar kehamilan yang dilayangkan orang-orang kepadaku, justru semakin membuatku tertekan. Padahal menurut dokter, tidak ada masalah dengan kesehatan reproduksiku.”

Sebagai istri, L, seringkali merasa menjadi pihak yang tersudutkan setiap kali bertemu dengan kerabat atau keluarga, terutama mertua, karena pertanyaan yang muncul selalu berkisar tentang tanda-tanda kehamilan (Majidi, 2007).

Pasangan suami istri A dan M yang telah membina rumah tangga selama lebih dari lima tahun juga menghadapi masalah perguncingan akibat belum memiliki anak. A dan M menyatakan lima tahun pertama pernikahan mereka merupakan tahun terberat karena orang di sekitar mereka kerap mempertanyakan alasan mereka belum memiliki anak. Awalnya, ucapan atau anjuran negatif yang disampaikan orang membuat mereka kesal bahkan marah. Karena ada saja orang yang menganjurkan agar mereka bercerai dan menikah lagi agar mereka


(22)

mendapatkan anak, bahkan ada pula yang menganjurkan agar suaminya menikah lagi demi mendapatkan keturunan (Majidi, 2007). Seringkali terjadi bila suami istri tidak kunjung memiliki anak, yang muncul kemudian adalah konflik-konflik rumah tangga berkepanjangan. Bermula dari rasa saling curiga hingga berujung pada pertengkaran-pertengkaran tentang siapa yang bersalah. Konflik-konflik ini sangat mungkin terjadi bagi mereka yang menjadikan anak sebagai tujuan utama pernikahan. Bila anak tidak kunjung hadir, salah satu pihak atau keduanya merasa kecewa dengan ketiadaan anak lalu menimbulkan frustrasi, yang kadang menyebabkan pasangan saling menyalahkan (Muskibin, 2005). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan pada wanita di Midwestern menunjukkan ketidakhadiran anak dapat menimbulkan distress (Mc. Quillan, Greil, White, & Jacob, 2003).

Inamujur (2007), dalam sebuah website, mengungkapkan kesedihan dan konflik yang terjadi dalam rumah tangganya sebagai berikut:

”Dear all...sekarang Ina sedih banget, karena jadi sering bertengkar dengan suami karena masih belum dikaruniai anak. Suami terus menyalahkan Ina, karena katanya postur tubuh Ina yang gemuk (tapi Ina sudah diet dan berat badannya udah dikit) dan Ina punya kista yang ukurannya terakhir itu 4 cm (itu beberapa bulan yang lalu, kurang lebih 3 bulanlah). Ina jadi sedih banget dan terus terang batin Ina seperti diiris-iris setiap kali menjadikan Ina sebagai faktor utama keluarga kami belum dikaruniai anak. Padahal kondisi yang sebenarnya menjadi salah satu faktor, kami berdua sama-sama capek. Kadang suami Ina masih sibuk mengerjakan kerjaan kantor sampe jam 12-1 malam. Kami jarang bertemu, wah...pokoknya banyak dech kendalanya, tapi kok hanya Ina ya yang disalahkan...”

Menurut data statistik mengenai perceraian di Amerika Serikat pada awal abad 20, Cohen (dalam Ihromi, 1999), menemukan bahwa status sebagai orangtua mempengaruhi kebertahanan sebuah pernikahan. Status sebagai orangtua diartikan


(23)

sebagai suatu kondisi dimana pasangan suami istri yang menikah mempunyai anak selama pernikahan mereka. Perceraian lebih banyak terjadi pada pasangan yang tidak mempunyai anak (childless marriages). Sebagai contoh dikemukakan bahwa pernikahan dari pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak, 71% diantaranya berakhir dengan perceraian, sementara hanya 8% perceraian terjadi di kalangan pasangan suami istri yang mempunyai anak. Hurlock (1999) juga menekankan ketidakhadiran anak dapat mempengaruhi stabilitas sebuah pernikahan. Disebutkan bahwa perceraian lebih banyak terjadi karena pasangan tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai beberapa anak daripada karena pasangan mempunyai banyak anak. Hal ini dialami oleh pasangan A dan M yang telah membina rumah tangga lebih dari lima tahun. Walaupun mereka pada akhirnya tidak bercerai, namun banyak sekali anjuran-anjuran negatif agar mereka bercerai saja. Anjuran-anjuran ini dapat mempengaruhi stabilitas sebuah pernikahan, karena pasangan merasa tersudutkan dan tertekan dengan anjuran-anjuran negatif seperti itu.

Keadaan belum memiliki anak, sebenarnya bukanlah suatu kondisi yang hanya memberikan dampak negatif saja. Pada beberapa pasangan, keadaan ini justru adalah hal yang banyak memberikan dampak positif. Misalnya saja, pasangan akan punya banyak waktu untuk mempertimbangkan tujuan hidupnya, pasangan akan menjadi semakin matang, dan pasangan akan menjadi lebih mapan dalam karir (Olds dalam Santrock, 1995). Sedangkan Callan (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan dampak positif pasangan yang belum memiliki anak adalah mereka dapat lebih bebas untuk bepergian dan istri tidak perlu cemas


(24)

dirinya menjadi tidak menarik. Karena ketika hamil dan melahirkan, terjadi perubahan dalam berat tubuh wanita sehingga wanita seringkali merasa dirinya menjadi tidak menarik lagi setelah melahirkan.

Pasangan yang menganjurkan kehadiran anak dalam kehidupan mereka akan mengupayakan berbagai cara agar mereka dapat memiliki anak. Banyak cara dan upaya yang dapat dilakukan oleh pasangan yang menginginkan kehadiran anak. Upaya yang biasa dilakukan adalah dengan mengadopsi anak. Di kalangan masyarakat, ada pasangan yang memilih mengadopsi anak sebagai “pancingan” untuk memperoleh anak. Akan tetapi, ada juga pasangan yang mengadopsi anak dikarenakan berbagai cara yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Selain mengadopsi anak, terdapat beberapa cara baru untuk memiliki anak dengan bantuan medis. Yang pertama adalah inseminasi buatan (artificial insemination), yaitu dengan cara memasukkan sperma suami ke dalam rahim istri. Cara ini dilakukan ketika suami memiliki jumlah sperma yang sedikit. Jika suami infertil, pasangan dapat memilih inseminasi buatan dengan donor sperma dari orang lain. Cara lain adalah in vitro fertilization (IVF) yaitu fertilisasi di luar tubuh ibu, yang lebih dikenal dengan sebutan bayi tabung. Cara ini sangat efektif untuk wanita yang tuba fallopinya telah rusak. (Papalia & Olds, 1998).

Melihat kenyataan di atas, tampaklah bahwa kehadiran anak tersebut sedikit banyak dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan pasangan. Bahkan dapat mempengaruhi makna hidup pasangan. Maka dari itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan


(25)

metode pengumpulan data secara wawancara dan akan dilakukan observasi pada pasangan yang belum memiliki keturunan.

I.B. Identifikasi Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Bagaimana Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan.

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai gambaran makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan, usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mendapatkan keturunan, dan bagaimana menyikapi keadaan belum memiliki keturunan.

I.D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat mengenai gambaran makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan secara umum dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan psikologi, khususnya Psikologi Klinis dalam melihat makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. 2. Manfaat Praktis


(26)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi para pasangan yang belum memiliki keturunan, sehingga pasangan akan dapat saling melihat bahwa di tengah-tengah persoalan rumah tangga, yang dalam hal ini adalah sulitnya memiliki keturunan, mereka masih dapat membuat hidup mereka lebih bermakna dan membuat kehidupan pernikahan mereka lebih bahagia.

I.E. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini akan memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan makna hidup, pengertian pernikahan, motivasi seseorang untuk menikah, sebab-sebab pasangan sulit memiliki keturunan, keuntungan-keuntungan memiliki keturunan, serta dampak positif dan dampak negatif belum memiliki keturunan.


(27)

Bab III Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, metode pengumpulan data, populasi, dan metode pengambilan sampel.

BAB IV Hasil dan Analisis Hasil Penelitian

mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan tentang data pribadi responden, analisa data yang meliputi hubungan dengan pasangan, makna anak, dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak, sumber-sumber makna hidup, dan makna hidup pada responden.

BAB V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah peneliitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Makna Hidup

II.A.1. Pengertian Makna Hidup

Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana

kemudian teori ini kemudian dituangkan ke dalam suatu terapi yang dikenal dengan nama Logoterapi. Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yakni :

a. Kebebasan berkehendak (the freedom to will) b. Hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) c. Makna Hidup (the meaning of life)

Kebebasan berkehendak adalah kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) terhadap kondisi-kondisi biologis, psikologis, dan sosiokultural, serta sejarah hidupnya, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri. Kualitas ini adalah khas manusia yang bukan saja mempunyai kemampuan untuk mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi lingkungan di luar dirinya, melainkan juga terhadap berbagai kondisi diri sendiri (self-detachment). Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus ditimbang dengan tanggungjawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan (dalam Bastaman, 1996).

Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada diri manusia. Hasrat inilah yang memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan


(29)

melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dihayati secara bermakna.

Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan ( dalam Bastaman, 1996).

Dalam Bastaman (2007), makna hidup memiliki beberapa karakteristik, yaitu :

a. Makna hidup itu sifatnya unik dan personal, sehingga tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan sendiri. Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu penting dan berharga bagi orang lain. b. Makna hidup itu spesifik dan konkrit, hanya dapat ditemukan dalam

pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan idealistis maupun renungan filosofis.

c. Makna hidup memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidup yang sifatnya unik dan personal dimana jika makna hidup berhasil ditemukan dan dipenuhi dapat membuat hidup berarti dan akan terhindar dari keputusasaan.


(30)

II.A.2. Penghayatan Hidup

II.A.2.a. Penghayatan Hidup Bermakna

Menurut Bastaman (2007), penghayatan hidup bermakna dapat berupa: 1) Menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah, serta

jauh dari perasaan hampa.

2) Mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang, sehingga kegiatan-kegiatan menjadi terarah.

3) Merasakan sendiri kemajuan yang telah dicapai.

4) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari batasan-batasan lingkungan dan tetap dapat menentukan sendiri apa yang paling baik dilakukan.

5) Menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruknya keadaan.

6) Menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau penderitaan dengan sikap tabah dan sadar ada makna serta hikmah dibalik penderitaannya. 7) Benar-benar menghargai hidup dan kehidupan. Tidak pernah berpikir untuk

bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan yang ada.

Jadi, penghayatan hidup bermakna tercermin dalam perilaku-perilaku sebagai berikut: menjalani hidup dengan semangat, memiliki tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah diperoleh, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bersikap sabar dan tabah dalam menghadapi suatu peristiwa bahkan penderitaan sekalipun, dan benar-benar menghargai kehidupannya.


(31)

II.A.2.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna

Bastaman (2007) mengemukakan bahwa dalam kehidupan seseorang mungkin saja hasrat untuk hidup secara bermakna ini tidak terpenuhi. Penyebabnya antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu sendiri dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup yang potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan. Selain itu mungkin karena pengetahuan yang kurang mengenai prinsip dan teknik dalam menemukan makna hidup itu sendiri.

Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan makna hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money).

Penghayatan hidup tanpa makna ini jika tidak diatasi dapat berkembang menjadi karakter pribadi neurosis noogenik, karakter totaliter dan karakter konformis.

1) Neurosis Noogenik, merupakan suatu gangguan perasaan yang cukup menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan ini biasanya


(32)

tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali. Motto hidup dari pribadi ini adalah ”Aku salah dan Kamu pun tidak benar. Aku serba salah.”

2) Karakter Totaliter, adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional. Motto hidup dari ribadi totaliter ini adalah ”Aku benar dan Kamu salah. Semau aku.” 3) Karakter Konformis adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri. Motto hidup karakter konformis adalah ”Aku salah dan Kamu benar. Aku ikut kamu saja.”

Jadi, jika seseorang tidak berhasil menemukan makna hidupnya, maka ia akan mengalami penghayatan hidup tanpa makna. Individu tersebut akan merasa kehampaan dalam hidup, bersikap apatis, bosan, dan merasa tidak memiliki tujuan hidup. Sikap ini biasanya berkembang menjadi karakter-karekter khusus, yaitu: neurosis noogenik (sering mengeluh bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali); karakter totaliter (cenderung untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain); dan karakter konformis (cenderung untuk selalu berusaha mengikuti


(33)

dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri).

II.A.3. Sumber-Sumber Makna Hidup

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu :

a. Nilai-nilai Kreatif (Creative Values)

Dengan “apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to live)”. Maksudnya melalui tindakan-tindakan kreatif atau menciptakan suatu karya seni atau bahkan dengan melayani orang lain dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Melalui karya dan kerja seseorang dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna

b. Nilai-nilai Penghayatan (Experiential Values)

Dengan “apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take from the world). Maksudnya dengan mengalami sesuatu misalnya melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam dan budaya, atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya, dengan mencintainya. c. Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Values)

Dengan “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering). Ketika manusia menghadapi nasib buruk atau situasi menghambat yang tidak bisa diubahnya, dengan kata lain ketika menderita, dia tetap bisa merealisasikan nilai yang bisa mengantarkannya kepada makna.


(34)

Selain tiga sumber nilai yang dikemukakan oleh Frankl, ada nilai lain yang menurut Bastaman dapat menjadikan hidup menjadi lebih bermakna, yaitu : d. Nilai-nilai Pengharapan (Hopeful Values)

Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan sekalipun belum tentu menjadi kenyataan dapat memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber makna hidup ada tiga, yaitu nilai-nilai kreatif (Creative Values), nilai-nilai penghayatan (Experiental Values), nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values), dan nilai-nilai harapan (Hopeful Values)

II.A.4. Komponen Keberhasilan Menemukan Makna Hidup

Bastaman (1996) mengemukakan komponen-komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam mengubah hidup dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi lebih bermakna, yaitu :

a. Pemahaman diri (Self Insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.

b. Makna Hidup (Meaning of life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.


(35)

c. Pengubahan sikap (Changing Attitude), dari yang semula tidak tepat menjadi tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak terelakkan.

d. Keikatan diri (Self Comitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan.

e. Kegiatan terarah (Directed Activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi, bakat, kemampuan, ketrampilan yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.

f. Dukungan sosial (Social Support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu bersedia memberi bantuan pada saat diperlukan.

Selanjutnya tahap-tahap ini dapat dikategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan urutannya, yaitu :

a. Tahap derita (Peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna) b. Tahap penerimaan diri (Pemahaman diri, pengubahan sikap)

c. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup) d. Tahap realisasi makna (Keikatan diri, kegiatan terarah, dan pemenuhan makna

hidup)

e. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan)

Di dalam kenyataannya urutan proses tersebut dapat tidak diikuti secara tepat, tidak selalu tepat sesuai dengan konstruksi teori yang ada.


(36)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat enam komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam meraih hidup bermakna, yaitu pemahaman diri (Self Insight), makna hidup (Meaning of life), pengubahan sikap (Changing Attitude), keikatan diri (Self Comitment), kegiatan terarah (Directed Activities), dan dukungan sosial (Social Support).

II.A.5. Metode Menemukan Makna Hidup

Proses menemukan makna hidup tersebut dapat dilakukan dengan lima metode, yaitu :

a. Metode pemahaman diri

Metode ini pada dasarnya membantu memperluas dan mendalami beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupan seseorang. Dapat dilakukan dengan cara :

1. Mengenali keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan pribadi (penampilan, sikap, bakat, pemikiran) dan kondisi lingkungan (keluarga, tetangga, teman sekerja).

2. Menyadari keinginan masa kecil, masa muda, dan keinginan sekarang, serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang mendasari keinginan itu.

3. Merumuskan secara lebih jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa mendatang dan menyusun rencana yang realistis untuk mencapainya. b. Metode bertindak positif


(37)

c. Metode pengakraban hubungan

Hubungan akrab adalah hubungan antara seorang pribadi dengan pribadi lain sedemikian rupa sehingga dihayati sebagai hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya, dan saling memahami, serta dirasakan bermakna bagi masing-masing pihak. Metode ini menganjurkan agar seseorang membina hubungan akrab dengan orang tertentu (misalnya : keluarga, teman, rekan sekerja, dan sebagainya), sebab dalam hubungan pribadi yang akrab seseorang benar-benar merasa diperlukan dan memerlukan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain.

d. Metode pendalaman catur nilai

Yang dimaksud dengan catur nilai adalah usaha-usaha untuk memahami benar-benar nilai-nilai berkarya, nilai-nilai penghayatan, nilai-nilai bersikap, dan nilai-nilai pengharapan yang dapat menjadi sumber makna hidup seseorang.

e. Metode beribadah

Dalam pengertian yang lebih khusus, ibadah adalah ritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan dalam agama. Ibadah yang dilakukan secara hikmat sering menimbulkan perasaan tentram, mantap, dan tabah, serta tidak jarang pula menimbulkan perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting. Salah satu bentuk ibadah yang dapat memberikan makna khusus bagi seseorang adalah melalui doa.


(38)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima metode menemukan makna hidup, yaitu metode pemahaman diri, metode bertindak positif, metode pengakraban hubungan, metode pendalaman catur nilai, dan metode beribadah.

II.B. Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan

Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak (dalam Su’adah, 2005). Namun, ada beberapa keluarga yang hanya terdiri dari suami dan istri, karena belum memiliki anak. Pasangan inilah yang disebut pasangan yang belum memiliki anak (childless marriage).

Mc. Quillan, Greil, White, & Jacob (2003) mengemukakan, keadaan belum memiliki anak ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. involuntary childless, adalah sebuah keadaan dimana pasangan belum memiliki anak dan berharap nantinya akan memiliki anak. Pada keadaan ini, pasangan ini tidak mencoba untuk menunda kelahiran anak.

2. voluntary childless, adalah sebuah keadaan dimana pasangan yang belum memiliki anak disebabkan keinginan pasangan tersebut yang dapat dikarenakan beberapa hal, misalnya saja ingin lebih memikirkan karir. Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan jumlah voluntary childless couples (dalam Abma & Martinez, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pasangan yang belum memiliki keturunan (childless marriage) adalah pasangan yang belum memiliki anak, dimana keadaan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu


(39)

involuntary childless atau keadaan belum memiliki anak dan berharap nantinya akan memiliki anak, dan voluntary childless atau keadaan belum memiliki anak karena keinginan pasangan tersebut.

II.B.1.Pengertian Pernikahan

Batasan tentang pernikahan ada banyak tergantung pendekatannya di antaranya adalah :

Herning (1956) mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan. Keterikatan ini bersifat persahabatan, ditandai oleh perasaan bersatu dan saling memiliki. Masing-masing individu perlu menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri agar sesuai.

Sedangkan menurut Duval dan Miller (1980) pernikahan adalah suatu hubungan yang diakui secara sosial antara pria dan wanita, yang mensahkan hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Pria dan wanita ini bertanggungjawab atas pengasuhan anak mereka dan pasangan ini juga selama menikah memantapkan pembagian kerja antarmereka.

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan 1/1974 menyatakan pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


(40)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan antara seorang pria dan wanita yang diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

II.B.2. Motivasi untuk Menikah

Ada beberapa faktor yang memotivasi seseorang untuk menikah, yang dikategorikan ke dalam dua faktor utama, yaitu :

a. Push factor, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera

memasuki pernikahan, meliputi :

1. Konformitas, orang memutuskan untuk menikah karena demikian pula yang dilakukan oleh sebagian besar orang. Agaknya kebanyakan struktur kebudayaan yang ada di muka bumi ini adalah sedemikian rupa sehingga konformitas merupakan hal yang utama.

2. Cinta, cinta merupakan komitmen emosional manusia yang perlu diterjemahkan ke dalam suatu bentuk yang lebih nyata dan permanen, yaitu pernikahan.

3. Legitimasi sex dan anak, secara tradisional, masyarakat memberikan dukungan terhadap hubungan seksual hanya kepada mereka yang telah menyatakan komitmennya secara legal. Sedangkan lahirnya anak-anak yang tidak berasal dari pernikahan yang sah akan menimbulkan stigma sosial yang tidak dapat disepelekan.

b. Pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang menetralisir kekawatiran


(41)

Yang termasuk dalam pull factors, antara lain :

1. Persahabatan, salah satu harapan terhadap pernikahan adalah terjadinya persahabatan yang terus menerus. Banyak pasangan dalam pernikahan sesungguhnya adalah terjalinnya suatu persahabatan.

2. Berbagi, berbagi dalam gaya hidup, pikiran-pikiran, dan juga penghasilan, dianggap sebagai daya tarik seseorang untuk memasuki pernikahan.

3. Komunikasi, pasangan suami istri perlu terlibat secara mendalam dalam komunikasi yang akrab dan bermakna. Pasangan yang bahagia adalah mereka yang terampil berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal dan saling peka terhadap kebutuhan satu sama lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang memotivasi seseorang untuk menikah, yaitu push factor yang mendorong seseorang untuk segera memasuki pernikahan, dan pull factor yang menetralisir kekawatiran seseorang untuk terikat dalam pernikahan yang akan mengurangi kebebasan.

II.B.3. Keuntungan Pasangan Yang Memiliki Keturunan

Dalam Ihromi (1999), secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orangtua dari segi psikologis, ekonomis, dan sosial, yaitu :


(42)

a. Anak dapat lebih mengikat tali pernikahan

Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam pernikahan dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri, karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka.

b. Orangtua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka.

c. Anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu Orangtua sering menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka melalui kepribadian, sifat, nilai, dan tingkah laku mereka yang diturunkan kepada anak-anak mereka.

d. Orangtua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak e. Anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian

f. Anak dapat meningkatkan status seseorang

Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak

g. Anak merupakan penerus keturunan

Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan dan keluarga itu dianggap akan punah.


(43)

i. Anak mempunyai nilai ekonomis yang penting

Hal ini dikarenakan anak dapat diharapkan dapat membantu kedua orangtuanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak dapat memberi keuntungan pada orangtua dari segi psikologis, ekonomis, dan sosial, yaitu dapat lebih mengikat tali pernikahan, orangtua merasa lebih muda, anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu, orangtua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak, anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian, anak dapat meningkatkan status seseorang, anak merupakan penerus keturunan, anak merupakan pewaris harta pusaka, dan anak mempunyai nilai ekonomis yang penting.

II.B.4. Penyebab Pasangan Sulit Memiliki Keturunan

Kenyataan menunjukkan, 40% masalah yang membuat pasangan sulit mempunyai anak terdapat pada wanita, 40% pada pria, dan 20% pada keduanya. Jadi kedua pihak mempunyai kemungkinan sama besar pada kasus kesulitan mempunyai keturunan. Maka pemeriksaan medis juga harus dilakukan pada kedua belah pihak. Ada dua kemungkinan dalam hal sulit memiliki anak, yaitu subfertil (kurang subur) atau infertil (tidak subur).

Infertilitas berhubungan dengan perubahan gaya hidup, seperti mempertahankan berat tubuh agar tetap kurus (dengan cara diet dan olahraga), merokok, penggunaan obat-obatan (seperti marijuana), menunda untuk memiliki anak, dan peningkatan kontak seksual. Menunda untuk memiliki anak adalah


(44)

faktor yang semakin berkembang di masyarakat yang biasanya dikarenakan suami dan istri memiliki karir. Menunda untuk memiliki anak ini dapat mengakibatkan fertilitas karena kesuburan wanita akan menurun seiring dengan meningkatnya usia (Beckmann, et. al., 2002).

Dalam kasus subfertilitas itu ada beberapa konsep penjumlahan. Suami yang sangat subur bertemu istri yang kurang subur, bisa hamil. Suami yang kurang subur tapi istri yang sangat subur, bisa hamil juga. Keduanya kurang subur, maka sulit hamil. Sementara itu, kalau salah satu atau mungkin keduanya tidak subur, maka kondisinya sangat tidak subur (Muskibin, 2005). Lebih lanjut dijelaskan oleh Papalia & Olds (1998) bahwa infertilitas adalah suatu keadaan dimana tidak terjadi kehamilan setelah minimal 12 bulan berhubungan seks tanpa pelindung.

Dalam Santrock (2002), dikatakan terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan kesuburan pada wanita, yaitu :

a. Masalah Ovulasi (ovulation problems)

Beberapa penyebab yang berhubungan dengan masalah ovulasi ni adalah tumor pada kelenjar di bawah otak atau tumor ovarium dan thyroid yang tidak aktif. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan tumor pada kelenjar di bawah otak atau tumor ovarium adalah dengan operasi atau pembedahan. Dan pengobatan untuk thyroid yang tidak aktif adalah dengan memberikan obat.


(45)

b. Sekresi Antisperma (antisperm secretions)

Penyebab dari sekresi antisperma ini belum dapat diketahui. Penyebab yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan terapi estrogen. c. Tuba fallopi tertutup (blocked fallopian tubes)

Penyebabnya adalah infeksi yang diakibatkan oleh IUD, aborsi, atau penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual. Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pembedahan dan memindahkan sel dari ovarium dan menempatkannya di uterus.

d. Endometriosis

Endometriosis adalah jaringan yang berkembang pada uterus. Penyebabnya adalah menunda kehamilan hingga usia 30an. Pengobatan yang dapat dilakukan dengan pemberian hormone dan pembedahan. Endometriosis terjadi ketika lapisan kandungan bertumbuh di luar kandungan dan menyebabkan pendarahan atau penghambatan , atau bekas luka yang dapat menghambat pembuahan atau kehamilan.

Dan beberapa masalah yang berhubungan dengan kesuburan pada pria, yaitu:

a. Rendahnya jumlah sperma (low sperm count)

Penyebabnya adalah ketidakseimbangan hormone, varikokel, polutan lingkungan, dan obat-obatan (seperti kokain, marijuana, arsenic, beberapa steroid dan antibiotik). Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan terapi hormon, pembedahan, dan menghindari panas yang berlebihan.


(46)

b. Sperma kurang lincah (immobile sperm)

Penyebab dari sperma yang kurang lincah adalah bentuk sperma yang tidak normal, infeksi, dan rusaknya saluran sperma. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi infeksi adalah dengan memberikan antibiotik dan untuk mengatasi rusaknya saluran sperma adalah dengan pembedahan dan pemberian antibiotik. Sedangkan untuk bentuk sperma yang tidak normal tidak ada pengobatan yang dapat dilakukan.

c. Antibodi sperma (antibodies against sperm)

Penyebab dari masalah antibody sperma adalah karena adanya masalah pada system kekebalan (immune system). Dan pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian obat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab pasangan sulit memiliki anak dapat dikarenakan pasangan tersebut kurang subur atau tidak subur. Masalah kesuburan pada wanita dapat disebabkan karena masalah ovulasi (ovulation problems), sekresi antisperma (antisperm secretion), dan endometriosis. Sedangkan masalah kesuburan pada pria dapat disebabkan karena rendahnya jumlah sperma (low sperm count), sperma yang kurang lincah (immobile sperm), dan antibodi sperma (antibodies against sperm).


(47)

II.B.5. Dampak-Dampak Dari Ketidakhadiran Anak dalam Sebuah Pernikahan

Ketidakhadiran anak memiliki dampak dalam kehidupan pernikahan pasangan suami istri. Dampak ini dapat dibagi dua, yaitu dampak positif dan dampak negatif.

a. Dampak Positif

Adapun yang menjadi dampak positif dari ketidakhadiran anak dalam sebuah pernikahan, adalah :

1. Pasangan akan punya banyak waktu untuk mempertimbangkan tujuan hidupnya seperti apa yang mereka inginkan dari peran keluarga dan karir mereka, pasangan akan menjadi semakin matang dan dapat menarik manfaat dari pengalaman kehidupan mereka untuk menjadi orangtua yang lebih kompeten dan pasangan akan menjadi lebih mapan dalam karir serta mempunyai penghasilan lebih banyak untuk pengeluaran perawatan anak nantinya di kemudian hari (Olds dalam Santrock, 1995).

2. Biaya hidup tidak bertambah (Kail, 2000).

Ketidakhadiran anak dapat membuat pasangan tidak perlu memikirkan biaya tambahan untuk mengurus dan membesarkan anak. Kail menjelaskan membesarkan anak itu mahal, karena harus memikirkan biaya tambahan untuk membiayai sekolah anak nantinya. Sedangkan pada pasangan yang belum memiliki anak tidak perlu memikirkan hal tersebut, dan tidak perlu takut biaya hidup akan bertambah.


(48)

3. Lebih bebas untuk bepergian (Papalia, Olds, & Feldman, 2001).

Pasangan yang belum memiliki anak akan lebih bebas untuk bepergian tanpa harus memikirkan tanggungjawab mereka untuk mengurus anak. Sehingga mereka lebih dapat bebas dan menikmati kehidupan yang mereka jalani.

4. Wanita tetap dapat terlihat menarik (Callan dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001).

Wanita yang sedang hamil dan setelah melahirkan akan berdampak pada bentuk tubuh yang menjadi tidak proporsional. Hal inilah yang sering membuat wanita takut untuk hamil. Pada wanita yang belum memiliki anak, mereka tidak perlu takut tubuhnya menjadi tidak menarik lagi sebagai efek dari hamil dan melahirkan.

b. Dampak Negatif

Yang menjadi dampak negatif dari ketidakhadiran anak dalam sebuah pernikahan, adalah :

1. Van Hoose & Worth (dalam Kail, 2000) menyatakan bahwa pasangan yang belum memiliki keturunan harus siap menghadapi kritik sosial dari masyarakat yang berorientasi pada anak/keturunan. Karena kebanyakan masyarakat tidak melihat ketiadaan anak sebagai sesuatu yang positif. 2. Van Hoose & Worth (dalam Kail, 2000) menyatakan bahwa pasangan

yang belum memiliki keturunan beresiko akan mengalami perasaan kesepian yang lebih besar di hari tuanya.


(49)

3. Mc. Quillan, Greil, White & Jacob (2003) menyatakan bahwa wanita yang sulit memiliki keturunan akan mengalami distress. Hal ini dapat terjadi karena peran seorang wanita adalah sebagai ibu dan peran sebagai ibu ini adalah identitas pokok untuk semua wanita dewasa. Sehingga jika seorang wanita belum memiliki anak, dapat menimbulkan stres dan stigma sosial. Dalam Peterson, Newton, Schulman (2006) dinyatakan bahwa stres dapat mempengaruhi beberapa hal, meliputi fungsi seksual, ketahanan dan kualitas dari hubungan, dan perubahan pada hubungan sosial dan keluarga. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat stres dalam menghadapi ketiadaan anak jika dilihat dari gender. Ditemukan bahwa pria juga mengalami stres saat menghadapi keadaan infertil. Namun, stres yang dirasakannya tidak berbeda dengan stres ketika menghadapi hal lain (sumber stressor yang lain). Jadi, keadaan infertil pada pria kurang menimbulkan stres pada wanita.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa dampak positif maupun dampak negatif dari ketidakhadiran anak dalam sebuah pernikahan. Dampak positifnya meliputi pasangan dapat lebih memikirkan tujuan hidup mereka sehingga lebih dapat mengejar karir masing-masing, pasangan dapat lebih bebas bepergian, dan wanita dapat tetap terlihat menarik. Dan yang menjadi dampak negatifnya adalah pasangan harus siap menghadapi kritik sosial dari masyarakat, beresiko mengalami kesepian di hari tuanya, dan dapat mengalami distress.


(50)

III.C. Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan

Setiap pasangan yang telah menikah, pastilah memiliki gambaran dan harapan mengenai kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan. Bahkan anak dapat merupakan salah satu motivator seseorang untuk menikah dan dapat dikatakan kebahagiaan suatu pernikahan baru dapat terwujud saat anak hadir di kehidupan pernikahan pasangan suami istri. Namun, tidak semua pasangan yang dapat dengan cepat memiliki keturunan. Ada pasangan yang harus menunggu bertahun-tahun dan mengupayakan berbagai cara untuk memiliki seorang anak.

Keadaan belum memiliki keturunan ini, bukanlah suatu hal yang dinilai positif oleh masyarakat. Kebanyakan masyarakat akan mengkritik pasangan-pasangan yang belum memiliki keturunan dan menganggap pasangan-pasangan-pasangan-pasangan ini tidak mampu untuk memiliki seorang anak. Kritikan dan anggapan inilah yang dapat menimbulkan stres pada pasangan (Van Hoose & Worth dalam Kail, 2000). Terlebih ketika pihak keluarga masing-masing menginginkan hadirnya seorang anak dari pasangan tersebut. Hal ini dapat membuat pasangan menjadi lebih tertekan lagi. Biasanya, keadaan belum memiliki keturunan ini dapat memunculkan konflik-konflik rumah tangga yang berkepanjangan lalu akan menimbulkan frustrasi yang kadang menyebabkan pasangan saling menyalahkan (Muskibin, 2005).

Keadaan stres dan tertekan ini dapat mempengaruhi makna hidup pasangan suami istri. Dalam Blair (2004) dinyatakan bahwa makna hidup itu sendiri terdapat dalam kehidupan dan pengalaman seseorang, baik dalam keadaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Namun, makna hidup itu


(51)

tersembunyi dan butuh ditemukan. Jadi, seseorang jangan hanya menghubungkan dan mengatribusikan makna pada sesuatu tetapi harus menemukan makna dari sesuatu tersebut, dan jangan hanya memikirkan makna itu tetapi harus lebih berusaha untuk menemukan makna kehidupan itu sendiri. Maka, dalam keadaan belum memiliki keturunan, pasangan tetap dapat menemukan makna hidupnya. Karena keadaan tidak menyenangkan ini tidak sepenuhnya hanya memberi dampak negatif saja, tetapi keadaan ini tetap dapat memberi dampak positif bagi pasangan.

Makna hidup pasangan dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Makna hidup suami dapat mempengaruhi makna hidup istri, dan sebaliknya makna hidup istri dapat mempengaruhi makna hidup suami. Karena salah satu metode menemukan makna hidup adalah metode pengakraban hubungan dimana dalam metode ini, baik istri maupun suami dapat saling mendukung satu sama lain dan juga saling menguatkan. Sehingga dalam keadaan yang tidak menyenangkan, dalam hal ini belum memiliki keturunan pasangan tetap dapat menemukan makna hidup mereka dan saling membantu pasangan untuk memaknai hidup ini.

Dalam penelitian ini akan diungkap mengenai Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan.


(52)

Paradigma

Keterangan: : saling mempengaruhi

Menikah

Makna Anak

Belum Memiliki Anak

Makna Hidup Suami

Meaningfull Meaningless

Dampak positif :

- menjadi lebih mapan dalam karir - biaya hidup tidak bertambah - lebih bebas untuk bepergian - wanita dapat tetap terlihat

ik

Dampak negatif :

- harus siap menghadapi kritik sosial

- lebih rentan mengalami kesepian di hari tua - dapat mengalami stres

Budaya

Agama

Pasangan Suami Istri

Makna Hidup Istri

Sumber Makna Hidup:

- nilai kreatif - nilai bersikap - nilai penghayatan - nilai harapan

Komponen Keberhasilan Menemukan Makna Hidup:

a.pemahaman diri b.makna hidup c.pengubahan sikap d.keikatan diri e.kegiatan terarah f.dukungan sosial


(53)

URAIAN PARADIGMA

Ketika pasangan memutuskan untuk menikah, pastilah mereka memiliki pandangan tersendiri mengenai kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan mereka. Pandangan mereka mengenai kehadiran anak dapat diperoleh dari budaya maupun agama. Di Indonesia, budaya-budayanya sangat menekankan pentingnya kehadiran anak dalam sebuah pernikahan. Hal ini terlihat dari bagaimana budaya-budaya di Indonesia menempatkan salah satu dari tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan. Begitu juga dengan agama. Misalnya saja dalam agama Islam dan Kristen, sama-sama melihat bahwa tujuan dari pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan.

Dari hal-hal di atas terlihatlah bahwa kehadiran anak memainkan peranan penting dalam kehidupan pernikahan. Namun, tidak semua pasangan suami istri yang dapat dengan cepat memiliki anak. Karena ada juga pasangan yang belum memiliki anak meskipun usia pernikahan mereka sudah menahun. Kondisi belum memiliki anak ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif pada pasangan. Pasangan suami istri yang merasakan dampak positif maupun negatif ini dapat melihat keadaan mereka yang belum memiliki anak sebagai sesuatu yang bermakna maupun yang tidak bermakna. Makna hidup yang dirasakan suami dapat mempengaruhi makna hidup yang dirasakan istri, begitu juga sebaliknya. Makna hidup dapat diperoleh dari sumber-sumber nilai makna hidup, yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan, nilai bersikap, dan nilai harapan. Sumber-sumber makna hidup ini dapat dijadikan pasangan sebagai salah satu cara untuk


(54)

menemukan kebermaknaan hidupnya, apakah itu bermakna (meaningful) atau bahkan tidak bermakna (meaningless). Keadaan hidup bermakna dapat terlihat dari beberapa komponen keberhasilan makna hidup, yaitu pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan terarah, dukungan sosial.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subyek penelitian beserta konteksnya.

Dengan melihat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Karena makna hidup adalah sesuatu yang bersifat unik dan personal sehingga apa yang dirasakan berharga dan penting untuk seseorang, belum tentu berharga dan penting bagi orang lain. Sehingga makna hidup antara seseorang akan berbeda dengan orang lain. Selain itu, makna hidup itu ada dalam kehidupan itu sendiri, sehingga walaupun pengalaman belum memiliki keturunan dirasakan oleh beberapa orang, namun makna hidup mereka akan berbeda satu sama lain, karena pengalaman dan kehidupan mereka berbeda satu sama lain, serta cara memaknai hidup pastilah akan berbeda. Sehingga dengan penelitian kualitatif, dapat dilihat manusia dengan kesubyektifitasannya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2001) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.


(56)

Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi subyek penelitian.

Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Dan sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

III.B. Metode Pengumpulan Data

Poerwandari (2001) menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Metode-metode ini dapat dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.

III.B.1. Wawancara

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan responden penelitian, maka metode yang tepat digunakan adalah wawancara. Wawancara adalah proses komunikasi antara


(57)

dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur (dalam Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori makna hidup yang mencakup sumber-sumber makna hidup dan komponen keberhasilan menemukan makna hidup yang dikemukakan oleh Frankl.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001) yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan.


(58)

III.C.1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.

III.C.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.


(59)

III.C.3 Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mempermudah proses observasi yang dilakukan. Observasi dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar observasi antara lain memuat tentang penampilan fisik subyek, setting wawancara, sikap subyek pada peneliti selama wawancara berlangsung, hal-hal yang mengganggu wawancara, hal-hal yang unik, menarik dan tidak biasa dalam wawancara serta hal-hal yang dilakukan subyek dalam menjawab pertanyaan selama wawancara.

III.D. Responden Penelitian

III.D.1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah

a. pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan, dimana usia pernikahan minimal lima bulan. Alasan penentuan usia pernikahan ini adalah berdasarkan teori bahwa seorang istri pada umumnya akan hamil di usia pernikahan lima bulan.

b. Involuntary childless c. Tidak mengadopsi anak

Lokasi diadakannya penelitian adalah di kota Medan. Hal ini dilakukan karena melihat keterbatasan waktu, uang, maupun tenaga yang dimiliki peneliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam hal pengumpulan data.


(60)

III.D.2. Jumlah Responden Penelitian

Penelitian kualitatif ini mengambil sampel tiga pasangan yang belum memiliki keturunan. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, sehingga perlu pendekatan yang mendalam terhadap subyek. Pendekatan yang maksimal dapat dilakukan dengan subyek yang tidak terlalu besar, dan jumlah subyek tidak diambil satu pasangan saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subyek yang satu dengan subyek yang lain dan dapat melihat adanya perbedaan individual.

III.D.3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Untuk mendapatkan responden sesuai dengan karakteristik responden yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti menggunakan prosedur pengambilan bola salju/berantai (snowball/chain sampling).

III.E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2006). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.

III.E.1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:


(61)

a. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan keadaan belum memiliki keturunan dan makna hidup, baik yang berasal dari teori maupun dari literatur lepas seperti artikel.

b. Menyusun pedoman wawancara.

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

c. Persiapan untuk pengumpulan data.

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent) untuk menjadi responden dan mengumpulkan informasi tentang calon responden tersebut.

d. Membangun rapport.

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah peneliti dan responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar responden penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai


(62)

dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.

III.E.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

III.F. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2001), yaitu :

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2001).


(1)

Kratochvil (dalam Bastaman, 1996) membedakan orang-orang yang menemukan makna hidupnya melalui sistem nilai yang bercorak paralel dengan mereka yang menemukan makna hidupnya melalui sistem nilai yang piramidal. Orang-orang yang mendapatkan rasa aman dalam sistem nilai paralel adalah mereka yang sekaligus memiliki beberapa nilai yang bobotnya sama kuat dan sama-sama bermakna dalam hidup mereka.

Istri pada Kasus 1, memang memandang anak sebagai hal yang berarti dalam hidupnya. Namun selain anak, ia juga mencintai pekerjaannya yang telah dilakukannya selama 8 tahun. Karena itu, walaupun anak belum dapat hadir dalam pernikahannya, istri tetap dapat berjuang dan berusaha meraih tujuan hidupnya.

Pasangan pada Kasus 2 juga memandang anak sebagai hal yang berarti dalam hidupnya. Namun pada istri, ia merasakan dukungan dan cinta keluarganya yang membuatnya kuat dan tidak putus asa dalam menghadapi keadaan ini. Suami lebih menghayati ajaran agamanya yang memberikannya kekuatan dalam menghadapi keadaan mereka yang belum memiliki keturunan. Selain itu, suami juga tidak pernah lupa melakukan kegemarannya bermain gitar dan bilyard ketika suami merasa sedih atau tertekan.

Pasangan pada Kasus 3 juga memandang anak sebagai hal yang berarti dan berharga dalam hidup mereka. Namun mereka memiliki keluarga yang siap menyemangati dan memberikan dukungan kepada mereka. Mereka memiliki keluarga yang memperhatikan dan menyayangi mereka dengan tulus. Selain itu, baik istri maupun suami mempunyai kegiatan dan pekerjaan yang sama-sama berarti bagi mereka.


(2)

Suami pada Kasus 1 memandang hidupnya sebagai hidup yang tidak berarti lebih disebabkan karena penyakit epilepsi yang dideritanya. Ketika dihadapkan pada situasi yang belum memiliki keturunan, suami menyalahkan penyakitnya yang membuat mereka tidak dapat memiliki anak. Saat ini suami menjalani hidupnya dengan apa adanya tanpa memiliki tujuan hidup yang jelas.

V. C. SARAN

Saran praktis yang dianjurkan oleh peneliti, diharapkan dapat bermanfaat untuk pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pasangan yang belum memiliki keturunan ataupun pasangan yang belum memiliki keturunan itu sendiri. Adapun saran praktis yang dianjurkan sebagai berikut: 1. Pentingnya dukungan dari keluarga maupun orang terdekat untuk pasangan

yang belum memiliki keturunan. Karena keadaan mereka yang belum memiliki keturunan ini adalah hal yangn sensitif bagi mereka yang mengalaminya sehingga mereka perlu adanya orang-orang yang meu dan mampu memahami perasaan dan kegelisahan mereka.

2. Ketika pernikahan belum memiliki keturunan, maka akan muncul penyalahan-penyalahan yang lebih sering ditujukan kepada istri. Pandangan-pandangan seperti inilah yang hendaknya dihindari karena dapat membuat istri tertekan yang kemudian diikuti oleh perasaan tertekan suami. Karena suami juga dapat tertekan dan sedih ketika melihat istrinya tertekan.

3. Pentingnya keterbukaan antara pasangan agar lebih dapat memahami perasaan masing-masing sehingga dapat menghadapi keadaan ini bersama dengan baik.


(3)

Adapun saran metodologis untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih memperhatikan faktor ketrampilan wawancara sehingga hasil yang diperoleh lebih mendalam serta lebih jelas.

2. Responden dalam penelitian ini memiliki latar belakang agama dan suku yang sama, yaitu Kristen Protestan dan Batak. Pada penelitian selanjutnya diharapkan agar latar belakang agama dan suku lebih bervariasi. Hal ini dimaksudkan karena masing-masing agama dan suku memiliki pandangan yang bervariasi terhadap keadaan yang belum memiliki keturunan.

3. Responden dalam penelitian ini semuanya adalah involuntary childless. Pada penelitian selanjutnya diharapkan agar voluntary childless juga dapat diteliti. Hal ini dimaksudkan sebagai perbandingan antara invouluntary childless dan

voluntary childless dalam memaknai keadaan mereka yang belum memiliki

anak.

4. Responden dalam penelitian ini memiliki usia pernikahan yang relait dekat. Pada penelitian selanjutnya diharapkan agar usia pernikahannya lebih diperhatikan agar dapat melihat variasinya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abma, J.C., & Martinez, G.M. (2006). Childlessness among older women in the

United States : trends and profiles. Journal of Marriage and Family,

vol.68,hal.1045-1056. [on-line].

http:journalnews@bos.blackwellpublishing.net (Tanggal Akses 02 November 2007).

Adler, A. (2006). Jadikan Hidup Lebih Bermakna. Alih Bahasa: Mely Septiani.Yogyakarta : Paregrad Books.

Adopsi atau Asuh Anak yang Penting Kasih Sayang (2005, 16 Januari).Pikiran Rakyat. [on-line].

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/16/hikmah/utama01.htm Barnes, R.C. (2000). Victor Frankl’s Logotherapy : Spirituality and meaning in

the new millenium. Journal of Mental Health Counseling, 28.

Bastaman, H, D. (1996). Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan

Pengalaman Tragis. Jakarta : Penerbit Paramadina.

Beckmann, C. R. B. , Ling, F. W., Louber, D. W., Smith, R. P., Barzansky, B. M., Herbert, W. N. P. (2002). Obstetrics and Gynecology. (4th ed). USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Blair, R. G.(2004). Helping older adolescents search for meaning in deppresion.

Journal of Mental Health Counseling, 28, hal. 333-347.

______________. (2007). Logoterapi : Psikologi Untuk Menemukan Makna

Hidup Dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Rajawali Press.

Budiraharjo, P. (1997). Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Doi, A. (1996). Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Domikus, Y. (1997). Perilaku sosioemosional dalam perkawinan aplikasi teori

pertukaran sosial dalam mewujudkan perkawinan yang stabil dan memuaskan. Jurnal Psikologi Sosial, hal. 48-56.

Fatia. (2005). Ingin Dapat Bayi, Kenali Masa Subur Pasangan. [on-line].

http://www.detikhot.com/index.php/tainment.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/0 6/time/163159/idnews/493308/idkanal/227 (Tanggal Akses 31 Juli 2007).


(5)

Hurlock, E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ihromi, T. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI.

Inamujur. (2007). Sedih Belum Punya Anak. [on-line]. http://inamujur.multiply.com/journal/item/18 (tanggal akses 4 Januari 2008) Irianto, S. (2005). Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum: Studi

Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba Untuk Mendapatkan Akses Kepada Harta Waris Melalui Proses Penyelesaian Sengaketa. Jakarta :

Yayasan Obor Indonesia.

Irmawaty, Nauly, M., Garliah, L., dkk. (2003). Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: USU Press

Kail, R, V., & Cavanaugh, J, C. (2000). Human Development: A Life Span View. (2nd ed). USA: Wadsworth.

Larasati, D. (2006). Adopsi Anak Jika Perkawinan Tak “Berbuah”. [on-line].

http://www.balipost.co.id/Balipostcetak/2006/2/26/kel3.html. (Tanggal Akses 31 Juli 2007).

Majidi, N. (2007). Sulit Hamil Salah Siapa?. [on-line].

http://www.parentsguide.co.id/dsp_content.php?pg=hns&emonth=07&eyear =2007 (Tanggal Akses 03 Juli 2007).

Masters, W., dkk. (1992). Human Sexuality. (4th ed). New York : Lehigh Press. Mc. Quillan, J., Greil, A., White, L., & Jacob, M. (2003). Frustated fertility :

infertility and psychological distress among women. Journal of Marriage

and Family. [on-line].

http://proquest.umi.com/ (Tanggal Akses 21 Oktober 2007).

Moleong, L.J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muskibin, I. (2005). Panduan Bagi Ibu Hamil dan Melahirkan. Yogyakarta : Mitra Pustaka.

Papalia, D., & Olds, S. (1998). Human Development. (7th ed). New York : Mc. Graw Hill.

Papalia, D., Olds, S., & Feldman, R. (2001). Human Development. (8th ed). New York : Mc. Graw Hill.


(6)

Patmonodewo, S., dkk. (2001). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi

dari Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta : Penerbit UI.

Peterson, B.D., Newton, C.R., & Schulman, R.S. (2006). Coping processes of couples experiencing infertility. Journal of Family Relation, 55. [online]. http://proquest.umi.com/ (tanggal akses 21 Oktober 2007).

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan

Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Santrock, J. W. (1995). Life Span Development. (Edisi 5). Jakarta : Penerbit Erlangga.

_____________. (2002). Life Span Development. (8th ed). New York : Mc. Graw-Hill.

Seger. (2007). Perkawinan Katolik. [on-line].

http://imankeluarga.blogspot.com/2007/03/kk06-pasutri-panggilan-dan-perutusan.html. (tanggal akses 17 Agustus 2007).

Stewart, C.J., & Cash, W.B.(2003). Interviewing: Principle and Practices. (10th ed). New York : Mc. Graw-Hill.

Subandrijo, B. (2003). Agama dan Praksis. Jakarta : Gunung Mulia. Suryaningsih. (2006). Tujuan Pernikahan dalam Islam. [on-line].

http://suryaningsih.wordpress.com/2006/12/26/tujuan-pernikahan-dalam-islam/ (Tanggal akses 17 Agustus 2007).

Suwondo, B. (1979). Adat dan Upacara Daerah Jawa Barat. Jakarta : Balai Pustaka.

__________. (1979). Adat dan Upacara Daerah Kalimantan Timur . Jakarta : Balai Pustaka.

__________. (1979). Adat dan Upacara Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta : Balai Pustaka.

__________. (1979). Adat dan Upacara Daerah Nusa TenggaraTimur. Jakarta : Balai Pustaka.