Kepuasan Perkawinan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama.

(1)

KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG MEMILIKI PASANGAN BEDA AGAMA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Seminar Psikologi Perkembangan

Oleh

DEWINA ULFAH NST 061301075

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Kepuasan Perkawinan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, November 2010

Dewina Ulfah Nasution NIM 061301075


(3)

ABSTRAK

Perkawinan beda agama merupakan sebuah ikatan perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama dan kepercayaannya dan tetap mempertahankan perbedaanya tersebut. Ada 10 aspek yang dapat mengukur kepuasan didalam perkawinan menurut Fowers dan Olson (1989;1993) yakni communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual orientation, financial management, children and parenting, family and friend, issues personality, equalitarian roles.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang istri yang memiliki pasangan beda agama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga responden merasa puas pada aspekyang berbeda-beda dan sama-sama merasa tidak puas pada aspek religious orientation.

Saran dari penelitian ini agar para pasangan berbeda agama yang belum menikah, memprtimbangkan kembali niat untuk menikah dengan pasangan beda agama. Dan bagi peneliti selanjutnya hendaknya juga meneliti perkembangan anak-anak yang lahir dari perkawinan beda agama.


(4)

ABSTRACK

Interfaith marriage is a marriage bond between a man and woman of different religions and beliefs and still maintain the difference. There are 10 aspects to measure satisfaction in marriage by Fowers and Olson (1989, 1993) ie, communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual orientation, financial management, children and parenting, family and friend, personality issues, equalitarian roles. This study used qualitative methods because with this method to understand the social or individual problems in a more profound and complex, providing a holistic picture, compiled with the words, get the detail of information obtained from informants and are in a natural setting. Data collection methods used are in-depth interviews and observation. Respondents in this study were three wives who have partners of different religions. The results showed that a third of respondents were satisfied on aspekyang different and equally dissatisfied at the religious aspect orientation. Suggestions from this study for couples of different faiths who are not married, memprtimbangkan return intention to marry interfaith couples. And for the next researcher should also examine the development of children born of interfaith marriages.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir ini, yaitu “Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama”.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ayah tercinta H. Drs. Ruslan Nasution, Ak,QIA dan ibunda tersayang Hj. Hafni Mutiara terima kasih atas semangat dan kasih sayang yang sampai saat ini masih bisa ananda rasakan. Terima kasih juga karena telah sabar mendampingi serta mendengarkan keluh kesah ananda selama menjalani masa perkuliahan, terutama saat menyelesaikam skripsi ini dan terima kasih untuk bantuan materil dan spiritual.

3. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Meidriani Ayu Siregar, MKes yang dengan sabar dan ditengah kesibukannya masih mau meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan, dan bimbingan


(6)

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalasnya lebih baik lagi.

4. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi selaku pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan dan sarannya untuk terus bersemangat untuk menjalani kegiatan akademis. Terima kasih juga bu, karena bersedia mendengar semua masalah yang ananda hadapi dan memberikan beberapa masukan dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis.

5. Makasih buat dukungan dan kasih sayang dari saudara-saudara ku tercinta Dian Nasution, Bajora Nasution, dan Anggi Nasution.

6. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua responden yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABLE... iii vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat teoritis ... 12

2. Manfaat praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan ... 15

B. Kepuasan Perkawinan ... 16

1. Defenisi ... 16


(8)

3. Aspek ... 4. Kriteria ...

18 22

C. Perkawinan Beda Agama 23

1. Hal-Hal yang mendorong ... 2. Masalah-Masalah ...

25 27 D. Dewasa Dini ...

1. Defenisi ... 2. Tugas-tugas Pekembangan ...

3. Tugas Psikososial ... E. Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri yang Memiliki

Pasangan Beda Agama ...

30 30 31 32

33

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif ... 36 B. Responden Penelitian ...

1. Karakteristik ... 2. Jumlah ... 3. Teknik Pengambilan ...

37 37 38 39 C. Metode Pengambilan Data ... 40 D. Alat Bantu pengumpulan Data ... 41


(9)

1. Alat Perekam ... 2. Pedoman Wawancara ... 3. Alat Tulis dan Kertas untuk Mencatat ...

41 42 43

E. Kredibilitas Penelitian ... 43

F. Prosedur Penelitian ... 45

1. Tahap persiapan penelitian ... 45

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 47

3. Tahap pencatatan data ... 4. Prosedur Analisa Data ... BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Responden Pertama... B. Responden Kedua ... C. Responden Ketiga ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... B. Saran ... 49 49 57 81 99 134 137 DAFTAR PUSTAKA ... 140


(10)

LAMPIRAN ...


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Waktu Wawancara Responden 55

Tabel 2 Gambaran Umum Responden Pertama 57

Tabel 3 Gambaran Umum Responden Kedua 81

Tabel 4 Gambaran Umum Responden Ketiga 99


(12)

ABSTRAK

Perkawinan beda agama merupakan sebuah ikatan perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama dan kepercayaannya dan tetap mempertahankan perbedaanya tersebut. Ada 10 aspek yang dapat mengukur kepuasan didalam perkawinan menurut Fowers dan Olson (1989;1993) yakni communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual orientation, financial management, children and parenting, family and friend, issues personality, equalitarian roles.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang istri yang memiliki pasangan beda agama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga responden merasa puas pada aspekyang berbeda-beda dan sama-sama merasa tidak puas pada aspek religious orientation.

Saran dari penelitian ini agar para pasangan berbeda agama yang belum menikah, memprtimbangkan kembali niat untuk menikah dengan pasangan beda agama. Dan bagi peneliti selanjutnya hendaknya juga meneliti perkembangan anak-anak yang lahir dari perkawinan beda agama.


(13)

ABSTRACK

Interfaith marriage is a marriage bond between a man and woman of different religions and beliefs and still maintain the difference. There are 10 aspects to measure satisfaction in marriage by Fowers and Olson (1989, 1993) ie, communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual orientation, financial management, children and parenting, family and friend, personality issues, equalitarian roles. This study used qualitative methods because with this method to understand the social or individual problems in a more profound and complex, providing a holistic picture, compiled with the words, get the detail of information obtained from informants and are in a natural setting. Data collection methods used are in-depth interviews and observation. Respondents in this study were three wives who have partners of different religions. The results showed that a third of respondents were satisfied on aspekyang different and equally dissatisfied at the religious aspect orientation. Suggestions from this study for couples of different faiths who are not married, memprtimbangkan return intention to marry interfaith couples. And for the next researcher should also examine the development of children born of interfaith marriages.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Setiap manusia akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Diantara masa-masa tersebut ada masa yang disebut dengan dewasa dini. Individu dewasa dini adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dewasa lainnya. Hurlock (1999) juga menambahkan bahwa masa dewasa dini dimulai sejak usia 18 tahun sampai usia 40 tahun yang ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas, organ kelamin berkembang dan mampu berproduksi. Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa dini yaitu mulai memilih pasangan hidup dan kemudian membentuk sebuah keluarga.

Pada masa dewasa dini seseorang diharapkan menemukan pasangan mutual untuk saling berbagi dan hidup bersama pasangan mereka (Erickson, dalam Papalia, 2004). Kelley dan Convey (dalam Lemme, 1995) juga menegaskan bahwa membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam perkembangan individu dewasa dini, karena pada masa dewasa dini seseorang dituntut untuk


(15)

melepaskan ketergantungannya terhadap orangtua dan menjalin hubungan cinta dengan orang lain atau pasangan. Pada umumnya individu dewasa dini menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah perkawinan (Kail & Cavanaugh, 2000).

Perkawinan adalah penyatuan dua individu dari jenis kelamin berbeda secara sah dan diketahui secara umum yang kemudian menjadi suatu institusi sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan suci antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa (Dariyo Agus, 2003). Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami istri berdasarkan hukum (UU NEGARA), hukum agama atau adat-istiadat yang berlaku (Hawari, 2006).

Dalam perkawinan terdapat ikatan lahir batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan secara fisik dan psikologis pada kedua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti ikatan fisik pada saat individu melangsungkan pernikahan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan isteri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak tampak secara langsung, atau merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan isteri harus ada ikatan lahir dan batin, harus saling mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka salah satu hal yang tidak dapat terpenuhi adalah kepuasaan dalam perkawinan (Bimo, 1984). Menurut Ginanjar (2002), setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk


(16)

membentuk keluarga yang bahagia yang berujung pada kepuasan perkawinan itu sendiri.

Kepuasan perkawinan merupakan perasaan subjektif dan bersifat dinamis yang dirasakan pasangan suami istri mengenai kehidupan perkawinan mereka. Kepuasan perkawinan dapat digali dengan menggunakan aspek-aspek kepuasan perkawinan oleh Olson & Fowers (1993). Adapun kesepuluh aspek yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah perasaan dan sikap inidvidu dalam berkomunikasi dengan pasangannya, mengisi waktu luang bersama, pelaksanaan kegiatan beragama sehari-hari, persepsi keduanya mengenai konflik dan pemecahannya, mengatur keuangan, sikap terhadap masalah dan tingkah laku seksual serta kesetiaan terhadap pasangan, perhatian individu terhadap kerabat pasangan, sikap dan perasaan dalam pengasuhan anak, penyesuaian diri terhadap tingkah laku dan kepribadian pasangan serta perasaan dan sikap individu terhadap peran yang bergam dalam kehidupan perkawinan.

Hughes & Noppe (1985) menambahkan bahwa kepuasan perkawinan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan perkawinan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu sendiri. Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan perkawinannya tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapan. Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan perkawinan mereka, apakah sesuai atau tidak sesuai dengan yang mereka harapkan dalam perkawinannnya (Hendrick & Hendrick, 1992).


(17)

Apabila seseorang merasa puas terhadap perkawinan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan, dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah, akan tetapi bila seseorang tidak bahagia dengan perkawinannya maka ia akan mengalami depresi yang berkaitan erat dengan adanya kekacauan perkawinan yang ditandai dengan adanya ketergantungan yang berlebihan, hambatan dalam berkomunikasi, menarik diri dari interaksi sosial, perasaan benci dan amarah yang meluap, perselisihan dengan pasangan, serta perasaan negatif yang kuat (Pujiastuti & Retnowati, 2004).

Seperti yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (1993), salah satu aspek dalam perkawinan yang digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah religious orientation. Aspek ini menilai keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan keagamaan yang dilakukan pasangan suami istri secara bersama-sama memberikan kepuasaan psikologis tersendiri bagi pasangan, sehingga keyakinan yang dianut pasangan suami istri turut mempengaruhi kepuasaan perkawinan itu sendiri. Ketika ada perbedaan keyakinan antara pasangan suami dan istri, hal tersebut dapat memicu kurangnya kebersamaan pasangan yang pada akhirnya berdampak pada kepuasaan perkawinan. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan oleh Ita (bukan nama sebenarnya) :

” ... saya merasa bahwa perkawinan saya semakin lama tidak sesuai dengan yang saya harapakan selama ini. Awalnya saya merasa puas dan bahagia kerena telah menikah dengan orang yang saya cintai, tapi seiringnya waktu saya


(18)

menyadari kalau perkawinan saya sedikit berbeda dengan orang pada umumnya. Karena pada saat lebaran saya tidak bisa merayakannya bersama suami, dan yang paling buat saya sedih pada bulan puasa, dimana kebanyakan keluarga sahur bersama sedangkan saya hanya sendiri ...”

(Komunikasi Personal, 8 Mei 2010)

Menurut Clark (1998) agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap perkawinan dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan perkawinan, Clark juga menambahkan bahwa ketaatan beragama berhubungan dengan kestabilan perkawinan. Hal ini juga didukung oleh Abdullah (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata maka akan merasakan kepuasan dalam hidupnya.

Ada beberapa agama yang diakui secara sah di Indonesia, karena Indonesia adalah negara multikultural dan multiagama. Berdasarkan hal tersebut memungkinkan individu dari satu agama berinteraksi dengan individu dari agama lain. Salah satu akibat dari interaksi yang terjadi, seorang individu dapat merasakan ketertarikan (attraction) terhadap lawan jenis yang berbeda agama. Ketertarikan terhadap individu yang berbeda agama semakin dimungkinkan dengan kenyataan bahwa pada sekarang ini individu cenderung memilih sendiri pasangannya, sehingga kontrol dari pihak keluarga, yang cenderung memilih pasangan dengan latar belakang yang sama, semakin berkurang (Duvall & Miller, 1985). Ketertarikan yang berlanjut dengan kecocokan dapat menghasilkan suatu hubungan intim yang kemudian dapat berlanjut kepada keinginan untuk melakukan perkawinan dengan pasangan yang berlainan agama.


(19)

Menurut Yob (1998) perkawinan beda agama merupakan suatu hubungan yang menyatukan dua orang yang berlainan agama. Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru lagi di masyarakat Indonesia yang multi kultural. Perkawinan beda agama selalu saja menuai kontroversi dan polemik di kalangan masyarakat umum.

Dalam Undang-Undang tidak secara jelas diatur tentang perkawinan beda agama. Tetapi dalam pasal 1 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaan pasangan yang melakukan perkawinan. Jadi dalam perkawinan beda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama (Subakti, 2001).

Hal ini juga sesuai dengan petikan wawancara peneliti dengan salah satu pegawai Departemen Agama di Medan :

”....di Indonesia tidak pernah mengeluarkan undang-undang perkawinan yang mensyahkan perkawinan beda agama...”

(Komunikasi Personal, 19 April 2010)

Dalam hukum Islam, dalam surat Q. II ayat 221 terdapat larangan untuk melakukan perkawinan beda agama, dengan pengecualian yang terdapat dalam surat Al Maidah ayat 5, yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nasrani (Ramulyo, 1996)

Agama Katolik juga dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain tidak sah” (Kanon 1086). Dalam


(20)

Alkitab tentang larangan nikah beda agama tertulis di 2 korintus 6: 14 yang berbunyi ” janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya, sebab persamaan apakah yang terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan atau bagaimanakah terang bersatu dengan gelap”. Namun demikian, bagi mereka yang sudah tidak mungkin dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja yang berwenang, yakni uskup, dapat memberi dispensasi (pengecualian dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain itu, asal saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan dalam kanon 1125. Karena akan menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga, maka menurut agama Katolik, perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari.

Perbedaan agama dengan pasangan dalam perkawinan dapat menimbulkan banyak permasalahan (Rozakis, 2001). Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan menyangkut isu dalam kehidupan perkawinan (Yob, 1998). Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Hidayatullah (dalam Koran Seputar Indonesia, 1 Mei 2009) yang menyatakan ”Berulang kali saya kedatangan tamu yang sekedar berkonsultasi mengenai kehidupan rumah tangga mereka yang menghadapi problem akibat perbedaan keyakinan agama, yang kemudian berimbas kepada anak-anak mereka. Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat perbedaan agama dan problem itu semakin terasa terutama ketika pasangan beda agama telah memiliki anak, orang tua biasanya berebut


(21)

pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya”. Banyak masalah-masalah yang timbul akibat perbedaan agama dengan pasangan dalam sebuah perkawinan yang nantinya mempengaruhi kepuasan yang dirasakan oleh pasangan seperti, kehadiran anak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Marni (bukan nama sebenarnya) :

“... waktu anak pertama lahir, saya dan suami bingung, anak ini harus tumbuh berdasarkan agama siapa. Karena dari awal menikah kami tidak membuat kesepakatan mengenai agama yang akan dianut oleh anak nantinya. Kami hanya sepakat bahwa kelak kalau anak sudah dewasa, biar dia sendiri yang menentukan agamanya. Tapi kalau ditanya hati kecil saya, saya inginnya anak-anak saya mengikuti agama saya ...”

(Komunikasi Personal, 7 Juni 2010) Kehadiran seorang anak membawa permasalahan yang cukup berat bagi pasangan beda agama. Masalah-masalah yang akan muncul antara lain, bagaimana upacara ritual kelahiran anak, nama anak, agama anak, pendidikan agama anak, sekolah anak, dan lain-lain. Masalah yang berkaitan dengan anak ini, menurut Cowan & Cowan (1987) akan semakin terasa berat ketika anak sudah mulai bisa berbicara dan menanyakan identitasnya.

Masalah lain yang akan timbul dalam perkawinan beda agama adalah hubungan dengan keluarga. Pasangan beda agama sering menghadapi reaksi negatif dan sikap kurang pengertian dari pihak keluarga. Rusaknya hubungan dengan pihak keluarga mewarnai kehidupan pasangan beda agama dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan tersebut. Faktor penerimaan dari pihak keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam


(22)

perkawinan beda agama (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). Hal ini didukung dengan pernyataan dari Retno (bukan nama sebenarnya) :

“.... terkadang saya suka stres sendiri kalau lagi ada masalah dengan suami atau anak-anak saya. Saya gak tau harus minta nasehat ke siapa. Karena sampai saat ini pun ibu dan kakak-kakak saya belum mau menerima saya dan keluarga kecil saya menjadi bagian dari mereka. Biasanya saya cuma curhat dengan teman saja, tapi itu pun hanya sekedarnya karena aib keluarga kan gak baik diumbar-umbar ke orang lain ....”

(Komunikasi Personal, 10 April 2010)

Masalah pokok yang akan timbul dari perkawinan beda agama dan mempengaruhi kepuasan dari perkawinan adalah pelaksanaan ibadah. Seperti yang dikemukakakan oleh Olson & Fowers (1993), yang menjadi salah satu aspek dalam kepuasan perkawinan adalah religious orientation. Masing-masing agama memiliki tata cara sendiri dalam pelaksanaan ibadahnya. Tata cara pelaksanaan ini bisa menimbulkan permasalahan diantara pasangan. Masalah juga dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut Shaw (1999), hari raya dapat menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama, termasuk perbedaan tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon Natal, perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah diantara pasangan (Rozakis, 2001).

Dalam realitasnya, banyak penderitaan dan kekecewaan yang dirasakan suami istri akibat perkawinan, khusunya perkawinan beda agama. Pasangan dari perkawinan beda agama biasanya kehilangan dukungan sosial dari keluarga besar yang berdampak pada perkawinan mereka. Seseorang yang telah menikah biasanya akan merasa lebih puas apabila pasangannya dapat berbaur dengan keluarga besarnya. Pada pasangan beda agama, walaupun tidak mendapatkan


(23)

dukungan dari keluarga namun mereka banyak yang mempertahankan perkawinannya.

Pernikahan beda agama tidak hanya memberikan masalah, tetapi juga terdapat beberapa kelebihan yang dirasakan oleh pasangan misalnya, seperti petikan wawancara dengan Nur (bukan nama sebenarnya) :

“... saya udah 30 tahun menikah dengan suami yang memiliki agama yang berbeda dengan saya. Pernikahan saya berlandaskan cinta walau keluarga saya awalnya tidak merestui. Banyak juga hal positif yang saya dapat dari perkawinan beda agama ini, saya lebih open minded, toleransi dengan adanya perbedaan, mengenal lebih tentang agama lain yang sebenarnya ajarannya tidak jauh berbeda dari agama saya, dan yang pastinya saya bahagia karena saya hidup dengan orang yang saya cintai ...”

(Komunikasi Personal, 9 Juni 2010)

Berdasarkan fenomena, di Indonesia banyak sekali perkawinan beda agama yang dilangsungkan oleh individu-individu yang sebenarnya mereka juga sudah tahu bahwa perkawinan beda agama itu tidak diakui, dan banyak dampak-dampak negatif dari perkawinan beda agama tersebut, seperti dikucilkan dari keluarga, pengurusan administrasi negara yang sulit, pola pengasuhan anak serta kemungkinan-kemungkinan lain yang akan menjadi hambatan dan konflik dalam rumah tangga mereka kelak tetapi tetap saja ada pasangan yang menjalankan perkawinan beda agama dan mendapatkan kebahagiaan dari perkawinannya.

Pada penelitian ini, peneliti ingin memfokuskan pada istri yang memiliki pasangan beda agama, sesuai dengan pernyataan Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) yang menyatakan bahwa pada umumnya istri lebih sensitif daripada suami dalam menghadapi masalah dalam hubungan perkawinannya.


(24)

Keadaan perkawinan yang agak berbeda dari perkawinan-perkawinan pada umumya membuat para istri harus memahami keadaan perkawinannya, dan harus memiliki ketahanan yang extra dalam menghadapi sindiran-sindiran dari masyarakat luas dan resiko-resiko yang ada. Masalah-masalah yang dihadapi setiap istri yang memiliki pasangan beda agama berbeda-beda, bagaiamana perasaan individu dalam menghadapi masalah-masalah dan pengaruh perbedaan latar belakang serta pengalaman masing-masing individu memberikan perasaan puas yang berbeda terhadap perkawinannya.

Kepuasan perkawinan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor sebelum menikah, dan faktor setelah menikah. Hal-hal seperti ini lah yang membuat semakin beragamnya kehidupan perkawinan beda agama yang muncul dimasyarakat saat ini.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa kepuasan perkawinan bersifat subjektif dan dinamis karena dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, mulai dari bagaimana penilaian individu mengenai aspek-aspek kepuasan perkawinan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, sampai dengan kelebihan dan kekurangan perkawinan beda agama. Hal ini membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam menegenai bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama yang akan dijelaskan melalui dinamika kepuasan perkawinan pada pasangan beda agama.


(25)

B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama berdasarkan aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut Olson & Fowers?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama.

D. Manfaat Penelitian

D.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan hasil penelitian ini akan mampu memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus akan mampu menambah khasanah ilmu pada bidang psikologi perkembangan terutama yang berkaitan dengan kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama.

D.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Memberi informasi pada masyarakat dan individu dewaa dini khususnya bagi wanita yang belum menikah, mengenai kepuasan perkawinan beda


(26)

agama, sehingga hasil penelitian ini menjadi pertimbangan bagi mereka dalam melaksanakan perkawinan beda agama.

2. Memberi informasi pada pasangan beda agama tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan beda agama.

3. Memberikan informasi mengenai bagaiamana kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama.

4. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai gambaran kepuasan perkawinan pada pasangan beda agama.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai perkawinan, kepuasan perkawinan, perkawinan beda agama, teori dewasa dini, dan gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama.


(27)

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai alasan digunakannya metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, kredibilitas penelitian, alat bantu pengumpulan data, dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahsan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan. BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai kepuasan pernikahan istri pada pasangan beda agama.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perkawinan

Perkawinan merupakan hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami istri. (Duval & Miller, 1985).

Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).

Menurut Bimo (1984) dalam perkawinan terdapat ikatan lahir batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan secara fisik dan psikologis pada kedua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti ikatan fisik pada saat individu melangsungkan pernikahan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan isteri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak tampak secara langsung, atau merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan isteri harus ada ikatan lahir dan batin, harus


(29)

saling mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka salah satu hal yang tidak dapat terpenuhi adalah kepuasaan dalam perkawinan.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak, adanya pembagian peran antara suami dan istri serta merupakan ekspresi hubungan intim dan janji suci untuk hidup bersama.

B. Kepuasan Perkawinan

B.1. Defenisi Kepuasan Perkawinan

Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evalualsi suami istri terhadap hubungan perkawinan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu sendiri.

Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan perkawinan mereka, apakah sesuai atau tidak sesuai dengan yang mereka harapkan dalam perkawinannnya (Hendrick & Hendrick, 1992).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai kehidupan perkawinannya.


(30)

B.2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan

Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu :

a. Premarital Factors

1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan.

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah.

3) Hubungan dengan orang tua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, perkawinan, dan perceraian.

b. Postmarital Factors

1) Kehadiran anak, anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaanan anak tersebut.

2) Usia perkawinan, seperti yang dikemukakakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan perkawinan tinggi diawal perkawinan, kemudian


(31)

menurun setelah kehadiran anak dan akan meningkat kembali setelah anak dewasa dan meninggalkan rumah orangtua.

Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi kepuasan pernikahan, antara lain :

1) Jenis kelamin, dimana seperti yang dikemukakan oleh Holahan & Levenson (dalam Lemme, 1995) bahwa pria lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita karena pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya.

2) Agama, dimana menurut Abdullah (2003) bahwa jika seseorang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata akan merasakan kepuasan dalam hidupnya. Olson & Fowers (1989) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan hal yang paling menonjol dalam menggambarkan kepuasan hidup individu. Hal ini didukung oleh Clark (1998) menyatakan bahwa agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap pernikahan yang selanjutnya mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan pernikahan.

3) Pekerjaan. Pekerjaan yang memakan waktu yang cukup lama menyebabkan berkurangnya waktu yang dimiliki suami dan isteri untuk anak-anak dan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti


(32)

membersihkan rumah, menyediakan makanan, dan lain-lain (DeGenova, 2008).

Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria lebih puas dengan perkawinannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah mengenai kehidupan perkawinannya. Hal di atas diperkuat dengan hasil penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) yang menemukan bahwa suami menunjukkan kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan istri.

Clayton (1975) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan berada pada tingkat yang tinggi sebelum hadirnya anak, kemudian kepuasan perkawinan akan menurun selama pengasuhan anak dan akan meningkat kembali saat anak dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannor, 1974; Polis & Feldman, 1970; Spanier & Cole, 1975 yang menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu, dan kepuasan perkawinan dalam kehidupan perkwinan mengikuti kurva U.

B.3. Aspek Kepuasan Perkawinan

Menurut Olson & Fowers (1989; 1993), ada beberapa aspek-aspek dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan. Aspek-aspek tersebut antara lain :


(33)

a. Communication

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini fokus pada tingkat kenyamanan yang diraskan oleh pasangan dalam mambagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).

b. Leisure Activity

Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama.

c. Religious Orientation

Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelakanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang tinggi menunjukka n agama merupakan bagian yang penting dalam perkawinan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas perkawinan dengan memelihara nialai-nilai suatu hubungan, norma, dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh besar dalam perkawinan, serta mengurangi perilaku yang kurang baik dalam perkawinan (Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008).


(34)

d. Conflict Resolution

Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Aspek ini fokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian masalah serta strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen. Selain itu juga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Financial Management

Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Aspek ini mengukur bagaiamana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realitas, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukan otoritas terhadap pengelolaan keuangan.

f. Sexual Orientation

Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu


(35)

mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapt tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

g. Family and Friends

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

h. Children and Parenting

Aspek ini megukur sikap dan perasaan terhadap tugas mangasuh dan membesarkan anak. Aspek ini fokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan dengan disiplin, masa depa anak dan pengaruh anak terhadap hubungan pasanagn. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan apabila itu terwujud.

i. Personality Issues

Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu


(36)

berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Equalitarian Roles

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

B.4. Kriteria Kepuasan Perkawinan

Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari perkawinan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain :

a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan

Ada baiknya dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga.


(37)

b. Kebersamaan

Adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dari keluarga.

c. Model parental role

Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini dapat membentuk keharmonisan keluarga.

d. Penerimaan terhadap konflik-konflik

Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga.

e. Kepribadian yang sesuai

Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal ini menjadi penting karena pasangan saling melengkapi, kelebihan pasangan yang satu dapat menutupi kekurangan pasangan yang lain.

f. Mampu memecahkan konflik

Kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan perkawinan pasangan tersebut.

C. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan dimana pihak suami dan pihak istri memeluk agama yang berbeda disebut sebagai interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage


(38)

atau interreligious marriage. Dalam bahasa Indonesia, untuk semua itu, peneliti akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.

Menurut Mandra dan Artadi (dalam Eoh, 1996), perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaanya itu sebagai suami istri dengan tujuan unutk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Senada dengan Mandra dan Artadi, Rozakis (2001) mendefinisikan perkawinan beda agama sebagai hubungan dimana pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Yob (1998) mengartikan perkawinan beda agama sebagai suatu hubungan yang menyatukan dua orang yang berlainan agama.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, perkawinan beda agama dapat disimpulkan sebagai sebuah ikatan perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama dan kepercayaannya dan tetap mempertahankan perbedaanya tersebut.

Berdasarkan pada sebuah situs perkawinan beda agama sendiri dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pasangan suami istri dapat berasal dari :


(39)

1. Satu pihak berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan satu berasal dari suatu kepercayaan etis non-teologis, misalnya antara seorang katolik dengan seorang humanis.

2. Kedua pihak memeluk agama yang bertolak belakang, satu agama yang berasal dari belahan bumi bagian barat dan yang satu lagi berasal dari belahan bumi bagian timur, seperti antara pemeluk Kristen dengan pemeluk Taoisme, Hindu atau Budha.

3. Kedua belah pihak pemeluk agama yang berbeda, namun mempunyai sedikit banyak persamaan. Agama-agama ini termasuk dalam agama ahli kitab, seperti antara pemeluk islam, kristen dan yahudi.

4. Kedua belah pihak memeluk agama yang berbeda, namun merupakan pembagian besar disatu agama yang sama seperti kristen protestan dan kristen katolik.

Perkawinan beda agama dapat terjadi karena interaksi yang semakin tinggi antara orang yang berasal dari kelompok agama yang berbeda (Duvall & Miller, 1985). Interaksi antara orang yang berbeda agama ini semakin dimungkinkan dengan semakin berkembangnya kehidupan sekarang ini. Interaksi ini kemudian menghasilkan ketertarikan , keinginan untuk membangun hubungan yang selanjutnya dapat berlanjut dengan keinginan untuk melakukan perkawinan. Duvall & Miller (1985) juga menyatakan perkawinan beda agama dapat terjadi akibat toleransi dan penerimaan yang lebih besar diantara pemeluk agama.


(40)

Perkawinan beda agama juga dapat terjadi karena semakin banyak kaum muda yang tidak terlalu memperhatikan lagi faktor –faktor seperti sosial ekonomi, suku dan agama sebagai dasar pencarian pasangan hidup dan cenderung menekankan faktor cinta dan kecocokan sebagai dasar perkawinan yang mereka lakukan (Lasswel & Lasswell, 1987).

Jenkins (dalam Levinson, 1995) juga menyatakan bahwa anak-anak dengan orang tua yang melakukan perkawinan beda agama mempunyai kemungkinan lebih besar melakukan perkawinan beda agama dibanding anak-anak dengan orang tua yang kawin satu agama. Pendidikan agama intensif yang diterima pada masa anak-anak juga dapat menurunkan kemungkinan anak tersebut untuk melakukan perkawinan beda agama dikemudian hari.

C.1 Hal-Hal yang Mendorong Melakukan Perkawinan Beda Agama

Menurut Blood (1978) hal-hal yang mendorong orang melakukan perkawinan beda agama antara lain :

1. Kecocokan pada hal-hal lain

Sebagian besar pasangan yang melakukan perkawinan beda agama didasari oleh kecocokan dalam hal-hal lain diluar agama, seperti latar belakang keluarga, pendidikan , status ekonomi, danb lain-lain. Kesamaan diantara mereka menjadi sangat penting itu seperti perbedaan agama ini, dengan segala persamaan dan kecocokannya, dirasakan sebagai pilihan yang terbaik.


(41)

2. Pemberontakan

Seseorang dapat melakukan perkawinan beda agama sebagai bentuk pemberontakan, misalnya kepada orang tua dan keluarga yang terlalu mengekang. Mereka berusaha keluar atau menunjukkan keberatan mereka atas kekangan tersebut dengan cara melakukan perkawinan diluar harapan orang tua dan keluarganya.

3. Tujuan pencapaian pribadi

Perkawinan beda agama dapat pula dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan pribadi tertentu misalnya untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Dengan motif ini seseorang tidak memperdulikan agama calon pasangannya. Dengan harapan naiknya status sosial atau diperoleh tujuan lain setelah perkawinan.

4. Menikah terpaksa

Seseorang dapat melakukan perkawinan beda agama karena terpaksa melakukannya, seperti seseorang yang terpaksa menikah karena hamil diluar nikah. Dengan keadaan terpaksa ini seseorang tidak memperdulikan atau terpaksa mengenyampingkan agama yang dipeluk oleh pasangannya. Perkawinan beda agama dapat juga terjadi karena hanya ini kesempatan menikah yang dapat dilakukan oleh seseorang.


(42)

Terkadang perkawinan beda agama terjadi arena seseorang terlalu enggan/kurang sabar untuk mencari dan menunggu pasangan lain, yang mungkin satu agama dengannya.

6. Hal ini jarang terjadi, namun perkawinan beda agama dapat terjadi karena seseorang tertarik dengan pasangan yang berbeda agama hanya karena pasangan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dengannya. Misalnya seseorang yang tertarik dengan orang lain dikarenakan orang tersebut memiliki cara ibadah yang berbeda dengan dirinya.

C.2 Masalah-Masalah Perkawinan Beda Agama

Latar belakang agama merupakan bagian penting dari diri seseorang. Tertanam sejak kelahiran, agama membentuk cara pandang dan dinilai seseorang. Perbedaan agama dengan pasangan dalam perkawinan dapat menimbulkan banyak permasalahan (Rozakis, 2001). Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan menyangkut isu dalam kehidupan perkawinan (Yob, 1998).

Menurut beberapa ahli, masalah-masalah yang dapat timbul akibat perbedaan agama dengan pasangan dalam sebuah perkawinan beda agama adalah sebagai berikut :

1. Hubungan dengan keluarga

Pasangan beda agama sering menghadapi reaksi negative dan sikap kurang pengertian dari keluarga (Gleekmarn & Streicher dalam Horowitz, 1999). Reaksi terhadap pasangan ini sangat kerasdan banyak diantara mereka


(43)

mendapat celaan dari keluarga (Tertkovie, 2001). Tidak jarang pihak keluarga menganggap pasangan suami istri ini melakukan pelanggaran terhadap tradisi yang ada dan telah mempermalukan keberadaan keluarga. Sebagian besar keluarga menginginkan keturunannya untuk menikah dengan pasangan satu agama. Kenyataan bahwa perkawinan yang mereka lakukan adalah perkawinan beda agama, tentunya menghadirkan permasalahan tersendiri. Rusaknya hubungan dengan pihak keluarga mewarnai kehidupan banyak pasangan perkawinan beda agama dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan perkawinan suami istritersebut (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Faktor penerimaan dari pihak keluarga dan orang tua mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan perkawinan beda agama (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). 2. Pelaksanaan Ibadah

Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan ibadahnya. Perbedaan tata cara ini bisa menimbulkan permasalahan diantara pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk membiasakan diri dengan perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa dilakukan seseorang (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). Masalah juga dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut Shaw (1999), hari raya dapat menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama, termasuk perbedaan tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon natal, perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah diantara pasangan (Rozakis, 2001).


(44)

3. Anak

Keberadaan seorang anak membawa permasalahan yang cukup berat bagi pasangan. Masalah-masalah yang dapt muncul antara lain : bagaimana upacara ritual kehadiran anak (adzan, sunat, atau pembaptisan), nama anak, agama anak, pendidikan dan pendalaman agama anak, sekolah anak, dan lain-lain (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Masalah berkaitan dengan anak ini, menurut Cowan dan Cowan (1987), akan semakin terasa anak mulai dapat berbicara dan menanyakan identitasnya.

4. Seksualitas

Perbedaan agama dapat pula menimbulkan masalah sekitar kehidupan seksual.

D. Dewasa Dini

D.1 Defenisi Dewasa Dini

Kata adult berasal dari bahasa Latin, yang berarti tumbuh menjadi dewasa, jadi orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Setiap kebudayaan memiliki perbedaan tersendiri dalam memberikan batasan usia kapan seseorang dikatakan dewasa. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ reproduksi anak sudah berkembang dan mampu bereproduksi.


(45)

Hurlock (1999) membedakan masa dewasa dalam 3 bagian, yaitu: 1. Masa dewasa dini (18 – 40 tahun ).

Masa ini ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan produktif. Pada usia 18-26 tahun, individu khususnya wanita mengalami peningkatan sifat feminimitas yang dihubungkan dengan perasaan simpati, perasaan iba, mudah terluka atau tersinggung, suka mengkritik diri sendiri, serta kurangnya rasa percaya diri dan inisiatif. Pada masa ini biasanya individu masih tergantung pada orang tua atau orang lain (Vaillant dalam Papalia, 2004). Namun, diantara usia 27-43 tahun wanita akan mengembangkan disiplin diri yang lebih tinggi, lebih mandiri, lebih percaya diri, dan memiliki keahlian coping (Healson & Moane dalam Papalia, 2004). Pada masa dewasa dini individu diharapkan membuat komitmen dan hubungan cinta dengan orang lain yang secara memihak memindahkan ikatan dengan orangtua. Dalam hal ini individu mulai membentuk keluarga dengan pernikahan dan hubungan intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya (Erickson dalam Papalia, 2004).

2. Masa dewasa madya (40 – 60 tahun)

Masa menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang tampak jelas pada setiap orang.


(46)

Dimulai dari usia 60 tahun sampai kematian. Pasa masa ini kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern, serta upaya dalam hal berpakaian serta dandanan memungkinkan pria dan wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan seperti saat mereka masih lebih muda.

D.2.Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Dini

Havighurst (dalam Lenfrancois, 1990) menyatakan bahwa tugas perkembangan adalah tuntutan yang diberikan kepada individu oleh lingkungan atau masyarakat sekitar terhadap diri individu tersebut, yang mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Havigrust, dewasa dini memiliki tugas perkembangan sebagai berikut:

1. Memilih pasangan

2. Belajar untuk hidup bahagia dengan pasangan

3. Mulai membina keluarga dan mulai mengambil peran sebagai oraang tua 4. Mengasuh anak

5. Mengelola rumah tangga 6. Mulai bekerja dan meniti karir

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Membangun hubungan sosial

D.3. Tugas Psikososial Dewasa Dini

Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa dini adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi


(47)

dewasa dini (dalam Papalia, 2004). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di masa remaja dengan identitas diri orang lain (Feist & Feist, 2002). Erikson menggambarkan intimacy sebagai sebuah proses menemukan identitas diri dan juga kehilangan identitas diri pada orang lain (dalam Santrock,1998). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan yang terbuka, saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang lain tanpa adanya ketakutan kehilangan identitas diri di dalam proses tersebut. Intimacy pada dewasa dini dapat ditemukan melalui hubungan intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan sahabat (Papalia,2004). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa salah satu tugas perkembangan pada dewasa dini adalah membangun hubungan yang intim dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya.

Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif. Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu unuk terbuka dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi ide-ide dan rencana dengan pasangannya (Newman, 2006).


(48)

E. Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama

Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh setiap pasangan berbeda-beda, kepuasan di dalam perkawinan merupakan perasaan subjektif dan cenderung berubah mengikuti siklus kehidupan perkawinan. Layaknya pasangan suami istri pada umumnya, pasangan beda agama juga mengharapakan kepuasan dalam perkawinan dan mempunyai penilaian terhadap kepuasan perkawinan itu.

Dilihat dari aspek kepuasan perkawinan menurut Olson & Fowers (1989; 1993), salah satu aspek yang dapat mengukur kepuasan adalah agama. Agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap perkawinan dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan perkawinan (Clark, 1998).

Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan ibadahnya. Perbedaan tata cara ini bisa menimbulkan permasalahan diantara pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk membiasakan diri dengan perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa dilakukan seseorang (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). Masalah juga dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut Shaw (1999), hari raya dapat menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama, termasuk perbedaan tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon Natal, perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah diantara pasangan (Rozakis, 2001).


(49)

Faktor lain yang berpotensi menjadi masalah bagi pasangan beda agama adalah kehadiran anak. Anak sangat mempengaruhi kepuasan perkawinan, ketika anak lahir maka pasangan akan mengalami dilemma dalam menentukan upacara ritual apa yang akan dilakasanakan, nama yang diberikan pada anak, serta pendidikan anak. Baik suami ataupun istri memiliki keinginan yang kuat agar si anak bisa ikut bersama keyakinannya. Hal ini lah yang akan memicu konflik pada pasangan beda agama.

Pada umumnya istri lebih sensitif daripada suami dalam menghadapi masalah-masalah mengenai kehidupan perkawinannya. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) yang menemukan hasil bahwa suami menunjukkan kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan istri. Istri yang mengasuh dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak dirumah. Istri atau biasa disebut ibu oleh anak, akan mengajarkan perilaku baik atau buruk berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Yob (1998), agama yang dianut seseorang berperan sebagai dasar yang mempengaruhi nilai yang dianut, apa yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah oleh orang tersebut. Inilah yang menjadikan masalah-masalah di dalam kehidupan perkawinan lebih kompleks dirasakan oleh istri yang memiliki pasangan beda agama.

Di dalam setiap perkawinan baik yang memiliki pasangan seagama atau pun berbeda agama pasti memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang


(50)

bahagia yang berujung pada kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan baik istri maupun suami (Ginanjar, 2002).


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif untuk mengetahui bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memilki pasangan beda agama.

A. Pendekatan Kualitatif

Banyaknya perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi, menyebabkan mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik. Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki pasangan beda agama. Sehingga dengan penelitian kualitatif, manusia dapat dilihat dengan kesubyektifitasannya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai mahluk subyektif. Creswell juga menambahkan (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata,


(52)

mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.

Kelebihan pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala bagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek, bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab-akibat yang dipaksakan. Penelitian kualitatif juga memungkinkan peneliti untuk memahami cara subjek menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara berpikir mereka. Dengan cara ini, peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual subjek

yang ditelitinya untuk menangkap apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan oleh mereka. Oleh karena itu, yang diangg penting

adalah pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan subjek (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2005).

B. Responden Penelitian

B.1. Karakteristik Responden Penelitian

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu.

Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah : a. Istri yang memiliki pasangan beda agama

Alasannya adalah sesuai dengan pernyataan Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) bahwa pada umumnya istri lebih sensitif daripada suami dalam menghadapi masalah mengenai kehidupan perkawinannya.


(53)

b. Memiliki Anak

Alasannya adalah dengan kehadiran anak, maka masalah yang ada dalam sebuah perkawinan akan menjadi lebih kompleks. Hendrick & Hendrick (1992) juga menambahkan anak bisa menambah stress pasangan dan anak dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadan anak tersebut.

c. Usia Perkawinan > 5 tahun

Usia 0-5 tahun perkawinan (tahap I dari siklus kehidupan keluarga). Menurut Clayton (1975) dimana kepuasan perkawinan berada pada tingkat yang tinggi sebelum hadirnya anak.

B.2. Jumlah Responden Penelitian

Prosedur penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Sarankatos (dalam Poerwandari, 2001) memiliki karakteristik berikut ini: (1) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik subjek, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada kecocokan konteks; (3) subjek tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa dengan fokusnya pada kedalaman proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti untuk


(54)

memperoleh kasus lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan informasi yang sangat mendalam.

Strauss (dalam Irmawati, 2002) mengatakan bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam, maka dapat diambil subjek penelitian dalam jumlah kecil. Pendekatan maksimal dapat dilakukan dengan subjek yang tidak terlalu besar, dan jumlah subjek tidak diambil satu orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dan dapat melihat perbedaan individual. Sesuai dengan pernyataan tersebut, jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 3 orang.

B.3. Teknik Pengambilan Responden Penelitian

Pada penelitian ini prosedur pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based/operational construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan, penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek benar-benar bersifat representatif artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari. Dalam penelitian ini, sampel diperoleh berdasarkan kriteria istri yang memiliki pasangan beda agama, memiliki anak, dan lama perkawinannya > 5 tahun.


(55)

C. Metode Pengambilan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti (Poerwandari, 2007). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara. Responden

diwawancarai untuk memperoleh gambaran kepuasan perkawinan pada pasangan beda agama berdasarkan pengalaman subjektif dari masing-masing responden. Menurut Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu tersebut.

Ada tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara yang dikemukakan oleh Patton (dalam Poerwandari, 2007), diantaranya wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara dengan pedoman umum, wawancara mendalam (in depth-interview) dan berbentuk open-ended question.

Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai proses pemilihan pasangan secara mendalam. Jika peneliti menganggap


(56)

data wawancara belum begitu jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya maka peneliti akan mencoba melakukan probing pada responden. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk open-ended question dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih lanjut tentang topik yang dibahas tanpa membuat responden merasa diarahkan.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, penampilan fisik responden, sikap responden selama wawancara, hal-hal yang menganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara. Menurut Poerwandari (2007) observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman umum wawancara, alat tulis dan kertas untuk mencatat.


(57)

1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, dalam penelitian ini peneliti merasa perlu menggunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali hasil rekaman wawancara yang telah dilakukan dan dapat menghubungi responden kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas.

Selain itu, penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh responden, alat perekam dapat merekam nuansa suara, dan bunyi aspek-aspek wawancara seperti tawa, desahan, dan sarkasme secara tajam (Padget, 1998). Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan terlebih dahulu meminta izin atau persetujuan dari responden.

2. Pedoman Wawancara

Penelitian ini menggunakan pedoman umum wawancara. Peneliti dilengkapi pedoman umum wawancara yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan eksplisit. Pedoman umum wawancara dibuat berdasarkan aspek-aspek yang mengukur kepuasan perkawinan yang dikemukakakan oleh Olson & Fowers (1989; 1993).

Pedoman umum wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus


(58)

menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek yang mengukur kepuasan perkawinan tersebut telah ditanya atau dibahas. Menurut Poerwandari (2007) penggunaan pedoman wawancara berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yaitu open-ended questions, yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian.

3. Alat tulis dan kertas untuk mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007).

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan mengenai faktor pemilihan pasangan yang dilakukan oleh kembar yang identik. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan :


(59)

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik pasangan beda agama. 2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kepuasan

perkawinan menurut teori Olson & Fowers (1989; 1993), untuk menggambarkan kepuasan perkawinan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi responden dalam perkawinannya. Selain itu, peneliti juga menjaga standarisasi pedoman wawancara dengan melakukan profesional judgement bersama beberapa ahli.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

4. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.

5. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisanya.

6. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya dengan mempelajari dan membandingkan langkah-langkah penelitian baik penelitian di Fakultas Psikologi USU maupun penelitian-penelitian lain di luar Psikologi USU serta melihat efektifitas dari langka


(60)

h-langkah tersebut tanpa mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis. Langkah ini diharapkan dapat menjamin pengumpulan data yang berkualitas.

7. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (‘devil’s advocate’) yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti. Partner yang terlibat antara lain dosen pembimbing sebagai professional judgment terhadap alat pengumpulan data dan strategi analisa serta interpretasi data. Selain itu peneliti menyertakan beberapa orang mahasiswa psikologi USU untuk menilai efektifitas pedoman wawancara dan rangkaian cerita pada analisa data. 8. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and

rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

9. Melakukan analisis data penelitian berdasarkan ”validitas argumentatif” yang dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah

F. Prosedur Penelitian

F.1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006) yaitu sebagai berikut :


(61)

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan aspek – aspek yang mengukur kepuasan perkawinan khususnya yang berkaitan dengan kepuasan perkawinan beda agama. b. Menyusun pedoman wawancara

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing serta mencoba pertanyaan ke beberapa orang mahasiswa psikologi untuk menilai efektifitas pedoman wawancara sekaligus merecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin oleh responden) Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari siapapun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.


(62)

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.

e. Mengurus izin pengambilan data

Pengurusan izin dilakukan dengan meminta Surat Permohonan Izin Penelitian pada Administrasi Fakultas Psikologi USU.

f. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari teman-teman peneliti dan memastikan bahwa calon responden tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

g. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh responden (informed consent), peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.


(63)

F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil


(64)

wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam faktor – faktor dalam pemilihan pasangan.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.


(65)

F.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

F.4. Prosedur Analisa Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data deskriptif kualitatif yaitu suatu analisa data dengan cara menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan obyek penelitian berdasarkan faktor yang ada kemudian pemaknaan data yang disesuaikan dengan makna yang terkandung di dalamnya secara objektif (Nawawi, 1993).

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

a. Organisasi data

Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang


(66)

dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. Peneliti melakukan organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

b. Koding

Setelah melakukan organisasi data, peneliti melakukan koding dan analisis. Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Koding dan analisa, dilakukan dengan menyusun transkrip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu


(67)

c. Pengujian terhadap dugaan

Peneliti kemudian melakukan pengujian terhadap dugaan. Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data peneliti mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.

d. Analisis tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

e. Tahapan interpretasi

Setelah itu, peneliti melakukan interpretasi data. Interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak


(1)

37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Itee Iter

Itee

yang lebih dominan la ya?

Iya lah, mana tau-tau bang giok kalo anak kakak tanyak tentang agama..

Mmmmm… kakak sepakat dengan keputusan itu kak?

Kak sih setuju aja, asal sekarang ini kan anak-anak agamanya ikut kakak, jadi gak ngambang..

Dulu kak sebelum punya anak, hubungan kakak sama suami gimana?

Maksudnya win hubungan apa?

Gini loh kak, sejauh mana anak-anak ini kasi pengaruh sama hubungan kakak dengan bang giok?

Ohhh… ya kalau misalnya betengkar besar macem mau cere gitu, kakak miker ulang lagi lah, ya gak jadi-jadi sampe sekarang salah satunya karna anak juga, kasian kan… Mmm … jadi waktu sebelum punya anak, kakak sama bang giok kalo brantem sering sampe mau cerai juga ?

Gak, dulu sebelum ada anak malah jarang betengkar. Ohhhh… jadi anak banyak lah ya kak pengaruhnya?

Banyak lah win, jadi lebih religi juga karna anak. Jadi lebih kuat ya mungkin hubungan kakak dengan suami..

Mmmmm .. oya penilaian kakak terhadap suami gimana? Lebih sama kepribadiannya gitu kak..

keras kepala win, ya sama sih kami, sama-sama keras kepala. Sifat cemburunya itu gak berubah, tambah pemarah sekarang. Tapi dia gak pendedam, kalau udah habis marah, yuadah selesai masalahnya sampe situ. Gak pelit orangnya..

Dari sebelum nikah sama udah nikah gini, ada gak beda sikap bang giok ke kakak?

Mmmm.. pemarahnya itu mungkin ya, salah sikit marah, terus kalau udah marah kata-katanya juga mulai kasar, sampe nyakitin hatiii..

W dan pasangnnya sudah memiliki kesepakatan masalah agama anak. (Children and Parenting)

W merasa anak-anaknya memberikan efek yang lebih


(2)

61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 Iter Itee Iter Itee Iter Itee Iter Itee Iter Itee Iter Itee Iter

Jadi kak nyikapin nya gimana?

Yah diamkan aja.. nantinya juga dia sadar kalau kakak udah gak sautin lagi omongan dia, berarti kakak marah lah itu.. diajak-ajaknya la itu nanti kakak becakap kan, kakak diam aja.. nanti kalau udah agak lama, baru mulai kakak jawab tapi satu-satu, lama-lama yauda biasa lagi..

Mmmm …. Perasaan kakak gimana? Atau kakak sebenarnmya punya harapan lain?

Iihhh kakak sih maunya berubah dia, jangan cepat kali emosi.. trus sifat cemburu sama pengekangnya itu mulai bisa diturunin gitu, kasi percaya aja sama kakak, kakak jaga kok pasti

kepercayaannya itu.. udah tua lho, udah punya anak 3 tapi cemburunya masih kayak anak SMA baru pacaran.. Betengkar Cuma karna itu-itu aja juga bosan kan…nanti kalau udah bejanji tapi buat lagi, muak dek..

Kakak pernah buat apa emangnya? Kan biasa ada tuh penyebabnya kak?

Mmm… selama udah nikah ini ya, kakak gak ada main belakang lho, ohhhh gak sempat kakak selingkuh-selingkuh dek, anak kakak masih kecil-kecil keteteran yang ada.. Mmmm kalau dulu mungkin kak sebelum nikah?

Ya kalau dulu kan masih pacaran-pacaran, kakak juga punya teman dekat lain laki, ya ada lah beberapa memang laki-laki yang dekat sama kakak. Pas putus sambung putus sambung itu juga kakak ada pacaran ma cowok lain, tapi kan namanya juga masih pacaran ABG, biasalah kan…

Ohh bang giok tau kak?

Tau dia, tapi kan dulu sekarang kakak udah gak tau pun mereka dimana-dimana…

Ohhh .. kalau pembagian peran di rumah gimana kak? Peran apa ni?

Ya misalnya peran orangtua gimana? Peran suami istri, gitu

positif untuk hubungannya dengan pasangan.

(Children and Parenting)

W mengaku pasangannya berubah semakin pemarah setelah mereka menikah. (Issues Personality)

W berharap pasangannya bisa merubah sifat

pencemburu dan possessive nya.


(3)

85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

kak..

Kalau peran orangtua, ya pastinya kakak lebih banyak daripada bang giok.. kalau peran suami, bang giok cukup tanggung jawab ya, nafkah dari dia, sukur gak kekurangan.. kalau kakak ya peran istri di rumah, ngurus rumah ma anak-anak..

Gak ada masalah kak sama itu? Gak ada lah..

Bang giok mau gitu kak Bantu-bantu untuk tugas rumah? Mau dia, apa aja kakak minta tolong mau dia…

Mmmmm … jadi kakak ngerasa gak ada masalah kak dalam pembangian peran?

Sejauh ini kakak rasa gak ada dek. Kalau emang pas dia sempat, kakak minta tolong, mau pasti dia..

Ohhh..

(peutup)

Jadi kak bagi kakak, agama ini gak terlalu berpengaruh sama pernikahan kakak?

Pengaruh sih pengaruh dek, tapi kalau pun betengkar sampe besar kali gaknya agama itu jadi pokok utama masalah, paling

W mengaku pasangannya cukup bertanggung jawab sebagai suami dalam

menafkahi ia dan anak-anak mereka.


(4)

109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132

Iter

Itee

Iter Itee Iter Itee Iter

Itee

Iter Itee Iter

Itee

Iter Itee

Iter

itu jadi yang kedua atau ketiga..

Jadi agama seberapa pengaruhnya kak?

Kalau untuk kakak pengaruh agama itu lebih kebatin dek, iri gitu kakak liat ada pasangan muda sama-sama orang itu datang ke gereja pake baju kompak sama anak-anaknya, doa sama-sama, pemberkatan sama-sama-sama, enak gitu diliatnya…

Ohhhh kakak gak pernah coba minta bang giok ikut kakak?

Belum pernak kakak coba… gak lah, takut betengkar. Sekarang ini sih yang penting buat kakak anak-anak aja..

(INFORMAL)

Pasangan W mau membantu W menyelesaikan tuga-tugas rumah.


(5)

133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156

Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

W mengaku agama

memberikan pengaruh yang besar untuk batinnya. (Religious Orientation)


(6)

157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee