HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Alvi Lailah B07211036

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Teknik pengumpulan data adalah menggunakan skala konformitas teman sebaya, skala pola asuh otoriter dan skala perilaku bullying. Populasi dalam penelitian ini adalah 983 siswa kelas XI dan XII di SMAN 20 Surabaya. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling yang menggunakan sebanyak 98 siswa sebagai subjek. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter terhadap perilaku bullying pada remaja. Kata Kunci: Perilaku Bullying, Konformnitas Teman Sebaya, dan Pola Asuh Otoriter.


(5)

xii ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the relationship between peers conformity and authoritarian parenting with bullying behavior in adolescents. This research is a quantitative research. The data collection techniques is using a peer conformity scale, authoritarian parenting scale and bullying behavior scale. The population of this study are 983 students in class XI and XII of SMAN 20 Surabaya. The sampling technique is using simple random sampling which has 98 students as the subject. The analysis in this study using the multiple linear regression analysis. The results showed that there’s a relationship between peer conformity and authoritarian parenting with bullying behavior in adolescents.

Keywords: bullying behavior, peer conformity, and authoritarian parenting


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

A. Perilaku Bullying ... 12

1. Pengertian perilaku Bullying ... 12

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying ... 14

3. Aspek-aspek Bullying ... 17

B. Konformitas Teman Sebaya ... 18

1. Pengertian Konformitas ... 18

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konformitas ... 18

3. Aspek-aspek Konformitas ... 19

C. Pola Asuh ... 20

1. Pengertian Pola Asuh ... 20

2. Jenis-jenis Pola Asuh ... 21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ... 24

D. Pola Asuh Otoriter ... 25

1. Pengertian Pola Asuh Otoriter ... 25

2. Aspek-aspek Pola Asuh Otoriter ... 27

E. Hubungan Antar Variabel ... 29

F. Kerangka Teoritis ... 33

G. Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 35

1. Identifikasi Variabel ... 35

2. Definisi Operasional ... 35

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 38

1. Populasi ... 38

2. Sampel ... 38

3. Teknik Sampling ... 39


(7)

vii

2. Instrumen Penelitian ... 41

D. Validitas dan Reliabilitas ... 45

1. Validitas ... 45

2. Reliabilitas ... 49

E. Analisis Data ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Hasil Penelitian ... 53

1. Deskripsi Subjek ... 53

2. Pengujian Hipotesis ... 53

B. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Sampel Penelitian ... 39

Tabel 2 Blue Print Skala Perilaku Bullying... 43

Tabel 3 Blue Print Skala Konformitas Teman Sebaya... 44

Tabel 4 Blue Print Skala Pola Asuh Otoriter ... 45

Tabel 5 Blue Print Skala Perilaku Bullying yang Sudah diseleksi ... 47

Tabel 6 Blue Print Skala Konformitas Teman Sebaya yang Sudah diseleksi ... 48

Tabel 7 Blue Print Skala Pola Asuh Otoriter yang sudah diseleksi ... 49

Tabel 8 Hasil Uji Normalitas ... 52

Tabel 9 Kategori Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 10 Kategori Subjek Berdasarkan Kelas ... 54

Tabel 11 Kategori Subjek Berdasarkan Peminatan ... 54

Tabel 12 Hasil perhitungan sumbangan efektif pada masing-masing variabel bebas ... 59


(9)

ix DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Hubungan antara Konformitas Teman Sebaya dan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Bullying ... 33


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012). Pada masa ini, remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut masa remaja masih termasuk golongan kanak-kanak, remaja masih harus menemukan tempat dalam masyarakat. Pada umumnya para remaja masih harus menemukan tempat dalam masyarakat. Pada umumnya para remaja masih belajar di sekolah Menengah atau Perguruan Tinggi (Monks, 2002). Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 1980).

Ada berbagai cara untuk menyesuaikan diri. Menyesuaikan diri paling mudah adalah dengan berperilaku mengikuti nilai dan aturan yang berlaku dilingkungan sekitarnya. Bertindak sesuai nilai dan aturan kelompok supaya diterima oleh kelompok disebut konformitas. Siswa cenderung melakukan konformitas dengan teman sekelasnya supaya merasa nyaman dalam mengikuti kegiatan di kelas sehari-hari, perilaku yang ditiru siswa ada yang bersiat positif maupun negatif. Salah satu


(11)

2

perilaku negatif yang potensial untuk ditiru siswa adalah bullying (Levianti, 2008).

Perilaku bullying merupakan salah satu bentuk tindakan agresif yang menjadi suatu permasalahan yang sering kita jumpai di kalangan para remaja. Menurut konteksnya, perilaku bullying dapat terjadi di berbagai tempat mulai dari lingkungan sekolah, rumah, tempat kerja, lingkungan tetangga, tempat bermain dan lain sebagainya. Saat ini lingkungan pendidikan telah banyak terjadi perilaku bullying. Dari data National Mental Health and Education Center 2004 Amerika diperoleh data bahwa bullying merupakan bentuk kekerasan yang umumnya terjadi dalam lingkungan sosial dimana 15% dan 30% siswa adalah pelaku bullying dan korban bullying. Prevalensi perilaku bullying yang meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan kerusakan atau kerugian besar. Hal ini mungkin saja terjadi karena perilaku bullying sering kali dianggap sepele. Selain itu, perilaku bullying ini tidak mendapatkan intervensi dalam penanganannya, seperti mediasi yang secara efektif mengurangi konflik di antara anak-anak yang menjadi korban bullying (Limber, 1998 dalam Crawford, 2002).

Menurut Rigby (2002 dalam Rahmawan, 2012) bullying merupakan suatu hasrat untuk menyakiti yang diperlihatkan dalam aksi yang dapat menyebabkan penderitaan pada korbannya. Aksi ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang lebih berkuasa, tidak bertanggung jawab dan dilakukan berulang kali dengan sengaja untuk


(12)

3

menyakiti korban. Menurut Kim (2006, dalam Nissa, 2009) Bullying dapat dilakukan secara verbal, psikologis, dan fisik.

Tindakan bullying terhadap sesama, terlebih yang terjadi di lingkungan institusi pendidikan menjadi keprihatinan berbagai kalangan. Sejak dilakukan penelitian tentang bullying di Eropa pada tahun 1970, hingga kini kasus ini sangat menarik perhatian dunia pendidikan maupun masyarakat luas. Menurut Yahya dan Ahmad (2005) terhadap survei tahun 2004 yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Jepang menyebutkan bahwa terdapat 24.898 kasus bullying di sekolah. Dari jumlah tersebut, 12.307 kasus terjadi di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pada tahun 2006, di Indonesia terdapat 247 kasus kekerasan fisik (29 kasus terjadi di sekolah), 426 kasus kekerasan seksual (67 kasus di sekolah), dan 451 kasus kekerasan psikis (96 kasus di sekolah). Bahkan dari bulan Januari sampai Juni tahun 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak memperoleh laporan 326 kasus bullying terjadi di wilayah Jabotabek. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan kasus bullying yang sangat besar (Muhammad, 2009).

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada beberapa siswa SMA dan SMP di kota Surabaya, peneliti menemukan beberapa kasus bullying. Sebagian dari interviewee mengemukakan bahwa mereka pernah melihat dan menjadi pelaku dan ada pula yang menjadi korban bullying. Adapun bentuk-bentuk bullying yang pernah terjadi antara lain seperti menyuruh, membentak, memelototi, memalak, mengejek dan yang


(13)

4

paling ekstrim adalah pemukulan. Disamping itu perilaku bullying yang terjadi pada beberapa sekolah tersebut merupakan tindakan yang dilakukan oleh kakak kelas kepada adik kelas. Hal ini menunjukkan bahwa senioritas masih menjadi sebuah fenomena yang terus terjadi di sekolah. Adanya ketimpangan atau ketidakseimbangan kekuatan baik fisik maupun mental menjadi penyebab terjadi perilaku bullying di sekolah. Maka dari itu, populasi sampel dari penelitian ini adalah siswa sekolah SMAN 20 Surabaya.

SMAN 20 Surabaya merupakan sekolah tambahan di lingkungan Dinas Pendidikan Kota (Dispendik) Surabaya pada awalnya dibuka sejak tahun 1989 lalu, dengan tujuan menambah daya tampung jumlah siswa yang ingin masuk sekolah negeri. Sebagaimana yang tercantum dalam surat keputusan kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi jawa Timur No. 352/104/A/1989 tentang pembukaan dan pengelola sekolah baru di wilayah kotamadya Surabaya. Lokasi SMAN 20 Surabaya ini berdiri di atas lahan sekitar 10.380 m² terletak di jalan Medokan Semampir –Sukolilo.

Salah satu kasus bullying di Indonesia yang pernah dimuat di berbagai media masa adalah kasus Fifi Kusrini, seorang siswi yang berusia 13 tahun, yang bunuh diri dengan menggantung dirinya karena teman-temannya sering mengejek pekerjaan ayahnya yang seorang penjual bubur (Rahman, 2005 dalam Latip, 2013).


(14)

5

Perilaku bullying kurang begitu diperhatikan, karena dianggap tidak memiliki pengaruh yang besar pada siswa. Penelitian Sejiwa (2008) menyebutkan bahwa sebagian kecil guru (27,5%) menganggap bullying merupakan perilaku normal dan sebagian besar guru (73%) menganggap bullying sebagai perilaku yang membahayakn siswa. Menurut Levianti (2008) konformitas juga dapat membantu mengurangi terjadinya bullying apabila figur otoritas, popular, atau signifikan memiliki sikap negative terhadap bullying, sehingga anggota disekitarnya akan turut bersikap negatif terhadap bullying. Dengan demikian, konformitas dapat dimanfaatkan juga untuk mengatasi bullying.

Menurut Usman (2013 dalam Listiyarini, 2014) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying antara lain faktor kepribadian, faktor interpersonal siswa dengan orangtua, faktor pengaruh teman sebaya, dan faktor iklim sekolah. Pada penelitian ini penulis memfokuskan pada faktor interpersonal siswa dengan orang tua atau faktor keluarga yaitu pola asuh orang tua. Menurut Coloroso (2006 dalam Rahmawan, 2012) menyatakatan bahwasannya pola asuh keluarga dan orang tua yang diterapkan seperti pola asuh permisif dan otoriter dapat memicu anak untuk memberontak.

Menurut Pontzer (2010, dalam Wahyuni dan Adiyanti, 2011) menemukan bahwa pola asuh yang keras, mengabaikan, ketidakhadiran, penolakan, kurangnya kasih sayang yang positif, dan tidak diajarkan untuk menunjukkan perilaku yang tepat berkaitan dengan perilaku bullying.


(15)

6

acuh tak acuh, tidak konsisten, dan mengecewakan anaknya akan mendorong anak mereka untuk beinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sama. Anak memperlakukan orang lain dengan buruk sehingga meningkatkan kecenderungan berperilaku bullying pada anak.

Menurut Wahyuni dan Adiyanti (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Orangtua yang otoriter dalam mendidik anaknya maka akan meningkatkan kecenderungan dalam melakukan bullying.

Dalam peneltian ini penulis juga memfokuskan pada faktor pengaruh teman sebaya yaitu faktor konformitas teman sebaya. Menurut Levianti (2008) dalam penelitiannya, berpendapat bahwa konformitas teman sebaya termasuk pemicu terjadinya perilaku bullying pada remaja atau pada siswa di sekolah. Menurut Oktaviana (2014) dalam penelitiannya menununjukkan bahwasannya ada kolerasi positif yang sangat signifikan antara konformitas dengan kecenderungan perilaku bullying, hal tersebut menunjukkan bahwa konformitas mempengaruhi kecenderungan perilaku bullying.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti merasa penting untuk mengetahui tentang hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja. Apakah terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter berhubungan dengan perilaku bullying pada remaja.


(16)

7

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja?

2. Apakah ada hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku bullying pada remaja?

3. Apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja?

2. Untuk mengetahui hubungan antara Konformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Bullying pada remaja?

3. Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja?

D. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini mempunyai beberapa manfaat yang dapat diperoleh, diantaranya:


(17)

8

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya dan menambah pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu psikologi khusunya psikologi perkembangan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna bagi siswa, orang tua dan referensi bagi sekolah mengenai bullying di sekolah sebagai acuan untuk para pengajar (guru) dan juga orang tua dalam mengurangi terjadinya perilaku bullying (penindasan). E. Keaslian Penelitian

Dalam bagian ini akan diungkapkan beberapa penelitian terdahulu yang serupa akan tetapi tidak sama dengan penelitian yang berjudul hubungan antara konformitas dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja. Penelitian terdahulu lebih banyak fokus pada seberapa tingkat perilaku bullying yang dialami oleh para siswa atau remaja. Penelitian-penelitian terdahulu di antaranya adalah :

Penelitian tentang Konformitas Teman Sebaya Dan Perilaku Bullying sudah pernah dilakukan oleh Oktaviana (2014) yang berjudul

“Hubungan Antara Konformitas Dengan Kecenderungan Perilaku

Bullying” yang diketahui hasilnya bahwasannya terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya dengan kecenderungan perilaku bullying. hal tersebut menunjukkan bahwa konformitas mempengaruhi kecenderungan perilaku bullying.


(18)

9

Penelitian tersebut juga pernah dilakukan oleh Levianti (2008) yang berjudul ”Konformitas dan Bullying Pada Siswa” penelitian ini menggunakan metode kulatitatif yang hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa konformitas termasuk pemicu terjadinya perilaku bullying. Siswa atau remaja yang sikapnya cenderung positif terhadap bullying cenderung berjenis kelamin laki-laki, cenderung memiliki keluarga utuh yang bermasalah, cenderung menyukai informasi yang berhubungan dengan komedi, cenderung berperan sebagai pelaku bullying, cenderung mempunyai kelompok dan berperan sebagai pengikut, cenderung berasal dari keluarga yang berpenghasilan kurang dari 1 juta perbulan dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah.

Penelitian tentang konformitas dan perilaku bullying juga pernah

dilakukan oleh Usman (2013) yang berjudul “Kepribadian, Komunikasi,

Kelompok Teman Sebaya, Iklim Sekolah Dan Perilaku Bullying” yang diketahui hasilnya bahwasannya kepribadian, komunikasi interpersonal remaja dengan orang tua, peran kelompok teman sebaya dan iklim sekolah terhadap perilaku bullying pada siswa SMA di kota Gorontalo. Semakin stabil dan baik kepribadian siswa, semakin baik komunikasi interpersonal yang dibangun remaja dengan orangtuanya, semakin besar peran kelompok teman sebaya untuk mengajak temannya dalam menerapkan norma-norma positif yang ada dalam mayarakat serta semakin kondusif iklim di sekolah maka semakin rendah perilaku bullying pada siswa SMA di Kota Gorontalo.


(19)

10

Penelitian tentang Pola Asuh Dan Perilaku Bullying pernah

dilakukan oleh Wahyuni dan Adiyanti (2011) yang berjudul “Correlation

Between Perception Towards Parents’ Authoritarian Parenting And Ability To Empathize With Tendency Of Bullying Behavior On Teenagers” yang diketahui hasilnya bahwasannya persepsi terhadap pola asuh otoriter orang tua dan kemampuan berempati memiliki hubungan dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja. Orang tua yang otoriter dalam mendidik anaknya maka akan meningkatkan kecenderungan dalam melakukan bullying.

Peneltian tersebut juga pernah dilakukan oleh Utami (2009) yang

berjudul “Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Perilaku Bullying

Pada Siswa Sekolah Menengah” yang diketahui hasilnya bahwasannya

perilaku bullying akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pola asuh otoriter, dan sebaliknya semakin rendahnya pola asuh otoriter maka perilaku bullying juga semakin rendah, sehingga hipotesis yang diajukan diterima.

Dalam penelitian Astarini (2013) yang berjudul “Hubungan antara

Perilaku Over Protective Orang Tua dengan Bullying pada Siswa SDN Bendan Ngisor Semarang” yang diketahui hasilnya bahwasannya variabel bullying pada subjek penelitian tergolong sedang, begitu juga variabel perilaku over protective orang tua pada subjek penelitian tergolong sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara


(20)

11

perilaku over protective orang tua dengan bullying pada siswa SDN Bendan Ngisor Semarang.

Dari beberapa penjelasan tentang beberapa penelitian sebelumnya, maka penelitian ini merupakan penelitian yang masih asli dan tidak meniru atau mengulang dari penelitian orang lain.


(21)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying

Bullying merupakan aktifitas sadar, dan bertujuan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut dan menciptakan terror yang didasari oleh ketidak seimbangan kekuatan, niat untuk mencenderai, ancaman agresi lebih lanjut, terror, yang dapat terjadi jika penindasan meningkat tanpa henti (Coloroso, 2007 dalam Adilla, 2009).

Olweus ( 1993 dalam Fynt & Marton, 2006) mengartikan bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan atau kekuatan di dalamnya.

Menurut Rigby (2002 dalam Rahmawan, 2012) bullying merupakan suatu hasrat untuk menyakiti yang diperlihatkan dalam aksi yang dapat menyebabkan penderitaan pada korbannya. Aksi ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang lebih berkuasa, tidak bertanggung jawab dan dilakukan berulang kali dengan sengaja untuk menyakiti korban. Craig dkk (2000 dalam Rahmawan, 2012) menambahkan bullying merupakan interaksi antara pelaku bullying (individu yang dominan) terhadap korban bullying (individu kurang


(22)

13

dominan) dengan cara menunjukan perilaku agresif. Sullivan dkk. (2005 dalam Rahmawan, 2012) mengartikan bullying sebagai serangkaian tindakan negatif dan agresif yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang terhadap orang lain dalam beberapa periode waktu tertentu.

Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti

“banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying biasa disebut

bully. Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secara mental. Dalam hal ini sang korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik dan mental (Sejiwa, 2008).

Murphy (2009 dalam Rahmawan, 2012) memandang bullying sebagai keinginan untuk menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan serta orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil. Lee (2004 dalam Rahmawan, 2012) menyebutkan bullying adalah perilaku berkelanjutan yang berusaha mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas yang lain.


(23)

14

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Bullying

Menurut Usman (2013 dalam Oktaviana, 2014) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying antara lain faktor kepribadian, faktor interpersonal siswa dengan orangtua, faktor pengaruh teman sebaya, dan faktor iklim sekolah.

Adapun menurut Astuti (2008 dalam Rahmawan, 2012) menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying yaitu :

1) Perbedaan kelas ekonomi, agama, gender, etnisitas atau rasisme Pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat ekstrim) individu dengan suatu kelompok, jika tidak toleransi oleh anggota kelompok tersebut, maka dapat menjadi penyebab bullying.

2) Senioritas.

Perilaku bullying seringkali juga justru diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang bersifat lazim. Pelajar yang akan menjadi senior menginginkan suatu tradisi untuk melanjutkan atau menunjukkan kekuasaan, penyaluran dendam, iri hati atau mencari popularitas.

3) Tradisi senioritas.

Senioritas yang salah diartikan dan dijadikan kesempatan atau alasan untuk melakukan bullying terhadap junior tidak berhenti dalam suatu periode saja. Hal ini tak jarang menjadi


(24)

15

peraturan tak tertulis yang diwariskan secara turun menurun kepada tingkatan berikutnya.

4) Keluarga yang tidak rukun.

Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu menderita depresi, kurangnya komunikasi, antara orang tua dan anak, perceraian atau ketidakharmonisan orang tua dan ketidakmampuan sosial ekonomi merupakan penyebab tindakan agresi yang signifikan.

5) Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif

Bullying juga dapat terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.

6) Karakter individu atau kelompok, seperti;

a. Dendam atau iri hati, karena pelaku merasa pernah diperlakukan kasar dan dipermalukan sehingga pelaku menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan dilampiaskan kepada orang yang lebih lemah atau junior pada saat menjadi senior.

b. Adanya semangat ingin menguasai korban dengan kekuasaan fisik dan daya tarik seksual, yaitu keinginan untuk memperlihatkan kekuatan yang dimiliki sehingga korban tidak berani melawannya.


(25)

16

c. Untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainan (peers), yaitu keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri, mencari perhatian dan ingin terkenal.

7) Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban.

Korban seringkali merasa dirinya memang pantas untuk diperlakukan demikian (bully), sehingga korban hanya mendiamkan hal tersebut terjadi berulang kali padanya.

Di bawah ini terangkum beberapa pendapat orang tua dalam sebuah pelatihan tentang mengapa anak-anak menjadi bully (Sejiwa, 2008). a. Karena mereka pernah menjadi korban bullying

b. Ingin menunjukkan eksistensi diri c. Ingin diakui

d. Pengaruh tayangan TV yang negatif e. Senioritas

f. Hati

g. Menutupi kekurangan diri h. Mencari perhatian

i. Balas dendam j. Iseng

k. Sering mendapat perlakuan kasar di rumah dan dari teman-teman l. Ingin terkenal


(26)

17

3. Aspek-aspek Bullying

Ada beberapa jenis dan wujud bullying, tapi secara umum praktik-praktik bullying dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: bullying fisik, bullying non-fisik/verbal, dan bullying mental/psikologis (Sejiwa, 2008).

1) Bullying fisik

Bullying fisik adalah jenis bullying yang kasat mata. Siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh-contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan, dan menghukum dengan cara push up.

2) Bullying non-fisik/verbal

Bullying non-fisik/verbal adalah jenis bullying yang bisa terdeteksi karena bisa tertangkap indra pendengaran. Contoh-contoh bullying verbal antara lain: memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, dan memfitnah.

3) Bullying mental/psikologis

Bullying mental/psikologis adalah jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita jika kita tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini


(27)

18

terjadi diam-diam dan luar radar pemantauan. Contoh-contohnya: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, meneror lewat pesan pendek telepon genggam atau e-mail, memandang yang merendahkan, memelototi, dan mencibir.

B. Konformitas Teman Sebaya 1. Pengertian Konformitas

Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan konformitas sebagai sebuah bentuk pengaruh sosial, dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Sementara itu, Santrock (2003) konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan.

Myers (2008) mengartikan konformitas sebagai“a change in behavior of belief to accord with others”. Konformitas adalah perubahan-perubahan perilaku ataupun keyakinan agar sama dengan orang lain. Suryawati dan Maryati (2006) mendefinisikan konformitas sebagai bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat dimana ia tinggal.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas

Coleman dan Hartup (1990 dalam Musen dkk, 1992) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas, yakni sebagai berikut:


(28)

19

a. Jenis Kelamin

Wanita cenderung lebih mudah melakukan konformitas, kecuali yang mengarah pada perilaku menyimpang (konsumsi NAPZA, tawuran, bullying)

b. Tingkat Sosial Ekonomi

Individu dari sosial ekonomi rendah cenderung lebih mudah melakukan konformitas

c. Hubungan Orang tua

Individu yang kurang diterima kehadirannya oleh keluarga cenderung lebih mudah melakukan konformitas pada hal-hal negative

d. Faktor Kepribadian

Individu yang kurang percaya akan kompetensi dirinya cenderung melakukan konformitias pada temannya.

3. Aspek-aspek Konformitas Teman Sebaya

Myers (2008) menyatakan bahwa ada dua bentuk konformitas yang biasa muncul pada individu:

1) Acceptance

Acceptance merupakan jenis konformitas yang bersifat kompak, dimana individu mengikuti perilaku kelompok karena percaya dan setuju pada putusan kelompok. Menurut Sears (2010 dalam Hartati, 2013) Konformitas Acceptance dapat dipengaruhi


(29)

20

oleh kepercayaan terhadap kelompok dan kepercayaan terhadap diri sendiri.

2) Compliance

Compliance merupakan jenis konformitas yang bersifat taat, dimana individu mengikuti perilaku kelompok meski ia tidak menyetujuinya. Menurut Sears (2010 dalam Hartati 2013) Konformitas Compliance dapat dipengaruhi oleh rasa takut terhadap penyimpangan, kekompakkan kelompok, dan kesepakatan kelompok.

C. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pengertian pola asuh menurut para ahli adalah pola perilaku yang diterapkan kepada anak dan bersifat relative konsistensi dari waktu ke waktu. Orang tua ingin anak-anaknya bertumbuh menjadi individu-individu yang dewas secara sosial, dan mereka mungkin merasa frustasi dalam mencoba menemukan cara terbaik untuk mencapai pertumbuhan ini. Para developmentalis telah lama mencari ramuan-ramuan pengasuhan yang dapat meningkatkan perkembangan kompetensi sosial pada anak-anak. Misalnya pada tahun 1930-an, john Watson berpendapat bahwa para orang tua terlalu mencurahkan kasih sayang yang cukup besar kepada anaknya (Rakhmat, 1989).

Gaya pengasuhan merupakan serangkaian sikap yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang


(30)

21

melingkupi interaksi orang tua anak. Gaya pengasuhan berbeda dengan perilaku pengasuhan yang dicirikan oleh tindakan spesifik dan tujuan tertentu dari sosialisasi (Lestari, 2012).

Diana Baumrind (1971 dalam Santrock, 2012) yakin bahwa para orangtua tidak boleh menghukum atau mengucilkan, tetapi sebagai gantinya para orangtua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Diana Baumrind menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak : otoriter, otoritatif (demokrasi) dan laisessez-faire (permissive). Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang permissive terjadi dalam dua bentuk: permissive indulgent dan permissive indifferent.

Jadi menurut dari beberapa para tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan kepada anak dan bersifat konsisten dari waktu ke waktu, dimana orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka.

2. Jenis-jenis Pola Asuh

Orang tua seharusnya mengembangkan aturan-aturan dan sikap hangat kepada anak-anaknya. Diana Baumrind mendeskripsikan empat tipe gaya pengasuhan (Santrock, 2012):


(31)

22

1) Pengasuhan Otoritarian (authoritarian parenting)

Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta menghormati usaha dan jerih payah mereka. Orang tua otoritarian menempatkan batasan-batasan dan kendali yang tegas pada anak serta tidak banyak memberi peluang kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Sebagai contoh, orang tua

otoritarian mungkin mengatakan. “Lakukan sesuai perintahku atau tidak sama sekali”. Orang tua otoritarian juga mungkin memukul

anak, menetapkan aturan-aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukkan kemarahan terhadap anak. Anak-anak dari orang tua otoritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki keterampilan komunikasi yang buruk.

2) Pengasuhan Otoritatif (authoritative parenting)

Pengasuhan otoritatif mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap member batasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua masih memberikan kesempatan untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga bersifat hangat dan mengasuh. Orang tua yang autoritatif akan merangkul anak dan memperlihatkan rasa senang dan dukungan sebagai respons terhadap tingkah laku konstruktif anak-anak.


(32)

23

Mereka juga mengharapkan tingkah laku yang matang, mandiri, dan sesuai dengan usia anak-anaknya. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif sering kali terlihat riang-gembira. Memiliki kendali diri dan percaya diri, serta berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung mempertahankan relasi yang bersahabat dengan kawan-kawan sebaya, kooperatif dengan orang dewasa, dan mengatasi sters dengan baik.

3) Pengasuhan yang Melalaikan (neglectful parenting)

Pengasuhan yang melalaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai dalam menmgembangkan perasaan bahwa aspek-aspek dari kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka. Anak-anak ini cenderung tidak kompeten secara sosial. Banyak anak-anak yang kurang memiliki kendali diri dan tidak mampu menangani independensi secara baik. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terasing dari keluarga. Pada remaja, mereka mungkin memperlihatkan pola-pola membolos dan pelanggaran.

4) Pengasuhan yang memanjakan (indulgent parenting)

Pengasuhan yang memanjakan adalah gaya dimana orang tua sangat terlibat dengan anak-anaknya namun kurang memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua seperti ini membiarkan anak-anaknya melakukan apa pun yang mereka


(33)

24

inginkan. Hasilnya adalah anak-anak yang tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap kemauan mereka dituruti.

Beberapa orang tua dengan sengaja mengasuh anak-anaknya dengan cara ini karena mereka berkeyakinan bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit kekangan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Meskipun demikian, anak-anak dari orang tua yang memanjakan, jarang belajar menghormati orang lain dan kesulitan mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak patuh, dan kesulitan dalam relasi dengan kawan sebaya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Menurut Mussen (1994) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu sebagai berikut:

a. Lingkungan tempat tinggal

Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan mempengaruhi cara orang tua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini bisa dilihat bila suatu keluarga tinggal di kota besar, maka orang tua kemungkinan akan banyak mengontrol karena merasa khawatir. Misalnya melarang untuk pergi kemana-mana sendirian. Hal ini sangat jauh berbeda jika suatu keluarga tinggal di suatu pedesaan, maka orang tua kemungkinan tidak begitu khawatir jika anak-anaknya pergi kemana-mana sendirian.


(34)

25

b. Sub kultur budaya

Budaya di suatu lingkungan tempat keluarga menetap akan mempengaruhi pola asuh orang tua. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak orang tua di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak mereka untuk mempertanyakan tindakan orang tua dan mengambil bagian dalam argument tentang aturan dan standard moral.

c. Status sosial ekonomi

Keluarga dari status sosial yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan dapat diterima, sesuai contoh: ibu dari kelas menengah ke bawah lebih menentang ketidak sopanan anak dibanding ibu dari kelas menengah ke atas. Begitupun juga dengan orang tua dari kelas buruh lebih menghargai penyesuaian dari standar eksternal, sementara orang tua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian dengan standar perilaku yang sudah terinternalisasi.

D. Pola Asuh Otoriter

1. Pengertian Pola Asuh Otoriter

Gaya pengasuhan yang otoriter dilakukan oleh orang tua yang selalu berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak agar sesuai dengan aturan standar. Aturan tersebut biasanya bersifat mutlak yang dimotivasi oleh semangat teologis dan diberlakukan dengan otoritas yang tinggi. Kepatuhan anak merupakan nilai yang diutamakan, dengan memberlakukan hukuman manakala


(35)

26

terjadi pelanggaran. Orang tua menganggap bahwa anak merupakan tanggung jawabnya, sehingga segala yang dikehendaki orang tua yang diyakini demi kebaikan anak merupakan kebenaran. Anak-anak kurang mendapat penjelasan yang rasional dan memadai atas segala aturan, kurang dihargai pendapatnya, dan orang tua kurang sensitif terhadap kebutuhan dan persepsi anak (Lestari, 2012). Anak dengan orang tua otoriter akan cenderung moody, kurang bahagia, mudah tersinggung, kurang memiliki tujuan, dan tidak bersahabat (Lestari, 2012).

Pengasuhan otoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta menghormati usaha dan jerih payah mereka orang tua otoritarian menempatkan batasan-batasan dan kendali yang tegas pada anak serta tidak banyak memberi peluang kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Sebagai contoh, orang tua

otoritarian mungkin mengatakan,”lakukan sesuai perintahku atau tidak

sama sekali”. Orang tua otoritarian juga mungkin memukul anak,

menetapkan aturan-aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukkan kemarahan terhadap anak. Anak-anak dari orang tua otoritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki keterampilan komunikasi yang buruk (Santrock, 2012)

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, sering kali


(36)

27

memaksa anak berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga anak tidak perlu dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukumannya yang dilakukan dengan keras, mayoritas hukuman tersebut sifatnya hukuman fisik dan anak juga diatur untuk membatasi perilakunya. Orang tua dengan pola asuh otoriter jarang atau tidak pernah memberi hadiah yang berupa pujian maupun barang meskipun anak telah berbuat sesuai dengan harapan orang tua (Mansur, 2005). 2. Aspek-aspek pola asuh otoriter

Menurut Fraizer (2000 dalam Wicaksono, 2013), ada empat aspek-aspek pola asuh otoriter, yaitu:

a. Aspek batasan perilaku (behavioral guidelines)

Pada aspek ini, orang tua sangat kaku dan memaksa. Anak-anak sudah dibentuk sejak kecil sehingga mereka tidak mempunyai ruang untuk berdiskusi atau meminta keterangan. Cara yang digunakan untuk memaksakan petunjuk-petunjuk perilaku tersebut melalui cara-cara diktator, seringkali memakai hukuman yang berlebihan atau keras dan di luar kemampuan si anak untuk menjalankan hukuman tersebut. Keseluruhan tujuan dari gaya ini


(37)

28

adalah untuk melakukan kontrol anak dan bukannya mengajari anak atau membantu anak untuk mengembangkan otonominya.

b. Aspek kualitas hubungan emosional orang tua-anak (emotional quality of parent child relationship)

Gaya pengasuhan ini mempersulit perkembangan kedekatan antara orang tua dan anak. Kedekatan yang sebenarnya didasari oleh saling menghormati dan satu keyakinan pada diri orang tua bahwa anak mempunyai kapasitas belajar untuk mengontrol dirinya dan membuat keputusan melalui petunjuk-petunjuk perilaku dan kognitif yang mereka miliki.

Gaya pengasuhan ini tidak mengakui proses individualisasi pada anak dan pertumbuhan otonomi pada diri anak. Kedekatan yang berkembang dengan gaya pengasuhan seperti ini adalah kedekatan semu karena kedekatan tersebut muncul dari rasa takut anak untuk tidak menyenangkan orang tua daripada keinginan untuk tumbuh dan berkembang.

c. Aspek perilaku mendukung (behavioral encouraged)

Pada aspek ini perilaku orang tua ditunjukkan dengan mengontrol anaknya daripada mendukung anaknya agar mereka mampu berfikir memecahkan masalah. Orang tua sering melarang anaknya dan berperilaku negatif dan memberi hukuman. Jadi orang tua lebih memberi perintah daripada menjelaskan untuk melakukan sesuatu atau menyelesaikan masalah.


(38)

29

d. Aspek tingkat konflik orang tua dan anak (levels of parent-child conflict)

Kontrol berlebihan tanpa kedekatan yang nyata dan saling menghormati akan memunculkan pemberontakan pada anak. Dengan kata lain pengasuhan ini dapat menimbulkan banyak konflik antara orang tua dengan anak sekalipun hal itu tidak ditunjukkan secara terang-terangan. Konflik ini bisa muncul dalam bentuk perkelahian antara anak yang satu dengan yang lainnya.

E. Hubungan Antara Variabel

1. Hubungan Konformitas Teman Sebaya dan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Bullying

Menurut Usman (2013 dalam Listiyarini, 2014) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying antara lain faktor kepribadian, faktor interpersonal siswa dengan orangtua, faktor pengaruh teman sebaya, dan faktor iklim sekolah.

Adapun menurut Astuti (2008 dalam Rahmawan, 2012) menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying yaitu perbedaan kelas ekonomi, agama, gender, etnisitas, atau raisme, seniortitas, keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskrimintaif, karakter individu atau kelompok, persepsi nilai yang salah atas perilaku korban.

Menurut Hoover (1998 dalam Simbolon, 2012) faktor penyebab terjadinya bullying yaitu faktor internal dan eksternal.


(39)

30

Sebagai faktor internal adalah: (a) karakteristik kepribadian, (b) kekerasan yang dialami sebagai pengalaman masa lalu, (c) sikap keluarga yang memanjakan anak sehingga tidak membentuk kepribadian yang ma-tang. Faktor eksternal yang menyebabkan kekerasan adalah: (a) lingkungan, dan (b) budaya.

Dari beberapa pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwasannya faktor yang menyebabkan terjadinya bullying yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yakni meliputi: kepribadian individu, pernah mengalami pemngalaman kekerasan, dan pola asuh orang tua. Dan faktor eksternal meliputi: konformitas teman sebaya, iklim sekolah, dan budaya. Maka dari itu penulis mengambil dua faktor diatas yaitu konformitas dan pola asuh otoriter untuk diuji korelasikan dengan perilaku bullying. Jika terdapat hubungan, maka kedua faktor tersebut memang berpengaruh terhadap terjadinya perilaku bullying.

Sehingga dapat diartikan bahwa pola asuh otoriter pemicu terjadinya perilaku bullying karena pola pengasuhan yang lebih menekankan hukuman dan kekerasan dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak sehingga perilaku kasar orang tua akan ditiru oleh anak dan anak cenderung berperilaku bullying. Dan konformitas teman sebaya juga dapat dikatakan sebagai pemicu terjadinya perilaku bullying karena konformitas termasuk bentuk pengaruh sosial yang menyebabkan individu cenderung akan mengikuti perilaku teman


(40)

31

kelompoknya yang berperilaku bullying karena hal tersebut merupakan sebuah kesepakatan atau tradisi.

2. Hubungan Konformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Bullying

Bullying merupakan fenomena sosial yang luas yang melibatkan individu dan kelompok (Gini, 2006). Menurut Levianti (2008) konformitas termasuk pemicu terjadinya perilaku bullying. Seorang remaja cenderung melakukan bullying setelah mereka pernah menjadi korban bullying oleh seseorang yang lebih kuat, misalnya oleh orang tua, kakak kandung, kakak kelas atau teman sebaya yang lebih dominan. Menurut Oktaviana (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa konformitas teman sebaya mempengaruhi kecenderungan remaja berperilaku bullying.

Kemudian Susan dkk (2009 dalam Rahmawan, 2012) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying yaitu: (a) Faktor individu: Individu yang bersifat pencemas, berfisik lemah, cacat fisik, memiliki harga diri rendah, kurang memiliki konsep diri yang kuat atau mudah dipengaruhi akan mudah menjadi korban bullying; (b) Faktor teman sebaya: Tindakan bullying yang diterima dan adanya pembiaran dari teman-teman atas kejadian bullying dapat menyebabkan perilaku bullying meningkat; (c) Faktor sekolah: Adanya senioritas, hukuman yang tidak tegas dan tidak konsisten pada pelaku dapat menyebabkan bullying meningkat; (d) Faktor komunitas: Adanya tokoh yang menjadi acuan pelaku untuk


(41)

32

menduplikasikan kemiripannya, biasanya individu mencontoh perilaku negatif tokoh idolanya.

3. Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Bullying.

Menurut Wahyuni dan Adiyanti (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Orangtua yang otoriter dalam mendidik anaknya maka akan meningkatkan kecenderungan dalam melakukan bullying. Selain itu, Banyak penelitian yang menemukan bahwa pola asuh otoriter dapat mempengaruhi kecenderungan berperilaku bullying pada remaja, karena pola asuh orangtua dan perlakuan keluarga lainnya memiliki hubungan dengan perilaku anak (Georgiou, 2008 dalam Wahyuni dan Adiyanti 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Xin Ma (2001 dalam Wahyuni dan Adiyanti 2011) menemukan bahwa pola asuh otoriter, bermusuhan, dan menolak berkaitan dengan rendahnya kemampuan memecahkan masalah dan kecenderungan perilaku bullying. Baldry dan Farrington (2000 dalam Wahyuni dan Adiyanti 2011) juga menemukan bahwa pola asuh otoriter dan ketidak cocokan antara anak dengan orangtua memiliki korelasi dengan perilaku bullying pada remaja.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku

bullying antara lain faktor kepribadian, faktor interpersonal siswa dengan orangtua, faktor pengaruh teman sebaya, dan faktor iklim sekolah (Usman, 2013 dalam Listiyarini, 2014). Pada penelitian ini penulis memfokuskan pada faktor interpersonal siswa dengan orang tua atau


(42)

33

faktor keluarga yaitu pola asuh orang tua. Menurut Coloroso (2006 dalam Rahmawan, 2012) menyatakatan bahwasannya pola asuh otoriter dapat memicu anak untuk memberontak.

F. Kerangka Teoritis

Dari pemaparan di atas maka dalam penelitian ini dapat digambarkan kerangka teoritik mengenai hubungan konformitas teman sebaya dan pola asuh orang tua dengan perilaku bullying adalah sebagai berikut :

Gambar 1 : Hubungan antara Konformitas Teman Sebaya dan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Bullying

Maksud dari gambar diatas adalah gambaran dari tiga variabel yang yang mempunyai keterkaitan satu sama lain. Untuk yang pertama adalah menjelaskan bagaimana hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying. Kedua yaitu menjelaskan bagaimana hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku bullying. Dan yang ketiga yaitu menjelaskan bagaimana hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying.

PERILAKU BULLYING (Y) POLA ASUH OTORITER

(X2)

KONFORMITAS TEMAN SEBAYA (X1)


(43)

34

G. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoritis diatas pada penelitian ini penulis akan mengajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja.

2. Terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku bullying pada remaja.

3. Terdapat hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja.


(44)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel

Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2006). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter) dan variabel terikat (perilaku bullying) sehingga menggambarkan hubungan variabel yang multivariat. Berikut ini penjelasan variabel yang digunakan dalam peneltian ini:

Variabel Bebas X1 (Independent) : Konformitas Teman Sebaya

Variabel Bebas X2 (Independent) : Pola Asuh Otoriter

Variabel Terikat Y (Dependent) : Perilaku Bullying 2. Definisi Operasional

1) Perilaku Bullying

Dari beberapa definisi pada konstruk teoritik tentang Bullying diatas dapat peneliti ambil Definisi Operasional sebagai acuan penyusunan penelitian ini, bullying merupakan suatu perilaku yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang bertujuan untuk menyakiti dalam bentuk fisik (seperti; menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dan menghukum), verbal (misal; memaki, menghina,


(45)

36

mental (yang meliputi; memandang sinis, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, mengucilkan, memelototi, dan mencibir), atau membuat individu yang lemah merasa menderita dan kesusahan yang terjadi secara berulang-ulang, dan berlangsung dalam hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan atau kekuatan di dalamnya.

2) Konformitas

Dari beberapa definisi pada konstruk teoritik tentang Konformitas diatas dapat peneliti ambil Definisi Operasional sebagai acuan penyusunan penelitian ini, konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu meniru dan mengubah sikap, keyakinan, dan perilakunya agar sesuai dengan norma sosial yang ditekankan atau yang diharapkan oleh kelompoknya agar bisa diterima dalam kelompok tersebut. Ada dua bentuk yaitu Acceptance yang dipengaruhi oleh dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap kelompok dan kepercayaan terhadap diri sendiri dan Compliance yang dipengaruhi oleh rasa takut terhadap penyimpangan, kekompakkan kelompok, dan kesepakatan kelompok.

3) Pola Asuh Otoriter

Dari beberapa definisi pada konstruk teoritik tentang Pola Asuh Otoriter diatas dapat peneliti ambil Definisi Operasional sebagai acuan penyusunan penelitian ini, pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua dengan cara yang


(46)

37

kasar, tidak memberi kehangatan pada anak, cenderung menuntut anak, banyak memberi aturan-aturan yang ketat dan tidak pernah didiskusikan terlebih dahulu dengan anak, jarang memberi hadiah jika anak melakukan sesuatu yang membuat orang tua senang, membatasi dan mengontrol segala perilaku anak, sering memberi hukuman bahkan fisik jika anak melakukan kesalahan, dan kedekatan dengan anak sehingga anak dengan orang tua otoriter ini cenderung pemberontak.

Ada beberapa aspek mengenai pola asuh otoriter yaitu (1) Aspek batasan perilaku: Pada aspek ini, orang tua sangat kaku dan memaksa. Anak-anak sudah dibentuk sejak kecil sehingga mereka tidak mempunyai ruang untuk berdiskusi atau meminta keterangan: (2) Aspek kualitas hubungan emosional orang tua-anak: Gaya pengasuhan ini mempersulit perkembangan kedekatan antara orang tua dan anak. Kedekatan yang sebenarnya didasari oleh saling menghormati dan satu keyakinan pada diri orang tua bahwa anak mempunyai kapasitas belajar untuk mengontrol dirinya dan membuat keputusan melalui petunjuk-petunjuk perilaku dan kognitif yang mereka miliki; (3) Aspek perilaku mendukung: Pada aspek ini perilaku orang tua ditunjukkan dengan mengontrol anaknya daripada mendukung anaknya agar mereka mampu berfikir memecahkan masalah. Orang tua sering melarang anaknya dan berperilaku negatif dan memberi hukuman. Jadi orang tua lebih memberi perintah


(47)

38

daripada menjelaskan untuk melakukan sesuatu atau menyelesaikan masalah; (4) Aspek tingkat konflik orang tua dan anak: Pengasuhan ini dapat menimbulkan banyak konflik antara orang tua dengan anak sekalipun hal itu tidak ditunjukkan secara terang-terangan. Konflik ini bisa muncul dalam bentuk perkelahian antara anak yang satu dengan yang lainnya.

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 1. Populasi

Populasi adalah gabungan dari seluruh elemen yang berbentuk peristiwa, hal atau orang yang memiliki karakteristik yang serupa yang menjadi pusat perhatian seorang peneliti karena itu dipandang sebagai sebuah semesta penelitian (Ferdinand, 2006).

Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Populasi dalam penelitian ini adalah beberapa siswa SMAN 20 Surabaya sebanyak 983 siswa.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Untuk menentukan sampel yang dapat dijadikan pedoman adalah apabila subyeknya kurang dari 100 lebih diambil semua sehingga penelitiannya


(48)

39

merupakan penelitian populasi, tetapi apabila jumlah subyek besar dapat diambil antara 10-15%, atau 20-25% atau lebih.

Sampel dalam penelitian ini diambil 10% dari jumlah populasi siswa sebanyak 983 siswa sebagaimana menurut Azwar (2011) dalam bukunya bahwasannya banyak ahli riset menyarankan untuk mengambil sampel sebesar 10% dari populasi, sebagai aturan kasar. Namun, bila populasinya sangat besar, maka persentasenya dapat dikurangi. Secara umum, semakin besar sampel maka akan semakin represantatif. Namun pertimbangan efisiensi sumber daya akan membatasi besarnya jumlah sampel yang dapat diambil. Jadi jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 98 siswa.

Tabel 1

Jumlah Sampel Penelitian

No. Kelas Siswa

1 XII IPS 33

2 XII IPA 27

3 XI IPA 38

98

3. Teknik Sampling

Menurut Saifuddin Azwar (2011), pada dasarnya teknik-teknik pengambilan sampel terdiri atas cara probabilitas (probability sampling) dan cara non probabilitas (nonprobability sampling). Dengan cara probabilitas, setiap subjek dalam populasi harus memiliki peluang yang besarnya sudah diketahui untuk terpilih menjadi sampel. Dengan


(49)

40

demikian peneliti dapat memperkirakan besarnya eror dalam pengambilan sampel (sampling error).

Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota diambil dari populasi tanpa memperhatikan jumlah yang ada dalam populasi itu (Sugiono, 2012). Teknik sampling random ini cara pengambilan sampelnya dilakukan

secara acak yang mana peneliti “mencampur” subjek-subjek di dalam

populasi, sehingga semua subjek dianggap sama. Dengan demikian maka peneliti memberi hak kepada subjek untuk dipilih menjadi sampel (Arikunto, 2006).

Banyak ahli riset menyarankan untuk mengambil sampel sebesar 10% dari populasi, sebagai aturan kasar. Namun, bila populasinya sangat besar, maka persentasenya dapat dikurangi. Secara umum, semakin besar sampel maka akan semakin represantatif. Namun pertimbangan efisiensi sumber daya akan membatasi besarnya jumlah sampel yang dapat diambil (Saifuddin Azwar, 2011). Sehingga dalam penelitian ini populasi yang berjumlah 983 siswa akan dipilih secara acak yaitu sebanyak 98 siswa sebagai sampel.

C. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui survei, yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan pada responden.


(50)

41

Metode survei dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner yang terdiri dari beberapa aitem-aitem yang mewakili variable independen (Konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter) dan dependen (Perilaku Bullying) (Arikunto, 2000). Menurut Sugiyono (2010) kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu korelasional. Menurut Kuncoro (2003) penelitian korelasional ini merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengukur tingkat kedekatan hubungan antar variabel-variabel. Metode tersebut digunakan dengan tujuan mengetahui hubungan antara variabel independen (Konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter) terhadap dependen (Perilaku Bullying) pada remaja.

2. Instrumen Penelitian

Dalam setiap penelitian pada prinsipnya meneliti dengan melakukan pengukuran, maka dari itu harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur yang dalam penelitian biasanya dinamakan instrumen penelitian. Jadi instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2011).

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan tiga buah skala yaitu skala Perilaku Bullying, skala


(51)

42

Konformitas dan skala Pola Asuh Otoriter. Sedangkan metode

penskalaan menggunakan skala likert yang mempunyai lima pilihan jawaban, yakni sangat setuju (SS), setuju (S), Netral (N), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS). Penskalaan metode likert ini merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Selain itu penskalaan model likert tidak memerlukan kelompok panel penilai sebab nilai skala tersebut tidak ditentukan oleh derajat favourabelnya, tapi ditentukan berdasarkan distribusi respon setuju atau tidak. (Sugiyono, 2011)

Skala ini dikonstruksikan oleh peneliti berdasarkan teori yang ada dan secara operasional mengacu pada blue print.


(52)

43

Tabel 2

Blue Print Skala Perilaku Bullying

No. Dimensi Indikator Item F%

F UF

1 Bullying Fisik Menampar 9, 31 4, 8 7%

Menimpuk 1 30 4%

Menginjak kaki 3 10 4%

Menjegal 19 2 4%

Meludahi 7 34 4%

Memalak 5, 35 28, 46 7%

Menghukum 27, 45 36, 12 7%

Bullying Verbal Menghina 29 6 4%

Menjuluki 33 18 4%

Meneriaki 37 32 4%

Menuduh 11 40 4%

Menyoraki 41 16 4%

Memfitnah 17 44 4%

3 Bullying Mental mengancam 13, 39 20. 22 7%

Mendiamkan 43 38 4%

Mengucilkan 23 26 4%

mempermalukan di

depan umum 21 14 4%

Memelototi 25 42 4%

merendahkan 15 24 4%


(53)

44

Tabel 3

Blue Print Skala Konformitas Teman Sebaya

No. Dimensi Indikator Item F%

F UF

1 Acceptance kepercayaan terhadap

kelompok

3, 13, 25, 41, 45

20, 24, 26,

34, 40 22% kepercayaan terhadap

diri sendiri

1, 5, 15, 31, 43

4, 14, 22,

38, 46 22%

2 Compliance rasa takut terhadap

penyimpangan

7, 19, 23, 35, 37

2, 16, 18,

32, 44 22% kekompakkan kelompok

11, 17, 21, 39

6, 8, 28,

36 17%

kesepakatan kelompok

9, 27, 29, 33

10, 12, 30,

42 17%


(54)

45

Tabel 4

Blue Print Skala Pola Asuh Otoriter

No. Dimensi Indikator Item F%

F UF

1 Batasan Perilaku

tidak banyak memberi peluang pada

anak untuk bermusyawarah 33, 39, 43

36,

42, 46 13% orang tua memberi aturan-aturan

ketat 5 32 4%

orang tua cenderung memaksa 7, 41 34, 44 9% kontrol terhadap anak berlebihan 17, 45 6, 40 9% 2 Kualitas

Hubungan Emosional Orang Tua-Anak

tidak ada kedekatan antara orang tua

dengan anak 13 18 4%

jarang adanya komunikasi 35 20 4%

membuat keputusan kepada anak

tanpa adanya diskusi dengan anak 37 14 4% 3 Perilaku

Mendukung

jarang memberi pujian atau hadiah 11, 19 16, 30 9% memberi banyak perintah tapi

sedikit penjelasan 15, 31 10, 28 9%

memberi hukuman 3, 21 24, 26 9%

banyak memberi larangan 25 2 4%

4 Tingkat Konflik Orang Tua-Anak

tingkat konflik rendah 9, 29 12 6%

tingkat konflik sedang 23 22, 38 6%

tingkat konflik tinggi 1, 27 4, 8 9%

Jml 46 100%

D. Validitas dan Realibilitas 1. Validitas

Validitas penelitian mempersoalkan derajat kesesuaian hasil penelitian dengan keadaan yang sebenarnya, sejauh mana hasil penelitian mencerminkan keadaan yang sebenernya. Validitas penelitian mengandung dua sisi, yaitu : validitas internal dan validitas eksternal.


(55)

46

Validitas internal mempersoalkan kesesuaian antara data hasil penelitian dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk mendapatkan validitas internal penelitian yang memadai peneliti menggarapnya lewat penggunaan instrumen pengambil data yang memenuhi persyaratan ilmiah tertentu.

Validitas eksternal penelitian mempersoalkan derajat kesesuaian antara generalisasi hasil penelitian dengan keadaan yang sebenarnya, sejauh mana generalisasi hasil penelitian sesuai dengan keadaan yang sebenernya. Untuk menjamin validitas eksternal hasil penelitian, peneliti menggarapnya lewat penyusunan rancangan sampling yang cermat (Suryabrata, 2005).

Dari hasil perhitungan uji daya beda/uji daya diskriminasi aitem dengan bantuan program SPSS 16 For Windows, untuk menguji aitem-aitem mana yang memiliki daya beda aitem-aitem yang tinggi, yang mana sesuai dengan kaedah atau harga koefisien Corrected Item Total Correlation jika Lebih sama dengan 0,30 dianggap memiliki daya beda yang tinggi dan bisa dikatakan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi tinggi. Sebaliknya jika harga koefisien Corrected Item Total Correlation di bawah 0,30, maka aitem tersebut dikatakan aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2011).

Aitem yang diskriminasinya tinggi adalah apabila hasil indeks diskriminasi aitem jika lebih besar dari 0.30 maka aitem tersebut dinyatakan lolos dan sebaliknya jika lebih kurang dari 0.30 maka aitem


(56)

47

tersebut dinyatakan gugur. Maka terdapat 35 aitem pada skala perilaku bullying yang berdiskriminasi tinggi, yaitu item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 41, 43, 44, 45, dan 46. Serta 11 aitem yang berdiskriminasi rendah, yaitu item nomor 6, 8, 10, 20, 22, 26, 30, 36, 38, 40, dan 42. Berikut ini blue print skala perilaku bullying yang sudah diseleksi.

Tabel 5

Blue Print Skala Perilaku Bullying yang Sudah di Seleksi

No. Dimensi Indikator Item F%

F UF

1 Bullying Fisik Menampar 9, 31 4 8,6%

Menimpuk 1 - 2,8%

Menginjak kaki 3 - 2,8%

Menjegal 19 2 5,7%

Meludahi 7 34 5,7%

Memalak 5, 35 28, 46 11,4%

Menghukum 27, 45 12 8,6%

Bullying Verbal Menghina 29 - 2,8%

Menjuluki 33 18 5,7%

Meneriaki 37 32 5,7%

Menuduh 11 - 2,8%

Menyoraki 41 16 5,7%

Memfitnah 17 44 5,7%

3 Bullying Mental mengancam 13, 39 - 5,7%

Mendiamkan 43 - 2,8%

Mengucilkan 23 - 2,8%

mempermalukan di

depan umum 21 14 5,7%

Memelototi 25 - 2,8%

merendahkan 15 24 5,7%


(57)

48

Sedangkan pada skala konformitas teman sebaya terdapat 40 aitem yang berdiskriminasi tinggi, yaitu item nomor 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44, dan 45. Serta 6 aitem yang berdiskriminasi rendah, yaitu item nomor 1, 2, 3, 34, 41, dan 46. Berikut ini blue print skala konformitas teman sebaya yang sudah diseleksi.

Tabel 6

Blue Print Skala Konformitas Teman Sebaya yang Sudah diseleksi.

No. Dimensi Indikator Item F%

F UF

1 Acceptance kepercayaan terhadap

kelompok 13, 25, 45

20, 24, 26,

40 17,5% kepercayaan terhadap

diri sendiri

5, 15, 31, 43

4, 14, 22,

38, 20%

2 Compliance rasa takut terhadap

penyimpangan

7, 19, 23, 35, 37

16, 18, 32,

44 22,5% kekompakkan kelompok

11, 17, 21, 39

6, 8, 28,

36 20%

kesepakatan kelompok

9, 27, 29, 33

10, 12, 30,

42 20%

Jml 40 100%

Dan pada aitem skala pola asuh otoriter terdapat 43 aitem yang berdiskriminasi tinggi, yaitu item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45 dan 46. Serta 3 aitem yang berdiskriminasi rendah, yaitu item nomor 6, 13, dan 17. Berikut ini blue print skala pola asuh otoriter yang sudah diseleksi.


(58)

49

Tabel 7

Blue Print Skala Pola Asuh Otoriter yang Sudah diseleksi

No. Dimensi Indikator Item F%

F UF

1 Batasan Perilaku

tidak banyak memberi peluang pada

anak untuk bermusyawarah 33, 39, 43

36,

42, 46 13,9% orang tua memberi aturan-aturan

ketat 5 32 4,6%

orang tua cenderung memaksa 7, 41 34, 44 9,3% kontrol terhadap anak berlebihan 45 40 4,6% 2 Kualitas

Hubungan Emosional Orang Tua-Anak

tidak ada kedekatan antara orang tua

dengan anak - 18 2,3%

jarang adanya komunikasi 35 20 4,6%

membuat keputusan kepada anak

tanpa adanya diskusi dengan anak 37 14 4,6% 3 Perilaku

Mendukung

jarang memberi pujian atau hadiah 11, 19 16, 30 9,3% memberi banyak perintah tapi

sedikit penjelasan 15, 31 10, 28 9,3%

memberi hukuman 3, 21 24, 26 9,3%

banyak memberi larangan 25 2 4,6%

4 Tingkat Konflik Orang Tua-Anak

tingkat konflik rendah 9, 29 12 7%

tingkat konflik sedang 23 22, 38 7%

tingkat konflik tinggi 1, 27 4, 8 9,3%

Jml 43 100%

2. Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hal ini ditunjukkan oleh taraf keajegan (konsisten) skor yang diperoleh oleh para subjek yang diukur dengan alat yang sama, atau di ukur dengan alat yang setara pada kondisi yang berbeda. Dalam artian yang paling luas reliabilitas alat


(59)

50

ukur menunjuk kepada sejauh mana perbedaan-perbedaan skor perolehan itu mencerminkan perbedaan-perbedaan atribut yang sebenarnya. Hal inilah yang menuntun definisi dasar reliabilitas tes, yaitu :

Rtt = σ2*/σ2t

Reliabilitas tes adalah proporsi varians skor perolehan yang merupakan varians skor murni, jadi kembali kepada uraian terdahulu bahwa Xt = Xo + Xe skor perolehan terdiri dari skor murni dan kekeliruan pengukuran, serta σ2t = σ2*/σ2

e, varians skor perolehan (varians total) σ2t

sama dengan varians skor murni σ2* ditambah varians kekeliruan

pengukuran σ2

e . Karena reliabilitas alat itu berkenaan dengan derajat

konsistensi atau kesamaan antara dua perangkat skor, maka dia dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi (r) (Suryabrata, 2005).

Pengujian Reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik analisis koefisien reliabilitas Cronbach Alpha menggunakan Program SPSS for Windows.

Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan teknik analisis koefisien reliabilitas Cronbach Alpha menggunakan Program SPSS for Windows pada uji reliabilitas aitem pada skala perilaku bullying diperoleh harga koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,965. Hal ini menunjukkan bahwa aitem tersebut sangat reliabel karena nilai koefisien > 0,70. Kemudian hasil uji reliabilitas aitem pada skala konformitas teman sebaya diperoleh harga koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,956.


(60)

51

Hal ini menunjukkan bahwa aitem tersebut sangat reliabel karena nilai koefisien > 0,70. Dan hasil uji reliabilitas aitem pada skala pola asuh otoriter diperoleh harga koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,975. Hal ini menunjukkan bahwa aitem tersebut sangat reliabel karena nilai koefisien > 0,70.

E. Analisis Data

Untuk menguji hipotesis penelitian dalam penelitian ini (korelasi konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying)

diuji dengan uji statistik parametric, yaitu korelasi “Regresi Linier Ganda

untuk melihat hubungan kepuasan kerja dan kelelahan kerja dengan kinerja perawat. Analisis ini mengestimasi besarnya koefisien-koefisien yang dihasilkan oleh persamaan yang bersifat linier, yang melihatkan dua atau lebih variabel bebas, untuk digunakan sebagai alat prediksi besar nilai variabel tergantung. Uji korelasi Regresi Linier Ganda dipilih dalam penelitian dengan pertimbangan bahwa ketiga variabel penelitian tingkat pengukurannya interval rasio dengan bantuan Program SPSS For Windows versi 16,0.

Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan uji prasyarat terlebih dahulu. Uji prasyarat analisis diperlukan guna mengetahui apakah analisis data untuk pengujian hipotesis dapat dilanjutkan atau tidak. Uji prasyarat meliputi uji normalitas (Noor, 2011).

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak (Noor, 2011). Uji


(61)

52

normalitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov. Dengan kaidah apabila signifikasi >0,05 maka dapat dikatakan distribusi normal, sebaliknya jika signifikasi <0,05 maka dikatakan distribusi tidak normal.

Tabel 8

Hasil Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk Signifikansi

Perilaku Bullying 0,000 0,000

Konformitas 0,000 0,000

Pola Asuh Otoriter 0,000 0,000

Tabel hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov di atas menjelaskan bahwasannya pada variabel perilaku bullying, konformitas teman sebaya, dan pola asuh otoriter nilai sigifikannya sebesar 0,000. Karena kurang nari 0,05 maka data dalam ketiga variabel di atas dinyatakan tidak berdstribusi tidak normal.


(62)

53

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek

Subjek pada penelitian ini adalah siswa SMAN 20 Surabaya kelas XII IPS, kelas XIII IPA, dan kelas XI IPA. Berikut ini beberapa deskripsi berdasarkan jenis kelamin, kelas, dan peminatan.

a. Kategori Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 9

Kategori Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Jumlah Persen

Laki-laki 45 46%

Perempuan 53 54%

98 100%

Berdasarkan tabel 9 menjelaskan bahwasannya jumlah subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 45 subjek dan jumlah subjek yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 53 subjek. Maka jumlah subjek yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak 54% dari pada jumlah subjek yang berjenis kelamin laki-laki yang sebanyak 46%.


(63)

54

b. Kategori Subjek Berdasarkan Kelas Tabel 10

Kategori Subjek Berdasarkan Kelas

Kelas Jumlah Persen

XII 60 61%

XI 38 39%

98 100%

Berdasarkan tabel 10 menjelaskan bahwasannya jumlah subjek yang duduk di kelas XII sebanyak 60 subjek dan jumlah subjek yang duduk di kelas XI sebanyak 38 subjek. Maka jumlah subjek yang duduk di kelas XII lebih banyak 61% dari pada jumlah subjek yang duduk di kelas XI yang sebanyak 39%.

c. Kategori Subjek Berdasarkan Peminatan Tabel 11

Kategori Subjek Berdasarkan Peminatan

Peminatan Jumlah Persen

IPS 33 34%

IPA 65 66%

98 100%

Berdasarkan tabel 11 menjelaskan bahwasannya jumlah subjek yang memilih peminatan IPS sebanyak 33 subjek dan jumlah subjek yang memilih peminatan IPA sebanyak 65 subjek. Maka jumlah subjek yang memilih peminatan IPA lebih banyak 66% dari pada jumlah subjek yang memilih peminatan IPS yang sebanyak 34%.

2. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini diketahui melalui analisis data yang dibantu program SPSS 16.0 for Windows menggunakan teknik


(1)

61

Hasil dari penelitian ini terdapat hubungan yang positif antara konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil uji hipotesis yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya dan

pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja pada tebel

Coefficients. Sehingga dapat diartikan bahwa konformitas teman sebaya

dan pola asuh otoriter memicu atau mempengaruhi remaja untuk

berperilaku bullying. Dan juga dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi

tingkat konformitas dan pola asuh otoriter orang tua maka semakin tinggi

pula remaja akan cenderung berperilaku bullying.

Untuk faktor lain yang menyebabkan terdapatnya hubungan antara

konformitas teman sebaya dan pola asuh otoriter dengan perilaku bullying

pada remaja adalah daya beda aitem yang sangat tinggi, sehingga

kemungkinan hal ini menyebabkan berpengaruh pada hasil penelitian.

Pada variabel perilaku bullying daya beda aitem tersebut ditunjukkan

dengan nilai koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,943. Dan setelah

melakukan uji daya diskriminasi aitem diperoleh koefisien Cronbach

Alpha sebesar 0,965 sehingga dapat dinyatakan bahwa aitem tersebut

mempunyai daya diskriminasi sangat tinggi. Untuk konformitas teman

sebaya daya beda aitem tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien

Cronbach Alpha sebesar 0,951. Dan setelah melakukan uji daya

diskriminasi aitem diperoleh koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,956


(2)

62

diskriminasi sangat tinggi. Dan untuk pola asuh otoriter daya beda aitem

tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien Cronbach Alpha sebesar

0,972. Dan setelah melakukan uji daya diskriminasi aitem diperoleh

koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,975 sehingga dapat dinyatakan bahwa

aitem tersebut mempunyai daya diskriminasi sangat tinggi.

Untuk mengetahui norma perilaku bullying, maka penulis membaginya dalam dua kategori yaitu tinggi dan rendah. Dari perhitungan statistik diketahui untuk skala perilaku bullying dengan mean sebesar 88,0, maka diperoleh mean teoritis sebesar 87,5 sehingga ME < MT. Artinya subjek pada penelitian ini mempunyai perilaku bullying yang tinggi.

Kemudian untuk mengetahui norma perilaku konformitas teman sebaya, maka penulis membaginya dalam dua kategori yaitu tinggi dan rendah. Dari perhitungan statistik diketahui untuk skala perilaku konformitas teman sebaya dengan mean sebesar 1,201, maka diperoleh mean teoritis sebesar 100 sehingga ME < MT. Artinya subjek pada penelitian ini mempunyai konformitas teman sebaya rendah.

Dan untuk mengetahui norma perilaku pola asuh otoriter, maka penulis membaginya dalam dua kategori yaitu tinggi dan rendah. Dari perhitungan statistik diketahui untuk skala perilaku pola asuh otoriter dengan mean sebesar 1,117, maka diperoleh mean teoritis sebesar 107,5 sehingga ME < MT. Artinya subjek pada penelitian ini mempunyai pola asuh otoriter rendah.

Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov pada tabel


(3)

63

sigifikannya sebesar 0,000. Karena kurang nari 0,05 maka data dalam ketiga

variabel di atas dinyatakan tidak normal atau tidak berdstribusi tidak normal

dan hasilnya tidak bisa digeneralisasikan. Hal ini tersebut merupakan

kekurangan dari penelitian ini karena subjek yang diambil jumlahnya

kurang banyak. Sehingga dstribusi dari penelitian ini tidak normal dan


(4)

66

DAFTAR PUSTAKA

Adilla, N. (2009) Pengaruh Kontrol Sosial Terhadap Perilaku Bullying Pelajar di

Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 5, No. 1

Ardianyah, A. A. (2009) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bullying Pada

Remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi Dan Ilmu Budaya Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta

Astarini, K. (2013) Hubungan antara Perilaku Over Protective Orang Tua dengan

Bullying pada Siswa SDN Bendan Ngisor Semarang. Skripsi. Jurusan Psikologi. Universitas Negeri Semarang

Astuti, P.R. (2008) Meredam Bullying: 3 cara Efektif Menanggulangi Kekerasan

pada Anak. Jakarta: Grasindo.

Azwar, S. (2011) Metode Penelitian. Edisi 1. Yogyakarta. Pustaka Belajar

Baron, R.A., Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial, jilid 2. Jakarta: Erlangga

Crawford, N. (2002). New ways to stop bullying: Psychologists are driving efforts to get effective, research-based bullying-prevension and intervention

programs into schools. Monitor on Psychology, Vol. 33, No. 9

Flynt, S.W. & Marton, R.C. (2006) Alabama Elementary Principals Perception of

Bullying. Education, Vol. 2

Hartati, S.U.S. (2013) Hubungan Bentuk Konformitas Teman Sebaya Terhadap Tipe Perilaku Merokok Pada Remaja Laki-Laki Usia Pertengahan Di

SMAN 97 Jakarta. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah.

Hurlock, E. B. (1980) Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: penerbit Erlangga.

Latip, A.E. (2013) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Pada Peserta Didik Anak usia MI/SD. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Lestari, S. (2012) Psikologi Keluarga. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group

Levianti, (2008) Konformitas dan Bullying Pada Siswa. Jurnal Psikologi. Vol. 6,

No. 1

Mansur. (2005) Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Monks, F.J. (2002) Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai


(5)

67

Muhammad, M. (2009) Aspek perlindung-an anak dalam tindak kekerasan (bullying) terhadap siswa korban kekerasan di sekolah. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9, No. 3

Muhid, A. (2010). Analisis Statistik SPSS for Windows Cara Praktis Melakukan

Analisis Statistik. Surabaya: CV. Duta Aksara.Myers, G. David. 2005. Social Psychology, 8th ed., Mc.Graw Hill, New York

Mussen. P.H., Conger, J.J., Kagan, J., & Huston, C.A. (1994) Perkembangan dan

Kepribadian Anak. (Alih bahasa F.X. Budiyono, Widianto, Gianto). Jakarta: Penerbit Arcan.

Myers, G.D. (2005) Social Psychology, 8th ed., Mc. Graw Hill, New York.

Noor, J. (2011) Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Oktaviana, L. (2014) Hubungan Antara Konformitas Dengan Kecenderungan

Perilaku Bullying. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Rahmawan, I.A. (2012) Hubungan Antara Pola Asuh Permisif Dengan Intensi Bullying Pada Siswa-Siswi Kelas Vlll SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Ahmad Dahlan.

Santrock, J.W. (2003) Adolescence Perkembangan Remaja. Edisi 6. Jakarta:

Erlangga.

Santrock, J.W. (2012) Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid

1.Jakarta: Erlangga.

Simbolon, M. (2012) Perilaku Bullying Pada Mahasiswa Berasrama. Jurnal

Psikologi. Vol. 39. No. 2

Sugiyono. (2010) Metode Penelitian Pendidikan. Cetakanke 10. Bandung : Alfa

Beta.

Sugiyono. (2011) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Penerbit Alfabeta.

Suryabrata, S. (2005) Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: CV Andi

Offset.

Suryawati, J., & Maryati, K. (2006) Sosiologi. Jakarta: Erlangga

Usman, I. (2013) Kepribadian, Komunikasi, Kelompok Teman Sebaya, Iklim

Sekolah Dan Perilaku Bullying. Jurnal Humanitas, Vol. X No.1

Utari, R.L.T. (2009) Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Sekolah Menengah. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta


(6)

68

Wahyuni, S., & Adiyanti M.G. (2011) Correlation Between Perception Toward Parents’ Authoritarian Parenting And Ability To Empathize With Tendency

Of Bullying Behavior On Teenagers. Jurnal Psikologi

Wicaksono, D.A. (2014) Kedisiplinan Siswa Ditinjau Dari Dukungan Sosial Dan Pola Asuh Otoriter Orang Tua Pada Siswa Yang Berlatar Belakang Berbeda

(TNI dan Non-TNI). Widya Marta. No. 01

Yahya, A., & Ahmad, A.L. (2005). Persepsi Guru Dan Pelajar Terhadap

Perlakuan Bullying di Kalangan Pelajar Sekolah Menengah Daerah Batu

Pahat. Jurnal Teknologi, 43(5)

Yayasan Semai Jiwa Amini. (2008) Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah


Dokumen yang terkait

Hubungan Peran Teman Sebaya Dengan Kecemasan Remaja Putri Pada Masa Pubertas Dalam Menghadapi Perubahan Fisik Di Smp Swasta Betania Medan

10 93 92

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SMP N 24 SURAKARTA Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Smp N 24 Surakarta.

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Perilaku Bullying Pada Siswa Smp N 24 Surakarta.

0 2 17

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Agresivitas Pada Remaja.

0 2 13

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Agresivitas Pada Remaja.

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku Merokok Pada Remaja Smk Al-Islam Surakarta.

1 7 20

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya Dengan Perilaku Merokok Pada Remaja Smk Al-Islam Surakarta.

0 4 16

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Merokok Pada Remaja SMK AL-Islam Surakarta.

5 30 19

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH OTORITER DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SMP Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Otoriter Dengan Kecenderungan Perilaku Bullying Pada Siswa SMP.

0 1 18

HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER DAN INTENSITAS BERMAIN GAME ONLINE Hubungan Pola Asuh Otoriter Dan Intensitas Bermain Game Online Dengan Perilaku Bullying Pada Remaja Di Sekolah.

3 6 22