BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman 1. Kekuasaan Kehakiman - ADE YIYIT SUTANTO BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman 1. Kekuasaan Kehakiman Kemerdekaan kekuasaan kehakiman (Selanjutnya akan disebut

  dengan istilah independensi) memang sudah sejak lama dipandang perlu dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak memperoleh perhatian yang cukup berarti dalam praktiknya. Namun demikian, indepedensi kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian penuh dan menjadi bahan kajian (Ahmad Kamil, 2012: 206).

  Berkembangnya kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari peran dan organisasi internasional seperti Internasional Commision of Jurist yang berhasil mengajukan dokumen Milan Principles yang diadopsi oleh sidang umum United Nations pada tahun 1985. Pada tingkat regional, Komite Menteri pada Dewan Eropa menerima Recommendation on the

  Indepedence, Efficiency, and the Role of Judges , dan kemudian diadopsi

  oleh Dewan Uni-Eropa pada tahun 1998 dengan sebutan European Chaier on the Statute for Judges (Djohansyah, 2008:123). maupun instrumen-instrumen internasional

  Milan principles

  tersebut di atas merupakan hasil perkembangan internasional yang kemudian dilanjutkan ke tingkat lokal oleh masing-masing negara seperti yang dianjurkan oleh United Nations agar setiap pemerintah negara mempertimbangkan prinsip-prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang telah diadopsi oleh United Nations dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan mereka. Pada dasarnya negara-negara di dunia mengakui pentingnya independensi kekuasaan kehakiman untuk diterapkan di negara masing-masing tentunya berdasarkan landasan teoritis dan filosofis masing-masing negara. Secara umum pendekatan teoritis tentang independensi kekuasaan kehakiman, seputar ajaran kepastian hukum dan keadilan hukum (Ahmad Kamil, 2012: 207).

  Macdonald, Matscher dan Petzold, dalam bukunya yang berjudul “ The euoropean System for the Protection of Human Rights”(1993). sebgaimana dikutip Jimmly Asshidiqieu:

  “ Indepedence judicary is a

  fundamental requierement for democracy. Within this undestanding is the nation that judicial indepedence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also involve indepedence in relation to the legislative powers as well as in relation to political, economic, or social pressure groups.

  ” Independensi kekuasaan kehakiman merupakan syarat utama demokrasi. Dalam pengertian tersebut terkandung penekanan bahwa independensi kekuasaan kehakiman pertama-tama harus terdapat dalam hubungan kepada eksekutif dari para pihak (dalam suatu perkara). Hal tersebut juga termasuk independensi dalam hubungan dengan kekuasaan legislatif, sebagaimana juga dalam hubungan dengan kelompok politik, ekonomi atau kelompok penekanan sosial ”(Ahmad Kamil, 2012: 212). Kekuasaan Kehakiman adalah ciri pokok dari negara hukum (rechtsstaaat) dan prinsip the rule of law. Dalam catatan sejarah, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, perkembangan lembaga kekuasaan kehakiman dapat dikatakan sangat bergantung pada keinginan baik (political will) pembuat Undang-undang atau rezim yang berkuasa. Desain kelembagaan maupun status dan kedudukannya amat ditentukan oleh siapa yang memerintah. Jika sang penguasa menghendaki agar lembaga kekuasaan kehakiman berada di bawah pengaruhnya, kekuasaan kehakiman pun tidak dapat berbuat banyak. Hal itu semakin mengkristalkan jika konstitusi tidak secara eksplisit menjamin kemandirian dan imparsialitas kekuasaan kehakiman (Komisi Yudisial, 2014:4).

  Independensi kekuasaan kehakiman mulai banyak diperbincangkan dalam berbagai kesempatan seiring menguatnya jaminan UUD NRI Tahun 1945 tentang independensi hakim dalam menjalankan kewenangannya. Sebagian menaruh harapan akan masa depan pengadilan yang lebih dipercaya, jauh dari intervensi kekuasaan eksternal sebagaimana terjadi di era orde baru. Tetapi tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan intervensi justru datang dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, atau dari pihak-pihak yang berperkara dengan modus transaksi.

  Independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan terhadap manusia penyandang kewenangan yudikatif sebagai penegak keadilan yang harus dilindungi dari kemungkinan intervensi dari manapun agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.

  Karena independensi kekuasaan kehakiman adalah sebuah ide yang kompleks, tidak semata-mata sebagai sesuatu nilai, tetapi sebagai instrumen yang bermanfaat untuk mengejar nilai-nilai lain yang lebih tinggi, yaitu rule of law. Kompleksitas pemikiran tentang independensi kekuasaan kehakiman terjadi karena pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari ide lain dalam masyarakat, khususnya mengenai kekuasaan kehakiman dan fungsinya. Ide-ide tersebut, termasuk ide mengenai independensi kekuasaan kehakiman digambarkan seperti

  matriks yang saling berkaitan.

  Franken, (1997: 9,10) ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa indepedensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) bentuk yaitu : a. Indepedensi Konstitusional (Constitusionale Onafhan Kelikjheid).

  b. Indepedensi Fungsional (Zakelijke of Functionale Onafhankelijekheid).

  c. Indepedensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionale Onafhankelijekheid ).

  d. Indepedensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijekheid ).

  Independensi konstitusional adalah Indepedensi yang dihubungkan dengan doktrin trias politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.

  Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan Undang-undang apabila Undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi Undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.

  Independensi hakim adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. Brenninkmeijer mengatakan bahwa:

  “ De zakelike onafhankelijekheid moet worden gezien

  als een uitvloeisel van de persoonlijke onafhankeljkeheid. Ik denk dat men eerder van het omgekerde kan spreken, aangeizen de zakelijke onafhankelijkheid direct betrekking heeft of de invulling van de Constitusionele toegedachte taken

  .”(franken, H. 1997: 41). Independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari indepedensi personal hakim. Saya berpendapat bahwa orang dapat saja berbicara lebih dahulu secara kebalikannya, melihat indepedensi personal memiliki hubungan langsung dengan tugas-tugas yang ditetapkan oleh konstitusi.”

  Independensi praktis adalah indepedensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim itu harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma- norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat (Ahmad Kamil, 2012: 217).

  Dalam transaksi politik di Indonesia pasca orde baru, memang terdapat perubahan mendasar kedudukan kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945 yang baru yang menandakan adanya transisi rezim ke demokrasi secara signifikan. Perubahan dimaksud dimuat dalam pasal 24 A ayat (1) yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Ayat (2)- nya berbunyi kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konsitusi.

  Di luar itu, dalam Pasal 24 B ayat (1) terdapat pula lembaga negara baru yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

  Substansi yang dimuat dalam rangkaian Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 itu menegaskan dan menjamin tiga dimensi kekuasaan kehakiman, yaitu : pertama, dimensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedua, dimensi kekuasaan kehakiman lain oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, dimensi kekuasaan kehakiman dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim (Komisi Yudisial, 2012:285).

  Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai cabang yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden. Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan ditentukan

  “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan Undang-undang tentang kedudukan hakim”.

  Terhadap dua pasal beserta penjelasannya itu Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H. memberikan pengertian sebagai berikut:

  a. Bahwa ada Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif) terlepas dari kekuasaan perundang-undangan (Legislatif) dan Kekuasaan pemerintah (Eksekutif).

  b. Bahwa kekuasaan kehakiman ini adalah merdeka dalam arti terlepas dari pengaruh pemerintah.

  c. Bahwa ada satu Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi di Indonesia.

  d. Bahwa adanya badan-badan pengadilan lain di Indonesia diserahkan pada Undang-undang untuk menentukannya.

  e. Bahwa susunan dan kekuasaan in concerto dari Mahkamah Agung dan lain-lain badan pengadilan itu diserahkan kepada Undang-undang untuk mengaturnya.

  f. Bahwa pun syarat-syarat untuk pengangkatan dan pemberhentian sebagai hakim diserahkan kepada Undang-undang untuk mengaturnya.

  g. Bahwa ada semacam instruksi kepada pembentuk Undang-undang agar dijamin kedudukan yang layak dari para hakim di tengah tengah masyarakat (Bambang Arumanadi, 1990:86).

  Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur kekuasaan di Indonesia selain kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Ketiga cabang tersebut bersinergi dan saling berhubungan satu sama lain baik dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) maupun pembagian kekuasaan (distribution power) (Jimmly Asshiddiqe, 2006:23).

  Pemberian dan pembatasan kekuasaan dari lembaga-lembaga negara secara konstitusional tersebut dalam perkembangannya berevolusi dalam beragam bentuk dan mekanisme sesuai dengan dinamika politik dan ketatanegaraan suatu negara yang tergambar dalam konstitusi bangsa itu sendiri. Dalam hubungan antar lembaga negara dikenal adanya suatu mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and

  balances ) diantara cabang kekuasaan negara tersebut dalam menjalankan kewenangannya.

  Meskipun sering disalah pahami sebagai penggagas teori pemisahan kekuasaan (the separation of power) secara murni, sebenarnya Montesquieu sendiri meyakini urgensi mekanisme pengawasan dari suatu lembaga terhadap lembaga lainnya dalam menjalanan kekuasaanya. Lebih jelas Monstequieu mengatakan bahwa:

  “constan experience shows us that

  every man invested with power is apt to abuse it....(it is) necesary from the every nature of things that power should be a check to power.... that the government should be devided among different persons and bodies, which

  would act as on each other” (2016: 78).

  Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, pada Pasal 19 menyebutkan bahwa demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentigan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Tentu sangat jelas bahwa norma kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam penjelasan UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan, meminjam bahasa laku dalam doktrin orde baru, pelaksanaan secara konsisten dan konsekuen dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka sangat bergantung pada sistem dan corak politik kekuasaan yang berlangsung.

  Reformasi membawa angin segar pembaharuan kekuasaan kehakiman. Pada awal reformasi lahirlah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 menggeser induk organisasi lingkungan peradilan berada dibawah Mahkamah Agung sepenuhnya.

  Penyatuan ini ditindak lanjuti pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004. Lebih fundamental, perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 semakin menegaskan kemandirian kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (

  1) UUD 1945 menyebut bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan gu na menegakan hukum dan keadilan”. Jaminan konstitusi yang kuat hadir untuk memastikan bahwa kekuasaan kehakiman merdeka dari campur tangan kekuasaan kehakiman.

  Pembaharuan peradilan meliputi banyak agenda, mulai dari penyatuatapan, perbaikan sistem kepegawaian dan pengkajian, penerapan sistem informasi di pengadilan , dan lain sebagainya. Namun, kekuasan kehakiman belum sepenuhnya dipercaya hadir oleh masyarakat. Apabila pada masa lalu kekuasaan kehakiman tidak merdeka dari campur tangan kekuasaan lain, pada masa reformasi dunia peradilan justru dicurigai tidak merdeka secara oleh begitu banyak persoalan yang bisa terpicu secara eksternal (Komisi Yudisial, 2014: 289).

  Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law , antara lain meliputi:

  a. Judicial Indefedence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksanakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik. b. Objective of the judiciary, tujuan peradilan adalah: 1) Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman dibawah the rule of law .

  2) Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia. 3) Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.

  c. Appoinment of Judges. Para hakim harus diangkat beradasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (Suku, warna, kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).

  d. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu , dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.

  Secara khusus kekuasaan kehakiman telah diatur pula dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No 48 Tahun 2009 merupakan undang-undang organik, sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan asas-asas, landasan dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia.

  Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah K onstitusi”.

  Dengan demikian, badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :

  a. Peradilan Umum

  b. Peradilan Agama

  c. Peradilan Militer

  d. Peradilan Tata Usaha Negara Mengenai kedudukan dan wewenang masing-masing lingkungan peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan perundang-undangan di bawah ini, yakni :

  a. UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan beberapa perubahannya dalam UU No 5 Tahun 2004 dan UU No 3 Tahun 2009.

  b. UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan beberapa perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2004 dan UU No 49 Tahun 2009. c. UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan beberapa perubahannya dalam UU No 9 Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009.

  d. UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya dalam UU No 3 Tahun 2006 dan UU No 50 Tahun 2009.

  e. UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

  f. UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2011.

  g. UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan perubahannnya.

  Sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menciptakan kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelenggara dilakukan dengan meningatkan integritas, ilmu pengetahuan, dan kemampuan. Adapun peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut (Muhammad Nuh, 2011:95).

  Kompetensi atau wewenang pengadilan dibedakan atas lingkungan dan tingkat peradilan, berdasarkan lingkungannya pengadilan dibedakan atas :

  a. Pengadilan Negeri Adalah suatu peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk. b. Pengadilan Agama Adalah suatu peradilan yang memeriksa dan memutuskan perkara- perkara yang timbul antara orang-orang islam yang berkaitan dengan nikah, rujuk, talak, nafkah waris dan lain-lain.

  c. Pengadilan Tata Usaha Negara Adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama.

  d. Pengadilan Militer Adalah pengadilan yang berwenang mengadili dalam lapangan pidana bagi anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia atau orang yang disamakan dengannya. Wewenang peradilan berdasarkan tingkatannya dibedakan atas:

  a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) Wewenang pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- undang khususnya tentang:

  1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian tuntutan.

  2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.

  b. Pengadilan Tingkat Kedua Wewenang pengadilan tingkat kedua adalah : 1) Mengadili perkara yang diputuskan oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.

  2) Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk diteliti dan memberi penilaian terhadap kecakapan dan kerajinan hakim.

  c. Kasasi oleh Mahkamah Agung Wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut : 1) Mengadili semua perkara yang dimintakan kasasi.

  2) Meminta keterangan dari semua pengadilan lingkungan peradilan.

  Pengadilan dalam menegakan hukum yang telah di buat dan disediakan oleh pembentuk Undang-undang, berbeda dengan komponen eksekutif, yaitu menjalankan penegakan hukum itu dengan aktif, sedangkan peradilan dapat disebut pasif, karena harus menunggu datangnya pihak-pihak yang membutuhkan jasa peradilan. Para pencari keadilan datang membawa persoalan mereka untuk diselesaikan melalui proses peradilan.

  Undang-undang yang telah dibuat dan disediakan oleh pembentuk Undang-undang itu, tidak selamanya dapat diterapkan begitu saja pada peristiwanya. Tetapi ketentuan perundang-undangan itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan sesuai dengan peristiwanya, kemudian baru dapat diterapkan pada peristiwanya. Penerapan atau penegakan Undang-undang yang bersifat abstrak dan umum seperti ini lazimnya dilakukan melalui peradilan. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa, kalaupun Undang- undang itu jelas, Undang-undang itu tidak sempurna tidak mungkin Undang-undang itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin Undang- undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas, karena kegiatan manusia itu tidak terbilang banyaknya.

  Sejalan dengan pernyataan diatas, Ismail Shaleh menyatakan bahwa Menegakan hukum bukanlah sekedar melaksanakan huruf, kalimat atau Pasal “mati” dalam peraturan Perundang-undangan sebagai hukum positif. Hukum positif mempunyai kekurangan- kekurangan atau kekosongan-kekosongan, karena hukum positif memang tidak dapat mengikuti kecepatan dinamika perkembangan masyarakat, bahkan dalam beberapa hal ketinggalan dengan masalah- masalah yang timbul dalam masyarakat. Kekosongan hukum tersebut dapat diisi oleh hakim, sehingga hakim pun dalam hal ini menjadi pembuat hukum.

  Penegakan melalui peradilan tidak selamanya menerapkan ketetuan perundang-undangan, tetapi peradilan juga dapat menciptakan hukum. Sebagaimana dinyatakan Sudikno Mertokusumo :

  “ Mengingat hakim adalah pembentuk hukum, di samping pembentuk Undang- undang, dan mengingat pula akan kebebasan hakim, maka selama pembentuk Undang-undang impoten dalam menciptakan atau membentuk peraturan masyarakat, maka kita dapat mengharapkan kreativitas dari hakim untuk atau mencipatakan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus diberi kebebasan yang lebih besar. Untuk itu cukuplah kiranya pembentuk Undang-undang menciptakan atau membentuk Undang-undang yang bersifat umum, agar hakim tidak akan menghadapinya dan akan lebih bebas untuk menafsirkannya”.

  Selain dengan pernyataan diatas, Lie Oen Hock dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia menegaskan bahwa :

  “Hakim dalam menjalankan tugasnya, yaitu melakukan peradilan, turut serta menciptakan hukum. Ini berarti di samping hukum yang terdapat dalam Undang-undang terdapat pula hukum hakim (rechterrecht), yang lebih dikenal dengan yurisprudensi”.

  Pernyataan diatas menunjukan bahwa penegakan hukum melalui peradilan, disuatu pihak menerapkan atau melaksanakan peraturan perundang-undangan, dan di pihak lain melakukan diskresi dalam keadaan tertentu dengan menciptakan hukum melalui putusannya (Komisi Yudisial, 2014: 147).

B. Tinjauan tentang Hakim

  1. Pengertian Hakim Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa (Bambang Waluyo, 1991:11).

  Pengertian hakim menurut pasal 1 ayat (5) UU komisi Yudisial Nomor 22 Tahun 2004 adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Hakikat keberadaan hakim adalah sebagai penengah dan penjembatan bilamana terdapat konflik antara dua belah pihak.

  Penyelesaian sengketa mengalami perkembangan jika awalnya hanya melibatkan dua pihak (two party) kini melibatkan pihak ketiga (third

  

party ) sebagai upaya menyelesaikan sengketa (Ahmad syahrizal, 2006:

46).

  Hakim adalah suatu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam suatu pengadilan. Hakim yang merupakan personafikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal, dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi oleh rambu-rambu seperti akuntabilitas, integritas, moral dan etika, transparansi dan pengawasan.

  2. Etika Profesi Hakim Etika profesi hakim telah dituangkan dalam keputusan bersama

  Mahkamah Agung Republik Indonesia dan ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur perilaku hakim sebagai berikut: a. Berperilaku Adil

  Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.

  b. Berperilaku Jujur Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang ikut dan mengakibatkan kesadaran akan hakikat yang hak dan yang batil.

  c. Berlaku Arif dan Bijaksana Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma- norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memerhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. d. Bersikap Mandiri Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apapun.

  e. Berintegritas Tinggi Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

  f. Bertanggung Jawab Bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik- baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

  g. Menjunjung Tinggi Harga Diri Harga diri bermakna bahwa diri manusia melekatkan martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.

  h. Berdisplin Tinggi Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. i. Berperilaku Rendah Hati

  Rendah hati bermakna kesadaran dan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. j. Bersikap Profesional Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, ketrampilan dan wawasan (H.M Agus Santoso, 2014:102).

  3. Tugas Hakim Tugas daan kewajiban hakim dalam bidang peradilan menurut UU

  No 48 Tahun 2009 , Antara lain :

  a. Tugas hakim secara normatif 1)

  Peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009)

  2) Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila (Pasal 2 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).

  3) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1 UU No 48 Tahun 2009). 4) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

  5) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

  6) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009). 7) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum ( Pasal 5 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).

  8) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim (Pasal 5 ayat (3) UU No 48 Tahun 2009).

  9) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, tetapi wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

  10) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan sekurang-kurangnya tiga orang hakim kecuali Undang- undang menyatakan lain ( Pasal 11 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

  11) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009).

  12) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum ( Pasal 13 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).

  13) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ( Pasal 14 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).

  b. Tugas Hakim secara Konkret 1) Mengonstatir (mengonstatasi) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkret, hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka persidangan. Syaratnya adalah peristiwa itu konkret itu harus di buktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan bahwa suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi.

  Mengonstatir berarti menetapkan peristiwa konkret dengan membuktikan peristiwanya atau menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut. 2) Mengualifisir (mengualifikasi) yaitu menetapkan atau merumuskan peritiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana atau seperti apa. Dengan kata lain, mengualifisir adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah di konstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi dilakukan dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada aturan hukum atau undang-undang, agar aturan hukum atau undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwanya.

  3) Mengkonstituir (mengkonstitusi atau memberikan konstitusinya)

  yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premisse mayor (peraturan hukumnya) dan

  premissse minor (peristiwanya). Dalam menyampaikan putusannya

  hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya di terapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukumnya, dan kemanfaatannya (Muhammad Nuh, 2011:108).

C. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi

  1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Pengertian Mahkamah Konstitusi menurut pasal 1 ayat (1) Undang- undang Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (Maruaar Siahaan, 2011:1).

  2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi

  a. Kedudukan 1) Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

  2) Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

  b. Susunan 1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 ( sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden.

  2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 ( tujuh) orang aggota hakim konstitusi. 3) Ketua dan wakil dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan 3(tiga) tahun.

  4) Hakim konstitusi adalah pejabat negara (Kansil:2011:129).

  Lebih jelas lagi Jimlly Asshidiqie menguraikan sebagai berikut: “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikontruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar negara secara konsisten dan bertanggung jawab

  ”. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara bermasyarakat (cetak biru, 2004:4).

  3. Wewenang Mahkamah Konstitusi Sesuai ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah

  Konstitusi memiliki lima kewenangan peradilan yaitu : a. Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalisme Undang-undang.

  b. Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

  c. Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum.

  d. Peradilan pembubaran partai politik.

  e. Peradilan atas pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut Undang-undang.

  Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi memiliki kemerdekaan yudisial. secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi adalah merdeka dari campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan.

  Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan. Panduan asas hukum yang digunakan sebagai pedoman para hakim dalam menjalankan konstitusi adalah sebagai berikut :

  a. Persidangan terbuka untuk umum

  Pasal 19 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa pengadilan terbuka untuk umum kecuali Undang-undang menentukan lain. Hal ini juga berlaku bagi persidangan pengujian Undang-undang. Dalam Pasal 40 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perlindungan terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan yang terbuka merupakan sarana pengawasan secara langsung oleh rakyat. b. Independen dan imparsial Mahkamah Konstitusi merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka. Sifat mandiri dan mereka berkiatan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain.

  c. Peradilan cepat, sederhana dan murah

  Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan kehakiman mengamanahkan bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi membuat terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas

  

video conference . Hal tersebut sebagai upaya dari mahkamah konstitusi

mewujudkan persidangan yang efisien.

  d. Putusan bersifat erga omnes Berbeda dengan peradilan di Mahakamah Agung yang bersifat

  

inter partes artinya hanya mengikat para pihak bersengketa dan

  lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan pada ranah hukum publik.

  Sifat peradilan di Mahkamah Konstitusi adalah erga omnes yang mempunyai kekuatan mengikat. e. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et eltram partem) Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan.

  f. Hakim aktif dan pasif dalam persidangan Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan seterusnya pada inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional harus digerakan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian tanpa permohonan.

  g.

Ius curia novit

  Pasal 16 UU kekuasaan kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum untuk menemukan keadilan.

  Praktik beracara di Mahkamah Konstitusi menggunakan hukum acaranya yang tersendiri dan khas. Sumber hukum acara di Mahkamah Konstitusi tersebut adalah : a. Undang- undang Mahkamah Konstitusi.

  b. Peraturan Mahkamah Konstitusi.

  c. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.

  d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Pidana.

  e. Pendapat Sarjana.

  f. Hukum acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (Marauarar Siahaan, 2006: 84).

  4. Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh hakim konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum.

  Jenis putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak jauh beda dengan peradilan lain yakni putusan yang bersifat Declaratoir,

  

constitutief , dan condemnatoir. Putusan yang bersifat Condemnatoir

  apabila putusan tersebut berisi peghukuman agar tergugat atau termohon melakukan suatu prestasi. Putusan yang bersifat Condemnatoir di MK adalah putusan yang menengahi sengketa antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi dapat menghukumi agar lembaga tersebut dinyatakan tidak berwenang sebagai mana termaktub dalam Pasal 64 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

  Putusan declaratoir adalah putusan yang menjadikan hakim menyatakan apa yang berlaku sebagai hukum. Putusan hakim seperti ini adalah putusan yang menyatakan permohonan atau gugatan di tolak. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat declaratoir ini ada dalam

  Pasal 56 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara pengujian Undang-undang yang bersifat

  

constitutif . Pada putusan ini Mahkamah Konstitusi menyatakan suatu

  Undang-undang bertentangan dengan konstitusi baik secara keseluruhan atau pada Pasal tertentu.

  Beradasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-undang Pasal 36 Amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa bentuk : a. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003.

  b. Mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan bahwa materi muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, Menyatakan bahwa materi muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini permohonan beralasan sebagaimana dimaksud

  Pasal 56 ayat (2) ayat (3), dan Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003.

  c. Mengabulkan permohonan pemohon. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasaran UUD 1945, menyatakan UU tersebut tidak mempunyai Kekuataan hukum mengikat, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (4) dan Pasal 57 ayat (2) UU No

  24 Tahun 2003.

  d. Menyatakan permohonan pemohon di tolak. Dalam hal UU yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan sebagiamana dimaksud Pasal 56 ayat (5).

  Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum. Untuk putusan pengujian Undang-undang bentuk putusannya adalah declarator

  

constitutif . Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi dapat menciptakan

  suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu keadaan hukum. Posisi yang demikian menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai negative

  

legislator , putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai tiga kekuatan yaitu

kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.

  1) Kekuatan mengikat Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapakan hak atau hukumnya.

  Sebagai salah satu lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi Mahkamah Konstitusi juga mempunyai karakter khusus.

  Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus dilaksanakan.

  Mengenai kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi kita dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannnya bersifat final. Mengikat artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama.

  2) Kekuatan Pembuktian Sebuah putusan pengadilan, khusunya putusan Mahkamah

  Konstitusi memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan sebagai alat bakti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.

  Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi ada dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan sebelumnya. 3) Kekuatan Eksekutorial

  Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk mengakhiri sengketa yang akan meniadakan atau menciptakan hukum. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Sebagai dasar dan pedoman praktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar hukum bernegara. Kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji apakah suatu Undang- undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi.

D. Tinjauan tentang Komisi Yudisial

  1. Komisi Yudisial Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 24B

  Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

  Pengertian Komisi Yudisial menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004