BAB III KEDUDUKAN NASKAH PROKLAMASI YANG OTENTIK DALAM PENDIDIKAN NASIONALISME BANGSA INDONESIA - 1 PERISTIWA PERUMUSAN NASKAH PROKLAMASI YANG OTENTIK DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN NASIONALISME BANGSA INDONESIA - repository perpustakaan

BAB III KEDUDUKAN NASKAH PROKLAMASI YANG OTENTIK DALAM PENDIDIKAN NASIONALISME BANGSA INDONESIA Bab ketiga yang merupakan hasil kajian penulis terhadap fakta-fakta

  historis yang terkait dengan perumusan naskah proklamasi yang otentik pada bab sebelumnya, terutama dimaksudkan untuk membahas permasalahan penelitian mengenai kedudukan naskah proklamasi yang otentik dalam pendidikan nasionalisme bangsa Indonesia. Oleh karenanya, sistematika pembahasannya dituangkan ke dalam dua sub-bab yang membahas tentang asal mula terjadinya dua macam naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kedudukan naskah proklamasi yang otentik dalam pendidikan nasionalisme bangsa Indonesia, sebagai berikut :

A. Asal Mula Terjadinya Dua Macam Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

  Setelah sekian lamanya berada dalam belenggu penjajahan, pada tanggal 17 Agustus 1945 rakyat Indonesia dengan “Proklamasi” menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka. Proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dilakukan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan dengan penuh tekad dan keyakinan, dilandasi dan dijiwai oleh suatu cita-cita luhur, sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 :

  “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Team Penyusun, Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka, 1977: 8).

  Pernyataan di atas menggambarkan bahwa proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945, di mana di dalamnya terkandung 4 (empat) pokok-pokok pikiran sebagai berikut (Notonagoro, 1988: 51) ;

  1. Pernyataan hak kemerdekaan (Alinea Pertama).

  Proklamasi merupakan tekad yang dijiwai suatu keyakinan bahwa kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa yang didasari oleh “perikemanusiaan” dan “perikeadilan”.

  2. Pernyataan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia (Alinea Kedua).

  Proklamasi merupakan pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia yang diperoleh melalui perjuangan rakyat, sehingga bukan merupakan pemberian atau hadiah dari bangsa asing yang menjajah seperti Tentara Pendudukan Jepang maupun Kolonial Belanda.

  3. Pernyataan tentang dasar ketuhanan (Alinea Ketiga).

  Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan atas dasar rahmat Tuhan YME dan cita-cita luhur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu tercapainya kemerdekaan bukan semata-mata hasil usaha manusia, akan tetapi berdasarkan pula atas karunia Tuhan, maupun berdasarkan atas asas moril yang tinggi serta merupakan tindakan kesalehan dan suci.

  4. Pernyataan tentang pembentukan negara Indonesia yang memiliki tujuan negara (Alinea Keempat).

  Proklamasi kemerdekaan merupakan pernyataan pembentukan negara Indonesia, yang bertujuan untuk melindungsi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang berfungsi sebagai jiwa dan cita-cita luhur terbentuknya Negara Republik Indonesia, dalam penerapannya menurut Toto Pandoyo (1981: 17) diwujudkan dalam bentuk pencapaian Tujuan Nasional, yang meliputi :

  1. Membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

  2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

  3. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

  Butir pertama dan kedua Tujuan Nasional di atas bersifat nasional (internal), karena hanya menyangkut kehidupan bangsa Indonesia sendiri, sedangkan butir ketiga bersifat internasional karena menyangkut kehidupan antarbangsa atau antarnegara. Tujuan nasional suatu bangsa itu sendiri lazimnya bersifat ideal, agung dan luhur. Demikian pula dengan Tujuan Nasional Bangsa Indonesia juga mempunyai sifat-sifat sebagai cita-cita luhur yang senantiasa harus diperjuangkan dalam merealisasikannya.

  Adanya keterkaitan antara Proklamasi Kemerdekaan R. I dengan pokok-pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 serta Tujuan Nasional bangsa Indonesia tersebut, menunjukkan bahwa kedudukan Naskah Proklamasi yang otentik sangat penting di dalam sistem ketatanegaraan maupun kehidupan berpolitik bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya penanaman nilai-nilai yang melatar-belakangi perumusan naskah proklamasi yang otentik melalui pendidikan nasionalisme bagi generasi penerus bangsa memiliki peranan yang amat penting dan strategis bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.

  Asal mula terjadinya dua macam naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, menurut Nugroho Notosusanto (1978: 13) dijelaskan bahwa pada awal Orde Baru timbul suatu persoalan, karena terbukti naskah Proklamasi yang selama ini dianggap otentik oleh masyarakat Indonesia ternyata hanya merupakan suatu “konsep” atau “klad” belaka. Selama bertahun-tahun masyarakat mengira bahwa naskah Proklamasi tulisan tangan Ir. Soekarno itu adalah naskah Proklamasi yang otentik yang pernah dibacakan pada tanggal

  17 Agustus 1945. Dalam kenyataannya “naskah tik-tikan” yang diketik oleh

  Sayuti Melik itulah yang beberapa jam kemudian setelah selesai diketik pada tanggal 17 Agustus 1945 dibacakan oleh Ir. Soekarno di Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa penyusunan naskah Proklamasi, di mana pada pagi dini hari itu setelah terjadi kesepakatan terhadap rumusan naskah Proklamasi, kemudian Ir. Soekarno meminta kepada Sayuti Melik untuk mengetik naskah bersih (naskah jadi) berdasarkan “draft” dengan perubahan-perubahan yang telah disetujui. Sayuti Melik kemudian mengetik naskah bersih tersebut dengan melakukan tiga perubahan, yakni kata “tempoh” diganti menjadi “tempo”, sedangkan bagian akhir teks “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa

  Indonesia”. Begitu pula dalam penulisan tanggal juga dilakukan perubahan menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”.

  Sementara itu Hendri F. Isnaeni (2013: 91) menjelaskan bahwa setelah penyusunan naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia selesai, selanjutnya konsep naskah proklamasi yang sudah disetujui oleh para tokoh PPKI itu harus diketik terlebih dahulu sebelum diajukan kepada para anggota PPKI dan lainnya yang sudah menunggu di ruang tengah rumah kediaman Laksamana Maeda saat itu. Tokoh yang melakukan pengetikan naskah proklamasi tersebut menurut Subardjo, Sukarni yang kebetulan memasuki ruangan, diminta untuk mengetiknya.

  “Saya lihat dia pergi ke suatu ruang dekat dapur di mana Sayuti Melik dan lainnya duduk-duduk. Terdapat satu mesin ketik di situ dan Sayuti Melik mengetik teks dari tulisan tangan Soekarno”, kata Subardjo. Namun menurut pengakuan Sayuti Melik, Soekarno langsung memintanya mengetik naskah proklamasi, tidak melalui Sukarni. Perintah Soekarno:

  “Ti, Ti, tik, tik!”. Pengakuan Sayuti Melik tersebut juga dibenarkan oleh BM. Diah, wartawan harian “Asia Raya”;

  “Bung Karno memanggil Sayuti Melik yang kebetulan lewat ruangan itu: „Ti, Ti, tik ini‟, kata Bung Karno, sambil melambai-lambaikan selembar kertas yang berisi teks proklamasi”. Sayuti kemudian menghampiri meja Soekarno dan menerima konsep teks tersebut.

  “Dia menuju ke ruang lain yang ada meja tulis dan mesin ketik”, kata BM. Diah. “Saya berdiri di belakang Sayuti ketika dia mengetik”. Dengan demikian Sayuti Melik yang melakukan pengetikan atas naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

  Beberapa fakta historis yang dikemukakan oleh para ahli sejarah di atas, mengisyaratkan bahwa “naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik” adalah “naskah Proklamasi Kemerdekaan yang diketik”, karena naskah ketikan inilah yang dibacakan oleh Bung Karno dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Namun demikian pada masa pemerintahan Orde Lama yang cenderung “otoriter” dan dikemas dalam bentuk sistem pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”, masyarakat Indonesia lebih mengenal naskah proklamasi yang masih berupa konsep “tulisan tangan Soekarno”. Oleh karenanya, pada masa pemerintahan Soekarno masyarakat lebih mengenal naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno, sehingga tanpa disadarai masyarakat beranggapan bahwa naskah resmi (otentik) Proklamasi adalah yang berupa tulisan tangan Soekarno.

  Selama lima belas tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Indonesia lebih mengenal Naskah Proklamasi yang berupa konsep tulisan tangan Bung Karno, karena pada masa itu tulisan tangan Soekarno inilah yang banyak dimuat di surat-surat kabar maupun buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Sayuti Melik menjelaskan, bahwa “Hal ini membuat orang tidak mengerti dan tanpa disadari beranggapan bahwa yang resmi adalah yang berupa tulisan tangan Bung Karno. Padahal kalau diperhatikan di dalam naskah tulisan tangan Bung Karno itu tertulis „Wakil-wakil Bangsa Indonesia‟, sedangkan yang diucap kan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah „Atas nama Bangsa

  Indonesia‟. Namun entah bagaimana naskah resmi tadi kemudian tidak muncul. Naskah Proklamasi yang otentik baru muncul pada sekitar tahun

  1960, yang disampaikan oleh Aidit (Ketua CC PKI) kepada Bung Karno bersama-sama dengan testamen Bung Karno kepada Tan Malaka. Konsep naskah itu dibacakan untuk pertama kalinya setelah ditemukan oleh Jenderal AH Nasution yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

  ” (Hendri F. Isnaeni, 2013: 144). Safiyudin Sastrawijaya (1980: 49), menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan asal mula terjadinya dua macam naskah Proklamasi

  Kemerdekaan Indonesia, antara naskah tulisan tangan Bung Karno dengan naskah yang diketik oleh Sayuti Melik (naskah tik-tikan), pada dasarnya hingga saat ini belum jelas bagaimana uurut-urutan kejadiannya, sehingga naskah tersebut dapat “menghilang” selama kurang lebih 20 tahun dan baru muncul pada tahun 1965. Selama naskah otentik (naskah tik-tikan) itu hilang, maka yang dikenal oleh masyarakat luas saat itu adalah naskah konsep atau “klad”, yang menurut Sayuti Melik pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945 itu diambil dan dibawa pulang dari rumah Laksamana Maeda oleh B. M. Diah yang kemudian menyimpannya.

  Sementara itu, Nugroho Notosusanto (1978: 17) juga menjelaskan bahwa hilangnya naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang otentik saat itu ironis sekali. Hal ini erat kaitannya dengan masa Orde Lama di bawah pimpinan Ir. Soekarno yang telah menghancurkan Gedung Proklamasi yang bersejarah itu. Selama naskah otentik itu hilang, masyarakat luas mengenal teks Proklamasi dalam bentuk konsep atau “klad”, yang semula diambil dan disimpan oleh B. M. Diah. Kemudian ia mencetaknya di dalam surat kabar

  “Merdeka” yang diterbitkannya dalam bulan Oktober 1945. Oleh karenanya masyarakat Indonesia saat itu, pada masa pemerintahan Orde Lama, lebih mengenal teks tulisan tangan Bung Karno, sehingga beranggapan bahwa teks inilah yang dipandang sebagai naskah Proklamasi yang otentik.

  Berdasarkan fakta-fakta historis di atas, dapat disimpulkan bahwa asal mula terjadinya dua macam naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (naskah tulisan tangan dan naskah tik-tikan) disebabkan karena adanya publikasi naskah tulisan tangan Ir. Soekarno dalam berbagai surat kabar di Indonesia selama kurun waktu 15 hingga 20 tahun setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Namun demikian sesuai kesaksian Akhmad Subardjo (Hendri F. Isnaeni, 2013: 91) dan Sayuti Melik (Safiyudin Sastrawijaya, 1980: 49), dijelaskan bahwa naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang otentik atau resmi adalah naskah yang berupa tik-tikan yang diketik oleh Sayuti Melik saat itu, karena naskah tik-tikan inilah yang dibacakan oleh Bung Karno pada saat memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

  B.

  

Kedudukan Naskah Proklamasi yang Otentik dalam Pendidikan

Nasionalisme Bangsa Indonesia

  Penanaman nilai-nilai yang melatar-belakangi perumusan naskah proklamasi yang otentik merupakan salah satu bentuk pendidikan nasionalisme bagi generasi penerus bangsa Indonesia di masa depan. Hal ini erat kaitannya dengan kedudukan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pada hakekatnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Pokok-pokok Pikiran yang terkandung di dalam naskah Pembukaan UUD 1945. Keterkaitan antara naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik dengan naskah Pembukaan UUD 1945 tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Kansil (1989: 170) bahwa pada saat berdirinya Negara Republik Indonesia (proklamasi tanggal 17 Agustus 1945) sekaligus juga dibentuk “tata hukumnya”; seperti dinyatakan dalam pernyataan sebagai berikut : 1.

  “Proklamasi Kemerdekaan” ; “Kami bangsa Indonesia dengan ini meny atakan Kemerdekaan Indonesia”.

  2.

  “Pembukaan UUD 1945” ; “Atas berkat Rahmat Allah yang Mha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. “Kemudian daripada itu……. . disusun Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…. ”.

  Pernyataan “Proklamasi Kemerdekaan” dan “Pembukaan UUD 1945” di atas, mengisyaratkan adanya keterkaitan yang tak terpisahkan antara suasana kejiwaan dan cita-cita moral yang terkandung di dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik dengan naskah Pembukaan UUD 1945. Kedua naskah tersebut juga menggambarkan pernyataan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta sekaligus menetapkan Tata Hukum Indonesia yang diatur di dalam UUD 1945, yang mengatur ketentuan-ketentuan dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bernegara bagi segenap warga negara Indonesia.

  Keterkaitan naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik dengan naskah Pembukaan UUD 1945 tersebut, juga dijelaskan oleh Effendy (1993: 41), bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan salah satu perwujudan dari segala sumber hukum di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedudukan proklamasi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia didasarkan pada ketentuan Ketetapan MPRS R. I. No.

  XX/MPRS/1966 tertanggal 6 Juli 1966 yang mengesahkan “Memorandum DPR” tanggal 9 Juni 1966 (junto Tap. MPR R. I. No. V/MPR/1973 dan Tap MPR R. I. No. IX/MPR/1978). Oleh karenanya, kedudukan naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik memiliki peran penting dan menentukan dalam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.

  Hal ini sesuai dengan esensi dari “Sumber dari Tertib Hukum Republik Indonesia”, yang berfungsi sebagai pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia. Watak bangsa Indonesia yang dimaksud berupa cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan internasional, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita- cita moral mengenai pengejawantahan “budi nurani manusia”. Adanya keterkaitan antara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan Pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan bahwa naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik berkedudukan sebagai jiwa dan cita- cita moral dari penerapan sistem ketatanegaraan maupun sistem politik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk budaya berpolitik bagi setiap warga negara Indonesia. Demikian halnya keterkaitan naskah Proklamasi Kemerdekaan yang otentik dengan penerapan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang dirumuskan di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Di mana di dalamnya terdapat Sila Ketiga “Persatuan Indonesia”, yang bermakna kebangsaan atau nasionalisme.

  Pengertian “kebangsaan” atau “nasionalisme” yang dirumuskan di dalam Pancasila, menurut pendapat Bung Karno (Soekarno, 1986: 56) dijelaskan bahwa “kebangsaan sebagai dasar negara” merupakan „Individualiteit‟ atau „Charactergemeinschaft‟, yang berarti Bangsa Indonesia sebagai suatu individu mempunyai wataknya sendiri atau karakternya sendiri, sehingga adanya persamaan watak bangsa itulah yang menentukan bangsa tersebut berbeda dengan bangsa lainnya di dunia ini. Lebih lanjut juga dijelaskan sebagai ilustrasi, bahwa bangsa Italia karakteristiknya artistik, yang berarti corak jiwa bangsa Italia adalah bangsa yang artistik; bangsa India karakteristiknya „religius‟, sehingga corak jiwanya sebagai bangsa yang bersifat religius; sedangkan bangsa Inggris karakternya haus kepada kekuasaan atau power, bangsa ini mempunyai „ik-heid‟ selalu di atas dengan cara menulis I (saya-ik) dengan leter I (i-besar), yang maknanya bangsa bangsa ini merasa dirinya lebih kuat daripada bangsa lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa setiap bangsa memiliki karakteristiknya sendiri, yaitu adanya persamaan watak („Charaktergemeinschaft‟) yang menetapkan dan menentukan corak barang yang bersangkutan.

  Demikian halnya dengan Bangsa Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pada dasarnya juga memiliki watak dan corak-kejiwaannya sendiri, sepert i „gotong-royong‟, ataupun nilai- nilai kebangsaan lainnya yang berupa „nilai-nilai luhur Pancasila‟. Oleh karenanya konsepsi kebangsaan Indonesia adalah suatu „nation‟, „natie‟, yang merupakan satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, di mana persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, dan terjadi karena adanya persatuan pengalaman. Untuk itu, Bangsa Indonesia tidak harus berupa persamaan bahasa, etnis, agama, suku bangsa, melainkan suatu „Geopolitik‟ atau gambar atau peta kehidupan politik masyarakat Indonesia. Atas dasar konsepsi kebangsaan ini, maka dalam fase Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal

17 Agustus 1945 secara langsung menuju kepada terbentuknya „Negara

  National‟, tidak menuju kepada negara-negara kecil, seperti negara Jawa, negara Sumatera, ataupun negara Sulawesi. Negara yang terbentuk merupakan negara nasional yang memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke, sehingga bukan saja secara ideologi kebangsaan melainkan secara ekonomis tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan geopolitik bangsa Indonesia (Soekarno, 1986: 60).

  Berkaitan dengan konsepsi kebangsaan atau nasionalisme yang merupakan penerapan Sila Ketiga Pancasila („Persatuan Indonesia‟) dalam pendidikan politik bagi setiap warga negara Indonesia, maka kedudukan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang otentik sifatnya sangat penting dan strategis dalam penerapan pendidikan nasionalisme di Indonesia. Hal ini dapat dipahami mengingat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkedudukan sebagai jiwa dan cita-cita moral dari penerapan sistem ketatanegaraan (bidang hukum tata negara) maupun sistem politik (budaya politik bangsa) bagi setiap warga negara Indonesia. Adapun aspek pendidikan nasionalisme yang perlu ditanamkan kepada setiap warga negara Indonesia berupa jiwa dan semangat kebangsaan (persatuan nasional), terutama nilai- nilai kebangsaan yang melatarbelakangi peristiwa proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

  Demikian halnya dalam penerapan pendidikan nasionalisme yang merupakan penanaman nilai-nilai nasionalisme (budaya politik bangsa) bagi generasi penerus bangsa, maka diperlukan fakta historis atau nilai historis yang otentik (resmi) guna memberikan wawasan kebangsaan yang faktual dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan nasional, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

  Mendasarkan pada konsepsi pendidikan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan nasionalisme merupakan pendidikan politik di bidang penanaman nilai-nilai kebangsaan (Persatuan Indonesia) kepada setiap warga negara (terutama generasi penerus bangsa) dalam suatu proses pembelajaran budaya politik agar memiliki jiwa dan semangat serta rasa cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara Indonesia. Melalui pendidikan nasionalisme ini diharapkan mampu memberikan referensi bagi generasi muda bangsa, terutama nilai-nilai historis yang terkandung di dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang otentik penting peranannya dalam memberikan bekal pemahaman terhadap nilai historis yang faktual di balik peristiwa tersebut, sehingga mampu membangkitkan jiwa dan semangat nasionalisme dalam diri setiap generasi muda maupun warga negara secara keseluruhan.