Laporan dan Uji dan Material

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Teori Dasar Pengujian Bahan

1.1.1 Pengujian Bahan

Pengujian bahan adalah pengujian suatu material untuk mengetahui sifat mekanik, cacat, dan lain-lain suatu material. Dalam pengujian bahan ini ada 2 macam jika ditinjau berdasarkan sifat dari pengujian tersebut, yaitu :

a. Pengujian Destruktif Pengujian destruktif adalah pengujian suatu material, tapi hasil akhirnya akan menyebabkan cacat atau rusak. Pengujian ini dilakukan dengan cara merusak benda uji dengan cara pembebanan atau penekanan sampai benda uji tersebut rusak, dari pengujian ini akan diperoleh sifat mekanik bahan. Pengujian destruktif terdiri dari :

1. Pengujian Kekerasan Pengujian kekerasan adalah pengujian suatu material dengan mengukur ketahanan suatu material terhadap deformasi plastis. Nilai kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap penetrasi.

2. Pengujian Tarik Pengujian tarik adalah pengujian suatu material dengan cara memberikan beban gaya yang berlawanan arah dalam satu garis lurus. Pengujian ini digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat.

3. Pengujian Impact Pengujian impact adalah pengujian suatu material untuk mengetahui kekuatan impactnya. Kekuatan impact adalah kekuatan suatu material untuk menahan beban dinamik yang diberikan secara mendadak yang menyebabkan patah atau rusak. Ada 2 metode dalam pengujian ini, yaitu charpy dan izod.

4. Pengujian Struktur Pengujian struktur adalah pengujian yang digunakan untuk melihat struktur logam. Prosesnya adalah material dipotong dan dikikis pada permukaannnya hingga halus, kemudian dilakukan analisa visual 4. Pengujian Struktur Pengujian struktur adalah pengujian yang digunakan untuk melihat struktur logam. Prosesnya adalah material dipotong dan dikikis pada permukaannnya hingga halus, kemudian dilakukan analisa visual

b. Pengujian Non-Destruktif Pengujian non-destruktif adalah salah satu teknik pengujian material tanpa merusak benda ujinya. Pengujian bertujuan untuk mendeteksi secara dini timbulnya crack atau flaw pada material secara dini. Dari tipe keberadaan crack pada material uji dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu inside crack dan surface crack. Pengujian non-destruktif antara lain adalah :

1. Pengujian Visual Metode ini bertujuan untuk menemukan cacat atau retak serta melihat korosi pada permukaan. Digunakan alat bantu optikal untuk dapat melihat cacat atau retakan pada permukaan secara jelas.

2. Pengujian Cairan Penetran Metode ini digunakan untuk menemukan cacat permukaan terbuka dari permukaan solid, baik logam maupun non logam. Metode ini menggunakan 3 jenis cairan untuk melihat cacat pada permukaan, yaitu penetrant, cleaner, dan developer. Proses pengujian ini adalah :

1. Pembersihan permukaan.

2. Penetration , pada tahap ini diberikan cairan penetran pada permukaan benda kerja yang diperiksa, kemudian ditunggu beberapa saat, sehingga cairan dapat masuk ke dalam celah retakan.

3. Cleaning , yaitu pembersihan cairan penetran, pembersihan tidak boleh berlebihan, karena dapat menyebabkan penetrant yang meresap akan terbilas semua.

4. Development , yaitu pemberian developer pada permukaan yang telah bersih, cairan developer akan menyerap cairan penetran kembali ke permukaan.

5. Inspection , setelah penyemprotan cairan developer, maka cacat pada permukaan akan tampak.

6. Pembersihan akhir.

3. Pengujian Partikel Magnet Pengujian partikel magnet yaitu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui cacat permukaan dan permukaan bawah suatu komponen dari bahan feromagnetik. Dengan menggunakan prinsip memagnetisasi bahan yang akan diuji yaitu dengan cara mengalirkan arus listrik dalam bahan yang diuji tersebut. Adanya cacat yang tegak lurus arah medan magnet akan menyebabkan kebocoran medan magnet. Kebocoran ini menandakan adanya cacat pada material. Caranya adalah dengan menaburkan partikel magnetic di permukaan. Partikel-partikel tersebut akan berkumpul pada daerah kebocoran medan magnet atau arah medan magnet akan berbelok sehingga terjadi kebocoran fluks magnetik. Bocoran fluks magnetik akan menarik butir-butir feromagnetik di permukaan sehingga lokasi cacat dapat ditemukan.

Gambar 1.1 : Uji partikel magnet Sumber : Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:50)

4. Pengujian Radiografi Pada pengujian ini diletakkan film dibelakang objek, kemudian objek akan disinari sinar laser x atau sinar gamma. Apabila pada objek terdapat cacat, maka akan terjadi variasi intensitas pada film. Hasil film inilah yang akan menunjukkan kecacatan yang ada pada spesimen.

Gambar 1.2 : Uji radiografi Sumber : Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:47)

5. Pengujian Eddy Current Metode ini memanfaatkan prinsip elektromagnetik dimana arus yang dialirkan pada kumparan akan menghasilkan gaya elektromagnetis yang dikenakan pada benda uji, hingga terbentuk arus eddy. Arus ini menandakan adanya induksi magnet pada logam dan bila terdapat cacat besarnya impedansi yang diukur sensor arus eddy akan berubah. Metode ini hanya dapat diterapkan pada logam saja.

6. Pengujian Ultrasonik Pada pengujian ini gelombang suara dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisikan atau dipantulkan akan diamati. Gelombang suara akan terganggu jika terdapat retakan atau delaminasi pada material. Gelombang ini akan dibangkitkan transducer piezoelectric dan akan diterima kembali untuk dikonversikan menuju energi listrik kembali.

Gambar 1.3 : Uji ultrasonik Sumber : Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:55)

1.1.2 Sifat Mekanik Logam

Sifat mekanik logam adalah sifat yang menyatakan kemampuan suatu logam untuk menerima beban atau gaya tanpa mengalami kerusakan. Sifat mekanik logam merupakan salah satu sifat terpenting dari logam. Selain itu sifat mekanik juga digunakan untuk membandingkan pilihan bahan dengan kebutuhan dari peralatan.

Sifat – sifat mekanik logam antara lain :

1. Kekuatan (strength) Yaitu kemampuan bahan untuk menerima gaya berupa tegangan tanpa mengalami patahan pada bahan.

2. Kekerasan (hardness) Yaitu kemampuan material logam menerima gaya berupa penetrasi, indentasi, serta pengikisan atau penggoresan.

3. Kekakuan (stiffness) Yaitu kemampuan suatu bahan menerima beban tegangan tanpa menyebabkan perubahan bentuk / defleksi.

4. Ketangguhan (toughtness) Yaitu sifat yang menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa menyebabkan kerusakan.

5. Elastisitas (elasticity) Yaitu kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan perubahan bentuk permanen setelah beban atau tegangan dihilangkan.

6. Plastisitas (plasticity) Yaitu kemampuan suatu bahan untuk mengalami sejumlah deformasi permanen tanpa mengalami kerusakan dimensi.

7. Kelelahan (fatigue) Yaitu kecenderungan logam untuk patah jika menerima tegangan atau beban secara berulang-ulang.

8. Keuletan (ductility) Yaitu kemampuan suatu material untuk diregang atau ditekuk secara permanen tanpa mengakibatkan pecah atau patah.

9. Kegetasan (brittleness) Yaitu sifat kerapuhan pada material, yang berarti material tersebut pecah dengan sedikit pergeseran permanen.

10. Mulur (creep) Yaitu kecenderungan suatu logam untuk mengalami deformasi plastis apabila diberikan gaya dalam jangka waktu tertentu.

11. Keausan Yaitu hilangnya sejumlah lapisan permukaan material karena adanya gesekan antara permukaan dengan benda lain.

1.1.3 Perlakuan Panas

Perlakuan panas adalah pengubahan sifat-sifat bahan dengan pemanasan dan pendinginan tertentu untuk menghasilkan sifat bahan tertentu dan sesuai batas kemampuan dari masing-masing bahan. Proses dalam perlakuan panas ada 3, yaitu heating, holding , dan cooling. Pada proses heating, material dipanaskan sampai terjadi pembentukan butir, kemudian material diholding, yaitu dipanaskan pada suhu tetap untuk menyamakan butir yang terbentuk, kemudian material dicooling / didinginkan, untuk membentuk struktur yang kita inginkan.

A. Perlakuan Panas Fisik

1. Hardening Hardening adalah perlakuan panas yang bertujuan untuk memperoleh kekerasan maksimum pada logam baja. Baja tersebut dipanaskan hingga suhu tertentu antara 20-50°C di atas garis A3 (tergantung dari kadar karbon) dan selanjutnya ditahan pada suhu 1. Hardening Hardening adalah perlakuan panas yang bertujuan untuk memperoleh kekerasan maksimum pada logam baja. Baja tersebut dipanaskan hingga suhu tertentu antara 20-50°C di atas garis A3 (tergantung dari kadar karbon) dan selanjutnya ditahan pada suhu

2. Annealing Annealing adalah perlakuan panas yang digunakan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan sisa, menghaluskan ukuran butir dan meningkatkan sifat mampu mesin. Prosesnya adalah dengan memanaskan material sampai suhu sekitar 50°C di atas garis A3, holding beberapa saat kemudian didinginkan secara perlahan dalam dapur pemanas atau media terisolasi dan menghasilkan struktur pearlite kasar.

3. Normalizing Normalizing adalah perlakuan panas yang digunakan untuk menghaluskan struktur butiran yang mengalami pemanasan berlebihan, menghilangkan tegangan dalam, meningkatkan permesinan, dan memperbaiki sifat mekanik material. Prosesnya dengan pemanasan sampai 30-40°C di atas garis A3 dan didinginkan pada udara temperatur ruang dan menghasilkan struktur fine pearlite..

4. Tempering Tempering adalah perlakuan panas yang digunakan untuk mengurangi tegangan dalam dan melunakkan bahan setelah di Hardening dan meningkatkan keuletan. Hal itu karena baja yang dikeraskan dengan pembentukan martensit biasanya sangat getas sehingga tidak cukup baik untuk berbagai pemakaian.

Adapun macam-macam Tempering adalah :

a. Martempering

Martempering adalah perbaikan dari prosedur quenching dan digunakan untuk mengurangi distorsi selama pendinginan. Pada proses pendinginan, baja diquenching hingga sedikit di atas garis Ms, lalu ditahan hingga suhu pada inti sama dengan suhu pada permukaan, kemudian didinginkan dalam suhu kamar dan menghasilkan struktur martensite temper.

Gambar 1.4 : Martempering Sumber : Hardening, Tempering and Heat Treatment, George Gently (1984:80)

b. Austempering

Austempering bertujuan untuk meningkatkan keuletan, ketahanan impact, dan mengurangi distorsi. Struktur yang dihasilkan adalah bainit. Pada proses pendinginan, baja didinginkan dalam media garam pada suhu di atas garis Ms dan menghasilkan struktur bainite..

Gambar 1.5 : Austempering Sumber : Hardening, Tempering and Heat Treatment, George Gently (1984:79)

B. Perlakuan panas Kimiawi

1. Carburizing Carburizing merupakan suatu proses penjenuhan lapisan permukaan besi dengan karbon. Baja yang diikuti dengan Hardening akan mendapatkan kekerasan yang sangat tinggi, sedang bagian tengahnya tetap lunak. Jenis- jenis Carburizing adalah sebagai berikut : 1. Carburizing Carburizing merupakan suatu proses penjenuhan lapisan permukaan besi dengan karbon. Baja yang diikuti dengan Hardening akan mendapatkan kekerasan yang sangat tinggi, sedang bagian tengahnya tetap lunak. Jenis- jenis Carburizing adalah sebagai berikut :

Prosesnya material dimasukkan dalam kotak yang berisi medium kimia aktif padat, kotak tersebut dipanaskan sampai 900-

950˚C, serta waktu total ditentukan dari kedalaman kekerasan yang akan dicapai.

b. Paste Carburizing

Medium kimia yang digunakkan berupa pasta, prosesnya yaitu bagian yang dikeraskan akan ditutup dengan pasta setebal 3-

4 mm dan kemudian dikeringkan serta dimasukkan dalam kotak, prosesnya pada temperatur 920- 930˚C.

c. Gas Carburizing

Disini logam dilepaskan atmosfir yang mengandung karbon yaitu gas alam maupun gas buatan dan dipanaskan hingga temperatur 850- 900˚C.

d. Liquid Carburizing

Proses Carburizing dilakukan pada media kimia aktif cair, komposisi medium kimianya adalah soda abu, NaCl, SiC dan kadang kadang ikut dilengkapi NH 4 Cl, lalu diberikan pemanasan

pada suhu 850- 900˚C.

2. Nitriding Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan nitrogen, yaitu dengan cara melakukan holding dalam waktu yang agak lama pada temperatur 480˚C - 650˚C dalam lingkungan amoniak ( NH 3 ). Nitriding digunakan untuk meningkatkan kekerasan, ketahanan gesek dan fatigue. Ada 2 macam nitriding, yaitu :

a. Straight nitriding , digunakan media untuk besi paduan, besi tuang (meningkatkan kekerasan, ketahanan gesek dan fatique) melapisi hingga bagian permukaan.

b. Anti corrosion nitriding , bahan yang digunakan biasanya besi tuang dan baja paduan. derajat dari kelarutan yang dicapai adalah 30% - 70%. Melapisi bagian ujung untuk mencegah terjadinya suatu proses korosi pada benda.

3. Cyaniding Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan unsur karbon dan nitrogen, bertujuan untuk meningkatkan kekerasan, ketahanan gesek, dan kelelahan. Bila proses ini dilakukan diudara disebut carbon nitriding .

4. Sulphating Perlakuan panas yang digunakan untuk meningkatkan ketahanan gesek dari bagian bagian mesin maupun alat-alat tertentu dari bahan HSS dengan cara penjenuhan permukaan dengan sulfur.

C. Perlakuan Panas pada Permukaan

1. Flame Hardening Flame Hardening adalah pengerasan yang dilakukan dengan memanaskan baja pada nyala api. Permukaan baja dipanaskan hingga suhu di atas suhu kritis atas, lalu di quenching dengan semprotan air. Sebelum dilakukan flame Hardening sebaiknya baja di Normalizing dulu, sehingga didapat kulit yang keras dan inti yang ulet.

2. Induction Surface Hardening Pemanasan yang dilakukan dengan menggunakan arus listrik frekuensi tinggi. Logam berbentuk silindris diletakkan pada indikator ini. Jadi pemanasan dari permukaan dipengaruhi oleh frekuensi dan waktu dari pemanasan. Pendinginan dilakukan dengan penyemprotan air setelah pemanasan selesai.

3. Electrolite Bath Hardening Pemanasan yang dilakukan dalam suatu larutan elektrolit, yang biasanya digunakan adalah 5% - 10% sodium karbonat dan digunakan arus DC. Prosesnya yaitu baja dipakai sebagai katoda, sehingga terbentuk gelembung gelembung hidrogen tipis. Karena konduktivitas dari gelembung hidrogen rendah maka arus meningkat cepat pada katoda, akibatnya katoda mengalami pemanasan pada temperatur yang sangat tinggi. Logam yang dikeraskan dicelupkan dalam elektrolit sedalam bagian yang akan dikeraskan. Setelah proses dipanaskan, aliran listrik diputus dan elektrolit digunakan sebagai media quenching.

1.1.4 Diagram Fasa Fe-Fe 3 C

Gambar 1.6 : Diagram fasa Fe-Fe 3 C

Sumber: Introduction to Physical Metallurgy, Avner (1974:233)

Dari Diagram diatas, dapat kita lihat pada proses pendinginan perubahan struktur kristal dan struktur makro sangat bergantung pada komposisi kimia. Pada Kandungan karbon 0,83% sampai 6,67% terbentuk struktur makro yang dinamakan cementit Fe 3 C. Angka 6,67 berasal dari :

Penjelasan tentang diagram fasa Fe- Fe 3 C akan dijelaskan sebagai berikut : 0,008%C

: batas kelarutan maksimum karbon pada ferrite dengan temperature kamar. 0,025%C

: batas ketentuan maksimum karbon pada ferrite

temperature723 0 C.

0.83%C : titik eutectoid 2%C

: batas kelarutan karbon pada besi gamma pada temperature

1403 C. Garis A0

: garis temperature dimana terjadi perubahan magnetic pada cementit . Garis A1

: garis temperature dimana terjadi perubahan austenite menjadi : garis temperature dimana terjadi perubahan austenite menjadi

: garis temperature dimana terjadi transformasi magnetic pada

ferrite. Garis A3

: garis dimana terjadi perubahan ferrite menjadi austenite (gamma) pada pemanasan.

GarisACM : garis kelarutan karbon pada besi gamma. Garis solidus : garis yang menunjukkan awal dari proses pembekuan. Garis liquidus:garis yang menunjukkan awal dari proses pendinginan. Garis solvus : garis yang menunjukkan batas antara fasa padat dengan

fasa padat. Garis A

: garis yang menunjukkan kandungan karbon minimum dari transformasi baja hypoeutectoid. Garis B

: garis yang menunjukkan kandungan karbon maksimum dari

transformasi baja hypereutectoid. Garis E

: garis yang menunjukkan transformasi eutectoid Didalam fase Fe-Fe3C terdapat suatu keadaan dimana beberapa logam terdapat lebih dari satu jenis struktur kristal tergantung pada suhu tertentu dari logam tersebut. Besi , timah , mangan , dan kobalt adalah contoh dari logam yang menunjukkan sifat seperti ini atau biasa lebih dikenal sebagai allotropy . Pada diagram kesetimbangan , perubahan allotropic ini ditunjukkan oleh titik atau titik pada garis vertikal yang mewakili logam murni. Contohnya dalam kandungan karbon 0,08% maka struktur kristal dari logam berada dalam bentuk BCC namun ketika dipanaskan secara terus menerus pada suhu tertentu maka struktur logam BCC ini akan berubah menjadi FCC.

Gambar 1.7 : Allotropic Sumber: Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:208)

1. Transformasi pada diagram Fase Fe-Fe 3 C

a) Transformasi Baja eutectoid 0,83% C Transformasi yang dibahas adalah Transformasi yang terjadi pada Kondisi equilibrium. Untuk pembahasan ini lihatlah diagram fase Fe- Fe 3 C .Baja eutectoid, paduan besi-karbon dengan kadar karbon C=0,83% adalah paduan dengan komposisi eutectoid. Pada temperatur diatas garis liquid us berupa larutan cair (liquid). Bila temperatur diturunkan saecara perlahan pada saat mencapai garis liquidus (di titik 1) akan mulai terbantuk inti austenit. Pembekuan selesai di titik 2 (pada garis solidus), seluruhnya sudah menjadi austenit. Pada pendinginan selanjutnya tidak

terjadi perubahan hingga temperatur mencapai titik 3, di garis A 1 , temperatur kritis bawah, disini austenit yang mempunyai komposisi eutectoid ini akan mengalami reaksi eutectoid

Austenit ---> Ferit + Cementit (Pearlit) Terbentuknya Pearlit ini dimulai dengan terbentuknya inti

cementit (biasanya pada batas butir austenit). Inti ini akan bertumbuh dengan mengambil sejumlah karbon dari asutenit disekitarnya.

(Cementit, Fe 3 C mengandung 6,67%C sedang austenit mengandung 0,8%C). Karenanya austenit dengan kadar karbon yang sangat rendah ini pada temperatur ini akan berubah jadi ferit (transformasi allotropik). ferit ini juga akan bertumbuh, yaitu dengan mengambil besi dari austenit disekitarnya, sehingga austenit disekitar ferit itu akan kelebihan karbon (Cementit, Fe 3 C mengandung 6,67%C sedang austenit mengandung 0,8%C). Karenanya austenit dengan kadar karbon yang sangat rendah ini pada temperatur ini akan berubah jadi ferit (transformasi allotropik). ferit ini juga akan bertumbuh, yaitu dengan mengambil besi dari austenit disekitarnya, sehingga austenit disekitar ferit itu akan kelebihan karbon

b) Transformasi pada Baja Hypoeutectoid (%C<0,8%) Sebagai contoh untuk pembahasan Pada Baja Karbon hypo- eutectoid ini diambil baja dengan 0,25%C. Paduan ini akan mulai membeku pada titik 1 tanpa membentuk inti Ferit delta yang nanti akan tumbuh menjadi dendrite ferit delta. Hingga temperatur mencapai titik 2 (temperatur hypo-eutectoid) paduan akan terdiri dari ferit delta dan liquid . Pada titik 2 akan terjadi reaksi hypo-eutectoid :

Ferit delta + Liquid -> Austenit Pada paduan ini tidak semua liquid habis dalam reaksi tersebut

sehingga pada reaksi temperatur sedikit di bawah titik 2, struktur terdiri dari liquid dan austenit, makin rendah temperatur makin banyak liquid yang menjadi austenit. Sehingga pada titik 3 seluruhnya sudah menjadi

austenit. Perubahan berikutnya baru akan terjadi pada titik 4 (pada A 3 ), akan mulai terjadi transformasi allotropik δ menjadi α. Transformasi ini dimulai dengan terbentuknya inti - inti ferit pada batas butir austenit. Austenit pada paduan ini mengandung 0,25%C sedang ferit di temperatur ini hanya mampu melarutkan sedikit sekali karbon, karena itu austenit yang akan menjadi ferit harus mengeluarkan karbonnya sehingga sisa austenit akan menjadi lebih kaya karbon. Semakin rendah temperaturnya makin makin banyak ferit yang terbentuk, makin tinggi kadar karbon

pada sisa austenit (komposisi austenit akan mengikuti garis A 3 ). Pada saat mencapai titik 2 masih ada 0,25-0,80% dari austenit, kadar karbonnya (0,80%) komposisi eutectoid, sisa austenit ini selanjutnya akan mengalami reaksi eutectoid menjadi pearlit. pada temperatur dibawah A1 paduan akan terdiri dari Ferit (hypoeutectoid) dan Pearlit.

Gambar 1.8 : Transformasi baja hypo-eutectoid Sumber: Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:237)

c) Transformasi pada Baja Hypereutectoid Perhatikan suatu paduan dengan 1,3 % C. Paduan mulai membeku pada titik 2 dengan membentuk austenit dan pembekuan selesai di titik2, seluruhnya sudah berupa austenit, selanjutnya sudah tidak terjadi perubahan lagi sampai temperatur mencapai garis solid A cm . Garis ini merupakan batas kealrutan karbon dalam austenit dan batas ini makin rendah dengan makin rendahnya temperatur. Pada titik 3 paduan telah mencapai batas kemampuannya untuk melarutkan karbon pada temperatur tersebut. Pada temperatur dibawah titik 3 kemampuan melarutkan juga turun, berarti harus ada karbon yang keluar dari larutannya (austenit) dan memang dengan pendinginan yang lebih lanjut akan terjadi pengeluaran karbon, hanya saja karbon yang keluar ini berupa cementit dan akan mengendap pada batas butir austenit. makin rendah temperatur paduan maka semakin banyak cementit yang mengendap pada batas butiraustenit, dan austenit sendiri akan makin kaya Fe. Pada temperatur di titik 4, komposisi dari austenit tepat c) Transformasi pada Baja Hypereutectoid Perhatikan suatu paduan dengan 1,3 % C. Paduan mulai membeku pada titik 2 dengan membentuk austenit dan pembekuan selesai di titik2, seluruhnya sudah berupa austenit, selanjutnya sudah tidak terjadi perubahan lagi sampai temperatur mencapai garis solid A cm . Garis ini merupakan batas kealrutan karbon dalam austenit dan batas ini makin rendah dengan makin rendahnya temperatur. Pada titik 3 paduan telah mencapai batas kemampuannya untuk melarutkan karbon pada temperatur tersebut. Pada temperatur dibawah titik 3 kemampuan melarutkan juga turun, berarti harus ada karbon yang keluar dari larutannya (austenit) dan memang dengan pendinginan yang lebih lanjut akan terjadi pengeluaran karbon, hanya saja karbon yang keluar ini berupa cementit dan akan mengendap pada batas butir austenit. makin rendah temperatur paduan maka semakin banyak cementit yang mengendap pada batas butiraustenit, dan austenit sendiri akan makin kaya Fe. Pada temperatur di titik 4, komposisi dari austenit tepat

Gambar 1.9 : Transformasi baja hyper-eutectoid Sumber: Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:240)

2. Jenis - jenis reaksi yang terdapat pada diagram fase Fe-Fe 3 C

a) Reaksi Eutectoid Reaksi yang terjadi pada daerah dengan kadar karbon 0,8 % dan temperatur 723 ˚C. Reaksi ini terdapat dua padatan yaitu α dan β menjadi padatan baru yaitu α, begitu juga sebaliknya, padatan harus bereaksi menjadi α dan β.

Solid 1 + Solid 2 → Solid 3 Ferite + Pearlit → Austenit

b) Reaksi Eutektik Reaksi yang terjadi pada karbon 4,3% dan pada temperatur

1148 ˚C. Reaksi ini terdapat dua fasa padat yaitu A dan B kemudian bereaksi menjadi fase cair L, begitu juga sebaliknya.

A +B →

Solid 1+ Solid 2 → Liquid Ledeburit + Cementit

c) Reaksi Peritektik Reaksi yang terjadi pada temperatur 1493 ˚C daerah eutectoid. Reaksi ini terdapat dua padatan α dan δ yang bereaksi dan berubah menjadi fase cair (L), begitu juga sebaliknya.

Solid 1+ Solid 2

d) Solid solution Pada dasarnya suatu larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Sedangkan pada solid solution atau larutan padat, keadaan ini terjadi karena terdiri dari dua atau lebih jenis atom yang berkombinasi. Jika dilihat pada diagram fase Fe- Fe3C, solid solution terjadi pada fase austenite. Ketika suatu baja dipanaskan melebihi suhu dari austenite, sebagian dari karbon akan terlarut dan jika dipanaskan melebihi suhu austenite akan menjadi logam liquid.

1.1.5 Diagram TTT (Time Temperature Transformation)

Diagram TTT merupakan salah satu jenis diagram material yang bisa digunakan untuk memprediksi hasil akhir dari suatu transformasi. Banyak ahli metalurgi berpendapat bahwa waktu dan temperatur transformasi austenit mempunyai pengaruh yang besar terhadap produk hasil trasnformasi dan properties baja. Karena austenit tidak stabil dibawah suhu kritis bawah, sangat penting untuk diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk austenit selesai bertransformasi, dan bertransformasi menjadi apa pada akhirnya austenit tersebut pada temperatur konstan dibawah temperatur kritis bawah. Proses transformasi tersebut dinamakan Time Temperature Transformation (TTT).

Gambar 1.10 : Diagram TTT Sumber: Introduction to Physical Metallurgy, Sidney H. Avner (1974;271)

 Transformasi pada Diagram TTT Kalau baja diaustenitkan, kemudian dicelup dingin pada suhu dibawah titik transformnasi dan dibiarkan untuk sementara, austenit berada dalam keadaaan stabil dan setelah waktu yang tertentu akan terjaditransformasi. seperti ditunjukkan pada gambar 1.10, proses dimana struktur martensit didapatkan dengan cara pencelupan dingin tiba tiba setelah dibiarkan berada pada austenit yang menstabil, proses ini disebut ausforming.

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa di sebelah kiri kurva tidak terjadi deformasi, austenite hanya berubah kestabilan, selanjutnya austenite yang sudah tidak stabil tersebut mengalami dekomposisi secara isothermal. Pendinginan yang sangat cepat berpotensi terhadap hyper-eutectoid ukuran butiran anti kritis yang berubah disamping meningkatkan austenite yang dapat mendukung terbentuknya fase baru seperti mertensit. Ketika austnite didingikan secara lambat, struktur yang terbentuk adalah pearlite. Akibat dari laju pendinginan yang meningkat, maka temperature transformasi pearlite akan lebih rendah. Mikrosturktur material akan berubah secara signifikan akibat peningkatan laju pendinginan melalui sebuah pengujian pemanasan dan pendinginan. Kita dapat mencatat transformasi dari austenite

Perlit yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang lebih rendah dibanding Perlit yang halus. Hal ini erat kaitannya dengan kelakuan presipitasi sementit dari austenit,

Bainit yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang lebih rendah dibanding dengan Bainit yang terbentuk pada temperatur yang lebih rendah. Struktur Bainit yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi relatif berbeda dengan struktur bainit yang terbentuk pada temperatur yang lebih rendah.

Pembentukan Martensit sangat berbeda dibandingkan dengan Pembentukan perlit atau bainit. Pembentukan martensit hampir tidak tergantung

pada waktu. Sebagai contoh: Martensit mula terbentuk sekitar 200 0

C (Ms) dan terus berlanjut sampai temperatur mencapai 26 0

C yaitu pada saat Martensit mencapai 100% (Mf). Pembentukan martensit dikaitkan dengan waktu pada diagram dinyatakan

dengan garis horizontal. Pada 66 0

C hampir 60 % martensit telah terbentuk. Perbandingan ini tidak berubah terhadap waktu sepanjang temperaturnya dijaga konstan.

Bentuk diagram tergantung dari komposisi kimia terutama kadar karbon dalam baja. Posisi hidung dari diagram TTT dapat bergeser menurut kadar karbon. Posisi hidungbergeser makin ke kanan menunjukkan karbon itu semakin mudah untuk membentuk bainite atau martensit atau makin mudah untuk dikeraskan. untuk baja karbon kurang dari 0,83% yang ditahan suhunya pada titik tertentu akan menghasilkan struktur pearlit dan ferite.

Garis sebelah kiri menunjukkan saat setelah berapa lama dimulai transformasi dan garis disebelah kanannya adalah akhir transformasi (100%) pada tiap tiap suhu

1.1.6 Diagram CCT (Continuous Cooling Transformation )

Diagram Continous Cooling Transformation atau biasa disebut CCT diagram, merupakan diagram yang menggambarkan hubungan antara laju pendingin kontinu dengan fasa atau struktur yang terbentuk setelah terjadinya transformasi fasa secara teoritis. Kurva pendinginan CCT tidak terdapat pada TTT diagram dan berlangsung Diagram Continous Cooling Transformation atau biasa disebut CCT diagram, merupakan diagram yang menggambarkan hubungan antara laju pendingin kontinu dengan fasa atau struktur yang terbentuk setelah terjadinya transformasi fasa secara teoritis. Kurva pendinginan CCT tidak terdapat pada TTT diagram dan berlangsung

Hubungan pendinginan secara kontinyu terdapat pada tansformasi di diagram CCT. CCT diagram pada hakekatnya adalah turunan dari TTT diagram, yaitu dengan menggeser nose (merupakan titik penting terjadinya CCT) ke bawah.

Gambar 1.11 : Diagram CCT Sumber: Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:274)

 Transformasi pada Diagram CCT Terlihat bahwa dengan menggeser nose, maka proses pendinginan yang realtif lebih lambat dibanding TTT. Diagram untuk perbandingan kontinyu seringkali disebabkan oleh kelebihan diagram TTT yang memberikan perkiraan terhadap klasifikasi mikrostruktur baja selama pendinginan kontinyu.

Pada proses laju pendinginan perlahan akan menghasilkan pearlit, pada proses laju pendinginan yang sedang akan dihasilkan pearlit dan martensit. Pada laju pendinginan cepat akan menghasilkan yang seluruhnya martensit.

1.1.7 Pergeseran Titik Eutetectoid

Diagram fase Fe-Fe 3 C dibuat tanpa unsur paduan, jika terdapat unsur paduan maka diagram akan mengalami pergeseran, sedangkan pergeseran yang terjadi pada diagram ini dapat ditentukan dengan bantuan diagram berikut ini.

Gambar 1.12 : Pengaruh komposisi bahan Sumber: Introduction to Physical Metallurgy Avner (1974:353)

Dari diagram diatas terlihat komposisi unsur paduan mempengaruhi komposisi eutectoid dan suhu pada gambar. Unsur paduan menggeser temperatur eutectoid dari 723˚C menjadi naik atau turun tergantung jenis dari besarnya unsur paduan yang ditambah. Pergeseran dari diagram Fasa dapat dihitung dari pergeseran titik eutectoid

(perpotongan A C3 dan A cm pada diagram fasa) dengan rumus :

BAB II PENGUJIAN KEKERASAN

2.1 Definisi Kekerasan

Kekerasan suatu material didefinisikan sebagai kemampuan material untuk menahan tegangan, goresan, dan pantulan dari luar sehingga tidak mengalami kerusakan, dapat juga dikatakan sebagai kemampuan material dalam menahan terjadinya deformasi plastis.

Tujuan Pengujian :

1. Mengetahui angka kekerasan suatu bahan

2. Mengetahui pengaruh perlakuan panas terhadap kekerasan bahan

3. Mengetahui salah satu cara pengukuran kekerasan

4. Mengetahui perubahan struktur pada setiap perlakuan

2.2 Macam-Macam Metode Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Resistance to cutting or abration, yaitu dengan cara Moh’s. Metode pengujian kekerasan ini dilakukan dengan cara menggoreskan suatu material dengan standart yang telah diketahui nilai kekerasannya. Urutan kekerasan mineral berdasarkan cara Moh’s yaitu :

Tabel 2.1 Kekerasan material berdasarkan M oh’s Method Nomor Skala

Nama material

Skala kekerasan

Kalium, Natrium

Talk

Kalsium, Sulfur

Tembaga, Arsenik

Flourit, Besi

Apasit, Kobalt

Benlium, Molibdenum

Titanium, Mangan

Kwarsa, Vanadium

Korundum, Silicon

Sumber : Dokumentasi pribadi

Skala Moh’s jarang digunakan karena dalam pengujian bahan terdapat interval dengan skala yang tinggi. Sehingga hasil dari pengujian kurang tepat, terutama untuk logam. Logam umumnya memiliki skala Moh’s 4-8.

2. Resistance to indentation, yaitu dengan cara :

a. Brinell Test Pengukuran kekerasan ini dilakukan dengan cara menekan secara tegak lurus bola baja (indentor) yang sudah diketahui diamaternya kepada permukaan benda uji dengan gaya tekan (P) tertentu selama waktu tertentu pula (antara 10-30 a. Brinell Test Pengukuran kekerasan ini dilakukan dengan cara menekan secara tegak lurus bola baja (indentor) yang sudah diketahui diamaternya kepada permukaan benda uji dengan gaya tekan (P) tertentu selama waktu tertentu pula (antara 10-30

Keterangan : BHN 2 : Brinell Hardness Number (Kg/mm )

P : gaya tekan (Kg)

D : diameter indentor (mm)

d : diameter indentasi (mm) t

: kedalaman penekanan (mm)

Gambar 2.1 : Brinell Hardness Tester Sumber : Sidney H. Avner (1974)

Pengujian kekerasan ini menggunakan Electrical Brinell Hardness Tester. Untuk mendapat hasil yang akurat, pengujian ini harus dilakukan pada permukaan yang datar dan halus, kerak dan kotoran pada permukaan benda uji harus dihilangkan agar tidak terjadi kegagalan pada saat pengujian.

b. Vickers Test Prinsipnya sama dengan pengujian Brinell, hanya saja menggunakan indentor yang berbentuk piramid beralas bujur sangkar dngan sudut puncak antara b. Vickers Test Prinsipnya sama dengan pengujian Brinell, hanya saja menggunakan indentor yang berbentuk piramid beralas bujur sangkar dngan sudut puncak antara

dinyatakan oleh :

HV 2 = 1,854 P/d

Keterangan : P : beban yang ditetapkan 1 kg

d : panjang diagonal rata-rata α : Sudut antara permukaan intan yang berhadapan

Gambar 2.2 Pengujian kekerasan Vickers Sumber : Sidney H. Avner (1974)

Cara Vickers merupakan cara pengujian kekerasan yang paling sensitif. Cara ini memilliki satu skala kontinyu untuk semua material dan angka kekerasan Vickers tergantung dari beban yang diberikan. Sangat memungkinkan sekali penggunaan beban yang ringan pada pengujian cara Vickers oleh karena itu cara ini bisa digunakan untuk pengujian kekerasan pada material yang tipis sampai 0,005 in.

c. Rockwell Test Cara Rockwell menggunakan prinsip yang sama dengan cara Brinell hanya saja indentor yang dipakai ada 2 jenis dan berukuran lebih kecil daripada indentor pada Brinell. Indentor yang digunakan yaitu :

1. o Menggunakan kerucut intan, dengan sudut puncak 120 , ujung agak bulat, berjari - jari 0,2 mm.

2. Menggunakan bola baja berdiameter 1/16 in, 1/8 in, ¼ in, dan 1/2in. Rumus yang digunakan :

Keterangan : HRC = Angka kekerasan Rockwell K

= Konstanta; intan = 0,2 ; bola baja = 0,6

h 1 = Kedalaman akibat beban major (mm)

h 2 = Kedalaman akibat beban minor (mm)

c = Kontanta bahan yang akan diuji

Gambar 2.3 Pengujian Rockwell Sumber : Callister (2001:178)

Dalam cara Rockwell terdapat beberapa skala yaitu A sampai V. Masing – masing skala memiliki beban serta indentor tersendiri dan digunakan untuk kebutuhan tertentu. Skala A digunakan untuk material yang sangat keras, skala B Dalam cara Rockwell terdapat beberapa skala yaitu A sampai V. Masing – masing skala memiliki beban serta indentor tersendiri dan digunakan untuk kebutuhan tertentu. Skala A digunakan untuk material yang sangat keras, skala B

Tabel 2.2 Skala pada metode uji kekerasan Rockwell

Gambar 2.4 Skala kekerasan Rockwell Sumber : Sidney H. Avner (1974)

d. Knoop Hardness Metode Metode ini merupakan metode pengujian kekerasan untuk menguji

o kekerasan yang sangat rapuh. Metode ini menggunakan intan 172 untuk sisi

panjang, 170 untuk sisi pendek dan pengaturan menggunakan mikroskop.

Gambar 2.5 Knoop Hardness Metode Sumber : Sidney H. Avner (1974)

3. Elastic Hardness yaitu dengan cara Share Scleroscop Disebut juga sebagai metode pantulan. Pengujian dengan menggunakan intan Tipped Hommers (palu hitam) yang dapat dinaikkan pada ketinggian tertentu dan dijatuhkan secara bebas pada permukaan logam. Setelah menyentuh permukaan, intan akan memantul. Ketinggian pantulan menunjukan kekerasan yang diukur. Semakin tinggi pantulan menunjukkan kekerasan yang semakin besar. Prinsipnya adalah konversi energi dari energi potensial menjadi energi kinetik, sebagaian energi diserap oleh material dan sisanya menyebabkan terjadinya pantulan. Energi yang diserap sebenarnya menunjukkan resilience. Yaitu energi yang dapat diserap oleh material pada daerah elastis nya. Keuntungan dari cara ini adalah peralatan kecil dan bekas penetrasinya kecil, sehingga hampir tidak merusak bahan yang diukur.

Gambar 2.6 Shore Schleroscop Test Sumber : Sidney H. Avner (1974)

2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kekerasan

1. Kadar Karbon Semakin tinggi kadar karbon, maka logam akan semakin keras namun rapuh. Kadar karbon sebesar 0,6 – 1% merupakan kadar karbon yang sangat berpengaruh pada kekerasan logam. Setelah lebih dari 1% maka kadar karbon tidak berpengaruh pada nilai kekerasannya.

2. Unsur paduan

Unsur paduan akan mempengaruhi sifat mekanik logam (baja). Nikel, chromium, mangan, silicon, vanadium, cobalt merupakan beberapa contoh unsur yang dipadu dengan baja agar menghasilkan sifat baru.

3. Perlakuan panas Pengaruh perlakuan akan mempengaruhi kekerasan logam tergantung dari perlakuan apa yang diberikan. Annealing akan menurunkan kekerasan baja. Hardening akan meningkatkan kekerasan baja. Tempering akan menurunkan kekerasan baja dibawah perlakuan panas Hardening. Normalising akan meningkatkan kekerasan baja dibandingkan keadaan awal baja atau baja tanpa perlakuan panas.

4. Bentuk dan dimensi butir Material dengan ukuran butir kecil akan memiliki kekerasan yang tinggi dibanding butir besar yang memiliki kekerasan rendah. Material dengan butir halus akan memiliki kekerasan tinggi dibandingkan dengan material dengan butir kasar.

5. Homogenitas Homogenitas berpengaruh pada arah orientasi butir pada suatu material. Jika arah orientasi butir homogen maka diperoleh sifat ulet, sedangkan jika arah orientasi butir heterogen maka diperoleh sifat keras.

6. Konduktifitas termal Semakin tinggi kemampuan benda menghantarkan panas yang diterima akan menyebabkan laju pendinginan lebih cepat sehingga benda dengan konduktifitas termal tinggi dapat mempercepat laju pendinginan sehingga material semakin keras

2.4 Pembentukan Butir

Pembentukan butir terjadi pada saat logam cair membeku, atom- atom mengatur dan mengikuti suatu geometris. Mula-mula setelah terbentuknya inti stabil dalam logam yang membeku. Inti ini berubah menjadi kristal seperti pada gambar di bawah. Dalam tiap pembekuan kristal atom-atom diatur dalam pola yang teratur. Setelah proses ini selesai kristal-kristal ini bergabung dan membentuk batas kristal. Logam yang membeku dan mempunyai banyak jenis kristal disebut polikristal sedangkan logam yang telah membeku disebut butir dan permukaan singgung kristal disebut batas butir. Pada umumnya pertumbuhan kristal tidak merata, artinya pertumbuhan dalam arah tertentu lebih cepat.

Dengan menggunakan mikroskop logam, butir logam tersebut dapat kita lihat setelah permukaan logam dihaluskan, dipoles, dan dietsa dengan asam tertentu yang menampilkan batas butir tergantung pada laju pendinginan. Pada proses perndinginan, Dengan menggunakan mikroskop logam, butir logam tersebut dapat kita lihat setelah permukaan logam dihaluskan, dipoles, dan dietsa dengan asam tertentu yang menampilkan batas butir tergantung pada laju pendinginan. Pada proses perndinginan,

Secara khusus Indeks Miller (bidang kisi) ditentukan oleh tiga bidang bilangan bulat ρ min ditulis (h, k, l) dan indeks masing-masing menunjukkan pesawat orthogonal ke arah h, k, l dalam dasar dari kisi tepsiprokal vektor.

2.5 Struktur Kristal Logam

Pada analisa defraksi sinar-x menunjukkan atom dalam kristal logam disusun oleh pola ulang dimensional yang teratur. Susunan atom digambarkan sebagai bola kertas pada lokasi khusus dalam suatu geometri. Macam-macam kristal logam :

1. Body Centered Cubic (BCC)

Merupakan struktur yang mempunyai struktur di tiap sudut dan sebuah atom ada di pusat bodi kubus. Tiap atom sudut dikelilingi oleh 8 atom yang berbeda, seperti atom yang terdapat dalam titik pusat sel, misalnya Fe, Cr, dan Mn.

Gambar 2.7 Body Centered Cubic Sumber : Sidney H. Avner (1974)

2. Face Centered Cubic (FCC)

FCC berupa sebuah kubus dengan suatu atom di masing- masing sudutnya dan satu atom di masing-masing pusat sisinya. Sehingga dalam satu kristal terdapat

14 inti atom. FCC banyak dijumpai pada nikel, tembaga, aluminium

Gambar 2.8 Face Centered Cubic Sumber : Sidney H. Avner (1974)

3. Hexagonal Close Packed HCP berupa struktur hexagonal dengan satu atom di masing-masing sudutnya dan satu atom di pusat sisinya serta tiga atom di tengah bodinya sehingga total atom sejumlah 17 atom. Logam yang mempunyai struktur ini adalah seng dan mangan.

Gambar 2.9 Hexagonal Close Packed Sumber : Sidney H. Avner (1974)

2.6 Cacat Pada Logam Dan Dislokasi

1. Cacat Titik

Cacat adalah kerusakan atau ketidaksempurnaan susunan atom dalam kristal yang terjadi akibat kekurangan atau kelebihan atom. Macam-macam cacat antara lain :

a. Schottky Imperfection Karena adanya kekosongan pasangan ion . dalam . senyawa yang harus memiliki keseimbangan muatan.

b. Frankell Imperfection

Karena adanya perpindahan ion dari kisi ke tempat sisipan

Gambar 2.10 Macam-macam cacat titik Sumber : Sidney H. Avner (1974)

2. Cacat Garis (dislokasi) Dislokasi ini merupakan gabungan dari cacat titik. Dislokasi adalah ketidak sempurnaan periodik atom dalam kristal yang membentuk satu jalur tertentu. Dislokasi pada kristal merupakan cacat yang menyebabkan gejala slip (luncur) maupun sebagai penyebab dari sebagaian besar logam yang berubah bentuk secara plastis. Pada gambar AB menggarkan suatu dislokasi yang terletak dalam bidang slip, yaitu bidang kertas, misalkan bahwa bidang slip sedang menuju ke sebelah kanan sebuah atom-atom sebelah antar D belum mengalami slip, maka AB nerupakan perbatasan antara daerah slip dengan daerah tanpa slip.

Gambar 2.11 Dislokasi dalam bidang slip Sumber : Sidney H. Avner (1974)

Dislokasi dibagi menjadi dua jenis yaitu dislokasi sisi dan dislokasi ulir. Kondisi keduanya dinamakan dislokasi campuran

a. Dislokasi sisi Dapat digambarkan sebagai satu sisipan bidang atom tambahan dalam struktur kristal di sekitar lokasi dislokasi terdapat daerah yang mengalami tekanan dan tegangan sehingga terdapat energi tambahan di samping dislokasi tersebut disebut vektor geser, vektor ini tegak lurus pada garis dislokasi tersebut.

Gambar 2.12 Susunan atomic dalam dislokasi Sumber : Sidney H. Avner (1974)

b. Dislokasi ulir Menyerupai spiral dengan garis cacat sepanjang sumbu ulir. Vektor luncurnya sejajar dengan garis dislokasi. Atom-atom di sekitar dislokasi ulir mengalami gaya geser. Oleh karena itu, disana terdapat energi tambahan. Dislokasi ini memudahkan pertumbuhan kristal, karena atom dan sel tambahan dapat bertumpuk pada setiap anak tangga ulir.

Gambar 2.13 Susunan atomic dislokasi ulir Sumber : Sidney H. Avner (1974)

c. Dislokasi campuran Dislokasi mudah terjadi sewaktu bahan mengalami deformasi . dimana suatu pergeseran dapat mengakibatkan dislokasi ulir maupun dislokasi sisi. Keduanya menghasilkan deformasi akhir yang sama dan sebetulnya dihubungan satu sama lainnya oleh garis dislokasi yang terjadi.

Gambar 2.14 Susunan atomic dalam dislokasi campuran Sumber : Smith, WF (1988, 133)

3. Cacat Bidang

a. Cacat permukaan luar (external surface) Permukaan batas struktur kristal, sehingga koordinat atom pada permukaan memiliki energi yang paling tinggi dan ikatannya kurang kuat karena memiliki tetangga pada satu sisi saja.

Gambar 2.15 Macam-macam cacat 2 dimensi Sumber : Djupne Snah (1983, 288)

b. Planar defect Pada batas antara dua butir yang berdasarkan terdapat daerah transisi yang titik searah dengan pola kedua butiran.

4. Slip Terjadinya pergeseran kristal relatif terhadap bagian kristal lainnya, sepanjang bidang kristolografi tertentu. Bidang terjadinya slip disebut bidang slip (slip direction), umumnya bahwa slip lebih mudah terjadi pada daerah yang lebih 4. Slip Terjadinya pergeseran kristal relatif terhadap bagian kristal lainnya, sepanjang bidang kristolografi tertentu. Bidang terjadinya slip disebut bidang slip (slip direction), umumnya bahwa slip lebih mudah terjadi pada daerah yang lebih

Gambar 2.16 Slip Sumber : Sidney H. Avner (1974)

5. Twinning (kembaran)

Suatu fenomena adanya perubahan arah orientasi suatu bagian butir kristal sehingga susunan atom di bagian tersebut akan simetri dengan bagian lain yang tidak mengalami perubahan. Bidang yang merupakan pusat simetri dan menjadi cermin antara kedua bagian ini disebut bidang kembaran (twinning plan).

Gambar 2.17 Twinning Sumber : Sidney H. Avner (1974)

BAB III PENGUJIAN KEKUATAN KEJUT

3.1 Definisi Kekuatan Kejut

Kekuatan kejut adalah kemampuan suatu bahan untuk menahan beban dinamis atau mendadak yang dapat menyebabkan rusak atau patah.

3.2 Macam-Macam Metode Pengujian Impact

Percobaan impact yang digunakan untuk menghitung besarnya kekuatan impact suatu logam ada 3 macam, yaitu:

1. Pengujian Pukul Takik (Beam Impact Test) Pengujian ini digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu logam untuk menahan beban kejut. Percobaan ini memakai spesimen yang bertakik, cara pembebanan ini ada 2, yaitu:

a. Cara Pembebanan Charpy Pada percobaan ini benda kerja mempunyai ukuran yang standar, takik diletakkan pada landasan dengan posisi takik membelakangi pendulum yang akan memberi beban kejut sehingga mengenai bagian punggung notch. Cara ini banyak digunakan di Amerika.

Gambar 3.1: Cara Pembebanan Uji Charpy Sumber: Pengujian Logam, Edih Supardi (1999:113) Gambar 3.1: Cara Pembebanan Uji Charpy Sumber: Pengujian Logam, Edih Supardi (1999:113)

Gambar 3.2: Cara Pembebanan Uji Izod Sumber: Pengujian Logam, Edih Supardi (1999:113)

2. Pengujian Tarik Kejut (Tension Impact Test) Salah satu ujung spesimen dijepit dan pada ujung yang lain diberi beban tarik secara kejut. Percobaan ini biasanya digunakan pada bahan yang bersifat ulet. Spesimen bisa diberi notch atau tidak.

3. Pengujian Puntir Kejut (Torsion Impact Test) Salah satu ujung spesimen dijepit dan pada ujung yang lain diberi beban puntir secara kejut. Dalam hal ini masih ada batas mulur dan batas patah, tetapi tidak ada kontraksi. Tegangan puntir pada titik beratnya sama dengan nol dan semakin keluar semakin bertambah.

3.3 Tipe dan Macam Notch pada Spesimen

Pembagian jenis spesimen impact ditinjau dari bentuk notch-nya yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. V Notch Bentuk notch-nya seperti huruf V. Mudah untuk melakukan pengujiannya karena bendanya kecil.

Gambar 3.3: Bentuk V notch Sumber: Introduction to Physical Metallurgy, Sidney H. Avner (1974:43)

2. Key Hole Notch Notch -nya berbentuk seperti lubang kunci, untuk melakukan pengujiannya cukup sulit dibandingkan dengan U notch, ukuran notch-nya lebih dalam dibandingkan V notch, jadinya cukup sulit spesimen tersebut patah.

Gambar 3.4: Bentuk notch Key hole Sumber: Introduction to Physical Metallurgy, Sidney H. Avner (1974:43)

3. U Notch Notch -nya berbentuk seperti huruf U. Karena bentuk notch-nya membetuk huruf U yang tumpul, mengakibatkan spesimen tersebut sulit untuk patah ketika diuji kejut.

Gambar 3.5: Bentuk U notch Sumber: Testing Of Metal, Alok Nayar (2005:75)

3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Impact

Kekuatan impact adalah kekuatan spesimen terhadap impact (beban kejut). Dinyatakan dengan banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan material tersebut. Faktor-faktor yang mempengatuhi kekuatan impact:

1. Bentuk dan Ukuran Notch Takik atau notch yang semakin sudutnya kecil akan mendukung sering terjadinya patahan karena takik merupakan tempat pemusatan tegangan saat benda diberi beban kejut.

2. Kadar Karbon Semakin tinggi kadar karbonnya, maka impact strength-nya semakin rendah karena karbon mempunyai sifat rapuh.