Pertemuan 4 – Televisi Publik, Televisi Komersial, Televisi Komunitas
Televisi Publik
Televisi merupakan salah satu bagian dari media konvensional yang memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat di era digital saat ini. Luasnya jangkauan
penyiaran televisi membuat televisi memiliki pengaruh yang juga cukup besar dalam
masyarakat terutama di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh riset yang dilakukan Nielsen
pada bulan Mei tahun 2014 lalu yang menyebutkan bahwa 95 % penduduk Indonesia secara
keseluruhan (Jawa maupun Luar Jawa) masih menjadikan televisi sebagai media utama yang
paling banyak dikonsumsi. Tercatat juga bahwa jenis acara yang paling banyak ditonton
merupakan jenis acara entertainment yang biasanya dibuat oleh televisi swasta seperti:
comedy, drama, movie, talent show dan variety show.
Program-program tayangan seperti yang disebutkan diatas kiranya bukan termasuk
bagian dari tujuan dan fokus televisi publik. Hal tersebut dikarenakan terdapat perbedaan
secara fundamental antara layanan penyiaran komersial dan publik dalam hal asumsi tentang
budaya dan politik penyiaran, perbedaan tersebut terkait erat dengan bagaimana setiap sistem
mendedfinisikan
hubungan
antara
lembaga
dengan
penonton
(Ang,
1991:27,
Kitley,2001:75).Saat ini, terdapat banyak stasiun televisi publik dengan latar belakang yang
bervariasi yang sebagian besar berasal dari perbedaan tradisi dan budaya politik masingmasing negara, seperti BBC (British Broadcasting Corporation) di Inggris, ABC (Australian
Broadcasting Corporation) di Australia, NHK (Nippon Hoko Kyokai) di Jepang. Oleh karena
perbedaan latar belakang tersebut, definisi tunggal/akurat tentang televisi publik menjadi sulit
untuk didefinisikan. Namun, secara umum terdapat karakteristik dari sistem penyiaran publik
menurut Ang (1991, 28) yakni ditandai dengan rasa tanggung jawab terhadap budaya dan
akuntabilitas sosial, yang dengan tegas menentang pernyataan dari layanan komersial tentang
‘memberikan apa yang diinginkan penonton’.
Menurut Losifidis (2007) ada beberapa kewajiban umum yang diberikan kepada
televisi publik, yaitu :
Universalitas konten dan akses
Penyediaan program yang berkontribusi terhadap kerukunan sosial dan proses
deomkrasi
Menetapkan standar kualitas yang tinggi hiburan, pendidikan dan informasi
Berkontribusi pada pluralisme politik dan keragaman budaya
Memperkaya kehidupan individu melalui sejarah, seni dan sains
Pelestarian dan promosi budaya nasional dan warisan
Independensi editorial dan akuntabilitas
Melayani kebutuhan masyarakat yang semakin beragam kebudayannya (kebijakan
baru)
TVRI Sebagai Televisi Publik
Di Indonesia sejarah media penyiaran dimulai sejak berdirinya stasiun televisi
pertama kali pada tanggal 24 Agustus 1962. Tujuannya didirikannya stasiun televisi ini
adalah untuk menyiarkan Upacara Hari Peringatan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian
dilanjutkan dengan liputan Asian Games yang ke 4 di Jakarta. Setelah berhasil mengudara
menyiarkan pesta olah raga Asian Games tersebut, pada tanggal 20 Oktober 1963 dibentuklah
Yayasan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sesuai dengan keputusan Presiden RI No. 215
tahun 1963 tentang pembentukan yayasan TVRI.
Seiring perkembangannya, TVRI yang saat itu biaya operasionalnya dibiayai oleh
negara melalui APBN, menjadi sangat kuat dalam hal modal karena keluasan jangkauannya,
sehingga mampu menarik pemodal untuk memasang iklan di TVRI. Perolehan dana yang
didapat dari pemasangan iklan mencapai 17 hingga 20 milyar (1976-1977) dan menyumbang
34% anggaran televisi nasional. Namun sejak tahun 1981 dengan berbagai alasan politis
mengenai konsep pemerataan iklan, TVRI sudah tidak boleh menanyangkan iklan lagi.
Persaingan global pun dimulai semenjak pemerintah mengijinkan televisi swasta
beroperasi di Indonesia pada tahun 1988. Dimulai dengan RCTI yang awalnya merupakan
siaran berlanggan dengan audiens yang terbatas pada kalangan tertentu, hingga muncul
televisi-televisi swasta lainnya pada tahun berikutnya. Sampai saat ini sudah terdapat 15
televisi yang melakukan siaran dengan skala nasional, 14 diantaranya merupakan televisi
swasta dan 1 milik negara. Berkaitan dengan perkembangan tersebut, yang juga masih
ditambah dengan berdirinya televisi lokal, persaingan menjadi semakin sulit dan ketat dalam
hal meningkatkan jangkuan audiens.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menetapkan
TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang berbentuk badan hukum yang didirakan oleh
negara. Semangat yang mendasari TVRI menjadi televisi publik adalah untuk menjadi
lembaga penyiaran yang didirikan oleh negara yang bersifat independen, netral, tidak
komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan
UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 11 (1). Namun, dari sengitnya persaingan
antar industri pertelevisian di Indonesia membuat TVRI menjadi tersisihkan oleh karena
konten program-programnya yang dinilai kurang variatif jika dibandingkan dengan televisi
swasta nasional lainnya. Strategi pemrograman berkaitan dengan persaingan konten acara
TVRI dalam fungsinya sebagai televisi publik menjadi penting, mengingat tingkat audiens
TVRI tidak sebanyak seperti televisi swasta nasional.
Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 11 (1) TVRI
berkewajiban untuk memberikan independsi informasi, menyediakan keberagamanan
program, dapat menjangkau minoritas dan mendidik masyarakat melalui informasi. Berbeda
dengan acara-cara yang disiarkan pada televisi swasta yang mayoritas berisikan tayangan
hiburan. Acara-acara seperti infotainment, reality show, dan sinetron merupakan acara yang
lebih banyak diminati daripada acara-acara yang mendidik dan penuh informasi. Berdasarkan
hal tersebut, tayangan yang mendidik distigmakan sebagai acara yang membosankan.
Seberapa banyak audience dari sebuah stasiun televisi menjadi ukuran yang
menentukan kesuksesan stasiun televisi tersebut. Hal ini dikarekanan hubungan audeience
dengan televisi sangat kuat, mengingat tidak ada televisi yang bisa bertahan tanpa
audiencenya. Menurut Perebinossof, Gross, dan Gross (2005) apabaila televisi mampu
menyediakan kebutuhan informasi bagi audiencenya akan terciipta hubungan yang kuat
antara televisi dan audience tersebut, namun jika televisi tidak mampu memenuhi kebutuhan
tersebut maka audience tersebut akan memindahkan channel ke televisi lain.
Pemrograman TVRI sebagai Televisi Publik
Tujuan dari diadakannya pemrograman ini tidak lain adalah untuk menarik perhatian
audiencenya, agar mampu menjangkau pemirsa dengan seluas mungkin dengan target
audience yang spesifik, penghargaan dan perstige serta dapat mewadahi kepentingan umum
maupaun nasional. Menurut Morissan (2008), kesuksesan program televisi mengacu pada
teknik, program dan pemasaran. Morissan juga membagi strategi pemrogaman televisi
menjadi 3 bagian yakni, perencanaan program, eksekusi program, pengawasan dan evaluasi
program.
Perencanaan Program
Sebagai Layanan Penyiaran Publik, TVRI perlu menyesuaikan output program agar
sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No 13 tahun 2005 yang memberikan layanan
informasi, kontrol dan perekat sosial, pendidikan dan hiburan yang sehat, serta melestarikan
budaya bangsa untuk kepentingan setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Hal-hal yang perlu
dibicarakan dalam perencanaan ini terkait didalamnya mengenai jenis program, jadwal
tayang, dan hubungannya dengan pengiklan. Jenis program yang nantinya akan ditanyangkan
tidak lepas dari audiens yang akan dituju. Program yang nantinya sesuai dengan audiens yang
dituju akan meningkatkan rating suatu program sehingga dapat menarik pengiklan untuk
beriklan pada program tayangan tersebut. Meskipun TVRI bukan seperti institusi atau
lembaga yang berorientasi pada profit, namun TVRI juga menerima iklan, hanya saja dibatasi
porsinya.
Eksekusi Program
Program-program yang dibuat oleh TVRI tidak dapat bersaingdengan televisi-televisi
swsata lainnya oleh karena perbedaan tujuan yang sudah ditetapkan oleh negara. Faktor lain
adalah karena keterbatasan dana untuk membuat program acara seperti sinetron. Makan dari
itu program acara pada TVRI lebih mengusung tema-tema sosial, budaya, dan politik seperti
acara Pendopo, Parodi Politik dan lain-lain.
Pengawasan dan Evaluasi Program
Pelaksanaan evaluasi tidak hanya dilakukan di akhir setelah program selesai tayang
namun juga sebelum tayang. Evaluasi yang dilakukan diawal ini bertujuan untuk melihat
apakah ide dari suatu program acara tersebut layak atau masih membutuhkan perbaikan.
Terdapat 4 lapisan pengawas pada Lembaga Penyiaran Publik TVRI yakni yang berasl dari
intern (divisi program, produser program, dan penanggung jawab program), pengawasan
yang ditunjuk langsung oleh pemerintah yakni KPI, pengawasan dari masyarakat, serta
pengawas dari pihak luar yang memang dikontrak secara khusus untuk memantau siaran
TVRI.
TELEVISI KOMUNITAS
Televisi komunitas lahir menjadi tonggak baru dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Media komunitas ini hadir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman
kepemilikan (divesity of ownership), yang juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity
of content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya yang juga
beragam. Karena keberagaman kepemilikan itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol
sendiri (self controling) terhadap isi siaran. Pengelola televisi komunitas tidak bisa sewenangwenang menayangkan program isi siaran yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun
budaya lokal (Budhi,2008).
Melalui UU Penyiaran No 32 diharapkan terwujud desentralisasi penyiaran, dimana
memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran
yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai atau norma setempat. UU ini juga
memberikan celah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang penyiaran.
Televisi komunitas hadir untuk memberikan alternatif informasi dan hiburan bagi
khayalak pemirsa di komunitasnya. Jika industri penyiaran melalui televisi swasta
mendefinisikan khalayak pemirsa televisi hanya sebagai objek pasif yang menerima apa yang
disampaikannya, di mana khalayak diposisikan tidak punya kuasa dalam relasi kapital media
mainstream. Maka televisi komunitas kebalikannya, sebagai media non komersial, ia
menempatkan warga komunitas (khalayak penonton) sebagai “produser” yang memiliki
kuasa atas segala informasi dan hiburan yang dibutuhkan komunitas itu sendiri.
Ada dua ragam progres berdirinya televisi komunitas di Indonesia. Kelompok
pertama, adalah televisi yang telah memiliki perangkatsiaran televisi komunitas yang berasal
dari Departemen Pendidikan Nasional. Mereka mengudara untuk me-relay program siaran
pendidikan (TV Education) yang disiarkan Pusat Teknologi dan Komunikasi Depdiknas
maupun program siaran yang dikelola oleh siswa-siswi sekolah tersebut.
Kondisi tersebut cukup dipahami karena proses pendirian media komunitas tersebut
top down, di mana pemerintah melalui Depdiknas yang menginisiasi adanya televisi untuk
pendidikan melalui sekolah-sekolah. Idealnya memang ada aturan tersendiri berupa lembaga
penyiaran pendidikan, namun karena regulasi penyiaran yang ada di Indonesia adalah
Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan,
dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Kelompok yang termasuk dalam kelompok pertama ini
adalah, televisi komunitas yang berada di kampus atau perguruan tinggi. Awalnya sebagian
besar adalah sebagai laboraturium praktek mahasiswa, khususnya jurusan komunikasi atau
broadcasting.
Kelompok kedua, adalah televisi komunitas yang tumbuh atas dasar inisiatif warga
masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada orang atau beberapa orang aktivis setempat yang
menginisiasi berdirinya televisi komunitas. Contohnya adalah Grabag TV yang merupakan
televisi komunitas yang dipegang oleh Hartanto dari Insitut Kesenian Jakarta dan
mendapatkan dukungan dari masyarakat desa Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Pada Mei
2008 diselenggarakan “Temu Nasional Televisi Komunitas” di Grabag TV, Magelang yang
di mana mendeklarasikan Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia
Tantangan
bagi penggiat televisi
komunitas
adalah menjaga sustainbilitas
(keberlangsungan) siaran televisi dengan mengandalkan peran dan partisipasi warga
komunitasnya khususnya dalam pembiayaan. Semakin tinggi peran dan partisipasi warga
dalam pengelolaan televisi semakin panjang “umur” media komunitas tersebut. Jika tidak
mampu mendorong partisipasi warga dengan baik media komunitas itu tidak bisa berumur
panjang. Tidak jarang media komunitas terpaksa gulung tikar karena ditinggalkan oleh
penggiat media tersebut. Karena proses pengkaderan dalam Lembaga Penyiaran Komunitas
menjadi hal yang krusial dan harus disiapkan dengan baik untuk menjaga keberlangsungan
media itu sendiri.
Bagi televisi komunitas berbasis warga yang mampu mendorong partisipasi warga
dengan baik, tentu tidak mengalami kesulitan dalam menggalang dukungan warga dalam
proses perijinan.
Dalam konteks pembangunan daerah, berkenaan apa media komunitas terutama
memiliki signifikasi, maka upaya pemberdayaan dan aktualisasi potensi-potensi lokal
menjadi hal yang sangat utama. Pembangunan daerah dengan demikian tidak harus diartikan
sebagai kemandirian masyarakat suatu daerah (atau para warga suatu komunitas) – dalam arti
tidak memiliki ketergantungan dengan daerah lain (atau dengan para warga komunitas lain)
tetapi yang lebih penting adalah apresiasi dan optimalisasi pemanfaatan potensi dan produkproduk lokal (daerah) demi lebih tercukupinya kebutuhan warga daerah. Pembangunan
daerah dengan demikian diharapkan dapat memperkokoh nilai-nilai budaya lokal (daerah)
yang selanjutnya juga dapat memperkokoh nilai-nilai dan identitas budaya bangsa.
Bertolak dari berbagai pemikiran sebagaimana telah dikemukakan maka peran media
komunitas dapat dikembangkan dengan memberikan titik berat terutama pada:
1. Informasi
Peran ini berkenaan dengan peran media komunitas dalam upaya penyebarluasan
informasi dan pengetahuan mengenai gerak dan laju pembangunan dengan
mengindahkan keragaman perspektif. Suatu peristiwa diberitakan bukan hanya dari
sisi kepentingan pemerintah tetapi juga kepentingan rakyat banyak, bukan hanya dari
sisi kepentingan kelompok dominan tetapi juga kelompok minoritas dari warga
komunitas.
2. Forum diskusi publik
Dalam hal ini media komunitas diharapkan memiliki peran yang nyata dalam
memfasilitasi berkembangnya diskusi publik (di antara warga komunitas) berkenaan
dengan persoalan-persoalan penting yang berkenaan dengan warga komunitas serta
persoalan-persoalan lain yang lebih luas yakni menyangkut hubungan atau interaksi
warga komunitas dengan warga lain bahkan juga urusan atau persoalan nasional.
3. Membantu mencapai kesepakatan untuk mengatasi persoalan
Sangat disarankan bahwa lacakan jurnalistik media komunitas lebih mengedepankan
pencapaian jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bersama dalam
masyarakat (problem-solving oriented). Hal demikian dapat dilakukan misalnya
dengan cara pemilihan sumber yang berimbang di antara kelompok-kelompok
kepentingan dan/atau kelompok kekuatan dalam masyarakat/komunitas seraya tetap
berpijak pada nilai-nilai budaya yang ada seperti misalnya sitik pada eding, aja
leluwihan, aja dumeh, dan tepo seliro.
4. Menggelorakan semangat partisipasi
Upaya pembangunan, termasuk pembangunan daerah mutlak memerlukan partisipasi
seluruh elemen masyarakat. Dalam hubungan ini terdapat suatu postulat yang
mengatakan bahwa rakyat tidak akan bersedia berjoang dan berkorban untuk
pembangunan, kecuali apabila ia yakin akan tujuan pembangunan itu (Kadir, 1983).
Mengacu pada konteks sekarang maka postulat ini barangkali dapat sedikit diubah
menjadi: rakyat tidak akan mau ikut berpartisipasi dalam pembangunan sampai
mereka meyakini manfaat dari pembangunan.
Postulat-postulat ini menyiratkan beberapa hal menarik, yaitu: 1) Bahwa
pembangunan pada dasarnya merupakan suatu gerakan yang membutuhkan partisipasi; 2)
Bahwa partisipasi dalam pembangunan bersifat sukarela (tidak bersifat paksaan); 3) Bahwa
rakyat atau masyarakat, supaya mau berpartisipasi, harus dibuat mengetahui dan meyakini
manfaat-manfaat pembangunan; 4) Bahwa semua pihak (pemerintah dan masyakat) harus
saling bekerjasama dengan sinergis dan harmonis. Hal demikian hanya mungkin kalau semua
pihak bekerja dan/atau melayani dengan hati.
TELEVISI KOMERSIAL
Sebagaimana yang telah tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2002 pasal 16, lembaga
Penyiaran Swasta adalah “lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan
hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau
televisi”. Persoalan utama dalam Lembaga Penyiaran Swasta yang berkembang di Indonesia
adalah ihwal kepemilikan saham usaha dan monopoli. Sebagaimana diketahui di dunia
pertelevisian nasional, dalam era Orde Baru, jagad pertelevisian dibatasi oleh dominasi asas
tunggal dari TVRI sebagai satu-satunya sumber informasi yang absah dari pemerintah. Sejak
didirikan tahun 1962, dominasi TVRI telah menghalangi sektor swasta untuk membangun
bisnis media televisi komersial.
Baru pada pertengahan 1980-an, pemerintah Orde Baru mulai menerapkan beberapa
deregulasi ekonomi. Berbagai faktor, seperti menurunnya harga minyak di pasaran
internasional, memaksa pemerintah agar lebih terbuka terhadap tuntutan-tuntutan kapitalisme
global yang bersumber pada kaidah-kaidah neo-liberal. Pemerintah tak bisa menghindar dari
arus besar yang menghendaki liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. State regulation mau
tak mau harus digantikan, atau setidak-tidaknya mulai dikombinasikan dengan prinsip-prinsip
market regulation. Kondisi ini kemudian yang mendahului terbukanya kesempatan dalam
membuka iklim penyiaran dari kalangan peluang untuk mendirikan televisi swasta baru
muncul ketika Soeharto membuka keran kapitalisasi industri media kepada anak-anaknya dan
kerabat dekatnya sendiri. Bambang Tri Hatmodjo dengan RCTI, Siti Hardiyanti Rukmana
dengan TPI, kemudian Salim Group (pengusaha yang dekat dengan Soeharto), dan
sebagainya. Masuknya pengusaha-pengusaha tersebut baru menguat menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru. Suntikan investasi pertelevisian—jika dilihat barusan—menyimpan
kadar nepotisme dan politisasi yang kental.
Dilihat secara etimologis, maka lembaga penyiaran komersial merupakan industri
media yang memang didirikan untuk memenuhi kebutuhan atas keuntungan ekonomi
(komersialisasi). Karena memiliki tujuan komersial, maka khalayak yang hendak dibidik
untuk memperluas keuntungan usaha adalah khalayak yang umum, bukan bersifat spesifik
seperti lembaga penyiaran komunitas. Landas-tumpu kegiatannya didasarkan keuntungan,
sehingga untuk menciptakan keuntungan tersebut, lembaga media komersial harus
menyesuaikan program acaranya dengan keinginan khalayak pasar komersial.
Maka, jika pasar menghendaki siaran yang berorientasi hiburan, pada saat itu pula
logika industri media akan mengikuti apa yang sedang menjadi trend yang diminati dalam
pasar. Logika pasar semacam ini juga memiliki konsekuensi atas luas jangkauan siarannya.
Dalam praktiknya, lembaga penyiaran komersial acapkali melanggar ketentuan perundangundangan yang mengamanatkan—misalnya dalam televisi—siaran yang berjaringan.
Faktanya, ketentuan semacam ini dilanggar demi kepentingan komersialisasi. Umumnya, luas
jangkauan area siaran dapat lebih dari satu propinsi, akan tetapi memiliki batasan tertentu.
Misalnya, tidak boleh lebih dari “X” persen pemirsa nasional (misal 40%) dihitung dari
jumlah rumah tangga yang dapat menerima siarannya. Tidak diperkenankan siaran TV
komersial dengan jangkauan siaran nasional. Dasar pertimbangan “X” agar semua stasiun
dapat mengembangkan sistem afiliasi berdasar formula kepemilikan dan operasi tertentu.
Namun, sekali lagi, dalam praktiknya, idealisasi semacam ini kerap dilanggar.Karena
memakai dasar pertimbangan logika pasar, maka ukuran kesuksesan dari pencapaian suatu
lembaga media komersial adalah dengan mengukur dari rating yang telah didapat, untuk
masing-masing program siarannya dan dari pemasukan iklannya (karena rating program yang
tinggi akan menarik pemasang iklan). Tidak seperti dalam lembaga penyiaran publik yang
berlaku pembatasan porsi iklan, maka pada penyiaran swasta-komersial, jumlah materi
iklannya tidak dibatasi. Format badan usaha lembaga media penyiaran swasta umumnya
berbentuk PT (Perseroan Terbatas), dengan pengambil keputusan tertinggi berada pada para
pemilik modal atau komisaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
PP No 11 tahun 2005
Lembaga Penyiaran Publik / Televisi Publik:
Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang
didirikan oleh negara, bersifat independen, netral,tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untukkepentingan masyarakat.
Lembaga penyiaran publik membuka ruang publik (public sphere) denganmemberikan hak
memperoleh informasi yang benar (right to know) danmenyampaikan pendapat atau aspirasi
(right to express) bagi masyarakat sehinggamenempatkan masyarakat sebagai warga negara.
Lembaga penyiaran publik diperlukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesiayang
merupakan negara kepulauan, berfungsi sebagai identitas nasional (flagcarrier), pemersatu
bangsa dan pembentuk citra positif bangsa di duniainternasional, selain bertugas menyiarkan
informasi, pendidikan, budaya, danhiburan.
Lembaga penyiaran publik mempunyai prinsip:
a. Siarannya harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayahNegara
Kesatuan Republik Indonesia (general geographical availability);
b. Siarannya harus mencerminkan keragaman yang merefleksikan strukturkeragaman, realitas
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
c. Programnya harus mencerminkan identitas dan budaya nasional;
d. Penyajian siarannya hendaknya bervariasi.
TENTANG KOMERSIALITAS TVRI DALAM PP NO 11 TAHUN 2005
Pasal 5 ayat (4)
Untuk menunjang peningkatan kualitas operasional penyiaran,RRI dan TVRI dapat
menyelenggarakan kegiatan siaran iklan danusaha lain yang sah yang terkait dengan
penyelenggaraanpenyiaran.
Siaran Iklan
Pasal 25
(1) Materi siaran iklan harus sesuai kode etik periklanan, persyaratan yang dikeluarkan oleh
KPI, dan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku.
(2) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untukanak-anak wajib mengikuti
standar siaran untuk anak-anak.
(3) Iklan rokok pada lembaga penyelenggara penyiaran radio dantelevisi hanya dapat
disiarkan pada pukul 21.30 sampai denganpukul 05.00 waktu setempat.
(4) RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal wajib menyediakanwaktu untuk siaran
iklan layanan masyarakat yang dilakukan dalam waktu yang tersebar mulai dari pukul 05.00
sampai denganpukul 22.00 waktu setempat dengan harga khusus, atau jika dalamkeadaan
darurat ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengankeperluan.
(5) Waktu siaran iklan niaga RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal paling
banyak 15% (lima belas perseratus) dari seluruh waktusiaran setiap hari.
(6) Waktu siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 30% (tigapuluh perseratus) dari
siaran iklannya setiap hari.
(7) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalamnegeri.
TVRI memang berbeda dengan Lembaga Penyiaran Publik negara lain, dibandingkan dengan
BBC Inggris yang mendapatkan 100% dana berasal dari masyarakat melalui licence fee.
NHK Jepang mendapatkan pendapatan dari iuran masyarakat mencapai Rp 60 trilyun dalam
satu tahun, berbeda juga dengan ABC Australia yang mendapatkan dana 100% semuanya
dari APBN Australia. Ketiga stasiun televisi publik milik pemerintah itu, sama sekali tidak
menayangkan iklan komersial.
PP NO 51 TAHUN 2005
TENTANG LEMBAGA PENYIARAN KOMUNITAS (TV KOMUNITAS)
Lembaga Penyiaran Komunitas adalah lembaga penyiaranradio atau televisi yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani
kepentingan komunitasnya.
RADIUS
Pasal 5
(1) Radius siaran Lembaga Penyiaran Komunitas di batasi maksimum 2,5 km (dua setengah
kilometer) dari lokasi pemancar atau dengan ERP (effective radiated power) maksimum 50
(lima puluh) watt.
Isi Siaran
Pasal 18
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga
persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(2) Isi siaran Lembaga Penyiaran Komunitas wajib memuat paling sedikit 80% (delapan
puluh perseratus) mata acarayang bersumber dari materi lokal.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan danpemberdayaan kepada khalayak
khusus, yaitu anak-anakdan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktuyang
tepat, dan Lembaga Penyiaran Komunitas wajibmencantumkan dan/atau menyebutkan
klasifikasikhalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran Lembaga Penyiaran Komunitas wajib menjaganetralitasnya dan tidak boleh
mengutamakan kepentingangolongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang:a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/ataubohong; b.
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat
terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, danantargolongan
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan,melecehkan, dan/atau mengabaikan
nilai-nilai agama,martabat manusia Indonesia, atau merusak hubunganinternasional.
(7) Isi siaran yang bersumber dari luar negeri dapat disiarkansepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasionaldan tata nilai yang berlaku di lokasi
Lembaga PenyiaranKomunitas.
(8) Isi siaran wajib mengikuti Pedoman Perilaku Penyiaran danStandar Program Siaran
yang ditetapkan oleh KPI.
Larangan Siaran Iklan Komersial,
Kode Etik dan Tata Tertib
Pasal 27
Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial,
lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Penyiaran
Pasal 37
(3) Alat dan perangkat penyiaran yang digunakan mengutamakan produksi dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Brown, James A. 1998. Media Literacy Perspectives, Journal of Communication, edisi
Winter
Kitley, Philip. 2000. Television, Nation, and Culture In Indonesia. USA: Ohio University
Press
Losifidis, Petros. 2007. Public Television in the Digital Era: Technologial Challanges and
New Strategis for Europe. London: Palgrave Macmillan.
Morissan. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: M. A Kencana
Pawito. 2007 Eksistensi Media Komunitas Cetak: Perspektif Sosialisasi Pembangunan
Daerah –makalah disajikan di depan forum Workshop Media Komunitas oleh BIKK
Propinsi Jawa Tengah di Salatiga
Perbinossoff, P., Gross, B., & Gross, L. S. 2005. Programming for TV, Radio, and
The Internet : Strategy, Development, and Evaluation. Oxford: Elsevier Focal Press
Jurnal
Hermanto, Budhi. 2007. Televisi komunitas: media pemberdayaan masyarakat. Jurnal
komunikasi volume 2, nomor 1, 2007. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia.
Artikel
Nielsen. 2014. Nielsen: konsumsi media lebih tinggi di luar jawa.
Diakses dari http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-medialebih-tinggi-di-luar-jawa.html pada tanggal 22 Agustus 2015 pukul 20.15 WIB
Internet
Fisip, Yayan S. 2013. Hand out Lembaga Penyiaran Komersial.
Diakses dari http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-Hand
%20Out%20Lembaga%20Penyiaran%20Komersial.html pada tanggal 23 Agustus
2015 pukul 17.30 WIB
PP 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik/Televisi Publik
PP 51 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas/Televisi Komunitas
Tugas Mata Kuliah Televisi
Televisi Publik, Televisi Komunitas, Televisi Komersial
Dosen Pengampu : Yohanes Widodo, M.Sc
Oleh :
Aulia Diza Rachmawatie
120904696
I Gusti Agung
120904701
Pradipta Kumara
120904720
Maria Puji Nuraeni
120904794
Melinda Bella Carla
120904828
Peggy Jenniefer W
120904830
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2015/2016
Televisi merupakan salah satu bagian dari media konvensional yang memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat di era digital saat ini. Luasnya jangkauan
penyiaran televisi membuat televisi memiliki pengaruh yang juga cukup besar dalam
masyarakat terutama di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh riset yang dilakukan Nielsen
pada bulan Mei tahun 2014 lalu yang menyebutkan bahwa 95 % penduduk Indonesia secara
keseluruhan (Jawa maupun Luar Jawa) masih menjadikan televisi sebagai media utama yang
paling banyak dikonsumsi. Tercatat juga bahwa jenis acara yang paling banyak ditonton
merupakan jenis acara entertainment yang biasanya dibuat oleh televisi swasta seperti:
comedy, drama, movie, talent show dan variety show.
Program-program tayangan seperti yang disebutkan diatas kiranya bukan termasuk
bagian dari tujuan dan fokus televisi publik. Hal tersebut dikarenakan terdapat perbedaan
secara fundamental antara layanan penyiaran komersial dan publik dalam hal asumsi tentang
budaya dan politik penyiaran, perbedaan tersebut terkait erat dengan bagaimana setiap sistem
mendedfinisikan
hubungan
antara
lembaga
dengan
penonton
(Ang,
1991:27,
Kitley,2001:75).Saat ini, terdapat banyak stasiun televisi publik dengan latar belakang yang
bervariasi yang sebagian besar berasal dari perbedaan tradisi dan budaya politik masingmasing negara, seperti BBC (British Broadcasting Corporation) di Inggris, ABC (Australian
Broadcasting Corporation) di Australia, NHK (Nippon Hoko Kyokai) di Jepang. Oleh karena
perbedaan latar belakang tersebut, definisi tunggal/akurat tentang televisi publik menjadi sulit
untuk didefinisikan. Namun, secara umum terdapat karakteristik dari sistem penyiaran publik
menurut Ang (1991, 28) yakni ditandai dengan rasa tanggung jawab terhadap budaya dan
akuntabilitas sosial, yang dengan tegas menentang pernyataan dari layanan komersial tentang
‘memberikan apa yang diinginkan penonton’.
Menurut Losifidis (2007) ada beberapa kewajiban umum yang diberikan kepada
televisi publik, yaitu :
Universalitas konten dan akses
Penyediaan program yang berkontribusi terhadap kerukunan sosial dan proses
deomkrasi
Menetapkan standar kualitas yang tinggi hiburan, pendidikan dan informasi
Berkontribusi pada pluralisme politik dan keragaman budaya
Memperkaya kehidupan individu melalui sejarah, seni dan sains
Pelestarian dan promosi budaya nasional dan warisan
Independensi editorial dan akuntabilitas
Melayani kebutuhan masyarakat yang semakin beragam kebudayannya (kebijakan
baru)
TVRI Sebagai Televisi Publik
Di Indonesia sejarah media penyiaran dimulai sejak berdirinya stasiun televisi
pertama kali pada tanggal 24 Agustus 1962. Tujuannya didirikannya stasiun televisi ini
adalah untuk menyiarkan Upacara Hari Peringatan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian
dilanjutkan dengan liputan Asian Games yang ke 4 di Jakarta. Setelah berhasil mengudara
menyiarkan pesta olah raga Asian Games tersebut, pada tanggal 20 Oktober 1963 dibentuklah
Yayasan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sesuai dengan keputusan Presiden RI No. 215
tahun 1963 tentang pembentukan yayasan TVRI.
Seiring perkembangannya, TVRI yang saat itu biaya operasionalnya dibiayai oleh
negara melalui APBN, menjadi sangat kuat dalam hal modal karena keluasan jangkauannya,
sehingga mampu menarik pemodal untuk memasang iklan di TVRI. Perolehan dana yang
didapat dari pemasangan iklan mencapai 17 hingga 20 milyar (1976-1977) dan menyumbang
34% anggaran televisi nasional. Namun sejak tahun 1981 dengan berbagai alasan politis
mengenai konsep pemerataan iklan, TVRI sudah tidak boleh menanyangkan iklan lagi.
Persaingan global pun dimulai semenjak pemerintah mengijinkan televisi swasta
beroperasi di Indonesia pada tahun 1988. Dimulai dengan RCTI yang awalnya merupakan
siaran berlanggan dengan audiens yang terbatas pada kalangan tertentu, hingga muncul
televisi-televisi swasta lainnya pada tahun berikutnya. Sampai saat ini sudah terdapat 15
televisi yang melakukan siaran dengan skala nasional, 14 diantaranya merupakan televisi
swasta dan 1 milik negara. Berkaitan dengan perkembangan tersebut, yang juga masih
ditambah dengan berdirinya televisi lokal, persaingan menjadi semakin sulit dan ketat dalam
hal meningkatkan jangkuan audiens.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menetapkan
TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang berbentuk badan hukum yang didirakan oleh
negara. Semangat yang mendasari TVRI menjadi televisi publik adalah untuk menjadi
lembaga penyiaran yang didirikan oleh negara yang bersifat independen, netral, tidak
komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan
UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 11 (1). Namun, dari sengitnya persaingan
antar industri pertelevisian di Indonesia membuat TVRI menjadi tersisihkan oleh karena
konten program-programnya yang dinilai kurang variatif jika dibandingkan dengan televisi
swasta nasional lainnya. Strategi pemrograman berkaitan dengan persaingan konten acara
TVRI dalam fungsinya sebagai televisi publik menjadi penting, mengingat tingkat audiens
TVRI tidak sebanyak seperti televisi swasta nasional.
Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 11 (1) TVRI
berkewajiban untuk memberikan independsi informasi, menyediakan keberagamanan
program, dapat menjangkau minoritas dan mendidik masyarakat melalui informasi. Berbeda
dengan acara-cara yang disiarkan pada televisi swasta yang mayoritas berisikan tayangan
hiburan. Acara-acara seperti infotainment, reality show, dan sinetron merupakan acara yang
lebih banyak diminati daripada acara-acara yang mendidik dan penuh informasi. Berdasarkan
hal tersebut, tayangan yang mendidik distigmakan sebagai acara yang membosankan.
Seberapa banyak audience dari sebuah stasiun televisi menjadi ukuran yang
menentukan kesuksesan stasiun televisi tersebut. Hal ini dikarekanan hubungan audeience
dengan televisi sangat kuat, mengingat tidak ada televisi yang bisa bertahan tanpa
audiencenya. Menurut Perebinossof, Gross, dan Gross (2005) apabaila televisi mampu
menyediakan kebutuhan informasi bagi audiencenya akan terciipta hubungan yang kuat
antara televisi dan audience tersebut, namun jika televisi tidak mampu memenuhi kebutuhan
tersebut maka audience tersebut akan memindahkan channel ke televisi lain.
Pemrograman TVRI sebagai Televisi Publik
Tujuan dari diadakannya pemrograman ini tidak lain adalah untuk menarik perhatian
audiencenya, agar mampu menjangkau pemirsa dengan seluas mungkin dengan target
audience yang spesifik, penghargaan dan perstige serta dapat mewadahi kepentingan umum
maupaun nasional. Menurut Morissan (2008), kesuksesan program televisi mengacu pada
teknik, program dan pemasaran. Morissan juga membagi strategi pemrogaman televisi
menjadi 3 bagian yakni, perencanaan program, eksekusi program, pengawasan dan evaluasi
program.
Perencanaan Program
Sebagai Layanan Penyiaran Publik, TVRI perlu menyesuaikan output program agar
sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No 13 tahun 2005 yang memberikan layanan
informasi, kontrol dan perekat sosial, pendidikan dan hiburan yang sehat, serta melestarikan
budaya bangsa untuk kepentingan setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Hal-hal yang perlu
dibicarakan dalam perencanaan ini terkait didalamnya mengenai jenis program, jadwal
tayang, dan hubungannya dengan pengiklan. Jenis program yang nantinya akan ditanyangkan
tidak lepas dari audiens yang akan dituju. Program yang nantinya sesuai dengan audiens yang
dituju akan meningkatkan rating suatu program sehingga dapat menarik pengiklan untuk
beriklan pada program tayangan tersebut. Meskipun TVRI bukan seperti institusi atau
lembaga yang berorientasi pada profit, namun TVRI juga menerima iklan, hanya saja dibatasi
porsinya.
Eksekusi Program
Program-program yang dibuat oleh TVRI tidak dapat bersaingdengan televisi-televisi
swsata lainnya oleh karena perbedaan tujuan yang sudah ditetapkan oleh negara. Faktor lain
adalah karena keterbatasan dana untuk membuat program acara seperti sinetron. Makan dari
itu program acara pada TVRI lebih mengusung tema-tema sosial, budaya, dan politik seperti
acara Pendopo, Parodi Politik dan lain-lain.
Pengawasan dan Evaluasi Program
Pelaksanaan evaluasi tidak hanya dilakukan di akhir setelah program selesai tayang
namun juga sebelum tayang. Evaluasi yang dilakukan diawal ini bertujuan untuk melihat
apakah ide dari suatu program acara tersebut layak atau masih membutuhkan perbaikan.
Terdapat 4 lapisan pengawas pada Lembaga Penyiaran Publik TVRI yakni yang berasl dari
intern (divisi program, produser program, dan penanggung jawab program), pengawasan
yang ditunjuk langsung oleh pemerintah yakni KPI, pengawasan dari masyarakat, serta
pengawas dari pihak luar yang memang dikontrak secara khusus untuk memantau siaran
TVRI.
TELEVISI KOMUNITAS
Televisi komunitas lahir menjadi tonggak baru dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Media komunitas ini hadir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman
kepemilikan (divesity of ownership), yang juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity
of content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya yang juga
beragam. Karena keberagaman kepemilikan itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol
sendiri (self controling) terhadap isi siaran. Pengelola televisi komunitas tidak bisa sewenangwenang menayangkan program isi siaran yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun
budaya lokal (Budhi,2008).
Melalui UU Penyiaran No 32 diharapkan terwujud desentralisasi penyiaran, dimana
memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran
yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai atau norma setempat. UU ini juga
memberikan celah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang penyiaran.
Televisi komunitas hadir untuk memberikan alternatif informasi dan hiburan bagi
khayalak pemirsa di komunitasnya. Jika industri penyiaran melalui televisi swasta
mendefinisikan khalayak pemirsa televisi hanya sebagai objek pasif yang menerima apa yang
disampaikannya, di mana khalayak diposisikan tidak punya kuasa dalam relasi kapital media
mainstream. Maka televisi komunitas kebalikannya, sebagai media non komersial, ia
menempatkan warga komunitas (khalayak penonton) sebagai “produser” yang memiliki
kuasa atas segala informasi dan hiburan yang dibutuhkan komunitas itu sendiri.
Ada dua ragam progres berdirinya televisi komunitas di Indonesia. Kelompok
pertama, adalah televisi yang telah memiliki perangkatsiaran televisi komunitas yang berasal
dari Departemen Pendidikan Nasional. Mereka mengudara untuk me-relay program siaran
pendidikan (TV Education) yang disiarkan Pusat Teknologi dan Komunikasi Depdiknas
maupun program siaran yang dikelola oleh siswa-siswi sekolah tersebut.
Kondisi tersebut cukup dipahami karena proses pendirian media komunitas tersebut
top down, di mana pemerintah melalui Depdiknas yang menginisiasi adanya televisi untuk
pendidikan melalui sekolah-sekolah. Idealnya memang ada aturan tersendiri berupa lembaga
penyiaran pendidikan, namun karena regulasi penyiaran yang ada di Indonesia adalah
Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan,
dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Kelompok yang termasuk dalam kelompok pertama ini
adalah, televisi komunitas yang berada di kampus atau perguruan tinggi. Awalnya sebagian
besar adalah sebagai laboraturium praktek mahasiswa, khususnya jurusan komunikasi atau
broadcasting.
Kelompok kedua, adalah televisi komunitas yang tumbuh atas dasar inisiatif warga
masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada orang atau beberapa orang aktivis setempat yang
menginisiasi berdirinya televisi komunitas. Contohnya adalah Grabag TV yang merupakan
televisi komunitas yang dipegang oleh Hartanto dari Insitut Kesenian Jakarta dan
mendapatkan dukungan dari masyarakat desa Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Pada Mei
2008 diselenggarakan “Temu Nasional Televisi Komunitas” di Grabag TV, Magelang yang
di mana mendeklarasikan Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia
Tantangan
bagi penggiat televisi
komunitas
adalah menjaga sustainbilitas
(keberlangsungan) siaran televisi dengan mengandalkan peran dan partisipasi warga
komunitasnya khususnya dalam pembiayaan. Semakin tinggi peran dan partisipasi warga
dalam pengelolaan televisi semakin panjang “umur” media komunitas tersebut. Jika tidak
mampu mendorong partisipasi warga dengan baik media komunitas itu tidak bisa berumur
panjang. Tidak jarang media komunitas terpaksa gulung tikar karena ditinggalkan oleh
penggiat media tersebut. Karena proses pengkaderan dalam Lembaga Penyiaran Komunitas
menjadi hal yang krusial dan harus disiapkan dengan baik untuk menjaga keberlangsungan
media itu sendiri.
Bagi televisi komunitas berbasis warga yang mampu mendorong partisipasi warga
dengan baik, tentu tidak mengalami kesulitan dalam menggalang dukungan warga dalam
proses perijinan.
Dalam konteks pembangunan daerah, berkenaan apa media komunitas terutama
memiliki signifikasi, maka upaya pemberdayaan dan aktualisasi potensi-potensi lokal
menjadi hal yang sangat utama. Pembangunan daerah dengan demikian tidak harus diartikan
sebagai kemandirian masyarakat suatu daerah (atau para warga suatu komunitas) – dalam arti
tidak memiliki ketergantungan dengan daerah lain (atau dengan para warga komunitas lain)
tetapi yang lebih penting adalah apresiasi dan optimalisasi pemanfaatan potensi dan produkproduk lokal (daerah) demi lebih tercukupinya kebutuhan warga daerah. Pembangunan
daerah dengan demikian diharapkan dapat memperkokoh nilai-nilai budaya lokal (daerah)
yang selanjutnya juga dapat memperkokoh nilai-nilai dan identitas budaya bangsa.
Bertolak dari berbagai pemikiran sebagaimana telah dikemukakan maka peran media
komunitas dapat dikembangkan dengan memberikan titik berat terutama pada:
1. Informasi
Peran ini berkenaan dengan peran media komunitas dalam upaya penyebarluasan
informasi dan pengetahuan mengenai gerak dan laju pembangunan dengan
mengindahkan keragaman perspektif. Suatu peristiwa diberitakan bukan hanya dari
sisi kepentingan pemerintah tetapi juga kepentingan rakyat banyak, bukan hanya dari
sisi kepentingan kelompok dominan tetapi juga kelompok minoritas dari warga
komunitas.
2. Forum diskusi publik
Dalam hal ini media komunitas diharapkan memiliki peran yang nyata dalam
memfasilitasi berkembangnya diskusi publik (di antara warga komunitas) berkenaan
dengan persoalan-persoalan penting yang berkenaan dengan warga komunitas serta
persoalan-persoalan lain yang lebih luas yakni menyangkut hubungan atau interaksi
warga komunitas dengan warga lain bahkan juga urusan atau persoalan nasional.
3. Membantu mencapai kesepakatan untuk mengatasi persoalan
Sangat disarankan bahwa lacakan jurnalistik media komunitas lebih mengedepankan
pencapaian jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bersama dalam
masyarakat (problem-solving oriented). Hal demikian dapat dilakukan misalnya
dengan cara pemilihan sumber yang berimbang di antara kelompok-kelompok
kepentingan dan/atau kelompok kekuatan dalam masyarakat/komunitas seraya tetap
berpijak pada nilai-nilai budaya yang ada seperti misalnya sitik pada eding, aja
leluwihan, aja dumeh, dan tepo seliro.
4. Menggelorakan semangat partisipasi
Upaya pembangunan, termasuk pembangunan daerah mutlak memerlukan partisipasi
seluruh elemen masyarakat. Dalam hubungan ini terdapat suatu postulat yang
mengatakan bahwa rakyat tidak akan bersedia berjoang dan berkorban untuk
pembangunan, kecuali apabila ia yakin akan tujuan pembangunan itu (Kadir, 1983).
Mengacu pada konteks sekarang maka postulat ini barangkali dapat sedikit diubah
menjadi: rakyat tidak akan mau ikut berpartisipasi dalam pembangunan sampai
mereka meyakini manfaat dari pembangunan.
Postulat-postulat ini menyiratkan beberapa hal menarik, yaitu: 1) Bahwa
pembangunan pada dasarnya merupakan suatu gerakan yang membutuhkan partisipasi; 2)
Bahwa partisipasi dalam pembangunan bersifat sukarela (tidak bersifat paksaan); 3) Bahwa
rakyat atau masyarakat, supaya mau berpartisipasi, harus dibuat mengetahui dan meyakini
manfaat-manfaat pembangunan; 4) Bahwa semua pihak (pemerintah dan masyakat) harus
saling bekerjasama dengan sinergis dan harmonis. Hal demikian hanya mungkin kalau semua
pihak bekerja dan/atau melayani dengan hati.
TELEVISI KOMERSIAL
Sebagaimana yang telah tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2002 pasal 16, lembaga
Penyiaran Swasta adalah “lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan
hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau
televisi”. Persoalan utama dalam Lembaga Penyiaran Swasta yang berkembang di Indonesia
adalah ihwal kepemilikan saham usaha dan monopoli. Sebagaimana diketahui di dunia
pertelevisian nasional, dalam era Orde Baru, jagad pertelevisian dibatasi oleh dominasi asas
tunggal dari TVRI sebagai satu-satunya sumber informasi yang absah dari pemerintah. Sejak
didirikan tahun 1962, dominasi TVRI telah menghalangi sektor swasta untuk membangun
bisnis media televisi komersial.
Baru pada pertengahan 1980-an, pemerintah Orde Baru mulai menerapkan beberapa
deregulasi ekonomi. Berbagai faktor, seperti menurunnya harga minyak di pasaran
internasional, memaksa pemerintah agar lebih terbuka terhadap tuntutan-tuntutan kapitalisme
global yang bersumber pada kaidah-kaidah neo-liberal. Pemerintah tak bisa menghindar dari
arus besar yang menghendaki liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. State regulation mau
tak mau harus digantikan, atau setidak-tidaknya mulai dikombinasikan dengan prinsip-prinsip
market regulation. Kondisi ini kemudian yang mendahului terbukanya kesempatan dalam
membuka iklim penyiaran dari kalangan peluang untuk mendirikan televisi swasta baru
muncul ketika Soeharto membuka keran kapitalisasi industri media kepada anak-anaknya dan
kerabat dekatnya sendiri. Bambang Tri Hatmodjo dengan RCTI, Siti Hardiyanti Rukmana
dengan TPI, kemudian Salim Group (pengusaha yang dekat dengan Soeharto), dan
sebagainya. Masuknya pengusaha-pengusaha tersebut baru menguat menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru. Suntikan investasi pertelevisian—jika dilihat barusan—menyimpan
kadar nepotisme dan politisasi yang kental.
Dilihat secara etimologis, maka lembaga penyiaran komersial merupakan industri
media yang memang didirikan untuk memenuhi kebutuhan atas keuntungan ekonomi
(komersialisasi). Karena memiliki tujuan komersial, maka khalayak yang hendak dibidik
untuk memperluas keuntungan usaha adalah khalayak yang umum, bukan bersifat spesifik
seperti lembaga penyiaran komunitas. Landas-tumpu kegiatannya didasarkan keuntungan,
sehingga untuk menciptakan keuntungan tersebut, lembaga media komersial harus
menyesuaikan program acaranya dengan keinginan khalayak pasar komersial.
Maka, jika pasar menghendaki siaran yang berorientasi hiburan, pada saat itu pula
logika industri media akan mengikuti apa yang sedang menjadi trend yang diminati dalam
pasar. Logika pasar semacam ini juga memiliki konsekuensi atas luas jangkauan siarannya.
Dalam praktiknya, lembaga penyiaran komersial acapkali melanggar ketentuan perundangundangan yang mengamanatkan—misalnya dalam televisi—siaran yang berjaringan.
Faktanya, ketentuan semacam ini dilanggar demi kepentingan komersialisasi. Umumnya, luas
jangkauan area siaran dapat lebih dari satu propinsi, akan tetapi memiliki batasan tertentu.
Misalnya, tidak boleh lebih dari “X” persen pemirsa nasional (misal 40%) dihitung dari
jumlah rumah tangga yang dapat menerima siarannya. Tidak diperkenankan siaran TV
komersial dengan jangkauan siaran nasional. Dasar pertimbangan “X” agar semua stasiun
dapat mengembangkan sistem afiliasi berdasar formula kepemilikan dan operasi tertentu.
Namun, sekali lagi, dalam praktiknya, idealisasi semacam ini kerap dilanggar.Karena
memakai dasar pertimbangan logika pasar, maka ukuran kesuksesan dari pencapaian suatu
lembaga media komersial adalah dengan mengukur dari rating yang telah didapat, untuk
masing-masing program siarannya dan dari pemasukan iklannya (karena rating program yang
tinggi akan menarik pemasang iklan). Tidak seperti dalam lembaga penyiaran publik yang
berlaku pembatasan porsi iklan, maka pada penyiaran swasta-komersial, jumlah materi
iklannya tidak dibatasi. Format badan usaha lembaga media penyiaran swasta umumnya
berbentuk PT (Perseroan Terbatas), dengan pengambil keputusan tertinggi berada pada para
pemilik modal atau komisaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
PP No 11 tahun 2005
Lembaga Penyiaran Publik / Televisi Publik:
Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang
didirikan oleh negara, bersifat independen, netral,tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untukkepentingan masyarakat.
Lembaga penyiaran publik membuka ruang publik (public sphere) denganmemberikan hak
memperoleh informasi yang benar (right to know) danmenyampaikan pendapat atau aspirasi
(right to express) bagi masyarakat sehinggamenempatkan masyarakat sebagai warga negara.
Lembaga penyiaran publik diperlukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesiayang
merupakan negara kepulauan, berfungsi sebagai identitas nasional (flagcarrier), pemersatu
bangsa dan pembentuk citra positif bangsa di duniainternasional, selain bertugas menyiarkan
informasi, pendidikan, budaya, danhiburan.
Lembaga penyiaran publik mempunyai prinsip:
a. Siarannya harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayahNegara
Kesatuan Republik Indonesia (general geographical availability);
b. Siarannya harus mencerminkan keragaman yang merefleksikan strukturkeragaman, realitas
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
c. Programnya harus mencerminkan identitas dan budaya nasional;
d. Penyajian siarannya hendaknya bervariasi.
TENTANG KOMERSIALITAS TVRI DALAM PP NO 11 TAHUN 2005
Pasal 5 ayat (4)
Untuk menunjang peningkatan kualitas operasional penyiaran,RRI dan TVRI dapat
menyelenggarakan kegiatan siaran iklan danusaha lain yang sah yang terkait dengan
penyelenggaraanpenyiaran.
Siaran Iklan
Pasal 25
(1) Materi siaran iklan harus sesuai kode etik periklanan, persyaratan yang dikeluarkan oleh
KPI, dan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku.
(2) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untukanak-anak wajib mengikuti
standar siaran untuk anak-anak.
(3) Iklan rokok pada lembaga penyelenggara penyiaran radio dantelevisi hanya dapat
disiarkan pada pukul 21.30 sampai denganpukul 05.00 waktu setempat.
(4) RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal wajib menyediakanwaktu untuk siaran
iklan layanan masyarakat yang dilakukan dalam waktu yang tersebar mulai dari pukul 05.00
sampai denganpukul 22.00 waktu setempat dengan harga khusus, atau jika dalamkeadaan
darurat ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengankeperluan.
(5) Waktu siaran iklan niaga RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal paling
banyak 15% (lima belas perseratus) dari seluruh waktusiaran setiap hari.
(6) Waktu siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 30% (tigapuluh perseratus) dari
siaran iklannya setiap hari.
(7) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalamnegeri.
TVRI memang berbeda dengan Lembaga Penyiaran Publik negara lain, dibandingkan dengan
BBC Inggris yang mendapatkan 100% dana berasal dari masyarakat melalui licence fee.
NHK Jepang mendapatkan pendapatan dari iuran masyarakat mencapai Rp 60 trilyun dalam
satu tahun, berbeda juga dengan ABC Australia yang mendapatkan dana 100% semuanya
dari APBN Australia. Ketiga stasiun televisi publik milik pemerintah itu, sama sekali tidak
menayangkan iklan komersial.
PP NO 51 TAHUN 2005
TENTANG LEMBAGA PENYIARAN KOMUNITAS (TV KOMUNITAS)
Lembaga Penyiaran Komunitas adalah lembaga penyiaranradio atau televisi yang berbentuk
badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani
kepentingan komunitasnya.
RADIUS
Pasal 5
(1) Radius siaran Lembaga Penyiaran Komunitas di batasi maksimum 2,5 km (dua setengah
kilometer) dari lokasi pemancar atau dengan ERP (effective radiated power) maksimum 50
(lima puluh) watt.
Isi Siaran
Pasal 18
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga
persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(2) Isi siaran Lembaga Penyiaran Komunitas wajib memuat paling sedikit 80% (delapan
puluh perseratus) mata acarayang bersumber dari materi lokal.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan danpemberdayaan kepada khalayak
khusus, yaitu anak-anakdan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktuyang
tepat, dan Lembaga Penyiaran Komunitas wajibmencantumkan dan/atau menyebutkan
klasifikasikhalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran Lembaga Penyiaran Komunitas wajib menjaganetralitasnya dan tidak boleh
mengutamakan kepentingangolongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang:a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/ataubohong; b.
menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat
terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, danantargolongan
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan,melecehkan, dan/atau mengabaikan
nilai-nilai agama,martabat manusia Indonesia, atau merusak hubunganinternasional.
(7) Isi siaran yang bersumber dari luar negeri dapat disiarkansepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasionaldan tata nilai yang berlaku di lokasi
Lembaga PenyiaranKomunitas.
(8) Isi siaran wajib mengikuti Pedoman Perilaku Penyiaran danStandar Program Siaran
yang ditetapkan oleh KPI.
Larangan Siaran Iklan Komersial,
Kode Etik dan Tata Tertib
Pasal 27
Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial,
lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Penyiaran
Pasal 37
(3) Alat dan perangkat penyiaran yang digunakan mengutamakan produksi dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Brown, James A. 1998. Media Literacy Perspectives, Journal of Communication, edisi
Winter
Kitley, Philip. 2000. Television, Nation, and Culture In Indonesia. USA: Ohio University
Press
Losifidis, Petros. 2007. Public Television in the Digital Era: Technologial Challanges and
New Strategis for Europe. London: Palgrave Macmillan.
Morissan. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: M. A Kencana
Pawito. 2007 Eksistensi Media Komunitas Cetak: Perspektif Sosialisasi Pembangunan
Daerah –makalah disajikan di depan forum Workshop Media Komunitas oleh BIKK
Propinsi Jawa Tengah di Salatiga
Perbinossoff, P., Gross, B., & Gross, L. S. 2005. Programming for TV, Radio, and
The Internet : Strategy, Development, and Evaluation. Oxford: Elsevier Focal Press
Jurnal
Hermanto, Budhi. 2007. Televisi komunitas: media pemberdayaan masyarakat. Jurnal
komunikasi volume 2, nomor 1, 2007. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia.
Artikel
Nielsen. 2014. Nielsen: konsumsi media lebih tinggi di luar jawa.
Diakses dari http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-medialebih-tinggi-di-luar-jawa.html pada tanggal 22 Agustus 2015 pukul 20.15 WIB
Internet
Fisip, Yayan S. 2013. Hand out Lembaga Penyiaran Komersial.
Diakses dari http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70836-media-Hand
%20Out%20Lembaga%20Penyiaran%20Komersial.html pada tanggal 23 Agustus
2015 pukul 17.30 WIB
PP 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik/Televisi Publik
PP 51 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas/Televisi Komunitas
Tugas Mata Kuliah Televisi
Televisi Publik, Televisi Komunitas, Televisi Komersial
Dosen Pengampu : Yohanes Widodo, M.Sc
Oleh :
Aulia Diza Rachmawatie
120904696
I Gusti Agung
120904701
Pradipta Kumara
120904720
Maria Puji Nuraeni
120904794
Melinda Bella Carla
120904828
Peggy Jenniefer W
120904830
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2015/2016