Pendidikan pada masa Jepang pada

Pendidikan pada masa Jepang
Sekolah Rakyat di Indonesia
Awal mula adanya Sekolah Rakyat indonesia
Pada tahun 1942, Pemerintah Pendudukan Jepang “membubarkan” dan menutup
seluruh sekolahan yang dibangun dengan sistem pendidikan Belanda dan
menggantikan dengan sistem pendidikan yang samasekali baru dan yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kebijaksanaan Jepang khususnya dalam rangka
untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya, sekaligus mengikis semua”sisa2”
pendidikan jaman Belanda.
Lalu Jepang menghapus diskriminasi antar sekolahan dan sekaligus mengintrodusir demokratisasi dalam dunia pendidikan. Hanya ada satu macam sekolah
untuk seluruh warga Indonesia; untuk tingkat dasar hanya ada satu macam
“Sekolah Rakyat” atau Kokumin Gakko (kokumin-=rakyat, gakko= sekolah) 6 tahun.
Tidak ada beda antara anak seorang Bupati dengan anak seorang petani dalam hal
kemudahan masuk sekolah dan untuk tingkat dasar hanya ada satu macam
sekolah, yaitu Sekolah Rakyat. Bandingkan dengan sistem pendidikan Belanda,
misalnya, untuk sekolah dasar saja di”kota-kota”kan berdasar berbagai kriteria dan
golongan penduduk.
Di dalam pengajaran di Sekolah Rakyat masyarakat pribumi diajarkan tentang :

1. bahasa jepang dijadikan mata pelajaran wajib dan adat kebiasaan Jepang harus ditaati.
2. Pengajaran dipergunakan sebagai alat propaganda dan juga untuk kepentingan perang.

Murid-murid seringkali diharuskan kerja bakti, misalnya : membersihkan bengkel, asrama,
membuat bahan-bahan untuk kepentingan pertahanan, dan sebagainya.
3. Untuk melipatgandakan hasil bumi, murid-murid diharuskan membuat pupuk kompos atau
beramai-ramai membasmi hama tikus di sawah. Sebagian waktu belajar digunakan untuk
menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan tanaman jeruk.
4. Pelatihan-pelatihan jasmani berupa pelatihan kemiliteran dan mengisi aktivitas-aktivitas
murid-murid sehari-hari. Agar berjalan lancar, pada tiap-tiap sekolah dibentuk barisanbarisan murid. Barisan murid-murid SD disebut seinen-tai, sedangkan barisan murid-murid
sekolah lanjutan disebut Gakutotai.
5. Untuk menanamkan semangat Jepang , tiap-tiap hari murid harus mengucapkan sumpah
belajar dalam bahasa Jepang. Mereka harus mengusai bahasa dan nyanyian Jepang. Tiap pagi
diadakan upacara, dengan menyembah bendera Jepang dan menghormati istana Tokyo.
6. Agar bahasa Jepang lebih populer , diadakan ujian bahasa Jepang untuk para guru dan
pegawai-pegawai, yang dibagi atas lima tingkat. Pemilik ijazah ini mendapat tambahan upah.

Jika kita bandinglan sekolah rakyat antara di Jerman dan di Indonesia tentu saja sangat jauh
perbedaannya. Volkshochschule (Sekolah Tinggi Rakyat) Jerman Nonakademik sangat
diperhatikan dan sangat diprioritaskan oleh pemerintah Jerman. Sekolah ini diperuntukkan untuk
rakyat atau warga di Jerman yang kurang mampu untuk mengikuti/melanjutkan sekolah tinggi
akademik. Dalam hal ini Pemerintah Jerman juga sangat memperhatikan kualitas, mutu dan mata
pelajaran apa yang diberikan pada sekolah rakyat ini. Tak ada perbedaan antara sekolah tinggi

Rakyat Nonakademik di Jerman dan sekolah tinggi Akademik di jerman. Dalam sekolah ini
dapat dipelajari kursus Bahasa Jerman dan bahasa-bahasa asing lainnya, bermacam-macam jenis
Olah Raga, Komputer, Seni Prakarya, Tari, Musik, Touristik, Politik, Seminar, Study tour
bahkan mengadakan kursus karena permintaan sekelompok warga.Yang lebih unik lagi adalah
pada sekolah ini juga menyediakan kursus-kursus untuk wanita hamil misalnya senam
hamil,senam untuk bayi dan ibu hamil, dsb. Sekolah ini diperuntukkan usia 0-99 tahun. Warga
Jerman merespon sekolah rakyat ini dengan sangat baik dan menunjukkan begitu besarnya
ketertarikannya pada sekolah rakyat ini. Sedangkan di Indonesia, Sekolah Rakyat adalah sebuah
perjuangan yang dirintis oleh para pejuang-pejuang bangsa Indonesia di masa penjajahan dahulu
untuk rakyatnya. Sekolah ini didirikan atas swadaya dari rakyat dan prakarsa para pejuang
kemerdekaan Indonesia. Sekolah rakyat yang pertama didirikan diberi nama Sekolah Dasar
Negeri Inpres karena Instruksi Presiden Republik Indonesia. Saat ini sekolah rakyat berupa kejar
paket A,B,dan C. Kejar paket A diperuntukkan untuk sekolah dasar, kejar paket B diperuntukkan
untuk sekolah menengah pertama dan kejar paket C diperuntukkan untuk sekolah menengah atas
yang masing-masing ditempuh selama 3 tahun. Namun pada pelaksanaannya sekolah rakyat ini
dibedakan dengan sekolah formal negeri, mulai buku-buku yang digunakan juga cara mengajar
guru-gurunya. Respon masyarakat Indonesia tentang sekolah ini pun kurang baik, mereka merasa
malu untuk mengikuti program sekolah rakyat yang diprakarsai oleh pemerintah ini karena
tanggapan dunia kerja di Indonesia bagi siswa yang mengikuti program ini pun berbeda. Seperti
merasa dipandang sebelah mata dalam dunia kerja dan juga oleh masyarakat itu sendiri.

Pelaksanaan program sekolah rakyat di Indonesia saya rasa kurang bagus dan berjalan sangat,
sangat kurang memuaskan.
Jadi menurut saya setelah membaca artikel diatas Indonesia seharusnya meniru atau lebih
tepatnya memperbaiki semua sistem sekolah rakyat kurang lebih seperti sekolah rakyat di Jerman
karena banyak terdapat banyak sakali perbedaan yang dapat kita rasakan baik dari
pelaksanaannya, respon dari masyarakat, serta campur tangan pemerintah terhadap masalah ini.
Selengkapnya
:
http://www.kompasiana.com/dian12_sukma/sekolah-rakyat-diindonesia_55099ae3813311761cb1e5f6

University

Sejarah perguruan tinggi di Indonesia bermula sejak pemerintah Hindia Belanda
memberlakukan Politik Etis, yang salah satu programnya adalah pendidikan. Program
pendidikan mendorong timbulnya sekolah-sekolah yang semula hanya sekolah dasar untuk
belajar membaca, menulis, dan menghitung, kemudian diperluas pada sekolah menengah dan
perguruan tinggi. Perguruan tinggi ini yang kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya
Universitas dan Fakultas di Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Awalnya rintisan perguruan tinggi perintisan ini hanya di bidang kesehatan saja. Pada tahun
1902 di Batavia didirikan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (School Tot Opleiding van

Inlandsche Artsen atau dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera) kemudian NIAS
(Nerderlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 di Surabaya . Ketika STOVIA tidak
menerima murid lagi, didirikanlah sekolah tabib tinggi GHS (Geneeskundige Hooge School)
pada tahun 1927. Perguruan inilah yang sebenarnya merupakan embrio kedokteran Universitas
Indonesia.[1][2].
Di Bandung tahun 1920 didirikan Technische Hooge School (THS) yang pada tahun itu juga
dijadikan perguruan tinggi negeri.[catatan 1] THS ini adalah embrio Institut Teknologi Bandung.
Pada tahun 1922 didirikan Textil Inrichting Bandoeng (TIB) ini lah embrio Sekolah Tinggi
Teknologi Tekstil Bandung.[4][2]
Pada tahun 1922 kemudian berdiri sekolah hukum (Rechts School) yang kemudian ditingkatkan
menjadi sekolah tinggi hukum (Recht hooge School) pada tahun 1924. Sekolah tinggi inilah
embrio Fakultas Hukum di Indonesia. Di Jakarta tahun 1940 didirikan Faculteit de Letterenen
Wijsbegeste[2] yang kemudian menjadi Fakultas Sastra dan Filsafat di Indonesia.
Di Bogor didirikan sekolah tinggi pertanian (Landsbouwkundige Faculteit) pada tahun 1941[2]
yang sekarang disebut Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada zaman Jepang sampai awal
kemerdekaan, GHS ditutup dan atas inisiatif pemerintahan militer, GHS dan NIAS dijadikan satu
dan diberikan nama Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran). Dua hari setelah proklamasi,
tanggal 19 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mendirikan Balai Pergoeroean Tinggi RI yang
memiliki Pergoeroean Tinggi Kedokteran. Sekolah tinggi ini dibuka secara resmi pada tanggal 1
Oktober 1945.

Pada masa perjuangan revolusi fisik melawan Belanda (1946-1949) Pergoeroean Tinggi
Kedokteran mengungsi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, (Klaten dan Malang). Sementara itu
pemerintah RI di Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada
pada tanggal 19 Desember 1949 mendirikan Universitas Gadjah Mada.[2] Pada awalnya hanya
ada 2 Fakultas, yaitu Hukum dan Kesusasteraan yang bertempat di pagelaran dan baru kemudian
berangsur-angsur pindah ke kampus Bulak Sumur.
Pada zaman pendudukan, di Batavia pihak Belanda mengusahakan dibukanya kembali GHS.
Maka bukan hal yang aneh ketika penyerahan kedaulatan, tahun 1949 timbul gagasan untuk
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan tanpa membedakan warna kulit dan asal keturunan. Kedua

lembaga pendidikan bekas Belanda dan bekas Republik dijadikan satu menjadi Universiteit
Indonesia, Fakulteit Kedokteran, tanggal 2 Februari 1950, yang saat ini dikenal dengan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang berdiri tanggal 8 Juli 1945 merupakan
perguruan tinggi swasta pertama dan tertua di Indonesia

Pembukaan kembali lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki aspek strategis bagi
pemerintah pendudukan Jepang. Menurut Jepang melalui lembaga pendidikan akan dibentuk
kader-kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya”. Adapun keberhasilan konsepsi tersebut sangat tergantung kepada kemenangan dalam

“Perang Asia Timur Raya”. Oleh karena itu segala usaha harus ditujukan kepada memenangkan
perang itu. Dari beberapa perguruan tinggi yang dibuka tersebut yang nampak menonjol
peranannya pada periode ini adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Tradisi
“memberontak” yang sudah berlangsung di lembaga pendidikan ini pada masa kolonial Belanda
nampaknya diteruskan oleh para mahasiswa Ika Daigaku walaupun dengan corak, strategi, dan
bentuk yang berbeda.
Pemerintahan pendudukan Jepang yang sangat militeristik yang merupakan ciri dari
pemerintahan fasis merembet pula ke dalam lembaga pendidikan tinggi. Hampir tidak ada celah
sedikitpun bagi para mahasiswa untuk mengobarkan semangat nasionalisme karena para
pemangku perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dengan disiplin militer yang amat
ketat. Walaupun nampak tidak ada celah, para mahasiswa yang pernah dididik di lembaga
pendidikan pada masa kolonial Belanda tetap memiliki tak-tik dan strategi yang jitu untuk
melawan pemerintah pendudukan Jepang walaupun tidak secara terang-terangan, alias
perlawanan dari bawah tanah. Dinamika perlawanan bawah tanah oleh kelompok intelektual dari
perguruan tinggi pada masa pendudukan Jepang telah menciptakan mitos tentang Kelompok
Mahasiswa Prapatan 10 yang legendaris. Kelompok tersebut menjadi pelopor perlawanan
mahasiswa terhadap aturan penggundulan rambut bagi mahasiswa Ika Daigaku yang dirasakan
sangat menghina martabat bangsa Indonesia. Walaupun perlawanan tersebut kurang bergema
secara nasional, namun gerakan dalam celah yang amat sempit itu telah menjadi sebuah simbol
tentang perlunya membela martabat bangsa di tengah sistem pemerintahan militer yang amat

represif.
Perlawanan mahasiswa pada masa pendudukan Jepang tidak pernah terlembaga dengan baik
serta mampu mengobarkan semangat nasionalisme yang terlembaga pula. Namun demikian
sistem pendidikan yang dikembangkan pada periode ini pada gilirannya akan berperan penting
bagi periode sesudahnya, yaitu periode kemerdekaan, terutama menyangkut sumber daya
manusia yang berhasil digodok di perguruan tinggi pada waktu itu walaupun hanya dalam waktu
yang relatif singkat. Alumni perguruan tinggi periode Jepang menjadi generasi yang siap
mengendalikan roda pemerintahan yang masih sangat baru. Hal tersebut tidak saja karena
mereka dibekali dengan dengan ilmu kemiliteran yang sangat penting pada periode awal

kemerdekaan, namun yang paling penting adalah karena mereka merupakan generasi yang paling
dekat dengan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh penting yang lahir dari rahim perguruan
tinggi periode Jepang, utamanya dari Ika Daigaku antara lain adalah Soedjatmoko, Mahar
Mardjono, Hasan Sadikin, Soedarpo Sastrosatomo, dan lain-lain yang masing-masing memiliki
peranan yang amat besar pada masa awal kemerdekaan.
Di tengah-tengah pusaran pemerintahan Jepang yang militeristik dan amat menekan
sekelompok orang dari golongan Islam mencoba memanfaatkan situasi yang sedikit longgar
untuk memikirkan pendidikan tinggi yang lebih bercorak Indonesia dan mengajarkan nilai-nilai
Islam. Hubungan antara ummat Islam dengan pemerintah pendudukan Jepang pada waktu itu
dapat dikatakan cukup baik, karena pemerintah pendudukan Jepang nampaknya ingin mengambil

hati kelompok ini untuk membela kepentingan mereka. Jepang membiarkan, atau bahkan
mendukung, ketika gabungan organisasi-organisasi Islam di Indonesia mendirikan Madjelis
Sjoero Moeslimin Indonesia yang disingkat Masjoemi, yang merupakan kelanjutan dari Majlis
Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibubarkan pada tahun 1943.
Pada tanggal 1 April 1945, beberapa bulan menjelang Jepang bertekuk lutut, tokoh-tokoh
Masjoemi berhasil merealisasikan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di
Jakarta. STI merupakan perguruan tinggi swasta pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia.
Pada masa-masa awal mahasiswa STI bukan hanya dari kalangan Islam saja, karena beberapa
orang mahasiswa ternyata beragama Protestan.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut setelah dua kota penting, Hiroshima
dan Nagasaki, dijatuhi bom atom oleh Sekutu. Menyusul menyerahnya Jepang, Indonesia
menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bagian dari proses
Indonesianisasi dari semua sistem yang ada di Indonesia, pemerintah Indonesia kemudian
membubarkan Ika Daigaku dan mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia
yang berkedudukan di Jakarta. Proses pendidikan yang berlangsung di lembaga pendidikan ini
berlangsung dengan amat memprihatinkan dengan berbagai kekurangan di sana-sini. Ketika
proses pembenahan perguruan tinggi kedokteran tengah berlangsung gelombang perang muncul
yang didahului dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia. Dengan dalih ingin
mengamankan tawanan Jepang, antara bulan September dan Oktober 1945 pasukan Sekutu
memasuki kota-kota besar di Indonesia.[6] Di Jakarta pendaratan masukan Sekutu disambut

dengan kontak senjata oleh rakyat. Di mana-mana pasukan Sekutu membuat kegaduhan. Rakyat
Indonesia yang mencurigai adanya maksud tersembunyi dari pasukan Sekutu dengan
menyelundupkan tentara Belanda menjadi marah. Di mana-mana kedatangan pasukan Sekutu
memunculkan peperangan. Akibatnya kota Jakarta menjadi tidak aman. Pada bulan Januari 1946
Ibukota Republik Indonesia dipindah dari Jakarta menuju ke Yogyakarta. Kondisi ini
berpengaruh juga terhadap jalannya proses pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran Republik
Indonesia. Agar proses pendidikan tetap berjalan, bersamaan dengan pindahnya Ibukota
Republik Indonesia maka diungsikan pula Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia
dengan cara menyebar tempat perkuliahan di tiga kota yaitu di Solo, Klaten, dan Malang.[7] STI
yang baru beberapa bulan menyelenggarakan perkuliahan di Jakarta juga mengikuti jejak Ibukota
Republik Indonesia, memindahkan tempat perkuliahannya di Yogyakarta. STI membuka kembali
perkuliahannya pada tanggal 10 April 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta.

Dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta maka Jakarta berada dalam
kekuasaan pasukan Sekutu, tetapi secara de facto kota itu sebenarnya dibawah kekuasaan
pasukan Belanda. Seperti kita ketahui bersamaan dengan masuknya pasukan Sekutu ke
Indonesia, masuk pula tentara Belanda. Mereka kemudian melakukan pengoperan pemerintahan
di tempat-tempat yang telah dikuasainya. Dengan dalih untuk menghindari bentrokan-bentrokan
dengan rakyat Indonesia, maka panglima pasukan Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir
Philip Christison menarik pasukan Belanda lama yang baru saja mendarat di Indonesia Timur ke

Jawa.[8] Akibatnya kota-kota penting di Jawa segera diduduki kembali oleh pasukan Belanda.
Namun kedatangan tentara Belanda di Jawa, khususnya di Jakarta justru malah memancing
perlawanan yang lebih besar dari rakyat setempat. Di tengah berkecamuknya perang, Belanda
menduduki kantor-kantor pemerintahan yang penting.
Di sektor pendidikan, Belanda juga mencoba menghidupkan lagi perguruan tinggi yang ditinggal
mengungsi oleh otoritas yang sah yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Pada bulan Januari
1946, beberapa saat setelah Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Belanda
mendirikan De Nood-universiteit, atau universitas darurat. Disebut sebagai universitas darurat
karena didirikan pada saat kondisi chaos yang disebabkan oleh peperangan.[9] Universitas
darurat ini memiliki lima fakultas dengan tempat kedudukan yang terpisah, yaitu fakultas
kedokteran, fakultas hukum, fakultas sastra dan filsafat berkedudukan di Jakarta, fakultas
pertanian berkedudukan di Bogor, dan fakultas teknik berkedudukan di Bandung menempati
bekas Technische Hogeschool.
Pada saat yang bersamaan Pemerintah Republik Indonesia Indonesia yang berkedudukan di
Yogyakarta juga menghidupkan kembali perguruan tinggi dengan mendirikan Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1946 yang pada awalnya dikelola oleh sebuah yayasan yang
diselenggarakan oleh beberapa tokoh pendidikan.[10] Sultan Yogyakarta Sri Sultan
Hamengkubuwono IX menyediakan bagian depan istananya (pagelaran) sebagai tempat
perkuliahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ketika kuasaan Belanda di wilayah-wilayah
pendudukan di Jawa semakin mantap, mereka juga mencoba memantapkan posisi mereka di

bidang pendidikan tinggi. Pada bulan Maret 1947 De Nood-universiteit diubah namanya menjadi
Universiteit van Indonesia. Pada tahun yang bersamaan kekuasaan Belanda di Indonesia juga
semakin kuat dengan dukungan militer yang kuat pula. Dengan sangat percaya diri pada tanggal
20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama. Dengan gerak
cepat pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung menduduki Jawa Barat, dan dari
Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Peristiwa ini kemudian memaksa
Indonesia dan Belanda untuk menuju ke meja perundingan yang menghasilkan Perjanjian
Renville pada bulan Januari 1948. Perjanjian ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang
apa yang disebut sebagai “garis van Mook”, suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik
terdepan pihak Belanda. Garis imajiner tersebut secara politis telah membelah-belah Indonesia
khususnya Jawa menjadi dua bagian antara wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia
dengan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.
Secara kebetulan hampir semua lokasi perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh Belanda pada
masa kolonial terletak di dalam garis van Mook. Perletakan secara politis inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengembangkan Universiteit van Indonesia dengan membuka
fakultas baru di wilayah pendudukan, yaitu di Surabaya dan di Makassar. Pada tanggal 1 Agustus

1948 di Surabaya dibuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dengan
memanfaatkan peralatan dan gedung yang pada masa kolonial ditempati oleh NIAS. Di tempat
yang sama Belanda juga membuka Tandheelkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Gigi).
Fakultas Kedokteran yang berkedudukan di Surabaya pada awalnya dipimpin oleh Prof. Dr. A.B.
Droogleever Fortuyn. Pada tanggal 8 Oktober 1948 di Makassar dibuka Faculteit der
Economische Wetenschap (Fakultas Ekonomi).[11] Pendirian beberapa fakultas di kota yang
berbeda, secara politis menjadi simbol bahwa pada waktu itu kekuasaan Belanda di daerahdaerah pendudukan cukup kuat.
Pada saat yang hampir bersamaan perguruan tinggi yang berada di wilayah Republik Indonesia
yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta juga melakukan bebagai konsolidasi agar
perguruan tinggi pertama di wilayah Republik Indonesia tersebut berkembang dengan baik.
Beberapa fakultas yang tersebar di beberapa daerah republik seperti Yogyakarta, Klaten, dan
Solo dilebur menjadi satu. Pada tanggal 19 Desember 1949 secara resmi berdirilah Universitas
Gadjah Mada yang berada dalam naungan Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di
Yogyakarta. Universitas ini menjadi universitas negeri pertama yang berada di wilayah Republik
Indonesia pada saat wilayah Indonesia terpecah-belah secara politis dan tergabung dalam
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag.
Pendirian Universitas Gadjah Mada sebagai sebuah institusi yang utuh tidak bisa dilepaskan
dengan Konferensi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan di kota Yogyakarta yang
berlangsung pada 25 April sampai 1 mei 1947. Konferensi tersebut menghasilkan sebuah
kesimpulan bahwa salah satu masalah yang menghalangi kemajuan perguruan tinggi ialah karena
perguruan tinggi yang telah ada pada waktu itu tidak bernaung di bawah satu kementrian. Ada
yang masuk Kementrian kesehatan, Kementrian Pengajaran, Kementrian Kemakmuran, dan ada
yang berada di bawah pengelolaan swasta. Konferensi menyarankan kepada pemerintah agar
perguruan tinggi yang terpisah-pisah tersebut disatukan. Hasilnya adalah Universitas Gadjah
Mada yang dikelola oleh Kementrian Pengajaran.
Sejarah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dengan
berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dengan disepakatinya Konferensi Meja Bundar
(KMB) pada bulan Nopember 1949. Tanggal 19 Desember 1949 Universitas Gadjah Mada lahir.
Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas
Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan penyerahan kedaulatan itu maka
Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan Belanda
kemudian menjadi universitas milik Republik Indonesia Serikat dengan fakultas-fakultasnya
yang tersebar di negara-negara federal, antara lain di ibukota RIS Jakarta, di Negara Indonesia
Timur/Makassar (Fakultas Ekonomi), dan di Negara Jawa Timur/Surabaya (Fakultas Kedokteran
dan Lembaga Kedokteran Gigi).
Republik Indonesia Serikat hanya bertahan kurang dari satu tahun karena menguatnya sentimen
pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda. Federalisme pada umumnya
dicurigai karena asalnya jelas sebagai muslihat Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia.
Pemecah-belahan wilayah Indonesia secara administratif dan politis memiliki dampak yang amat
besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia karena eksistensi perguruan tinggi di wilayah

Indonesia menjadi terpisah-pisah di wilayah Republik dan di wilayah federal. Perguruan tinggi di
wilayah Republik dikelola oleh bangsa Indonesia yang hampir semua staf pengajarnya adalah
orang-orang Indonesia (Bumiputera) serta dengan fasilitas yang sangat terbatas, sedangkan
perguruan tinggi yang berada di wilayah federal dikelola oleh Belanda dengan staf pengajar yang
hampir semuanya orang-orang Belanda yang cakap. Mereka juga sudah menempati gedunggedung yang megah peninggalan masa kolonial. Keterpisahan pengelolaan perguruan tinggi
tentu saja sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang belajar di dua wilayah yang
berbeda secara politis tersebut. Mahasiswa yang belajar di Universitas Gadjah Mada yang
terletak di wilayah republik di Yogyakarta pada umumnya amat bangga. Kebanggaan itu lahir
karena mereka belajar diwilayah “sendiri” Republik Indonesia dan di wilayah perjuangan.
Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai republiken, orang/mahasiswa republik.
Kuatnya sentimen pro-Republik telah mendorong bubarnya negara-negara federal. Sebagian
besar rakyat di negara-negara federal buatan Belanda menghendaki agar kembali ke negara
kesatuan Republik Indonesia. Keinginan itu akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1950.
Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di dalamnya, serta negaranegara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik Indonesia
yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan.
Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia telah
mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia.
Universitas Gadjah Mada yang merupakan universitas milik Republik Indonesia semakin
memantapkan posisinya menjadi universitas nasional. Sementara itu Universiteit van Indonesia
yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda berubah nama menjadi Universitet Indonesia.
Perubahan nama itu merupakan bagian dari proses Indonesianisasi pendidikan tinggi di
Indonesia. Periode awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang sangat
tinggi yang diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat. Timbulnya perasaan semacam itu
diikuti dengan penjungkirbalikan simbol-simbol kolonialisme yang bisa membangkitkan
romantisme masa kolonial yang menyengsarakan. Akibatnya simbol-simbol yang berbau
kolonial dihancurkan dan diganti dengan simbol-simbol ke-Indonesiaan. Istilah-istilah Belanda
diganti dengan istilah-istilah Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti
menjadi Universitet Indonesia dan kemudian diubah menjadi Universitas Indonesia. Pengelolaan
universitas tersebut juga berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia. Sampai lahirnya
Universitas Airlangga pada tahun 1954, Indonesia pada waktu itu hanya memiliki dua perguruan
tinggi negeri yaitu Universitas Gadjah Mada dan Universitet Indonesia.
Indonesia terlahir sebagai sebuah negara kepulauan yang wilayahnya amat luas dan terbagi-bagi
secara adminsitratif yang bertumpang tindih dengan suku-suku. Sentimen antar daerah dan suku
amat tinggi walaupun konsepsi dasanya adalah negara kesatuan. Oleh karena itu sistem
pendidikan harus didasarkan pada keadilan secara merata atas wilayah-wilayah administratif,
jika pembagian secara kesukuan tidak memungkinkan karena banyaknya suku bangsa di
Indonesia. Hal itu disadari betul oleh para pemangku pendidikan pada periode awal. Pendidikan
tinggi diarahkan menjadi salah satu perekat bangsa, oleh karena itu antara tahun 1950-an sampai
tahun 1980-an pemerintah Indonesia menggenjot pendirian universitas-universitas di hampir
semua propinsi di Indonesia. Di beberapa kota besar yang merupakan simpul ke-Indonesiaan
diusahakan berdiri satu perguruan tinggi negeri.

Perluasan universitas-universitas di Indonesia direalisasikan dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 23 tanggal 1 September 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas
Hasanuddin di Makassar, Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1956 yang menetapkan berdirinya
Universitas Andalas di Bukittinggi, Peraturan Pemerintah No. 37 tanggal 1 September 1957 yang
menetapkan berdirinya Universitas Padjadjaran, serta Peraturan Pemerintah No. 48 tanggal 1
September 1957 yang menetapkan berdirinya Universitas Sumatera Utara di Medan. Selama
periode 1950-an jumlah PTN yang didirikan berjumlah 12 buah. Pada periode ini perintisan
pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru juga mulai dilakukan. Pada periode ini
IKIP Bandung berdiri. Pada saat yang sama IKIP Malang dan IKIP Padang juga didirikan. Pada
awalnya pendidikan tinggi khusus untuk mencetak tenaga guru tersebut masih merupakan bagian
dari universitas, sebagai fakultas ilmu pendidikan. IKIP Malang merupakan bagian dari
Universitas Airlangga Surabaya.
Pada periode ini bangsa Indonesia telah mengukuhkan bahwa universitas yang sudah tersebar di
banyak kota besar merupakan bagian dari jati diri bangsa yang telah merdeka. Oleh karena itu
ketika sentimen anti Belanda yang menguat pada akhir tahun 1950-an akibat diabaikannya hasil
Konferensi Meja Bundar mengenai status Irian Barat, hal itu juga merembet ke universitasuniversitas. Bahasa Belanda yang pada waktu itu masih diajarkan di beberapa fakultas di
perguruan tinggi sempat dihentikan. Di Surabaya buku-buku referensi berbahasa Belanda sempat
dikumpulkan dan akan dibakar, namun hal tersebut bisa dicegah. Beberapa universitas yang pada
waktu itu masih memanfaatkan tenaga pengajar berkebangsaan Belanda bahkan sempat
memulangkan dosen yang bersangkutan ke negerinya. Situasi ini menggambarkan bahwa
perguruan tinggi pada saat-saat tertentu rentan terhadap intervensi politik. Hal ini tercermin pula
pada masa Demokrasi Terpimpin, dimana perguruan tinggi juga terlibat secara aktif dalam
proses penyebaran gagasan pribadi presiden yang dilembagakan oleh negara.
Peran penting perguruan tinggi pada awal kemerdekaan selain menjadi simbol persatuan bangsa
juga menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Perguruan tinggi secara aktif terlibat
dalam usaha-usaha untuk mengentaskan kondisi rakyat yang porak-poranda akibat perang yang
berkepanjangan. Pada tahun 1951 ketika pemerintah menghadapi desakan karena kekurangan
tenaga guru SMA di luar Jawa, perguruan tinggi di Jawa secara serentak membentuk proyek
Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Selama kurang lebih sepuluh tahun program ini telah
mengirim tidak kurang dari 1.600 mahasiswa dari universitas-universitas di Jawa ke daerahdaerah di luar Jawa. Mereka ditempatkan di sekitar 160 SMA yang tersebar di 91 kota di luar
Jawa. Keterlibatan secara intensif perguruan tinggi ke dalam dinamika masyarakat telah
mengukuhkan lembaga tersebut bukan sebagai menara gading. Perguruan tinggi adalah bagian
dari masyarakat, maka apapun yang menjadi keinginan sudah sewajarnyalah dikawal oleh
perguruan tinggi.
Keterlibatan dunia perguruan tinggi pada setiap momen yang melibatkan masyarakat luas telah
membuat pendidikan tinggi di Indonesia semakin memiliki bentuk dan menjadi lebih dikenal
oleh masyarakat. Menyatunya perguruan tinggi dengan masyarakat kemudian dilembagakan
dalam bentuk Tridharma Perguruan Tinggi, yang mencakup Pendidikan, Penelitian, dan
Pengabdian kepada Masyarakat melalui Undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan
Tinggi. Pelembagaan keterlibatan perguruan terhadap dinamika masyarakat diperkuat dengan
jargon bahwa perguruan tinggi adalah agen perubahan. Berkaca pada perjalanan sejarah lembaga

tersebut, setiap perubahan besar di Indonesia sekurang-kurangnya melibatkan civitas academica,
terutama sejak pendidikan tinggi mulai eksis. Maka tidak mengherankan jika goncangan politik
yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an juga melibatkan perguruan tinggi.
Berbagai ketidakberesan penyelenggaraan negara telah mendorong mahasiswa untuk terlibat
dalam pengoreksian secara total atas sistem yang berlaku. Organisas-organisasi mahasiswa baik
organisasi ekstra maupun intra kampus bekerja sama dengan elemen masyarakat lain bahumembahu melakukan pengkajian secara kritis, baik secara akademis maupun secara praktis
dengan cara turun ke jalan. Hasilnya adalah sebuah perubahan politik mendasar pada tahun 1966
yang berjalan atas dorongan civitas academika di seluruh Indonesia. Pada saat goncangan politik
melanda Indonesia, aspek pendidikan tetap merupakan prioritas pemerintah. Pada periode 1960an perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah didirikan di mana-mana. Jumlahnya mencapai
29 buah. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik yang dari hari ke hari semakin
meningkat. Hal ini menandakan bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan
pembangunan negara semakin memadai setelah beberapa tahun sebelumnya dilanda peperangan
besar.
Perubahan paradigma penyelenggaraan negara mengiringi perubahan politik yang drastis.
Indonesia memasuki sebuah periode yang kemudian populer sebagai periode Orde Baru.
Indonesia yang pada periode sebelumnya terkesan mengurung diri dan anti terhadap modal asing
secara berlahan-lahan membuka diri. Salah satu kebijakan ekonomi yang penting adalah
membuka diri atas modal asing. Modal asing adalah elemen yang amat penting untuk
menjalankan roda pembangunan. Kata “pembangunan” berkembang menjadi kata yang elitis dan
digunakan oleh penguasa baru sebagai alat untuk merancang program apa saja yang mereka
kehendaki. Perguruan tinggi sebisa mungkin juga diarahkan sebagai bagian dari paradigma baru
tersebut. Masalah modal asing dan masalah pembangunan disikapi secara berbeda-beda oleh
civitas academika. Sebagian mahasiswa bahwa curiga bahwa kebijakan untuk membuka
masuknya modal asing secara tidak terkendali merupakan upaya menjual bangsa secara
terselubung. Gerakan anti modal Jepang yang didengungkan oleh mahasiswa pada awal tahun
1970-an berubah menjadi malapetaka yang hampir saja menghanguskan ibukota negara pada
tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa tersebut harus dipahami sebagai bagian dari sikap kritis
civitas academica untuk melakukan berbagai ketidakberesan yang melanda bangsa. Pada periode
ini perguruan tinggi sering dijadikan alat oleh perorangan atau kelompok tertentu untuk
memuluskan keinginan politik mereka. Dalam beberapa hal, kondisi ini sering merugikan
perguruan tinggi. Mahasiswa sering menjadi korban ambisi orang tertentu. Hal ini tentu saja
menjadi kontraproduktif.
Terlepas dari segala kekurangan yang terjadi, pada era Orde Baru perguruan tinggi di Indonesia
mengalami perkembangan yang amat pesat. Pendidikan tinggi memainkan peranan yang penting
untuk mengisi setiap elemen negara. Pada periode ini pendidikan tinggi dilembagakan dalam
satu direktorat jenderal tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Pelembagaan pendidikan tinggi dalam lingkup keorganisasian
tersendiri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terkandung maksud agar koordinasi
antar perguruan tinggi lebih tertata.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde B

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22