Sejarah Otonomi Daerah Oleh (1)

Sejarah Otonomi Daerah:
Dari Sentralisasi ke Otonomi Pemerintahan Daerah dalam Sejarah Islam Klasik1

Oleh:
Muh. Nur Ichsan A.
[email protected]
Sejarah Kebudayaan Islam
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
A. Pendahuluan
Sistem sosial dan struktur masyarakatnya dikatakan sebagai salah satu hasil peradaban
yang paling utama untuk menelusuri latar sejarah suatu masyarakat atau kawasan tertentu. Menurut
Bryan S. Turner bahwa peradaban manusia bersifat universal. Lebih lanjut, Turner, mengatakan
bahwa peradaban suatau masyarakat selalu berpola dan bertumpu pada persoalan materi dan dapat
dinilai keberadanya. Seturut dengan Turner, Koentjoroningrat, berusaha lebih menspesifikkan
bahwa peradaban manusia secara universal dapat diturunkan menjadi tujuh konsep; bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi, dan
kesenian. Dari kedua konsep dasasr di atas, maka setidaknya kalau kita menarik jauh ke belakang,
maka dalam sistem masyarakat kuno, hal ini dapat diidentikfikasi keberadaanya, termasuk dalam
sistem sosial dan struktur masyarakat pra-Islam dan Islam.
Dalam sejarah Islam, salah satu yang menarik untuk dikaji adalah sistem sosial dan sturktur
masyarakat yang kemudian berdampak pada kehidupan politik-pemerintahan masyarakat secara

umum. Di masa pra-Islam sistem pemerintahan dan sosial masyarakat jelas terpusat, sentral, pun
di masa Islam yang melakukan adaptasi peradaban dan kebudayaan pra-Islam untuk menjalankan
aktivitas masyarakat. Berdasarkan data singkat di atas, maka setidaknya perlu diskursus khusus
untuk melihat sistem dan struktur masyarakat, dalam hal ini sistem pemerintahan, pra-Islam dan
Islam. Untuk memudahkan pendeskripsian dan analisanya maka penulis membatasi pada beberapa
rumusan masalah: Bagaimana sistem dan struktur masyarakat pra-Islam dan Islam di masa lalu?
Bagaimana sistem pemerintahan dalam Islam? Mengapa terjadi perubahan sistem pemerintahan
yang fundamental dari sentralisasi ke otonomi daerah?
B. Kerangka Konseptual dan Metode
1

Tulisan Ini dipresentasikan Maret, 14 2018, Yogyakarta, Sejarah Dunia Islam Klasik.

Tulisan ini merupakan tulisan sejarah yang menggunakan pendekatan politik. Kajian ini
dibatasi pada ruang lingkup pembahasan pada periode awal abad ke-7 sampai abad ke-13. Jika
merujuk pada batasan periodisasinya maka kajian ini jelas merujuk pada Islam Klasik di masa
awal Islam hingga proses penyebaran ajaran Islam di kawasan Timur Tengah. Politik menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, diartikan mengenai (pengetahuan) tentang ketatanegaraan
atau segala urusan dan tindakan yang melingkup pemerintahan satu negara dan antar negara. Di
dalam Islam, politik disinonimkan dengan siyasah (mengatur, mengurus, dan memrintah) yang

berkaitan dengan ilmu tata negara. Menurut Abdul Wahhab Khallaf (1994: 7) menyatakan bahwa
siyasah diartikan sebagai ilmu pemerintahan yang mengatur dan mengendalikan negara dan
masyarakatnya dengan tujuan keadilan dan kemaslhatan secara umum.
Kerangka konseptual dalam tulisan ini kemudian diawali ketika mulai meluasnya wilayah
Islam dan kesuksesan Islamisasi hingga perubahan tatanan politis masyarakat di Jazirah Arab di
masa-masa akhir kekhalifaan Abbasiyah di Baghdad. Jika kita melihatnya secara saksama, maka
batasan periodisasi dalam tulisan ini cukup luas, namun pada kerangka konseptualnya hanya
dibatasi pada proses pemisahan dan praktek pemerintah dari desentralisasi ke daerah otonomi di
masa Islam klasik. Batasan ini akan mengantarkan kita untuk memahami kehidupan bernegara dan
struktur masyarakatnya umat Islam di masa-masa awal, sehingga kita dapat melihat kekhasan dan
khazanah kehidupan umat islam secara komprehensif.

C. Pembahasan
1. Kawasan Jazirah Arab Pra-Islam
Jazirah Arab dalam catatan sejarah memiliki batasan geografis yang cukup luas.
Kawasan ini dibatasi oleh daratan Syiria dan Asia Kecil di sebelah Utara; Sungai Eufrat
dan Terluk Peris di sebelah Timur; Laut Arab di bagian Selatan; dan Laut Merah di bagian
baratnya. Jika melihat batasan wilayah ini, maka setidaknya dalam konsep negara modern
saat ini Hejaz, Yaman, Oman, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Irak dan
Palestina, termasuk dalam kawasan jazirah Arab. Kawasan ini kemudian dibagi menjadi

tiga bagian; Arabian Felix, Arabian Patrea, dan Arabian Deserta, yang memiliki topografi
tersendiri sebagai identitas wilayahnya. Arabian Felix dikatakan sebagai kawasan yang
cukup subur di sekitar pesisir pantai barat dan barat daya Jazirah Arab; Arabian Patrea
berada di kawasan yang berbatu dengan topografi yang landai dan kering serta dipenuhi

banyak bebatuan. Kawasan ini berada di sekitar barat laut Jazirah Arab; Arabian Patrea
berada di kawasan padang pasir yang kering dan panas (Hosain, 1933:1).
Jazirah Arab termasuk salah satu kawasan penting dalam jaringan perdagangan
internasional di masa lalu. Letaknya yang strategis memberikan dampak positif bagi
kehidupan masyarakat setempat, terutama bagi kelompok Quraisy. Mereka memanfaatkan
kestrategisan posisi Jazirah Arab untuk memperoleh uang dan peningkatan ekonomi
mereka. Akan tetapi, tidak semua penduduk di Jazirah Arab merasak peningkatan ekonomi
yang signfikan. Hanya orang-orang Quraisy-lah yang merasakan dampak positif tersebut,
karena faktor kekuatan mereka di kawasan Jazirah Arab.
Tatanan sosial masyarakat Arab terbagi atas dua identifikasi; masyarakat perkotaan
(Ahlu ‘l-Hadarah) dan masyarakat padang pasir (Ahlu ‘l-Badiyah). Keduanya memiliki
perbedaan yang cukup mencolok, terutama pada aktivitas perekonomian dan sturuktur
pemerintahannya (Husaini, 1946: 1). Masyarakat perkotaan secara umum dikenal sebagai
masyarakat yang cukup mudah untuk berkembang dikarenakan intensitas interaksi mereka
dengan para pendatang cukup tinggi. Interaksi tersebut terjalin karena hubungan dagang

dan ekonomi di kawasan perkotaan Arab. Pemerintahan mereka juga cukup tersturuktur
dengan baik dimana mereka memilih pemimpin berdasarkan nasab, pengaruh dan
kekayaan mereka di tengah-tengah masyarakat perkotaan. Berbeda dengan penduduk
padang pasir dimana mereka terisolir, sehingga aktivitas dan interaksi mereka dengan
penduduk lainnya juga terbatas. Bahkan struktur pemerintahan mereka tidak terlepas dari
ashabiyah mereka sendiri.
Di masa-masa awal kelahiran Muhammad saw., Bani Hasyim, leluhur Muhammad
saw., memegang kekuasaan dan pengaruh di kawasan perkotaan Arab. Di Mekkah,
keturunan Bani Hasyim menguasai tempat paling strategis di pusat kota, Ka’bah. Mereka
mengatur para pendatang dari berbagai daerah yang ingin menjalankan ibadah haji.
Kebijakan ini pulalah yang meningkatkan perekonomian orang-orang Arab yang tinggal di
sekitar Ka’bah (Hosain, 1933: 11-13). Pergantian orang-orang berpengaruh terus berlanjut
hingga Muhammad saw., diangkat menjadi utusan. Saat Muhammad saw., mulai
mengajarkan Islam kepada penduduk setempat, terjadi penolakan secara terang-terangan
terhadap ajakan tersebut. Bahkan orang-orang Quraisy sendiri mengira bahwa Muhammad
saw., sebagai ancaman serius yang ingin mengganti kedudukan mereka sebagai pengatur

ekonomi dan pemerintahan di Mekkah. Yang pada akhirnya, salah seorang pembesar di
Mekkah, Abu Bakar as-Shiddiq, mengakui Muhammad saw. sebagai seorang utusan dan
menerima ajaran Islam (ibid, 37).

Secara perlahan terjadi perubahan struktur di tengah masyarakat Arab, termasuk
Quraisy. Mereka yang percaya dan menerima Muhammad sebagai utusan membantunya
untuk tetap menghidupkan ajaran Islam dan masyarakat Arab mau menerimanya. Namun
hal tersebut tidak mudah. Orang-orang Arab, terutama para pembesar Quraisy, yang sudah
nyaman pada posisi mereka menolak ajakan tersebut dan mengatakan bahwa Muhammad
saw., hanya obsesi untuk menjadi penguasa di Arab. Tuduhan mereka dimulai pada
persolan ekonomi yakni mengatakan bahwa Muhammad saw., ingin menguasai Ka’bah
sehingga semua aktivitas yang berkaitan dengan haji dapat dikendalikan oleh Muhammad
saw dan tentunya untuk memperkaya dirinya sendiri (lihat Karim, 2014). Tuduhan lain
yang dilakukan oelh para pembesar Quraisy terhadap Muhammad saw., adalah ingin
menjadi penguasa tunggal di Mekkah dan mengambil alih semua aktivitas pemerintahan di
sana. Anggapan ini terus berkembang hingga hanya beberapa orang yang percaya terhadap
Muhammad saw.
Sepeninggal Muhammad saw., kekacuan muncul satu persatu. Persoalan pertama yang
timbul adalah masalah suksesi. Orang-orang Arab, termasuk Quraisy, yang awalnya
seorang Muslim kemudian berbalik arah dan keluar dari Islam. Bahkan persoalan yang
muncul semakin rumit, ketika muncul perselisihan siapa penerus dan pengganti
Muhammad saw. Masa ini kemudian dikenal sebagai masa Khalifah al-Rasyidun yang
pada akhirnya akan memunculkan berbagai polemik, terutama pada sturuktur
pemerintahan di tengah masyarakat Arab sendiri (Hitti, 2005: 414; Karim, 2014: 72).

Terdapat dua kubu yang kemudian muncul selepas meinggalnya Muhammad saw. Kubu
pertama muncul yang secara langsung memproklamasikan Ali sebagai suksesor yang
pantas. Di satu sisi ada juga yang mendukung bahwa yang pantas menjadi penerus
Muhammad saw., adalah Abu Bakar as-Shiddiq2. Walaupun pada kenyataanya, persetruan
2
Untuk dua perdebatan ini sudah sering didiskusikan, terutama ketika membahas mengenai sistem
pemerintah dalam Islam di masa klasik. Kelompok yang menginginkan Ali sebagai pengganti Muhammad saw.,
didasarkan pada perkataan Muhammad saw., sambil memegangnya dan berkata: Dia (Ali) adalah wakil dan
penggantiku, maka (kalian) dengarkanlah ucapannya dan patuhlah padanya (al-hadits). Lebih jauh lagi ada yang
menghubungkan bahwa Ali lebih pantas menjadi penerus Muhammad saw., sebab Ali adalah sepupu sekaligus
menantunya. Dari hubungan tersebut, mereka yang mendukung Ali menjadi penerus Muhammad saw., mendasarkan

mengenai penerus perjuangan Muhammad saw., semua sejarawan sepakat bahwa masa
tersebut dikenal dengan masa Khulafa al-Rasyidun (632-661 M) dan selanjutnya
pemerintahan dalam Islam menjadi kekhalifaan yang disandarkan nasab para leluhur
pendiri awal mereka dari tahun (661-1258) atau disebut dengan isitilah Kekhalifaan dalam
Islam.
2. Jazirah Arab di Masa Islam: Perspektif Politik dan Sosial
Ajaran Islam sudah mulai disebarkan dan diajarkan oleh Muhammad saw. Ajaran
ini berisikan ketauhidan, meng-Esa-kan Allah, dan disempurnakan dengan ajaran

moralitas manusia terhadap sesama makhluk melalui al-Qur’an dan Hadits. Ajaran ini
terus berkembang hingga hampir seluruh Jazirah Arab merasakan proses Islamisasi.
Perjalanan panjang dalam sejarah Islam di masa awal memunculkan cukup banyak
persoalan dan hampir merata, baik secara individu maupun kelompok, tidak terkecuali
dalam persoalan sosial-politik. Untuk memudahkan pembahasan tersebut, maka ada
baiknya kita melihat pembahasa di bawah ini.
a. Otonomi di Masa Nabi Muhammad SAW.
Di dalam berbagai sumber sejarah menceritakan bahwa Muhammad saw.,
dilahirkan di Jazirah Arab karena pada saat itu suasana dalam keadaan kacau.
Perpecahan terjadi di mana-mana. Perang antar kelompok, suku, bahkan hubungan
antar manusia pun tidak terjalin dengan baik. Wanita dan bayi wanita diperlakukan
semena-mena oleh kaum lelaki hingga sampai tega mengubur bayi wanita yang
baru lahir, karena dianggap tidak mampu melanjutkan garis nasab. Kondisi ini
sudah menunjukkan bahwa di kalangan Jazirah Arab sistem patriarkhial
berpengaruh sangat kuat untuk pembentukan satu kelompok sosial.
Seruan Muhammad saw. untuk memeluk ajaran Islam kepada penduduk
Jazirah Arab ternyata tidak berjalan dengan baik dan lancar. Semua usaha
Muhammad saw. berujung pada kebencian dari sanak saudaranya, terutama dari

bahwa Ali lebih pantas jika dibandingkan dengan yang lainnya ( Lihat Saiyad Safdar Hosain, 1933. The Early History

of Islam: with special Reference to the Position of Ali, during the Life of the Holy Prophet Muhammad and After,
Delhi: Low Price Publications, 42-44). Di satu sisi, Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad ibn ‘Ubaidah, sedangkan Kaum
Muhajirin menyatakan bahwa salah satu di antara mereka yang pantas menggantikan Nabi. Untuk menengahi
perselisihan tersebut, maka Majlis Syura menyepakati bahwa Abu Bakar yang pantas menjadi pengganti Rasul
(Khalifah al-Rasul) dengan alasan bahwa kepemimpinan dalam Islam berasal dari orang Quraisy (lihat M. Abdul
Karim, 2014. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan V, Yogyakarta: Bagaskara, 79-81).

para pemimpin Quraisy. Muhammad saw., menurut orang-orang Quraisy, hanyalah
seseorang yang haus akan kekuasaan. Para pemimpin Quraisy merasa terganggu
dengan seruan tersebut dan menghalangi dia untuk tetap menyebarkan ajaran Islam.
Lebih jauh lagi, orang-orang Quraisy, terutama dari kalangan pembesar Quraisy,
menuduh bahwa Muhammad saw., adalah seseorang yang gila harta. Tindakan
orang Quraisy yang dengan terang-terangan menolak Muhammad saw., karena
dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Alasan sederhanya adalah apabila orangorang Quraisy menerima ajaran Islam, maka semua aktivitas perekenomian tidak
lagi berada di tangan para pembesar Quraisy, terutama pada musim haji.
Selanjutnya, mata pencaharian para pembuat patung tidak lagi dibutuhkan karena
patung akan membuat orang-orang terjerembab ke arah kemusyrikan. Hal semacam
ini menjadi pertimbangan kuat bagi orang-orang Quraisy untuk tetap menolak
ajakan Muhammad saw.
Tak berselang lama, Islam mengalaimi perkembangan yang pesat. Beberapa

kelompok pembesar Quraisy mulai memeluk Islam (Lewis, 1974: xvii). Abu Bakar,
setelah Muhammad saw. menceritakan proses Isra’ Mi’raj-nya ke Sidrah alMuntaha, dengan suka rela menerima ajakan Muhammad saw. untuk menerima
ajaran Islam (Hosain, 1933: 37). Singkatnya, Muhammad saw., berhasil
menyebarakan dan mengajarkan Islam ke masyarakat Jazirah Arab, terutama
berhasil mempersaudarakan kalangan Kaum Anshar dan Muhajirin dalam peristiwa
hijrah Nabi ke Yathrib (Karim, 2014: 70-71).
Ada beberapa hal menarik ketika Islam sudah mulai diperhitungkan oleh
kelompok Quraisy. Kewaspadaan para pembear Quraisy terhadap Muhammad saw.
dan ajarannya, Islam, terlihat saat sis humanisme dalam ajaran Islam ditonjolkan.
Terjadi perubahan yang signifikan dalam sturuktur sosial masyarakat Arab. Para
wanita tidak lagi diperlakukan semena-mena. Menyiksa wanita dan mengubur anak
bayi wanita tidak lagi terjadi secara massif di kalangan masyarakat Arab, walaupun
pada kenyataannya sistem patriarkhial masih tetap dipertahankan oleh orang-orang
Arab dengan tujuan menjaga nasab mereka. Di sisi lain, kehidupan ekonomi tidak
bergantung lagi pada penguasa dan konglomerat Arab, terutama dari kalangan
Quraisy. Orang-orang Arab yang telah memeluk Islam mampu menghidupi diri

mereka dengan adanya sumber ekonomi secara kolektif yang dilakukan oleh
Muhammad saw. Yang paling menarik adalah dari sistem pemerintahan yang
diterapkan oleh Muhammad saw. Dia menerapkan sistem pemerintahan

berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya bahwa kebebasan berada di tangan rakyat,
namun tetap mengikuti otoritas agama yang sudah ditentukan oleh Allah. Di sini
terdapat interpretasi perpolitikan yang dilakukan oleh Muhammad saw., ketika
harus merangkul seluruh masayrakat Jazirah Arab yang majemuk.
Sebenarnya pada sistem pemerintahan Muhammad saw., sebagai kepala
daerah, dapat dikatakan sebagai sistem yang sentralisitik. Sistem tersebut terlihat
pada beberapa kasus untuk memperkuat asumsi ini. Asumsi pertama terlihat pada
tatanan dan struktur yang terbentuk di masa itu. S. A. Q. Husaini Maulawi (1946)
menyebutkan pada karyanya, terutama pada chapter II dalam bukunya Arab
Administration, bahwa administrasi di bawah kontrol Muhammad saw. merupakan
sistem terpusat, namun tidak terikat. Artinya, Muhammad saw., memberikan
kedaulatan penuh terhadap masyarakat di Jazirah Arab, terutama dalam hal
keyakinan, namun mereka juga tidak lepas dari aturan-aturan negara yang sudah
disepekati secara bersama. Oleh karena itu, di masa pemerintah Muhammad saw.,
sistem otonomi daerah hanya bersifat pada level tertentu semata, bukan pada
perspektif geografisnya, melainkan pada persepktif individunya.
Muhammad saw., hanya bersikap akomodatif semata agar mudah melakukan
kontrol terhadap umat Islam di masa awal. Sistem pemerintahan gubernur, yang
disebut sebagai wali, sudah diterapkan, namun mereka tetap melakukan pelaporan
terhadap Muhammad saw., untuk kondisi masyarakat dan ekonominya secara

menyeluruh. Untuk memudahkan Muhammad saw., melakukan pengawasan
terhadap daerah di bawah gubernur, maka Muhammad saw., mengikatnya dengan
propaganda keagamaan untuk menjalankan semua aspek kehidupan yang sedang
tumbuh pada masa itu (Husaini, 1946: 18).
b. Otonomi di Masa Khulafa ar-Rasyidun
Di masa Khulafa ar-Rasyidun ―selanjutnya disebut dengan khalifah― Islam
mengalami perkembangan yang semakin pesat. Wilayah Islam tidak hanya terpusat
hanya di kawasan Jazirah Arab semata, melainkan sudah meluas ke kawasan Afrika

dan Asia bagian Selatan meskipun mereka hanya dapat mengatur wilayah Islam
selama kurang lebih tiga puluh sembilan tahun.
Khalifah pertama, Abu Bakar yang menjabat hanya dua tahun (632-634)
(Hitti, 1970: 139) memberikan kesan yang baik pada umat Islam sepeninggal
Muhammad saw. Pemerintahannya yang demokratis dan berdaulat mampu menarik
perhatian umat Islam untuk tetap mengikuti ajaran tersebut. Otoritas kepemimpinan
dan keagamaan umat Islam berada di tangan Abu Bakar sebagai khalifah. Akan
tetapi Abu Bakar dengan sangat jelas menyatakan bahwa sebenarnya kedaulatan
individu dan komunal sangat berbeda. Untuk urusan personal, terutama yang
berkaitan dengan Allah, maka hal tersebut mutlak berada di tangan Allah dan
manusianya sendiri, sedangkan dalam urusan duniawi, manusia, sebagai suatu subsistem di masyarakat, berdaulat ketika suara komunal berusaha dijalankan untuk
tujuan bersama. Di sinilah pentingnya perspektif Abu Bakar mengenai perbedaan
antara kedaulatan rakyat dan negara dan rakyat dan Tuhan.
Dari awal, tidak ada negara Islam yang didirikan oleh Muhammad saw., pun
juga dengan para khalifah. Yang ada hanyalah sistem kenegaraan yang disandarkan
pada ajaran-ajaran Islam, namun tidak mengikat secara mutlak. Artinya, suara
rakyat adalah keputusan tertinggi dalam pemerintahannya, walupun ada interpretasi
terhadap hukum ketetapan Allah mengenai bernegara, yang kemudian dapat
dibuktikan dalam Piagam Madinah di masa sebelumnya.
Di masa Abu Bakar, pemerintahan Islam masih sama dengan sistem
pemerintahan yang diterapkan oleh Muhammad saw., yakni sentralistik namun
tetap mengedepankan kedaulatan rakyat melalui musyawarah. Wilayah-wilayah
Islam sebelumnya tetap dipimpin oleh seorang gubernur yang tidak lain adalah para
penakluk wilayah tersebut, namun di sisi lain, mereka tetap memegang teguh ajaran
humanisme Islam yang berorientasi ummah dan persamaan serta persaudaraan.
Kekhalifaan kemudian berganti ke tangan Umar (634-644) sebagai amir almukminuun. Pengangkatannya sebagai khalifah ditunjuk langsung oleh Abu Bakar
sebagai penggantinya (Rahman, 1977: 59-60). Penunjukan ini sebenarnya
didasarkan pada ketakutan Abu Bakar akan terjadi persitiwa yang sama ketika
sepeninggal Muhammad saw., sehingga Abu Bakar menunjuk Umar saat semua

sahabat berkumpul ketika menjeguk Abu Bakar. Di samping itu pula, menurut
penulis, ada kriteria lain dalam penilaian Abu Bakar terhadap Umar semasa Abu
Bakar dan Umar masih bekerjasama sebagai khalifah dan hakim. Di dalam
kerjasama tersebut, Abu Bakar melihat bahwa Umar adalah sosok yang tegas, jujur
dan dapat dipercaya serta adil untuk dijadikan sebagai seorang hakim, terutama
untuk memutuskan perkara keagamaan.
Ekspedisi dan ekpansi memang tidak lepas dari penyebaran ajaran Islam,
namun Islam tidak hanya selalu identik dengan kekerasan dan peperangan.
Meskipun dalam masa kepimimpinan Umar ekspansi terus terjadi, kawasan
strategis mulai dikuasai oleh umat Islam. Semangat dakwah ditekankan oleh Umar
terhadap prajurit Muslim daripada mencari harta rampasan perang (Karim, 2014:
85). Ekspansi tersebut ternyata berdampak positif bagi persebaran ajaran Islam. Di
masa Umar wilayah Islam terbagi atas delapan provinsi dengan menunjuk seorang
gubernur, wali, untuk setiap wilayahnya. Misalnya saja ketika Muawiyah ditunjuk
sebagai gubernur oleh Umar di Syiria dan beberapa daerah lainnya, termasuk
sebagian Irak, Persia, Mesir, Tripoli dan Barqah (Hosain, 1933(2): 313; Hitti, 1970:
155-65).
Di masa-masa ini kebijakan Umar terhadap wilayahnya cukup memberikan
kesejahteraan bagi semua kalangan, baik para kepala negara, tentara, dan
masyarakat pada umumnya. Salah satu bukti yang mendukung bahwa Umar
merupakan salah satu pemimpin yang adil ketika dirinya mengeluarkan kebijakan
untuk memperbaiki administrasi pemerintahannya dengan berani memberikan gaji
tetap kepada tentara dan seluruh sahabat Nabi. Di satu sisi juga, Umar menerapkan
kebijakan di bidang ekonomi untuk mendukung perbaikan administrasi tersebut.
Dia dengan rinci memberikan kompensasi terhadap semua keluarga Nabi, dan para
anak-anak yang ditinggal dalam Perang Badr (Husaini, 1946: 53-54). Di sini
kemudian menunjukkan bahwa pemerintahan bertanggung jawab terhadap seluruh
rakyatmya untuk merasakan kemakmuran dan keadilan.
Di masa Utsman (644-656), pemerintahan Islam terus berkembang. Wilayah
Islam semakin meluas yang tidak hanya berada di daratan Jazirah Arab semata,
melainkan terus berkembang ke daratan Afrika bagian Utara dan Asia di bagian

Selatan (Mahmudunnasir, 1994: 127-134). Karim (2014: 91) menyebutkan bahwa
wilayah Islam di masa Utsman mencapai wilayah Pakistan di Asia, Asia Kecil dan
Aljazair di Afrika. Karena wilayah yang luas itu, maka Utsman melanjutkan
kebijakan Umar untuk tetap menggunakan jasa gubernur mengurusi wilayahwilayah Islam.
Yang menarik dari Utsman adalah dia memiliki kepribadian kuat didukung
dengan kekuatan fisik yang hebat serta memiliki pendirian, hingga Hitti (1970: 175)
menyebutnya sebagai seseorang yang keras kepala. Dia adalah seorang pemuka dari
kelompok baduwi yang disebut dengan sheikh dengan gaya hidup yang sederhana
namun pekerja keras. Terbukti dia mampu menaklukkan Iran, Azerbaijan dan
Armenia (ibid, 176.)
Di masa itu, dia mengangkat beberapa sanak familinya untuk dijadikan
sebagai gubernur di kawasan Islam. Dia mengangkat Walid bin Uqbah sebagai
gubernur Kufah, dan mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai diwan, sekertaris
negara. Bahkan beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa di masa Utsman
kepemimpinan lebih banyak di bawah pengaruh keturunan Umayyah (ibid, 177;
Dozy, 1913: 28). Pada sumber lainnya menunjukkan bahwa Muawiyah lebih
dahulu diangkat menjadi gubernur Syam, Abu Musa al-Asy’ari di Basrah dan
beberapa posisi strategis lainnya yang banyak diisi oleh kerabat khalifah Utsman
(Karim, 2014: 91-92). Namun pada kenyataanya, hampir semua pemimpin yang
dipilih oleh Utsman melakukan tindakan yang semena-mena terhadap wilayah yang
diawasinya.
Tindakan Utsman kemudian disebut sebagai nepotis oleh orang-orang yang
berseberangan dengannnya. Sejarah pun mencatatkan demikian mengenai tindakan
nepotism Utsman di masa itu. Para penulis sejarah, terutama di masa setelahnya,
menyatakan bahwa Utsman menunjuk mereka sebagai rasa sungkan dan tidak enak
hati kepada keluarganya sendiri. Apalagi sebagian besar yang diangkat oleh
Utsman tidak lebih dari saudara terdekatnya sendiri.
Ada dua hal yang berseberangan ketika harus membahas mengenai Utsman.
Pertama kasus dari Muawiyah dan Musa al-Ay’ari. Pada kasus Muawiyah,
Gubernur Syam, sebenarnya diangkat karena kecakapannya sendiri. Dia seorang

panglima perang yang ulung, cerdas dan ahli strategi. Sedangkan di kasus Musa alAsy’ari tindakannya yang cukup boros dan tidak memperhatikan rakyatnya sebagai
celah untuk memperkuat tuduhan nepotis terhadap Utsman. Akan tetapi, penulis
sendiri beranggapan bahwa, pengangkatan keduanya adalah kasus yang berbeda.
Perbedaan kasus dilihat dari sisi obejektif Utsman sendiri terhadap pemimpin
wilayah di daerah Muslim. Penulis lebih condong melepas perkiraan setelah
pengangkatan tersebut, namun melihat latar dari penunjukan tersebut. Oleh karena
itu, Utsman tidak melakukan nepotis melainkan berusaha membuat kondisi wilayah
Islam pada masa itu terlihat stabil.
Selanjutnya di masa Ali (656-661) sebagai khalifah pengganti Utsman.
Pengangakatan Ali tidak seperti yang terjadi antara Umar dan Utsman, namun lebih
mirip dengan pengangkata Abu Bakar yang penuh dengan gejolak. Pemilihan Ali
sebagai khalifah berdampak pada umat Islam di masa kemudian. Konflik antar
pendukung, kemudian beralih menjadi konflik politik yang membentuk sekte-sekte
politik dalam Islam: Sunni, Syi’ah, dan Khawarij. Ketiganya menjadi kelompok
politik yang muncul karena peralihan kekuasaan. Walaupun pada akhirnya, Ali
terpilih sebagai khalifah penerus Utsman.
Dozy mencatat (1913: 28) konflik kepemimpinan selepas Utsman terjadi
dengan tujuan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri di kalangan
keturunan Umayyah dan Abu Thalib, bahkan diarahkan ke Muhammad saw. Alasan
semacam ini cukup jelas karena Ali secara langsung adalah menantu sekaligus
sepupu Nabi, dan hal tersebut baru terbukti di kemudian hari.
Kebijakan Ali disektor pemerintahan cukup represif. Dia banyak mengganti
kepala daerah warisan Umar dan Utsman karena alasan tindakan kesewangwenangan dan pemanfaatan posisi (Karim, 2014: 107). Ali mengeluarkan kebijakan
bahwa seluruh kekayaan dan hasil pendapatan negara dimasukkan ke kas negara.
Negara yang akan mengelolanya agar pembagian dan pemanfaatannya bertujuan
untuk menyejahterakan umat Islam.
Di masa ini sistem pemerintahan kembali terpusat. Gubernur yang diberi
kebebasan untuk mengolah pemerintahan di kawasan Islam ditarik kembali ke
tangan Khalifah. Mu’awiyah yang dulunya dipercaya sebagai gubernur dan

beberapa gubernur lainnya dicabut dari posisinya, hingga pada akhirnya
Mu’awiyah melakukan perlawanan (Hosaini, 1946: 365-366). Bahkan Mu’awiyah
mengganggu kepemimpinan Ali sebagai Khalifah.
Dengan demikian dari peristiwa para khalifah di atas, persoalan mengenai
pengaturan wilayah Islam yang semakin meluas tidak lepas dari kebijakan para
khalifah yang menjabat. Tercatat selama empat khalifah yang menjabat selama tiga
puluh sembilan tahun, pemerintahan di masa itu tidak jauh dari sistem yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad saw. Terjadi sentralisasi kekuasaan, meskipun di
masa Umar dan Utsman penerapan kebijakan sedikit berubah menjadi otonomi,
namun tidak pada otonomi penuh, melainkan tetap tunduk pada kebijakan khalifah
sebagai kepala negara. Otonomi diterapkan hanya pada pengaturan dan
pengawasan wilayah semata agar tidak terjadi kekacuan dan muncul
pemberontakan, namun pada sistem perekonomian, kebijakan otonomi tidak
mengikuti pada kebijakan wilayah.
c. Otonomi Sistem Dinasti-Dinasti Islam Awal: Umayyah dan Abbasiyah
Konflik antara Ali dan Mu’awiyah terus berlanjut meski diakhiri dengan
proses damai yang dikenal dengan sebutan Tahkim. Proses ini sebenarnya
menandai bahwa sistem kepemimpinan dalam Islam berubah. Perubahan dari
khalifah, pengganti rasulullah yang dipilih secara demokrasi dan terbuka melalui
majelis syura, kemudian berganti menjadi pemilihan secara langsung berdasarkan
hak individu seorang pemimpin.
Hal ini juga memunculkan beberapa persoalan dalam kehidupan masyarakat
Muslim di masa awal-awal perkembangan dan pemertahanannya. Sturktur dan
sistem pemerintahan sedikit berubah di masa-masa kekhalifaan. Khalifah di masa
dinasti, tidak sama dengan khalifah di masa sebelumnya. Status khalifah masih
sama, namun memiliki tugas yang berbeda.
Mu’awiyah mendirikan kekhalifaan dengan sistem dinasti. Rujukan
utamanya untuk mendirikan dinasti melihat bahwa terdapat kelemahan dalam
sistem pemerintahan sebelumnya. Stoddard (1921:42-43) menyingung bahwa
perubahan sistem pemerintahan ini dikarenakan oleh sifat dasar manusia itu sendiri
yakni “hawa nafsu”. Yang kemudian menurut penulis orientalis bahwa sejarah

Islam di masa dinasti tidak lepas dari kepentingan individu, bukan lagi mencari
kedaulatan untuk rakyat.
Akan tetapi Ibnu Khaldun berbeda pendapat dari Stoddard mengenai hal
tersebut, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa Mu’awiyah menjabat sebagai khalifah
dan menunjuk khalifah secara langsung dikarenakan ketakutannya sendiri. Dia,
Mu’awiyyah, tidak menginginkan adanya pertumpahan darah yang terulang ketika
harus mencari penggantinya sebagai khalifah. Oleh karena itu, dia menunjuk Yazid
sebagai pengganti posisinya menjadi khalifah. Lebih lanjut Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa Mu’awiyah hanya membela kaummya semata yang seolah-olah
hal tersebut lumrah terjadi di kalangan masyarakat Arab.
Tidak jauh berbeda dengan sistem dinasti yang dibentuk oleh Umayyah di
Syiria, Abbasiyah juga mendirikan dinasti di daratan Baghdad. Kedua dinasti ini
memerintah dengan pola yang sama yakni khalifah. Sistem teokrasi digulingkan
dengan alasan bahwa khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi ini, maka semua
rakyat berkewajiban tunduk kepada khalifah.
Kepemimpinan wilayah yang dikepalai oleh seorang gubernur kini berada di
tangan khalifah. Kekhalifahan di kedua dinasti ini memiliki sistem pemerintahan
yang sama sentralisitik. Artinya, khalifah adalah penguasa tunggal di wilayahnya
dan hanya menempatkan seorang gubernur saja sebagai pengawas, bukan sebagai
pemberi kebijakan untuk masyarakat yang dipimpinnya.
3. Masa Transisi: Dari Sentralisasi ke Sistem Otonomi Daerah
Masa pemerintahan di masa Islam awal, sejak Muhammad saw. hingga dengan
terbentuknya dua dinasti besar dalam, memiliki ciri khas tersendiri. Reformasi
masyarakat dalam Islam terjadi secara perlahan dan kemudian mengarah pada
perubahan yang massif.
Di masa Muhammad saw., otoritas kepemimpinan berada di tangan rakyat.
Negeri berdaulat dimana otoritas tidak lepas dari musyawarah dan suara rakyat itu
sendiri. Al-Qur’an dan Hadits Muhammad saw., menjadi dasar utama dalam
menerapkan kebijakannya. Semua disandarkan pada ajaran Al-Qur’an dan Hadits
namun di satu sisi tidak melepaskan sisi humanisme sebagai pesan utamanya.
Muhammad saw., memulainya dengan melakukan korespondensi terhadap masyarakat

Jazirah Arab pada masa itu. Surat dikirimkan kepada setiap perwakilan suku, dan
membuat perjanjian untuk kesejahteraan mereka dengan mengangkat seorang gubernur
dan pengumpul pajak. Tujuannya adalah untuk kebaikan bersama atas nama rakyat.
Karakteristik pemerintahan di masa Muhammad saw., dapat dikatakan memiliki sistem
pemerintahan yang sentral, terpusat, dengan Muhammad saw., sebagai kepala daerah
dan pemutus kebijakan. Tentunya kebijakan yang dikeluarkan menunggu kesepakatan
bersama dari rakyat apabila hal tersebut tidak memberatkan untuk mereka.
Untuk memudahkan Muhammad saw., mengatur semua itu, maka dia
membentuk satu kesekertariatan yang dipilih berdasarkan kecakapan personalanya.
Misalnya saja, ketika Muhammad saw., menunjuk Zubair bin al-Awwam dan alJuhaym bin Salt sebagai orang yang mengumpulkan zakat dan sadaqah, awwalu’ssadaqat. Al-Mughirah bin Shu’bah dan al-Hasan bin Namir diangkat menjadi pencatat
transaksi di masyarakat, atau sebagai petugas register transaksi keuangan di pasar. Zaid
bin Tsabit dijadikan sebagai pembawa pesan untuk para penguasa di setiap wilayah
yang ada di sekitar Jazirah Arab dan Afrika. Bahkan Muhammad saw., mengangkat
seorang sekertaris untuknya dan menunjukan Hanzalah bin ar-Rabi’ sebagai sekertaris
pribadinya (Hosaini, 1946: 18-20).
Untuk pemerintahan di setiap wilayahnya, ketika ajaran Islam sudah mulai
tersebar luas, Muhammad saw., mengangkat gubernur di beberapa daerah strategis.
Muhammad saw., memilih Madinah sebagai pusat pemerintahannya. Muhammad saw.,
membagi wilayah Islam yang cukup luas ke dalam beberapa provinsi. Tercatat ada
delapan provinsi yang dibentuk oleh Muhammad saw., saat menjadi kepala negara.
Madinah, Tayma, al-Jaund, region of Banu Kindah, Makkah, Najran, al-Yaman,
Hadhramuat, Oman dan Bahrain (ibid, 20). Setiap wilayahnya diangkat seorang
gubernur dan beberapa pembantunya, seperti amil dan qadi. Pembagian itu untuk
memudahkan urusan dan pelaporan kepada Muhammad saw., yang memilih Madinah
sebagai pusat pemerintahannya.
Pendapatan utama dari pemerintahan setiap provinsi ini adalah ghanimah, zakat
dan shadaqah, pajak perorangan, pajak tanah, dan pajak tanah taklukkan. Semuanya
itu bukan untuk kepentingan para penguasa saja, melainkan disalurkan kepada seluruh
rakyat yang ada di bawah pemerintahan Muhammad saw., termasuk untuk anak yatim-

piatu, miskin dan untuk kepentingan umat Islam lainnya. Menariknya, tanah taklukan,
tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pajak semata, namun juga dimanfaatkan
untuk menunjang kebutuhan masyarakat di bawah kepemimpinan Muhammad saw.,
terutama umat Islam.
Sepeninggal

Muhammad

saw.,

pemerintahan

untuk

kedaulatan

dan

kesejahteraan rakyat tetap dipertahankan. para khalifah pengganti Muhammad saw.,
masih melanjutkan pemerintahan semi otonomi tersebut. Abu Bakar masih menerapkan
sistem yang dipimpin oleh Muhammad saw. (Hitti, 1970:141). Walaupun pada
kenyataanya banyak juga orang-orang Islam yang dulunya tunduk terhadap aturan
Muhammad saw., namun setelah kepergiannya mereka malah berbalik arah dan
membangkang terhadap Abu Bakar. Di Yaman misalnya, suku Yamamah tidak ingin
melanjutkan pembayaran pajak sebagaimana yang telah disepakati dengan Muhammad
saw.
Perubahan struktur kepemimpinan terjadi di masa khalifah Umar. Umar yang
membagi wilayah menjadi delapan provinsi ―Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah
(Mesopotamia), Basrah, Kufah, Mesir, dan Palestina. Yang paling unik, Umar
membagi dua provinsi besar menjadi dua distrik utama, seperti yang dilakukan pada
Palestina, Ayliyah dan Ramlah. Selanjutnya di Mesir terdapat Mesir bagian atas dan
Mesir bagian bawah. Serta beberapa provinsi besar lainnya yang kemudian menjadi
wilayah kekuasaan Islam. Umar menambahkan beberapa struktur baru dalam
pemerintahan karena dianggap wilayah Islam di masa itu terlalu luas. Dia membentuk
tiga sturktur baru yakni Amil, kepala distrik, Kitab ad-Diwan, sekertaris badan
pertahanan dan Sahibu Bayti al-Mal, sekertaris keuangan. Wali dan ‘Amil memliki
tugas yang berbeda meskipun sama-sama mengontrol satu wilayah, namun posisi wali
kedudukannya lebih tinggi jika dibandingkan denga Amil.
Pada kebijakan lainnya, khalifah menarik semacam pajak untuk para pedangang
yang akan berdagang di kawasan Islam. Hal ini sama dengan penarik biaya bea-cukai
di negara modern. Penarikan ini dikarenakan para pedagang yang berdagang di
kawasan Islam, juga, memanfaatkan fasilitas yang dibangun oleh pemerintah untuk
memperoleh keuntungan di saat melakukan perdagangan di kawasan tersebut.
Kebijakan ini juga memiliki standar khusus agar dapat dimintai biaya bea-cukai yakni

sekitar 60 sa’s (Hosaini, 1946: 35-37). Ini mungkin salah satu terobosan terbaik dari
Umar ketika menjadi seorang Khilafah, karena di masa setelahnya, Ali, yang menjadi
pokok permasalahan terletak pada konstelasi politik yang menyebabkan terpecahnya
kelompok umat Islam.
Dua Dinasti Islam, Umayyah dan Abbasiyah, juga sebenarnya menerapkan hal
yang lebih berkembang lagi. Dalam sistem perpolitikan, khususnya pada politik dalam
negeri dan luar negeri, pemerintahan Islam semakin meluas. Di sini juga muncul
kelompok sosial baru yakni orang Arab dan mawali. Inti dari pembagian ini sederhana
yakni agar para pemangku pemerintahan terjaga untuk nasab tertentu semata. Lain
halnya lagi ketika harus merujuk bahwa yang patut menjadi seorang pemimpin adalah
hanya orang-orang Arab semata (Hasjmi, 1993. 154). Dua dinasti ini sebenarnya
menerapkan kebijakan otonomi daerah yang cukup beresiko. Pemerintahan dimasa
Dinasti cukup berbeda dengan masa al-Khulafa ar-Rasyidun yang kekuasan tertinggi
berada di tangan rakyat, tapi di masa dinasti pemerintahan monarki absolut
(Fachruddin, 1988: 248).

D. Penutup
Tatanan sosial masyarakat Arab terbagi masyarakat perkotaan dan masyarakat padang
pasir. Masyarakat perkotaan secara umum dikenal sebagai masyarakat yang cukup mudah untuk
berkembang dikarenakan intensitas interaksi mereka dengan para pendatang cukup tinggi.
Interaksi tersebut terjalin karena hubungan dagang dan ekonomi di kawasan perkotaan Arab.
Perjalanan panjang dalam sejarah Islam di masa awal memunculkan cukup banyak persoalan dan
hampir merata, baik secara individu maupun kelompok, tidak terkecuali dalam persoalan sosialpolitik.
Ajaran Islam berkembang dan berjalan dengan baik. Beberapa pembesar Quraisy mulai
memeluk Islam. Para al-khalifah al-Rasyidun memberikan kesan yang baik pada umat Islam
sepeninggal Muhammad saw. Pemerintahan yang demokratis dan berdaulat mampu menarik
perhatian umat Islam untuk tetap mengikuti ajaran tersebut. Otoritas kepemimpinan dan
keagamaan umat Islam berdaulat karena dukungan rakyat. Awalnya negeri berdaulat dengan
rakyat sebagai pemimpin tertinggi. Wilayah Islam meluas ke dalam beberapa provinsi sebagai
kawasan otonomi. Sistem pemerintahan diterapkan pengaturan dan pengawasan wilayah semata

agar tidak terjadi kekacuan dan muncul pemberontakan, namun pada sistem perekonomian,
kebijakan otonomi tidak mengikuti pada kebijakan wilayah.
Di dalam Islam, sistem pemerintahan negara tidak dibakukan. Islam hanya memberikan
prinsip-pirinsip dasaranya yang sudah tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
saw. Islam hanya memberikan persepsi mengenai keadilan, persamaan, dan adanya kesepakatan
bersama (syura), tergantung bagaimana seorang kepala dan pemimpin sebuah daerah dan ngara
menjalankan prinsip dasar tersebut. Suatu negara tidak memiliki aturan yang mengikat untuk
memilih kepala negara dan sistem pemerintahanya. Misalnya di masa pra-Islam, seorang kepala
negara atau kepala daerah ditunjuk berdasarkan dari nasab dan garis keturunanannya, kemudian di
masa Islam, kepala negara dan kepala daerah diangkat berdasarkan pada kesepakatan bersama,
setelah sepeninggalan Muhammad saw. Bahkan yang lebih unik terjadi di masa Muhammad saw.,
dimana dia diangkat menjadi kepala daerah berdasarkan kesepakatan antar kelompok. Hal ini dapat
dibuktikan melalui proses perjanjian Piagam Madinah, yang tujuan utamanya adalah memberikan
kebebasan, keadilan, dan setaranya antar umat beragama di masa itu.

Dengan demikian,

pembentukan negara dan pemilihan kepala negara tidak memiliki aturan baku, namun memiliki
tujuan yang baku yakni keadilan, persamaan dan kesepakatan.

Daftar Pustaka
Dozy, Reinhart, 1913. Spanish Islam: A History of the Moeslem in Spain, London: Chatto &
Windus.
Fachruddin, Fuad Muhd., 1988. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: CV. Pedoman Jaya Ilmu.
Hasjmy, A., 1993. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hosain, Saiyad Safdar, 1933. The Early History of Islam: with special Reference to the Position
of Ali, during the Life of the Holy Prophet Muhammad and After, Delhi: Low Price
Publications.
Karim, M. Abdul, 2014. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan V, Yogyakarta:
Bagaskara.
Lewis, Bernard, 1974. Islam form the Prophet Muhammad to Capture of Constantinopel, London:
Harper Torchbooks.
Mahmudunnasir, Syed, 1994. Islam its Consepts and History, New Delhi: Kitab Bhavan.
S. A. Q. Husaini, Mawlawi, 1946. Arab Administration. Madras: Solden & Co.

Stoddard, Lothrop, 1921. The New World of Islam, New York: Charles Scrinber’s Sons.