Teori Perkembangan Moral Belajar Menulis
Teori Perkembangan Moral
Belajar Menulis September 19th, 2006
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika akan
dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya,
sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral
adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat
dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri sendiri
dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain. Begitu pula kata
moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,
atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian
selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu. Maka untuk mudahnya
disingkat jadi moral.
Perkata diartikan dengan ajaran kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Dengan demikian moral
dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusialaan.
Sedang, etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan
manusia yang baik dan yang buruk. (Ethics the study and phylosophy of human conduct with
emphasis on the determination of right and wrong one of the normative sciences)
Menurut hukum ethika sesuatu perbuatan itu dinilai pada 3 tingkat :
semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata hati; niat
sesudahnya sudah berupa perbuatan nyata = pekerti
akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik
Variabel pencapaian dari niat atau karsa itu sendiri adalah sebagai berikut;
tujuannya baik tetapi cara mencapainya tidak baik
tujuannya yang tidak baik cara mencapainya (kelihatannya) baik
Tujuannya baik cara mencapainya juga baik
Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan . masalah tujuan yang tidak
perlu dibicarakan lagi karena sudah jelas baik yag dinilai sekarang ialah cara mencapainya.
Cara kedua tujuan jahat tetapi cara memperolehnya kelihatannya baik. Ini menggambarkan
bahwa yang ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik diliputi oleh kepalsuan, penipuan.
Teori Piaget
Dalam bukunya The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa
kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi.
Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia
menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut.
Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan)
dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng,
suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu
jarang diajarkan secara formal oleh orang dewasa. Dengan demikian permainan itu
mempunyai peraturan yang jarang atau malah tidak sama sekali ada campur tangan orang
dewasa. Dan melalui perkembangan umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang
dari sikap heteronom ( bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi
otonom 9 dari dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa
peraturan yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut
dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-anak
beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para
pemain.
Anak-anak pada usia paling muda hingga umur 2 tahun melakukan aktivitas bermain dengan
apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka patuhi. Mereka adalah
motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Pada tahap ini merepa belum menyadari adanya
peraturan yang koersif, atau bersifat memaksa dan harus di taati. Dalam pelaksanaannya
peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu merupakan motor activiy.
Anak-anak pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan
bahkan meniru cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka. Pada tahap ini anakanak telah mulai menyadari adanya peraturan dan ketaatan yang telah dibuat dari luar dirinya
dan harus ditaati dan tidak boleh diganggu gugat. Pada tahap ini anak-anak cenderung
bersikap egosentris, mereka akan memandang “sangat salah” apabila aturan yang telah ada
di ubah dan dilanggar. Dan ia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi untuk dirinya
sendiri, tidak tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang dilakukan dengan anak-anak
lainnya. Sehingga meskipun bermain dilakukan secara bersama sama namun sebenarnya
mereka bermain secara individu, sendiri-sendiri dengan melakukan pola dan cara yang
mereka yakini sendiri. Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari
tahap yang individualistis murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Anak pada usia 7-10 tahun beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada
kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan kawan main dengan mengikuti
peraturan-peraturan yang berlaku dan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya tidak faham
akan peraturan sampai hal yang paling kecil namun keinginan untuk bekerja sama dengan
kawan bermain amatlah besar. Anak ingin memahami peraturan dan bermain dengan setiap
mengikuti peraturan itu. Pada tahap ini sifat heteronom berangsur menjadi otonom.
Pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang.
Pada umur umur itu, kodifikasi ( penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadangkadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal peraturan daripada menjalankan
permainannya sendiri.
Teori Kohlberg
Teori Piaget kemudian menjadi inspirasi bagi Kohlberg. Hal yang menjadi kajian Kohlberg
adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui
penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi
6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
1. Taraf Pra-Konvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk,
hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak
enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini
juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua,
guru, dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahpan yaitu :
1)
punishment and obedience orientation. Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan
baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang
berkuasa diangga bernilai pada dirinya sendiri.
2)
Instrument-relativist orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan
yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri
dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai
hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka
kamu mesti menyenangkan saya.
2. Conventional Level ( taraf Konvensional)
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai
pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya, berusaha
mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif,
menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan
ketertiban social. Dua tahap dalam taraf ini adalah :
3) Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation. Tingkah laku
yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong
orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain
seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada
umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda
dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya
yang hampir mati dianggap berintensi baik.
4) Tahap law and order, orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan
dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut
benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban
social.
3. Postoonventional Level ( taraf sesudah konvensional)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan
berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah
prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah :
5)
Social contract orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu
tindakan atas hak-hak individu dsan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat.
Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu
consensus bersama.
6)
The universal ethical principle orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh
keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang
bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat avstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah
prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat( nilai) manusia sebagai
pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan
dalil brikut :
1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang
lebih dari dua tahap diatasnya.
3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari
satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap
3. berdasarkan inilah kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin
diperkembangkan.
4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan
suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan
dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk
memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan
tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.
Belajar Menulis September 19th, 2006
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika akan
dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya,
sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral
adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat
dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri sendiri
dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain. Begitu pula kata
moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,
atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian
selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu. Maka untuk mudahnya
disingkat jadi moral.
Perkata diartikan dengan ajaran kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Dengan demikian moral
dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusialaan.
Sedang, etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan
manusia yang baik dan yang buruk. (Ethics the study and phylosophy of human conduct with
emphasis on the determination of right and wrong one of the normative sciences)
Menurut hukum ethika sesuatu perbuatan itu dinilai pada 3 tingkat :
semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata hati; niat
sesudahnya sudah berupa perbuatan nyata = pekerti
akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik
Variabel pencapaian dari niat atau karsa itu sendiri adalah sebagai berikut;
tujuannya baik tetapi cara mencapainya tidak baik
tujuannya yang tidak baik cara mencapainya (kelihatannya) baik
Tujuannya baik cara mencapainya juga baik
Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu kekerasan . masalah tujuan yang tidak
perlu dibicarakan lagi karena sudah jelas baik yag dinilai sekarang ialah cara mencapainya.
Cara kedua tujuan jahat tetapi cara memperolehnya kelihatannya baik. Ini menggambarkan
bahwa yang ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik diliputi oleh kepalsuan, penipuan.
Teori Piaget
Dalam bukunya The moral judgement of the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa
kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi.
Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia
menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut.
Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan)
dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Piaget mengamati anak-anak bermain kelereng,
suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu
jarang diajarkan secara formal oleh orang dewasa. Dengan demikian permainan itu
mempunyai peraturan yang jarang atau malah tidak sama sekali ada campur tangan orang
dewasa. Dan melalui perkembangan umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang
dari sikap heteronom ( bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi
otonom 9 dari dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa
peraturan yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut
dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom, anak-anak
beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama antara para
pemain.
Anak-anak pada usia paling muda hingga umur 2 tahun melakukan aktivitas bermain dengan
apa adanya, tanpa aturan dan tanpa ada hal yang patut untuk mereka patuhi. Mereka adalah
motor activity tanpa dipimpin oleh pikiran. Pada tahap ini merepa belum menyadari adanya
peraturan yang koersif, atau bersifat memaksa dan harus di taati. Dalam pelaksanaannya
peraturan kegiatan anak-anak pada umur itu merupakan motor activiy.
Anak-anak pada umur antara 2 sampai 6 tahun mereka telah mulai memperhatikan dan
bahkan meniru cara bermain anak-anak yang lebih besar dari mereka. Pada tahap ini anakanak telah mulai menyadari adanya peraturan dan ketaatan yang telah dibuat dari luar dirinya
dan harus ditaati dan tidak boleh diganggu gugat. Pada tahap ini anak-anak cenderung
bersikap egosentris, mereka akan memandang “sangat salah” apabila aturan yang telah ada
di ubah dan dilanggar. Dan ia meniru apa yang dilihatnya semata-mata demi untuk dirinya
sendiri, tidak tahu bahwa bermain adalah aktivitas yang dilakukan dengan anak-anak
lainnya. Sehingga meskipun bermain dilakukan secara bersama sama namun sebenarnya
mereka bermain secara individu, sendiri-sendiri dengan melakukan pola dan cara yang
mereka yakini sendiri. Pelaksanaan yang bersifat egosentris merupakan tahap peralihan dari
tahap yang individualistis murni ke tahap permainan yang bersifat social.
Anak pada usia 7-10 tahun beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada
kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan kawan main dengan mengikuti
peraturan-peraturan yang berlaku dan disetujui bersama. Walaupun sebenarnya tidak faham
akan peraturan sampai hal yang paling kecil namun keinginan untuk bekerja sama dengan
kawan bermain amatlah besar. Anak ingin memahami peraturan dan bermain dengan setiap
mengikuti peraturan itu. Pada tahap ini sifat heteronom berangsur menjadi otonom.
Pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang.
Pada umur umur itu, kodifikasi ( penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadangkadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal peraturan daripada menjalankan
permainannya sendiri.
Teori Kohlberg
Teori Piaget kemudian menjadi inspirasi bagi Kohlberg. Hal yang menjadi kajian Kohlberg
adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui
penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi
6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
1. Taraf Pra-Konvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk,
hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak
enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini
juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua,
guru, dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahpan yaitu :
1)
punishment and obedience orientation. Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan
baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang
berkuasa diangga bernilai pada dirinya sendiri.
2)
Instrument-relativist orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan
yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri
dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai
hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka
kamu mesti menyenangkan saya.
2. Conventional Level ( taraf Konvensional)
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai
pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya, berusaha
mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif,
menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan
ketertiban social. Dua tahap dalam taraf ini adalah :
3) Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation. Tingkah laku
yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong
orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain
seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada
umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda
dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya
yang hampir mati dianggap berintensi baik.
4) Tahap law and order, orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan
dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut
benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban
social.
3. Postoonventional Level ( taraf sesudah konvensional)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan
berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah
prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah :
5)
Social contract orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu
tindakan atas hak-hak individu dsan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat.
Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu
consensus bersama.
6)
The universal ethical principle orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh
keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang
bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat avstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah
prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat( nilai) manusia sebagai
pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan
dalil brikut :
1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang
lebih dari dua tahap diatasnya.
3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari
satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap
3. berdasarkan inilah kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin
diperkembangkan.
4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan
suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan
dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk
memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan
tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.