BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Beras Merah (Oryza sativa L. var Kuku Balam Merah) Dengan Berbagai Cara Pemasakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh, morfologi tumbuhan, nama daerah, nama asing, sistematika tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan dari

  2.1.1 Daerah tumbuh

  Tanaman padi adalah tumbuhan yang tergolong tanaman air dan dapat tumbuh di tanah yang terus-menerus digenangi air, baik penggenangan itu terjadi secara alami seperti tanah rawa-rawa, maupun yang disengaja seperti tanah sawah. Tanaman ini juga dapat tumbuh di daratan atau tanah kering yang curah hujannya dapat mencukupi kebutuhan air tanaman. Padi yang tumbuh di tanah yang digenangi air disebut padi sawah, sedangkan yang tumbuh di tanah darat/kering disebut padi ladang (Siregar, 1981).

  2.1.2 Morfologi tumbuhan

  Habitus: Semak, semusim, tinggi lebih kurang 1,5 m. Batang: Tegak, lunak, beruas, berongga, kasar, hijau. Daun: Tunggal, lanset, tersebar, ujung runcing, tepi rata, berpelepah, panjang lebih kurang 25 cm, lebar 3-5 cm, pertulangan sejajar, hijau. Bunga: Majemuk, bentuk malai, menggantung, panjang lebih kurang 20 cm, benang sari enam, tangkai putik dua, kepala putik berbulu, putih. Buah: Batu, bulat telur, kuning tua. Biji: Keras, bulat telur, merah. Akar: Serabut, coklat keputih-putihan (Hutapea, dkk., 1994).

  2.1.3 Nama daerah

  Sumatera: Pade (Aceh), Page (Batak), Batang padi (Minangkabau), Pari (Lampung), Banih (Melayu). Jawa: Pare (Sunda), Pari (Jawa), Padi (Madura).

  Bali: Padi. Nusa Tenggara: Pare (Sumba), Woya (Flores), Ale (Timor). Sulawesi: Pale (Gorontalo), Pae (Toraja), Ase (Makasar), Ase (Bugis). Maluku: Alakutu (Ambon), Pinge (Halmahera) (Hutapea, dkk., 1994).

  Riz (Perancis), Arroz (Spanyol), Riso (Italia), Reis (Jerman), Rice (Inggris) (Pillai, 2004).

  2.1.5 Sistematika tumbuhan

  Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Poales Suku : Gramineae Marga : Oryza Jenis : Oryza sativa L. (Hutapea, dkk., 1994).

  Varietas : Oryza sativa L. var Kuku Balam Merah (Sumber: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara)

  2.1.6 Kandungan kimia

  Beras merah mengandung makronutrien berupa karbohidrat, protein, dan lemak. Kadar karbohidrat memiliki komposisi terbesar, protein dan lemak menempati posisi kedua dan ketiga. Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosa, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Pati berkisar antara 85-90% dari berat kering beras. Protein beras terdiri dari 5% fraksi albumin, 10% globulin, 5% prolamin, dan 80% glutein. Kandungan lemak berkisar antara 0,3-0,6% pada beras kering giling dan 2,4-3,9% pada beras pecah kulit (Indrasari dan Adnyana, 2007).

  Selain itu beras merah mengandung vitamin dan mineral (Barber dan Barber, 1980), trisin dan betasitosterol (Chung, et al., 2005), asam fenolat dan (Yawadio, et al., 2007) dan proantosianidin (Oki, et al., 2002).

2.1.7 Kegunaan

  Beras merah memiliki manfaat potensial dalam kesehatan seperti mencegah sakit kepala, penyakit jantung, penyakit Alzheimer, menurunkan tekanan darah (Kayahara, et al., 2000), mencegah diabetes (Yawadio, et al., 2007), mengurangi stres oksidatif dan mencegah masalah kardiovaskuler (Ling, et al., 2001) serta mencegah kanker (Hudson, et al., 2000).

2.2 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan- bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).

  Menurut Depkes (2000), beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain yaitu: A. Cara dingin

  1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar.

  Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah remaserasi.

  2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaban bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus - menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

  B. Cara panas

  1. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  2. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi daripada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

  3. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  4. Infudasi Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

  5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Radikal Bebas

  Radikal bebas adalah spesies kimia yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga dapat menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid, dan protein. Radikal ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga spesies kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 1999).

  Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul ini. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, katarak (Silalahi, 2006).

2.4 Antioksidan

  Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron

  Menurut Kumalaningsih (2006), antioksidan dikelompokkan menjadi 3 jenis yakni:

  1. Antioksidan primer Antioksidan primer berfungsi untuk mencegah pembentukan senyawa radikal baru karena dapat mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Contohnya adalah enzim superoksida dismutase (SOD) yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh karena radikal bebas.

  2. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkal senyawa radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contohnya adalah vitamin E, vitamin C dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah- buahan.

  3. Antioksidan tersier Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki kerusakan sel- sel dan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Contohnya enzim metionin sulfoksidan reduktase untuk memperbaiki DNA pada inti sel.

  Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan minyak.

  Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi lemak. Tahapannya menurut Almatsier (2004) adalah:

  I. Inisiasi RH + initiator

  → R• + H R• + O

  2

  → ROO• ROO•+ RH

  → ROOH + R•

  III. Terminasi R• + R•

  → RR ROO• + R•

  → ROOR

2.4.1 Proantosianidin

  Proantosianidin merupakan senyawa golongan tanin terkondensasi, polimer dari 2 sampai 50 unit flavonoid yang dihubungkan oleh rantai karbon sehingga tidak mudah terhidrolisis. Tanin jenis ini dapat terhidrolisis membentuk antosianidin. Tanin terkondensasi ada dua jenis yaitu prosianidin dan prodelfinidin. Proantosianidin banyak ditemukan dalam bentuk prosianidin. Prosianidin terdiri dari epikatekin dan katekin sedangkan prodelfinidin terdiri dari epigalokatekin dan galokatekin. Senyawa-senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Handaya, 2008). Rumus bangun proantosianidin dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Rumus bangun proantosianidin

2.4.2 Antosianin

  Antosianin merupakan pigmen yang tersebar luas pada tanaman, berbentuk struktur aromatik tunggal (sianidin) dan berfungsi sebagai antioksidan (Metaliri, 2007). Kemampuan antioksidatif antosianin timbul dari reaktifitasnya yang tinggi sebagai pendonor hidrogen atau elektron. Antosianin juga memiliki kemampuan radikal turunan polifenol untuk menstabilkan dan mendelokalisasi elektron tidak berpasangan serta memiliki kemampuan untuk mengkhelat ion logam (Ariviani, 2010).

  O

  Pigmen antosianin dapat rusak dengan perlakuan panas pada suhu 60 C selama 30-60 menit dimana proses tersebut mengakibatkan antosianin kehilangan

  O O O

  warna (Isnaini, 2010). Suhu pasteurisasi yang tinggi yaitu 75

  C, 85

  C, 95 C selama 12 menit dapat merusak senyawa antosianin dan menurunkan bioaktivitasnya (Gupita dan Rahayuni, 2012). Rumus bangun antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Rumus bangun antosianin

2.4.3 Vitamin C

  Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan

  6

  8

  6

  rumus bangun C H O dan titik lebur lebih kurang 190°C. Asam askorbat

  6

  8 6.

  mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C H O Pemerian: hablur atau serbuk putih atau agak kuning, oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi gelap, dalam keadaan kering stabil di udara, dalam larutan cepat teroksidasi. Kelarutan: mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzena. Penyimpanan dalam

  1

  wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya (Depkes , 1995). Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.

Gambar 2.3 Rumus bangun vitamin C

  Vitamin C berperan dalam pencegahan penyakit jantung koroner dan mencegah kanker. Vitamin ini juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri serta berperan dalam regenerasi vitamin E (Silalahi, 2006).

  Pada semua percobaan baik untuk menggunakan standar atau kontrol positif di samping sampel utama yang sedang dipelajari. Sesuai standar yang secara luas digunakan adalah asam askorbat (vitamin C) (Molyneux, 2004).

2.5 Spektrofotometri UV-Visibel

  Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis adalah dimana sinar/cahaya menghasilkan spektrum. Alat ini menggunakan hukum Lambert Beer sebagai acuan (Ewing, 1975).

  Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200-400 nm sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visibel antara 400-750 nm. Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektronik. Keadaan energi yang paling rendah disebut dengan keadaan dasar (ground state). Jika suatu molekul dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai, energi molekul tersebut akan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi dan terjadi peristiwa penyerapan (absorbsi) energi oleh molekul. Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan energi molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik yang diserap zat pada panjang gelombang tertentu dan mendekati monokromatik. Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat (Depkes, 1979).

2.6 Metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)

  Pada tahun 1922, ditemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH yang sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri. DPPH sangat berguna dalam berbagai penyelidikan seperti inhibisi atau radikal polimerisasi kimia, penentuan sifat antioksidan amina, fenol atau senyawa alami (vitamin, ekstrak tumbuh-tumbuhan, obat-obatan). DPPH berwarna sangat ungu seperti bangun DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini.

Gambar 2.4 Rumus bangun DPPH

  Metode DPPH adalah sebuah metode yang sederhana yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel dalam bentuk larutan. Prinsipnya dimana elektron ganjil pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 516 nm yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan.

  Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, 2001).

  Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien atau efficient concentration (EC

  50 ) atan Inhibitory Concentration (IC 50 ) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan persen peredaman sebesar 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga EC

  50 atau IC

  50 yang rendah (Molyneux, 2004).

  2.6.1 Pelarut

  Metode ini dapat bekerja dengan baik dengan metanol atau etanol, karena lain, seperti ekstrak dalam air atau aseton, memberikan hasil yang lebih rendah (Molyneux, 2004).

  2.6.2 Pengukuran absorbansi-panjang gelombang maks

  ) yang digunakan dalam pengukuran Panjang gelombang maksimum (λ sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang maksimum untuk DPPH antara lain 515-520 nm. Nilai absorbansi yang mutlak tidak penting, karena panjang gelombang dapat diatur untuk memberikan absorbansi maksimum sesuai dengan alat yang digunakan (Molyneux, 2004).

  2.6.3 Waktu pengukuran

  Waktu pengukuran menurut literatur yang direkomendasikan adalah selama 60 menit, tetapi dalam beberapa penelitian waktu yang digunakan sangat bervariasi yaitu 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit dan 60 menit. Waktu reaksi yang tepat adalah ketika reaksi sudah mencapai kesetimbangan. Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh sifat dari aktivitas antioksidan yang terdapat di dalam sampel (Molyneux, 2004; Prakash, 2001; Rosidah, et al., 2008).

  Resonansi DPPH dan reaksi antara DPPH dengan atom H yang berasal dari antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6 berikut ini.

Gambar 2.5 Resonansi DPPHGambar 2.6 Reaksi antara DPPH dengan atom H yang berasal dari

  antioksidan