5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Uraian tumbuhan meliputi habitat dan sebaran tumbuhan, morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, nama daerah, perkembangbiakan tumbuhan dan kandungan kimia tumbuhan.

  2.1.1 Habitat

  Daerah sebaran beberapa jenis rumput laut di Indonesia sangat luas, baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan. Wilayah sebaran rumput laut yang tumbuh terdapat hampir diseluruh perairan dangkal laut Indonesia (Anggadiredja, dkk., 2011).

  Habitat dan sebaran Turbinaria ornata (Turner) J. Agardh di Indonesia umumnya tumbuh di perairan dangkal dengan daerah karang berlubang yang memiliki arus kuat dan juga tumbuh di atas batu koral dengan arus lemah (Aslan, 1998). Pengaruh alam yang banyak menentukan sebaran rumput laut adalah cahaya matahari, jenis substrat, kadar garam, ombak dan pasang surut. Rumput laut tidak dapat tumbuh pada kedalaman yang tidak terjangkau cahaya matahari dan substrat dasar tempat melekat biasanya berupa karang, batu, lumpur, pasir, kerang atau pada kayu (Atmadja, dkk., 1996).

  2.1.2 Morfologi tumbuhan

  Rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun, bentuk tersebut sebenarnya hanya talus saja (Aslan, 1998). Turbinaria

  

ornata (Turner) J. Agardh berupa talus berwarna coklat gelap, mempunyai batang

  silindris, tegak dan kasar, tingginya dapat mencapai 17 cm. Bentuk daun menyerupai terompet dengan panjang 1,5 cm pada daerah ujung daun mempunyai pinggir yang tajam runcing. Akar bercabang tidak teratur (Atmadja, dkk., 1996).

  2.1.3 Sistematika tumbuhan

  Menurut hasil identifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanografi Jakarta, taksonomi rumput laut coklat diklasifikasikan sebagai berikut:

  Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Fucales Suku : Sargassaceae Genus : Turbinaria Spesies : Turbinaria ornata (Turner) J. Agardh

  2.1.4 Nama daerah

  Nama daerah Turbinaria ornata (Turner) J. Agardh adalah agar-agar makina (Ambon), sarip geremes (Garut).

  2.1.5 Perkembangbiakan tumbuhan

  Perkembangbiakan rumput laut coklat dapat melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan talus dan secara generatif dengan spora. Perkembangbiakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara fragmentasi, yaitu potongan talus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Perkembangbiakan secara generatif dikembangkan melalui spora. Pertemuan dua gamet membentuk zigot yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit. Individu ini yang mengeluarkan spora dan berkembang menjadi gametofit (Anggadiredja, dkk., 2011).

  Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut yaitu faktor persaingan dan pemangsa dari hewan herbivora. Produktivitas dapat juga dihambat oleh faktor morbiditas dan mortalitas rumput laut itu sendiri. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan (fisika dan kimia perairan) yang buruk serta tumbuhnya tanaman penempel (parasit). Mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora (Aslan, 1998).

2.1.6 Kandungan kimia tumbuhan

  Turbinaria ornata (Turner) J. Agardh merupakan jenis rumput laut coklat

  yang menghasilkan metabolit primer berupa senyawa hidrokoloid yang disebut alginat (Limantara dan Heriyanto, 2010). Jenis rumput laut yang termasuk kelas Phaeophyceae (alga coklat) memiliki kandungan protein, sedikit lemak, beta karoten, violasantin dan fukosantin serta mineral, seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan iodium. Fukosantin merupakan pigmen yang dominan menutupi pigmen lainnya dan menyebabkan warna coklat pada rumput laut coklat serta mempunyai persediaan makanan (hasil fotosintesis) berupa laminaran (Yulianto, 2007).

2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan

2.2.1 Alginat

  Alginat merupakan hidrokoloid yang diekstraksi dari Phaeophyceae (alga coklat), dikenal dalam dunia industri karena banyak manfaatnya (Aslan, 1998).

  Alginat menjadi sangat penting karena penggunaanya yang cukup luas dalam industri, antara lain sebagai bahan pengental dan pensuspensi dalam sirup (Anggadiredja, dkk., 2011). Spesies rumput laut coklat hasil perairan pantai

  Indonesia yang memiliki potensi untuk diolah menjadi alginat adalah Sargassum sp., Turbinaria sp. dan Padina sp. (Atmadja, dkk., 1996).

2.2.2 Glikosida

  Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim (Sirait, 2007). Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi (Sirait, 2007): a.

  Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O.

Gambar 2.1 Ikatan karbon-oksigen antara gula dan cincin aromatik b.

  Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C.

Gambar 2.2 Ikatan karbon-karbon antara gula dan cincin aromatik c.

  Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin.

Gambar 2.3 Nikleosidin d.

  Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin.

Gambar 2.4 Sinigrin

2.2.3 Saponin

  Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir (Robinson, 1995).

  Molekul saponin terdiri dari dua bagian yaitu, aglikon dan glikon. Bagian aglikon dari molekul saponin disebut genin atau sapogenin. Berdasarkan aglikonnya, Hostettman dan Marston (1995) membagi saponin menjadi 3 kelas utama yaitu:

1. Saponin triterpenoid 2.

  Saponin steroid 3. Saponin steroid alkaloid.

2.2.4 Steroid/triterpenoid

  Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat diturunkan dari hidrokarbon C

  30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi (Harborne, 1987).

  Uji yang banyak digunakan untuk identifikasi triterpenoid dan steroid ialah reaksi Liebermann-Burchard yang biasanya menghasilkan warna hijau-biru (Harborne, 1987). Triterpenoid juga menunjukkan aktivitas antibakteri, antifungi (Robinson, 1995) dan antikanker (Atenza, dkk., 2009).

  Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpen, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1987).

  Steroid adalah senyawa triterpenoid yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Senyawa ini tersebar luas di alam dan mempunyai fungsi biologis yang sangat penting misalnya untuk kontrasepsi dan antiinflamasi (Harborne, 1987). Kerangka dasar dan sistem penomoran steroid (Robinson, 1995) dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.5 Struktur dasar steroid dan sistem penomorannya

  Menurut sumbernya, steroid dibagi atas (Manitto, 1981): a. Zoosterol yaitu steroid yang berasal dari hewan, misalnya kolesterol.

Gambar 2.6 Kolesterol b.

  Fitosterol yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan, misalnya stigmasterol.

Gambar 2.7 Stigmasterol c.

  Mycosterol yaitu steroid yang berasal dari fungi, misalnya ergosterol.

Gambar 2.8 Ergosterol d.

  Marinesterol yaitu steroid yang berasal dari organisme laut, misalnya spongesterol.

Gambar 2.9 Spongesterol

2.3 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).

  Menurut Depkes (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:

a. Cara dingin

  1. Maserasi Maserasi adalah penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut disertai sesekali pengadukan pada temperatur kamar.

  Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan panambahan ulang pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

  2. Perkolasi Adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat.

b. Cara panas

  1. Refluks Adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.

  2. Digesti Adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur

  40-50°C.

  3. Sokletasi Adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi.

  4. Infundasi Adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

  5. Dekoktasi Adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.4 Kromatografi

  Kromatografi adalah suatu metode yang digunakan untuk pemisahan komponen cuplikan yang komponen-komponennya terdistribusi antara dua fase, salah satunya diam dan yang lainnya bergerak (Rohman, 2009).

  Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.1 Kromatografi lapis tipis

  Kromatografi lapis tipis termasuk kromatografi absobsi, sebagai fase diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut larutan pengembang. Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan campuran analit dengan mengelusi analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen/analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pewarnaan (Adnan, 1997).

  Lapisan pemisah dari kromatografi lapis tipis terdiri atas bahan berbutir- butir (fase diam), di tempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita. Setelah plat atau lapisan di masukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985).

  Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Senyawa yang tidak berwarna dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, dkk., 1991).

  a. Fase diam

  Fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, plastik atau logam (Gritter, dkk., 1991).

  Partikel fase diam dengan butiran yang kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya halus. Penyerap yang banyak dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumunium oksida, selulosa dan poliamida (Sastrohamidjojo, 1985).

  b. Fase gerak

  Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like

  

dissolves like yaitu untuk memisahkan sampel yang bersifa non polar digunakan

  sistem pelarut yang bersifat non polar dan untuk memisahkan sampel yang bersifat polar digunakan sistem pelarut yang bersifat polar (Stahl, 1985).

  c. Harga Rf

  Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf (Retardation Factor) yang didefinisikan sebagai: Jarak titik pusat bercak dari titik awal

  Rf = Jarak garis depan pelarut dari titik awal Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf antara lain:

  1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan

  2. Sifat penyerap

  3. Tebal dan kerataan lapisan penyerap

  4. Pelarut dan derajat kemurniannya

  5. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana

  6. Jumlah cuplikan 7. Suhu (Sastrohamidjojo, 1985).

  2.4.2 Kromatografi kolom

  Kromatografi kolom biasanya digunakan untuk memisahkan suatu campuran, berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran, penyerap dan gelas penyaring didalamnya. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan dan penyerap yang digunakan gelas wool atau kapas (Sastrohamidjojo, 1985).

  Kromatografi kolom memerlukan waktu yang lama dan bahan yang cukup banyak, sehingga perlu dipastikan campuran pelarut yang terbaik untuk pemisahan. Masalah ini dapat dipecahkan melalui penerapan data KLT dan pemakaian elusi landaian. Fraksi kolom yang mengandung senyawa yang sama diperiksa dengan KLT kemudian digabungkan, diuapkan dengan tekanan rendah, namun masih mungkin diperlukan rekristalisasi untuk memperoleh senyawa murni (Gritter, dkk.,1991).

  2.4.3 Kromatografi lapis tipis dua arah (two-dimensional TLC)

  KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama. Dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu, sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama (Rohman, 2009).

  KLT dua arah dilakukan dengan melakukan penotolan sampel disalah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya sebagaimana biasa dengan fase gerak pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber pengembang dan eluen dibiarkan menguap dari lempeng. Lempeng dimasukkan ke dalam chamber yang menggunakan eluen kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama (Rohman, 2009).

2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet

  Menurut Dachriyanus (2004), spektrofotometri UV-visibel adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan sinar tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan (adsorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm (Sastrohamidjojo, 1985).

  Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ketingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya disebut dengan gugus kromofor (Dachriyanus, 2004).

2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah

  Sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Pengukuran pada spketrum inframerah dilakukan

  • 1

  pada daerah bilangan gelombang 2000-4000cm . Beberapa kegunaan penggunaan spektrofotometri inframerah (Dachriyanus, 2004), antara lain:

  a.

  Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik b. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

  Cara menganalisa spektrum inframerah dari senyawa yang tidak diketahui. adalah pertama harus ditentukan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional utama, seperti C=O , O-H , C-O, C=C, C . Menurut pavia (1988),

  ≡N, C≡C dan NO

  2

  langkah-langkah umum untuk memeriksa pita-pita serapan yang penting yang umum untuk memeriksa gugus yang penting pada spektrum inframerah sebagai berikut : 1.

  Apakah terdapat gugus karbonil?

  • 1

  Gugus C=O memberikan puncak pada daerah 1660-1820 cm . Puncak ini biasanya merupakan yang terkuat dengan lebar medium pada spektrum.

2. Jika gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut dan jika C=O tidak ada langsung ke nomor 3.

  • 1 a.

  (biasanya tumpang Asam: yaitu pada serapan melebar 2500-3000 cm tindih dengan C-H).

  • 1 b.

  , kadang-kadang Amida: yaitu pada serapan medium di dekat 3500 cm dengan puncak rangkap. c.

  Ester : yaitu pada serapan dengan intensitas medium di daerah 1000–1300

  • 1 cm .
  • 1 d.

  . Anhidrida : mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm

  • 1 e.

  disebelah Aldehida : yaitu dua serapan lemah di dekat 2850-2750 cm kanan serapan C-H f.

  Keton : jika kelima kemungkinan diatas tidak ada.

  3. Jika gugus C=O tidak ada a.

  Alkohol/fenol : periksalah gugus OH, yaitu serapan melebar di daerah 3300-

  • 1
  • 1 3600 cm yang diperkuat adanya serapan C-O di daerah 1000-1300 cm .
  • 1 b.

  . Amina : periksalah gugus N-H , yaitu serapan medium di daerah 3500 cm c.

  Eter : periksalah gugus C-O (dan tidak adanya –OH), yaitu serapan medium

  • 1 di daerah 1000–1300 cm .

  4. Ikatan rangkap dua atau cincin aromatik yaitu adanya :

  • 1 a.

  . C=C yang mempunyai serapan lemah di daerah 1650 cm

  • 1 b.

  sering Serapan medium sampai kuat pada daerah 1450-1650 cm menunjukkan adanya cincin aromatik.

  5. Ikatan rangkap tiga yaitu adanya;

  • 1 a.

  C=N yang mempunyai serapan medium dan tajam di daerah 2250 cm

  • 1 b.

  periksa juga C=C mempunyai serapan lemah tapi tajam di daerah 2150 cm

  • 1 CH asetilenik di dekat 3300 cm .

  6. Hidrokarbon a.

  Apakah kelima kemungkinan diatas tidak ada.

  • 1 b.

  . Serapan utama di daerah CH dekat 3000 cm

  • 1 c. .

  Serapanlain di daerah 1375-1450 cm