1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat

  kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Termasuk dalam hal ini mengenai hukum waris adat.

  Masalah warisan berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang yang tidak

  1

  berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.

  Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum waris adat masing-masing, dimana biasanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang mereka anut.

  Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Keberadaan agama Islam di Indonesia sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat setempat, ataupun sedikit banyaknya praktek keberagaman telah dipengaruhi adat istiadat setempat, termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah kewarisan. Bagi masyarakat yang memegang teguh ajaran agama Islam, maka dia akan terus konsekuen dengan keyakinannya untuk membagikan harta warisan dengan cara-cara Islam. 1 Soerojo Wingjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat , (Jakarta : Gunung Agung,

  1995), hal, 161

  1 Di dalam hukum Islam, hukum kewarisan yang lazim disebut dengan hukum

  

faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan

  membahas tentang proses peralihan harta peninggalan, hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang mewarisi atau ahli waris.

  Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah mendapatkan legitimasi dari

  2

  penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif). Menurut Soerjono Sukanto, hukum adat merupakan keseluruhan adat baik yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang

  3 mempunyai akibat hukum.

  Ter Haar berpendapat bahwa hukum adat merupakan seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa dari para fungsionaris hukum seperti para hakim adat, kepala adat dan kepala desa dalam hubungannya secara langsung satu sama lain dan timbal balik dengan masyarakat berdasarkan ikatan

  4 struktural maupun ikatan lainnya.

  Menurut Djojodigoeno, hukum adat yang merupakan suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata, keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga hukum adat tidak boleh bersifat statis dan konservatif. Hukum adat harus bersifat dinamis 2 Otjie Salam Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :

  Alumni, 2002), hal. 27 3 4 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal. 9

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1975), hal. 9 dan dapat menyesuaikan diri dengan suatu keadaan atau suatu situasi tertentu

  5

(plastis). Menurut Bushar Muhammad, hukum adat yang ada akan patut untuk

  6 dipertahankan atau tidak, bergantung kepada kesadaran masyarakat.

  Dalam perkembangannya dewasa ini hukum terus mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti hukum. Hukum bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan keberlakuannya ditengah- tengah masyarakat. Karena sesuatu pebuatan yang dipaksakan maka sesunggahnya hasilnya pasti tidak akan baik

  Eksistensi berlakunya hukum adat disamping hukum nasional sampai saat ini, dapat dilhat pada Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peratutan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) maupun Putusan Badan Peradilan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dasar 1945 eksistensi berlakunya hukum adat dapat dilihat pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Badan negara dan peraturan merupakan dua hal yang dipertahankan menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

  Badan negara yang dimaksud adalah lembaga-lembaga hukum yang telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial seperti pengadilan gubernemen, pengadilan asli, pengadilan desa dan swapraja. Peraturan-peraturan yang dimaksud 5

  hal. 13-14 6 Op, Cit, Bushar Muhammad, Op. Cit hal. 19

  adalah seperti dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan pasal 163 IS yang pada prinsipnya menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku Burgerlijk

  Wetbook (BW) atau disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

  UUD 1945 tidak menyebutkan istilah hukum adat secara eksplisit dalam pasal- pasalnya, tetapi dengan masih tetap diberlakukannya badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sudah cukup memadai sebagai sebuah pedoman bahwa diluar hukum perundang-undangan masih diakui pula adanya hukum-hukum yang

  7 tidak tertulis.

  Eksistensi masyarakat hukum adat secara implisit dapat ditemukan pada Batang Tubuh UUD 1945 pasal 18 B yang berbunyi : “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”.

  Menurut Pasal 5 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, dalam memutuskan suatu perkara hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan eksistensi hukum adat itu sendiri yang merupakan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 7 Otjie Salam Soemadiningrat, Op. Cit, hal. 152

  Eksistensi hukum adat di bidang pertanahan dapat dilihat dalam pasal 5 UUPA yang menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan negara.

  Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat dualisme hukum yang mengatur dibidang pertanahan. Menurut Utrecht, sifat tersebut merupakan hal yang perlu dihindari dalam lapangan hukum karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merupakan suatu keadaan yang

  8 bertentangan dengan filsafah dan tujuan hukum itu sendiri.

  Hukum adat mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat adat, dalam kehidupan masyarakat adat, penggunaan istilah hukum adat sangat jarang ditemukan, masyarakat cenderung menggunakan istilah adat. Istilah tersebut mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat terkait dan merupakan pencerminan dari kepribadian suatu

  9

  bangsa. Adat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat

  10 telah terbentuk baik sebelum maupun setelah adanya masyarakat.

  Menurut Hazairin, masyarakat adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup

  11

  berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Hukum adat mengatur berbagai sendi kehidupan masyarakat adat seperti mengatur kehidupan 8 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. Penerbitan dan Balai Buku

  Ichtiar, 1962), hal. 35 9 10 I Gede, A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 3 11 Ibid ta : PT. Raja Garfindo Persada, 1983), hal 93

  Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakar keluarga, perkawinan, waris, tanah, hutang piutang dan pelanggaran terhadap hukum

  12 adat.

  Ketentuan dalam pewarisan diatur oleh hukum waris adat. Menurut Soepomo dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab tentang Hukum Adat”, hukum waris adat didefinisikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang yang berwujud dari suatu angkatan

  13

  manusia (generatie) kepada turunannya. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan daripada sifat-sifat kebendaan dan mementingan diri sendiri.

  Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta

  14 kekayaan materil dan non-materil dari generasi ke genarasi.

  Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris adalah harta keluarga yang dapat berupa harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa dalam keluarga, usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan, harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri pada

  12 13 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 118-119 14 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal. 72 Iman Sudiyat, Op. Cit, hal. 173

  waktu perkawinan dan harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa

  15 perkawinan.

  Hukum waris suatu golongan masyarakat tidak terlepas dan dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Setiap masyarakat dimanapun ia berada mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda, perbedaan dengan sistem keturunan akan mempengaruhi sistem pewarisan dalam masyarakat yang bersangkutan.

  Secara teoritis sistem keturunan atau kekeluargaan di Indonesia dapat dikelompokkan kedalam tiga macam, yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem

  16 kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.

  Menurut wirjono Prodjodikoro, bahwa diantara orang-orang Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu :

  (Patriachaat,

  1. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan

  Vaderrechtlijk)

  atau disebut juga patrilineal terdapat didaerah Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor, dan Bali.

  (Matriaachaat,

  2. Golongan kekeluargaan yang bersifat keibuan

  Moderrechtelijk) atau disebut juga matrilineal terdapat di Minangkabau.

  3. Golongan kekeluargaan yang kebapak-ibuan (Parental Ouderrechtlijk) terdapat di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,

  17 15 seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok. 16 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 277 17 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1993), hal. 23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, Cet-II (Bandung : Sumur, 1983), hal.

  15-16

  Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang material maupun inmateriel).

  Ada tiga sistem yang dikenal dalam hukum waris adat, yaitu :

  1. Sistem kewarisan individu yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan yang dapat dilihat pada suku Batak, Jawa dan Sulawesi.

  2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama- sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris yang dapat dilihat pada suku Minangkabau.

  3. Sistem kewarisan mayorat terdiri dari :

  a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, yang terdapat di daerah Lampung.

  b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, terdapat pada masyarakat

  18 di tanah Samendo.

  Sistem kekerabatan pada masyarakat parental atau bilateral didasarkan pada kedua orang tua (bapak dan ibu). Dengan terjadinya perkawinan baik suami maupun isteri keluarganya bertambah. Disamping masih tetap menjadi anggota keluarga yang semula, juga dianggap telah menjadi anggota pihak suami/isteri. Demikian juga anak yang lahir dari perkawinan tersebut mempunyai dua keluarga, yaitu keluarga bapak dan keluarga ibunya.

  Dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan seperti ini kedudukan anak laki- laki dan anak perempuan dalam sistem kewarisan yaitu sama-sama mempunyai

  19 peluang menjadi ahli waris. 18 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 260 Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing-masing. Dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar, setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya. Mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga. Secara sosial mereka masih belum dikategorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya. Kondisi ini berkonsekuensi bahwa mereka tetap berada dibawah tanggung jawab orang tua, sampai mereka dipisahkan secara adat guna membentuk keluarga sendiri. Dalam perkembangannya pada proses pemisahan untuk membentuk sebuah keluarga sendiri terpisah dari keluarga orang tua melakukan pemberian harta kekayaannya kepada anak perempuan.

  Eman Suparman dalam hal ini mempersamakan pemberian dengan hibah. Menurut Eman Suparman “hibah dalah pemberian yang dilakukan oleh sesorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya

  20 biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup”.

  Menurut Sopeomo, “pemberian semasa hidup dilakukan oleh orang tua untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut

  21 anggapan pewaris dan juga untuk mencegah perselisihan”.

  Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan yaitu : 19 H. Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris menurut KUH Perdata, Hukum Adat

  dan Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 36 20 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2005), hal. 51 21 Soepomo, Op. Cit, hal. 91

  1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup.

  2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara Cuma- Cuma

  3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat.

  4. Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak mapun benda tetap.

  5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian dalam hukum adat adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian dapat berupa barang tetap, barang bergerak atau hannya berupa hak pakai yang dilakukan sebelum atau sejak

  

22

adanya perkawinan dan selama perkawinan.

  Pemberian atau hibah juga diatur dalam hukum nasional, yaitu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Titel X Buku III yang dimulai dari

  pasal 1666 sampai dengan pasal 1693, serta di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  pasal 171 poin g “hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa

  23 imbalan dari seseorang kepada orang yang masih hidup untuk dimiliki”.

  Kata “di waktu masih hidup“ mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup, dan bila beralih sudah matinya yang berhak maka di sebut wasiat. Adapun kata tanpa imbalan atau sukarela, berarti itu semata-mata 22 23 Eman Suparman, Op. Cit, hal. 81

  

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet ke-I, (Jakarta : Akademia Presindo, 1992), hal. 156 kehendak sepihak (sipemberi) tanpa mengharapkan apa-apa, apabila mengharapkan

  24 imbalan dinamakan jual beli.

  Pemberian orang tua kepada anaknya semasa hidup terjadi dengan corak dan tujuannya masing-masing disetiap lingkungan adat yang berbeda-beda seperti pada masyarakat Batak Karo yang disebut pemere, masyarakat Daya Kendayan di Kalimantan, di Lampung, Banten, Aceh yang disebut hareuta peunulang, dan Jawa.

  Masyarakat Aceh khususnya masyarakat Kabupaten Aceh Besar terdapat proses pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuan pada saat anak perempuannya melangsungkan perkawinan ataupun beberapa waktu setelah perkawinan berlangsung itu sudah menjadi kewajiban bagi orang tua disana. Di dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar pemberian ini dikenal dengan Hareuta peunulang.

  Berdasarkan uraian diatas, pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang tidak terlepas dari pengaruh hukum waris adat, sistem kekerabatan, hukum tanah yang berlaku dalam masyarakat Aceh, serta hukum Islam yang dianut oleh hamper seluruh masyarakat di Aceh.

  Hal tersebut yang melatar belakangi pentingnya dilakukan penelitian dengan judul “Pelaksanaan dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar”.

B. Perumusan Masalah

  Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 24 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

  Minangkabau, (Jakarta : Pt. Gunung Agung, 1984), hal. 252

  1. Bagaimanakah keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui

  hareuta peunulang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong orang tua dalam

  memberikan hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar?

  2. Apakah status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui

  haruta peunulang

  di Kabupaten Aceh Besar, dapatkah disamakan dengan Hibah dalam Hukum Waris Islam ?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan tesis ini yang akan dilakukan oleh peneliti adalah :

  1. Untuk mengetahui keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui lembaga hareuta peunulang perempuan dan faktor-faktor apa saja yang mendorong orang tua untuk memberikan hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar.

  2. Untuk mengetahui status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dengan pemberian hibah dalam Hukum Waris Islam.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

  1. Secara Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu sosial, budaya dan hukum, khususnya ilmu sosial budaya tentang masyarakat Aceh, dan

  Hukum Waris Adat Aceh, sebagai sumber informasi bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui masalah hareuta peunulang, sebagai salah satu sumbangan untuk bisa menjadi acuan atau dasar bagi peneliti yang lebih jauh dan mendalam tentang hareuta

  peunulang di dalam masyarakat adat Aceh.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan tambahan pemahaman dinamika yang secara nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum dan masyarakat Aceh yang ada di Kabupaten Aceh Besar secara khusus. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan dalam melakukan pembangunan hukum ke arah yang lebih baik lagi.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Kedudukan Lembaga Hareuta Peunulang Dalam Masyarakat Adat Aceh Besar Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam” belum pernah dilakukan sebelumnya, namun beberapa penelitian yang membahas tentang hareuta peunulang di dalam literaturnya, antara lain :

  1. Abdurrahman, SH, M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, pada tahun 2000 melakukan penelitian dengan judul “Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh” dengan permasalahan bagaimanakah konsepsi hareuta peunulang dan proses pemberiannya.

  2. T. Mohd Djuned, Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, tahun 1991, dengan tulisannya “Peunulang sebagai salah satu bentuk pewarisan di Aceh”, dalam buletin kanun Nomor 2 edisi Desember 1991.

  Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahannya serta pengkajian dalam penelitian ini berbeda sama sekali, dengan demikian penilitian ini dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi,

  25

  aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori didefiniskan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala

  26

  spesifik atau proses tertentu terjadi. Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisi dari hasil penelitian yang

  27 dilakukan.

  Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press ,

  1982), hal. 6 26 27 M. Hisyam, Penelitian ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta ; FE UI, 1996), hal. 203 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21

  28

  yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena

  29 menjadi sebuah penjelasan yang sifatya umum.

  Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan

  30 perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.

  Teori adalah susunan konsep, definisi yang dalam, yang menyajikan pandangan yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan

  31

  meramalkan fenomena, atau menjelaskan gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

  32 menunjukkan ketidakbenarannya.

  Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam

  33 setiap bidang ilmu pengetahuan. 28 Agar kerangka teori meyakinkan maka harus memenuhi syarat: Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 6 29 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34 30 31 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 Sofyan Safri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komperehensif,

  (Jakarta : Pustaka Quantum, 2001), hal. 40 32 33 J.J.J.M. Wurisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-azas, (Jakarta : Fe UI, 1991), hal. 203

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 113

  Pertama, teori yang digunakan dalam membangun kerangka berfikir harus

  merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Kedua, analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berfikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya, Ketiga, mampu mengidentifikasikan masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai dengan kerangka berfikir ilmiah.

  34 Penelitian dilakukan dengan berpedoman kepada pandangan Eugen Erlich

  tentang hukum yang hidup (living law). Eugen Erlih berpendapat bahwa hukum tidak dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dan bahan-bahan hukum formal, melainkan perlu terjun sendiri kedalam kehidupan nyata masyarakat. Hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah laku yang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubunganya satu sama lain. Hukum tidak mempunyai daya laku atau penerapan yang universal, tiap bangsa mengembangkan hukumnya sendiri.

  35 Dalam menganalisa permasalahan dalam tesis ini, teori Urf /kebiasaan dalam

  masyarakat, menurut Hasballah Thaib dalam bukunya “Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, dan teori keadilan dalam perspektif filsafat hukum dan Islam (Mu’tazilah).

  34 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), hal. 26 35 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 297

  Urf

  atau adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan dalam masyarakat

  36 dan dijalankan terus menerus baik merupakan perkataan ataupun perbuatan.

  Tesis dasar Mu’tazilah adalah bahwa manusia sebagai yang bebas, bertanggung jawab dihadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tidak bergantung kepada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif ini merupakan akibat wajar tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan ebyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang pembuat hukum menyatakannya atau tidak, dengan kata lain kaum Mu’tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan

  37 spiritual, dengan demikian menegakkan obyektifisme rasionalis.

  38 Kata keadilan berasal dari kata “adala”, yang dalam Al-qur’an terkadang

  39

  disebut dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Kata adala dalam Al-qur’an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali dalam berbagai bentuknya untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut

  40 lurus karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.

  36 Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002), hal. 32 37 Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1994) hal.

  154-155 38 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 73 Tematik, 39 40 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 23 Ali Parman, Op. Cit, hal. 84

  Pada pokoknya syari’ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang,

  41 jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari’ah.

  Dalam bahasa Indonesia keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang pada

  42 kebenaran, proporsional dan lain-lain.

  Dalam hubunganya dengan hak menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan

  43 dan kewajiban/keperluan.

  Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang meninggal dunia) kepada ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.

  Sedangkan menurut Van Apoolderen sebagaimana yang dikutip oleh Budiono Kusumohamidjojo, tujuan hukum adalah tertib masyarakat yang damai dan seimbang.

  44 Bahwa fungsi utama dari hukum adalah menegakkan keadilan.

  Hukum setidaknya mempunyai tiga peranan utama dalam masyarakat, antara lain : 41 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi

  Perbandingan Sistem Hukum Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991) hal. 6-7 42 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka Cet K-III, 1990), hal. 6-7 43 44 Amir Syarifuddin, lock. Cit.

  Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum, (Jakarta : Grassindo, 1999), hal. 126 a. Sebagai sarana pengendalian sosial

  b. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial

  45

  c. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu Pada umumnya di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistic menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada, pada dasarnya hal ini disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-

  46 suku atau kelompok-kelompok etnik.

  Maka dalam hal ini, disetiap masyarakat dibutuhkan suatu aturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat itu dapat diselamatkan, agar masyarakat tersebut dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari segala aspek hukum.

  Salah satu asas dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta warisan, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu asas keadilan berimbang.

  Berdasarkan pendapat Eugen Erlich mengenai hukum yang hidup (living law) dan keadilan tersebut, dapat diketahui bahwa keadilan dalam masyarakat senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan perubahan keadilan menyebabkan terjadinya perubahan kebiasaan hidup masyarakat. Oleh karena hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) maka secara otomatis, perubahan

  45 46 Soerjono Soekanto, Op Cit, hal. 34 Soedjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat, (Jakarta : Ghalia Indonesia), hal. 25-26 kebiasaan hidup dalam masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan hukum yang ada.

  Menurut Djojodigoeno, hukum adat mempunyai sifat yang khas sebagai aturan yang tidak tertulis. Hukum adat mempunyai sifat yang hidup dan berkembang, hukum adat menjadi dinamis apabila dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam dasar-dasar hukum sepanjang jalan

  47 sejarahnya.

  Pada satu sisi, hukum adat bersifat tradisional karena melanjutkan tradisi luhur yang cenderung mempertahankan pola-pola yang terbentuk, sedangkan pada sisi lain sebagai hukum yang hidup dan berkembang, hukum adat akan selalu mampu

  48 mengikuti perkembangan masyarakat.

  Hukum adat Aceh Besar sebagai hukum yang hidup dan berkembang di Aceh, ada dikarenakan masyarakat Aceh Besar menghendakinya. Hukum adat Aceh Besar berasal dari agama yang dianut, perkembangan kesadaran moral dan kebiasaan- kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hukum waris adat Aceh Besar anak laki-laki mendapatkan bagian sesuai dengan ketentuan prinsip waris Islam, yaitu dua berbanding satu ( 2:1 ) antara anak laki-laki dan perempuan, sistem ini dipengaruhi oleh perkembangan mayoritas masyarakat Aceh telah menganut

  49 agama Islam secara keseluruhan. 47 48 Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, hal. 35 49 Ibid Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat Aceh Besar, Di Jantho, Tanggal 27 September 2013 Seiring perkembangan waktu dalam praktek kewarisan adat Aceh Besar masih menginginkan keadilan dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan, dan rasa orang tua dalam melindungi anaknya yang perempuan di wujudkan dalam bentuk pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuannya pada saat melangsungkan atau setelah perawinan berlangsung dalam membina keluarga yang baru nantinya dengan suami anak perempuannya tersebut, dan bertujuan untuk mengimbangi kenyataan bahwa pembagian warisan memberikan porsi lebih besar kepada anak laki-laki.

2. Konsepsi

  Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.

  Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstarksi dan realitas. Konsepsi merupakan suatu pengertian mengenai suatu fakta

  50 atau dapat berbentuk batasan (definisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.

  Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan

  51

  dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. Pentingnya definisi adalah untuk menghindari pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. 50 51 Hilam hadikusuma, Op. Cit, hal. 15 Soedjono Soekanto, Op, Cit, hal. 133

  Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara

  52 variabel-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris.

  Pemberian yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pemberian benda tetap melalui lembaga hareuta peunulang yang pernah dilakukan dalam kehidupan masyarakat Aceh Besar yang ada dilokasi penelitian berdasarkan hukum adat Aceh yang berlaku. Pemberian terjadi antara orang tua kandung sebagai pemberi dan anak kandung sebagai penerima, dimana keduanya beragama Islam.

  Oleh karena itu di dalam penelitian ini tesis ini dirangkaikan kerangka konsepsi sebagai berikut : a. “Hibah” dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) “orang yang telah beumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta benda kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi dimiliki. Pasal 210 ayat 1, Kompilasi Hukum Islam.

  b. “Peurae atauweuk pusaka adalah pembagian harta warisan.

52 Koentjoroningrat, Op. Cit, hal. 21

  c. “Hareuta tuha” adalah harta benda yang diperoleh laki-laki atau perempuan sebelum menikah, dalam bentuk warisan, hibah, atau harta benda yang dibeli atau dibuat.

  d. “Hareuta Peunulang/Peunulang” adalah pemberian orang tua kepada anak perempuan pada saat atau setelah perkawinan berupa benda tidak bergerak (tanah/rumah).

  e. “Peumengkleh” adalah kegiatan pemisahan anak perempuan dari orang tuanya setelah melangsungkan pernikahan untuk menyatakan bahwa seorang anak telah resmi memiliki penghidupan baru dan keluarga yang baru.

  f. Hukum waris adat adalah memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud (immateriele goederen) dari satu generasi manusia

  (generatie)

  kepada keturunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua

  53 masih hidup.

  g. Hukum Islam yaitu hukum syar’i, dalam banyak istilah disebut hukum syara’ atau hukum syari’at atau hukum syari’ah, dan oleh dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai hukum Islam adalah salah satu sub sistem hukum yang berlaku di negara Indonesia dan menjadi unsur yang membentuk (sumber bahan hukum) sistem hukum nasional Indonesia. Disamping itu ada dua sub sistem hukum lagi sebagai sumber bahan hukum yaitu hukum Barat 53 dan hukum adat.

  Soepomo, Op. Cit, hal. 84

G. Metode Penelitian

  Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang menggunakan pengetahuan sebagai sumber primer dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip umum serta

  54 telah mengadakan ramalan generalisasi sampel yang diteliti.

  Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti jalan menuju dan secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju

  55 proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.

  Menurut Soedjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambahkan pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan

  56 tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

  Maka dapat dilihat peran penting metode dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan secara khusus dalam ilmu hukum.

  Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui bahwa metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk

  54 55 Komaruddin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, (Bandung : Angkasa, 1974), hal. 27 56 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian hukum, (Jakarta : UI Press, 2007), hal. 43 Soedjono Soekanto, Op. Cit, hal. 6

  57

  menemukan solusi atas suatu masalah. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :

  1. Spesifik Penelitian

  Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Adapun yang dimaksud dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis adalah suatu penelitian yang dapat

  58 menggambarkan secara rinci dan sistematis mengenai objek yang diteliti.

  Penelitian ini menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala- gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat Aceh Besar, Hukum Waris Adat Aceh Besar sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/jawaban dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.

  2. Metode Pendekatan

  Studi hukum dibagi menjadi 2 (dua) cabang studi, pertama menyatakan bahwa hukum dipelajari dan diteliti sebagai studi mengenai law in book sedangkan kedua menyataan bahwa hukum dapat dipelajari sebagai suatu studi mengenai law in action. Oleh karena mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang lain maka penelitian terhadap hukum sebagai law in

  59 action merupakan studi sosial yang nondoctrinal yang bersifat empiris.

  57 58 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2009), hal. 13 59 Soedjono Soekanto, Op. Cit, hal. 10 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Persada, 1990), hal. 34

  Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian

  60

  terhadap efektivitas hukum. Menurut Roony Hanitijo Soemitro bahwa penelitian

  yuridis empiris

  adalah suatu penelitian dengan cara melihat faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terhadi di masyarakat secara langsung

  61 untuk menjawab pokok permasalahan.

  Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi hukum dan efetifitas hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Besar, sehingga penelitian yan dilakukan dapat memberikan jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian yaitu mengenai keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dan status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang yang diberikan setelah melangsungkan perkawinan.

3. Lokasi Penelitian

  Daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, yang memiliki luas wilayah 290.256 ha yang terdiri dari 23 Kecamatan yaitu kecamatan Lhoong, Lhoknga, Indrapuri, Seulimeum, Montasik, Suka makmur, Darul Imarah, Peukan Bada, Mesjid Raya, Ingin Jaya, Kuta Baro, Darussalam, Pulo Aceh, Lembah Seulawah, Kota Jantho, Kuta Cot Glie, Kuta 60 61 Soedjono Soekanto, Op. Cit, hal. 51 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hal. 24 Malaka, Simpang Tiga, Darul Kamal, Baitussalam, Krueng Barona Jaya, Leupung

  62 dan Blang Bintang.

  Mengingat banyaknya jumlah kecamatan dan desa di Kabupaten Aceh Besar yang akan diteliti serta jaraknya yang saling berjauhan maka penelitian tidak dilakukan disemua kecamatan dan desa. Dari keseluruhan kecamatan yang berjumlah 23(dua puluh tiga) kecamatan dan desa, dipilih 3 (tiga) kecamatan dan tiap-tiap kecamatan dipilih 2 (dua) desa sebagai sampel.

  Adapun ketiga kecamatan tersebut yaitu :

  a. Kecamatan Kota Jantho, yang terdiri dari 1 (satu) kemukiman yaitu mukim Jantho, dan 10 (sepuluh) desa, yaitu : Jantho, Awek, Data Cut, Bueng, Weu, Jalin, Suka Tani, Cucu, Jantho Baru, dan Jantho Makmur.

  Maka dari sepuluh desa tersebut dipilih 2 (dua) desa yang menjadi sampel yaitu : (1) Desa Jantho Baru (2) Desa Jantho Makmur

  b. Kecamatan Seulimeum, yang terdiri dari 5 (lima) kemukiman yaitu : mukim Seulimeum, Lamkabeu, Lamteuba, Lampanah dan Tanoh abe, dan 41 (empat puluh satu) desa yaitu : Desa Peukan Seulimeum, Keunaloi, Lhieb, Alue Gintoeng, Kp. Seulimeum, Data Gaseu, Rabo, Kp. Raya, Lamjreun, Buga, Jawie, Alue Rindang, Iboh Tunong, Iboh Tanjong, Seuneubok, Meunasah 62 Baro, Meunasah Tunong, Batee Lhee, Mangeu, Bayu, Ayon, Lamteuba

  BPS Kabupaten Aceh Besar Droe, Pulo, Lampantee, Lambada, Blang Tingkeum, Ateuk, Lam Apeng, Meurah, Lampanah, Ujong Mesjid, Ujung Keupula, Leungah, Beureunut, Jeumpa, Pintokhop, Bak Seutui, Bak Aghu, Kayee Adang, Lamkuk, Ujong Mesjid, Lam Carak, Capeng Dayah, Capeng Baroh, Lampisang Dayah, Lampisang Tunong, dan Lampisang Teungoh.

  Maka dari 41 (empat puluh satu) desa yang menjadi sampel yaitu: (1) Desa Peukan Seulimuem (2) Desa Lhieb.

  c. Kecamatan Kuta Malaka, yang terdiri dari 1 (satu kemukiman) yaitu : Kemukiman Samahani dan 11 (sebelas) desa yaitu : Desa Leupung Riwat, Tumbo Baro, Leupung Cut, Lamsiteh Cot, Reuleng Karieng, Leubok Buni, Leubok Batee, Bunghu, Teu dayah, Leupung Rayeuk dan Reuleng Glumpang.

  Maka dari 11 (sebelas desa) yang menjadi desa sampel yaitu : (1) Desa Teudayah (2) Desa Lam Ara Tunoeng.

  Pemilihan keenam Desa tersebut sebagai lokasi penelitian, diharapkan lokasi penelitian dapat memberikan jawaban atas pokok permasalahan tersebut.

4. Populasi dan Responden

  Menurut winardi, populasi atau universe adalah kelompok semua elemen yang mendukung keterangan yang diperlukan guna untuk menjelaskan sebuah problem atau alasan-alasan maksudnya yaitu sekelompok manusia yang bermukim disuatu wilayah atau daerah penelitian dan dapat pula merupakan elemen/bagian dari tempat

  63

  penelitian. Populasi penelitian ini merupakan semua orang di Kabupaten Aceh Besar yang bertempat tinggal di 62 desa/kelurahan, di kecamatan Kota Jantho, Seulimeum dan Kuta Malaka, kecamatan yang pernah melakukan pemberian hareuta

  peunulang

  dan ditentukan pula desa yang dijadikan lokasi penelitian ini sebanyak 6 (enam) desa, yaitu : Desa Jantho Baru, Desa Jantho Makmur dari kecamatan Kota Jantho, Desa Peukan Seulimuem, Desa Lhieb dari Kecamatan Seulimuem dan Desa Teudayah, Desa Lam Ara Tunoeng dari Kecamatan Kuta Malaka.

  Berdasarkan pengamatan dilokasi penelitian, mengingat bahwa orang yang dapat dijadikan responden cukup banyak, karena banyaknya kasus-kasus pemberian

  hareuta peunulang