Pelaksanaan dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar
TESIS
Oleh
AFRIZAL
117011137/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
AFRIZAL
117011137/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Nomor Pokok : 117011137
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
(5)
Nim : 117011137
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN
ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN
MELALUI HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN
ACEH BESAR
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :AFRIZAL Nim :117011137
(6)
untuk menjadi ahli waris. Anak perempuan disamping menjadi ahli waris di Kabupaten Aceh Besar masih mendapat pemberian harta kekayaan dari orang tua. Hareuta Peunulangmerupakan salah satu bentuk pemberian setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti perhiasan, emas, rumah, pekarangan, dan lainnya di antara ayah atau ibu kepada anak-anaknya, jumlah yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi, dimana hareuta peunulang yang telah diberikan tidak dapat diminta kembali. Penelitian lebih mendalam terhadap pemberian hareuta peunulang perlu dilakukan, mengingat sistem pewarisan di Aceh sekarang yang menganut pewarisan secara Islam dengan prinsip waris Islam 2 berbanding 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Penelitian mengenai pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dilakukan untuk mengetahui keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dan status hukum pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dapatkan disamakan dengan hibah dalam hukum Islam.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan sifat penelitiandeskriptif analitis.Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis sistem kekerabatan, hukum waris adat. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/jawaban dari permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian, pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang masih dilaksanakan sampai sekarang, di mana masih banyak ditemukan kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang. Pemberian ini dikarenakan faktor sebagai bekal dikemudian hari, factor kasih sayang, faktor ekonomi, faktor yuridis, faktor budaya, faktor agama, dan faktor keadilan. Perkembangan hukum waris Islam dalam masyarakat Aceh mempengaruhi status hukum pemberian orang tua kepada anak perempuan secara adat melalui hareuta peunulang dalam waris adat, karena syarat dan ketentuan pemberian ini dapat disamakan dengan hibah dalam aspek hukum waris Islam, sehingga status dan akibat hukum hibah secara Islam dengan sendirinya berlaku terhadap pemberianhareuta peunulangkepada anak perempuan.
(7)
as heirs. In Aceh Besar District, a daughter is not only a heir but can also receive the property granted by her parents. Hareuta Peunulang is one of the grants in the forms of jewelry, gold, home, yard or ground and so forth granted by the parents after their daughter gets married. The amount of the grant given must not greater than 1/3 (one-third) of the total number of the property of the legacy provider, and the hareuta peunulang which has been given is not returnable. A further study on granting hareuta peunulang needs to be conducted considering that the currently existing inheritance system in Aceh following Islamic inheritance system with the principle of 2:1 between the son and the daughter. The purpose of this study was to find out the existence of the grant given by the parents to their daughter through hareuta peunulang practice and to find out whether this practice of hareuta paneulang can beequated with a grant in Islamic law.
The data obtained for this descriptive analytical empirical juridical study describing the symptoms, facts and aspects of kinship system and adat inheritance law were analyzed to achieve the answer to the problems.
The result of the analysis showed that the giving of grant by the parents to their daughter through hareuta peunulang is still currently practiced. This grant is given is based on the future supplies, affection, economic, juridical, cultural, religious and justice factors. The development of Islamic inheritance law in Achenese communities has influenced the legal status of the grant traditionally given by the parents to their daughter through hareuta paneulang in adat inheritance because the conditions and requirements of this grant giving can beequated with a grant in accvordance with the aspect of Islamic inheritance law. Therefore, the status and legal cosequence resulted from the Islamic grant law is automatically applicable to the giving of hareuta peunulang by the parents to their daughter.
(8)
iii
PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA
KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR. Selama menempuh pendidikan dan penulisan serta penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh dukungan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini dengan peanuh kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan Universitas Sumatera Utara dalam menyelasaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara; 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini;
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
(9)
iv
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku pembimbing yang di dalam berbagai kesibukan dapat menyempatkan diri membimbing dan mengarahkan serta memberi petunjuk dan saran yang sangat berharga bagi penulisan tesis ini; 7. Pengelola, Dosen pengajar dan staf sekretariat Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;
8. Rekan-rekan penulis yang terutama Keseluruhan Kelas C yang dalam hal ini juga ikut serta membantu penulis sehingga terselesaikan tesis ini.
9. Putri Ayu Rezki Utama, yang telah mendorong dan selalu memberi motivasi kepada penulis dalam penulisan tesis dan proses perkuliahan hingga selesai.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkat dan anugrah-Nya berlimpah bagi beliau-beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari dalam tesis ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu semua saran dan kritik penulis terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Februari 2014 Penulis
(10)
v
1. Nama Lengkap : AFRIZAL
2. Tempat, Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 02 April 1985
3. Domisili : Kec. Samalanga, Kab. Bireuen, Prov. Aceh
4. Jenis Kelamin : Laki-Laki
5. Agama : Islam
6. Status : Belum Menikah
7. Telepon : 085260540678
8. e-mail : [email protected]
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. (1997) Lulus SDN 3 Samalanga - Kabupaten Bireuen
2. (2000) Lulus MTsN Jeumala Amal Lueng Putue – Kabupaten Pidie 3. (2003) Lulus MAS Jeumala Amal Lueng Putue _ Kabupaten Pidie 4. (2010) Lulus Universitas Syiah Kuala FH - Banda Aceh
(11)
vi
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
1. Kerangka Teori ... 14
2. Konsepsi ... 21
G. Metode Penelitian ... 24
BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN HAREUTA PEUNULANGDI KABUPATEN ACEH BESAR ... 33
A. Deskripsi Daerah Penelitian ... 33
B. Islam di Dalam Masyarakat Aceh ... 40
C. Sejarah PemberianHareuta Peunulang ... 43
D. Pengertian PemberianHareuta Peunulang ... 45
E. Keberadaan Pemberian Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan MelaluiHareuta Peunulangdi Kabupaten Aceh Besar ... 53
(12)
vii
1. Proses Pemberian Hareuta Peunulang ... 69
2. Syarat-syarat PemberianHareuta Peunulang ... 74
B. Status Hukum Dari Pemberian MelaluiHareuta Peunulang ... 76
1. Status Pemberian Orang Tua MelaluiHareuta Peunulang Dalam Aspek Hukum Waris Adat ... 76
2. Status Pemberian Orang Tua MelaluiHareuta PeunulangDalam Aspek Hukum Waris Islam ... 83
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
(13)
viii
Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar... 35 Tabel 1.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37 Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Pada Sekolah
Negeri dan Swasta... 38 Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel di bawah Departemen
(14)
untuk menjadi ahli waris. Anak perempuan disamping menjadi ahli waris di Kabupaten Aceh Besar masih mendapat pemberian harta kekayaan dari orang tua. Hareuta Peunulangmerupakan salah satu bentuk pemberian setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti perhiasan, emas, rumah, pekarangan, dan lainnya di antara ayah atau ibu kepada anak-anaknya, jumlah yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi, dimana hareuta peunulang yang telah diberikan tidak dapat diminta kembali. Penelitian lebih mendalam terhadap pemberian hareuta peunulang perlu dilakukan, mengingat sistem pewarisan di Aceh sekarang yang menganut pewarisan secara Islam dengan prinsip waris Islam 2 berbanding 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Penelitian mengenai pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dilakukan untuk mengetahui keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dan status hukum pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dapatkan disamakan dengan hibah dalam hukum Islam.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan sifat penelitiandeskriptif analitis.Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis sistem kekerabatan, hukum waris adat. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/jawaban dari permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian, pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang masih dilaksanakan sampai sekarang, di mana masih banyak ditemukan kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang. Pemberian ini dikarenakan faktor sebagai bekal dikemudian hari, factor kasih sayang, faktor ekonomi, faktor yuridis, faktor budaya, faktor agama, dan faktor keadilan. Perkembangan hukum waris Islam dalam masyarakat Aceh mempengaruhi status hukum pemberian orang tua kepada anak perempuan secara adat melalui hareuta peunulang dalam waris adat, karena syarat dan ketentuan pemberian ini dapat disamakan dengan hibah dalam aspek hukum waris Islam, sehingga status dan akibat hukum hibah secara Islam dengan sendirinya berlaku terhadap pemberianhareuta peunulangkepada anak perempuan.
(15)
as heirs. In Aceh Besar District, a daughter is not only a heir but can also receive the property granted by her parents. Hareuta Peunulang is one of the grants in the forms of jewelry, gold, home, yard or ground and so forth granted by the parents after their daughter gets married. The amount of the grant given must not greater than 1/3 (one-third) of the total number of the property of the legacy provider, and the hareuta peunulang which has been given is not returnable. A further study on granting hareuta peunulang needs to be conducted considering that the currently existing inheritance system in Aceh following Islamic inheritance system with the principle of 2:1 between the son and the daughter. The purpose of this study was to find out the existence of the grant given by the parents to their daughter through hareuta peunulang practice and to find out whether this practice of hareuta paneulang can beequated with a grant in Islamic law.
The data obtained for this descriptive analytical empirical juridical study describing the symptoms, facts and aspects of kinship system and adat inheritance law were analyzed to achieve the answer to the problems.
The result of the analysis showed that the giving of grant by the parents to their daughter through hareuta peunulang is still currently practiced. This grant is given is based on the future supplies, affection, economic, juridical, cultural, religious and justice factors. The development of Islamic inheritance law in Achenese communities has influenced the legal status of the grant traditionally given by the parents to their daughter through hareuta paneulang in adat inheritance because the conditions and requirements of this grant giving can beequated with a grant in accvordance with the aspect of Islamic inheritance law. Therefore, the status and legal cosequence resulted from the Islamic grant law is automatically applicable to the giving of hareuta peunulang by the parents to their daughter.
(16)
Indonesia adalah negara yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Termasuk dalam hal ini mengenai hukum waris adat.
Masalah warisan berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.1 Jadi dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.
Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum waris adat masing-masing, dimana biasanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang mereka anut.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Keberadaan agama Islam di Indonesia sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat setempat, ataupun sedikit banyaknya praktek keberagaman telah dipengaruhi adat istiadat setempat, termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah kewarisan. Bagi masyarakat yang memegang teguh ajaran agama Islam, maka dia akan terus konsekuen dengan keyakinannya untuk membagikan harta warisan dengan cara-cara Islam.
1Soerojo Wingjodipoero,Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat ,(Jakarta : Gunung Agung, 1995), hal, 161
(17)
Di dalam hukum Islam, hukum kewarisan yang lazim disebut dengan hukum faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalan, hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang mewarisi atau ahli waris.
Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif).2 Menurut Soerjono Sukanto, hukum adat merupakan keseluruhan adat baik yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.3
Ter Haar berpendapat bahwa hukum adat merupakan seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa dari para fungsionaris hukum seperti para hakim adat, kepala adat dan kepala desa dalam hubungannya secara langsung satu sama lain dan timbal balik dengan masyarakat berdasarkan ikatan struktural maupun ikatan lainnya.4
Menurut Djojodigoeno, hukum adat yang merupakan suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata, keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga hukum adat tidak boleh bersifat statis dan konservatif. Hukum adat harus bersifat dinamis
2 Otjie Salam Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung : Alumni, 2002), hal. 27
3Iman Sudiyat,Asas-asas Hukum Adat, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal. 9 4
(18)
dan dapat menyesuaikan diri dengan suatu keadaan atau suatu situasi tertentu (plastis).5 Menurut Bushar Muhammad, hukum adat yang ada akan patut untuk dipertahankan atau tidak, bergantung kepada kesadaran masyarakat.6
Dalam perkembangannya dewasa ini hukum terus mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti hukum. Hukum bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan keberlakuannya ditengah-tengah masyarakat. Karena sesuatu pebuatan yang dipaksakan maka sesunggahnya hasilnya pasti tidak akan baik
Eksistensi berlakunya hukum adat disamping hukum nasional sampai saat ini, dapat dilhat pada Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peratutan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) maupun Putusan Badan Peradilan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dasar 1945 eksistensi berlakunya hukum adat dapat dilihat pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Badan negara dan peraturan merupakan dua hal yang dipertahankan menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Badan negara yang dimaksud adalah lembaga-lembaga hukum yang telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial seperti pengadilan gubernemen, pengadilan asli, pengadilan desa dan swapraja. Peraturan-peraturan yang dimaksud
5Op, Cit,hal. 13-14
(19)
adalah seperti dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan pasal 163 IS yang pada prinsipnya menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetbook (BW)atau disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
UUD 1945 tidak menyebutkan istilah hukum adat secaraeksplisit dalam pasal-pasalnya, tetapi dengan masih tetap diberlakukannya badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sudah cukup memadai sebagai sebuah pedoman bahwa diluar hukum perundang-undangan masih diakui pula adanya hukum-hukum yang tidak tertulis.7
Eksistensi masyarakat hukum adat secaraimplisitdapat ditemukan pada Batang Tubuh UUD 1945 pasal 18 B yang berbunyi : “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”.
Menurut Pasal 5 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, dalam memutuskan suatu perkara hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan eksistensi hukum adat itu sendiri yang merupakan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
7
(20)
Eksistensi hukum adat di bidang pertanahan dapat dilihat dalam pasal 5 UUPA yang menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan negara.
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat dualisme hukum yang mengatur dibidang pertanahan. Menurut Utrecht, sifat tersebut merupakan hal yang perlu dihindari dalam lapangan hukum karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merupakan suatu keadaan yang bertentangan dengan filsafah dan tujuan hukum itu sendiri.8
Hukum adat mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat adat, dalam kehidupan masyarakat adat, penggunaan istilah hukum adat sangat jarang ditemukan, masyarakat cenderung menggunakan istilah adat. Istilah tersebut mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat terkait dan merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa.9 Adat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun setelah adanya masyarakat.10
Menurut Hazairin, masyarakat adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.11 Hukum adat mengatur berbagai sendi kehidupan masyarakat adat seperti mengatur kehidupan
8E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia,(Jakarta : PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 35
9I Gede, A. B. Wiranata,Hukum Adat Indonesia,(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 3 10Ibid
11Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia,(Jakar
(21)
keluarga, perkawinan, waris, tanah, hutang piutang dan pelanggaran terhadap hukum adat.12
Ketentuan dalam pewarisan diatur oleh hukum waris adat. Menurut Soepomo dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab tentang Hukum Adat”, hukum waris adat didefinisikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang yang berwujud dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.13Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan daripada sifat-sifat kebendaan dan mementingan diri sendiri.
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materil dan non-materil dari generasi ke genarasi.14
Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris adalah harta keluarga yang dapat berupa harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa dalam keluarga, usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan, harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri pada
12
Soerjono Soekanto,Op. Cit,hal 118-119
13Soepomo,Bab-bab tentang Hukum Adat,(Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal. 72 14Iman Sudiyat,Op. Cit,hal. 173
(22)
waktu perkawinan dan harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan.15
Hukum waris suatu golongan masyarakat tidak terlepas dan dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Setiap masyarakat dimanapun ia berada mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda, perbedaan dengan sistem keturunan akan mempengaruhi sistem pewarisan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara teoritis sistem keturunan atau kekeluargaan di Indonesia dapat dikelompokkan kedalam tiga macam, yaitu sistempatrilineal,sistemmatrilineal,dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.16
Menurut wirjono Prodjodikoro, bahwa diantara orang-orang Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu :
1. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan (Patriachaat, Vaderrechtlijk)atau disebut juga patrilineal terdapat didaerah Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor, dan Bali.
2. Golongan kekeluargaan yang bersifat keibuan (Matriaachaat, Moderrechtelijk)atau disebut jugamatrilinealterdapat di Minangkabau. 3. Golongan kekeluargaan yang kebapak-ibuan (Parental Ouderrechtlijk)
terdapat di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok.17
15Soerjono Soekanto,Op. Cit,hal. 277
16Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat,(Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1993), hal. 23 17 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Waris di Indonesia,Cet-II (Bandung : Sumur, 1983), hal. 15-16
(23)
Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang material maupun inmateriel).
Ada tiga sistem yang dikenal dalam hukum waris adat, yaitu :
1. Sistem kewarisan individu yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan yang dapat dilihat pada suku Batak, Jawa dan Sulawesi.
2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris yang dapat dilihat pada suku Minangkabau.
3. Sistem kewarisan mayorat terdiri dari :
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, yang terdapat di daerah Lampung.
b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, terdapat pada masyarakat di tanah Samendo.18
Sistem kekerabatan pada masyarakat parental atau bilateral didasarkan pada kedua orang tua (bapak dan ibu). Dengan terjadinya perkawinan baik suami maupun isteri keluarganya bertambah. Disamping masih tetap menjadi anggota keluarga yang semula, juga dianggap telah menjadi anggota pihak suami/isteri. Demikian juga anak yang lahir dari perkawinan tersebut mempunyai dua keluarga, yaitu keluarga bapak dan keluarga ibunya.
Dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan seperti ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam sistem kewarisan yaitu sama-sama mempunyai peluang menjadi ahli waris.19
(24)
Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing-masing. Dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar, setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya. Mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga. Secara sosial mereka masih belum dikategorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya. Kondisi ini berkonsekuensi bahwa mereka tetap berada dibawah tanggung jawab orang tua, sampai mereka dipisahkan secara adat guna membentuk keluarga sendiri. Dalam perkembangannya pada proses pemisahan untuk membentuk sebuah keluarga sendiri terpisah dari keluarga orang tua melakukan pemberian harta kekayaannya kepada anak perempuan.
Eman Suparman dalam hal ini mempersamakan pemberian dengan hibah. Menurut Eman Suparman “hibah dalah pemberian yang dilakukan oleh sesorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup”.20
Menurut Sopeomo, “pemberian semasa hidup dilakukan oleh orang tua untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewaris dan juga untuk mencegah perselisihan”.21
Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan yaitu :
19H. Ismuha,Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris menurut KUH Perdata, Hukum Adat
dan Hukum Islam,(Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 36
20Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,(Bandung : PT. Refika Aditama, 2005), hal. 51
(25)
1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup.
2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara Cuma-Cuma
3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat.
4. Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak mapun benda tetap.
5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian dalam hukum adat adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian dapat berupa barang tetap, barang bergerak atau hannya berupa hak pakai yang dilakukan sebelum atau sejak adanya perkawinan dan selama perkawinan.22
Pemberian atau hibah juga diatur dalam hukum nasional, yaitu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Titel X Buku III yang dimulai dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693, serta di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 poin g “hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang yang masih hidup untuk dimiliki”.23
Kata “di waktu masih hidup“ mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup, dan bila beralih sudah matinya yang berhak maka di sebut wasiat. Adapun kata tanpa imbalan atau sukarela, berarti itu semata-mata
22Eman Suparman,Op. Cit,hal. 81 23
(26)
kehendak sepihak (sipemberi) tanpa mengharapkan apa-apa, apabila mengharapkan imbalan dinamakan jual beli.24
Pemberian orang tua kepada anaknya semasa hidup terjadi dengan corak dan tujuannya masing-masing disetiap lingkungan adat yang berbeda-beda seperti pada masyarakat Batak Karo yang disebut pemere, masyarakat Daya Kendayan di Kalimantan, di Lampung, Banten, Aceh yang disebuthareuta peunulang, dan Jawa.
Masyarakat Aceh khususnya masyarakat Kabupaten Aceh Besar terdapat proses pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuan pada saat anak perempuannya melangsungkan perkawinan ataupun beberapa waktu setelah perkawinan berlangsung itu sudah menjadi kewajiban bagi orang tua disana. Di dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar pemberian ini dikenal dengan Hareuta peunulang.
Berdasarkan uraian diatas, pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang tidak terlepas dari pengaruh hukum waris adat, sistem kekerabatan, hukum tanah yang berlaku dalam masyarakat Aceh, serta hukum Islam yang dianut oleh hamper seluruh masyarakat di Aceh.
Hal tersebut yang melatar belakangi pentingnya dilakukan penelitian dengan judul “Pelaksanaan dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan MelaluiHareuta Peunulangdi Kabupaten Aceh Besar”.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
24Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
(27)
1. Bagaimanakah keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong orang tua dalam memberikanhareuta peunulangdi Kabupaten Aceh Besar?
2. Apakah status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui haruta peunulang di Kabupaten Aceh Besar, dapatkah disamakan dengan Hibah dalam Hukum Waris Islam ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan tesis ini yang akan dilakukan oleh peneliti adalah :
1. Untuk mengetahui keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui lembagahareuta peunulang perempuan dan faktor-faktor apa saja yang mendorong orang tua untuk memberikanhareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar.
2. Untuk mengetahui status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dengan pemberian hibah dalam Hukum Waris Islam.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu sosial, budaya dan hukum, khususnya ilmu sosial budaya tentang masyarakat Aceh, dan
(28)
Hukum Waris Adat Aceh, sebagai sumber informasi bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui masalah hareuta peunulang, sebagai salah satu sumbangan untuk bisa menjadi acuan atau dasar bagi peneliti yang lebih jauh dan mendalam tentanghareuta peunulangdi dalam masyarakat adat Aceh.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan tambahan pemahaman dinamika yang secara nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum dan masyarakat Aceh yang ada di Kabupaten Aceh Besar secara khusus. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan dalam melakukan pembangunan hukum ke arah yang lebih baik lagi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Kedudukan Lembaga Hareuta Peunulang Dalam Masyarakat Adat Aceh Besar Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam” belum pernah dilakukan sebelumnya, namun beberapa penelitian yang membahas tentang hareuta peunulang di dalam literaturnya, antara lain :
1. Abdurrahman, SH, M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, pada tahun 2000 melakukan penelitian dengan judul “Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh” dengan permasalahan bagaimanakah konsepsi hareuta peunulang dan proses pemberiannya.
(29)
2. T. Mohd Djuned, Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, tahun 1991, dengan tulisannya “Peunulang sebagai salah satu bentuk pewarisan di Aceh”, dalam buletin kanun Nomor 2 edisi Desember 1991.
Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahannya serta pengkajian dalam penelitian ini berbeda sama sekali, dengan demikian penilitian ini dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.25 Teori didefiniskan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.26Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisi dari hasil penelitian yang dilakukan.27
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis
25Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta : Universitas Indonesia Press , 1982), hal. 6
26M. Hisyam,Penelitian ilmu-ilmu Sosial,(Jakarta ; FE UI, 1996), hal. 203
27Koentjaraningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21
(30)
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.28 Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatya umum.29
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan(problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.30
Teori adalah susunan konsep, definisi yang dalam, yang menyajikan pandangan yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena,31atau menjelaskan gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.32
Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.33
Agar kerangka teori meyakinkan maka harus memenuhi syarat:
28 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 6
29 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34
30M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 31 Sofyan Safri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komperehensif, (Jakarta : Pustaka Quantum, 2001), hal. 40
32J.J.J.M. Wurisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-azas,(Jakarta : Fe UI, 1991), hal. 203 33Marwan Mas,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 113
(31)
Pertama, teori yang digunakan dalam membangun kerangka berfikir harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Kedua,analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berfikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya, Ketiga, mampu mengidentifikasikan masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai dengan kerangka berfikir ilmiah.34
Penelitian dilakukan dengan berpedoman kepada pandangan Eugen Erlich tentang hukum yang hidup(living law).Eugen Erlih berpendapat bahwa hukum tidak dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dan bahan-bahan hukum formal, melainkan perlu terjun sendiri kedalam kehidupan nyata masyarakat. Hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah laku yang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubunganya satu sama lain. Hukum tidak mempunyai daya laku atau penerapan yang universal, tiap bangsa mengembangkan hukumnya sendiri.35
Dalam menganalisa permasalahan dalam tesis ini, teori Urf /kebiasaan dalam masyarakat, menurut Hasballah Thaib dalam bukunya “Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, dan teori keadilan dalam perspektif filsafat hukum dan Islam(Mu’tazilah).
34Jonathan Sarwono,Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), hal. 26
(32)
Urf atau adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan dalam masyarakat dan dijalankan terus menerus baik merupakan perkataan ataupun perbuatan.36
Tesis dasar Mu’tazilah adalah bahwa manusia sebagai yang bebas, bertanggung jawab dihadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tidak bergantung kepada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif ini merupakan akibat wajar tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan ebyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang pembuat hukum menyatakannya atau tidak, dengan kata lain kaum Mu’tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan obyektifisme rasionalis.37
Kata keadilan berasal dari kata “adala”,38 yang dalam Al-qur’an terkadang disebut dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita.39 Kata adala dalam Al-qur’an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali dalam berbagai bentuknya untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut lurus karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.40
36Hasballah Thaib,Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam,(Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002), hal. 32
37Mumtaz Ahmad (ed),Masalah-masalah Teori Politik Islam,(Bandung : Mizan, 1994) hal. 154-155
38Ali Parman,Kewarisan Dalam Al-qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik,(Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 73 39Amir Syarifuddin,Op. Cit,hal. 23
(33)
Pada pokoknya syari’ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang, jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagisyari’ah.41
Dalam bahasa Indonesia keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang pada kebenaran, proporsional dan lain-lain.42
Dalam hubunganya dengan hak menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan dan kewajiban/keperluan.43
Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang meninggal dunia) kepada ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.
Sedangkan menurut Van Apoolderensebagaimana yang dikutip oleh Budiono Kusumohamidjojo, tujuan hukum adalah tertib masyarakat yang damai dan seimbang. Bahwa fungsi utama dari hukum adalah menegakkan keadilan.44
Hukum setidaknya mempunyai tiga peranan utama dalam masyarakat, antara lain :
41Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991) hal. 6-7
42Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka Cet K-III, 1990), hal. 6-7
43Amir Syarifuddin,lock. Cit.
44Budiono Kusumohamidjojo,Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum,(Jakarta : Grassindo, 1999), hal. 126
(34)
a. Sebagai sarana pengendalian sosial
b. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial c. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu45
Pada umumnya di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistic menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada, pada dasarnya hal ini disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-suku atau kelompok-kelompok etnik.46
Maka dalam hal ini, disetiap masyarakat dibutuhkan suatu aturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat itu dapat diselamatkan, agar masyarakat tersebut dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari segala aspek hukum.
Salah satu asas dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta warisan, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu asas keadilan berimbang.
Berdasarkan pendapat Eugen Erlich mengenai hukum yang hidup(living law) dan keadilan tersebut, dapat diketahui bahwa keadilan dalam masyarakat senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan perubahan keadilan menyebabkan terjadinya perubahan kebiasaan hidup masyarakat. Oleh karena hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) maka secara otomatis, perubahan
45Soerjono Soekanto,Op Cit, hal. 34
46 Soedjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat, (Jakarta : Ghalia Indonesia), hal. 25-26
(35)
kebiasaan hidup dalam masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan hukum yang ada.
Menurut Djojodigoeno, hukum adat mempunyai sifat yang khas sebagai aturan yang tidak tertulis. Hukum adat mempunyai sifat yang hidup dan berkembang, hukum adat menjadi dinamis apabila dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam dasar-dasar hukum sepanjang jalan sejarahnya.47
Pada satu sisi, hukum adat bersifat tradisional karena melanjutkan tradisi luhur yang cenderung mempertahankan pola-pola yang terbentuk, sedangkan pada sisi lain sebagai hukum yang hidup dan berkembang, hukum adat akan selalu mampu mengikuti perkembangan masyarakat.48
Hukum adat Aceh Besar sebagai hukum yang hidup dan berkembang di Aceh, ada dikarenakan masyarakat Aceh Besar menghendakinya. Hukum adat Aceh Besar berasal dari agama yang dianut, perkembangan kesadaran moral dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hukum waris adat Aceh Besar anak laki-laki mendapatkan bagian sesuai dengan ketentuan prinsip waris Islam, yaitu dua berbanding satu ( 2:1 ) antara anak laki-laki dan perempuan, sistem ini dipengaruhi oleh perkembangan mayoritas masyarakat Aceh telah menganut agama Islam secara keseluruhan.49
47Otje Salman Soemadiningrat,Op Cit, hal. 35 48Ibid
49Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat Aceh Besar, Di Jantho, Tanggal 27 September 2013
(36)
Seiring perkembangan waktu dalam praktek kewarisan adat Aceh Besar masih menginginkan keadilan dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan, dan rasa orang tua dalam melindungi anaknya yang perempuan di wujudkan dalam bentuk pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuannya pada saat melangsungkan atau setelah perawinan berlangsung dalam membina keluarga yang baru nantinya dengan suami anak perempuannya tersebut, dan bertujuan untuk mengimbangi kenyataan bahwa pembagian warisan memberikan porsi lebih besar kepada anak laki-laki.
2. Konsepsi
Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstarksi dan realitas. Konsepsi merupakan suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan (definisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.50 Konsepsi diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.51 Pentingnya definisi adalah untuk menghindari pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai.
50Hilam hadikusuma,Op. Cit,hal. 15 51Soedjono Soekanto,Op, Cit,hal. 133
(37)
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris.52
Pemberian yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pemberian benda tetap melalui lembaga hareuta peunulang yang pernah dilakukan dalam kehidupan masyarakat Aceh Besar yang ada dilokasi penelitian berdasarkan hukum adat Aceh yang berlaku. Pemberian terjadi antara orang tua kandung sebagai pemberi dan anak kandung sebagai penerima, dimana keduanya beragama Islam.
Oleh karena itu di dalam penelitian ini tesis ini dirangkaikan kerangka konsepsi sebagai berikut :
a. “Hibah” dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) “orang yang telah beumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta benda kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua orang saksi dimiliki. Pasal 210 ayat 1, Kompilasi Hukum Islam.
b. “Peuraeatauweuk pusakaadalah pembagian harta warisan.
(38)
c. “Hareuta tuha” adalah harta benda yang diperoleh laki-laki atau perempuan sebelum menikah, dalam bentuk warisan, hibah, atau harta benda yang dibeli atau dibuat.
d. “Hareuta Peunulang/Peunulang” adalah pemberian orang tua kepada anak perempuan pada saat atau setelah perkawinan berupa benda tidak bergerak (tanah/rumah).
e. “Peumengkleh” adalah kegiatan pemisahan anak perempuan dari orang tuanya setelah melangsungkan pernikahan untuk menyatakan bahwa seorang anak telah resmi memiliki penghidupan baru dan keluarga yang baru.
f. Hukum waris adat adalah memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud (immateriele goederen) dari satu generasi manusia (generatie)kepada keturunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup.53
g. Hukum Islam yaitu hukumsyar’i,dalam banyak istilah disebut hukum syara’ atau hukum syari’at atau hukum syari’ah, dan oleh dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai hukum Islam adalah salah satu sub sistem hukum yang berlaku di negara Indonesia dan menjadi unsur yang membentuk (sumber bahan hukum) sistem hukum nasional Indonesia. Disamping itu ada dua sub sistem hukum lagi sebagai sumber bahan hukum yaitu hukum Barat dan hukum adat.
(39)
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang menggunakan pengetahuan sebagai sumber primer dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip umum serta telah mengadakan ramalan generalisasi sampel yang diteliti.54
Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti jalan menuju dan secara etimologis, metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.55
Menurut Soedjono Soekanto, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambahkan pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.56 Maka dapat dilihat peran penting metode dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan secara khusus dalam ilmu hukum.
Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui bahwa metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk
54Komaruddin,Metode Penulisan Skripsi dan Tesis,(Bandung : Angkasa, 1974), hal. 27 55Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian hukum,(Jakarta : UI Press, 2007), hal. 43 56Soedjono Soekanto,Op. Cit,hal. 6
(40)
menemukan solusi atas suatu masalah.57 Adapun metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Spesifik Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Adapun yang dimaksud dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis adalah suatu penelitian yang dapat menggambarkan secara rinci dan sistematis mengenai objek yang diteliti.58
Penelitian ini menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis hubungan kekerabatan masyarakat Aceh Besar, Hukum Waris Adat Aceh Besar sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/jawaban dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.
2. Metode Pendekatan
Studi hukum dibagi menjadi 2 (dua) cabang studi, pertama menyatakan bahwa hukum dipelajari dan diteliti sebagai studi mengenai law in book sedangkan kedua menyataan bahwa hukum dapat dipelajari sebagai suatu studi mengenailaw in action. Oleh karena mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang lain maka penelitian terhadap hukum sebagai law in actionmerupakan studi sosial yangnondoctrinalyang bersifat empiris.59
57Ulber Silalahi,Metode Penelitian Sosial,(Bandung : PT. Refika Aditama, 2009), hal. 13 58Soedjono Soekanto,Op. Cit,hal. 10
59 Ronny Hanitijo Soemitro,Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Persada, 1990), hal. 34
(41)
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.60 Menurut Roony Hanitijo Soemitro bahwa penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian dengan cara melihat faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terhadi di masyarakat secara langsung untuk menjawab pokok permasalahan.61
Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi hukum dan efetifitas hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Besar, sehingga penelitian yan dilakukan dapat memberikan jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian yaitu mengenai keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulangdan status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang yang diberikan setelah melangsungkan perkawinan.
3. Lokasi Penelitian
Daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, yang memiliki luas wilayah 290.256 ha yang terdiri dari 23 Kecamatan yaitu kecamatan Lhoong, Lhoknga, Indrapuri, Seulimeum, Montasik, Suka makmur, Darul Imarah, Peukan Bada, Mesjid Raya, Ingin Jaya, Kuta Baro, Darussalam, Pulo Aceh, Lembah Seulawah, Kota Jantho, Kuta Cot Glie, Kuta
60Soedjono Soekanto,Op. Cit,hal. 51 61Ronny Hanitijo Soemitro,Op. Cit,hal. 24
(42)
Malaka, Simpang Tiga, Darul Kamal, Baitussalam, Krueng Barona Jaya, Leupung dan Blang Bintang.62
Mengingat banyaknya jumlah kecamatan dan desa di Kabupaten Aceh Besar yang akan diteliti serta jaraknya yang saling berjauhan maka penelitian tidak dilakukan disemua kecamatan dan desa. Dari keseluruhan kecamatan yang berjumlah 23(dua puluh tiga) kecamatan dan desa, dipilih 3 (tiga) kecamatan dan tiap-tiap kecamatan dipilih 2 (dua) desa sebagai sampel.
Adapun ketiga kecamatan tersebut yaitu :
a. Kecamatan Kota Jantho, yang terdiri dari 1 (satu) kemukiman yaitu mukim Jantho, dan 10 (sepuluh) desa, yaitu : Jantho, Awek, Data Cut, Bueng, Weu, Jalin, Suka Tani, Cucu, Jantho Baru, dan Jantho Makmur.
Maka dari sepuluh desa tersebut dipilih 2 (dua) desa yang menjadi sampel yaitu :
(1) Desa Jantho Baru (2) Desa Jantho Makmur
b. Kecamatan Seulimeum, yang terdiri dari 5 (lima) kemukiman yaitu : mukim Seulimeum, Lamkabeu, Lamteuba, Lampanah dan Tanoh abe, dan 41 (empat puluh satu) desa yaitu : Desa Peukan Seulimeum, Keunaloi, Lhieb, Alue Gintoeng, Kp. Seulimeum, Data Gaseu, Rabo, Kp. Raya, Lamjreun, Buga, Jawie, Alue Rindang, Iboh Tunong, Iboh Tanjong, Seuneubok, Meunasah Baro, Meunasah Tunong, Batee Lhee, Mangeu, Bayu, Ayon, Lamteuba 62BPS Kabupaten Aceh Besar
(43)
Droe, Pulo, Lampantee, Lambada, Blang Tingkeum, Ateuk, Lam Apeng, Meurah, Lampanah, Ujong Mesjid, Ujung Keupula, Leungah, Beureunut, Jeumpa, Pintokhop, Bak Seutui, Bak Aghu, Kayee Adang, Lamkuk, Ujong Mesjid, Lam Carak, Capeng Dayah, Capeng Baroh, Lampisang Dayah, Lampisang Tunong, dan Lampisang Teungoh.
Maka dari 41 (empat puluh satu) desa yang menjadi sampel yaitu: (1) Desa Peukan Seulimuem
(2) Desa Lhieb.
c. Kecamatan Kuta Malaka, yang terdiri dari 1 (satu kemukiman) yaitu : Kemukiman Samahani dan 11 (sebelas) desa yaitu : Desa Leupung Riwat, Tumbo Baro, Leupung Cut, Lamsiteh Cot, Reuleng Karieng, Leubok Buni, Leubok Batee, Bunghu, Teu dayah, Leupung Rayeuk dan Reuleng Glumpang.
Maka dari 11 (sebelas desa) yang menjadi desa sampel yaitu : (1) Desa Teudayah
(2) Desa Lam Ara Tunoeng.
Pemilihan keenam Desa tersebut sebagai lokasi penelitian, diharapkan lokasi penelitian dapat memberikan jawaban atas pokok permasalahan tersebut.
4. Populasi dan Responden
Menurut winardi, populasi atauuniverse adalah kelompok semua elemen yang mendukung keterangan yang diperlukan guna untuk menjelaskan sebuah problem
(44)
atau alasan-alasan maksudnya yaitu sekelompok manusia yang bermukim disuatu wilayah atau daerah penelitian dan dapat pula merupakan elemen/bagian dari tempat penelitian.63 Populasi penelitian ini merupakan semua orang di Kabupaten Aceh Besar yang bertempat tinggal di 62 desa/kelurahan, di kecamatan Kota Jantho, Seulimeum dan Kuta Malaka, kecamatan yang pernah melakukan pemberianhareuta peunulang dan ditentukan pula desa yang dijadikan lokasi penelitian ini sebanyak 6 (enam) desa, yaitu : Desa Jantho Baru, Desa Jantho Makmur dari kecamatan Kota Jantho, Desa Peukan Seulimuem, Desa Lhieb dari Kecamatan Seulimuem dan Desa Teudayah, Desa Lam Ara Tunoeng dari Kecamatan Kuta Malaka.
Berdasarkan pengamatan dilokasi penelitian, mengingat bahwa orang yang dapat dijadikan responden cukup banyak, karena banyaknya kasus-kasus pemberian hareuta peunulang, maka dalam hal ini yang menjadi responden orang yang pernah melakukan pemberian hareuta peunulang. Dari populasi ditentukan sebanyak 5 (lima) orang dari masing-masing desa sampel sebagai responden, sehingga responden dalam penelitian ini berjumlah 30 (tiga puluh) orang. Penentuan responden dilakukan secarapurpossing sampling,di mana responden ini diambil dari 6 (enam) desa yaitu : Desa Jantho Baro, Jantho Makmur, Desa Jantho Peukan Seulimuem, Desa Lhieb, Desa Teudayah, dan Desa Teudayah Tunoeng, Dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Jantho, Kecamatan Seulimuem dan Kecamatan Kuta Malaka. Pemilihan responden hannya terbatas pada tiga kecamatan saja dengan pertimbangan bahwa persoalan hareuta peunulangrelatif homogen disetiap kecamatan di Aceh Besar, dan responden
(45)
telah dianggap dapat mewakili dan memberikan jawaban atas permasalahan penelitian. Penentuan responden dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan biaya mengingat populasi yang sulit diwawancarai karena harus bekerja serta tempat tinggal yang berjauhan.
Selain responden, dalam penelitian ini juga didukung dan diperkuat pula dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan narasumber(informan). Adapun narasumber(informan)dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Drs. Abdurrahman Kaoy, Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Banda Aceh b. Abdurrahman, SH, M.Hum, Manta Ketua Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan
Budaya Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. c. Tgk. Bahagia, Tokoh Adat Aceh, Di Aceh Besar
d. Tgk. Ridwan Kepala Desa Peukan Seulimum Aceh Besar
e. Burhanuddin, A.Ma,Tuha Peutdesa Peukan Seulimum Aceh Besar 5. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah meliputi data primer dan data sekunder, yaitu :
a. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara (interview)yang dilakukan terhadap :
(1) Orang tua yang yang pernah memberikanhareuta peunulang
(2) Anak perempuan yang pernah menerima pemberianhareuta peunulang (3) Tokoh adat dan kepala desa
(46)
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dilakukan sebagai langkah awal untuk memperoleh bahan acuan untuk penulisan tesis ini, yaitu :
(1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari nomor dasar, Undang-undang Dasar 1945, perundang-undangan, putusan pengadilan dan hukum yang tidak dikodifikasikan yaitu hukum adat. (2) Bahan hukum sekunder yang dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti Alqur’an dan Hadits, ketentuan-ketentuan dan komentar mengenai hukum waris adat, jurnal, buku-buku petunjuk lain maupun yang diperoleh dari situs internet (website) yang memberikan kejelasan terhadap penelitian ini.
6. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Studi dokumen
Bahan pustaka yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan, buku, laporan hasil penelitian terdahulu, makalah penataran dan bahan kepustakaan lainnya yang bermanfaat untuk penelitian ini.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap narasumber(informan)secara terarah dan sebelum melakukan wawancara dibuat pedoman wawancara sehingga hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.
(47)
7. Analisa data
Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.64 Metode kualitatif dilakukan untuk memperoleh data dari responden baik yang secara lisan sehingga menghasilkan data yang deskriptif analitis, yaitu data yang dapat menggambarkan seluruh gejala, fakta dan aspek-aspek serta akibat hukum yang diteliti. Dari pembahasan dan analisis ini akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
64Lexi K. Moloeng,Metodelogi Penelitian Kualitatif,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 103
(48)
BAB II
KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG ORANG
TUA DALAM MEMBERIKANHAREUTA PEUNULANG
DI KABUPATEN ACEH BESAR
A. Deskripsi Daerah Penelitian
Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provini Aceh. Kabupaten Aceh Besar terletak di ujung barat daya Provinsi Aceh dan merupakan titik awal dari Banda Aceh menuju daerah Aceh dan Sumatera lainnya. Adapun luas wilayah Kabupaten Aceh Besar seluruhnya sekitar 2.974,12 km² . Secara administrasi Kabupaten Aceh Besar terbagi menjadi 23 Kecamatan yang tersebar dari 68 Kemukiman, 608 Desa, dan 5 Kelurahan. Sebelum dimekarkan di akhir tahun 70an, ibukota Aceh Besar adalah kota Banda Aceh, kemudian kota Banda Aceh berpisah menjadi kotamadya sehingga ibukota Aceh Besar pindah ke daerah Jantho di pegunungan Seulawah.
Kabupaten Aceh Besar terletak 5,2 – 5,8 LU 9,50 – 95,8 BT, dengan sisi barat,timur dan utaranya dibatasi dengan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Teluk Benggala, yang memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di mana kota Sabang berada. Sedangkan untuk wilayah darat, Aceh Besar berbatasan dengan kota Aceh Banda Aceh di sisi utara, Kabupaten Jaya Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi selatan dan tenggara.65dengan batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara: Selat Malaka / Kota Banda Aceh
(49)
b. Sebelah Selatan: Kabupaten Aceh Jaya c. Sebelah Timur : Kabupaten Pidie d. Sebelah Barat : Samudra Indonesia
Kabupaten Aceh Besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.
Sehubungan dengan tuntutan dan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas, Banda Aceh sebagai pusat ibukota dianggap kurang efisien lagi, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota tersebut dari Wilayah Banda Aceh mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Banda Aceh Usaha pemindahan tersebut belum berhasil dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan.66
Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukinan Jantho yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh.
Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh. Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukinan Jantho di Kecamatan Seulimum Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dengan berdasarkan hasil
(50)
penelitian yang dilakukan oleh team departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar adalah Kemukinan Jantho dengan nama "KOTA JANTHO".
Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktifitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke Ibukota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983, dan peresmiannya dilakukan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu, yaitu Bapak Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Mei 1984.67
Adapun pembagian wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar berikut luasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.1 Luas Daerah, Jumlah Desa / Kelurahan, Mukim, menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar
No. Kecamatan Luas Area
(Km) Desa Mukim
1. Lhoong 125,00 28 4
2. Lhoknga 98,95 28 4
3. Leupung 76,00 6 1
4. Indra Puri 285,25 52 3
5. Kuta Cot Glie 230,25 32 2
6. Seulimeum 487,26 47 5
7. Kota Jantho 274,04 13 1
8. Lembah Seulawah 322,85 12 2
9. Mesjid Raya 110,38 13 2
67 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/11/name/nanggroe-aceh-darussalam/detail/1106/aceh-besar, diakses pada tanggal 13 November 2013
(51)
10. Darusalam 76,42 29 3
11. Baitussalam 37,76 13 2
12. Kuta Baro 83,81 47 5
13. Montasik 94,10 39 3
14. Blang Bintang 70,51 26 3
15. Ingin Jaya 73,68 50 6
16. Krueng Barona Jaya 9,06 12 3
17. Sukamakmur 106,00 35 4
18. Kuta Malaka 36,00 15 1
19. Simpang Tiga 55,00 18 2
20. Darul Imarah 32,95 32 4
21. Darul Kamal 16,20 14 1
22. Peukan Bada 31,90 26 4
23. Pulo Aceh 240,75 17 3
Jumlah 2.974,12 601 68
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar Dalam Angka 2013
Luas Kabupaten Aceh Besar adalah sekitar 2.974,12 km², dengan wilayah terluas adalah Kecamatan Seulimeum dengan luas 487,26 km² (16,38%) dan wilayah terkecil adalah Kecamatan 9,06 km² yaitu seluas (0,30%).
Perkembangan kepedudukan di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat dari jumlah, perkembangan dan penyebaran penduduk, serta kepadatan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun nampak terus bertambah. Dari data kependudukan jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2013 memiliki kepadatan rata-rata sebesar 283 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan yang tertinggi yaitu di Kecamatan Krueng Barona jaya sebesar 1.500 jiwa/ km2, kemudian di Kecamatan Darul Imarah yaitu 1.387 jiwa/km2, kemudian kepadatan yang terendah yaitu di Kecamatan Pulo Aceh dengan tingkat kepadatan 15 jiwa/ km2.
(52)
Kemudian Kecamatan Kota Jantho yaitu 29 jiwa/ km2. Secara keseluruhan kepadatan penduduk dan penyebaranya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Kecamatan Laki-Laki
(Jiwa)
Perempuan (Jiwa)
1 Lhoong 5.394 4.569
2 Lhoknga 7.937 7.389
3 Leupung 1.601 1.411
4 Indra Puri 10.538 10.342
5 Kuta Cot Glie 6.695 6.436
6 Seulimeum 11.599 11.034
7 Kota Jantho 4.810 4.405
8 Lembah Seulawah 6.165 5.550
9 Mesjid Raya 11.610 10.894
10 Darusalam 10.923 10.917
11 Baitussalam 11.217 9.390
12 Kuta Baro 11.834 11.593
13 Montasik 9.976 9.477
14 Blang Bintang 5.177 4.975
15 Ingin Jaya 14.648 13.842
16 Krueng Barona Jaya 7.764 7.294
17 SukaMakmur 7.445 7.300
18 Kuta Malaka 3.110 2.955
19 Simpang Tiga 3.049 2.870
20 Darul Imarah 26.288 24.891
21 Darul Kamal 3.664 3.501
22 Peukan Bada 9.676 8.526
23 Pulo Aceh 2.627 2.186
Jumlah 193.747 181.747
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar Dalam Angka 2013
Tabel di atas menjelaskan bahwa Kecamatan Krueng Barona Jaya memiliki kepadatan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dikarenakan kecamatan ini terletak pada perbatasan dengan Kota Banda Aceh khususnya dengan Kecamatan Ulee Kareng yang merupakan salah satu pusat
(53)
kegiatan ekonomi di Kota Banda Aceh. Selain itu Kecamatan ini juga berdekatan dengan Universitas Syiah Kuala sehingga banyak mahasiswa yang menetap di kecamatan tersebut. Kondisi tersebut sangat mendukung dalam aktivitas penduduk mengingat kecamatan ini memiliki jalur mobilitas yang bagus sehingga meskipun luasan daerahnya kecil tetapi tetap menjadi alternatif singgah bagi penduduk yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.
Pendidikan merupakan salah satu kunci sukses utama dalam proses pelaksanaan pembangunan daerah, karena dengan pendidikan maka akan dicapai sumber daya manusia yang berkualitas. Keberhasilan dalam pendidikan tidak lepas dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan baik dan lancar, yang diharapkan dapat menghasilkan output yang memuaskan.
Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Pada Sekolah Negeri dan Swasta
No Kecamatan
Tidak/ Belum sekolah
SD SLTP SMU Perguruan
Tinggi Jumlah 1 2 3 Kota Jantho Seulimeum Kuta Malaka 168 188 231 930 2351 483 609 958 235 649 700 78 132 207 187 2488 4197 1214 Sumber : BPS Aceh Besar : Aceh Besar Dalam Angka
(54)
Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel di bawah Departemen Agama Kabupaten Aceh Besar
No Kecamatan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madrasah Tsanawiyah (Mts) Madrasah Aliyah (MA) Pesantren Tradisional Pesantren Modern Juml ah 1 2 3 Kota Jantho Seulimeum Kuta Malaka 232 705 0 321 106 0 94 0 380 0 1956 80 242 448 486 889 3215 946 Sumber : BPS Aceh Besar : Aceh Besar Dalam Angka
Berdasarkan table 2.1 dan 2.2 dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi penelitian telah menyadari peran penting pendidikan sekolah dan pendidikan agama untuk memajukan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang mendapatkan pendidikan di sekolah dan pendidikan agama di pesanteren (dayah) serta banyaknya penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Mata pencaharian utama bagi penduduk di Kabupaten Aceh Besar adalah pertanian. Dari semua bidang pertanian, bersawah (menanam padi) menempati tempat teratas dan dikerjakan hampir oleh semua penduduk di Kabupaten Aceh Besar. Sebagai contoh misalnya bagi mereka yang berprofesi sebagai Nelayan, bila ada tanah yang dapat ditanami di sekitar kampung-kampung mereka, maka tanah tersebut mereka manfaatkan untuk lahan usaha tani. Hal ini lebih-lebih bila keadaan iklim tidak memunginkan para nelayan untuk turun kelaut. Padi yang dihasilkan, disamping untuk dikonsumsi sendiri juga untuk dipasarkan, guna untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Selain itu juga mereka yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri dan lain-lain (terutama yang tinggal di pedesaan) tidak jarang pula yang
(55)
mengdapatkan penghasilan dari hasil pertanian. Karena pada umumnya mereka juga mengusahakan usaha-usaha tani. Berkebun termasuk urutan kedua terpenting setelah bersawah. Dalam mengusahakan kebun, para petani tidak mengkhususkan pada satu jenis tanaman tertentu dalam sebuah kebun, tetapi bertanam berbagai jenis tanaman, hal ini dilakukan karena masing-masing tanaman mempunyai satu musim berbuah sendiri, sehingga dalam satu tahun ada penghasilan yang terus menerus. Mata pencaharian lainnya yaitu pemeliharaan ternak (lembu, kerbau, kambing dan lai-lain). Lembu dan kerbau selain untuk dijual, juga digunakan sebagai penarik bajak di sawah-sawah, ladang-ladang ataupun di kebun-kebun. Selain itu di beberapa daerah kecamatan yang berbatasan dengan laut (seperti kecamatan Mesjid Raya dan Kecamatan Peukan Bada serta Kecamatan Lhok Nga/Leupueng) juga ada penduduk yang mengusahakan tambak-tambak ikan dan pembuatan garam, meskipun dalam jumlah kecil.
B. Islam di Dalam Masyarakat Aceh
Dikenalnya Aceh dengan sebutan Serambi Mekkah oleh masyarakat luar Aceh bukan tanpa sebab, karena Islam tidak hanya persoalan manusia dengan Tuhan tetapi juga merupakan panduan dalam menggerakkan segala aktivitas masyarakat Aceh . Disamping itu, Aceh menjadi pintu masuk bagi perkembangan Islam di Nusantara dan pusat penyebaran Islam di sekitar selat Malaka. Hal ini menjadi satu fenomena penting dari catatan perkembangan sejarah Islam di dunia.
Semenjak Islam datang dan berbaur dalam masyarakat Aceh, prilaku yang nampak dalam keseharian masyarakat tak lepas dari apresiasi masyarakat terhadap
(56)
Islam. Artinya masyarakat Aceh tidak hanya menganut Islam, tetapi masyarakat mencoba mengaktualisasikannya dalam kehidupannya. Kadang terlihat sikap masyarakat yang begitu fanatik terhadap Islam, dikarenakan akulturasi watak masyarakat dengan keyakinan masyarakat.
Sifat kekerabatan yang tinggi dan silaturrahmi merupakan satu bentuk sikap mereka yang kental dalam mewujudkan Islam. Agama ini telah mendarah daging dalam kehidupan mereka dan melingkupi semua aspek dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dilihat dari adat budaya yang mereka tampilkan dan juga melalui aturan atau norma hidup yang telah mereka sepakati, seperti perkawinan, perceraian dan lainnya.68
Bagi masyarakat Aceh, sekalipun Hukum Adatnya telah lebih dahulu ada jauh-jauh hari sebelum masuknya Islam ke Nanggroe Aceh melalui Samudera Pasei, tetapi dewasa ini, antara Hukum Adat dan Hukum Islam telah sampai pada tingkat sinergik integrative, yang menujukkan adanya harmonisasi antara hukum adat dan hukum Islam. Kenyataan ini telah dibuktikan oleh Syahrizal dalam meneliti hubungan kedua system hukum tersebut (Hukum Islam dan Hukum Adat) dalam bidang kewarisan.69
Secara menyeluruh, keberadaan kehidupan bermasyarakat di Aceh seutuhnya menyatu dalam semboyan kehidupan mereka sehari-hari, yang telah menjadi 68Snouck Hurgronje,Aceh (Di Mata Kolonialis),(Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), Jil 1-2, sebagaimana dikutip dalam buku Syamsul Bahri(Implementasi Syari’at Islam),( Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012), hal. 64
69 Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia (Refleksi terhadap Beberapa
BentukIntegrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh), (Lhokseumawe : Nadya Foundation, 2004), hal. 8
(57)
pegangan umum;“Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” (Adat berada di tangan Sultan, hukum di tangan Ulama, Qanun dari Putri Pahang dan Resam dari Laksamana).70
Begitu kentalnya Islam dalam kehidupan mereka, dimana terdapat gambaran jelas melalui ungkapan-ungkapan adat. Meskipun masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri tetapi tak bisa dipisahkan dari Islam yang menhjadi keyakinan mereka. Pertautan keduanya (antara adat dengan Islam) bisa dilihat darihadih maja(ungkapan adat) yang berbunyi; “Hukum (Islam) ngon adat lagee zat ngon sifeut” (Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat).71
Ungkapan ini mengandung makna sebagaimana dikemukakan Melalatoa dari Hasjmy, “… Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku dalam segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, kebudayaan, sosial budaya dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.”72
Disamping ungkapan ini, juga terdapat ungkapan lain yang menjelaskan betapa pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang ditercermin sebagai berikut; “Mate aneuk meupat jeurat gadoh adat han meho mita” (Mati anak jelas kuburnya, hilang adat kemana dicari).73
70
Syamsul Bahri(Implementasi Syari’at Islam),( Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012), hal. 64
71Syamsul Bahri,Op. Cit,61
72M. Junus Melalatoa,Memahami Aceh dalam Perspektif Budaya, dalam AD Pirous, Abdul Hadi WM dkk (Ed), Aceh KembaliKe Masa Depan (Jakarta: IKJ Press, 2005), hal. 31
(58)
C. Sejarah PemberianHareuta Peunulang
Kedudukan rumah dalam lingkungan keluarga pada dasarnya berkolerasi dengan kebiasaan menetap setelah kawin. Pada masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie, berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan keluarga pihak istri.74 Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga batih sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “Peumeukleh” (pemisahan). Dengan disaksikan oleh menantu dan tetua kampung serta beberapa anggota kerabat lainnya, orang tua istri memberikan sejumlah harta yang jenis dan nilainya tergantung kepada kemampuannya, kepada anak perempuan yang hendak dipisahkan itu. Pemberian itu disebut“Peunulang”atau pemberian.
Hareuta Peunulangpada dasarnya dikenal di seluruh Aceh, tetapi yang masih mempraktekkan kegiatan pemberian orang tua ini hannya di tiga daerah dalam Provinsi Aceh, yaitu Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Besar dan sebagian wilayah di Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan pemberian hareuta peunulang ini dikenal sejak masa-masa kerajaan Aceh Darussalam atas ide atau inisitaif Putro Phang (isteri dari Sultan Iskandar Muda, Raja kerajaan Aceh Darussalam) dalam rangka menyikapi keadaan dimana para wanita di Aceh yang tinggal cerai oleh suaminya, sehingga banyak wanita yang harus menderita dengan keadaan tersebut, maka ata dasar inilah Putro Phang mengusulkan untuk diadakan suatu lembaga untuk melindungi perempuan di saat musibah yang tidak diharapkan terjadi, seperti perceraian, dan
(1)
hukum Islam sebagai bentuk hibah, dan berlangsung secara lisan, untuk menghindari perselisihan dikemudian hari, dan sebagai dasar kekuatan hukum tertulis bagi anak perempuan nantinya dimana Hareuta peunulang tersebut digolongkan kedalam harta bawaan dalam keluarganya yang baru, sebaiknya dilakukan dalam bentuk akta otentik sebagai pemberian hibah.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, Cet ke-I,Jakarta : Akademia Presindo, 1992 Abdurrahman,Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh,Banda Aceh :
PPISB Unsyiah
Ahmad, Mumtaz (ed),Masalah-masalah Teori Politik Islam,Bandung : Mizan, 1994 Ash-Shabuni, Ali, Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema
Insani Press, 1995
Dahlan, Azis, Abdul,Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan I,Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996
Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Hamid, Rijal, Syamsul,Buku Pintar Agama Islam,Bogor : Cahaya Salam, 2011 Hadikusuma, Hilman,Hukum Waris Adat,Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1993 Harahap, Sofyan, Safri,Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komperehensif,
Jakarta : Pustaka Quantum, 2001
Haar, Ter, Asas-asas dan susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto, Jakarta ; Pradnya Paramita, 1986
Hisyam M.,Penelitian ilmu-ilmu Sosial,Jakarta ; FE UI, 1996
Hoesin, Muhammah,Adat Aceh,Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970
Hugronje, Snouck, 1985. Aceh dimata kolonialis. Jilid I. Terj. Singarimbun, Ng. Maimoen,S & Kustiniyati Muchtar. (Jakarta: Yayasan Soko Guru.Nasruddin Sulaiman, Rusdi Sufi & Tuanku Abdul Jalil, 1985
Ismuha H., Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam,Jakarta : Bulan Bintang, 1978
(3)
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997
---,Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1990
Kusumohamidjojo Budiono, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum, Jakarta : Grassindo, 1999
Lubis Solly M.,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Bandung : Mandar Maju, 1994 Mas Marwan,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004
Moloeng, Lexi, K.,Metodelogi Penelitian Kualitatif,Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993
Muhammad, Bushar,Asas-asas Hukum Adat,Jakarta : Pradnya Pramita, 1975
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum IslamYogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991 Nasution, Johan, Bahder,Metode Penelitian hukum,Jakarta : UI Press, 2007
Parman, Ali,Kewarisan Dalam Al-qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik,Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawardi, K. Hukum Perjanjian dalam Islam,Cetakan Kedua Jakarta : Sinar Grafika, 1996
Prawirohamidjojo, Soetojo, R, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya Airlangga University
Prodjodikoro, Wirjono,Hukum Waris di Indonesia,Cet-II, Bandung : Sumur, 1983 Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum,Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996
Rasyid, Sulaiman,Fiqh Islam,Bandung : Sinar Baru, 1990 Rifai, Moh,Ilmu Fiqih Islam,Semarang : CV Toha Putra,1978
Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995 ---,Fiqh Mawaris,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
(4)
Sarwono, Jonathan,Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006
Saragih, Djaren,Pengantar Hukum Adat Indonesia,Bandung : Tarsito, 1984
Salindeho, John,Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 1993 Silalahi, Ulber,Metode Penelitian Sosial,Bandung : PT. Refika Aditama, 2009 Smith, Cantwell, Wilfred, Islam Modern History, dalam Sayed Mudhahar Ahmad,
Ketika Bunga Pala Bersemi, Tapaktuan: 1994
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : PT. Raja Garfindo Persada, 1983
---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press , 1982
---, dan Usman Yusuf, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat, Jakarta : Ghalia Indonesia
Soemadiningrat, Salam, Otjie, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung : Alumni, 2002
Soepomo,Bab-bab tentang Hukum Adat,Jakarta : Pradnya Paramita, 1993
Soemitro, Hanitijo, Ronny, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Persada, 1990
Sudiyat, Iman,Asas-asas Hukum Adat,Yogyakarta : Liberty, 2000
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung : PT. Refika Aditama, 2005
Sukiman, Djoko, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai RevolusiJakarta : Komunitas Bambu, 2011
Suny, Ismail, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et. Al“Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukkan”, Bandung :Remaja Rosdakarya ,1991
(5)
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia (Refleksi terhadap Beberapa BentukIntegrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh), Lhokseumawe : Nadya Foundation, 2004
Syamsul, Bahri (Implementasi Syari’at Islam), ( Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012), hal. 64
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,Jakarta : Pt. Gunung Agung, 1984
Thaib, Hasballah, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002
Utrecht E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1962
Vlekke, Maria, Hubertus, Bernard, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta : Kepustakaan Gramedia Populer
Winardi,Pengantar Metodologi Research,Bandung : Alumni, 1989
Wingjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat , Jakarta : Gunung Agung, 1995
Wiranata, Gede I, A. B.,Hukum Adat Indonesia,Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005 Wiratha, Made,Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis,Yogyakarta
: Andi, 2006
Wurisman, J.J.J.M.,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-azas,Jakarta : Fe UI, 1991
Internet :
www.acehrayeukberjaya.blogspot. Sanusi M. Syarif.com, Ureung Inong & Desain Tradisi (Sebuah Refleksi Hari Adat Sedunia)
http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/,di unduh pada tanggal 27 Desember 2013.
(6)
Jurnal
Djuned, Moh. T.Peunulang Sebagai Salah Satu Bentuk Pewarisan Di Aceh, Artikel Dalam Buletin Kanun, No. 2 Desember, 1991
Hasan Yusuf M., Kecenderungan Pembagian Warisan dalam Masyarakat Aceh Besar, Jurnal Kanun No 24Banda Aceh, 1999
Perundang Undangan :
Undang-undang No 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Peraturan Pemerintan Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah